Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Ilmiah

Minggu, 29 Desember 2013

Postur korupsi di Indonesia


Postur Korupsi di Indonesia
Oleh Hanifa Indriana
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
hanifaindriana@gmail.com

Abstrak

Maraknya kasus korupsi di Indonesia yang telah membudaya menjadi masalah serius yang
harus diselesaikan secara tuntas. Korupsi merupakan sebuah masalah yang harus difikirkan secara serius
oleh pemerintah guna mewujudkan negara kesatuan yang dapat melaksanakan fungsinya sebagai pemerintahan
yang baik. Korupsi mencakup segala penyalahgunaan wewenang sebagai hasil pertimbangan demi
memperoleh keuntungan pribadi. Hal ini sudah ada sejak dulu yaitu pada masa kerajaan di mana
kekuasaan bertumpu pada birokrasi patrimonial dalam kerangka kekuasaan feodal. Oleh sebab itu, perlu adanya
upaya-upaya pemberantasan korupsi yang tuntas sampai ke akarnya, diantaranya transformasi budaya sebagai
langkah awal, baru kemudian upaya preventif dan represif. Pemerintah yang baik juga menjadi syarat
mutlak untuk suksesnya pemberantasan korupsi. Jika semua itu dilakukan dengan benar maka
negara kita pasti akan terbebas dari korupsi.

Kata Kunci: korupsi, Indonesia, kasus, masalah, berantas, preventif.

1. Pendahuluan
Banyak orang yang beranggapan bahwa korupsi di negara kita telah membudaya. Gejala korupsi
tentu ada di setiap negara dan di tiap zaman. Hal ini akan menjadi masalah serius ketika gejala
korupsi dibiarkan membengkak hingga menguasai tingkah laku manusia. Tetapi mengadakan usaha
untuk memberantas korupsi memang bukan suatu yang sia-sia. Pada kenyataannya penyelesaian
korupsi masih tebang pilih dan pelaksanaan hukumnya masih belum maksimal.
Merebaknya kasus korupsi di Indonesia bukan hanya kali ini saja, bahkan budaya korupsi
sudah berakar dari orang-orang terdahulu yaitu pada masa kerajaan di mana kekuasaan bertumpu
pada birokrasi patrimonial dalam kerangka kekuasaan feodal (dalam Mochtar Lubis dan James C.
Scott, 1988: 18). Warisan birokrasi patrimonial kita telah menimbulkan birokrasi nepotisme, yang
memberi jabatan atau jasa khusus pada sanak dan sahabat. Dalam lingkungan seperti ini berbuat
korupsi dianggap sebagai sesuatu yang wajar saja.
Kehadiran birokrasi patrimonial tidak hanya dalam bentuk-bentuknya yang tradisional,
melainkan juga dalam bentuk-bentuknya yang baru, seperti badan pengawas keuangan negara,
inspektur jenderal di tiap kementrian, parlemen, alat penuntut umum, dan sebagainya. Tetapi
bentuk-bentuk modern ini, yang tetap dikuasai oleh nilai-nilai birokrasi patrimonial yang lama tentu
tidak mempunyai kekuatan untuk menghalangi berkembangnya korupsi. Malahan kita lihat betapa si
pengawas ikut korupsi dengan yang diawasinya. Malahan sampai-sampai alat penyidik, penuntut
umum, dan hakim sendiri banyak terlibat dalam tindak korupsi.
Seperti kasus yang populer akhir-akhir ini, yaitu kasus yang dilakukan oleh ketua Mahkamah
Konstitusi, Akil Mochtar. Dalam kasus ini Akil Muchtar tidak bermain sendiri, bahkan mantan ketua
Mahkamah Konstitusi itu menyeret beberapa nama yang ikut andil di dalamnya (lihat Suara
Merdeka, 4/10/13). Ini merupakan tamparan besar bagi para pengak hukum Indonesia.
Kasus ini memberikan sedikit gambaran bahwasanya perkorupsian di Indonesia masih sangat
membudidaya dan belum mampu diberantas hingga akar-akarnya. Korupsi merupakan sebuah
masalah yang harus difikirkan secara serius oleh pemerintah, guna mewujudkan negara kesatuan
yang dapat melaksanakan fungsinya sebagai good govermance.

3. Sekilas Tentang Korupsi

Berdasarkan latar belakang sejarahnya, pengertian korupsi itu nampaknya sangat berkaitan
erat dengan sistem kekuasaan dan pemerintahan di zaman dulu maupun di zaman modern ini.
Adapun pengertian korupsi dikaji dari bahasa latin yaitu corruptio yang mempunyai arti suatu
perbuatan busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari
kesucian, dan kata-kata atau ucapan yang menghina atau memitnah.
Suapan atau sogokan dan korupsi saling terkait erat, tetapi bukan tidak dapat
dipisahkan. Seseorang yang menerima suapan bersifat korup atau bejat, tetapi seorang yang
tidak menerima suapan pun mungkin saja bersifat demikian. Korupsi mungkin mencakup
nepotisme atau sikap suka memberi jabatan kepada sanak famili, serta mengadakan
penggelapan. Dalam kedua hal ini terdapat perangsang dengan pertimbangan tidak wajar.
Jadi, korupsi sekalipun khusus terkait dengan penyuapan atau penyogokan. Jadi keduanya
dalah istilah umum yang mencakup penyalahgunaan wewenang sebagai hasil pertimbangan
demi memperoleh keuntungan pribadi. Dalam arti yang seluas-luasnya, korupsi mencakup
penyalahgunaan kekuasaan serta pengaruh jabatan atau kedudukan istimewa dalam
masyarakat untuk maksud-maksud pribadi. Lebih lanjut Salomonson (dalam Mochtar Luis
dan James C. Scott, 1988: 18) menyatakan penyalahgunaan kekuasaan telah berakar dalam
perdagangan swasta, baik di dalam maupun di luar negeri, dan meluas sedemikian rupa dalam
takaran tak terbayangkan.
Dalam hal ini, Pelaku perbuatan korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang,
yaitu mereka yang menginginkan keputusan-keputusan secara tegas dan yang mampu untuk
mempengaruhi keputusan tersebut dengan tujuan untuk menyelubungi perbuatannya dan
berlindung di balik pembenaran hukum. suatu perbuatan korupsi jelas melanggar norma-
norma tugas dan tanggung jawab dalam tatanan masyarakat. Setiap bentuk korupsi
melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dan didasarkan atas niat kesengajaan untuk
menempatkan kepentingan umum di bawah kepentingan khusus.

4. Penyebab Korupsi di Indonesia

Semakin maraknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, maka menimbulkan pertanyaan
mengenai penyebab terjadinya tindakan tersebut. Kini perlu diungkap bahwa tindak pidana
korupsi yang telah mengakar dalam tubuh masyarakat tertentu harus dicari sumber-
sumbernya berdasarkan latar belakang sejarah dan kebudayaanya. Kita mesti meninjau suatu
kemungkinan yang demikian dalam mengungkap sumber-sumber korupsi. Misalnya perlu
diteliti adakah hubungan meluasnya korupsi dengan sejarah perkembangan masyaralat
Indonesia, dengan struktur sosial, dengan kebiasaan, tata cara dan sikap hidup, serta dengan
pola kebudayaan yang dianut. Adapun tindakan-tindakan atau sikap, perilaku yang menjadi
kebiasaan, meskipu di luar dikutuk oleh kita, tetapi secara diam-diam ditoleransi, pasti
mempunyai hubungan dengan pandangan hidup kita.
Berkaitan dengan perkembangan korupsi di Indonesia, selain dapat diselidiki dari
sebab-sebab terjadinya tindak pidana itu, juga dapat ditinjau sampai seberapa jauh
masyarakat kita mengutuk korupsi, mentolerirnya, dan menerimanya sebagai jalan hidup.
Adapun terkait faktor penyebab korupsi di Indonesia, Ilham Gunawan (1993: 9-10)
menggolongkannya menjadi tiga faktor.
Pertama, faktor politik atau yang berkaitan dengan masalah kekuasaan. Lord acton
(1902) bahkan menyatakan kecenderungan kekuasaan pada tindakan korupsi dan kekuasaan
yang berlebihan mengakibatkan korupsi yang berlebihan pula.
Kedua, faktor yuridis yang berkaitan dengan lemahnya sanksi hukum, maupun
peluang terobosan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi (lebih jelasnya lihat Undang-Undang No. 31 Tahun 1999). Jika membicarakan
lemahnya sanksi hukuman berarti analisis pemikiran mengarah kepada dua aspek, yaitu
peranan hakim dalam menjatuhkan putusan akhir dan sanksi yang memang lemah
berdasarkan bunyi pasal-pasal serta ayat-ayat pada peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Peraturan Perundang-undangan yang tidak canggih
dan tidak mampu mengikuti arus perkembangan ilmu, budaya dan teknologi, kiranya perlu
dengan segera untuk merumuskan dan menyusun kembali peraturan perundang-undangan
tentang korupsi, yang mampu dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Ketiga, faktor budaya sebagaimana yang disebutkan Mochtar Lubis dan James C.
Scott (1988: 18) dapat dicatat bahwa korupsi di Indonesia antara lain bersumber pada
peninggalan peninggalan feodal. Akibatnya masih dirasakan sampai sekarang dan akan
menimbulkan benturan kesetiaan antara kewajiban-kewajiban terhadap keluarga dan
kewajiban terhadap negara. Banyak orang terkemuka seperti pejabat dalam masyarakat
Indonesia, meskipun berpangkat rendah menganggap biasa melakukan korupsi. Hal ini
tentunya berkaitan dengan kepribadian yaitu meliputi mentak dan moral yang dimiliki dan
kesemuanya itu berakar dari budaya yang dianutnya. Kondisi tersebut kiranya perlu ditinjau
dan diungkap dalam kaitannya dengan sejarah kebudayaan Indonesia.

5. Taraf Korupsi

Sebagaimana dapat diduga, perkiraan-perkiraan tentang taraf korupsi di dalam negara- negara
yang sedang berkembang khususnya Indonesia, sama sekali tidak cermat. Desas-desus yang
beredar sangat berlimpah, namun faktanya langka sekali. Tiga hal dapat dicatat.
Pertama, di Indonesia rakyat menganggap korupsi sebagai bagian tak terpisahkan dari
kehidupan sehari-hari. Sikap sinis masyarakat terhadap hal ini sangat menyolok. Anggapan
masyarakat bahwa korupsi merupakan bagian dari kehidupan, umumnya adalah hal yang
pertama-tama harus diubah.
Kedua, para pejabat sependapat dengan masyarakat, dan pendapat mereka ini
adakalanya disokong dengan pemeriksaan-pemeriksaan yang di prakarsai oleh pemerintah.
Seberapa benar dan bohongnya korupsi di tingkat-tingkat tinggi, tiada yang mengetahui
dengan pasti. Hal yang memang benar adalah bahwa perjalanan melalui suatu ruangan-
ruangan kekuasaan di negeri ini, sama dengan perjalanan melalui suatu ruangan yang
dipenuhi oleh desas-desus gunjingan, di mana fakta mengenai korupsi pada tingkat-tingkat
tertinggi diterima sebagai fakta wajar, dan satu-satunya hal yang menarik bagi masyarakat
adalah menutupi kisah terakhir dengan sebuah kisah lain yang lebih menggemparkan lagi
(dalam Mochtar Luis dan James C. Scott, 1988: 18).
Ketiga, korupsi tidak terbatas hanya pada beberapa hirarki resmi, tetapi agaknya
meresap keseluruh struktur pemerintahan. Harus dicatat bahwa sekalipun korupsi di tingkat
paling atas menarik paling banyak perhatian di forum umum, serta meliputi jumlah uang yang
besar dalam transaksi terpisah, korupsi ditingkat paling tendah lebih nyata dan menyolok, dan
jumlah uang yang terlibat mungkin menandingi jumlah korupsi di tingkat tinggi.

6. Akibat-akibat Perbuatan Korupsi yang Merusak

Dalam menganalisa akibat-akibat perbuatan korupsi, dapat dibedakan dua


kategori.Pertama, akibat-akibat langsung tanpa perantara. Ini adalah akibat-akibat yang
merupakan bagian dari perbuatan itu sendiri, yaitu akibat-akibat yang terkandung dalam
alasan-alasan si koruptor untuk melakukan perbuatan tersebut. Kedua, akibat-akibat tak
langsung melalui mereka yang merasakan bahwa perbuatan korupsi telah dilakukan. Ada tiga
golongan pelaku yang terlibat, yaitu golongan yang dikorupsi, si koruptor dan orang-orang
yang tidak terlibat tetapi mengetahui tentang kejadian tersebut.
Dalam pembicaraan berikutnya, Mochtar Lubis dan James C. Scott (1988: 97-102)
menunjukkan setidaknya ada sepuluh akibat perbuatan korupsi yang merusak, diantaranya
sebagai berikut: (1) suatu perbuatan korupsi merupakan kegagalan pemerintah untuk
mencapai tujuan-tujuanyang ditetapkannya waktu menentukan kriteria bagi berbagai jenis
keputusan. Kegagalan tersebut diantaranya adalah sirnanya efisiensi serta terjadi pemborosan,
menghalangi pembangunan ekonomi sebagai keseluruhan dan masih banyak lagi kegagalan-
kegagalan lain yang bahkan dampaknya lebih besar bagi kehidupan bangsa; (2) Korupsi
menyebabkan kenaikan biaya administrasi; (3) jika korupsi terjadi dalam bentuk komisi,
akan mengakibatkan berkurangnya jumlah dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan
masyarakat umum; (4) korupsi mempunyai pengaruh buruk pada pejabat-pejabat lain dari
aparat pemerintah dan menghancurkan keberanian orang untuk berpegang teguh pada nilai-
nilai sopan santun yang tinggi. Moral dan akhlak merosot, karena setiap orang berpikir,
mengapa hanya ia saja yang harus menjunjung akhlak yang tinggi, sedangkan yang lain tidak;
(5) korupsi di kalangan pemerintah yang dilihat olah khalayak umum, menurunkan martabat
penguasa resmi, menjatuhkan kepercayaan masyarakat akan tindakan adil pemerintah, serta
merendahkan unsur hormat rakyat; (6) Korupsi di kalangan suatu golongan elit bukan saja
menurunkan nilai-nilai yang dilihat oleh masyarakat, tetapi juga memaksa masyarakat
melakukan korupsi agar mendapat bagian mereka yang wajar, bukan untuk mencapai
keuntungan-keuntungan luar buasa; (7) keberanian politik yang luar biasa sukar
dipertahankan dalam suasana yang toleran terhadap korupsi; (8) dengan merosotnya
kepercayaan masyarakat terhadap keadilan sikap pejabat-pejabat pemerintah, timbullah
keinginan akan hubungan-hubungan khusus, guna mengumpulkan bobot yang cukup untuk
membuyarkan tuntutan-tuntutan yang sama dari orang-orang lain; (9) karena korupsi
merupakan tindakan tidak adil yang telah dilembagakan, terhadap orang kecil dengan
sendirinya timbul tuduhan-tuduhan, dakwaan-dakwaan bersifat fitnah serta rasa sakit hati
yang mendalam; dan (10) korupsi menyebabkan keputusan akan dipertimbangkan
berdasarkan uang dan bukan berdasarkan hukum. Orang miskin yang mempunyai kebutuhan
mendesak dan wajar, tak akan menemukan belas kasihan.
Disamping akibat-akibat yang disebutkan di atas, tindakan korupsi juga berakibat
langsung pada diri pelaku korupsi itu sendiri. Tidak hanya hukuman fisik, namun para pelaku
korupsi juga menerima hukuman mental, sehingga mereka tidak dapat merasakan
kenikmatan, ketenangan, keamanan, dan kedamaian (Husain Husain Syahatah, 2005:24).
Tentu saja ini merupakan siksaan batin yang sangat berat bagi orang yang memiliki
kehormatan dan kemuliaan.
7. Transformasi Budaya sebagai Upaya Awal Pemberantasan Korupsi

Jelas pula, bahwa untuk membasmi korupsi dalam masyarakat seperti kita ini, di mana
korupsi berakar pada kebudayaan lama, dan berasal dari birokrasi-patrimonial dari masa
feodal yang lampau, tetapi yang nilai-nilainya masih bekerja dalam diri kita, maka hanya
dengan melakukan transformasi budaya yang tuntas, barulah kita mempunyai harapan yang
baik untuk dapat berhasil memberantas korupsi di negara kita.
Setelah kita mengidentifikasikan nilai-nilai budaya mana yang harus kita buang dan
nilai-nilai baru apa yang perlu kita kembangkan hingga berakar dalam masyarakat kita dan
lalu secara sadar kita melakukan transformasi budaya lewat pendidikan, pemberian teladan,
dan sebagainya, maka barulah perjuangan melawan korupsi dapat dilakukan di atas landasan
yang lebih benar.
Untuk menggalakkan transformasi budaya anti korupsi, kita dapat mencoba apa yang
pernah dilakukan RRC dengan menyesuaikan pada kondisi masyarakat kita. Pada Tahun
1951, di sana dilancarkan kampanye besar-besaran tiga anti, yaitu antikorupsi,
antipemborosan, dan anti sikap birokrasi yang kaku. Lalu disusul dengan gerakan masyarakat
yang melancarkan lima anti, diantaranya antisogok menyogok, antitipu daya menghindari
pembayaran pajak, antipenipuan, anti mencuri milik negara, dan antipembocoran rahasia
ekonomi.. Jelas pula, bahwa nilai-nilai budaya birokrasi-patrimonial telah amat ketinggalan
zaman, tidak lagi sesuai dengan kesadaran bangsa kita yang mendambakan birokrasi yang
bersih dan jujur, mengabdi pada kepentingan umum dan seluruh masyarakat.
Dalam masyarakat kita sekarang, sebenarnya kunci pemberantasan korupsi berada di
tangan pemerintah sendiri. Mereka tidak akan berhenti sendiri berbuat korupsi. Mereka harus
diberi motivasi baru, diberi teladan yang baik, dan di atas kepala mereka harus ada ancaman
hukuman yang berat jika mereka berbuat korupsi, serta masyarakat harus pula ikut membantu
dengan sikap budaya baru, tidak membenarkan korupsi dengan selalu menolak untuk terlibat
dalam penyogokan. Sikap kita terhadap korupsi harus tegak dan tuntas.

8. Analisis dan Srategi Penanggulangan Korupsi Lebih Lanjut

Dalam usaha pemberantasan korupsi yang mengganggu pembangunan nasional serta


mengembalikan wibawa pemerintah dengan menciptakan pemerintahan yang bersih telah
dilakukan segala upaya. Mulai dari tindakan Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono, S.H.
dengan kebijakannya menayangkan koruptor di televisi yang bertujuan untuk memberikan
sanksi moral, sehingga diharapkan akan timbul rasa jera, sampai pada upaya berbagai
pendekatan sistem seperti pendekatan sistem hukum, pendekatan sistem pengawasan
fungsional, sistem pengawasan struktural, dan pendekatan sistem pengawasan melekat.
Hukum pidana yang di tetapkan pemerintah mengenai pemberantasan tindak pidana
korupsi juga cukup lengkap dan tangguh. Mulai dari Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971
yang memberikan ancaman berupa pidana penjara maksimum seumur hidup bagi semua
kasus yang dikategorikan sebagai korupsi, baik yang kecil, sedang, maupun yang besar,
ditambah dan atau denda maksimum tiga puluh juta rupiah (pada saat harga emas satu gram
tiga ribu rupiah), sampai pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang sekarang
menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001. Tidak cukup sampai di situ saja, instruksi-instruksi
kepada pegawai untuk melaporkan percobaan korupsi serta keyakinan-keyakinan umum
berdasarkan etik bahwa korupsi harus ditolak. Namun kesemuanya itu dianggap sebagai
tongkat yang patah. Yang jauh lebih penting ialah pola tingkah laku di mana tidak terdapat
kejahatan dalam suatu lembaga, baik dari para pemegang kekuasaan yang bersangkutan
maupun dari umum yang belum terkena korupsi. Selain itu, sumpah penguatan yang
diucapkan sebelum memegang jabatan juga perlu diperhatikan secara khusus, ketika
dinyatakan dengan sumpah, atau dengan pernyataan yang menggantikan sumpah, bahwa
untuk memperoleh jabatan itu tidak diterima uang suap (lihat Undang-undang Dasar Belanda
pasal 97). Namun, jaminan terkuat supaya tidak terjadi korupsi terletak dalam struktur
hirarki dari organisasi-organisasi pemerintahan dan bisnis. Dengan demikian kekuasaan
alihan dapat lebih mudah dicegah dan dibendung.
Disamping semua itu, menurut saya, yang perlu ditekankan lagi adalah usaha untuk
menempuh tindakan institusional. Hal itu antara lain mencakup: (1) pembangunan dan
penyegaran etos pejabat dan pegawai baik pemerintah maupun swasta tentang pemisahan
yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik negara atau milik perusahaan; (2)
mewujudkan keadilan sosial dalam segala aspek kehidupan masyarakat; (3) menumbuhkan
pengertian dan kebudayaan politik bahwa kekuasaan dan wewenang itu harus terbuka untuk
kontrol, koreksi, dan peringatan sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung
disalahgunakan; (4) melaksanakan asas pembuktian terbalik, yaitu meminta keterangan resmi
kepada para pegawai negeri maupun karyawan swasta tentang pendapatannya selama sebulan
penuh secara rinci; (5) meningkatkan pengawasan melekat, fungsional, dan struktural melalui
inspektur jenderal di setiap departemen dan inspektur wilayah provinsi pada masing-masing
pemerintah daerah di seluruh Indonesia; dan (6) memperkeras sanksi hukuman terhadap para
pelanggar Undang-undang No. 31 tahun 1999, mengenai Pemberantasan Korupsi. Jika
dipandang perlu mengenakan sanksi pidana mati bagi yang menghilangkan, memakai, dan
memanfaatkan uang negara dalam batasan jumlah tertentu yang cukup besar nilai rupiahnya.
Lebih lanjut, selain upaya represif harus pula ditempuh sistem preventif dan
penyuluhan hukum kepada masyarakat tentang gejala dan bahaya korupsi, misalnya dengan
mendayagunakan lembaga keagamaan dan lembaga aliran kepercayaan untuk melakukan
khotbah dakwah atau ceramah agama dalam setiap kesempatan dengan menayangankan di
televisi, radio, maupun di media massa dalam wujud gambar dan tulisan.Political
will pemerintah juga menjadi syarat mutlak untuk suksesnya pemberantasan korupsi. Suatu
sisitem pemberantasan korupsi yang hanya bertumpu pada jalur represif, bukan saja tidak
akan mampu memberantas korupsi, bahkan untuk menahan lajunya korupsi pun tidak akan
berhasil.
Demikianlah tinjauan yang menyangkut strategi dalam menanggulangi perbuatan
korupsi, sebagaimana telah diuraikan. Barangkali uraian tersebut dapat berkenan untuk
dilaksanakan sehingga dapat bermanfaat bagi kesungguhan pemerintah dalam menuntaskan
pemberantasan korupsi di seluruh wilayah Indonesia. Sebab, bagaimanapun juga suatu
pemerintahan yang bersih merupakan modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang adil
dan makmur, guna memperkuat ketahanan nasional dalam berpacu mengejar perkembangan
ilmu, kebudayaan, dan teknologi pada masa kini maupun masa depan.

9. Kesimpulan
Berdasarkan paparan dan analisis di atas, dapat kita simpulkan bahwa korupsi telah ada sejak
dulu yaitu pada masa kerajaan dimana kekuasaan bertumpu pada birokrasi patrimonial. Kini
dalam perkembangan budaya yang semakin maju, para pelaku korupsi melakukannya dengan
lebih canggih. Hal ini sejalan dengan meningkatnya ilmu pengetahuan manusia menuju pada
perkembangan ilmu dan teknologi di berbagai kawasan dunia. Namun demikian, sebagai
warga negara Indonesia, tentunya kita berupaya untuk mengusahakan kemakmuran ekonomi
berdasarkan rasa keadilan sosial, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
1945, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Berdasarkan hasil yang dicapai selama ini,
koordinasi tugas aparatur negara dalam menanggulangi korupsi semakin erat dan baik. Akan
tetapi, dapat terungkap bahwa titik terlemah dalam kebijakan pemberantasan korupsi ternyata
berada dalam mekanisme di lembaga peradilan.
Untuk menuntaskan tindak pidana korupsi, langkah pertama yang harus kita lakukan
dalah tranformasi budaya, yaitu dengan mengidentifikasikan nilai-nilai budaya mana yang
harus kita buang dan nilai-nilai baru apa yang perlu kita kembangkan melalui pendidikan,
pemberian teladan, dan sebagainya. Selanjutnya, melalui upaya preventif seperti penyuluhan
hukum dan penyuluhan keagamaan serta melalui upaya represif diantaranya: pelaksanaan
asas pembuktian terbalik, memperkeras sanksi hukum, dan meningkatkan
pengawasan. Sukses tidaknya pemerintah dalam memberantas korupsi juga ditentukan
dari political will pemimpin negara yang harus menyatakan perang terhadap korupsi secara
konsisten. Jika semua itu dilakukan dengan benar maka negara kita pasti akan terbebas dari
korupsi.

Daftar Pustaka
Lubis, Mochtar & James C.Scott. 1988. Bunga Rampai Korupsi. Jakarta: LP3ES.
Lubis, Mochtar & James C.Scott. 1987. Mafia dan Korupsi Birokratis. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Gunawan, Ilham. 1993. Postur Korupsi di Indonesia. Bandung: Angkasa.
Syahatah, Husain Husain. 2005. Suap dan Korupsi dalam Perspektif Islam. Jakarta: Amzah.
Wiyono. 2005. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar
Grafika.
Hamzah, Andi. 2005. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
Suara Merdeka. 2013. Akil Mochtar, Sang Pembuat Buku Korupsi Malah Korupsi. Suara Merdeka. 4
Oktober.

Diposkan oleh Mahasiswa Teknodik di 08.35


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:


Poskan Komentar
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)


Arsip Blog

2014 (4)
2013 (137)
o Desember (137)
Ekonomi Pembangunan Terhadap Pengangguran di Indon...
MASYARAKAT CERDAS WASPADA TERHADAP FORMALIN
MASYARAKAT CERDAS WASPADA TERHADAP FORMALIN
MASYARAKAT CERDAS WASPADA TERHADAP FORMALIN
Bahaya Kerokan Bagi Kesehatan
Bahaya Kerokan Bagi Kesehatan
DAMPAK GLOBALISASI INFORMASI TERHADAP KEHIDUPAN SO...
Budaya Menyontek dalam Pendidikan
PENCEMARAN LINGKUNGAN
PENCEMARAN LINGKUNGAN
PENCEMARAN LINGKUNGAN
PENCEMARAN LINGKUNGAN
PENCEMARAN LINGKUNGAN
PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Pengaruh Game Online Terhadap Prestasi Belajar Sis...
Seks Bebas Rusak Moral Remaja Generasi Penerus Ban...
Seks Bebas Rusak Moral Remaja Generasi Penerus Ban...
Jeratan Penyalahgunaan Narkoba dalam Kehidupan Rem...
Perkembangan Kurikulum dan Permasalahannya
Dampak Penyalahgunaan Teknologi Komunikasi Ponsel ...
Pornografidan Bahaya Pornografi bagi Kehidupan Ole...
Pengaruh Teknologi terhadap Gaya Hidup Manusia, Du...
Menelisik Pengaruh Penggunaan Aplikasi Gadget Terh...
Teknologi,smartphone,dan Android
Peran Pendidik dalam Mencegah Tawuran Antar Pelaja...
Kenakalan Remaja dan Cara Penanggulanganya
Budaya, Globalisasi dan Kaitannya Dengan Masyaraka...
Kenakalan Remaja dan Cara Penanggulanganya
BAHAYA NARKOBA DIKALANGAN REMAJA
BAHAYA NARKOBA DIKALANGAN REMAJA
Budaya Menyontek dalam Pendidikan
Budaya Menyontek dalam Pendidikan
Pengaruh Jejaring Sosial Terhadap Kelakuan Seseor...
Bahaya Narkoba dan Cara Menanggulanginya
Pengaruh Jejaring Sosial Terhadap Kelakuan Seseor...
Bahaya Narkoba dan Cara Menanggulanginya
Bahaya Narkoba dan Cara Menanggulanginya
Bahaya Narkoba dan Cara Menanggulanginya
Pengaruh Jejaring Sosial Terhadap Kelakuan Seseor...
BAHAYA MEROKOK BAGI KESEHATAN
Rusaknya Jiwa Generasi Muda Bangsa Karena Penyalah...
Rusaknya Jiwa Generasi Muda Bangsa Karena Penyalah...
Rusaknya Jiwa Generasi Muda Bangsa Karena Penyalah...
Bahaya Merokok Bagi Remaja
Perubahan Kebudayaan Indonesia Karena Globalisasi
Bahaya Boraks Bagi Kesehatan Manusia
Perlindungan Hutan Dari Kebakaran Di Indonesia
Perlindungan Hutan Dari Kebakaran Di Indonesia
Perlindungan Hutan Dari Kebakaran Di Indonesia
Perubahan Kebudayaan Indonesia Karena Globalisasi
MELESTARIKAN BUDAYA
Pentingnya Pendidikan Seks oleh Orang Tua Berdasar...
Pentingnya Pendidikan Seks oleh Orang Tua Berdasar...
MENEMUKAN NILAI-NILAI KARAKTER DALAM INTERAKSI SOS...
Kenakalan Remaja
MENEMUKAN NILAI-NILAI KARAKTER DALAM INTERAKSI SOS...
Luntur Bahasa Daerah dan Nasional
KACAUNYA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Menurunnya Kreativitas Pada Anak
Pencemaran Lingkungan
Pendidikan Seks Terhadap Anak
Peran Pendidikan untuk Menyelamatkan Anak dari Ke...
Pramuka Dalam Pendidikan Karakter
Pengaruh Jejaring Sosial pada Anak Usia Sekolah
Dampak Game Terhadap Perkembangan Anak
MENCERMATI PERUBAHAN DAN PELAKSANAAN KURIKULUM 201...
PENGENALAN FILSAFAT DI KALANGAN UMUM
PENGARUH GAMES TERHADAP WAKTU BELAJAR ANAK
Kenakalan Remaja, Faktor, dan Penanggulangannya
Pentingnya Meningkatkan Motivasi Belajar pada Anak...
Mobil Murah dan Transportasi Publik
Kejahatan terhadap tubuh dan nyawa manusia
Postur korupsi di Indonesia
Perdagangan Perempuan dalam jaringan pengedaran na...
Pornografi di Kalangan Remaja
Seks Bebas
Pencemaran Sungai
Gadget, Penggunaan dan Dampak pada Anak-Anak
Dampak yang Terjadi Akibat Merokok Bagi Para Remaj...
MASYARAKAT CERDAS WASPADA TERHADAP FORMALIN
MASYARAKAT CERDAS WASPADA TERHADAP FORMALIN
MASYARAKAT CERDAS WASPADA TERHADAP FORMALIN
DAMPAK GLOBALISASI INFORMASI DAN KOMUNIKASI TERHAD...
MASYARAKAT CERDAS WASPADA TERHADAP FORMALIN
Bahaya Junk Food
Dampak Penyalahgunaan Teknologi Komunikasi Ponsel ...
Pendidikan dalam Perspektif Pesantren
HOMESCHOOLING SEBAGAI ALTERNATIF PEMBELAJARAN
Pengaruh Jejaring Sosial Terhadap Kelakuan Seseor...
Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Indonesia, Masyarakat dan Warisan Budayanya
BAHAYA PENYALAHGUNAAN NARKOBA
Pergaulan Bebas Pada Remaja di Era Globalisasi
Arah Keadilan Peradilan Hukum Terhadap Tindak Pida...
Pengadaan Pendidikan Karakter di Sekolah
Pengadaan Pendidikan Karakter di Sekolah
Pengadaan Pendidikan Karakter di Sekolah
Pengadaan Pendidikan Karakter di Sekolah
Pengadaan Pendidikan Karakter di Sekolah
Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan Hidup
Mengenai Saya

Mahasiswa Teknodik
Lihat profil lengkapku

Tema Sederhana. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai