Eco-Feminism Ekologi and Feminisme
Eco-Feminism Ekologi and Feminisme
NIM : 01120028
I. PENDAHULUAN
Manusia berhubungan tidak hanya dengan manusia lain tetapi juga dengan realita
non-manusia, binatang, tumbuhan, alam. Pembebasan manusia tidak akan berhasil tanpa
pembebasan dunia bukan manusia. Memperkuat hubungan manusia satu sama lain dan
manusia dengan dunia bukan manusia merupakan jalan keluar dari kehancuran hidup.
Apa yang kita pikirkan ketika mendengar kata alam? Apakah hanya sebuah pelengkap
hidup manusia? Apa yang kita lihat dari alam kita saat ini, sebuah kondisi yang
memprihatinkan, hewan dan tumbuhan mengalami kepunahan, bumi sudah dapat
diperkirakan kehancurannya, setiap harinya manusia merusak dan menghancurkan bumi
sedikit demi sedikit. Jika kita membahas mengenai alam, maka kita tidak dapat terlepas dari
bahasan ekologi, yang merupakan salah satu ilmu yang menitik beratkan pada alam. Ekologi
dalam bahasa Yunani oikos yang berarti rumah, jika dilihat dari asal katanya merupakan kata
yang bersifat universal bagi seluruh yang ada di dalamnya. Akan tetapi untuk kebanyakan
orang kata tersebut seringkali dipersempit menjadi sesuatu yang berhubungan hanya tentang
rumah tangga dan segala sesuatu yang bertalian dengan rumah tangga. Ekologi seharusnya
dihubungkan dengan makna di antara semua bentuk kehidupan, bersamanya umat manusia
mendiami rumah yang kita sebut mother earth yang satu dan yang sama.
II. EKO-FEMINISME
Istilah eko-feminis pertama kali digunakan sekitar tahun 1970an. Gerakan ini
menggabungkan ideologi ekologis dan gerakan feminis. Walaupun ada perbedaan diantara
kelompok-kelompok eko-feminis, namun ada kesamaan umum diantara mereka : titik tolak
pada relasi antar mahkluk / ciptaan; penolakan akan pemikiran bahwa alam adalah objek
untuk didominasi; dukungan bagi hubungan demokratis antara pria, perempuan, negara, etnis,
kelas sosial dan budaya; penggunaan pengetahuan untuk lebih mengerti dan memahami akan
ciptaan.1
Salah satu pencetus gerakan eko-feminis adalah Rosemary Radford Ruether. Ruether
membuat kesinambungan anatara ekologi, feminisme dan agama. Ia disebut sebagai ... visi
kenabian untuk membentuk dunia baru diatas bumi, seseorang yang tidak didefinisikan oleh
dominasi.2 Selama beberapa dekade terakhir, Ruether dan teolog lainnya mengidentifikasi
dominasi patriakal dalam kekristenan atas perempuan dan membandingkannya dengan
dominasi atas alam. Para theolog mendekati spiritualitas eko-feminis dengan berbagai macam
cara: dari sisi historis kekristenan memandang perempuan dan alam; dengan menyertakan
masalah ekologi dalam dialog teologis.3
Eko-feminisme melihat bumi yang menjadi rumah bagi beragam ciptaan sebagai
sesuatu yang terancam bahaya. Banyak theolog mengaitkan hal ini dengan struktur sosial
dominasi yang melakukan eksploitasi terhadap perempuan, dimana melalui dominasi dan
eksploitasi perempuan, eksploitasi pada alam juga dimungkinkan / terjadi. Ruether secara
khusus melihat bentuk-bentuk dominasi atas perempuan sebagai sesuatu yang tidak dapat
terpisahkan dari degradasi ekologis.
1
Ruether, Rosemary Radford. New Woman, New Earth: Sexist Ideologies and Human Liberation. Boston:
Beacon Press, 1995, p. 123
2
Ruether, Rosemary Radford. Womanguides: Readings Toward a Feminist Theology. Boston, Massachusetts:
Beacon Press, 1985, p. 20
3
Ruether, Rosemary Radford. Womanguides: Readings Toward a Feminist Theology. Boston, Massachusetts:
Beacon Press, 1985, p. 74
4
Ruether, Rosemary Radford. New Woman, New Earth: Sexist Ideologies and Human Liberation. Boston:
Beacon Press, 1995, p. 186-187
yang duniawi, selain melakukan pemisahan dengan adanya kedua pandangan ini,
menunjukkan superioritas hal spiritual atas hal-hal duniawi.5 Kemudian pemisahan ini
berujung pada lahirnya sebuah dikotomi dari pemikiran dualistik ini. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan hal spiritual disamakan atau dipandang dengan karakteristik maskulin,
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan duniawi di-asosiasikan dengan feminin. Sejak
hal spiritual lebih superior daripada hal duniawi / kedagingan, superioritas pria atas
perempuan menjadi sah /dilegitimasi.6
Tradisi kekristenan memegang paham dualisme hirarkial ini, dimana pria dinamakan
sebagai tuan yang dominan.7 Kekristenan membayangkan kehidupan manusia dan dunia ini
sebagai Pyramid satu arah, atas-bawah, dimana pria berada di posisi puncak, perempuan di
bawah nya, kemudian dunia dan segala alam ciptaan ada di bawah mereka. Pemikiran
dualistik ini menjadi pola kehidupan bagi keluarga, perusahaan, sekolah, dan bahkan
ekklesiologi. Hirarkial dualistik ini dirasionalisasikan untuk mengatur mereka yang tidak
memiliki hak.
5
Hyun-Chul Cho, Interconnectedness And Intrinsic Value As Ecological Principles: An Appropriation Of Karl
Rahners Evolutionary Christology, Theological Studies, 2009, p. 623
6
Johnson, Elizabeth A. Women, Earth, and Creator Spirit. Mahwah, New Jersey: Paulist Press, 1993, p. 11-12
7
Ruether, Rosemary Radford. Womanguides: Readings Toward a Feminist Theology. Boston, Massachusetts:
Beacon Press, 1985, p. 62
8
Ibid, p. 38
sebagai laki-laki.9 Sekarang alam dikuasai dengan tangan maskulin. Agustinus dan bapa-bapa
gereja mengadopsi pemikiran biologi Aristoteles untuk mendukung superioritas patriaki atas
perempuan, sebuah biologi yang menyatakan bahwa manusia laki-laki sendiri lah yang
menyediakan atau memberikan semua bentuk gen pada anaknya. Tubuh wanita tak
ubahnya hanyalah sebuah bahtera pembentuk keturunan para pria tersebut. Jika seorang anak
perempuan lahir, hal ini dilihat sebagai suatu hasil dari kegagalan dalam masa pembentukan
sang bayi. Melalui perspektif ini, Aquinas menyimpulkan bahwa dalam rangka Kristus
menjadi manusia seutuhnya, Yesus harus menjadi seorang manusia.10 Walaupun gereja Roma
menerima kenyataan bahwa biologi Aristoteles tidak dapat dipertanggungjawabkan/ tidak
tepat, bias androsentris melawan perempuan dipegang sebagai seusatu yang normatif selama
berabad-abad: hingga saat ini, sebagai peraturan dalam pemilihan imam yang masih terbatas
bagi pria saja (tradisi gereja Katolik).
Seperti perempuan yang berada di bawah kontrol laki-laki dalam hirarki dualistik,
maka begitu pula bumi. Ruether menyatakan bahwa akar permasalahan dominasi atas alam
dapat ditemukan dalam me-misi-kan semangat kekristenan. Yesus memberikan misi dalam
injil Matius untuk pergi dan membuat seluruh bangsa sebagai murid-Nya mengandung
doktrin terra nullius. Dengan otoritas doktrin ini, tanah milik orang-orang non-Kristen layak
untuk di invasi oleh tentara Kristen dengan maksud untuk melakukan Kristenisasi hal ini
dilegitimasi oleh dekrit papal.11 Tindakan kekerasan dan genosida ini adalah sebuah contoh
dominasi/subordinasi iman oleh manusia (dalam kasus ini, secara spesifik, orang-orang
Kristen) untuk mengontrol bumi.
9
Ruether, Rosemary Radford. New Woman, New Earth: Sexist Ideologies and Human Liberation. Boston:
Beacon Press, 1995, p. 13-14
10
Ruether, Rosemary Radford. "The Liberation of Christology from Patriarchy." Religion and Intellectual Life,
Spring 1985, p. 119
11
Ruether, Rosemary Radford. Integrating Ecofeminism, Globalization, and World Religions . Maryland:
Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2005, p. 77
mengadakan doktrin ketimpangan dalam ciptaan. Bahkan manusia terbagi menjadi
kelompok-kelompok : human, more human, most human.12
12
Chittister, Joan. Called to Question: A Spiritual Memoir. Lanham, Maryland: Sheed & Ward, 2004, p. 182
13
Ruether, Rosemary Radford. Gaia and God: An Ecofeminist Theology of Earth Healing. New York, New
York: HarperCollins Publishers, 1992, p. 207
14
Ibid, p. 208
15
Ruether, Rosemary Radford. New Woman, New Earth: Sexist Ideologies and Human Liberation. Boston:
Beacon Press, 1995, p. 188-190
16
Imamat 18 : 28
17
Ruether, Rosemary Radford. Gaia and God: An Ecofeminist Theology of Earth Healing. New York, New
York: HarperCollins Publishers, 1992, p. 211-213
Hari ini, eko-feminisme adalah sebuah ideologi yang memiliki dua sisi yang
menunjukkan bagaimana dominasi atas bumi dan dominasi atas perempuan saling berkaitan.
Ruether, secara khusus menekankan pada pemaknaan ulang atas kelahiran: sebuah gerakan
jauh dari kepercayaan yang diformulasikan oleh agama dalam masa pra-pembuangan bahw
semua mahkluk ter-emanasi melalui dewi perempuan, seorang ibu, kepada penerimaan akan
Allah Yahudi yang maskulin sebagai yang penting, dengan perempuan yang dipandang
sebagai suatu mahkluk nomor dua, pembantu laki-laki.18 Kisah penciptaan dalam pasal kedua
dalam Kejadian, memasangkan laki-laki dan perempuan sebagai wakil Allah di bumi.
Ruether berpendapat bahwa inilah sebuah pandangan yang adil, tanpa hirarki diantara
manusia. Ia mengutip Trible. Dimana Trible mengatakan bahwa penggunaan bahasa pada
pasal kedua pada kitab Kejadiantidak memiliki indikasi subordinasi akan hawa. Ia adalah
rekan, bagi manusia laki-laki, bukan bagi hewan maupun tumbuhan. Ruether mengklaim
bahwa tulisan rabinis kemudian dan juga tafsiran Kristen yang berkembang selanjutnya yang
mengembangkan kebencian dan diskriminasi atas perempuan, bukanlah teks-teks suci
Yahudi. Ia menganggap bahwa tujuan dari kontekstualisasi dari cerita yang ada di kemudian
hari adalah untuk membuktikan bahwa subordinasi atas wanita adalah wajar dan natural.19
18
Ruether, Rosemary Radford. "The Liberation of Christology from Patriarchy." Religion and Intellectual Life,
Spring 1985, p. 62-63
19
Ruether, Rosemary Radford. "The Liberation of Christology from Patriarchy." Religion and Intellectual Life,
Spring 1985, p 62-64
20
Adams, Carol J., Ecofeminism and the Sacred, 1992, hal. 21
Kemudian seperti sebuah pengintegrasian kembali dari kesadaran manusia dan alam
harus membentuk kembali konsep tentang Allah. Allah dalam spiritualitas ekofeminis, adalah
sumber kehadiran dari kehidupan yang menopang komunitas dalam planet ini. Allah
bukanlah laki-laki ataupun antropomorphis. Allah dapat dimaknai/digambarkan hadir dalam
setiap variasi dari alam, tumbuhan-tumbuhan, dan hewan-hewan dalam setiap generasinya.
Hal ini menunjukkan bagaimana kehadiran-Nya sebagai penopang dalam kehidupan yang
saling bergantung antara yang satu dengan yang lain. Untuk itulah maka dalam ekofeminis
segala macam diskriminasi/dominasi harus dihindarkan/dihilangkan. Hal tersebut dapat
dilihat dari dunia perjanjian lama, dimana banyak pernyataan diri Allah yang diwujudkan
didalam/melalui alam. Sebagai contoh dalam bencana kekeringan, badai yang menunjukkan
kemurkaan Allah atas kejahatan manusia. Namun Allah pun juga memanggil manusia (Israel)
untuk beriman serta patuh terhadap-Nya. Ketika Israel sudah menunjukkan ketaatannya maka
Allah melalui alam ini pun juga akan menjadi ramah serta subur dan memberi keuntungan
atau berkat yang lebih besar dari kehancuran kepada manusia (Israel).21
Menurut Ruether perbincangan mengenai ekofeminis ini juga harus diawali dengan
kesadaran akan kesetaraan gender. Kesadaran ini pula yang seharusnya diaplikasikan dalam
konteks atau cara manusia melihat alam. Untuk itu maka dalam kehidupan sehari-hari maka
pengertian ini harus diperkenalkan secara terus-menerus pada setiap generasi bahwa kita
perlu untuk membentuk kembali relasi antara yang satu dengan yang lain, dengan cara
menemukan suatu ikatan yang baru dari relasi yang lebih mendukung kehidupan dari pada
eksploitasi dan penghancuran kehidupan.22 Terutama pada generasi awal, jika doktrin /
paham bahwa alam adalah saudara yang setara dengan manusia, maka secara moral seseorang
akan memiliki pertimbangan etis ketika mengambil keputusan dalam hal kecil sekalipun.
a. Pemahaman dualisme yang melihat alam sebagai sesuatu yang terpisah dari manusia.
21
Adams, Carol J., Ecofeminism and the Sacred, 1992, hal. 21
22
Ibid.,hal. 22
b. Pemahaman instrumentalisme sebagai dampak dari paham dualisme yang melihat
alam adalah sesuatu yang diperuntukkan bagi manusia.23
Dalam artikelnya Hyun-Chul Cho melihat bahwa akar masalah yang ada bukanlah
masalah praktis, atau hanya pada keraknya saja, yaitu pada ranah perbaikan lingkungan,
perbaikan ekosistem, namun ia lebih melihat pada hal yang lebih fundamental yaitu moral
manusia, bagaimana cara manusia memandang alam itu sendiri, bagaimana relasi yang
dibangun manusia dengan alam yang telah diciptakan Allah ini. Namun moral ini dipengaruhi
oleh pemikiran antroposentris yang menurut Hyun-Chul Cho merusak tatanan, relasi antara
manusia dan alam. Antroposentris dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan Descartes yang
memisahkan antara manusia dan dunia (alam), dalam pemikiran dualis ini, manusia tidak
terintegrasi dengan alam dan terpisah dari alam, sedangkan paham antroposentris melihat
bahwa manusia adalah sebagai pusat alam semesta, menguasai alam semesta, sebagai klausa
final, yang superior, dll. Pemikiran dualistik yang memisahkan antara manusia dan alam
menimbulkan posisi manusia yang diatas, dimana ada rasa primordial, superior atas alam,
alam semesta dianggap sebagai yang pasif, tidak dapat berkarya, hanya siap untuk dibentuk
oleh manusia. Mekanisme dualistik ini yang kemudian mendorong manusia untuk dapat
menguasai, mengontrol, memerintah atas alam untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan
manusia, bahkan melakukan eksploitasi sebesar-besarnya. Kedua hal ini yang menjadi
concern atau dasar pemikiran Hyun-Chul Cho untuk memperbaiki sistem pemikiran yang
sudah melekat di manusia, Hyun-Chul Cho menawarkan alternatif pemikiran bahwa manusia
dan alam adalah berkaitan, satu dan saling terintegrasi, tidak dapat dipisahkan.
Hyun-Chul Cho melihat bahwa teologi memiliki andil besar untuk merubah pola
pikir, moral manusia yang kurang tepat dan sesuai dengan cita-cita awalnya. Hyun-Chul Cho
membuka pola pandang kita dengan mempertentangkan pemikiran Rene Descartes dengan
pemikiran Charles Darwin mengenai teori evolusinya, pemikiran Descartes mengenai
pemisahan 2 unsur yang berbeda, bahwa manusia terpisah dari alam dihadapkan dengan teori
Darwin yang menganggap manusia yang berevolusi sangat dipengaruhi oleh alam /
lingkungan sekitar, oleh berbagai macam faktor alam, bahkan manusia atau bahkan semua
yang ada di alam tidak dapat berevolusi seperti yang ada saat ini jika satu dengan yang
lainnya tidak saling bersinggungan atau memiliki relasi. Tidak hanya sebuah relasi yang
23
Lihat Cho, Hyun-Chul. Interconnectedness And Intrinsic Value As Ecological Principles: An Appropriation
Of Karl Rahner's Evolutionary Christology. p. 2.
statis, dan sementara, namun sebuah relasi dinamis dan terus berkelanjutan, bahkan menurut
Darwin, alam tidak pasif hanya dikontrol oleh manusia, namun alam juga reaktif atas
tindakan manusia. Teori Darwin mengatakan sekitar 15 miliar tahun yang lalu, ketika dunia
ini terbentuk, semua komponen dalam alam semesta ikut terbentuk, bahkan karakteristik dari
manusia yang unik seperti kesadaran diri dan kehendak bebas ikut tercipta pada saat itu.
Dengan demikian, secara logika hal ini mau mengatakan bahwa semua ciptaan yang ada di
dunia ini, saling berhubungan dan jika memang benar semua berhubungan, maka mereka juga
pastinya akan saling bergantung, saling membutuhkan dan melengkapi. Jika salah satunya
tidak stabil, maka hal ini juga akan berpengaruh pada kestabilan yang lain.
Melihat hal ini, kita bisa melihat bahwa tindakan manusia untuk menghabiskan,
memanipulasi atau juga menghancurkan alam, sebenarnya tidak berguna. Karena yang akan
hancur pada akhirnya adalah manusia itu sendiri. Namun dalam hal ini penulis kurang setuju
dengan Cho yang memandang pada akhirnya bahwa manusia menjadi pihak yang dirugikan
oleh adanya kerusakan ekologis, jika demikian, kita masih terikat pada paham antroposentris,
dimana kita hanya berjuang demi ego kita semata, tanpa memandang hal yang hakiki adalah
keberlangsungan ekosistem.
Menurut hemat penulis, kedua bentuk ini dapat menjadi suatu gerakan yang sangat
kontekstual bagi Indonesia. Indonesia yang dikaruniai dengan salah satu hutan tropis yang
paling luas dan paling kaya akan keanekaragaman hayatinya di dunia. Puluhan juta
masyarakat Indonesia mengandalkan hidup dan mata pencahariannya dari hutan, baik dari
mengumpulkan berbagai jenis hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka atau
bekerja pada sektor industri pengolahan kayu. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan
fauna yang kelimpahannya tidak tertandingi oleh negara lain dengan ukuran luas yang sama.
24
Banawiratma, Johannes Baptista. Kuliah Teologi Abad 20 semester ganjil 2015
Bahkan sampai sekarang hampir setiap ekspedisi ilmiah yang dilakukan di hutan tropis
Indonesia selalu menghasilkan penemuan spesies baru.
Kondisi memprihatinkan akan kondisi hutan Indonesia sebagai salah satu ekosistem
raksasa dalam ekosistem Indonesia merupakan alasan mendasar mengapa Indonesia
25
Lih. Forest Watch Indonesia, Keadaan Hutan di Indonesia, p. 1-3 diakses dari http://fwi.or.id/wp-
content/uploads/2011/07/phki-2001-fwi-low-res.pdf Pada 24-Mei-2015 pukul 16:03
membutuhkan gerakan eko-feminisme. Penulis belum menemukan seorang tokoh feminis
Indonesia yang meng-khususkan diri pada gerakan eko-feminisme. Penulis mencoba melihat
kaitan dominasi atas ekosistem hutan dan perempuan di Indonesia.
26
Data UNESCO tahun 2010
27
Lih. http://www.bi.go.id/seki/tabel/TABEL5_30.pdf
Kasus-kasus yang terjadi diatas hanyalah sebagian kecil dari permasalahan
lingkungan di Indonesia, serta permasalahan kecil perempuan dalam posisinya sebagai warga
negara dan juga sebagai dirinya yang hakiki. Dapat kita lihat persamaan dominasi yang
terjadi pada alam dan perempuan, kedua aspek kehidupan kita ini tidak dilihat selutuhnya
sebagai rekan, sebagai pasangan dalam kehidupan, namun hanya dipandang sebagai objek
pemenuhan diri yang bersifat egoistis dan maskulin. Bagaimana menghadapi permasalahan
eko-feminisme ini? Penulis mencoba mendekati permasalahan ini dalam lingkup teologi,
dimana menurut hemat penulis, hal inilah yang menjadi tekanan dasar yang dapat merubah
pola pikir masyarakat, terutama masyarakat Indonesia yang dipandang religiosentris.
Berry setuju dengan pernyataan White dan ia menyarankan untuk memberikan sebuah
pola pandang agama yang baru dengan perspektif ekologi. Lebih dalam lagi, Berry
menekankan bahwa spiritualitas dan keintiman dengan Allah dapat melawan pandangan yang
mendominasi. Berry menyatakan untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran, yang sangat
28
Nash, James. Loving Nature: Ecological Integrity and Christian Responsibility. Nashville: Abingdon Press,
1991, p. 69-71
29
Ruether, Rosemary Radford. Integrating Ecofeminism, Globalization, and World Religions. Maryland:
Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2005, p. 45
perlu kita lakukan adalah memperbaharui seluruh tradisi religi-spiritual barat dalam relasinya
terhadap fungsi biosistem bumi.30
Sedangkan Dreyer menyatakan bahwa manusia perlu melihat diri mereka sebagai satu
kesatuan dengan seluruh ciptaan Allah pria, perempuan, flora, fauna - sebagai imago Dei
(gambar Allah) yang saling berbagi bumi yang satu dan sama. Kemanusiaan memiliki
kekuatan untuk menghancurkan seluruh planet bumi, tidak hanya melalui senjata nuklir, tapi
juga melalui pengabaian akan hal-hal ekologis. Sungai yang terpolusi, lapisan ozon yang
menipis, punahnya spesies, pemanasan global, kehancuran hutan, dan emisi dari bahan bakar
fosil adalah beberapa cara manusia melakukan kontaminasi terhadap bumi, cepat atau lambat
membuat bumi tidak lagi dapat dihuni bagi seluruh kehidupan. Dreyer mengatakan sebuah
teologi penciptaan yang diperbaharui akan merefleksikan masalah yang ada dan berfungsi
sebagai katalis bagi... tindakan ekologis yang bertanggungjawab.31
Ruether membayangkan sebuah good society dimana hubungan dan sistem organik
di truktur ulang berdasar prinsip kesederajatan. Ia menyebut ini sebagai mutualitas biophili.
Restrukturisasi meyakinkan bahwa tidak ada eksploitasi antar anggota komunitas biotik: baik
30
Berry, Thomas. "The Dream of the Earth." In Christianity and Ecology: Seeking the Well-Being of Earth and
Humans, edited by Dieter T. Hessel and Rosemary Radford Ruether, 127-134. Cambridge, Massachusetts:
Harvard University Press, 2000, p. 128
31
Dreyer, Elizabeth A. Earth Crammed With Heaven: A Spirituality of Everyday Life. Mahwah, New Jersey:
Paulist Press, 1994, p. 62
32
Johnson, Elizabeth A. Women, Earth, and Creator Spirit. Mahwah, New Jersey: Paulist Press, 1993, p. 23-24
33
Ibid, p. 30
dari generasi saat ini dan juga generasi selanjutnya.34 Untuk merealisasikannya, Ruether
meminta perubahan dari kesadaran manusia mengenai bumi, dan segala ciptaan lainnya dari
sebuah budaya ekologis dimana intelektual digunakan untuk memahami lebih baik jaring
kehidupan dan bagaimana menjaga hal tersebut. Menurut Ruether, intelegensi adalah sebuah
hak. Bagaimanapun juga hal ini tidak digunakan untuk mendominasi atau meng-alienasi
tanpa menitik beratkan pad bantuan bagi bentuk kehidupan lainnya.35 Kecerdasan manusia
perlu digunakan untuk mengubah paham yang selama ini diciptakan oleh bentukan sosial
yang mendominasi di seluruh bumi untuk mengubah kecerdasan kedalam sebuah alat yang
akan membawa keseimbangan bagi komunitas ekologis.
34
Ruether, Rosemary Radford. Gaia and God: An Ecofeminist Theology of Earth Healing. New York, New
York: HarperCollins Publishers, 1992, p 258-274
35
Ruether, Rosemary Radford. Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology. Boston, Massachusetts:
Beacon Press, 1983, p. 87-91
Daftar Pustaka