Anda di halaman 1dari 16

Pengaruh Gender Terhadap Konsep Wahyu dan Tafsir*

Henri Shalahuddin, MIRKH


(Peneliti INSISTS dan Litbang MIUMI bidang Gender, Mahasiswa S3 di Universiti Malaya)

1. Pengantar
Membincang gender sejatinya membincang tentang cara pandang dan interaksi sebuah
bangsa terhadap budaya lain. Paham kesetaraan gender muncul dan berkembang dari Barat
dan pastinya juga tidak netral nilai-nilai lokal paham itu berasal. Bisa jadi di antara muatan
nilai-nilai paham feminisme dan kesetaraan gender Barat itu ada yang sejalan dengan
pandangan hidup bangsa Indonesia, namun juga tidak mustahil sebaliknya. Oleh karena itu,
sebagai bangsa yang besar dan bermartabat, sikap kritis saat berinteraksi dengan budaya
bangsa lain sangat diapresiasi, sehingga tidak terperosok kedalam ekstrimisme, baik terlalu
apriori maupun terlalu permisif. Terlebih lagi sebagai umat Islam yang mempunyai cara
pandang tersendiri berasaskan wahyu yang permanen.
Ideologi feminisme yang kemudian dikejawantahkan kedalam paham kesetaraan gender
(gender equality) belakangan ini menjadi tren baru masyarakat modern. Di hampir seluruh
belahan dunia, gender telah menjadi keniscayaan global dan secara perlahan merambah
kedalam semua lini kehidupan. Bahkan menjadi tolak ukur maju tidaknya pembangunan di
sebuah negara, yaitu dengan menggunakan ukuran HDI (Human Development Indeks), GDI
(Gender-related Development Index), GEM (Gender Empowerment Measurament), dll.
Di Indonesia, konsep kesetaraan gender tiba-tiba menjadi isu yang paling
kontroversial setelah DPR mengusulkan Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan
Gender (RUU KKG). Bahkan sebelumnya, konsep gender yang disosialisasikan melalui program
pengarusutamaan gender (gender mainstreaming/al-tarkiz ala l-musawat bayna l-jinsayni),
telah merambah masuk kedalam berbagai matakuliah studi Islam di universitas-universitas
Islam, baik negeri maupun swasta sejak tahun 1990an. Sehingga terjadilah pergesaran
pendekatan studi Islam dari berbasis wahyu menuju gender.
Artikel ini berusaha menelusuri pengaruh gender terhadap konsep wahyu dan tafsir,
dengan mengetengahkan beberapa contoh dari kajian akademik di lingkungan pendidikan
tinggi Islam. Namun sebelumnya penulis akan memaparkan sekilas tentang pengertian
feminisme dan gender.

2. Feminisme dan Gender: Definisi yang Tidak Pasti


Feminisme bermula dari pergerakan sekelompok aktivis perempuan Barat yang lambat
laun mendapat sambutan banyak pihak. Melalui berbagai usaha yang intensif, feminisme
akhirnya menjadi ideologi mainstream yang mengakar dalam masyarakat.
Istilah feminisme mempunyai definisi beragam, di antaranya sebagai berikut:
1) Menurut Elinor Burkett, feminisme adalah suatu aktivitas terorganisir yang
mengatasnamakan kepentingan dan hak perempuan. Keyakinan terhadap kesetaraan
dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik ini membuat paham feminisme Barat
dimanifestasikan di seluruh dunia dan diwakili oleh berbagai institusi yang berkomitmen
untuk aktivitas atas nama hak dan kepentingan perempuan.1
2) Cara melihat dunia dari perspektif perempuan. Feminisme memusatkan perhatiannya
kepada konsep patriarki yang dimaknai sebagai sistem kekuasaan laki-laki yang menindas
perempuan melalui lembaga-lembaga sosial, politik dan ekonomi.2 Maka tidak
mengherankan ketika aktivis Prancis, Nelly Roussel, mengasumsikan bahwa semua

*
Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari tentang Tafsir dan Gender di Universitas Islam Darussalam
Kampus Pesantren Gontor Putri di Mantingan pada Jumat, 23 Nopember 2012
1
Burkett, Elinor, Feminism, dalam Encyclopaedia Britannica 2007 Ultimate Reference Suite, Version 2007
2
Osborne, Susan, 2001, Feminism, Pocket Essentials, Herts, Great Britain, hal. 8

1
perempuan memiliki pengalaman yang sama di bawah sistem patriarkis. Pada
tahun 1904, beliau menyerukan bahwa tidak ada lagi kelas istimewa atau
Feminisme berawal penguasa kelas di antara kaum wanita.3
dari pernyataan 3) Sebagian kalangan feminis mengartikan bahwa feminisme merupakan
perjuangan melawan seksisme sebagai sebuah paradigma penindasan.
seorang perempuan Sebagian lainnya mengartikan sebagai komitmen untuk mengakhiri supremasi
tentang kekuatannya. kulit putih, dominasi laki-laki dan eksploitasi ekonomi. Sementara itu ada pula
Di mana pada yang memaknai bahwa feminisme adalah penciptaan sikap untuk merangkul
awalnya ia bukanlah kebersamaan, yang meliputi perjuangan melawan apa yang disebut "trinitas",
yakni seksisme, rasisme dan kelas. Namun ada pengamat yang mengartikan
sesuatu teori bahwa feminisme berawal dari pernyataan seorang perempuan tentang
melainkan tindak kekuatannya. Di mana pada awalnya ia bukanlah sesuatu teori melainkan
personal itu sendiri tindak personal itu sendiri.4

Dari keberagaman definisi di atas, sejatinya tidak mudah untuk


menyimpulkan feminisme sebagai suatu pemahaman dan teori yang
komprehensif (jmi-mni). Karena feminisme merupakan paham yang sangat relatif, beragam
dan masing-masing perempuan mempunyai definisi berbeda sesuai dengan pengalaman dan
tindak personalnya sendiri. Namun, makna yang paling mendasar dari paham ini adalah
keyakinan bahwa perempuan benar-benar bagian dari manusia, dan bukan spesies yang
terpisah. Definisi ini seringkali dijadikan slogan dan diabadikan dalam bentuk tulisan di T-shirt:
Feminisme adalah proposisi radikal bahwa perempuan adalah manusia (Feminism is the
radical proposition that women are human being). 5
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa feminisme sebenarnya adalah ideologi yang
dilandasi dengan protes dan ketidakpuasan kaum feminis atas eksistensi sosial kaum
perempuan yang belum sepenuhnya diakui dalam struktur masyarakat Barat kala itu. Hal ini
diperparah lagi dengan posisi Gereja di Barat yang menjadi pijakan nilai-nilai dalam
masyarakat, kurang berpihak kepada perempuan. Maka perjuangan feminisme difokuskan
untuk melawan sistem patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas
dua.
Namun demikian dalam perkembangannya paham feminisme juga mendapatkan
kritikan dari berbagai kalangan. Marlene LeGates menyatakan bahwa di antara kesalahan
utama feminis yaitu menganggap semua wanita mempunyai karakter, kepentingan dan
kepribadian yang sama. Feminis sering melupakan keberagaman yang ada pada setiap wanita
yang berlainan suku, agama, kelas sosial dan bahkan orientasi seksual mereka.
Di samping itu, masalah inkonsistensi dan rasisme yang menjangkiti kaum feminis juga
menjadi sasaran kritikan terhadap feminisme. Sebagai contoh, ketika Nelly Roussel
menyuarakan pendapatnya berkenaan dengan kesamaan derajat di antara wanita pada awal
abad 20, hampir semua wanita dari kelas atas dan menengah memiliki budak perempuan.
Sedangkan rasisme di kalangan feminis bisa dilihat dari pandangan Anne Kenney dan rekan-
rekan feminisnya di Inggris yang menganggap superioritas mereka lebih tinggi daripada
wanita Asia yang mereka pandang sebagai wanita lemah. Padahal Anne Kenney dikenal
dengan seruan beliau tentang persamaan wanita yang tidak memandang latar belakang
negara, politik dan kelas. Beberapa feminis yang berlatar belakang seperti Roussel dan Kenney
yang merupakan golongan wanita kelas atas, dikenal sebagai penindas perempuan. Frances
Ellen Watkins Harper, seorang pembaharu Afrika-Amerika, mengingatkan dari
pengalamannya bahwa menjadi orang kulit hitam berarti setiap orang kulit putih, termasuk

3
LeGates, Marlene, 2001, loc. Cit., hal. 2
4
Reinharz, Shulaimit, 2005, Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial, (Feminist Methods in Social
Research, penerj. Lisabona Rahman dan J. Bambang Agung) Women Research Institute, Jakarta, hal. 5
5
Gross, Rita M., 1996, Feminism and Religion: An Introduction,Beacon Press, Boston, USA, hal.16

2
setiap wanita kelas pekerja, bisa mendiskriminasikan Anda. Sebab pada umumnya feminis
Barat dan kulit putih selalu memandang diri mereka lebih tinggi dibanding lainnya
Di Amerika Serikat dan Inggris, gerakan feminis mengembangkan keanggotaan yang
relatif heterogen. Meskipun demikian, wanita yang sadar terhadap pembagian kelas biasanya
tetap memilih untuk tidak mengidentifikasikan diri mereka sebagai feminis. Walaupun pada
saat yang sama, mereka juga sama-sama berjuang melawan penindasan gender. Wanita-
wanita ini menganggap diri mereka sebagai sosialis, dan feminis dianggap sebagai musuh
utama mereka. Ini karena mereka melihat feminisme mengecilkan perjuangan kelas pekerja
melawan kapitalis. Maka kebanyakan kritikus feminisme kemudian mempertanyakan,
haruskah wanita-wanita ini dimasukkan dalam sejarah feminisme? Bagaimana dengan wanita
pekerja yang berjuang untuk memperbaiki situasi materi mereka dan keluarga mereka?6
Di Indonesia, kaum feminis yang mengkampanyekan perempuan untuk berkiprah di
ranah publik, pada saat yang sama justru memperkerjakan perempuan sebagai pembantu di
rumahnya. Bahkan, mereka sering diindikasikan sebagai pihak yang menolak kenaikan gaji
pembantu rumah tangga.
Demikianlah liku-liku perjalanan ideologi feminisme yang berkembang dengan
memanfaatkan sisi emosional perempuan, namun pada akhirnya juga tidak ramah dengan
kaumnya sendiri.
Istilah gender seperti halnya feminisme, ternyata juga tidak memberi pengertian yang
jelas dan pasti. Hal ini bisa disimak dari definisi gender yang beragam sebagaimana berikut:
1. Suatu keyakinan bahwa hubungan sosial lebih menentukan perbedaan jenis kelamin,
bukan sebaliknya, jenis kelamin biologis yang menentukan pembagian sosial antara laki-
laki dan perempuan.7
2. Pembagian manusia ke dalam dua kategori, laki-laki dan perempuan. Perbedaan laki-laki
dan perempuan dalam hal perilaku, sikap, dan emosi dikonstruksi secara sosial melalui
interaksi dengan pengasuh (caretakers), sosialisasi di masa kanak-kanak, tekanan teman
sebaya pada masa remaja, pekerjaan yang dipisahkan menurut gender dan peran keluarga
perempuan-laki-laki. Tatanan sosial berdasarkan gender dibangun dan dipertahankan
berdasarkan perbedaan-perbedaan ini.8
3. Gender dalam sosiologi juga mengacu pada sejumlah ciri-ciri khusus yang dihubungkan
dengan jenis kelamin individu dan diarahkan kepada peran sosial atau identitasnya dalam
masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai seperangkat peran, perilaku,
kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan wanita menurut konstruksi
sosial dalam suatu masyarakat. Dalam isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT),
gender dihubungkaitkan dengan orientasi seksual. Seseorang yang merasa identitas
gendernya tidak sejalan dengan jenis kelaminnya dapat menyebut dirinya "intergender",
seperti dalam kasus waria.9
4. Anne Fausto-Sterling secara lebih ekstrim menyatakan bahwa definisi tentang kategori
biologis "male" dan "female" secara mutlak diputuskan sosial. Menurutnya, pelabelan
seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah keputusan sosial. Kita dapat
menggunakan pengetahuan ilmiah untuk membantu kita membuat keputusan, tapi hanya
keyakinan kita tentang gender -tidak dengan ilmu- yang dapat mendefinisikan jenis
kelamin kita. Keyakinan kita tentang gender mempengaruhi jenis pengetahuan apa yang
dihasilkan para ilmuwan tentang jenis kelamin sebelumnya". Oleh karena itu, gender
bukanlah sesuatu yang eksis semenjak kita dilahirkan, dan bukan pula sesuatu yang kita
miliki, tetapi sesuatu yang kita lakukan (West dan Zimmerman 1987) yaitu sesuatu yang

6
LeGates, Marlene, 2001, loc. Cit., hal. 3-4
7
Graham, Making the Difference, hal. 66 dalam Majella Franzmann, 2000, loc. Cit., hal. 6
8
Borgatta, E.F. & Montgomery, R.J.V., (2000), Encyclopedia of Sociology, (2nd ed., Vol. 2). New York:
Macmillan Reference, USA, hal. 1057
9
http://id.wikipedia.org/wiki/Gender_(sosial)#cite_note-www.who.int-0, diunduh 28 January 2012

3
kita mainkan (Butler 1990).10 Gender isn't something we are born with, and not something
we have, but something we do/perform
5. Joan Wallach Scott, seorang sejarawan Amerika berkewarganegaraan Perancis yang
sangat terkenal dengan kontribusi beliau dalam sejarah feminis dan teori gender11
menguraikan bahwa gender adalah unsur konstitutif dari hubungan sosial yang
berdasarkan perbedaan-perbedaan antara kedua jenis kelamin. Gender juga dimaknai
sebagai cara utama yang menandakan hubungan kekuasaan.12 Scott memberikan
penekanan bahwa wacana politik telah menggunakan istilah dan rujukan yang
digenderkan untuk menciptakan makna, yaitu dengan mendefinisikan peran pekerjaan
dan keluarga, politik dan sosial sebagai masculine atau feminine untuk membuat hierarki
alami atau hubungan oposisi.13 Oleh karena itu, untuk merombak struktur sosial dan
politik yang berprespektif jenis kelamin (sexist), Scott membangun konsep gender melalui
konstitusi.14
6. Gender adalah hasil penjabaran sosial tentang jenis kelamin biologis. Kaum feminis
menolak pandangan bahwa gender dibangun berdasarkan jenis kelamin biologis, bahkan
pandangan ini dianggap melebih-lebihkan perbedaan biologis dan membawa perbedaan
tersebut kedalam domain yang tidak relevan. Mereka menambahkan bahwa seharusnya
tidak ada alasan biologis untuk mengharuskan perempuan menjadi lembut dan laki-laki
harus tegas. Maka sebagai hasil konstruksi sosial, gender tidak bersifat alami dan
karenanya bersifat lentur dan bisa berubah.15

Dari uraian tentang definisi gender di atas, dapat


dengan mengakui status waria berarti
disimpulkan bahwa sebagai konstruk sosial gender juga
sebuah inkonsistensi feminis terhadap
tidak netral muatan nilai, ideologi, dan kepentingan
perbedaan definisi antara gender dan
tertentu. Konsep gender yang dibentuk secara sosial
dimaksudkan untuk tidak melihat perempuan dari sisi
jenis kelamin. Konsep jenis kelamin
biologis. Sebab kategori male dan female lebih
yang dimaknai sebagai kodrat yang
ditentukan secara sosial. Dengan demikian perempuan
alami, telah berubah menjadi bisa menjadi masculine, dan laki-laki bisa menjadi
konstruksi budaya. feminine bergantung pada peran yang dimainkannya.
Maka feminitas dan maskulinitas bukanlah masalah
biologis. Bagi kaum feminis, feminine dipandang simbol kelemahan dan ketergantungan. Oleh
karena itu untuk menghapus simbol ini dalam diri perempuan, maka peran masculine harus
diambil dalam ranah publik maupun domestik. Maka tidak heran jika kaum feminis menuntut
hak menjadi kepala rumah tangga, keterwakilan minimal 30% di lembaga legislatif, dan
berbagai organisasi kepemerintahan maupun non kepemerintahan.
Dalam isu LGBT, gender dihubungkan dengan orientasi seksual yang bersifat temporal
dan kondisional. LGBT tidak lagi dikaitkan dengan masalah jenis kelamin (sex) yang bersifat
alami dan permanen. Meskipun dalam dunia lesbianisme, pada kenyataannya juga digunakan
istilah femme dan butch yang mengarah peran istri dan suami dalam melampiaskan hasrat
seksualnya. Maka dengan mengakui status waria berarti sebuah inkonsistensi feminis terhadap
perbedaan definisi antara gender dan jenis kelamin. Konsep jenis kelamin yang dimaknai

10
Eckert, Penelope and Sally McConnell-Ginet, 2003, Language and Gender, Cambridge University Press, UK,
hal. 10-11
11
Joan Wallach Scott lahir 18 Desember 1941. Saat ini beliau adalah Profesor di Sekolah Ilmu Sosial di Institute
for Advanced Study di Princeton, NJ (http://en.wikipedia.org/wiki/Joan_Wallach_Scott, diunduh 3/12/11) lihat
juga http://prelectur.stanford.edu/lecturers/scott/, diunduh 7/1/12
12
Scott, Gender, 1066-1067 dalam Joanne Meyerowitz, A History of Gender, dalam The American
Historical Review, vol. 113, no. 5, The University of Chicago Press, December 2008, hal. 1355
13
http://prelectur.stanford.edu/lecturers/scott/, diunduh 7/1/2012
14
Meyerowitz, Joanne, 2008, ibid, hal. 1355-1356
15
Eckert, Penelope and Sally McConnell-Ginet, 2003, loc. Cit., hal. 10

4
sebagai kodrat yang alami, telah berubah menjadi konstruksi budaya. Dengan demikian dalam
memandang masalah LGBT, terjadi tumpang tindih antara faktor alami yang bersifat kekal
yang hanya mengakui dua jenis jenis kelamin, dan faktor orientasi seksual yang tidak kekal dan
berubah.
Maka tidak mengherankan jika kemudian beberapa pengkaji mempersoalkan hubungan
antara jenis kelamin dan orientasi seksual, Apakah mungkin ada lebih dari dua gender dan
apakah mungkin jenis kelamin itu sendiri, -dalam skala yang lebih besar-, dibangun secara
budaya?16
Dalam istilah kesetaraan gender, apa yang disebut dengan diskriminasi dan kekerasan
terhadap perempuan pada hakekatnya lebih didasarkan pada pandangan yang tidak sejalan
dengan ideologi gender. Maka segala pandangan yang menolak usaha untuk mempromosikan
perempuan keluar dari ranah domestik atau membatasi peran publik perempuan adalah
diskriminasi. Padahal semestinya berperan di mana pun, boleh jadi merupakan konstruksi
sosial sebuah masyarakat di suatu tempat dengan ciri khas tata nilainya yang mungkin berbeda
dengan masyarakat di tempat lain. Menentukan peran adalah pilihan hidup yang tidak
seharusnya dicampuri oleh pihak mana pun. Sebab seperti yang diuraikan Etin Anwar bahwa
gender adalah suatu proses aktif dari terjadinya kategori sosial dalam konteks sejarah dan
budaya tertentu, seharusnya bersikap netral. Gender sebagai pemaknaan sosial yang diberikan
kepada laki-laki dan perempuan tidak seharusnya menghilangkan keberagaman kultur dalam
masyarakat dengan membentuk satu sistem sosial baru yang harus diikuti oleh semua
perempuan dari berbagai bangsa.
Di sinilah lagi-lagi konsep gender yang semestinya semestinya berperan di mana pun,
relatif, memutlakkan konstruksi sosial baru yang tidak boleh jadi hasil konstruksi sosial
membiarkan perbedaan dalam keragaman budaya sebuah masyarakat di suatu tempat
masyarakat. Pemutlakan ideologi jenis kelamin sosial (baca: dengan ciri khas tata nilainya yang
gender) dilakukan melalui program Pengarusutamaan
mungkin berbeda dengan
Gender (PUG). PUG merupakan bentuk pemaksaan konsep
gender kedalam semua lini kehidupan manusia. Sementara masyarakat di tempat lain.
itu kaum feminis selalu memandang budaya dan penafsiran Menentukan peran adalah pilihan
keagamaan (untuk tidak mengatakan agama) sebagai dua hidup yang tidak boleh dicampuri
faktor penghambat program PUG. oleh pihak mana pun
Pengarusutamaan gender merupakan suatu proses
intervensi struktural yang dimandatkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga-
lembaga internasional, seperti UNESCO, dan OSAGI (Office of the Special Advicer on Gender
Issues and Advancement of Women). Salah satu strategi yang ditempuh adalah melakukan
integrasi sensitifitas gender dalam kurikulum pendidikan nasional.17
Sasaran program pengarusutamaan gender lebih banyak ditujukan untuk negara-negara
berkembang (developing countries), termasuk Indonesia, dimana kesetaraan gender seringkali
terhambat oleh budaya dan agama. Usaha integrasi sensitifitas gender dalam kurikulum
pendidikan bertujuan terjadinya perubahan yang bersifat sistemik cara pandang kultural
terhadap kesetaraan gender.18

3. Sejarah perkembangan Gender


Pada tahun 1929 dan juga tahun 1938, Virginia Woolf tidak mempunyai istilah teknis
untuk kata 'gender'. Namun Woolf membahas perbedaan sosial, kelembagaan dan budaya
antara perempuan dan laki-laki. Ahli teori kontemporer kemungkinan besar akan

16
Delaney, Carol L., The Study of Gender dalam The Encyclopaedia Britannica 2007 Ultimate Reference Suite,
Version 2007
17
Dr. Sekar Ayu Aryani (Ed.,), 2004, Pengarusutamaan Gender Dalam Kurikulum IAIN, PSW IAIN Sunan
Kalijaga-McGill CIDA,Yogyakarta, hal. vii
18
Ibid, hal. vii

5
mengidentifikasi pembahasan Woolf, pertama pada perempuan, pendidikan, dan karya tulis,
dan selanjutnya pada perempuan, pendidikan dan perang sebagai permasalahan gender.
Banyak filsuf feminis kontemporer yang tidak hanya mengakui konstruksi budaya gender
yang berubah-ubah, tetapi juga kritik yang beragam terhadap 'gender' sebagai sebuah istilah
teknis. Moira Gatens, salah satu filsuf feminis, berpendapat bahwa perbedaan jenis kelamin
dan gender telah menjadi variabel problematik. Menggambar perbedaan antara jenis kelamin
dan gender tidak mengatasi masalah dengan simbolisasi tradisional bahwa akal senantiasa
diasumsikan kepada laki-laki dan maskulin.19
Istilah Gender yang dimaknai sebagai karakteristik untuk membedakan antara laki-laki
dan perempuan berdasarkan peran sosialnya, bukanlah makna original dari istilah ini. Gender
pada awalnya digunakan untuk merujuk kepada pembagian jenis kelamin kata benda dalam
grammatika bahasa Inggris. Kemudian seorang seksolog, Jhon Money, memperkenalkan istilah
sex untuk merujuk kepada klasifikasi biologis laki-laki atau perempuan, dan memperkenalkan
istilah gender untuk merujuk kepada perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin pada
tahun 1955. Dengan usulan beliau, istilah gender mengalami perubahan makna, dari jenis
kelamin (sex) kepada peran sosial (social role) dan akhirnya menjadi identitas gender. Sebelum
munculnya usulan beliau ini, jarang sekali kata "gender" digunakan melainkan sebagai
kategori gramatikal. Namun, pemaknaan kata gender yang
diberikan oleh Jhon Money tidak menyebar luas sehingga
tahun 1970-an, yaitu ketika teori feminis menguraikan
perbedaan antara jenis kelamin biologis dan konstruk sosial
gender.20
Sebelum tahun 1950an, banyak ahli bahasa
menggunakan istilah gender untuk merujuk kepada bentuk
klasifikasi grammar. Scott mengamati istilah "gender," dalam
arti pemakaian kontemporer untuk gerakan feminis tahun
1970-an. Namun istilah tersebut memiliki sejarah yang lebih
panjang, bahkan sebagai referensi untuk komponen non-
biologis dari jenis kelamin.21
Namun menurut Joan Scott menyebarnya penggunaan
istilah tersebut baru pada tahun 1986. Beliau berpendapat
bahwa pada tahun ini kaum feminis sudah mengadopsi istilah
"gender" untuk merujuk kepada konstruksi sosial yang
dikarenakan perbedaan jenis kelamin. Kemudian banyak
teoretikus memunculkan istilah "gender" sebagai kategori
analitik, mirip dengan kelas dan ras.22

19
Anderson, Pamela Sue, 1998, A Feminist Philosophy of Religion: The Rationality and Myths of Religious
Belief, Blackwell Publishers, oxford, UK hal. 7
20
Udry, J. Richard, Nov 1994, The Nature of Gender, dalam Demography, vol. 31, No. 4, Population
Association of America, hal. 561, dan http://en.wikipedia.org/wiki/Gender#cite_note-udry-0, diundah 29
January 2012. Dalam memperkenalkan istilah "gender" ke dalam literatur ilmiah, John Money disokong oleh
Joan Hampson dan John Hampson yang kemudian semuanya mengajar di Universiti Johns Hopkins. Lihat
Meyerowitz, Joanne, 2008, loc. Cit., hal. 1354
21
Meyerowitz, Joanne, 2008, loc. Cit., hal. 1353
22
ibid, hal. 1346

6
Dengan demikian, alasan utama penggunaan istilah 'gender' pada hakekatnya adalah
karena kegunaannya untuk meruntuhkan asumsi yang membabi buta bahwa karakteristik laki-
laki dan perempuan lebih ditentukan secara biologis ketimbang sosial dan kultural.23 Namun
di sisi lain, pendekatan gender juga mengambil posisi yang tidak kalah ekstrimnya dengan
mengesampingkan sisi biologis dalam menentukan peran sosial antara laki-laki dan
perempuan. Dan pada akhir 1990-an, melalui proses pengulangan, "Gender" telah
membentuk kebijaksanaan umum (commonplace wisdom) dari sebuah disiplin keilmuan.24
Demikianlah kajian gender berkembang dari kajian antropologis gender selama akhir
abad 20 sehingga akhirnya membuka jalan baru pada pada abad 21 di bidang-bidang yang
belum tereksplorasi sebelumnya.25 Meluasnya fokus kajian gender dalam ranah kebahasaan,
telah meniscayakan masuknya kajian gender dalam semua aspek kehidupan manusia.
Konsekwensinya, segala bidang kajian keilmuan tidak boleh mengabaikan persepsi gender,
baik dalam ilmu-ilmu sosial, sains tekhnologi, maupun studi Islam.

4. Konsep Wahyu dalam Perspektif Gender:


Kaum Muslimin menyakini bahwa al-Qur'an adalah Firman Allah SWT yang
diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui
malaikat Jibril, kemudian diwariskan dari generasi
ke generasi secara mutawathir, tertulis dalam
mushaf dan membacanya adalah ibadah.26
Dengan demikian, al-Qur'an adalah rujukan
utama kaum Muslimin dalam berislam,
bermuamalah dan sekaligus sebagai pegangan
hidup yang final.
Sebagai risalah wahyu, al-Qur'an memiliki
keunikan tersendiri. Untuk memahaminya pun ia
mempunyai kualifikasi metodologi yang khusus
dan sejalan dengan konsep wahyu dalam Islam.
Sebab konsep kewahyuan al-Qur'an secara
selektif akan menolak segala metode penafsiran
liar yang bertentangan dengan sifat dasarnya.
Namun dewasa ini, banyak usaha "membumikan"
al-Qur'an melalui pendekatan tafsir jalanlain yang
tidak pernah dikenal dalam khazanah keilmuan
Islam. Al-Qur'an tidak lagi dipahami secara utuh dan menyeluruh, tetapi ditafsirkan
secara parsial, lokal, kondisional dan temporal, demi menyesuaikan selera zaman dan
penafsir. Bahkan seringkali bermunculan ide nyleneh yang memberi justifikasi keabsahan
nilai-nilai modern dari Barat-Kristen dengan penafsiran ayat-ayat al-Qur'an.
Sikap dan pemahaman skeptik terhadap al-Qur'n saat ini banyak dilakukan secara
akademis melalui pengliruan konsep wahyu dan metodologi tafsir. Al-Qur'n dipandang
sebatas teks historis yang relatif, temporal, kondisional dan senantiasa berevolusi seiring
dengan kecenderungan penafsir dan zaman.
Di antara contoh pengeliruan arah, metodologi dan isi materi tentang studi al-
Qur'an dapat diperhatikan dalam buku Pengarusutamaan Gender dalam Kurikulum

23
Ingram, Martin, 2005, loc. Cit., hal. 735
24
Meyerowitz, Joanne, 2008, loc. Cit., hal. 1351-2
25
Carol L. Delaney dalam Encyclopdia Britannica 2007 Ultimate Reference Suite
26
Dr. Muammad ibn Lu, al-abgh, Lamat f Ulm al-Qurn wa Ittijht al-Tafsr, al-Maktabah al-Islm, cetakan
kedua, Beirut, 1990, hal. 25. Selanjutnya disingkat Lamat

7
IAIN yang diterbitkan oleh UIN Yogyakarta. Untuk matakuliah Ulum al-Qur'an,
dideskripsikan bahwa hal-hal yang dikaji dalam perkuliahan antara lain persoalan wahyu,
proses pewahyuan, sejarah teks al-Qur'an, asbab al-nuzul, nasikh mansukh, teori evolusi
syariaah dan kaidah-kaidah tafsir. Pendekatan dalam kuliah dilakukan sedapat mungkin
berperspektif gender dengan mengemukakan berbagai contoh yang mendukung ke arah
kesetaraan gender. Hal-hal yang dikaji dalam matakuliah ini diarahkan untuk
mendukung asumsi evolusi syariah; yaitu sebuah praduga bahwa hukum-hukum Islam
selalu berubah-ubah. Untuk menguatkan dugaan ini, maka diasumsikan bahwa ayat-ayat
Makkiyah bersifat universal, sementara ayat-ayat Madaniyah yang banyak menjelaskan
masalah hukum dipandang temporal. Kemudian konsep nasikh-mansukh dipahami
dalam kerangka proses berevolusinya syariat. Sedangkan bahan rujukan untuk
matakuliah diambilkan dari karya-karya tokoh liberal, seperti: Abdullahi Ahmad al-Naim,
Amina Wadud Muhsin, Nasr Hamid Abu Zayd, Hamim Ilyas, M. Syahrur, Fazlur Rahman,
Mahmood Muhammad Toha, Masdar F. Masudi, Taufiq Adnan Amal, dsb.27
Untuk matakuliah Tafsir, UIN Yogyakarta memfokuskan pengkajiannya kepada
eksistensi manusia dalam kaitannya sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial yang
berkeadialan gender. Di antara topik perkuliahan adalah membahas metodologi
penafsiran, ayat-ayat tentang perbedaan jenis kelamin, kepemimpinan perempuan, dsb.
Sama halnya dengan matakuliah Ulum al-Qur'an, matakuliah tafsir juga banyak
mengambil rujukan buku-buku karya tokoh liberal, semisal Amina Wadud Muhsin, Fazlur
Rahman, Nasaruddin Umar, dll.28

a. Contoh Penafsiran Berbasis Gender


i. Batasan Aurat
Dalam menafsirkan kata aurat pada QS. 24:31. "Atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita", Dr. Muammad Sharr (tokoh liberal asal Syiria)
mengartikan bahwa aurat itu adalah "apa yang membuat seseorang malu bila
diperlihatkannya". Kemudian dia menjelaskan bahwa "aurat itu tidak berkaitan dengan
halal-haram, baik dari dekat maupun dari jauh". Dalam merelatifkan batasan aurat,
Sharr memberikan contoh: "Apabila ada seorang yang botak (ala') yang tidak suka
orang lain melihat kepalanya yang botak itu, maka dia memakai rambut palsu. Sebab dia
menganggap bahwa botak di kepalanya adalah aurat". Makna aurat kemudian
dirancukan oleh Sharr dengan mengutip Hadith Nabi: "Barang siapa menutupi aurat
mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya". Lalu dia berkomentar: "Menutupi aurat
mukmin di sini (dalam hadith itu) bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak
terlihat". Berangkat dari sini, Sharr menyimpulkan bahwa: "Aurat datang dari rasa
malu, yakni ketidaksukaan seseorang dalam menampakkan sesuatu baik dari tubuhnya
maupun perilakunya. Dan rasa malu ini relatif - tidak mutlak, sesuai dengan adat istiadat.
Maka dada (al-juyb)29 adalah tetap sedangkan aurat berubah-ubah menurut zaman dan
tempat".30
Di samping itu, Sharr juga menafsirkan QS. Al-Ahzab:59 Hai Nabi, katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:

27
Dr. Sekar Ayu Aryani, Pengarusutamaan Gender dalam Kurikulum IAIN, PSW IAIN Sunan Kalijaga dan
McGill-CIDA, 2004, hal. 1-3
28
Ibid, hal. 13-15
29
Shahrur memaknai kata ini yang terdapat dalam QS. 24:31:
30
Dr. Muammad Sharr, Nawa Ulin Jaddatin li l-Fiqh al-Islm: Fiqh al-Mar'ah (al-Waiyah al-irth
al-Qawmah al-Ta'addudiyah al-Libs), al-Ahl, Damaskus, cet I, 2000, hal. 370

8
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Menurutnya: "Ayat ini didahului dengan
lafadz 'Hai Nabi' (y ayyuha l-nab), yang berarti bahwa di satu sisi, ayat ini adalah ayat
pengajaran (yat al-ta'lm) dan bukan ayat pemberlakuan syariat (yat al-tashr'). Di sisi
lain, ayat yang turun di Madinah ini harus dipahami dengan pemahaman temporal
(fahman maraliyyan), karena terkait dengan tujuan keamanan dari gangguan orang-
orang iseng, yaitu ketika para wanita tengah bepergian untuk suatu keperluan. Namun,
syarat-syarat ini (yaitu alasan keamanan) sekarang telah hilang semuanya". Oleh sebab
itu, mengingat ayat di atas adalah ayat al-ta'lm yang bersifat anjuran, maka menurut
Sharr, hendaknya bagi wanita mukminah, -dianjurkan bukan diwajibkan-, untuk
menutup bagian-bagian tubuhnya yang bila terlihat menyebabkannya dapat gangguan
(al-adh). Ada dua jenis gangguan: alam (ab'i) dan sosial (ijtim'). Gangguan alam
adalah yang berkenaan dengan cuaca seperti suhu panas dan dingin. Maka wanita
mukminah hendaknya berpakaian menurut standar cuaca, sehingga ia terhindar dari
gangguan alam. Sedangkan gangguan sosial (al-adh al-ijtim') adalah berkaitan
dengan kondisi dan adat istiadat suatu masyarakat. Oleh karena itu, pakaian mukminah
untuk keluar harus disesuaikan dengan lingkungan masyarakat, sehingga tidak
mengundang cemoohan dan gangguan mereka.31
Pada akhirnya Sharr menyimpulkan bahwa batasan pakaian wanita dibagi dua:
batasan maksimal yang ditetapkan Rasulullah SAW (al-add al-a'l) yang meliputi seluruh
anggota tubuh selain wajah dan dua telapak tangan. Batasan minimal yaitu batasan yang
ditetapkan oleh Allah SWT (al-add al-adn) yang hanya menutup juyb. Menurut
Sharr juyb tidak hanya dada saja, tapi meliputi belahan dada, bagian tubuh di bawah
ketiak, kemaluan dan pantat. Sedangkan semua anggota tubuh selain juyb,
diperkenankan terlihat sesuai dengan kultur masyarakat setempat, termasuk pusar
(surrah). Penutup kepala untuk laki-laki dan perempuan hanyalah kultur masyarakat, tidak
terkait dengan iman dan Islam.32
Sharr menilai banyak ulama Fiqih (fuqah') yang salah paham saat mendudukkan
Hadith Rasulullah SAW bahwa semua anggota tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah
dan kedua telapak tangannya sebagai penjelas QS. Al-Ahzab:59 dan QS. Al-Nur:31,
inilah contoh kesalahan ulama Fiqih dalam metode berfikir menurut Sharr.

ii. Hukum Waris


Tentang pembagian harta waris, Abu Zayd berpendapat bahwa sebelum
kedatangan Islam di jazirah Arab pada abad ke 7M, wanita tidak mendapatkan harta
waris sedikitpun, karena sistem peraturan masyarakat menganut sistem patriarkal. Anak
laki-laki tertua mewarisi semua harta peninggalan. Kemudian Islam merubah aturan ini,
seperti yang termaktub dalam al-Quran: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan (QS. 4: 11)
Menurut Abu Zayd, ayat di atas menekankan terjadinya perubahan dalam hukum
masyarakat, yaitu wanita mempunyai hak bagian dalam harta warisan. Substansi
arahannya adalah prinsip keadilan (justice). Namun sebenarnya, bila dicermati secara
mendalam, ayat di atas justru menekankan pembatasan terhadap hak-hak kaum laki-laki
(limiting the rights of men). Sebab pada ayat di atas (QS. Al-Nisa: 11), penyebutannya
jelas mendahulukan kata li l-dhakari (bagi laki-laki), dan tidak sebaliknya, li l-unthayayni
31
ibid, hal. 372-373
32
ibid, hal. 376-378

9
mithlu ai l-dhakari (bagian dua orang anak perempuan sama dengan bagian seorang
anak lelaki). Penyebutan laki-laki yang mengawali perempuan tersebut, berarti bahwa al-
Quran menyibukkan dirinya dengan pembatasan bagian harta waris untuk laki-laki.
Sebab dalam tradisi jahiliyyah, kaum laki-laki mewarisi semua harta peninggalan, tanpa
batas.33 Maka Abu Zayd menyimpulkan, sebenarnya al-Quran secara perlahan dan
pasti-- cenderung mengarah pada kesamaan antara wanita dan laki-laki, khususnya
pada kesamaan bagian harta peninggalan.34 Inilah yang dia sebut sebagai yang tidak
terkatakan (al-maskt anhu).
Kesimpulan Abu Zayd ini tentunya adalah sebuah konsekwensi logis dari
pendekatan yang dianutnya, yaitu konteks historis (historical context). Di mana dia selalu
menghubungkan semua aspek hukum yang disebutkan dalam al-Quran berkenaan
dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab pada abad 7M.
Tentunya teori al-maskt anhu ini sangat tidak ilmiah. Sebab teori ini
menggambarkan seolah-olah Abu Zayd lebih mengerti maksud Tuhan yang tidak
difirmankan-Nya. Di sisi lain teori al-maskt anhu tidak lain dari kelanjutan teori
kesinambungan (gradual method, al-manhaj al-tadrj) versi al-hir al-addd,35 pemikir
sekuler Tunisia awal abad 20M (sekitar 1929an), yang meninggal dalam usia muda.
Dalam bukunya, al-Marah f Khibi l-Azmah (=Wanita dalam Wacana Krisis), Abu
Zayd banyak menukil pemikiran al-hir dan menguatkannya.36 Di samping itu, manhaj
tadrji juga sering digunakan untuk mengharamkan poligami dan penyamaan hak waris
antara laki-laki dan perempuan dengan asumsi dalih analogi (qiys) metode larangan
perbudakan.
Contoh Pendekatan Manhaj Tadrji dalam Kasus Waris
1. Kondisi sosial wanita Arab sebelum turun wahyu yang tertindas dan tidak mendapatkan hak
waris sedikit pun, baik kedudukannya sebagai anak, istri atau ibu mayit. Sebaliknya, seorang
istri bisa diwariskan ke kerabat suami. Warisan hanya diberikan kepada orang yang mampu
mengangkat senjata, menunggang kuda dan melindungi kehormatan keluarga

2. al-Qur'an turun secara bertahap merombak budaya masyarakat Arab sehingga tidak
menimbulkan gejolak sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu al-Qur'an pertama-tama
memberi bagian anak perempuan setengah dari bagian anak laki-laki, tidak langsung sama.

11

3. Semangat dasar Al-Qur'an adalah menjunjung kesetaraan di antara Manusia dan tidak
membeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin, kecuali atas dasar taqwa
13

4. kesimpulan (teori al-maskut 'anhu) Sebenarnya Allah menghendaki persamaan waris antara laki-laki
dan perempuan, namun mengingat kondisi masyarakat belum memungkinkan, maka ayat tentang
penyamaan hak waris belum diturunkan hingga wafatnya Nabi

33
Sampai batas di sini, sebenarnya Abu Zayd melakukan plagiat terhadap tafsir al-Kashshf karya Zamakhshari
tanpa menulis rujukannya. Namun bedanya, Zamakhshari berhenti sampai di sini dan tidak mengatakan sebagai
langkah awal menuju pada penyamaan bagian waris antara anak laki-laki dan perempuan, apalagi mengatakan
teori al-maskt 'anhu. Zamakhshari sekedar berijtihad menguak hikmah di balik perbedaan hak waris.
34
Voice, hal. 178
35
lihat al- hir al-addd, 1992, Imraatun fi l-Sharah wa l-Mujtama, al-Dr al-Tnisiyyah li l-nashr,
khususnya bab Imraatun fi l-Sharah (wanita kita dalam syariah).
36
al-Marah, hal. 52-58

10
Dalam tabel di atas menjelaskan bahwa untuk memastikan keabsahan kesimpulan
ini digunakanlah teori al-maskt 'anhu (yang tidak terkatakan). Dengan teori al-maskt
'anhu, para pemikir liberal berusaha meneliti dan mengungkap "Niat" Tuhan yang belum
"sempat" diwahyukan kepada Nabi Muhammad.

b. Tanggapan
i. Batasan Aurat
Pendapat Sharr dalam memaknai aurat dan batasannya seperti diuraikan di atas
sangat rancu. Bahkan, dengan teori batasnya ini justru dia telah merendahkan martabat
wanita. Padahal kedudukan wanita-wanita mukminah dalam Islam sangat mulia. Oleh
sebab itu Rasulullah SAW diperintah Allah SWT agar menyuruh istri-istri dan putri beliau
serta seluruh kaum mukminah untuk menjulurkan jilbab mereka demi menjaga kemuliaan
dan kehormatan mereka. Di samping itu, perintah ini ditujukan untuk membedakan mereka
dari wanita-wanita Jahiliyah, sahaya (im') dan pelacur ('awhir).
Perintah menjaga kehormatan wanita mukminah dimulai dengan menutup batas-
batas aurat, terlebih lagi saat mereka hendak keluar rumah pada malam hari, sehingga
mereka mudah dikenali sebagai wanita mukminah yang merdeka dan terhormat. Sebab
kebiasaan penduduk Madinah yang fasik kala itu, adalah suka keluar malam untuk
menggoda wanita dan berbuat iseng. Apabila mereka melihat wanita berjilbab, mereka
berkata: "Ini wanita merdeka, maka tahanlah (jangan diganggu)". Namun apabila melihat
wanita yang tidak berjilbab, mereka berkata: "Ini wanita sahaya", lalu mereka
menghampirinya.37
Menurut al-Als, setelah Allah SWT menjelaskan buruknya perihal orang-orang yang
menyakiti/menggoda kaum muslimin pada ayat sebelumnya, Allah memerintahkan Nabi -
dengan lafadz Ya ayyuha l-nabi, agar menyuruh umat Islam untuk melindungi diri mereka
dari hal-hal yang dapat memancing kebiasaan orang-orang iseng. Sebelumnya, banyak
wanita di Madinah yang keluar malam dan tidak bisa dibedakan antara wanita merdeka
dan tidak. Sedangkan di sisi lain banyak pemuda iseng (fasik) yang keluar malam mencari-
cari wanita untuk digoda.38 Kebiasaan keluar malam di kalangan pemuda iseng untuk
menggoda wanita tentunya tidak bisa dibatasi pada penduduk Madinah dan bangsa Arab
abad 7M.
Umm al-Mukminn, 'Aishah RA, menjelaskan QS. 24:31: wal yaribna bi
khumurihinna 'ala juybihinna sebagaimana dituturkan oleh Ibn Sa'd: "Aku (ibu 'Alqamah)
Hafah binti 'Abdirramn ibn Abi Bakr (keponakan 'Aishah) masuk ke rumah 'Aishah dan
memakai kerudung tipis (khimr raqq), sehingga dadanya terlihat secara transparan. Lalu
'Aishah pun melepasnya dan berkata: Tidakkah kamu mengetahui sebuah ayat yang
diturunkan dalam surat al-Nur? Lalu beliau mengajaknya memakai kerudung (yang tebal),
dan Hafah pun memakainya".39 Imam Bukhari juga mengutip penjelasan 'Aishah ini dalam
a-nya sebagai berikut: Dari 'Aishah RA, beliau berkata: "Allah merahmati wanita-wanita

37
Lihat Tafsr Tabar dan Tafsr Ibnu Kathr dalam al-Maktabah al-Shmilah untuk QS. Al-Ahzb:59.
38
Lihat al-Als, Tafsr R al-Ma'n f Tafsr al-Qur'n al-'Am wa l-Sab'i l-Mathn, QS. Al-Ahzb:59. Nama
lengkap al-Als adalah Shihb al-Dn Mamd ibn 'Abdullh al-usaini al-Als (1217H/1802M 1270H/1854M),
dilahirkan dan wafat di Baghdd. Beliau adalah seorang ulama terkemuka di bidang fiqih, tafsir dan Hadith. Karena
ketenaran ilmunya, beliau diangkat sebagai mufti Baghdad hingga tahun 1263H. Sedangkan karya fenomenalnya,
Tafsr R al-Ma'n f Tafsr al-Qur'n al-'Am wa l-Sab'i l-Mathn beliau selesaikan dalam waktu 15 tahun. Kitab
tafsirnya dipandang sebagai ringkasan ilmu para ulama terdahulu di bidang tafsir, termasuk tafsr ishri yang ditulis
oleh ulama sufi. Lihat: al-Maws'ah al-'Arabiyyah dan Maws'ah al-A'lam dalam al-Maktabah al-Shmilah
39
Ibn Sa'd, vol. VIII, hal. 49-50 dalam Dr. 'Abdullah Abu al-Su'ud Badr, Tafsr Umm al-Mu'minn 'ishah, (Dr
'lam al-Kutub, Kairo:1996) cet I, hal. 217

11
muhajirat awal, ketika Allah menurunkan ayat; wal yaribna bi khumurihinna 'ala
juybihinna, mereka memotong sebagian kain wol dan sutera mereka dan memakainya
sebagai kerudung".40 'Aishah RA juga menjelaskan QS. 33: 59, "Jikalau Rasulullah SAW
mengetahui apa yang terjadi pada diri wanita (yaitu kegemaran berhias secara berlebihan
baik dengan perhiasan, busana, dan minyak wangi yang banyak menimbulkan fitnah),
pastilah beliau akan melarang mereka pergi ke masjid (dan menyuruhnya shalat di rumah),
seperti halnya dilarangnya wanita-wanita Bani Israil". Lalu Yay ibn Sa'd bertanya pada
'Amrah: Apakah wanita Bani Israil dilarang keluar ke tempat ibadah mereka? Ia menjawab:
Ya".41 Tentunya penafsiran Sharr di atas, sangat bertentangan dengan penjelasan istri
Rasulullah SAW tersebut.

ii. Hukum Waris


Dalam ajaran Islam, besar kecilnya bagian waris tidak ditentukan oleh jenis kelamin, baik itu
laki-laki atau perempuan, tapi lebih ditentukan oleh beberapa faktor berikut ini:
1. Tingkat kekerabatan antara ahli waris (baik laki-laki atau perempuan) dan orang yang meninggal.
Semakin dekatnya hubungan kekerabatan, maka semakin besar juga bagian warisan yang dia
terima.
2. Kedudukan tingkat generasi. Maka generasi muda dari kalangan pewaris yang masa depannya
masih panjang terkadang memperoleh bagian warisan yang lebih besar dibanding generasi tua,
tanpa memandang kelelakian atau kewanitaannya. Sebagai contoh anak perempuan (bint)
mendapatkan warisan yang lebih banyak dari ibunya atau ayahnya; anak laki-laki (ibn)
mendapatkan warisan lebih banyak dari ayahnya (ab).
3. Tanggung jawab untuk menanggung kehidupan keluarga. Poin inilah yang terkadang
membuahkan perbedaan bagian hak waris antara laki-laki dan perempuan, walaupun berada
pada tingkat kekerabatan yang sama. Sebab kedudukan anak laki-laki menanggung nafkah istri
dan keluarganya. Sedangkan anak perempuan tidak diberi tanggung jawab seperti laki-laki.42

Selanjutnya, hak waris perempuan tidak selamanya lebih sedikit dari laki. Sebaliknya dalam banyak
hal, perempuan mendapatkan bagian harta waris lebih banyak dari laki-laki, seperti pada hal berikut
ini:
a. Ada empat (4) kondisi/kasus, di mana bagian waris perempuan lebih sedikit dari bagian waris
laki-laki.
b. Dalam banyak kasus, perempuan mendapatkan bagian waris yang persis sama dengan bagian
waris laki-laki.
c. Terdapat sepuluh (10) kasus, di mana bagian waris perempuan lebih banyak dari bagian waris
laki-laki.
d. Dalam banyak kasus, perempuan mendapatkan bagian waris yang tidak didapatkan oleh laki-
laki.43

5. Catatan Ringkas
Dakwaan bahwa al-Qur'an terpengaruh tradisi Arab abad VII M karena
menggunakan bahasa Arab adalah lemah. Sebab meskipun menggunakan bahasa Arab,

40
a al-Bukhr, kitb tafsr al-Qur'n, dan Sunan Ab Dwud, kitb al-libs, 3579
41
a al-Bukhr, kitb al-adhn, 822; a Muslim, kitb al-alh, 676; Sunan Ab Dwud, kitb al-alh,
482 dsb
42
Kata pengantar Dr. Muhammad 'Imarah dalam Dr. Shalahuddin Sultan, Mirth al-Marah wa Qaiyah al-
Muswh, (Dr al-Nahah Mar, Kairo: 1999), hal. 4. Selanjutnya disingkat Mirth al-Marah
43
Mirth al-Marah, hal. 10-11. Untuk lebih lanjut tentang papaparan keempat poin ini silahkan merujuk ke
makalah penulis dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, vol. III, no. 5, 2010, tentang paham
kesetaraan gender.

12
namun secara tegas al-Qur'n memberikan makna baru terhadap banyak istilah yang
dipahami dalam kultur Arab pra-Islam. Seperti kata muan (terbentengi) digunakan
sebagai ganti mutazawwij (orang yang telah menikah), konsep karm (mulia) yang
ditentukan kadar taqw adalah untuk menggeser persepsi orang Arab bahwa kemuliaan
ditentukan oleh harta, senjata dan keturunan; dan masih banyak lagi seperti tata cara
awf, hukum waris, nikah, dll.
Istilah nikah yang dulunya diartikan sekedar prilaku pelampiasan seks terhadap
banyak wanita tanpa batas; sebagai ukuran kemuliaan seseorang bila memiliki banyak
isteri, dan dapat diwariskan pada anak laki-lakinya; akhirnya diperbarui oleh al-Qur'n
dengan istilah mthqan ghalan (ikatan atau perjanjian yang teguh). Dan kata ini sering
digunakan sebagai perjanjian antara manusia dan Tuhannya; dan terulang sekitar 3 kali
dalam al-Qur'an, yaitu QS. 4:21, QS. 4:154, dan QS. 33: 7.
Khazanah tafsir yang dikembangkan para Salaf lih terbukti lebih ilmiah,
komprehensif dan sejalan dengan konsep wahyu Islam dalam menjelaskan makna yang
terkandung dalam Kitabullh. Sementara ide historisitas al-Qur'an melalui melalui
metode hermeneutika seperti yang dikampanyekan
kembali oleh Prof. Dr. Nar mid Ab Zayd dan para
aktivis gender lainnya tidak bisa Liberalisasi al-Qur'n difokuskan
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan tidak sejalan
pada liberalisasi tafsir al-Qur'n.
dengan konsep wahyu dan tafsir dalam Islam. Ide Ab
Zayd yang mengatakan bahwa al-Qur'n adalah Upaya liberalisasi tafsir dilakukan
produk sejarah, teks linguistik yang terpengaruh budaya dengan menggusur metode tafsir
Arab dan teks manusiawi yang harus dipahami dengan yang ada dan diganti dengan
pendekatan empiris dan relatif, sebenarnya adalah metode hermeneutika yang berujung
pemikiran parsial-dikhotomis yang ingin memisahkan pada paham relativisme. Dengan
unsur-unsur spiritualitas al-Qur'n. Ide ini kemudian metode ini, konsep wahyu dalam
dijadikan justifikasi dan pintu masuk menuju proses
Islam yang bersifat universal dan
desakralisasi wahyu dan liberalisasi agama.
Paham Liberalisme adalah tonggak baru sejarah final didekonstruksi menjadi
kehidupan masyarakat Barat yang trauma terhadap kondisional, lokal dan temporal
agama, sehingga bagi masyarakat Barat peran agama
dalam kehidupan publik perlu dibatasi. Liberalisasi al-
Qur'n difokuskan pada liberalisasi tafsir al-Qur'n. Upaya liberalisasi tafsir dilakukan
dengan menggusur metode tafsir yang ada dan diganti dengan metode hermeneutika
yang berujung pada paham relativisme. Dengan metode ini, konsep wahyu dalam Islam
yang bersifat universal dan final didekonstruksi menjadi kondisional, lokal dan temporal.
Adalah kesalahan terbesar yang sangat tidak rasional, jika seorang Muslim
memperlakukan ayat-ayat al-Qur'n dan memaknainya menurut tren Barat-Kristen. Oleh
sebab itu, telah tiba masanya bagi umat Islam kembali membekali dirinya dengan tradisi
tahfut yang telah ditumbuhkan oleh Imam al-Ghazali melalui karyanya, Tahfut al-
Falsifah. Sehingga dapat mengenal pasti apa yang menjadi masalah umat dan apa
yang hanya ditampilkan seolah-olah ia adalah masalah mereka, sedangkan ia
sebenarnya adalah masalah umat agama-agama lain. Dengan demikian umat Islam
tidak akan pernah terputus dari akar khazanah keilmuan Islam yang bersumber dari al-
Qur'n dan Sunnah. Inilah sanad ber-Islam yang harus diwariskan dari generasi ke
generasi. Terputusnya rantai sanad, ibarat anak ayam yang ditetaskan dari lampu listrik,
tidak tahu siapa induknya. Sehingga pada akhirnya tumbuh sebagai generasi yang tidak
beradab, baik kepada Tuhan, Nabi maupun agamanya. Inilah sesungguhnya yang

13
menjadi perhatian dan pertimbangan utama setiap lembaga pendidikan tinggi Islam
ketika hendak merombak studi tafsir al-Qur'an.
Alasan keberatan yang lebih fundamental adalah ruh hermeneutika yang selalu
cenderung mengaburkan (merelatifkan) batasan antara ayat-ayat mukamt dan
mutashbiht; ul dan fur; thawbit dan mutaghayyirt; qaiyyt dan anniyyt yang
telah disepakati oleh ulama berwibawa (ijm). Di samping itu juga akan mereduksi sisi
kerasulan Sang Penyampai Wahyu (Nabi SAW) hingga pada tingkatan sebatas manusia
biasa yang sarat dengan kekeliruan dan hawa nafsu. Jadi tidak sekedar karena
hermeneutika berasal dari Barat dan diterapkan di Bibel saja, tetapi lebih karena
hermeneutika mempunyai ruh yang mereduksi dan tidak sejalan dengan nilai Islam.
Sebagai contoh dalam madzhab Schleiermacher terdapat pemikiran bahwa seorang
penafsir bisa mengerti lebih baik dari pengarangnya; Wilhem Dilthey dengan
pemahaman historisnya, berpendapat bahwa sejarahlah yang mempunyai otoritas atas
makna teks, bukan pengarang teks44; Heidegger dan Gadamer dengan pemahaman
ontologisnya45 berpendapat bahwa penafsir dan teks
terikat dengan tradisi yang melatarbelakangi teks46;
Habermas dengan pemahaman interes praktis, paham kesetaraan gender hanyalah upaya
senantiasa mencurigai bahwa penafsiran seseorang
solusi lokal masyarakat Barat untuk keluar
membawa kepentingan politis,47 dan sebagainya.
dari sebuah krisis ketidakadilan yang menimpa
Islam diturunkan sebagai agama ramat untuk
perempuan Barat. Tentunya, krisis dan solusi
alam semesta, bukan untuk membanding-
ini tidak bersifat universal. Meskipun tidak
bandingkan antara laki-laki dan perempuan. Ajaran
dinafikan ada beberapa kesamaan
Islam disusun bukan berdasarkan jenis kelamin,
permasalahan di Barat juga menimpa wanita
sehingga tafsir al-Qur'an dan khazanah keislaman
Indonesia. Sehingga sangat naif jika dicomot
pun tidak pernah ditulis berdasarkan hal ini.
begitu saja, apalagi diterapkan sebagai tren
Namun dalam perkembangannya, pendekatan
baru untuk memamahi al-Quran. Seakan-
berbasis gender seringkali merambah ke dalam studi
akan Barat dan Indonesia mempunyai problem
Islam. Misalnya dibuat fiqh, metodologi adth, tafsir
yang sama dalam memandang perempuan,
al-Qur'an model baru dalam perspektif gender,.
sehingga sama-sama memerlukan feminisme
Maka jika corak tafsir feminis yang mendasarkan
metodenya pada kritik sejarah sebagai tren baru
dalam metode tafsir al-Qur'an, otomatis akan banyak
menyisakan pertanyaan yang berjubel: Sejauhmanakah keabsahan metode ini digunakan
untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an? Apakah terbatas pada ayat-ayat yang dipandang
merugikan perempuan, dan tidak pada laki-laki? Ataukah metode kritik sejarah ini juga
bisa digunakan untuk menafsirkan semua ayat-ayat al-Qur'an, baik yang terkait dengan
tauhid, ibadah, hukum-hukum yang terkait dengan individu dan sosial, baik yang bersifat
44
Kedua tipe pemikiran ini digunakan Abu Zayd dengan memandang bahwa pembaca teks adalah sebagai hakim
yang menentukan makna, bukan Allah atau teks itu sendiri.
45
Ontologi adalah cabang metafisika yang berhubungan dengan sifat kewujudan benda. Atau disebut juga dengan
Naariyyah al-Wujd (konsep keberadaan, eksistensi)
46
Tipe pemikiran ini digunakan Abu Zayd dengan memandang al-Qurn sebatas teks linguistik dan fenomena
sejarah belaka (asr al-awwaln). Sehingga kedudukan al-Qur'n yang suci dan absolut disamarkan.
47
Tipe pemikiran ini digunakan Abu Zayd dengan menghujat Imam Shfii sebagai ulama yang oportunis dan
pengusung ideologi suku Quraish. Maka ketokohan beliau sebagai ulama yang mempertahankan al-Qur'n dari
serangan orang-orang yang hendak meragukannya akan selalu dipertanyakan.

14
hukum kriminal maupun kekeluargaan, akhlak, kisah-kisah umat terdahulu, makanan,
minuman, pakaian, serta bisakah juga diterapkan untuk mengkaji ayat-ayat yang bersifat
mukamt dan mutashbiht, baik itu ayat-ayat yang lafadznya berindikasi qa'i-anni,
mulaq-muqayyad, kh-'m dsb?! Ataukah metode kritik sejarah baru digunakan untuk
menafsirkan sebagian ayat dalam rangka menolak sebagian ajaran-ajaran Islam tertentu
yang tidak sejalan dengan paham kesetaraan gender dan pandangan-pandangan hidup
Barat-Kristen kontemporer?
Paham kesetaraan gender yang mendasarkan pada ideologi liberalisme Barat pada
dasarnya berpijak pada prinsip kebebasan mutlak dan tak terkendali dalam pemikiran,
agama, keyakinan, keimanan, bicara, pers dan politik (an absolute and unrestrained
freedom of thought, religion, conscience, creed, speech, press, and politics). Sehingga
pada gilirannya akan membawa dampak yang mengikis habis peran agama dalam
kehidupan pribadi dan sosial. Sebab dampak terbesar dari liberalisme adalah (a)
penghapusan hak Tuhan dan semua bentuk kekuasaan yang berasal dari Tuhan; (b)
menjauhkan agama dari kehidupan publik dan memindahkannya ke ruang privat dalam
keyakinan seseorang; (c) pengabaian mutlak terhadap agama Kristen dan gereja selaku
institusi publik, legal dan sosial. (the abolition of the Divine right and of every kind of
authority derived from God; the relegation of religion from the public life into the private
domain of one's individual conscience; the absolute ignoring of Christianity and the
Church as public, legal, and social institutions).48
Inilah hakekat gerakan pembaharuan intelektual di Eropa pada abad 17 dan 18
(enlightenment, aufklarung, renaissance dan Revolusi Perancis) yang membentuk
pandangan hidup (worldview) baru masyarakat Barat yang sekular dan melahirkan
pemikir-pemikir yang agnostik terhadap agama. Sarjana-sarjana Barat abad 18
menganggap agama sebagai suatu ilusi dan penyimpangan intelektual.49

6. Penutup
Sebagai sebuah gerakan yang menjelma menjadi sebuah ideologi dan bahkan
membentuk pendekatan baru dalam ilmu sosial, feminisme dan paham kesetaraan
gender sejatinya masih menyimpan permasalahan serius baik di dataran istilah, konsep
maupun latar belakang sejarahnya. Demikian halnya ketika paham ini dipaksakan
sebagai tren baru untuk mengidentifikasikan keadilan, kemakmuran dan kemajuan
sebuah bangsa.
Feminisme dan paham kesetaraan gender sebenarnya adalah buah dari liberalisasi
dan sekularisasi agama yang mendasarkan pada paham relativisme. Dengan sekularisasi,
para penganut Kristen di Barat bebas memahami konsep apapun tentang Tuhan dan
kehidupan sesuai dengan keinginan mereka. Hakekat kedua paham ini sebenarnya
hanyalah upaya solusi lokal masyarakat Barat untuk keluar dari sebuah krisis
ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan Barat. Tentunya, krisis dan solusi ini tidak
bersifat universal. Meskipun tidak dinafikan ada beberapa kesamaan permasalahan di
Barat juga menimpa wanita Indonesia. Sehingga sangat naif jika dicomot begitu saja,
apalagi jika diterapkan sebagai merombak tradisi keilmuan Islam khususnya dalam ilmu
tafsir. Seakan-akan Barat dan Indonesia mempunyai problem yang sama dalam
memandang perempuan, sehingga sama-sama memerlukan feminisme.

48
http://www.newadvent.org/cathen/09212a.htm
49
Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-teori Agama Kontemporer, Imam Khori (penterj), AK Group,
Yogyakarta, cet. II, 2007, hal. 110

15
Sebaliknya dalam Islam, hubungan laki-laki dan perempuan tidak dipandang
sebagai hubungan kekuasaan antara penindas dan yang ditindas. Keserasian relasi
antara kedua jenis kelamin ini secara indah digambarkan dalam QS. Al-Nisa: 32, Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian
yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita
(pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Maka dalam sejarah Islam, tidak pernah terlintas dalam benak muslimah yang
lia untuk mengkudeta suaminya dan mengambil alih posisi kepala rumah tangga.
Sebab kepala rumah tangga bukanlah jabatan yang patut dibanggakan, apalagi sarana
untuk menindas. Demikian pula institusi keluarga bukanlah lembaga perbudakan yang
legal seperti yang diyakini kaum feminis.
Wallhu A'lam wa Akam bi l-awb

16

Anda mungkin juga menyukai