Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS

ANAK 1,5 TAHUN DENGAN SINDROMA SYOK DENGUE


DENGAN DISTRES RESPIRASI, DAN EDEMA PARU

Disusun oleh:
Shelina Nuriyanisa (030.11.272)

Pembimbing:
dr. Raden Setyadi, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE OKTOBER DESEMBER 2016
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul :


ANAK 1,5 TAHUN DENGAN SINDROMA SYOK DENGUE
DENGAN DISTRES RESPIRASI, DAN EDEMA PARU

Penyusun:
Shelina Nuriyanisa
030.11.272

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal
periode Oktober Desember 2016.

Tegal, Desember 2016

dr. Raden Setyadi, Sp.A


BAB I
STATUS PASIEN
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
Nama : Shelina Nuriyanisa Pembimbing : dr. Raden Setiyadi, Sp.A.
NIM : 030.11.272 Tanda tangan :

I. IDENTITAS PASIEN
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. R Tn R Ny. S
Umur 1,5 tahun 30 tahun 26 tahun
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan
Alamat Desa Grogol RT 06/02, Kecamatan Dukuhturi-Tegal

Agama Islam Islam Islam


Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan - SMP SD
Pekerjaan - Pedagang Ibu rumah tangga
Penghasilan - Rp 1.000.000,- -
Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi Umum
No. RM 853644
Tanggal masuk RS 27 November 2016

II. ANAMNESIS

Data anamnesis diperoleh secara alloanamnesis kepada ibu pasien pada tanggal 28
November 2016 di Ruang PICU RSU Kardinah pukul 11.00 WIB.
Keluhan Utama
Demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan Tambahan
Sesak, tangan dan kaki dingin, mual, muntah, dan perut membesar.
Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah pada Minggu malam tanggal 27 November
2016 atas rujukan dari Klinik Hj. Mafroh dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS.
Demam dirasakan naik turun, turun jika diberikan obat namun akan naik lagi setelah
beberapa jam kemudian. Beberapa jam sebelum dibawa ke IGD RSU Kardinah, pasien
sempat dibawa oleh ibunya ke Klinik Hj. Mafroh. Saat dibawa ke klinik tersebut, selain
demam, kaki dan tangan pasien terasa dingin. Hal itu sudah terjadi sejak 1 hari SMRS.
Dikatakan jika pasien diberi cairan infus setengah botol dalam setengah jam. Ibu os juga
mengatakan jika anaknya mual dan sempat muntah sebanyak dua kali yang berisi makanan.
Saat di IGD RSU Kardinah, ibu pasien mengatakan jika pasien mulai sesak disertau perut
yang membesar. Keluhan seperti mimisan atau gusi berdarah disangkal oleh ibu pasien.
Ibu pasien mengatakan jika BAB anaknya biasa, tidak encret ataupun berwarna hitam.
Sedangkan BAK pasien sempat sedikit saat 1 hari SMRS. Pasien hanya BAK 3 kali dalam
kurun waktu 12 jam. Riwayat trauma, alergi obat ataupun makanan disangkal pasien. Pasien
tidak kejang dan tidak memiliki riwayat kejang sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu


Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya belum pernah mengalami keluhan seperti ini
Tidak ada riwayat operasi, riwayat trauma, riwayat alergi obat maupun makanan tertentu.
Riwayat penyakit lain, seperti asma, penyakit jantung, dan sebagainya disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu pasien mengatakan bahwa di keluarganya tidak ada yang mengalami keluhan
yang serupa seperti pasien. Riwayat alergi dalam keluarga disangkal.

Riwayat Lingkungan Rumah


Pasien tinggal bersama dengan ayah, ibu, dan kakak nya di rumah orangtua pasien.
Rumah pasien luasnya 14 meter x 6 meter dan rajin dibersihkan setiap harinya. Tempat
tinggal pasien memiliki 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, dan 1 dapur. Rumah memiliki banyak
jendela yang selalu dibuka setiap pagi. Penerangan dengan listrik. Air berasal dari air PAM.
Jarak septic tank kurang lebih 10 meter dari sumber air. Air limbah rumah tangga disalurkan
melalui selokan di depan rumah. Di lingkungan sekitar rumah pasien, banyak tetangganya
yang sedang terkena penyakit dbd.
Kesan : keadaan rumah dan ventilasi cukup baik, keadaan lingkungan rumah cukup
baik.

Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah bekerja sebagai pedagang dengan penghasilan per bulan Rp 1.000.000,00
/bulan. Ayah pasien menanggung biaya 2 orang anak. Ibu pasien adalah ibu rumah tangga.
Kesan: riwayat sosial ekonomi cukup.

Riwayat Kehamilan dan Prenatal


Ibu os berusia 23 tahun saat mengandung pasien. Ibu os rutin memeriksakan
kehamilannya ke bidan terdekat setiap satu bulan sekali sejak awal kehamilan. Ibu os
mendapatkan suntikan TT 2x. Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis, perdarahan
selama hamil, kejang, trauma maupun infeksi saat hamil disangkal.
Kesan: riwayat pemeliharaan prenatal baik.

Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran : RB Bidan Puji
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Per vaginam, secara spontan
Masa gestasi : 38 minggu pada G2P1A0
Keadaan bayi
Berat badan lahir : 3300 gram
Panjang badan lahir : 47 cm
Lingkar kepala : Ibu lupa
Keadaan lahir : Langsung menangis kuat, tidak pucat, dan tidak biru
Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada
Air ketuban : Jernih
Kesan: neonatus aterm, dengan lahir secara per vaginam, bayi dalam keadaan bugar.

Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Pemeliharaan setelah kehamilan dilakukan di Posyandu secara teratur dan anak dalam
keadaan sehat. Ibu os memeriksakan os ke bidan setiap anaknya sakit.
Kesan: riwayat pemeliharaan postnatal baik.

Corak Reproduksi Ibu


Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pasien berjenis kelamin
perempuan.

Riwayat Keluarga Berencana


Ibu pasien saat ini sedang menggunakan KB suntik.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Pertumbuhan:
Berat badan lahir 3300 gram. Panjang badan 47 cm.
Berat badan sekarang 9 kg. Tinggi badan 76 cm.
Perkembangan:
Psikomotor
Senyum : ibu tidak ingat
Tengkurap : 6 bulan
Duduk : 8 bulan
Merangkak : 10 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 14 bulan
Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan usianya.

Riwayat Makan dan Minum Anak


Sejak kecil, os diberikan ASI oleh ibunya, disertai dengan pemberian makanan campuran
saat usia 6 bulan. ASI masih ibu os berikan hingga saat ini. Usia 1 tahun, os diberikan
makanan lunak. Usia 1,5 tahun sudah diberikan nasi, sayur dan lauk pauk.
Kesan: kualitas makanan baik, kuantitas makanan baik.
Riwayat Imunisasi
VAKSIN ULANGAN
DASAR (umur)
(umur)
BCG 0 bulan - - - - - -
DTP/ DT - 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
POLIO 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
CAMPAK - - - 9 bulan - - -
HEPATITIS B 0 bulan 1 bulan - 6 bulan - - -

Kesan : Imunisasi dasar pasien lengkap sesuai umur, belum dilakukan imunisasi
ulangan

Silsilah Keluarga

Keterangan :
: perempuan : pasien
: laki-laki

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan di bangsal Ruang PICU RSU Kardinah Tegal pada tanggal 29
November 2016 pukul 11.30 WIB.
A. Kesan Umum : Compos mentis, tampak sakit sedang, tampak lemas,
tampak sesak, perdarahan spontan (-)
B. Tanda Vital
Nadi : 120 x/menit, reguler, kuat, isi cukup.
Laju nafas : 38 x/menit, reguler.
Suhu : 36,7C
Tekanan darah : Tidak dilakukan
C. Data Antropometri
Berat badan : 9 kg
Panjang badan : 76 cm
Lingkar lengan atas : 13,5 cm
D. Status Generalis
Kepala : normocephali
Rambut : rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut.
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), oedem
palpebra (+/+), mata cekung (-/-)
Hidung : bentuk simetris, septum deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping
hidung (-)
Telinga : bentuk dan ukuran normal, discharge (-/-)
Mulut : bibir kering (-), bibir sianosis (-), normoglosia , oral hygiene
baik
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Leher : Simetris, pembesaran KGB (-)
Thorax :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding toraks kiri-kanan simetris, retraksi
intercostal dan suprasternal
Palpasi : Tidak ada hemitoraks yang tertinggal.
Perkusi : Sonor pada kedua hemitoraks.
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi basah halus (+/+),
wheezing (-/-).
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV midklavikula sinistra.
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, reguler, murmur (-),
gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : Tampak buncit, simetris.
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), distensi (-), hepar teraba 1/3
BH, ascites (+)
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen.
Genitalia : Jenis kelamin perempuan, tidak ada kelainan.
Anorektal : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2 <2
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


PEMERIKSAAN LABORATORIUM 27 NOVEMBER 2016
(KLINIK UTAMA DIPTA)
Hematologi Hasil Satuan Nilai Rujukan
Leukosit 4.8 3.5-10.0 ribu/mm3
Hemoglobin 14.4 12-14 g/dL
Eritrosit 5.85 3.8-5.8 juta/mm3
Hematocrit 40.7 35-50 %
Trombosit 115 150-390 ribu/mm3
MCV 69.7 80-97 Fl
MCH 24.6 26.5-33.5 Pg
MCHC 35.3 31.5-36 g/dL
RDW 40.8 35-56 fL
Hitung jenis
Limfosit 63.7 20-40 %
Monosit 6.1 3-15 %
Granulosit 30.2 50-70 %
Widal
Salmonella Typhi O Negatif Negatif
Salmonella Typhi H Negatif Negatif

PEMERIKSAAN LABORATORIUM 28 NOVEMBER 2016


JAM 01.34 WIB
Hematologi Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 9.88 (L) g/dL 10.7-14.7
3
Leukosit 7.5 10 /uL 4.5-13.5
Hematocrit 30.8 (L) % 33-41
Trombosit 79 (L) 103/uL 150-521
Eritrosit 4.3 106/ uL 3.7-5.7
RDW 17.8 (H) % 11.5-14.5
MCV 71.5 (L) U 73-101
MCH 22.7 Pcg 22-34
MCHC 31.8 g/dL 26-34

PEMERIKSAAN LABORATORIUM 28 NOVEMBER 2016


JAM 10.42 WIB (Post Albumin)
Hematologi Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 12.1 g/dL 10.7-14.7
Leukosit 14.6 103/uL 4.5-13.5
Hematokrit 37.2 % 33-41
Trombosit 41 103/uL 150-521
Eritrosit 5.5 106/ uL 3.7-5.7
RDW 17.7 % 11.5-14.5
MCV 67.9 U 73-101
MCH 22.1 Pcg 22-34
MCHC 32.5 g/dL 26-34
Elektrolit
Natrium 130.6 mmol/L 135-145
Kalium 5.16 mmol/L 3.3-5.1
Klorida 103.5 mmol/L 96-106
Glukosa sewaktu 134 mg/dL 70-140
Total protein 3.59 g/dL 5.6-7.5
Albumin 2.51 g/dL 3.2-4.8
Globulin 1.08 g/dL 2.3-3.5

PEMERIKSAAN LABORATORIUM 28 NOVEMBER 2016


JAM 23.20 WIB (Post Plasma)
Hematologi Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 9.9 g/dL 10.7-14.7
Leukosit 13.9 103/uL 4.5-13.5
Hematokrit 30.0 % 33-41
Trombosit 30 103/uL 150-521
Eritrosit 4.5 106/ uL 3.7-5.7
RDW 16.3 % 11.5-14.5
MCV 66.4 U 73-101
MCH 21.9 Pcg 22-34
MCHC 33.0 g/dL 26-34
Total protein 4.23 g/dL 5.6-7.5
Albumin 3.16 g/dL 3.2-4.8
Globulin 1.07 g/dL 2.3-3.5

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Foto Thorax AP-RLD

V. PEMERIKSAAN KHUSUS
Data Antropometri Pemeriksaan Status Gizi
Anak perempuan usia 2 Pertumbuhan persentil anak menurut CDC sebagai berikut:
tahun 1. BB/U= 9/11 x 100% = 75,0 % (berat badan menurut umur
Berat badan 9 kg kurang)
Tinggi badan 76 cm
2. TB/U = 76/80 x 100% = 95,0 % ( gizi baik)
Lingkar kepala 45 cm
Lingkar lengan atas 13,5 cm 3. BB/TB = 9/10 x 100% = 90,0% (gizi normal menurut
berat badan per tinggi badan)

Kesan: Anak perempuan usia 1,5 tahun status gizi baik.


Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)

Kesan : LK 45 cm Normocephali
Pemeriksaan Status Gizi

Kesan: status gizi baik

VI. RESUME

Seorang anak perempuan usia 1,5 tahun datang ke IGD RSU Kardinah atas rujukan
dari Klinik Hj. Mafroh dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS. Demam dirasakan naik
turun, turun jika diberikan obat namun akan naik lagi setelah beberapa jam kemudian. Selain
itu, kaki dan tangan pasien terasa dingin sejak 1 hari SMRS. Ibu os juga mengatakan jika
anaknya mual dan sempat muntah sebanyak dua kali yang berisi makanan. Saat di IGD RSU
Kardinah, ibu pasien mengatakan jika pasien mulai sesak disertai perut yang membesar.
Ibu pasien mengatakan jika BAB anaknya biasa, sedangkan BAK pasien sempat sedikit saat
1 hari SMRS. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan os juga sesuai dengan usianya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
tampak lemas, dan tampak sesak. Tanda vital didapatkan nafas pasien cept yaitu 38x/menit.
Rambut berwarna hitam, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut. Pada pemeriksaan mata
: konjungtiva anemis (+/+) dan terdapat oedem palpebral (+/+). Pada pemeriksaan thorax
terlihat adanya retraksi subcostal dan suprasternal, terdengar ronkhi basah halus (+/+).
Ektremitas baiak atas maupun bawah pasien sudah teraba hangat.

Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah didapatkan penurunan hemoglobin


dan hematokrit, peningkatan leukosit, penurunan trombosit dan albumin. Dan pada
pemeriksaan foto thorax didapatkan gambaran efusi pleura kanan. Pada pemeriksaan khusus,
disimpulkan bahwa os memiliki gizi baik dengan kepala normocephal.

VII. MASALAH

Demam
Sesak
Akral dingin
BAK sedikit
Mual dan muntah
Perut membesar
Trombositopenia
Hipoalbumin
Leukositosis
Edema pulmonal dengan efusi pleura kanan

VIII. DIAGNOSIS BANDING


1. Febris
a. DHF (Dengue Hemorrhagic Fever)
b. Dengue Fever
c. Malaria
2. Observasi syok
a. Hipovolemik
Sindrom Syok Dengue (syok distributif)
Perdarahan akut
Dehidrasi
b. Septik
c. Kardiogenik
d. Neurogenik
3. Edema pulmonal dengan efusi pleura kanan
4. Status gizi baik
a. Status gizi baik
b. Status gizi kurang
c. Status gizi buruk

IX. DIAGNOSA KERJA

Dengue Syok Sindrom pada febris hari ke-4


Distres Respirasi
Edema pulmonal
Status gizi baik

X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
O2 Nasal
IVFD KaEN 3A 30 cc/ jam lanjut 20 cc/jam
Inj. Amoxicillin 3 x 500 mg
Inj. Dopamin 2,5 mg/kgbb/jam
Inj. Vit. C 1 x 100 mg
Inj. Lasix 2 x 2 mg
Psidii 3 x 1 cth p.o
Non-medikamentosa
Pengawasan keadaan umum dan tanda vital
Pasang kateter urin
Diit 3 x bubur
Edukasi : Perbanyak istirahat dan meningkatkan frekuensi minum,
pemantauan buang air kecil dan kesadaran
XI. PROGNOSA
Quo ad vitam : Dubia Ad malam
Quo ad sanationam : Dubia Ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia Ad bonam

PERJALANAN PENYAKIT
27 November 2016 pkl. 23.55 WIB 28 November 2016 pkl. 06.30 WIB
(IGD) (PICU)
Hari Perawatan ke-0 Hari Perawatan ke-1
S Demam (+) H.3, gelisah, tangan dan S Demam (-) H.4, mual (+), muntah (+) 2x,
kaki dingin, sesak, perut membesar, isi makanan, makan kurang, minum (+)
mata sembab, muntah (-), mual (-), ASI, mimisan (-), gusi berdarah (-), BAB
BAB dan BAK (+), makan kurang, Hitam (-). Tangan dan kaki sudah hangat.
minum (+) ASI
O KU: Apatis, Tampak sakit sedang, O KU: Somnolen, tampak sakit sedang,
gelisah, lemas, sesak lemas, sesak
TTV: HR 178x/m, RR 59x/m, T 38,4 0C TTV: HR 174x/m,RR 56x/m, T 36,5oC
Status generalis: Status generalis:
Kepala: normocephal Kepala: normosefal
Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem palpebra
palpebra (+/+). (+/+).
Thorax: Retraksi (+), SNV (+/+), rhonki Mulut : normoglosia (+)
basah halus (+/+), wh (+/+), BJ 1-2 Thorax: Retraksi (+), SNV (+/+), rh (-/-),
reguler, m (-), g (-) wh (+/+), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: tampak buncit, BU (+)N, Abdomen: Tampak buncit, asites, BU
turgor kembali cepat, hepar teraba 1/3 (+)N, distensi (-), hepar teraba 1/3 BH
BH Ekstremitas atas: AD (+/+), OE (-/-) CRT
Ekstremitas atas: AD (+/+), OE (-/-) CRT > 2 detik,
<2 detik, Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE (-/-)
Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE (-/-) CRT > 2 detik
CRT < 2 detik
A DHF dengan Hemokonsentrasi A DHF/DSS
Distres Respirasi Edema Paru

P IVFD RL 3-5cc/kgbb/jam P IVFD KAEN 3A 30 cc/jam


Inj. Ekstra Lasix 0,5mg/kgbb Inj. Dopamin 2,5 mg/kgbb/jam
Inj. Amoxicillin 3x1/3 gr Inj. Amoxicillin 3x1/3 gr
Inj. Vit C 1x100 mg Inj. Vit C 1x100 mg
Psidii 3x1 cth Psidii 3x1 cth p.o
Ro Thorax AP-RLD Infus plasma 150 cc cito
Cek Darah Rutin Albumin 50 cc/jam Lasix 5cc
Monitor diuresis

29 November 2016 pkl. 06.30 WIB 30 November 2016 pkl. 06.30 WIB
(PICU) (PICU)
Hari Perawatan ke-2 Hari Perawatan ke-3
S Demam (-) H.5, mual (+), muntah (-), S Demam (-) H.6, mual (-), muntah (-),
sesak(+), makan masih kurang, minum sesak<<, batuk (+), pilek(-), makan
(+) ASI, BAK (+), BAB (+) baik (+), minum (+) ASI (+), BAK (+), BAB
(+) baik
O KU: Compos mentis, tampak sakit O KU: Compos mentis, tampak sakit
sedang, lemas, sesak sedang, lemas, sesak
TTV: HR 120x/m, RR 38x/m, T 36,7oC TTV: HR 107x/m, RR 32x/m, T 36,2oC
Status generalis: Status generalis:
Kepala: normosefal Kepala: normosefal
Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem
palpebra (+/+). palpebra (+/+).
Hidung : nafas cuping hidung (-/-) Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Mulut : normoglosia (+) Mulut : normoglosia (+)
Thorax: Retraksi (+) intercosta, SNV Thorax: Retraksi (-), SNV (+/+), rhonki
(+/+), rhonki basah halus (+/+), wh basah halus (+/+) berkurang, wh (-/-),
(+/+), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Tampak buncit, asites, BU Abdomen: supel, asites<, BU (+)N,
(+)N, distensi (-), hepar teraba 1/3 BH distensi (-), hepar teraba 1/3 BH
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
< 2 detik, < 2 detik,
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik CRT < 2 detik
A DSS A DSS
Distress Respirasi Edema Paru dengan klinis perbaikan
Edema Paru
P O2 Nasal P IVFD KaEN 3A 20 cc/ jam
IVFD KaEN 3A 30 cc/ jam lanjut 20 Inj. Amoxicillin 3 x 1/3 gr
cc/jam Inj. Dopamin stop
Inj. Amoxicillin 3 x 1/3 gr Inj. Vit. C 1 x 100 mg
Inj. Dopamin 2,5 mg/kgbb/jam Inj. Lasix 1 x 5 mg
Inj. Vit. C 1 x 100 mg Psidii 3 x 1 cth p.o
Inj. Lasix 2 x 2 mg Diet 3 x makanan lunak
Psidii 3 x 1 cth p.o Acc pindah ruangan
Diet 3 x makanan lunak
BAB II
ANALISA KASUS

Pasien anak perempuan usia 1,5 tahun dengan diagnosis DSS, distress respirasi, dan
edema paru.
Pasien didiagnosis dengan DSS dilihat dimana menurut fase daripada infeksi virus
dengue, saat ini pasien sedang dalam fase kritis dimana sudah tidak demam pada hari ke-4
dan bertambah parah dengan disertainya tanda-tanda kebocoran plasma sehingga
menimbulkan syok, yang ditandai dengan kesadaran pasien yang menurun, tangan dan kaki
pasien yang dingin, sesak, serta pipis pasien frekuensi nya berkurang. Dari pemeriksaan fisik
juga ditemukan nadinya lemah saat pertama pasien datang, disertai nafas yang cepat dan
adanya retraksi intercosta. Hal itu bisa disebabkan karena adanya penumpukkan cairan di
paru akibat kebocoran daripada plasma., sehingga menyebabkan adanya ditres respirasi pada
pasien. Saat kedua kaki dan tangan diperiksa, didapatkan jika akralnya dingin dan capillary
refill time memanjang (>2 detik). Dari pemeriksaan penunjang, ditemukan adanya
hemokonsentrasi dimana terjadi peningkatan hematokrit > 20% pada pasien. Hal ini dapat
menandakan adanya kebocoran plasma dari dinding pembuluh darah ke ruang interstisial.
Selain itu, kebocoran daripada plasma juga menyebabkan protein pada pasien menurun
disertai dengan adanya gambaran efusi pleura kanan pada hasil foto thorax.
Penatalaksanaan untuk pasien adalah dengan pemberian obat demam, disertai pemberian
cairan yang cukup, pemberian kalori yang sesuai, dan jenis makanan yang disesuaikan
dengan tingkat kesadaran, suplemen nutrisi, dan pemberian vitamin A.
Morbili adalah suatu penyakit infeksi virus yang sangat menular. Campak dan
komplikasinya sebenarnya dapat dicegah melalui vaksinasi. Namun, pada pasien ini belum
pernah diberikan imunisasi campak, sehingga hal ini menjadikan pasien lebih rentan untuk
mengalami infeksi campak, apalagi ditambah adanya kontak antara pasien dengan
keluarganya yang sedang mengalami keluhan sama seperti pasien. Komplikasi campak, pada
pasien ini berupa diare akut. Dengan penanganan yang tepat dan seiring dengan
berkurangnya atau meredanya bercak merah pada tubuh pasien, diare itu sendiri akan
membaik. Pasien dengan morbili dapat sembuh sempurna, dan seseorang yang sudah pernah
campak akan memiliki kekebalan seumur hidupnya.
Prognosis pada pasien, ad vitam nya adalah dubia ad bonam disebabkan karena dengan
pengobatan dan tatalaksana yang telah diberikan, didapatkan bahwa tubuh pasien memberi
respon yang baik dan alami perbaikan secara klinis. Sedangkan pada ad sanationam adalah
dubia ad bonam karena penyakit atau keluhan ini dapat saja kembali terulang jika di sekitar
rumah pasien kembali lagi mewabah dbd, mengingat kita juga tinggal di Negara tropis yang
endemis terhadap nyamuk penyebab demam berdarah. Dan pada ad fungsionam dubia ad
bonam, karena pada pada pasien ini
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
INFEKSI VIRUS DENGUE

I. DEFINISI

Infeksi virus dengue pada manusia merupakan suatu spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam
dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah dengue disertai syok
(dengue shock syndrome/DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini
memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di
RS sebagai puncak gunung
II. EPIDEMIOLOGI

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan
oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue
menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts)
kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena
demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot,
dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan
penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang
ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand,
Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya
dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk
yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol
vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain status
imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi)
virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan
virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah
penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di
seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa.
Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi
berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi
oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang
tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia,
karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya
penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue
terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar
bulan April-Mei setiap tahun.

III. ETIOLOGI

Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50 nm
dan mengandung RNA rantai tunggal. Hingga saat ini dikenal empat serotipe yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus
Stegomya. Aedes aegypty merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies
lainnya seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan
epidemi yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.

IV. PATOGENESIS

Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya perembesan
plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit
dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam dengue dan
demam berdarah dengue.
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas. Beberapa teori dan hipotesis
yang dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :
1. Teori virulensi virus
2. Teori imunopatologi
3. Teori antigen antibodi
4. Teori infection enchancing antibody
5. Teori mediator
6. Teori endotoksi
7. Teori limfosit
8. Teori trombosit endotel
9. Trombosit apoptosis

Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing


antibody dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk dipahami.
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda dapat
memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium hanya berlaku
pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat pada anak dibawah 1
tahun ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi akibat adanya Ig G anti dengue
dari ibu. Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan sel T memori
berperan penting dalam patofisiologi DBD.

Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory


Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Beliau mengajukan dasar imunopatologi
DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama perjalanan infeksi
sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear yang terinfeksi virus
dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan studi in vitro, teori ini saat ini dikenal sebagai
antibody dependent enhancement (ADE) yang dianut untuk menjelaskan patogenesis
DBD/DSS. Hipotesisi ini juga mendukung bahwa pasien yang menderita infeksi sekunder
dengan serotipe virus dengue heterolog memiliki risiko lebih tinggi mengalami DBD dan
DSS.
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN akan masuk
dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :
- Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc dan
masuk dalam monosit
- Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan sumsum
tulang (terjadi viremia).
- Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai sistem
humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem komplemen), sitokin dan
tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi faktor
koagulasi.
Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:
- Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)
- Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing antibody).
Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
kompleks imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula yang
mendasari bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih berat.
Penelitian in vitro menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan dengue
ditambahkan dalam monosit akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi
sedangkan virus tetap hidup dan berkembang. Artinya antibodi non netralisasi mempermudah
monosit terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih berat.
Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup respon imun
meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999) menjelaskan bahwa
kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat efek
sinergistik dari IFN-, TNF- dan protein kompleman teraktivasi pada sel endotelial di
seluruh tubuh.
Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus membentuk
kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc monosit (makrofag).
Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui antigen MHC memicu limfosit T
(CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin (IFN-) yang mengaktivasi sel lain
termasuk makrofag sehingga terjadi up-regulation pada reseptor Fc dan ekspresi MHC.
Rangkaian reaksi ini memicu imunopatologi sehingga faktor lain seperti aktivasi komplemen,
aktivasi platelet, produksi sitokin (TNF, IL-1,IL-6) akan menyebabkan eksaserbasi kaskade
inflamasi.
V. PERJALANAN PENYAKIT

Virus dengue menyebabkan infeksi simtomatik maupun yang simtomatik. Bentuk


infeksi yang simtomatik memiliki spektrum klinis yang luas, baik yang parah atau tidak
parah. Setelah periode inkubasi, progresivitas penyakit akan mulai dengan mendadak, diikuti
dengan tiga fase berikut demam (febrile), kritis, dan penyembuhan (recovery). Meskipun
perkembangan penyakit ini sangat kompleks dalam hal manifestasi klinis-nya,
penatalaksanaannya relatif sederhana, tidak mahal, dan sangat berguna dalam penyelamatan
hidup, selama intervensi yang dilakukan cepat dan tepat. Kunci menuju prognosis yang baik
ialah pemahaman dan waspada akan masalah klinis yang muncul selama fase yang berbeda.
Manajemen yang baik pada lini pertama pelayanan kesehatan diharapkan dapat menurunkan
angka lama rawat inap di rumah sakit rujukan, serta dapat menyelamatkan hidup pasien
dengan infeksi virus dengue. Berikut merupakan fase infeksi virus dengue:

1. Fase febris
Secara khas, individu akan mengalami demam tinggi yang mendadak selama 2 7
hari dan sering disertai dengan kemerahan pada wajah, eritema kulit, nyeri pada badan
yang sifatnya umum, mialgia, artralgia, nyeri retro-orbita, fotofobia, eksantem yang
mirip dengan rubella, serta nyeri kepala. Beberapa pasien menunjukkan manifestasi
berupa nyeri tenggorok, kemerahan pada faring, injeksi konjungtiva. Anoreksia, mual,
dan muntah lazim dijumpai. Sulit untuk membedakan secara klinis penyakit dengue
dengan non-dengue saat-saat awal demam, namun hasil tes torniquet yang positif
lebih mengindikasikan ke arah dengue. Bagaimana pun juga manifestasi klinis yang
ditunjukkan tidak menggambarkan tingkat keparahan penyakit. Maka dari itu sangat
penting untuk mengawasi tanda-tanda bahaya dan parameter klinis yang lain dalam
rangka memahami proses ke arah fase kritis.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa dapat
dijumpai. Memar dan perdarahan yang mudah terjadi (spontan) pada lokasi injeksi
vena juga ditemui pada beberapa kasus. Perdarahan gastrointestinal juga terjadi pada
fase ini meskipun tidak lazim. Hepar dapat membesar dan kenyal setelah beberapa
hari demam. Prediksi yang tepat pada pemeriksaan hitung darah lengkap yaitu
menurunnya kadar leukosit darah yang progresif. Selain itu, pasien akan menunjukkan
kehilangan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari, seperti masuk sekolah, belajar,
bermain, maupun berinteraksi sosial.
2. Fase Kritis
Selama transisi dari fase febris ke fase yang non-febris, pasien tanpa adanya
peningkatan permeabiltas kapiler akan membaik tanpa mengalami fase kritis ini. Jika
tidak, disertai dengan demam tinggi, pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler,
dapat memunculkan manifestasi dengan tanda bahaya, kebanyakan merupakan akibat
dari kebocoran plasma.
Tanda-tanda bahaya (warning signs) merupakan pertanda mulainya fase kritis.
Keadaan umum menjadi lebih buruk dengan teperatur turun menjadi 37.5 38 C atau
kurang dan tetap dibawah, biasanya terjadi pada hari 3 8. Leukopenia progresif
diikuti dengan penurunan trombosit biasanya mendahului kebocoran plasma.
Peningkatan hematokrit diatas nilai normal dapat menjadi tanda tambahan. Periode
kebocoran plasma secara klinis biasanya terjadi dalam 24 48 jam. Tingkat
kebocoran sangat bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului perubahan pada
tekanan darah dan volume nadi.
Derajat hemokonsentrasi diatas normal ini mencerminkan keparahan akan kebocoran
plasma; bagaimana pun hal ini dapat diturunkan dengan terapi cairan intravena secara
dini. Efusi pleura dan asites biasanya secara klinis dapat dideteksi seteah terapi cairan
intravena, kecuali pada kebocoran plasma yang berat. Foto toraks posisi lateral
dekubitus atau USG yang memperlihatkan air fluid level pada toraks dan abdomen,
maupun edema pada dinding vesika fellea dapat menjadi deteksi dini. Disamping
kebocoran plasma, manifestasi perdarahan seperti mudah memar, dan hematom pada
daerah injeksi juga sering terjadi.
Jika syok terjadi akibat volume kritis plasma ikut hilang lewat kebocoran, maka
sering didahului dengan tanda bahaya. Suhu tubuh menjadi subnormal ketika syok
terjadi. Jika terjadi syok berkepanjangan (prolonged shock), hipoperfusi akan
mengakibatkan asidosis metabolik, kegagalan fungsi organ, dan DIC (disseminated
Intravascular Coagulation). Hal ini kemudian akan menyebabkan perdarahan berat,
yang mengakibatkan hematokrit turun (pada syok yang berat). Leukosit dapat
meningkat sebagai tanda stres adanya perdarahan berat.
Tanda bahaya. Tanda bahaya mendahului manifestasi syok dan muncul setelah fase
demam, biasanya pada hari 3 7. Muntah persisten dan nyeri perut berat adalah
indikasi dini dari kebocoran plasma dan terus memburuk ketika memasuki keadaan
syok. Pasien akan menjadi letargi, lemah, pusing, dan mengalami hipotensi postural
selama keadaan syok. Perdarahan spontan pada membran mukosa atau pada daerah
suntikan menjadi gejala yang penting. Hepar yang membesar dan kenyal biasanya
dijumpai. Bagaimanapun akumulasi cairan dapat dideteksi jika kehilangan plasma
signifikan atau setelah penanganan dengan cairan intravena. Penurunan yang cepat
dan progresif pada hitung trombosit hingga 100.000 sel/mm kubik dan peningkatan
hematokrit diatas normal mungkin menjadi tanda paling awal dari kebocoran plasma.
Hal ini biasanya mendahului kejadian leukopenia (5000 sel/mm kubik).
3. Fase Penyembuhan
Ketika pasien bertahan hidup 24 48 jam pada fase kritis, reabsorpsi lambat dari
cairan pada ruang ekstravaskuler terjadi pada 48 72 jam berikutnya. Keadaan umum
membaik, nafsu makan meningkat, status hemodinamik dan diuresis menjadi stabil.
Beberapa pasen dapat memiliki ruam yang disebut Pulau Putih diatas Laut Merah.
Beberapa pasien juga akan mengalami pruritus. Hitung hematokrit akan normal atau
rendah karena efek dilusional dari cairan yang tereabsorpsi. Sel darah putih biasanya
mulai meningkat. Hitung trombosit biasanya secara khas lebih akhir daripada sel
darah putih. Distres respirasi dari efusi pleura masif dan asites akan terjadi kapan pun
jika terapi intravena diberikan secara berlebihan. Selama fase kritis dan atau
penyembuhan, terapi cairan yang berlebihan berhubungan dengan edema pulmonal
atau gagal jantung kongestif.
Masalah klinis yang bervariasi selama fase-fase yang berbeda dapat disimpulkan ke
dalam tabel berikut.

Tabel Fase Infeksi Dengue

1 Fase febris Dehidrasi; demam tiggi dapat menyebabkan gangguan


neurologis dan kejang demam pada anak-anak yang
lebih muda
2 Fase kritis Syok karena kebocoran plasma; perdarahan yang berat;
kegagalan fungsi organ
3 Fase penyembuhan Hipervolemia (hanya jika pemberian terapi IV
berlebihan)
Gambar 2 Perjalanan penyakit Dengue

4. Severe Dengue
Didefinisikan sebagai satu atau lebih dari yang berikut ini: 1) kebocoran plasma yang
mengakibatkan syok (syok dengue) dan atau akumulasi cairan, dengan atau tanpa
distres respirasi, dan atau 2) perdarahan berat, dan atau 3) gangguan organ berat.
Selama tahap awal dari syok, mekanisme kompensasi yang mempertahankan tekanan
darah sistolik normal juga menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi perifer disertai
perfusi kulit yang menurun, yang ditandai sebagai akral dingin dan CRT yang
menurun. Uniknya, tekanan diastolik meningkat terhadap tekanan sistolik dan tekanan
nadi menyempit oleh karena adanya peningkatan resistensi perifer. Syok hipotensif
yang berkepanjangan (prolonged) dan hipoksia dapat megakibatkan kegagalan multi-
organ.
Seorang pasien dianggap memiliki syok jika tekanan nadi (selisih antara tekanan
sistolik dengan diastolik) 20 mmHg pada anak-anak atau memiliki tanda dari
perfusi kapiler yang parah (akral dingin, CRT yang menurun, atau frekuensi nadi yang
meningkat). Hipotensi berhubungan dengan syok berkepanjangan yang sering
berkomplikasi pada perdarahan besar.
Pasien dengan severe dengue dapat memiliki abnormalitas fungsi koagulasi, namun
hal ini kurang efisien dalam menyebabkan perdarahan besar. Ketika perdarahan besar
terjadi, hampir selalu berhubungan dengan syok berat, dengan kombinasi
trombositopenia, hipoksia, dan asidosis, menyebabkan kegagalan organ multipel dan
DIC lanjut. Perdarahan masif dapat terjadi tanpa harus syok berkepanjangan pada
pemberian aspirin (asam asetilsalisilat), ibuprofen, atau kortikosteroid.
Severe Dengue sebaiknya dipertimbangkan jika pasien dari daerah yang beresiko
infeksi dengue, memperlihatkan demam 2 7 hari ditambah berapapun dari tanda-
tanda dibawah ini:
- Ada bukti kebocoran plasma (plasma leakage), seperti nilai hematokrit yang
tinggi atau secara progresif meningkat, asites atau efusi pleura, syok atau
gangguan sirkulasi (takikardia, akral dingin , CRT lebih dari 3 detik, denyut
nadi lemah atau tak terukur, tekanan nadi menyempit, atau pada syok lanjut,
tekanan darah yang tak terukur).
- Ada perdarahan yang bermakna
- Ada perubahan kesadaran (letargi atau restlessness, koma, konvulsi)
- Keterlibatan sistem gastrointestinal (muntah persisten, nyeri perut bertambah
hebat, ikterik)
- Adanya gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut, ensefalopati
atau ensefalitis, atau manifestasi lainnya yang tak lazim, kardiomiopati)
VI. MANIFESTASI KLINIS

Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yang dianut Depkes, yaitu:
1. Silent dengue atau undifferentiated fever
2. Demam dengue, mencerminkan fase febris, dimana terjadi demam akut selama 2 7
hari dengan dua atau lebih manifestasi: nyeri kepala, nyeri retro-orbita, mialgia, ruam
kulit, manifestasi perdarahan dan leukopenia. Trias demam dengue meliputi demam
tinggi, nyeri anggota badan, dan ruam kulit. Demam biasanya mencapai 39 40 C,
dan demam bersifat bifasik yang berlangsung 5 7 hari, tetapi pada penelitian
selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak
dijadikan tanda patognomonik. Ruam kulit ditandai dengan kemerahan dan ercak
merah yang menyebar pada wajah, leher, dan dada selama separuh pertama periode
demam dan kemungkinan makulopapular atau menyerupai demam skarlatina yang
muncul pada hari ke-3 atau ke-4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik
pertama kali (hari sakit ke -3 5) dan berlangsung selama 3 4 hari. Anoreksia dan
obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya yaitu fotofobia, berkeringat, batuk,
epistaksis, dan disuria. Kelenjar limfe servikal dilaporkan membesar pada 67 77%
kasus atau dikenal sebagai Castelanis sign yang bersifat patognomonik. Beberapa
bentuk perdarahan lain dapat menyertai. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
hitung leukosit biasanya normal saat awal demam kemudian leukopenia hingga akhir
periode demam; hitung trombosit masih normal, demikian komponen faktor
pembekuan. Ada beberapa kejadian biasanya sudah terjadi trombositopenia; serum
biokimia (enzim) biasanya normal.
3. Demam Berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic Fever) ditandai oleh 4 manifestasi
berikut; 1) demam tinggi, 2) perdarahan terutama pada kulit, 3) hepatomegali 4)
kegagalan sirkulasi. Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji torniket positif, memar
dan perdarahan pada tempat injeksi vena. Petekie halus tersebar di anggota gerak,
muka, aksila pada masa-masa awal demam. Epistaksis dan perdarahan membran
mukosa, misalnya gusi, jarang terjadi, sedangkan perdarahan saluran pencernaan
hebat lebih jarang lagi kecuali jika renjatan tidak dapat diatasi. Hati biasanya teraba
pada awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2 4 cm dibawa arkus costae
kanan. Pembesaran hepar tidak berhubungan dengan parahnya penyakit tapi sering
ditemukan pada kasus-kasus syok. Nyeri tekan pada daerah hepar terasa tetapi
biasanya tidak memunculkan ikterik. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan
adanya trombositopenia sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Perubahan
patofisiologis utama yang menentukan tingkat keparahan DBD dengan DD ialah
gangguan hemostasis dan kebocoran plasma (trombositopenia dan peningkatan kadar
hematokrit). Tabel berikut ini memaparan gejala klinis demam dengue dan DBD.
4. Sindroma Syok Dengue (Dengue Shock Syndrome), menggambarkan fase kritis
dengue, yaitu manifestasi klinis akibat kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan
frekuensi nadi yang cepat tapi isi lemah, tekanan nadi menyempit (<20 mmHg),
hipotensi, akral dingin dan lembab, serta letargi.
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis yang akurat dan efisien adalah kepentingan utama dalam pelayanan klinis.
Metode diagnosis laboratoris untuk menentukan infeksi virus dengue meliputi deteksi adanya
virus, asam nukleat virus, antigen dan antibodi, atau kombinasi dari ketiga teknik ini. Setelah
onset penyakit, virus dapat dideteksi di dalam serum, plasma, dan sel-sel darah yang
berirkulasi, serta pada jaringan lain, selama 4 5 hari. Selama tahap pertama dari penyakit,
isolasi virus, asam nukleat atau deteksi antigen dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi.
Di akhir fase akut infeksi, serologi adaah metode pilihan untuk diagnosis.
Respon antibodi terhadap infeksi berbeda-beda tergantung dari status imun pejamu. Ketika
infeksi dengue terjadi pada individu yang belum pernah terinfeksi sebelumnya dengan
flavivirus atau terimunisasi dengan vaksin flavivirus, tubuh pasien akan mengalami respon
antibodi primer yang ditandai dengan peningkatan lambat dari antibodi spesifik. IgM
merupakan isotipe imunogloulin pertama yang muncul. Antibodi ini terdteksi 50% pada hari
3 -5 setelah onset, meningkat 80% pada hari ke-5 dan 99% pada hari ke-10 (Gambar 3).
Kadar IgM memuncak kira-kira 2 minggu setelah onset gejala dan umumnya menurun hingga
tak terdeteksi pada 2 -3 bulan. IgG umunya dapat dideteksi pada kadar rendah di akhir
minggu pertama sakit, kemudian meningkat perlahan, dapat tetap berada di serum beberapa
bulan, bahkan mungkin seumur hidup.
Selama infeksi dengue sekunder (infeksi dengue pada pejamu yang telah terinfeksi
sebelumnya oleh virus dengue, atau kadang setelah vaksinasi atau infeksi flavivirus non-
dengue), titer antibodi meningkat dengan cepat dan bereaksi secara luas terhadap berbagai
macam flavivirus. Isotipe imunogloulin yang dominan ialah IgG yang terdeteksi pada kadar
yang tinggi, bahkan pada fase akut, dan bertahan hingga 10 bulan bahkan seumur hidup. Pada
tahap penyembuhan dini, kadar IgM secara signifikan lebih rendah pada infeksi sekunder dan
mungkin tak terdeteksi di beberapa kasus. Untuk membedakan infeksi primer atau sekunder
dengue, rasio IgM/IgG sekarang digunakan secara umum daripada uji hemoaglutinin-inhibisi
(uji HI).

Gambar - Garis waktu infeksi virus dengue primer dan sekunder dan metode diagnostik yang digunakan
untuk mendeteksi adanya infeksi

Secara umum, pemeriksaan dengan sensitivitas dan spesifisitas membutuhkan teknologi


kompleks dan ahli pada bidannya, sementara uji cepat (rapid test) dapat kurang senstif mauun
spesifik demi kecepatan. Isolasi virus dan deteksi asam nukleat lebih rumit dan mahal ,
namun lebih spesifik daripada deteksi antibodi menggunakan metode serologi.
Infeksi dengue menghasilkan spekrum gejala yang luas, banyak diantaranya adalah tidak
spesifik. Maka dari itu, diagnosis berdasarkan gejala klinis tak dapat dipercaya. Sebelum
hari-5 sakitm selama periode demam, infeksi dengue dapat didiagnosis oleh isolasi virus pada
kultur sel, oleh deteksi RNA virus, oleh nucleic acid amplification test (NAAT), atau oleh
deteksi antigen virus menggunakan ELISA atau rapid test. Isolasi virus dengan kultur sel
membutuhkan infrastruktur lengkap dan waktu yang lama. NAAT selalu dapat mendeteksi
RNA virus dalam 24 48 jam, namun uji ini tetap membutuhkan peralatan dan reagen yang
mahal, prosedur yang berkualitas, dan pekerja yang ahli. Peralatan untuk mendeteksi antigen
NS-1 kini tersedia dan dapat digunakan di laboratorium dengan peralatan yang terbatas dan
mengeluarkan hasil laboratoris dalam beberapa jam. Deteksi antigen dengue cepat (rapid)
dapat juga dilakukan di lapangan dengan hasil kurang dari satu jam. Saat ini, metode ini
kurang spesifik, mahal dan sedang dalam tahap evaluasi mengenai biaya dan keakuratannya.
Tabel berikut ini memperlihatkan kesimpulan sifat dari metode diagnostik untuk infeksi
dengue.
Tabel - Kesimpulan Sifat dan Perbandingan Biaya Metode diagnostik
Setelah hari-5 sakit, virus dengue dan antigen hilang dari darah, bersamaan dengan
munculnya antibodi-antibodi spesifik. Antigen NS1 dapat dideteksi pada beberapa pasien
selama beberapa hari setelah demam reda. Uji serologi dengue lebih banyak tersedia di
negara-negara endemis, daripada uji virologi. Transportasi spesimen bukanlah masalah
karena imunoglobulin stabil pada suhu tropis.
Untuk serologi, waktu pengumpulan spesimen lebih fleksibel daripada isolasi virus atau
deteksi RNA karena suatu respon antibodi dapat diukur dengan membandingkan sampel yang
dikumpul selama keadaan akut dengan sampel yang dikumpul saat berminggu-minggu atau
berbulan-bulan kemudian. Kadar yang rendah terhadap respon IgM yang terdeteksi atau
sama sekali tidak ada pada beberapa infeksi sekunder, menurukan keakuratan uji IgM
ELISA. Peningkatan empat kali lipat atau lebih kadar antibodi yang diukur oleh IgG ELISA
atau dari uji HI mengindikasikan infeksi flavivirus akut. Bagaimana pun, menunggu serum
saat penyembuhan atau saat pasien dipulangkan sangat tidak berguna untuk diagnosis dan
penatalaksanaan.
Tabel Keuntungan dan Keterbatasan Metode Diagnostik Infeksi Dengue

1. Isolasi virus. Spesimen dikumpulkan hanya pada saat sedang terjadi infeksi, selaa
periode viremia (sebelum hari-5). Virus dapat dijumpai di serum, plasma, dan sel-sel
mononuklear perifer, atau jaringan (hepar, paru, kelenjar getah bening, timus, dan
sumsum tulang). Karena dengue merupakan heat-labile, pengiriman sampel harus
dengan referigerator atau di dalam es. Kultur sel merupakan metode yang luas dipakai
untuk mengisolasi virus.
2. Deteksi Asam Nukleat. RNAbersifat heat-labile, maka untuk penyimpanannya harus
di dalam freezer. RT-PCR (Reverse Transcriptase-polymerase Chain Reaction) lebih
sensitif daripada isolasi virus, yaitu 80 100%. Positif palsu dapat terjadi jika
kontaminasi saat proses amplifikasi.
3. Deteksi antigen. Sampai sekarang, deteksi antigen dengue pada serum fase akut
jarang pada pasien dengan infeksi sekunder karena sudah memiliki antibodi IgG-virus
sebelumnya. Perkembangan baru dari ELISA dan dot blot assays yang fokus pada
antigen bagian membran atau envelop (E/M) dan protein non-struktural -1 (NS-1)
menunjukkan bahwa konsentrasi yang tinggi antigen-antigen ini dalam pembentukan
kompleks imun dapat terdeteksi pada pasien dengan infeksi primer maupun sekunder
dengue hingga sembilan hari setelah onset sakit. Glikoprotein NS-1 dihasilkan oleh
flavivirus dan disekresikan dari sel-sel mamalia. NS1 menghasilkan respon imun
humoral yang kuat. Banyak penelitian yang telah fokus menggunakan deteksi NS1
untuk diagnosis dini infeksi virus dengue.
4. Tes serologi. MAC-ELISA (IgM antibody-capture enzyme-linked immunosorbent
assay. IgM total pada serum pasien ditangkap oleh antibodi spesifik anti rantai-u yang
dilapisi diatas mikroplate. Antigen spesifik dengue (DEN-1 hingga 4) terikat dengan
IgM anti-dengue yang terperangkap tadi. Kemudian, terdeteksi oleh antibodi dengue
monoklonal atau poliklonal yang terkonjugasi dengan suatu enzim yang akan
mengubah substat tak berwarna menjadi produk berwarna, yang diukur melalui
spektrometer. Serum, darah, dan saliva dapat dijadikan sampel yang diambil 5 hari
atau lebih setelah onset demam. MAC-ELISA memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang baik namun hanya jika digunakan saat lebih atau sama dengan 5 hari setelah
onset demam. Banyak penelitian yang menerangkan bahwa ELISA pada umumnya
lebih baik performanya daripada rapid test. Positif palsu dapat terjadi di serum pada
pasien dengan malaria, leptospirosis, dan pasca infeksi dengue.
IgG ELISA digunaka untuk mendeteksi infeksi dengue masa lampau atau sekarang.
Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi IgG di serum atau plasma dan sampel
darah filter dan bisa mengidentifikasi kasus infeksi primer atau sekunder.
Uji HI didasarkan atas kemampuan antigen dengue untuk menggumpalkan
(aglutinasi) sel darah merah. Antibodi anti-dengue di dalam serum dapat menghambat
terjadinya aglutinasi dan potensi inhibisi ini dapat diukur lewat uji HI. Sampel seru
diberikan aseton atau kaolin untuk menghilangkan inhibitor non-spesifik, dan
kemudian di-adsorpsi dengan sel darah merah golongan 0 untuk menghilangkan
aglutinin yang tidak spesifik. Secara optimal, uji HI membutuhkan serum yang
diambil saat masuk RS (akut) an keluar rumah sakit (sudah sembuh), atau dengan
serum yang berbeda selama lebih atau sama dengan tujuh hari. Respon terhadap
infeksi primer ditandai oleh kadar rendah antibodi pada serum fase akut (sebelum
hari-5) dan peningkatan yang lambat dari titer antibodi HI kemudian. Selama infeksi
dengue sekunder, antibodi HI meningkat secara cepat, biasanya melebihi 1 : 1280.
Nilai yang lebih rendah dari ini umumnya diobservasi pada serum pada masa
penyembuhan dari pasien dengan respon primer.

5. Pemeriksaan Hematologi. Hitung trombosit dan hematokrit lazim diukur selama fase
akut infeksi dengue. Rendahnya kadar trombosit dalam darah dibawah 100.000 per uL
per hari dapat dijumpai pada demam dengue, namun hal ini merupakan tanda yang
tetap pada demam berdarah dengue (DBD). Trombositopenia biasanya dijumpai pada
periode antara hari-3 dan 8 menjelang onset sakit.
Hemokonsentrasi, yang ditandai dengan peningkatan hematokrit >20% yang
dibandingkan dengan masa penyembuhan, merupakan tanda hipovolemia karena
peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma.
VIII. KRITERIA DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum
infeksi dengue yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD
adalah masalah kesehatan masyarakat dengan angka kematian yang tinggi. Kriteria
diagnosis DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda laboratoris, yaitu
trombositopenia dan hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium tersebut harus ada)
dan dikonfirmasi lagi dengan pemeriksaan serologi. Kriteria diagnosis DBD
berdasarkan WHO tahun 1997 ialah:
Kriteria Klinis
Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas terus menerus selama 2 7 hari,
terdapat manifestasi perdarahan termasuk tes torniket positif, petekie, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, serta melena; pembesaran hati, dan nadi
cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi.
Kriteria laboratoris
Trombositopenia (100.000/ul atau kurang), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit
>20%).
Pembagian derajat DBD menurut WHO ialah:
- Derajat I : demam diikuti gejala aspesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji torniket positif atau mudah memar
- Derajat II : gejala yang ada pada derajat I + perdarahan spontan. Perdarahan dapat
terjadi di kulit atau pada tempat lain.
- Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat tapi lemah,
tekanan nadi menurun atau hipotensi, suhu tubuh subnormal, kulit lembab, dan
gelisah
- Derajat IV: syok berat dengan nadi dan tekanan darah tak terukur.

DD/DBD Derajat* Gejala Laboratorium


DD Demam disertai 2 atau Leukopenia
lebih tanda: sakit kepala, Trombositopenia, tidak
Nyeri retro-orbital, ditemukan bukti
Mialgia, Atralgia. kebocoran plasma.
DBD I Gejala di atas ditambah Trombositopenia
uji bendung positif. (<100.000/l), bukti ada
kebocoran plaasma.
DBD II Gejala di atas ditambah Trombositopenia
perdarahan spontan. (<100.000/l), bukti ada
kebocoran plaasma.
DBD III Gejala di atas ditambah Trombositopenia
kegagalan sirkulasi (<100.000/l), bukti ada
(kulit dingin dan lembab kebocoran plaasma.
serta gelisah).
DBD IV Syok berat disertai Trombositopenia
dengan tekanan darah (<100.000/l), bukti ada
dan nadi tidak terukur. kebocoran plaasma.
IX. PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.
Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa.
Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat
merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana
laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa
siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila
terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di
pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk
keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong.
Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat
mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok)
dengan baik.

Demam dengue

Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan Tirah
baring, selama masih demam.

Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.


Untuk menurunkan suhu menjadi < 39C, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat meyebabkan
gastritis, perdarahan, atau asidosis.
Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping
air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.
Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi
selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit
membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu
turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal
kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai
gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat,
buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan,
perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda
kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit. Penerangan untuk orang tua
tertera pada Lampiran 1. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-
3 hari, tidak perlu lagi diobservasi. Tatalaksana DD tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana
tersangka DBD).

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis
adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam.
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik
untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma
dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal
satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan
hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif
walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat
dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb
Penggantian Volume Plasma

Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan
suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian
volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama,
sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).

Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar
hematokrit, danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal
mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah
jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus
menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum
per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan
tergantung dari derajat dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di
dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2
ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih
maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma.

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur danberat
badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi.
Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur
yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari tabel 3 berikut.
Tabel Kebutuhan Cairan Rumatan
Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20)
=1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan plasma
tidak konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume
cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dankehilangan plasma, yang dapat
diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang bedebihan danterus
menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti
ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali
kedalam intravaskuler. Apabila pada saat itucairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema
paru dandistres pernafasan. Pasien harus dirawat dansegera diobati bila dijumpai tanda-tanda
syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dannadi lemah,
tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, danpeningkatan mendadak
dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi
cairan intravena. Jenis Cairan (rekomendasi WHO) adalah sebagai berikut:

Kristaloid.

Larutan ringer laktat (RL)


Larutan ringer asetat (RA)
Larutan garam faali (GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)

(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang
mengandung dekstran)

Koloid.

Dekstran 40
Plasma
Albumin

Sindrom Syok Dengue

Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama
yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat
mengalami syok dansembuh kembali bila diobatisegera dalam 48 jam. Pada penderita SSD
dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid
sebanyak 20ml/kg BB/jam selama 15 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg
BB.

Penggantian Volume Plasma Segera. Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat
> 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan
berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak
ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat
teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada
perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg
BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian
koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian
cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun,
diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila
kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam)
dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus
dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit.

Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar
hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian
disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan
CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan
intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya.
Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi
membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi
plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian
cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal
jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda
perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal,
diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.

Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit. Hiponatremia dan asidosis metabolik sering
menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu
diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID,
sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan
tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.

Pemberian Oksigen. Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua
pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus
diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.

Transfusi Darah. Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap
pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian
transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit
untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai
hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan
klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan.
Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung
plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi
trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi
pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian.

Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan


fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi
terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan
prognosis.

Monitoring. Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur
untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah

Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau
lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien
stabil.
setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah,
dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis.

Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler telah
benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang
jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema,
pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan
jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis
tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka
pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD

Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di
ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan
khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin,
hematokrit, dan trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang
penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat didantu oleh orang tua pasien
untuk mencatatjumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena,
serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.

Kriteria Memulangkan Pasien

Tampak perbaikan secara klinis


Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
Hematokrit stabil
Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl
Tiga hari setelah syok teratasi
Nafsu makan membaik

Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan diagnosis
DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalakasana awal dapat dibagi dalam 3 bagan
yaitu

Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD
derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 2 dan 3)
Tatalaksana kasus DBD, temasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan kadar
hematokrit (Bagan 4)
Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV (Bagan 5)
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic


Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings Book
13th National Congress of Child Health. KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2005. h.
329- 333
2. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting.
Current Management of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
Ilmu Kesehatan Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2004.h. 63-
3. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam : Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia : WB Saunders.2004.h.1092-4
4. Soedarmo SSP. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI Press 1988
5. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody dependent
enhancement, a brief history and personal memoir . Rev Cubana Med Trop 2002;
54(3):h.171-79
6. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan pada
Penderita Dewasa. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII. Surabaya 12-13
September 1998.h.
7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003.
Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9
8. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and
Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines.
New Delhi : WHO.1999
9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Hadinegoro
SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan
bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana
Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h.32-43
10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib Aap,
Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis Berbagai
Penyakit Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31 Juli 2001. h. 41-55
11. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam
Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter
Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h. 80-135
12. Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro
SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi
pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176-208
13. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras. Cermin
Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13
14. Panbio. Dengue. Didapatkan dari : URL: http://www.panbio.com.au/ modules.php?
name= ontent&pa=showpage&pid=33. Diunduh pada tanggal 27 Juni 2006.
15. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD. Edisi 1
Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.

Anda mungkin juga menyukai