LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 46 tahun
Alamat : Andalas, Padang
Pekerjaan : Tukang Becak
Anamnesis
Keluhan Utama :
Pasien merasa ada yang mengganjal pada kedua mata sejak 1 tahun yang lalu
1
Riwayat Sosio-ekonomi:
Pasien seorang tukang becak. Profesi ini mulai dilakukan pasien sejak 13
tahun yang lalu. Pasien jarang sekali memakai pelindung mata dan / kepala
seperti kacamata, topi saat bekerja
Pemeriksaan Fisik
Status Oftalmologikus (23 Januari 2017)
STATUS OFTALMIKUS OD OS
Visus tanpa koreksi 5/60 pinhole (-) 6/24 pinhole (-)
Visus dengan koreksi - -
Refleks fundus (+) berkurang +
Silia / supersilia Madarosis (-), Madarosis (),
Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Palpebra superior Edema (-) Edema (-)
2
Iris Coklat Coklat
Rugae (+) Rugae (+)
Pupil Refleks cahaya (+/+), Refleks cahaya (+/+),
diameter = 3 mm, bulat, letak diameter = 3 mm, bulat,
sentral letak sentral
Lensa Bening Bening
Korpus vitreum Jernih Jernih
Fundus : Sulit dinilai Sulit dinilai
Tekanan bulbus okuli Normal (palpasi) Normal (palpasi)
Posisi bulbus okuli Ortho Ortho
Gerakan bulbus okuli Bebas Bebas
3
Gambar (23/01/2017)
OD
`
OS
4
Diagnosis
Pterigium OD grade IV et OS grade III
Terapi:
Cenfresh eye drop 6 x 1 ODS
Rencana eksisi pterigium OD + Amniotic Membrane Transplant (AMT)
dalam GA
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Lapisan epitel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel
silindris bertingkat, superfisial, dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas caruncula,dan didekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak
mata terdiri atas sel-sel epitel skuamosa bertingkat.1,3
Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mucus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepid an
diperlukan untuk disperse lapisan air mata prakornea secara merata. Sel-sel epitel
basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superficial dan di dekat limbus
mengandung pigmen. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid
(superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundus).1
Secara histologi, konjungtiva terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
(1) Epitel
Lapisan sel epitel konjungtiva bervariasi dari masing-masing regio dan
dari bagian yang berbeda sebagai berikut:
- Konjungtiva marginal terdiri dari 5 lapisan epitel skuamosa bertingkat.
- Konjungtiva tarsal terdiri dari 2 lapis epitel: lapisan superfisial sel silindris
dan sel gepeng pada lapisan dalam.
- Konjungtiva forniks dan bulbi terdiri dari tiga lapis epitel: sel silindris pada
bagian superfisial, lapisan sel polyhedral, dan sel kuboid pada lapisan dalam.
- Konjungtiva limbal terdiri atas lima sampai 6 lapisan epitel skuamosa
bertingkat.
(2) Lapisan Adenoid
Disebut juga sebagai lapisan lymphoid dan terdiri atas retikulum jaringan ikat
dalam jerat yang mengandung limfosit. Lapisan ini paling berkebang di
forniks, muncul setelah usia 3-4 bulan kehidupan. Karena itu, inflamasi
konjungtiva pada neonatus tidak menimbulkan reaksi folikuler.
(3) Lapisan Fibrosa
Terdiri atas anyaman kolagen dan serabut elastic. Lapisan ini lebih tebal
dibandingkan lapisan adenoid, kecuali pada bagian konjungtiva tarsal yang
sangat tipis. Lapisan ini terdiri dari pembuluh darah dan serabut saraf
konjungtiva, yang bergabung dengan kapsula Tenon dibawahnya pada region
konjungtiva bulbi.1,3
7
Gambar 2.2 Histologi Konjungtiva3
2.2 Anatomi dan Histologi Kornea
Kornea merupakan struktur transparan, avaskular dan seperti kaca. Kornea
membentuk seperenam dari mantel fibrosa membungkus bola mata bagian
anterior. Kornea disispkan kedalam sclera pada limbus, lekukan melingkar pada
sambungan ini disebut sulkus skleralis1,3
Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 mikrometer di pusatnya.
Permukaan anterior kornea berbentuk elips dengan diameter horizontal rata-rata
11.7 mm dan diameter vertical 11 mm. Permukaan posterior kornea berbentuk
sirkular dengan diameter rata-rata 11.5 mm. Ketebalan kornea pada bagian sentral
kira-kira 0.52 mm dan bagian perifer 0.7 mm. Kurvatura kornea mempunyai
radius 5 mm pada bagian sentral, yang merupakan permukaan refraksi yang kuat.
Jari-jari kurvatura anterior dan posterior dari bagian tengah kornea ini masing-
masingnya 7.8 mm dan 6.5 mm. Kekuatan refraksi kornea adalah 45 dioptri, yang
merupakan tiga perempat dari kekuatan refraksi mata total (60 dioptri).1,3
Kornea memiliki lima lapisan berbeda dari anterior ke posterior: lapisan
epitel (yang berbatasan dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan
Bowman, stroma, membrane Descemet, dan lapisan endotel.1
Lapisan epitel mempunyai lima atau enam lapis sel. Lapisan Bowman
merupakan lapisan jernih aselular, yang merupakan bagian stroma yang berubah.
Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Bagian ini tersusun atas
jalinan lamella serat-serat kolagen dengan lebar sekitar 10-250 mikrometer dan
tinggi 1-2 mikrometer yang mencakup hampir seluruh diameter kornea. Lamella
berjalan sejajar dengan permukaan kornea, dank arena ukuran dan kerapatannya
8
menjadi jernih secara optis. Membran Descemet, yang merupakan lamina basalis
endotel kornea, memiliki tampilan homogeny dengan mikroskop cahaya tetapi
akan tampak berlapis-lapis jika dilihat dengan mikroskop elektron. Endotel hanya
memiliki satu lapis sel, tetapi lapisan ini berperan besar dalam mempertahankan
deturgesensi stroma kornea. Endotel korna cukup rentan terhadap trauma dan
kehilangan sel-selnya seiring dengan penuaan.1
2.3 Pterigium
2.3.1 Definisi Pterigium
Menurut American Academy of Ophthalmology, pterigium (berasal dari
bahasa Yunani yaitu Pterygos yang artinya sayap) adalah proliferasi jaringan
fibrovaskular konjungtiva menutupi permukaan kornea.4
Pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva bersifat degeneratif dan invasif.
Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun
temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi
iritasi, akan berwarna merah dapat mengenai kedua mata.5
9
Gambar 2.4 Pterigium4 (sumber: American Academy of Opthalmology).
2.3.3 Etiologi
Etiologi pterigium belum diketahui dengan jelas dan diduga merupakan
suatu proses neoplasma, radang dan degenerasi. Pterigium juga diduga disebabkan
oleh iritasi kronis akibat debu, sinar matahari, dan udara panas.4,5 Penyebab
paling umum adalah paparan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh
mata. Sinar matahari tersebut akan diabsorbsi oleh kornea dan konjungtiva
sehingga akan terjadi kerusakan sel yang berlanjut dengan adanya proliferasi
abnormal pterigium. Faktor resiko lain terjadinya pterigium adalah faktor
pekerjaan seperti nelayan dan orang-orang dengan riwayat keratitis kronik. Dari
berbagai laporan kasus dan studi lapangan (kasus kontrol) yang dilakukan di RS
ditemukan bahwa pterigium diturunkan secara genetik (autosomal dominal).6
10
2.3.4 Klasifikasi Pterigium
Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe3
a. Pterigium progresif: mengalami penebalan dengan banyak vaskularisasi dan
memiliki topi (cap), yaitu bagian yang menginfiltrasi kornea didepan bagian
head.
b. Pterigium regresif: tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi, dan tidak terdapat topi
(cap). Akhirnya membentuk membran yang tidak pernah hilang.
Tipe-tipe Pterigium7:
a. Tipe I: meluas kurang 2 mm dari kornea. Stocker's line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
b. Tipe II: menutupi kornea sampai 4 mm, bisa primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
c. Tipe III: mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi
yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis
subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan
pergerakan bola mata.
11
Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat8:
a. Derajat 1: jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
b. Derajat 2: jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.
c. Derajat 3: sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata
dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm).
d. Derajat 4: pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.
12
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi
dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel
bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan
terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi
degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular di bawah epithelium dan
kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan
membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai
dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia.10
Pterigium yang telah tumbuh sempurna terdiri dari tiga bagian, yaitu
kepala, leher dan badan. Kepala merupakan bagian apikal yang paling dekat ke
kornea. Leher merupakan bagian yang dekat dengan limbus, sedangkan badan
pterigium merupakan bagian skleral.3 Stocker line, yaitu garis besi berpigmen
(pigmented iron line) dapat terlihat pada tepi anterior sentral pterigium pada
kornea.4,12
2.3.7 Diagnosis
Diagnosis pterigium dapat ditegakkan berdasarkan klinis pasien. Pterigium
terlihat sebagai pertumbuhan fibrovaskular pada konjungtiva bulbar di dekat
limbus yang berbentuk seperti sayap (wing-shaped) atau segitiga. Pterigium dapat
13
meluas ke kornea. Pterigium lebih sering berlokasi di nasal daripada temporal. 4
Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan slit-lamp pada pasien untuk
mengidentifikasi lesi dan mengevaluasi integritas dan ketebalan kornea di
sekitarnya, serta menilai apakah terdapat astigmatisme kornea pada axis
pterigium.12
14
Gambar 2.7 Pingeucula13
Pannus merupakan pembuluh darah yang tumbuh ke arah kornea,
seringkali sekunder akibat pemakaian lensa kontak kronik, blefaritis, keratitis
herpes, kelainan atopi, trakoma, trauma, dan lainnya. Pannus biasanya terjadi pada
level membran Bowman tanpa elevasi atau dengan elevasi minimal.12
15
Gambar 2.9 Conjunctival intraepithelial neoplasia A. Papilliform B. Gelatinous
C. Lekukoplakic13
16
2.3.9 Tatalaksana
Tatalaksana pterigium terdiri dari pencegahan, tatalaksana nonbedah, dan
tatalaksana bedah.12,13 Mata pasien perlu diberi perlindungan dari sinar matahari,
debu, dan angin.12 Pasien disarankan untuk memakai pelindung mata, kacamata
hitam, goggle, dan/atau topi lebar saat berada di bawah paparan sinar matahari
atau debu. Kacamata hitam yang direkomendasikan adalah kacamata yang
menghalangi 99-100% sinar UVA dan UVB. 13
a. Bare sclera
17
Setelah eksisi tidak dilakukan penutupan dengan penjahitan. Teknik ini
memiliki tingkat rekurensi yang tinggi dan tidak direkomendasikan.
b. Simple closure
Tepi bebas konjungtiva dijahit (efektif hanya bila defek konjungtiva
berukuran sangat kecil).
c. Sliding flap
Insisi berbentuk huruf L dibuat berdekatan dengan luka, sehingga flap
dapat bergeser ke tempat eksisi
d. Rotational flap
Insisi berbentuk huruf U dibuat berdekatan dengan luka, sehingga
terbentuk lidah konjungtiva yang dapat mengalami rotasi ke tempat eksisi
18
BAB III
DISKUSI
19
Diagnosis pterigium ditegakkan berdasarkan klinis pasien, yaitu
pertumbuhan fibrovaskular pada konjungtiva bulbaris di dekat limbus yang
berbentuk sepeerti sayap (wing-shaped).4 Pasien didiagnosis dengan Pterigium
oculi dextra grade IV et sinistra grade III. Pada pasien ini, pterigium pada mata
kanan sudah menggangu visual axis yang menyebabkan penurunan tajam
penglihatan. Pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan. Pterigium pada mata kiri ditetapkan sebagai grade III karena sudah
melewati limbus kornea, lebih dari 2 mm, tetapi tidak melebihi pinggir pupil pada
ukuran pupil normal (3-4mm).
Faktor risiko dan patogenesis pterigium berkaitan erat dengan pajanan
sinar UV, walaupun trauma lingkungkan seperti pajanan debu, angin atau iritan
lainnya yang dapat menyebabkan inflamasi kronik juga dapat menjadi faktor. 4
Penyebab paling umum adalah paparan berlebihan dari sinar matahari yang
diterima oleh mata. Sinar matahari tersebut akan diabsorbsi oleh kornea dan
konjungtiva sehingga akan terjadi kerusakan sel yang berlanjut dengan adanya
proliferasi abnormal pterigium.6 paparan sinar UV juga diduga menyebabkan
penguapan cepat berulang dan kerusakan film air mata dengan degenerasi elastoid
dari jaringan ikat sub epitel (Achigbu et al). Pada penelitian oleh Nemet et al.,
iklim tropis merupakan faktor risiko pterigium, dengan bukti kuat terhadap
hubungan pekerjaan outdoor pajanan sinar ultraviolet (Nemet et al). Pada kasus
ini, pasien memiliki faktor risiko yaitu riwayat paparan kronis sinar UV dan debu
atas pekerjaannya sebagai pengemudi becak selama 13 tahun, yang dalam
kesehariannya jarang memakai pelindung mata dan/atau kepala.
Pada pasien ini diberikan terapi Cenfresh eye drop 6 x 1 ODS yang
mengandung carboxymethylcellulose sodium 5mg yang bekerja dengan
membentuk lapisan tear film pada permukan mata sebagai pembasah atau
lubrikan. Untuk penatalaksanaan terhadap pterigium, direncanakan untuk
dilakukan eksisi pterigium oculi dekstra + Amniotic Membrane Transplant
(AMT). Eksisi melalui pembedahan merupakan satu-satunya tatalaksana yang
memuaskan, yang diindikasikan pada (1) pterigium yang progresif yang
berpotensi menutup area pupil, (2) diplopia karena terganggunya pergerakan bola
mata, dan (3) alas an kosmetik.Indikasi dilakukannya tindakan operasi eksisi pada
pada pasien ini adalah pterigium sudah menggangu jalur visual, terutama pada
20
mata kanan. Amniotic Membrane Transplant merupakan alternatif konjungtiva
autolog. Indikasi penggunaan amniotic membrane adalah bila terdapat
keterbatasan ketersediaan konjungtiva autolog. Penutupan luka dengan metode ini
terutama berguna pada pterigium berukuran besar yang memerlukan eksisi besar.
Pada mata kiri dengan pterigium grade III tidak direncanakan dilakukan
eksisi, karena pterigium tidak menutupi visual axis, walaupun pada pasien ini
ditemukan penurunan tajam penglihatan pada kedua mata. Tindakan eksisi
nantinya dapat menyebabkan komplikasi terkait prosedur eksisi konjungtiva dari
permukaan sklera. Sklera yang tidak terlindungi akan menjadi lebih tipis dan
sebagian akan menjadi translusen kecuali tetap basah. Pengangkatan konjungtiva
perilimbal dan percampuran dengan efek basah dari tear film (setelah eksisi
pretrigium dengan teknik bare sclera) dapat mengakubatkan sclera dibawahnya
menjadi lebih tipis dan translusen dan membentuk sclera delle.4
21
DAFTAR PUSTAKA
22