Anda di halaman 1dari 22

Azrin Agmalina

112015380

1.Gejala klinis beserta tatalaksana dehidrasi berat, ringan sedang dan tanpa dehidrasi

Tabel. Klasifikasi tingkat dehidrasi anak dengan Diare

Klasifikasi tanda tanda atau gejala pengobatan

dehidrasi berat terdapat dua atau lebih dari -beri cairan untuk diare
tanda dibawah ini: dengan dehidrasi berat
-lihat rencana terapi C
-letargis / tidak sadar
- mata cekung
-tidak bisa minum atau malas
minum
-cubitan kulit perut kembali
sangat lambat > 2 detik

dehidrasi ringan/sedang terdapat dua atau lebih dari -beri anak cairan dan
tanda dibawah ini: makanan untuk dehidrasi
ringan
-rewel, gelisah -lihat rencana terapi B
-mata cekung -setelah rehidrasi, nasehati
-minum dengan lahap, haus ibu untuk penanganan
-cubitan kembali lambat dirumah dan kapan kembali
segera
-kunjungan ulang jika dalam
waktu 5 hari tidak membaik

tanpa dehidrasi tidak terdapat cukup tanda -beri cairan dan makanan
untuk diklasifikasikan untuk menangani diare
sebagai dehidrasi ringan/ dirumah
berat -lihat rencana terapi A
-nasehati ibu kapan kembali
Tatalaksana dehidrasi berat

Anak dengan dehidrasi berat harus diberi rehidrasi intravena secara cepat yang diikuti
dengan terapi rehidasi oral. Mulai berikan cairan intravena segera. Pada saat infus disiapkan, beri
larutan oralit jika anak bisa minum. Catatan: larutan intravena terbaik adalah larutan Ringer
Laktat (disebut pula larutan Hartman untuk penyuntikan). Tersedia juga larutan Ringer Asetat.
Jika larutan Ringer Laktat tidak tersedia, larutan garam normal (NaCl 0.9%) dapat digunakan.
Larutan glukosa 5% (dextrosa) tunggal tidak efektif dan jangan digunakan. Beri 100 ml/kg
larutan yang dipilih dan dibagi sesuai Tabel berikut ini.

Tabel . Pemberian Cairan Intravena bagi anak dengan Dehidrasi Berat

pertama berikan 30ml/kgbb selanjutnya berikan 70 ml/kgbb


dalam: dalam:

umur < 12 bulan 1 jam 5 jam


umur > 12 bulan 30 menit 2 jam

Dehidrasi ringan/sedang

Pemantauan Nilai kembali anak setiap 15 30 menit hingga denyut nadi radial anak
teraba. Jika hidrasi tidak mengalami perbaikan, beri tetesan infus lebih cepat. Selanjutnya, nilai
kembali anak dengan memeriksa turgor, tingkat kesadaran dan kemampuan anak untuk minum,
sedikitnya setiap jam, untuk memastikan bahwa telah terjadi perbaikan hidrasi. Mata yang
cekung akan membaik lebih lambat dibanding tanda-tanda lainnya dan tidak begitu bermanfaat
dalam pemantauan. Jika jumlah cairan intravena seluruhnya telah diberikan, nilai kembali status
hidrasi anak,. Jika tanda dehidrasi masih ada, ulangi pemberian cairan intravena seperti yang
telah diuraikan sebelumnya. Dehidrasi berat yang menetap (persisten) setelah pemberian
rehidrasi intravena jarang terjadi; hal ini biasanya terjadi hanya bila anak terus menerus BAB
cair selama dilakukan rehidrasi. Jika kondisi anak membaik walaupun masih menunjukkan tanda
dehidrasi ringan, hentikan infus dan berikan cairan oralit selama 3-4 jam. Jika anak bisa menyusu
dengan baik, semangati ibu untuk lebih sering memberikan ASI pada anaknya.

Jika tidak terdapat tanda dehidrasi, ikuti Rencana Terapi A. Jika bisa, anjurkan ibu untuk
menyusui anaknya lebih sering. Lakukan observasi pada anak setidaknya 6 jam sebelum pulang
dari rumah sakit, untuk memastikan bahwa ibu dapat meneruskan penanganan hidrasi anak
dengan memberi larutan oralit. Semua anak harus mulai minum larutan oralit (sekitar
5ml/kgBB/jam) ketika anak bisa minum tanpa kesulitan (biasanya dalam waktu 34 jam untuk
bayi, atau 12 jam pada anak yang lebih besar). Hal ini memberikan basa dan kalium, yang
mungkin tidak cukup disediakan melalui cairan infus. Ketika dehidrasi berat berhasil diatasi, beri
tablet zinc. Pada umumnya, anak-anak dengan dehidrasi sedang/ringan harus diberi larutan oralit,
dalam waktu 3 jam pertama di klinik saat anak berada dalam pemantauan dan ibunya diajari cara
menyiapkan dan memberi larutan oralit.

Tatalaksana dehidrasi ringan/sedang

Pada 3 jam pertama, beri anak larutan oralit dengan perkiraan jumlah sesuai dengan berat
badan anak (atau umur anak jika berat badan anak tidak diketahui). Namun demikian, jika anak
ingin minum lebih banyak, beri minum lebih banyak. Tunjukkan pada ibu cara memberi larutan
oralit pada anak, satu sendok teh setiap 1 2 menit jika anak berumur di bawah 2 tahun; dan
pada anak yang lebih besar, berikan minuman oralit lebih sering dengan menggunakan cangkir.

Lakukan pemeriksaan rutin jika timbul masalah

Jika anak muntah, tunggu selama 10 menit; lalu beri larutan oralit lebih lambat (misalnya 1
sendok setiap 2 3 menit)

Jika kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan beri minum air matang atau
ASI.

-Nasihati ibu untuk terus menyusui anak kapan pun anaknya mau.
-Jika ibu tidak dapat tinggal di klinik hingga 3 jam, tunjukkan pada ibu cara menyiapkan larutan
oralit dan beri beberapa bungkus oralit secukupnya kepada ibu agar bisa menyelesaikan rehidrasi
di rumah ditambah untuk rehidrasi dua hari berikutnya.

N-ilai kembali anak setelah 3 jam untuk memeriksa tanda dehidrasi yang terlihat sebelumnya

(Catatan: periksa kembali anak sebelum 3 jam bila anak tidak bisa minum larutan oralit atau
keadaannya terlihat memburuk.)

Jika tidak terjadi dehidrasi, ajari ibu mengenai empat aturan untuk perawatan di rumah

beri cairan tambahan.

-beri tablet Zinc selama 10 hari

-lanjutkan pemberian minum/makan

- kunjungan ulang jika terdapat tanda berikut ini:

- anak tidak bisa atau malas minum atau menyusu

- kondisi anak memburuk

- anak demam

- terdapat darah dalam tinja anak

Jika anak masih mengalami dehidrasi sedang/ringan, ulangi pengobatan untuk 3 jam berikutnya
dengan larutan oralit, seperti di atas dan mulai beri anak makanan, susu atau jus dan berikan ASI
sesering mungkin

Meskipun belum terjadi dehidrasi berat tetapi bila anak sama sekali tidak bisa minum oralit
misalnya karena anak muntah profus, dapat diberikan infus dengan cara: beri cairan intravena
secepatnya. Berikan 70 ml/kg BB cairan Ringer Laktat atau Ringer asetat (atau jika tak tersedia,
gunakan larutan NaCl) yang dibagi sebagai berikut:

Umur Pemberian 70 ml/kgbb selama


< 12 bulan 5jam
12 bulan- 5 tahun 2 jam

-Periksa kembali anak setiap 1-2 jam.

-Juga beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum.

-Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam.

-Klasifikasikan Dehidrasi. Kemudian pilih rencana terapi yang sesuai (A, B, atau C) untuk
melanjutkan penanganan.

Tanpa dehidrasi

Beri tablet Zinc. Beritahu ibu berapa banyak tablet zinc yang diberikan kepada anak:

-Di bawah umur 6 bulan: tablet (10 mg) per hari

-6 bulan ke atas: 1 tablet (20 mg) per hari

Pemberian Makan

Melanjutkan pemberian makan yang bergizi merupakan suatu elemen yang

penting dalam tatalaksana diare. ASI tetap diberikan Meskipun nafsu makan anak belum
membaik, pemberian makan tetap diupayakan pada anak berumur 6 bulan atau lebih. Jika anak
biasanya tidak diberi ASI, lihat kemungkinan untuk relaktasi (yaitu memulai lagi pemberian ASI
setelah dihentikan) atau beri susu formula yang biasa diberikan. Jika anak berumur 6 bulan atau
lebih atau
sudah makan makanan padat, beri makanan yang disajikan secara segar dimasak, ditumbuk
atau digiling. Berikut adalah makanan yang direkomendasikan:

Sereal atau makanan lain yang mengandung zat tepung dicampur dengan kacang-kacangan,
sayuran dan daging/ikan, jika mungkin, dengan 1-2 sendok teh minyak sayur yang ditambahkan
ke dalam setiap sajian.

Makanan Pendamping ASI lokal yang direkomendasikan dalam pedoman Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS) di daerah tersebut.

Sari buah segar seperti apel, jeruk manis dan pisang dapat diberikan untuk penambahan kalium.

-Bujuk anak untuk makan dengan memberikan makanan setidaknya 6 kali sehari. Beri makanan
yang sama setelah diare berhenti dan beri makanan tambahan per harinya selama 2 minggu.
Anak yang menderita diare tetapi tidak mengalami dehidrasi harus mendapatkan cairan
tambahan di rumah guna mencegah terjadinya dehidrasi. Anak harus terus mendapatkan diet
yang sesuai dengan umur mereka, termasuk meneruskan pemberian ASI Selama 10 hari.

Tatalaksana tanpa dehidrasi

-Anak dirawat jalan

-Ajari ibu mengenai 4 aturan untuk perawatan di rumah:

- beri cairan tambahan

- beri tablet Zinc

- lanjutkan pemberian makan

- nasihati kapan harus kembali

Lihat Rencana Terapi A

Beri cairan tambahan, sebagai berikut:


- Jika anak masih mendapat ASI, nasihati ibu untuk menyusui anaknya lebih sering dan lebih
lama pada setiap pemberian ASI. Jika anak mendapat ASI eksklusif, beri larutan oralit atau air
matang sebagai tambahan ASI dengan menggunakan sendok. Setelah diare berhenti, lanjutkan
kembali ASI eksklusif kepada anak, sesuai dengan umur anak.

- Pada anak yang tidak mendapat ASI eksklusif, beri satu atau lebih cairan dibawah ini:

larutan oralit

cairan rumah tangga (seperti sup, air tajin, dan kuah sayuran)

air matang

Untuk mencegah terjadinya dehidrasi, nasihati ibu untuk memberi cairan tambahan
sebanyak yang anak dapat minum:

untuk anak berumur < 2 tahun, beri + 50100 ml setiap kali anak BAB

untuk anak berumur 2 tahun atau lebih, beri + 100200 ml setiap kali anak BAB.

Ajari ibu untuk memberi minum anak sedikit demi sedikit dengan menggunakan cangkir.
Jika anak muntah, tunggu 10 menit dan berikan kembali dengan lebih lambat. Ibu harus terus
memberi cairan tambahan sampai diare anak berhenti. Ajari ibu untuk menyiapkan larutan oralit
dan beri 6 bungkus oralit (200 ml) untuk dibawa pulang.

Beri tablet zinc

- Ajari ibu berapa banyak zinc yang harus diberikan kepada anaknya:

Di bawah umur 6 bulan : tablet (10 mg) per hari

Umur 6 bulan ke atas : 1 tablet (20 mg) per hari

Selama 10 hari
Ajari ibu cara memberi tablet zinc:

Pada bayi: larutkan tablet zinc pada sendok dengan sedikit air matang, ASI perah atau larutan
oralit.

Pada anak-anak yang lebih besar: tablet dapat dikunyah atau dilarutkan. Ingatkan ibu untuk
memberi tablet zinc kepada anaknya selama 10 hari penuh.

-Nasihati ibu kapan harus kembali untuk kunjungan ulang

Tindak lanjut

Nasihati ibu untuk membawa anaknya kembali jika anaknya bertambah parah, atau tidak
bisa minum atau menyusu, atau malas minum, atau timbul demam, atau ada darah dalam tinja.
Jika anak tidak menunjukkan salah satu tanda ini namun tetap tidak menunjukkan perbaikan,
nasihati

ibu untuk kunjungan ulang pada hari ke-5. Nasihati juga bahwa pengobatan yang sama harus
diberikan kepada anak di waktu yang akan datang jika anak mengalami diare lagi.
Rencana terapi C
2. Penyebab rambut menjadi mudah cabut dan berwarna merah seperti rambut jagung
pada gizi buruk.

Pada anak gizi buruk baik dari segi karbohidrat, protein maupun lemak serta mikronutrisi
lainnya tidak terpenuhi. Sehingga terjadi gangguan metabolisme tubuh. Katabolisme tidak
seimbang dengan proses anabolisme. Sel rambut merupakan sel yang bertumbuh dengan cepat,
namun ketika bahan penyusun matrik rambut tidak tersedia maka pertumbuhan rambut terganggu
dan rambut menjadi mudah patah dan rontok ketika dicabut. Pigmentasi rambut juga tidak terjadi
sebagaimana mestinya sehingga rambut tidak lagi hitam seperti biasanya.

3.Apnoe fisiologis dan apnoe patologis

Apnoe patologis

CENTRAL SLEEP APNEA (CSA)

Keadaan ini ditandai dengan berkurangnya ventilasi selama tidur yang disebabkan
menurunnya upaya respirasi selama 10 detik atau lebih pada orang dewasa. Umumnya terjadi
pada penderita dengan gangguan neurologis yang mempengaruhi pusat pernapasan. Prevalensi
CSA tidak diketahui, meskipun pada penderita gangguan neuromuskular dan orang tua
mempunyai predisposisi lebih besar. Aliran udara tidak terjadi, disebabkan berhentinya upaya
bernapas selama beberapa saat akibat otak gagal mengirimkan sinyal ke diafragma dan otot dada
untuk mempertahankan siklus pernapasan. Pergerakan irama pernapasan hilang secara periodik,
jalan napas tetap terbuka tetapi udara tidak masuk melalui hidung atau mulut karena aktivitas
diafragma dan otot dada berhenti. Penderita dengan CSA tidak ada dengkuran dan cenderung
sering terbangun dari tidur. Patogenesis Ketidakstabilan pola pernapasan CSA disebabkan oleh
berbagai keadaan klinis mulai dari kerusakan batang otak hingga vertebra servikal dan dapat
diklasifikasikan sebagai hiperkapnia atau hipokapnia. Bentuk hiperkapnia tampak pada penderita
penyakit sistem saraf pusat yang menyebabkan hilangnya kontrol pernapasan, seperti ensefalitis,
penyakit neuromuskular atau abnormaliti anatomi toraks (kifoskoliosis) sedangkan hipokapnia
terjadi pada penderita dengan gagal jantung kongestif. Ketidakstabilan yang disebabkan oleh
pernapasan periodik (pernapasan cheynestokes) timbul hanya pada saat mengantuk dan tidur
dangkal. Karena tidak ada defek pada kontrol pernapasan, kadar PCO2 arteri saat bangun atau
tidur gelombang lambat adalah normal atau rendah. Siklus hipopnea (apnea) bergantian dengan
hiperpnea (pernapasan Cheyne-stokes) secara berulang sampai terjadi tidur.

Gambaran klinis Central sleep apnea pada penderita gangguan kontrol respirasi atau
fungsi neuromuskular memberikan gambaran klinis episode gagal napas berulang dan gambaran
sindroma hipoventilasi alveolar kronik, retensi CO2, hipoksemia, hipertensi pulmoner, gagal
jantung kanan dan polisitemia. Keluhan yang timbul yaitu restless sleep (badan terasa tidak
bugar setelah tidur), sakit kepala pagi hari, kelelahan dan rasa mengantuk siang hari. Beberapa
penderita mempunyai riwayat obstruksi hidung dan mendengkur sehingga pada awalnya
dianggap menderita OSA. Penderita tipe CSA ini dapat terjadi tanpa gangguan klinis (idiopathic
central sleep apnea) tetapi dapat merupakan gambaran sekunder gagal jantung kongestif.
Penderita dengan gagal jantung dan CSA terdapat insomnia, paroxysmal nocturnal dyspnea serta
denyut takikardia ventrikuler lebih tinggi dibandingkan tanpa CSA dan berhubungan dengan
saturasi O2. Mekanismenya belum diketahui tetapi diduga karena hipoksia akibat apnea,
aktivitas saraf simpatis, tekanan darah sistemik atau volume ventrikel kanan yang lebih besar
pada penderita CSA. Faktor ini berhubungan dengan meningkatnya mortalitas pada penderita
gagal jantung kongestif dengan apnea tidur dibandingkan tanpa apnea tidur.

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA (OSA)

Insidensi OSA diperkirakan 14% populasi umum. Penderita OSA dengan kebiasaan
mendengkur lebih banyak terjadi apnea, hipopnea dan penurunan saturasi oksihemoglobin
sewaktu tidur dibandingkan tanpa mendengkur. Enampuluh persen pasien OSA adalah kelebihan
berat badan (berat badan lebih dari 20 persen diatas ideal). Ukuran leher, area distal faring dan
indeks masa tubuh berhubungan dengan frekuensi apnea. Apnea dapat didefinisikan sebagai
hilangnya aliran udara sedikitnya 10 detik. Penurunan volume tidal melebihi 50% tetapi di
bawah 75% dari nilai dasar dengan terhentinya aliran udara sedikitya 10 detik disebut hipopnea.
Gabungan apnea/hipopnea merupakan patofisiologi obstructive apnea. Pada dewasa muda
normal, sampai dengan 5 apnea/hipopnea perjam saat tidur adalah fisiologis, frekuensi ini
meningkat sesuai umur. Lakilaki mempunyai tahanan faring lebih tinggi ketika bangun dan
celah faring lebih kecil sehingga respon ventilasi yang menyebabkan terjadinya hiperkarbia dan
hipoxia lebih besar pada lakilaki dan faktor hormonal berperan pada patogenesis OSA.

Obstructive sleep apnea umumnya terjadi pada dewasa muda, biasanya antara umur 40
50 tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anakanak dan remaja. Mayoritas pasien OSA adalah
kelebihan berat badan, tidak semua obesitas meskipun demikian peningkatan berat badan
mempengaruhi peningkatan frekuensi apnea/hypopnea dan penurunan berat badan
mempengaruhi penurunan apnea/hypopnea index (AHI). Evaluasi anatomi jalan nafas atas
merupakan bagian dari pemeriksaan fisik penderita OSA. Inspeksi terdapatnya abnormaliti
struktur atau sempitnya saluran napas atas sering terjadi pada pasien OSA. Obstructive sleep
apnea sydrome berhubungan dengan beberapa penyakit paru seperti PPOK, penyakit paru
restriktif, penyakit neuromuskular.

Patogenesis Pada OSA terjadi pendorongan lidah dan palatum ke belakang sehingga
aposisi dengan dinding faring posterior yang menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring.
Sewaktu tidur oklusi saluran napas menyebabkan berhentinya aliran udara meskipun pernapasan
masih berlangsung sehingga timbul apnea, asfiksia sampai proses terbangun yang singkat dari
tidur dan terjadi perbaikan patensi saluran napas atas sehingga aliran udara dapat diteruskan
kembali. Dengan perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali sampai kejadian berikutnya terulang
kembali. Saluran napas atas kolaps jika tekanan faring negatif selama inspirasi melebihi
kekuatan stabilisasi otot dilator dan abduktor saluran napas atas. Beberapa penderita dengan
penyempitan saluran napas akibat mikrognatia, retrognatia, hipertropi adenotosilar, magroglossia
atau akromegali. Reduksi ukuran orofaring menyebabkan complaince saluran napas atas
meningkat sehingga cenderung kolaps jika ada tekanan negatif . Obesitas juga berperan dalam
penyempitan jalan napas. Berat badan yang berlebihan pada dinding dada dan disfungsi
diafragma mengganggu upaya ventilasi saat tidur dan jaringan lemak pada leher dan lidah
menurunkan diameter saluran napas yang merupakan pred disposisi terjadinya penutupan
prematur saat jaringan otot relaksasi waktu tidur.

Saat bangun, aktiviti otot saluran napas atas lebih besar dari normal, kemungkinan
kompensasi dari penyempitan dan tahanan saluran napas yang tinggi. Aktiviti otot yang menurun
saat tidur menyebabkan kolaps saluran napas atas sewaktu inspirasi. Reduksi fisiologis aktivitas
saluran napas atas terjadi selama tidur REM. Alkohol dan obat sedatif menyebabkan depresi
aktiviti otot saluran napas atas sehingga terjadi kolaps. Beberapa penderita juga tampak obstruksi
hidung, tahanan tinggi merupakan predisposisi kolaps saluran napas atas karena tekanan negatif
meningkat di faring saat inspirasi menyebabkan kontraksi diafragma meningkat untuk mengatasi
tahanan aliran udara di hidung. Akhir obstructive apnea tergantung proses terbangun dari tidur ke
tingkat tidur yang lebih dangkal dan diikuti oleh aktiviti otot dilator dan abduktor saluran napas
atas dan perbaikan posisi saluran napas. Pada orang normal, ukuran dan panjang palatum lunak,
uvula dan besar lidah, saluran napas atas pada tingkat nasofaring, orofaring dan hipofaring
ukuran dan konturnya normal.

Gambaran klinis Manifestasi klinis dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok
dominan neuropsikiatri dan perilaku dan kelompok dominan kardiorespirasi. Manifestasi klinis
tersering adalah neuropsikiatri dan perilaku dengan keluhan tersering rasa mengantuk berat di
siang hari. Gejala malam yang tersering adalah suara dengkuran keras yang disebabkan jalan
napas yang sempit. Akhir tiap episode apnea biasanya ditandai dengan hembusan napas
dengkuran keras yang diikuti gerakan tubuh, penderita tidak menyadari tetapi dikeluhkan oleh
teman tidurnya. Kadang penderita terbangun dan tersedak, kurang udara atau insomnia, tidak
nyenyak, disorientasi dan sakit kepala di pagi hari.

Gejala klinis yang umum terjadi pada OSA Gejala klinis pada OSA . Gejala klinis Insidensi (%)

Suara dengkur 95

Mengantuk 75

Restless sleep 99

Mental abnormal 58

Perubahan personaliti 48

Impotensi 40

Sakit kepala siang hari 35

Nokturia 30
Akibat gangguan pola tidur normal, penderita dengan apnea tidur sering merasa
mengantuk, gangguan konsentrasi dan aktivitas di siang hari. Termasuk didalamnya depresi,
iritabiliti, sulit belajar, gangguan seksual dan tertidur saat bekerja atau saat menyetir kendaraan.
Diperkirakan sampai 50% penderita apnea tidur mempunyai tekanan darah tinggi meskipun tidak
diketahui dengan jelas apakah merupakan penyebab atau efek apnea tidur. Risiko serangan
jantung dan stroke meningkat pada penderita apnea tidur.

Apnoe fisiologis

Bayi berhenti bernapas sering disebut dengan istilah periodic breathing atau napas
periodik. Periodic breathing ini menjadi hal umum yang sering terjadi pada bayi baru lahir
hingga usianya 6 bulan. saat bayi tidur, terkadang irama napasnya berubah-ubah, dari cepat, lebih
lambat, kemudian berhenti sesaat kurang lebih 5-10 detik, lantas bernapas kembali seperti tidak
terjadi apa-apa. Periodic breathing lebih banyak terjadi pada bayi yang lahir prematur. Pada bayi
normal bisa mengalaminya sebanyak 0,7% dari waktu tidurnya, sementara bayi yang lahir
prematur, bisa mengalaminya sebanyak 12% dari waktu tidur yang dilaluinya.2 Pada bayi baru
lahir, kejadian berhenti bernapas sesaat ini merupakan salah satu proses fisiologis. Bayi yang
baru lahir, memiliki reseptor pendeteksi kadar oksigen dan karbondioksida serta pengontrol
pernapasan di otak yang belum berkembang dengan sempurna.
5.Alasan kenapa pemberian Fe tidak dianjurkan pada fase stabilisasi dan transisi gizi
buruk

Fe berfungsi sebagai nutrisi yang penting dalam metabolisme manusia dan


mikroorganisme baik pathogen, bakteri, jamur, dan protozoa untuk pertumbuhan dan poliferasi
sel. Sebagai strategi pertahanan, host atau penderita infeksi telah mengembangkan mekanisme
untuk mengurangi ketersediaan Fe yang dapat digunakan untuk perkembangbiakan pathogen.
Pergantian terapi ditujukan untuk mempertahankan oksigenasi sistemik yang memadai dan
meningkatkan eritopoiesis. Selain fungsi untuk transportasi oksigen dan jalur metabolic, Fe
memainkan peran penting dalam fungsi kekebalan tubuh manusia dengan meningkatkan aktivasi
limfosit dan proliferasi sel. Namun apabila kelebihan Fe, dapat melemahkan efek tersebut dan
menghambat neutrophil fagositosis dan proliferasi. Homeostasis Fe dijaga melalui regulasi
adsorbsi pada usus duabelas jari dan perombakan cadangan Fe. Dalam konsisi normal, Fe tidak
tersedia secara langsung untuk digunakan oleh host agar tidak digunakan oleh pathogen. Sekitar
75% dari Fe host terdapat di Hb eritrosit, dan sisanya disimpan dalam intraseluler sebgai ferritin
atau terikat pada protein ekstraseluler seperti transferrin. Infeksi dan inflamasi mengubah
homeostasis Fe melalui mekanisme imun yang akan membatasi suplai Fe yang tersedia. Sitokin
merangsang hepcidin protein fase akut untuk menekan penyerapan Fe, yang disertai peningkatan
cadangan Fe pada retikuloendotelial. Strategi ini berfungsi sebagai pertahanan yang efektif
terhadap pathogen, dan suplementasi Fe selama infeksi akan menghalangi strategi pelindung
tersebut.

6.Vitamin booster

Setiap Bulan Februari dan Agustus merupakan Bulan Vitamin A. Pada bulan tersebut
dilakukan pemberian Vitamin A dosis tinggi untuk bayi dan balita usia 6-59 bulan. Pada Bayi
usia 6-11 bulan diberikan Vitamin A kapsul biru (dosis 100.000 IU) dan pada Balita usia 12-59
bulan diberikan Vitamin A kapsul merah (dosis 200.000 IU). Penelitian di berbagai negara
menunjukkan bahwa pemberian suplementasi kapsul vitamin A sebanyak 2 kali setahun pada
balita merupakan salah satu intervensi kesehatan yang berdaya ungkit tinggi bagi pencegahan
kekurangan vitamin A dan kebutaan serta penurunan kejadian kesakitan dan kematian pada
balita.
Vitamin A merupakan zat gizi yang penting (essensial) bagi manusia, Zat gizi ini tidak
dapat dibuat oleh tubuh sehingga harus dipenuhi dari luar. Makanan sumber Vitamin A sebagian
besar berasal dari produk hewani seperti daging, telur, susu dan hati, namun beberapa produk
nabati juga mengandung Vitamin A terutama sayur-sayuran berwarna seperti wortel, bayam, kol,
brokoli, semangka, melon, pepaya, mangga, tomat dan kacang polong. Disamping dari produk
alami, Vitamin A juga dapat berasal dari hasil rekayasa yang diperkaya (fortifikasi) pada
beberapa bahan pangan seperti dalam minyak goreng, margarin, susu dan beberapa jenis mie
instant. Selain itu ada satu sumber Vitamin A yang sangat potensial dan dapat mencukupi seluruh
kebutuhan tubuh khususnya pada bayi dan Balita yaitu suplementasi Vitamin A melalui
pemberian kapsul Vitamin A. Vitamin A penting untuk kesehatan mata dan mencegah kebutaan,
dan yang lebih penting lagi, vitamin A dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Anak yang cukup
mendapat vitamin A akan menjadi lebih kebal dan apabila terkena diare, campak atau penyakit
infeksi lain, tidak mudah menjadi parah sehingga tidak membahayakan jiwa anak.

Suatu penelitian yang dilakukan di Pakistan pada tahun 2011 membuktikan bahwa
pemberian suplemen Vitamin A pada anak usia 5-59 bulan di negara tersebut mampu menekan
angka kematian sampai 20% dan menunjukkan adanya pengurangan Balita yang menderita
penyakit akibat infeksi, diare, campak maupun kebutaan. Dari penelitian tersebut terlihat bahwa
pentingnya vitamin A tidak hanya sebatas pada pencegahan kebutaan, namun yang lebih penting
lagi adalah kaitannya dengan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan serta
kesehatan anak. Suplementasi Vitamin A adalah program intervensi pemberian kapsul Vitamin A
bagi anak usia 6-59 bulan dan Ibu nifas yang bertujuan selain untuk mencegah kebutaan juga
untuk menanggulangi kekurangan Vitamin A yang masih cukup tinggi.

Ada 2 jenis kapsul Vitamin A dosis tinggi yang diberikan dalam kegiatan suplementasi
Vitamin A yaitu kapsul biru (mengandung Vitamin A 100.000 IU) yang diperuntukkan bagi bayi
usia 6-11 bulan dan kapsul merah (mengandung Vitamin A 200.000 IU) yang diperuntukkan bagi
Balita usia 12-59 bulan. Jadwal pemberian Vitamin A pada bayi dan Balita adalah 2 kali setahun
setiap Bulan Februari dan Agustus. Sedangkan untuk Ibu nifas, diberikan kapsul berwarna merah
pada rentang waktu 0-42 hari setelah melahirkan sebanyak 1 kapsul dan 1 kapsul lagi 24 jam
setelah pemberian kapsul pertama. Suplementasi Vitamin A dapat diperoleh di sarana pelayanan
kesehatan seperti: rumah sakit, Puskesmas, Pustu, Poskesdes dan Posyandu.
Disamping pada kegiatan rutin, suplementasi Vitamin A juga diberikan pada situasi khusus
seperti pada Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit campak dan penyakit infeksi lainnya, kasus
gizi buruk dan apabila ditemukan kasus xerophthalmia. Disamping itu pada kejadian bencana
alam, bayi dan Balita di pengungsian juga diberikan kapsul Vitamin A untuk meningkatkan daya
tahan dan mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk

Daftar pustaka

1.Departemen kesehatan RI. Buku saku peayanan kesehatan anak dirumah sakit. Jakarta:Depkes;
2009.h.132-142

2. RS Persahabatan Dept Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. Pathogenesis diagnosis


dan screening OSA. Jurnal respirologi. Jakarta: FKUI.h.3-6

3.Stock J, Sly PD, Tepper RS, Morgan WJ. Infant respiratory function testing. Canada: library of
Conggress, 1996.h.505

4. Departemen kesehatan RI.. Bagan tatalaksana anak gizi buruk jilid I.


Jakarta:Depkes;2003.h.15-16

5.Departemn kesehatan RI. Panduan manajemen suplementasi vitamin A. Jakarta: Depkes RI,
2009.h.3-6

Anda mungkin juga menyukai