Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher
dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana
yang terlibat. Penyebab paling sering dari abses leher dalam adalah infeksi gigi
(43%) dan penyalahgunaan narkoba suntikan (12%).1

Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat
komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan
saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna.
Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat serius.
Etiologi infeksi di daerah leher dapat bermacam-macam. Kuman penyebab abses
leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif
anaerob. 1,2,3

Infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang terjadi sejak
diperkenalkannya antibiotik dan angka kematiannya menjadi lebih rendah.
Disamping itu higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam hal ini. Sebelum
adanya antibiotik, 70 % infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di faring
dan tonsil ke parafaring.4

Disamping drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan


untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif terhadap
pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotik terhadap
kuman. Namun ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan
pemberian antibiotik secara empiris.5

Meluasnya penggunaan antibiotik tidak hanya menurunkan angka kejadian


infeksi yang mengancam jiwa, tetapi juga mengubah gambaran klinis penyakit ini.
Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher secara baik, serta

1
penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan untuk dapat memperkirakan
perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang adekuat. 1,4,5,6,7

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI LEHER

2.1.1 Anatomi Leher

Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia
servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda.
Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher.
Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta
meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.6,8

Gambar 2.1 Potongan aksial leher setinggi orofaring9

3
Gambar 2.2 Potongan oblik leher6

Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem


muskuloapenouretik, yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan dada,
dan tidak termasuk bagian dari daerah leher dalam. Fasia profunda mengelilingi
daerah leher dalam dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan superfisial, lapisan tengah,
lapisan dalam.5,6

2.1.2 Ruang potensial leher dalam

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah
sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.6,8

1) Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:


a. ruang retrofaring
b. ruang bahaya (danger space)
c. ruang prevertebra.
2) Ruang suprahioid terdiri dari:
a. ruang submandibula
b. ruang parafaring
c. ruang parotis
d. ruang mastikor
e. ruang peritonsil
f. ruang temporalis.
3)
Ruang infrahioid: ruang pretrakeal.

4
Gambar 2.3 Potongan Sagital Leher6

2.2 ABSES LEHER DALAM

2.2.1 DEFINISI

Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi
di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau
parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum
suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah
penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh.9

Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang


potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber
infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.6

2.2.2 EPIDEMIOLOGI 5

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Huang dkk pada tahun 1997 sampai
2002, menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses

5
submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring
(38,4), diikuti oleh Ludwigs angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).

Penelitian Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April
2001 sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan
perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses
submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%,
parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.

Berdasarkan penelitian di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil


Padang selama 1 tahun terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan
abses leher dalam sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses
submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4
(12%) kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.

2.2.3 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam


tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara
perluasan langsung maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan
flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu, maka kuman dari abses yang
terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam
disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun
fakultatif anaerob.5

Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak dibanding


dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1 sampai
10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang
paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas,
Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob dan fakultatif adalah
Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.

Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi
tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran

6
infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi
molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk
terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya berada di
bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila.5

Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber
infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman flora
normal di saluran nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi yang
berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti, Prevotella,
Fusobacterium sp.5

Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah
kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun
Fusobacterium. Gejala klinis yang menandakan adanya infeksi anaerob adalah:

a. Sekret yang berbau busuk akibat produk asam lemak rantai pendek dari
metabolisme anaerob.
b. Infeksi di proksimal permukaan mukosa.
c. Adanya gas dalam jaringan.
d. Hasil biakan aerob negatif.

Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu


hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung
dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.5

Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke


parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang
submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.5

2.2.4 GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS

Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi
pada umumnya yaitu demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi. Gejala

7
klinis dari abses leher dalam didapatkan bengkak pada leher, trismus, disfagia, dan
odinofagia.5,6,7

2.2.5 JENIS-JENIS ABSES LEHER DALAM

1) Abses peritonsil

Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material purulen yang terbentuk


di luar kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil.10

Gambar 2.4 Abses Peritonsil14

a. Etiologi

Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan, dan


biasanya merupakan komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan
penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.7,10

b. Patologi

8
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial pritonsil tersering menempati
daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak.7

Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak


permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah
tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke
arah kontralateral. Bila proses berlanjut terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada M. Pterygoideus interna, sehingga timbul trismus. Abses
dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.7

c. Diagnosis

Pada abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri


menelan (odinofagia), hipersalivasi, nyeri telinga (otalgia) dan suara bergumam (hot
potato voice). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui saraf N.
Glossopharyngeus (N.IX). Mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau
(foetor ex ore) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke
depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris, pembengkakan di daerah
peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil bengkak,
hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke sisi kontra lateral. Kadang-
kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus. Abses ini dapat meluas ke
daerah parafaring. Untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan pungsi aspirasi dari
tempat yang paling fluktuatif.6,7,8

d. Terapi

9
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada
leher.7

Bila telah terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan


teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Tempat insisi ialah di
daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan
drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di
lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan
segera gejala-gejala pasien.7,11

Bila terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan setelah pemberian


cairan kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa
nasalis.11

Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan


bersama-sama tindakan drenase abses, disebut tonsilektomi a chaud. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a tiede,
dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi a
froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3
minggu sesudah drainase abses.7

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses


peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses
peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum
ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian
penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan
terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi
segera.12

e. Komplikasi

10
Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau
piemia. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi
mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan
trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.7

2) Abses retrofaring

Gambar 2.5 Abses Retrofaring14

a. Etiologi dan Patologi

Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada bayi
atau anak di bawah dua tahun dan merupakan abses leher dalam yang terbanyak pada
anak. Kelenjar getah bening ini biasanya mengalami atropi pada usia 3-4 tahun. Pada
anak biasanya abses terjadi mengikuti infeksi saluran nafas atas dengan supurasi
pada kelenjar getah bening yang terdapat pada daerah retrofaring. Pada orang dewasa
abses retrofaring sering terjadi akibat adanya trauma tumpul pada mukosa faring,
perluasan abses dari struktur yang berdekatan.5,6,7,11

b. Diagnosis

Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan (disfagia) di
samping juga gejala-gejala lain berupa demam, pergerakan leher terbatas, dan sesak

11
nafas. Sesak nafas timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan nafas,
terutama di hipofaring. Bila peradangan sudah sampai laring, dapat timbul stridor.
Abses retrofaring sebaiknya dicurigai jika pada bayi atau anak kecil terdapat demam
yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi pernapasan bagian atas dan terdapat
gejala-gejala hilangnya nafsu makan, perubahan dalam berbicara, dan kesulitan
menelan. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan dinding posterior faring.5,6,7,11

c. Terapi

Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis tinggi untuk kuman


aerob dan anaerob, dan tindakan bedah. Pungsi dan insisi abses dilakukan melalui
laringoskop langsung dalam posisi pasien Trendelenburg. Pus yang keluar segera
diisap agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal
atau umum.7,11

d. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring,


ruang vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila pecah
spontan dapat menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru.7

3) Abses Parafaring

12
Gambar 2.6 Abses Parafaring14

a. Etiologi dan patologi

Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi,
parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan
perluasan dari abses leher dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses
submandibula, abses retrofaring maupun mastikator.5,8

b. Gejala dan tanda

Gejala utama abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok,


odinofagi dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah
parafaring, pendorongan dinding lateral faring ke medial, dan angulus mandibula
tidak teraba. Pada abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid akan
memberikan gejala trismus yang lebih jelas.5,7,8

c. Terapi

Selain pemberian antibiotika dosis tinggi, evakuasi abses harus segera


dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara

13
eksplorasi dalam narkosis. Drainase sebaiknya dilakukan melalui insisi servikal pada
2 jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari
batas anterior M. Sternocleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian
medial mandibula dan M. Pterigoideus interna mencapai mencapai ruang parafaring
dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis,
insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan M.
Sternocleidomastoideus (cara Mosher).7,11

d. Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau


langsung (per kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat
mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis
mencapai mediastinum. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh
darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehingga
terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul
tromboflebitis dan septikemia.7

4) Abses Submandibula

Gambar 2.7 Abses Submandibula14

a. Etiologi dan patologi

14
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau
kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi infeksi ruang
leher dalam lain. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob, 7

b. Tanda dan Gejala

Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah


mandibula dan atau di bawah lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air liur
yang banyak, trismus akibat keterlibatan muskulus pterigoideus, disfagia dan sesak
nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke
belakang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembengkakan di daerah
submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material yang
bernanah atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus mandibula dapat diraba.
Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang7,11

c. Terapi7
1. Antibiotik (parenteral)
2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi
abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan
terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid,
tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala
dan tanda infeksi reda.
5) Angina Ludovici (Ludwigs Angina)

Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian


superior ruang suprahioid atau di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal
abses. Ruang potensial ini berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang
hioid dan ototmilohioideus.7,11

a. Etiologi

15
Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal dari
gigi geligi, tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi servikalis pada
ruang submaksilaris.11

b. Diagnosis

Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak,
trismus, nyeri, disfagia, massa di submandibula yang tampak hiperemis dan keras
pada perabaan. Kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut mendorong
lidah ke atas dan ke belakang dan dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi
jalan napas secara potensial sehingga timbul sesak napas.7,11

c. Terapi

Diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob,
dan diberikan secara parenteral. Kemudian dilakukan eksplorasi dengan pembedahan
insisi melalui garis tengah, dengan demikian menghentikan ketegangan (dekompresi)
yang terbentuk pada dasar mulut. Karena ini merupakan selulitis, maka sebenarnya
pus jarang diperoleh. Sebelum insisi dan drainase dilakukan, sebaiknya dilakukan
persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi karena ketidakmampuan melakukan
intubasi pada pasien, seperti lidah yang mengobstruksi pandangan laring dan tidak
dapat ditekan oleh laringoskop.7,11

d. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses
ke ruang leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis.7

2.2. 6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Rontgen servikal lateral

Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan lunak pada


daerah prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan, air fluid levels,
erosi dari korpus vertebre. Penebalan jaringan lunak pada prevertebre setinggi

16
servikal II (C2), lebih 7mm, dan setinggi servikal VI yang lebih 14mm pada anak,
lebih 22mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu abses retrofaring.5,6,8

2. Rontgen Panoramiks

Dilakukan pada kasus abses leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi.8

3. Rontgen toraks

Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,


pendorongan saluran nafas, pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses.8

4. Tomografi Komputer (TK/ CT Scan)

Tomografi komputer dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas


pada abses leher dalam. TK memberikan gambaran abses berupa lesi dengan
hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, kadang ada air fluid levels. Kirse
dan Robenson, mendapatkan ada hubungan antara ketidakteraturan dinding abses
dengan adanya pus pada rongga tersebut. Pemeriksaan TK toraks diperlukan jika
dicurigai adanya perluasan abses ke mediastinum.5,8

5. Pemeriksaan Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam atau tertutup harus
meliputi biakan metoda anaerob. Setelah desinfeksi kulit, pus dapat diambil dengan
aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan insisi. Pus yang diambil sebaiknya
tidak terkontaminasi dengan flora normal yang ada di daerah saluran nafas atas atau
rongga mulut. Aspirasi dilakukan dari daerah yang sehat dan dilakukan lebih dalam.5

2.2.7 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan abses leher dalam adalah dengan evakuasi abses baik


dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik dosis
tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral. Hal yang
paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat dan drainase abses yang
baik.5

17
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman minimal,
toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama.5
Pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan
antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman membutuhkan waktu
yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera
diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas keluar, diberikan antibiotik
kuman aerob dan anaerob secara empiris. Antibiotik kombinasi dapat diberikan pada
abses leher dalam, yaitu Kombinasi penesilin G, klindamisin dan gentamisin,
kombinasi ceftriaxone dan klindamisin, kombinasi ceftriaxone dan metronidazole,
kombinasi cefuroxime dan klindamisin, kombinasi pinisilin dan metronidazole.5
Penesilin G merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus dan
stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamisin menunjukkan
efek sinergis dengan pinisilin. Klindamisin efektif terhadap streptokokus,
pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin. Lebih khusus
pemakaian klindamisin pada infeksi polimicrobial termasuk Bacteroides sp maupun
kuman anaerob lainnya pada daerah oral.5
Pada kultur didapatkan kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole,
klindamisin, carbapenem, sefoxitin, atau kombinasi penisilin dan -lactam inhibitor
merupakan obat terpilih.5
Metronidazole juga efektif sebagai amubisid. Aminoglikosida, quinolone atau
cefalosforin generasi ke III dapat ditambahkan jika terdapat kuman enterik gram
negatif. Cefalosporin generasi III mempunyai efektifitas yang lebih baik terhadap
gram negatif enterik. Dibanding dengan cefalosporin generasi I, generasi III kurang
efektif terhadap kokus gram positif, tapi sangat efektif terhadap Haemofillus
infeluenza, Neisseria sp dan Pneumokokus. Ceftriaxone dan cefotaxime mempunyai
efektifitas terhadap streptokokus. Ceftriaxone sangat efektif terhadap gram negatif
dan Haemofillus sp, kebanyakan Streptococcus pneumonia dan Neisseriae sp yang
resisiten terhadap penesilin.5
Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab
diberikan antibiotik yang sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara empiris

18
jika terdapat perbaikan, antibiotik dapat diteruskan, jika tidak maka antibiotik diganti
sesuai uji kepekaan.5,6

2.2.8 DIAGNOSIS BANDING


1) Abses Tiroid15
Abses tiroid adalah suatu penyakit yang jarang terjadi pada kelenjar
tiroid. Organisme penyebab abses tiroid paling sering adalah
spesies Staphylococcus dan Streptococcus. Organisme penyebab yang lain yaitu
Aspergillus, Brucella, Klebsiella, Eikenella, Salmonella,dan Acinetoobacter.
Abses tiroid lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki. Abses
tiroid biasanya terjadi setelah adanya riwayat infeksi saluran pernapasan atas, faring,
atau infeksi telinga tengah. Tanda-tanda klinis abses tiroid meliputi pembengkakan
kelenjar, nyeri pada kelenjar, dyspnea, nyeri, suara serak, disfagia, demam, dan
menggigil.
Penatalaksanaan abses tiroid adalah pembedahan, yang terdiri dari insisi dan
drainase, dapat dilakukan kultur dan diberikan terapi antibiotik yang tepat.
Komplikasi dari abses tiroid yaitu destruksi dari kelenjar tiroid dan paratiroid,
thrombophlebitis vena jugular interna, penyebaran lokal atau hematogen ke organ
lain, sepsis, rupture abses atau terbentuk fistula ke esophagus atau trakea.

Gambar 2.8 Abses Tiroid16

19
Gambar 2.9 CT-Scan leher dengan kontras menunjukkan abses lobus kiri kelenjar
tiroid (panah)17

2) Limfadenitis tuberkulosis (TB)18

Limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar


limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil Tuberkulosis. TB primer
terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis.
Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil
TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan.
Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan
dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB
akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan
hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju
kelenjar limfe regional di hilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan
menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan
kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas
baik, 3 4 minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas
seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi
basil TB dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus
Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional

20
disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan
dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah
terdapat imunitasseluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon
merupakan suatu lesipenyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam
keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa
tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi
basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas seluler, hal ini disebut
dengan TB post-primer

TB post primer dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas
paru. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma
yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel datia Langerhans kemudian
berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan nekrosis, menjadi
lembek dan membentuk jaringan perkejuan. Sama seperti pada TB primer, basil
TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju
kelenjar limfe lalu ke semua organ.

Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB


ekstrapulmoner Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah
bening servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar
mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar
inguinalis. Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau
bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri
dan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan
paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di
regio supraklavikular.

Menurut Jones dan Campbell, tuberkulosis perifer dapat


diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:19

Stadium 1: pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.


Stadium 2: pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan
sekitar oleh karena adanya periadenitis.

21
Stadium 3: perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
Stadium 4: pembentukan collar-stud abscess.
Stadium 5: pembentukan traktus sinus.

Gambar 2.10
19
Limfadenitis Tuberkulosa

BAB II

22
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

- Nama penderita : Nn. M


- Umur : 24 Tahun
- Jenis kelamin : Perempuan
- Alamat : Jl. Yogyakarta
- Pekerjaan : Swasta
- Agama : Islam
- No. MR : 25.06.15
- Tanggal Masuk RS : 09 Februari 2017
- Tanggal pemeriksaan : 18 Februari 2017, Pukul 06.30 WIB

2.2 ANAMNESIS
Proses anamnesa dilakukan secara autoanamnesa.
a) Keluhan Utama: Benjolan di Leher Sebelah Kiri
b) Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD dr. Doris Sylvanus dengan keluhan
timbul benjolan pada leher sebelah kiri sejak 3 minggu, awalnya benjolan
sebesar kelereng kemudian makin lama benjolan makin membesar. Keluhan ini
disertai dengan adanya demam, sulit mengunyah makanan dan membuka mulut,
nyeri dan susah saat menelan, rasa mengganjal di tengorokan, suara serak, nyeri
telinga sebelah kiri, lemas dan makan hanya sedikit, susah untuk menoleh ke kiri
serta nyeri pada benjolan yang dirasakan terus-menerus yang semakin
mengganggu aktivitas. Pasien mengaku sebelumnya tidak mengeluh gigi
berlubang dan sakit, tidak mengeluh batuk dan pilek, tidak merasa nyeri pada
hidung serta sesak, pusing (-), mual dan muntah (-), BAB dan BAK (+) lancar.
c) Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini
sebelumnya. Riwayat sakit Asma (-), Alergi (-), Diabetes Melitus (-), Darah
Tinggi (-), Pengobatan 6 bulan (-), Operasi (-), Trauma Tumpul pada Leher (-).

23
d) Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat keluarga dengan alergi
obat/makanan/cuaca (-) Riwayat keluarga dengan penyakit serupa (-), Asma (-),
Diabetes Melitus (-), Darah Tinggi (-).
2.3 Pemeriksaaan Fisik
Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang


Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 83x/menit, isi cukup, reguler, kuat angkat
Suhu : 36,8C
Pernafasan : 20x/menit

Kepala : Normosefal, rambut hitam panjang, distribusi merata, alopesia


(-).
Leher : Otot bantu pernafasan m.sternocleidomastoideus (-), trakea
ditengah, deviasi (-), pembesaran tiroid (-), pembesaran KGB (-), benjolan
coli (-/+).
Toraks : Retraksi interkostal (-) dan sela iga melebar (-).
Paru

Kanan Kiri
Inspeksi Simetris Simetris
Palpasi Vokal fremitus sama Vokal fremitus sama
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi vesikuler (+) vesikuler (+)
Ronki (-) (-)
Wheezing (-) (-)

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat


Palpasi : Teraba iktus kordis pada intercostal V

24
Auskultasi : Bunyi Jantung 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop(-).
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani di ke 4 kuadran abdomen

Ekstremitas
Superior:
o Oedem (-)
o Deformitas (-)
o Akral hangat, CRT < 2
Inferior:
o Oedem(-)
o Deformitas (-)
o Akral hangat, CRT < 2

Status Fisik THT


1. Pemeriksaan Telinga
1 Daun Telinga
Bentuk : Normal / Normal
Ukuran: Simetris
Sikatrik: - / -
Infeksi : - / -
Tumor : - / -

2 Depan Telinga
Abses/Fistel :-/-
Sikatrik :-/-
Nyeri Tekan :-/-
3 Belakang Telinga
Abses/Fistel :-/-

25
Sikatrik :-/-
Nyeri Tekan :-/-
4 Liang Telinga Luar
Warna : Merah muda / Merah muda
Edema : - / -
Sekret : - / -
Serumen : - / -
5 Selaput Gendang
Permukaan : Mengkilat / Mengkilat
Warna : Merah muda / Merah muda
Perforasi :-/-
Pantulan Cahaya :+/+
6 Telinga Tengah (bila ada perforasi)
Tidak Ada

2. Pemeriksaan Hidung
Bentuk : Normal, tidak ada deformitas

Tanda peradangan : Hiperemis (-), Panas (-), Nyeri (-), bengkak (-)

Vestibulum : Hiperemis -/-, sekret -/-

Cavum nasi : Edema -/-, hiperemis (-)

Konka inferior : Eutrofi/eutrofi

Meatus nasi inferior : Eutrofi/eutrofi

Konka medius : Eutrofi/eutrofi

Meatus nasi medius : Sekret -/-

Septum nasi : Deviasi -/-

Daerah sinus frontalis : Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)

Daerah sinus maksilaris: Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)

26
3. Pemeriksaan Gigi, Mulut, Kerongkongan, dan Tenggorok
1 Gigi
Warna : Putih kekuningan
Sekret/Sifat : Tidak ada
Permukaan : Normal
2 Mulut
Warna : Merah muda
Sekret/Sifat : Tidak ada
Permukaan : Mukosa bibir lembab
Nyeri : (-)
Hiperemis : (-)
Trismus : (-) 3 cm
Lain lain : Lidah simetris, Spasme (-),Fasikulasi (-),Kotor (-).
3 Tenggorok
Tonsil : Membesar (-), Ukuran Tonsil T1-T1, Hiperemis (-),
Detritus (-), Granulasi (-), kripte melebar (-)
Uvula : Simetris, Hiperemis (-), Luka (-).
Epiglotis : Simetris, Hiperemis (-), Masa (-), Luka (-)
Palatum : Simetris, Masa (-), Hiperemis (-)

4. Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher


1 Pada inspeksi tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening leher.
2 Pada palpasi tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher.

Status Lokalis
Regio coli;
Inspeksi : Terlihat benjolan coli sinistra, warna kulit pada benjolan lebih
hiperemis
Palpasi : Teraba benjolan tunggal pada coli sinistra, berukuran diameter 4 cm,
konsistensi lunak, batas jelas, mobile, nyeri tekan (+).

27
Gambar 2.11 Regio Colli Sinistra pada Pasien

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Tanggal 09 Februari 2017
Hematologi
Hemoglobin 10,4 11,0 16,0 g/dl
Hematokrit 31,9 37 - 54 %
Trombosit 384 150 400 ribu/uL
Leukosit 18,38 4,00 10,00 ribu/uL
Kimia Klinik
GDS 93 <200 mg/dL
Kreatinin Darah 0,93 0,17 1,5 mg/dL

USG Colli Sinistra:


16-02-2017
Kesan: abces colli sinistra dengan masih adanya infiltrat yang terakumulasi pada
area yang berfluktuasi/bulging disertai inflamasi di sekitarnya.

17-02-2017; perbandingan dengan USG Lama


Kesan:
1. Jumlah cairan infiltrat sudah berkurang, tetapi masih terlihat adanya
akumulasi infiltrat pada area yang menonjol dan minimal pada sela-sela
jaringan subkutis

28
2. Tanda inflamasi masih terlihat jelas di sekitar lesi
3. Pembesaran KGB colli masih terlihat (KGB inflamasi)
4. Kelenjar tiroid, submandibularis dan parotis tampak normal.

Gambar 2.12 USG Abses Colli Sinistra

2.5 Diagnosis Banding


Abses tiroid
Limfadenitis Tuberculosa

2.6 Diagnosis Kerja


Abses Colli Sinistra

29
2.7 Penatalaksanaan
1. Umum (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) :
Menerangkan kepada pasien mengenai penyakit dan penatalaksanaanya
Memberikan pengertian kepada penderita bahwa pengobatan untuk
penyakitnya membutuhkan waktu yang cukup lama, diharapkan pasien
mau bersabar
Menganjurkan agar melakukan pengobatan secara teratur dan disiplin
Menjelaskan kepada pasien tentang risiko yang mungkin terjadi
Monitoring keadaan umum pasien
Memberikan motivasi kepada pasien

2. Khusus (Medikamentosa) :
IVFD RL : D5% 20 tetes/menit
Inf. Metronidazole 3 x 500 mg
Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr (ST)
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
PO : Paracetamol 3 x 500 mg
Sucralfate syr 3 x C I

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB IV

PEMBAHASAN

Telah dilaporkan suatu kasus seorang perempuan berusia 24 tahun datang ke

RSUD dr. Doris Sylvanus. Pasien datang dengan keluhan adanya benjolan di leher

sebelah kiri yang terasa nyeri dan semakin lama semakin membesar. Keluhan ini

disertai dengan adanya demam, sulit mengunyah makanan dan membuka mulut,

nyeri dan susah saat menelan, rasa mengganjal di tengorokan, suara serak, nyeri

telinga sebelah kiri, sulit dan nyeri saat menoleh. Sesuai dengan teori yang ada

30
bahwa keluhan paling sering dari abses leher dalam yaitu terdapat bengkak pada

leher, disfagia (sulit menelan) dan odinofagia (nyeri saat menelan). Keluhan ini

biasanya disertai dengan demam.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan benjolan (bengkak) pada regio colli

sinistra dengan diameter 4 cm dan warna kulit tampak hiperemis. Benjolan teraba

tunggal pada coli sinistra, konsistensi lunak, batas jelas, mobile, nyeri tekan (+).

Pada abses leher dalam akan tampak pembengkakan dengan permukaan yang

hiperemis.

Hasil pemeriksaan laboratorium di dapatkan Hb yang rendah (10,4 g/dL) dan

leukosit yang meningkat (18.380 uL) yang menunjukkan adanya suatu proses infeksi.

Hasil USG Colli Sinistra menunjukkan adanya abses colli.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada

pasien ini dapat ditegakkan diagnosis yaitu Abses Colli Sinistra. Penatalaksanaan

yang sesuai untuk pasien ini adalah dengan di lakukan pungsi untuk mengeluarkan

pus dari abses tersebut, karena sampai sekarang insisi abses leher dalam merupakan

pilihan utama untuk penderita Abses Colli terutama bila masih dini (stadium

Infiltrat), untuk stadium supuratif dengan pemberian Antibiotik terhadap kuman

aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral yang diharapkan dapat

membunuh kuman secara luas. Pada pasien ini diberikan injeksi antibiotik

Ceftriaxone 1gr/12jam sebagai antibiotik spectrum luas yang bertujuan untuk

mencegah aktivitas mikroorganisme aerob. Pemberian Metronidazole 500mg/8jam

bertujuan untuk mencegah aktivitas mikroorganisme anaerob.

31
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Telah dilaporkan suatu kasus seorang perempuan berusia 24 tahun datang

dengan keluhan adanya benjolan di leher sebelah kiri yang terasa nyeri dan semakin

lama semakin membesar. Keluhan ini disertai dengan adanya demam, sulit

32
mengunyah makanan dan membuka mulut, nyeri dan susah saat menelan, rasa

mengganjal di tengorokan, suara serak, nyeri telinga sebelah kiri, sulit dan nyeri saat

menoleh. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

yang dilakukan pasien di diagnosa abses colli sinistra. Penatalaksanaan pada kasus

ini dilakukan pungsi untuk evakuasi abses dan diberikan terapi atibiotik kombinasi

untuk mencegah aktivitas bakteri aerob dan anaerob. Setelah dilakukan terapi pasien

sudah tidak ada keluhan, benjolan sudah mengecil dan tidak nyeri, tidak ada demam

dan tidak ada gangguan atau nyeri menelan, sehingga pasien dapat dipulangkan dan

selanjutnya kontrol di Poliklinik THT.

DAFTAR PUSTAKA

1 Andrina YMR. Abses retrofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit


Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara. 2003. Diunduh dari:
repository.usu.ac.id pada tanggal 21 Februari 2017.
2 Baba Y, Kato Y, Saito H, Ogawa K. Management of deep neck infection by a
transnasal approach: a case report. Journal of Medical Case Report. 3: 7317,
2009. Diunduh dari: www.jmedicalcasereports.com pada tanggal 21 Februari
2017

33
3 Berger TJ, Shahidi H. Retropharyngeal Abscess. Emedicine Journal. 2001,
Volume 2, Number 8. Diunduh dari: author.emedicine.com/PED/topic2682.html
pada tanggal 21 Februari 2017

4 Schreiner C, Quinn FB. Deep Neck Abscesses and Life-Threatening Infections of


the Head and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. 1998. Diunduh dari:
www.otohns.net pada tanggal 20 Februari 2017

5 Pulungan, M. Rusli. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Diunduh dari


http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-
DALAM-Revisi pada tanggal 21 Februari 2017
6 Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley BJ,
Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4.
Philadelphia: JB.Lippincott Company 2006.p.666-81
7 Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku
ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit
FK-UI. 2007:p. 185-8
8 Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [Diperbaharui Juli
2009] Diunduh dari: www.eMedicine Specialties//Otolaringology and facial
plastic surgery.com pada tanggal 21 Februari 2017
9 Edinger JT, Hilal EY, Dastur KJ. Bilateral Peritonsillar Abscesses: A
Challenging Diagnosis. Ear, Nose & Throut Journal. 86(3):162-3. 2007. Diunduh
dari: www.entjournal.com pada tanggal 19 Februari 2017
10 Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring.
Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi
VI. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal. 320-355.
11 Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.
12 Porter MJ, Deep Neck Space Infection. Seminar in Otorhinolaryngology. 2005.
Diunduh dari: www.sunzi.lib.hku.hk pada tanggal 19 Februari 2017.

34
13 Diza M. Abses Leher Dalam. 2016. Diunduh dari:
https://www.scribd.com/presentation/325847891/9-Abses-leher-dalam-ppt pada
tanggal 22 Februari 2017.

14 A Adeyemo, A Adeosun,and K Adedapo. . Unusual cause of thyroid abscess Afr


Health Sci. Mar; 10(1): 101103. 2010.
15 Shamir O. Cawich, Dale Hassranah, and Vijay Naraynsingh, Idiopathic thyroid
abscess. Int J Surg Case Rep.; 5(8): 484486. 2014.

16 Avrum Jacobs, MD, David-Alexandre C. Gros, MD, Jeremy D. Gradon, MD.


Thyroid Abscess Due to Acinetobacter calcoaceticus: Case Report and Review of
the Causes of and Current Management Strategies for Thyroid Abscesses. South
Med J. 96(3). 2003.

17 Raviglione, M. C., OBrien, R. J.Tuberculosis. In: Loscalzo, J. Harrisons


Pulmonary and Critical Care Medicine. New York: The McGraw-Hill
Companies, 122-123.2010.
18 Mohapatra PR, Janmeja AK. Tuberculous Lymphadenitis JAPI. August Vol. 57.
2009.

35

Anda mungkin juga menyukai