PENDAHULUAN
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher
dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana
yang terlibat. Penyebab paling sering dari abses leher dalam adalah infeksi gigi
(43%) dan penyalahgunaan narkoba suntikan (12%).1
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat
komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan
saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna.
Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat serius.
Etiologi infeksi di daerah leher dapat bermacam-macam. Kuman penyebab abses
leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif
anaerob. 1,2,3
Infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang terjadi sejak
diperkenalkannya antibiotik dan angka kematiannya menjadi lebih rendah.
Disamping itu higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam hal ini. Sebelum
adanya antibiotik, 70 % infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di faring
dan tonsil ke parafaring.4
1
penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan untuk dapat memperkirakan
perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang adekuat. 1,4,5,6,7
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia
servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda.
Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher.
Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta
meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.6,8
3
Gambar 2.2 Potongan oblik leher6
Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah
sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.6,8
4
Gambar 2.3 Potongan Sagital Leher6
2.2.1 DEFINISI
Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi
di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau
parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum
suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah
penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh.9
2.2.2 EPIDEMIOLOGI 5
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Huang dkk pada tahun 1997 sampai
2002, menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses
5
submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring
(38,4), diikuti oleh Ludwigs angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).
Penelitian Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April
2001 sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan
perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses
submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%,
parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi
tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran
6
infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi
molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk
terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya berada di
bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila.5
Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber
infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman flora
normal di saluran nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi yang
berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti, Prevotella,
Fusobacterium sp.5
Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah
kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun
Fusobacterium. Gejala klinis yang menandakan adanya infeksi anaerob adalah:
a. Sekret yang berbau busuk akibat produk asam lemak rantai pendek dari
metabolisme anaerob.
b. Infeksi di proksimal permukaan mukosa.
c. Adanya gas dalam jaringan.
d. Hasil biakan aerob negatif.
Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi
pada umumnya yaitu demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi. Gejala
7
klinis dari abses leher dalam didapatkan bengkak pada leher, trismus, disfagia, dan
odinofagia.5,6,7
1) Abses peritonsil
a. Etiologi
b. Patologi
8
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial pritonsil tersering menempati
daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak.7
c. Diagnosis
d. Terapi
9
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada
leher.7
e. Komplikasi
10
Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau
piemia. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi
mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan
trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.7
2) Abses retrofaring
Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada bayi
atau anak di bawah dua tahun dan merupakan abses leher dalam yang terbanyak pada
anak. Kelenjar getah bening ini biasanya mengalami atropi pada usia 3-4 tahun. Pada
anak biasanya abses terjadi mengikuti infeksi saluran nafas atas dengan supurasi
pada kelenjar getah bening yang terdapat pada daerah retrofaring. Pada orang dewasa
abses retrofaring sering terjadi akibat adanya trauma tumpul pada mukosa faring,
perluasan abses dari struktur yang berdekatan.5,6,7,11
b. Diagnosis
Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan (disfagia) di
samping juga gejala-gejala lain berupa demam, pergerakan leher terbatas, dan sesak
11
nafas. Sesak nafas timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan nafas,
terutama di hipofaring. Bila peradangan sudah sampai laring, dapat timbul stridor.
Abses retrofaring sebaiknya dicurigai jika pada bayi atau anak kecil terdapat demam
yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi pernapasan bagian atas dan terdapat
gejala-gejala hilangnya nafsu makan, perubahan dalam berbicara, dan kesulitan
menelan. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan dinding posterior faring.5,6,7,11
c. Terapi
d. Komplikasi
3) Abses Parafaring
12
Gambar 2.6 Abses Parafaring14
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi,
parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan
perluasan dari abses leher dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses
submandibula, abses retrofaring maupun mastikator.5,8
c. Terapi
13
eksplorasi dalam narkosis. Drainase sebaiknya dilakukan melalui insisi servikal pada
2 jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari
batas anterior M. Sternocleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian
medial mandibula dan M. Pterigoideus interna mencapai mencapai ruang parafaring
dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis,
insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan M.
Sternocleidomastoideus (cara Mosher).7,11
d. Komplikasi
4) Abses Submandibula
14
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau
kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi infeksi ruang
leher dalam lain. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob, 7
c. Terapi7
1. Antibiotik (parenteral)
2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi
abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan
terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid,
tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala
dan tanda infeksi reda.
5) Angina Ludovici (Ludwigs Angina)
a. Etiologi
15
Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal dari
gigi geligi, tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi servikalis pada
ruang submaksilaris.11
b. Diagnosis
Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak,
trismus, nyeri, disfagia, massa di submandibula yang tampak hiperemis dan keras
pada perabaan. Kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut mendorong
lidah ke atas dan ke belakang dan dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi
jalan napas secara potensial sehingga timbul sesak napas.7,11
c. Terapi
Diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob,
dan diberikan secara parenteral. Kemudian dilakukan eksplorasi dengan pembedahan
insisi melalui garis tengah, dengan demikian menghentikan ketegangan (dekompresi)
yang terbentuk pada dasar mulut. Karena ini merupakan selulitis, maka sebenarnya
pus jarang diperoleh. Sebelum insisi dan drainase dilakukan, sebaiknya dilakukan
persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi karena ketidakmampuan melakukan
intubasi pada pasien, seperti lidah yang mengobstruksi pandangan laring dan tidak
dapat ditekan oleh laringoskop.7,11
d. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses
ke ruang leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis.7
16
servikal II (C2), lebih 7mm, dan setinggi servikal VI yang lebih 14mm pada anak,
lebih 22mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu abses retrofaring.5,6,8
2. Rontgen Panoramiks
Dilakukan pada kasus abses leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi.8
3. Rontgen toraks
5. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam atau tertutup harus
meliputi biakan metoda anaerob. Setelah desinfeksi kulit, pus dapat diambil dengan
aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan insisi. Pus yang diambil sebaiknya
tidak terkontaminasi dengan flora normal yang ada di daerah saluran nafas atas atau
rongga mulut. Aspirasi dilakukan dari daerah yang sehat dan dilakukan lebih dalam.5
2.2.7 PENATALAKSANAAN
17
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman minimal,
toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama.5
Pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan
antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman membutuhkan waktu
yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera
diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas keluar, diberikan antibiotik
kuman aerob dan anaerob secara empiris. Antibiotik kombinasi dapat diberikan pada
abses leher dalam, yaitu Kombinasi penesilin G, klindamisin dan gentamisin,
kombinasi ceftriaxone dan klindamisin, kombinasi ceftriaxone dan metronidazole,
kombinasi cefuroxime dan klindamisin, kombinasi pinisilin dan metronidazole.5
Penesilin G merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus dan
stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamisin menunjukkan
efek sinergis dengan pinisilin. Klindamisin efektif terhadap streptokokus,
pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin. Lebih khusus
pemakaian klindamisin pada infeksi polimicrobial termasuk Bacteroides sp maupun
kuman anaerob lainnya pada daerah oral.5
Pada kultur didapatkan kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole,
klindamisin, carbapenem, sefoxitin, atau kombinasi penisilin dan -lactam inhibitor
merupakan obat terpilih.5
Metronidazole juga efektif sebagai amubisid. Aminoglikosida, quinolone atau
cefalosforin generasi ke III dapat ditambahkan jika terdapat kuman enterik gram
negatif. Cefalosporin generasi III mempunyai efektifitas yang lebih baik terhadap
gram negatif enterik. Dibanding dengan cefalosporin generasi I, generasi III kurang
efektif terhadap kokus gram positif, tapi sangat efektif terhadap Haemofillus
infeluenza, Neisseria sp dan Pneumokokus. Ceftriaxone dan cefotaxime mempunyai
efektifitas terhadap streptokokus. Ceftriaxone sangat efektif terhadap gram negatif
dan Haemofillus sp, kebanyakan Streptococcus pneumonia dan Neisseriae sp yang
resisiten terhadap penesilin.5
Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab
diberikan antibiotik yang sesuai. Pada pemberian kombinasi antibiotik secara empiris
18
jika terdapat perbaikan, antibiotik dapat diteruskan, jika tidak maka antibiotik diganti
sesuai uji kepekaan.5,6
19
Gambar 2.9 CT-Scan leher dengan kontras menunjukkan abses lobus kiri kelenjar
tiroid (panah)17
20
disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan
dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah
terdapat imunitasseluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon
merupakan suatu lesipenyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam
keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa
tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi
basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas seluler, hal ini disebut
dengan TB post-primer
TB post primer dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas
paru. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma
yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel datia Langerhans kemudian
berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan nekrosis, menjadi
lembek dan membentuk jaringan perkejuan. Sama seperti pada TB primer, basil
TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju
kelenjar limfe lalu ke semua organ.
21
Stadium 3: perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
Stadium 4: pembentukan collar-stud abscess.
Stadium 5: pembentukan traktus sinus.
Gambar 2.10
19
Limfadenitis Tuberkulosa
BAB II
22
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Proses anamnesa dilakukan secara autoanamnesa.
a) Keluhan Utama: Benjolan di Leher Sebelah Kiri
b) Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD dr. Doris Sylvanus dengan keluhan
timbul benjolan pada leher sebelah kiri sejak 3 minggu, awalnya benjolan
sebesar kelereng kemudian makin lama benjolan makin membesar. Keluhan ini
disertai dengan adanya demam, sulit mengunyah makanan dan membuka mulut,
nyeri dan susah saat menelan, rasa mengganjal di tengorokan, suara serak, nyeri
telinga sebelah kiri, lemas dan makan hanya sedikit, susah untuk menoleh ke kiri
serta nyeri pada benjolan yang dirasakan terus-menerus yang semakin
mengganggu aktivitas. Pasien mengaku sebelumnya tidak mengeluh gigi
berlubang dan sakit, tidak mengeluh batuk dan pilek, tidak merasa nyeri pada
hidung serta sesak, pusing (-), mual dan muntah (-), BAB dan BAK (+) lancar.
c) Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini
sebelumnya. Riwayat sakit Asma (-), Alergi (-), Diabetes Melitus (-), Darah
Tinggi (-), Pengobatan 6 bulan (-), Operasi (-), Trauma Tumpul pada Leher (-).
23
d) Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat keluarga dengan alergi
obat/makanan/cuaca (-) Riwayat keluarga dengan penyakit serupa (-), Asma (-),
Diabetes Melitus (-), Darah Tinggi (-).
2.3 Pemeriksaaan Fisik
Status Generalis
Kanan Kiri
Inspeksi Simetris Simetris
Palpasi Vokal fremitus sama Vokal fremitus sama
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi vesikuler (+) vesikuler (+)
Ronki (-) (-)
Wheezing (-) (-)
Jantung
24
Auskultasi : Bunyi Jantung 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop(-).
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani di ke 4 kuadran abdomen
Ekstremitas
Superior:
o Oedem (-)
o Deformitas (-)
o Akral hangat, CRT < 2
Inferior:
o Oedem(-)
o Deformitas (-)
o Akral hangat, CRT < 2
2 Depan Telinga
Abses/Fistel :-/-
Sikatrik :-/-
Nyeri Tekan :-/-
3 Belakang Telinga
Abses/Fistel :-/-
25
Sikatrik :-/-
Nyeri Tekan :-/-
4 Liang Telinga Luar
Warna : Merah muda / Merah muda
Edema : - / -
Sekret : - / -
Serumen : - / -
5 Selaput Gendang
Permukaan : Mengkilat / Mengkilat
Warna : Merah muda / Merah muda
Perforasi :-/-
Pantulan Cahaya :+/+
6 Telinga Tengah (bila ada perforasi)
Tidak Ada
2. Pemeriksaan Hidung
Bentuk : Normal, tidak ada deformitas
Tanda peradangan : Hiperemis (-), Panas (-), Nyeri (-), bengkak (-)
26
3. Pemeriksaan Gigi, Mulut, Kerongkongan, dan Tenggorok
1 Gigi
Warna : Putih kekuningan
Sekret/Sifat : Tidak ada
Permukaan : Normal
2 Mulut
Warna : Merah muda
Sekret/Sifat : Tidak ada
Permukaan : Mukosa bibir lembab
Nyeri : (-)
Hiperemis : (-)
Trismus : (-) 3 cm
Lain lain : Lidah simetris, Spasme (-),Fasikulasi (-),Kotor (-).
3 Tenggorok
Tonsil : Membesar (-), Ukuran Tonsil T1-T1, Hiperemis (-),
Detritus (-), Granulasi (-), kripte melebar (-)
Uvula : Simetris, Hiperemis (-), Luka (-).
Epiglotis : Simetris, Hiperemis (-), Masa (-), Luka (-)
Palatum : Simetris, Masa (-), Hiperemis (-)
Status Lokalis
Regio coli;
Inspeksi : Terlihat benjolan coli sinistra, warna kulit pada benjolan lebih
hiperemis
Palpasi : Teraba benjolan tunggal pada coli sinistra, berukuran diameter 4 cm,
konsistensi lunak, batas jelas, mobile, nyeri tekan (+).
27
Gambar 2.11 Regio Colli Sinistra pada Pasien
28
2. Tanda inflamasi masih terlihat jelas di sekitar lesi
3. Pembesaran KGB colli masih terlihat (KGB inflamasi)
4. Kelenjar tiroid, submandibularis dan parotis tampak normal.
29
2.7 Penatalaksanaan
1. Umum (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) :
Menerangkan kepada pasien mengenai penyakit dan penatalaksanaanya
Memberikan pengertian kepada penderita bahwa pengobatan untuk
penyakitnya membutuhkan waktu yang cukup lama, diharapkan pasien
mau bersabar
Menganjurkan agar melakukan pengobatan secara teratur dan disiplin
Menjelaskan kepada pasien tentang risiko yang mungkin terjadi
Monitoring keadaan umum pasien
Memberikan motivasi kepada pasien
2. Khusus (Medikamentosa) :
IVFD RL : D5% 20 tetes/menit
Inf. Metronidazole 3 x 500 mg
Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr (ST)
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
PO : Paracetamol 3 x 500 mg
Sucralfate syr 3 x C I
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
RSUD dr. Doris Sylvanus. Pasien datang dengan keluhan adanya benjolan di leher
sebelah kiri yang terasa nyeri dan semakin lama semakin membesar. Keluhan ini
disertai dengan adanya demam, sulit mengunyah makanan dan membuka mulut,
nyeri dan susah saat menelan, rasa mengganjal di tengorokan, suara serak, nyeri
telinga sebelah kiri, sulit dan nyeri saat menoleh. Sesuai dengan teori yang ada
30
bahwa keluhan paling sering dari abses leher dalam yaitu terdapat bengkak pada
leher, disfagia (sulit menelan) dan odinofagia (nyeri saat menelan). Keluhan ini
sinistra dengan diameter 4 cm dan warna kulit tampak hiperemis. Benjolan teraba
tunggal pada coli sinistra, konsistensi lunak, batas jelas, mobile, nyeri tekan (+).
Pada abses leher dalam akan tampak pembengkakan dengan permukaan yang
hiperemis.
leukosit yang meningkat (18.380 uL) yang menunjukkan adanya suatu proses infeksi.
pasien ini dapat ditegakkan diagnosis yaitu Abses Colli Sinistra. Penatalaksanaan
yang sesuai untuk pasien ini adalah dengan di lakukan pungsi untuk mengeluarkan
pus dari abses tersebut, karena sampai sekarang insisi abses leher dalam merupakan
pilihan utama untuk penderita Abses Colli terutama bila masih dini (stadium
aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral yang diharapkan dapat
membunuh kuman secara luas. Pada pasien ini diberikan injeksi antibiotik
31
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
dengan keluhan adanya benjolan di leher sebelah kiri yang terasa nyeri dan semakin
lama semakin membesar. Keluhan ini disertai dengan adanya demam, sulit
32
mengunyah makanan dan membuka mulut, nyeri dan susah saat menelan, rasa
mengganjal di tengorokan, suara serak, nyeri telinga sebelah kiri, sulit dan nyeri saat
yang dilakukan pasien di diagnosa abses colli sinistra. Penatalaksanaan pada kasus
ini dilakukan pungsi untuk evakuasi abses dan diberikan terapi atibiotik kombinasi
untuk mencegah aktivitas bakteri aerob dan anaerob. Setelah dilakukan terapi pasien
sudah tidak ada keluhan, benjolan sudah mengecil dan tidak nyeri, tidak ada demam
dan tidak ada gangguan atau nyeri menelan, sehingga pasien dapat dipulangkan dan
DAFTAR PUSTAKA
33
3 Berger TJ, Shahidi H. Retropharyngeal Abscess. Emedicine Journal. 2001,
Volume 2, Number 8. Diunduh dari: author.emedicine.com/PED/topic2682.html
pada tanggal 21 Februari 2017
34
13 Diza M. Abses Leher Dalam. 2016. Diunduh dari:
https://www.scribd.com/presentation/325847891/9-Abses-leher-dalam-ppt pada
tanggal 22 Februari 2017.
35