Anda di halaman 1dari 15

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bronkitis

1. Definisi

Bronktis adalah peradangan dari satu atau lebih pada saluran

pemafasan (bronkus) Peradangan ini disebabkan oleh banyak faktor.

Penyebabnya bisa dari, bakteri, alergi, dan lainnya (Dorland, 1995: 22).

Pada kelompok pertama gejalanya hampir sama dengan pneumonia

ringan berupa batuk-batuk dengan dahak mukopurulen, peningkatan suhu

badan yang belum terlalu tinggi, rasa tak seperti biasanya pada dada dan

dapat sesak nafas ringan (Mutaqqin, Arif, 2008: 119).

Bila bronkhitis itu lama berkepanjangan, bahkan cenderung untuk

sesekali kambuh di masa-masa tenang, itulah bronkhitis kronis. Penderita

yang memang sudah menderita bronkhitis kronis sebelumnya, dalam 1

tahun dapat 1-2 kali terkena serangan akut, baik itu berupa super

infeksi dengan kuman baru (virus, bakteri ataupun mikroorganisme lain)

maupun haya suatu eksaserbasi akut dari radang kronis yang memang

sudah menghinggapi mukosa bronkusnya. Bronkhitis kronis dapat dibagi

atas:

a. Simple chronic bronchitis : bila spatum bersifat mukoid.

b. Chronic atau recurrent muco purulent bronchitis : bila spatum bersifat

mukopuruler

4
5

c. Chronic obstructive bronchitis : bila disertai obstruksi saluran nafas

yang timbul apabila terpanjang zat iritan atau ada infeksi saluran

pernafasan akut (Sibuea, Herdin dkk, 2005:59).

Padahal yang dimaksud dengan bronkitis kronis adalah suatu

sindrom klinik berupa batuk-tabuk kronis berdahak setiap hari selama

paling sedikit 3 bulan dan selama paling sedikti 2 tahun berturut-turut

dengan demikian tidak dipersoalkan apa yang menjadi etiologinya serta

bagaimana perubahan patofisiologis anatominya (Danusantoso, Halim,

2005:72).

2. Gejala Klinik

Penderita selalu akan mengeluh batuk-batuk berdahak yang sudah

bertahun-tahun lamanya untuk kemudian disusul dengan bunyi nafas dan

sesak. Berbeda dengan astham, maka sesak nafas tidak bersifat hilang

tumbuh dengan begitu nyata, tetapi cenderung untuk selalu ada. Walaupun

dapat bervariasi antara agak ringan (bila tidak ada infeksi sekunder)

sampai berat bila ada serangan infeksi sekunder (Danusantoso,Halim,

2005:72).

Biasanya didahului infeksi saluran nafas atas dengan batuk pilek, tanpa

demam atau hanya subfebris. Sesak nafas makin hebat disertai nafas cepat dan

dangkal terdapat dispnuding expiratory effort. Retraksi otot Bantuk nafas,

nafas, cepat dangkal disertai nafas cuping hidung sianosis sekitar hidung dan

mulut, gelisah, ekspirium memenjang atau mengi. Jika obstruksi hebat suara

nafas nyaris, tak terdengar, ronki basah halus nyaring kadang terdengar pada

akhir/awal eksirasi, suara perkusi paru hipersonor (Mutaqqin,Arif, 2008:120).


6

3. Patogenesis

Invasi virus menyebabkan obstruktis bronkhitis akibat amukulasi

mucus, debresi dan edema terjadi resistensi aliran udara pernafasan

berbanding terbalik (dengan radius lumen pangkat empat), baik pada fase

inpirasi maupun fese ekspirasi terdapat mekanisme klep yaitu

terperangkapnya udara yang menimbulkan obserinflasi dada. Pertukaran

udara yang terganggu menyebabkan ventilasi terkurang dan hipoksemia,

peningkatan frekuensi nafas sebagai kompensasi pada keadaan sangat

berat dapat terjadi hiperkapnia obstruksi total dan terserapnya udara dapat

menyebabkan atelaksasis.

Gangguan respirotik jangka panjang pasca bronkhitis dapat timbul

berapa batuk berulang mengi dan hiperaktivitas bronkus. Cenderung

membaik sebelum usia sekolah. Komplikasi jangka panjang yaitu

bronkhitis, obeliteris dan sindrom paru hiperlusen unilateral sering di

hubungkan dengan. adenovirus (Danusantoso,Halim,2005:72).

4. Patofisiologi

a. Kelenjar mukosa brankus akan beriritasi dan membentuk lendir yang

lebih banyak.

b. Rambut silia epitel bronkus yang bergerak terus menerus dan

memindahkan lendir dari bronkus dan trakea dengan perlahan-lahan.

Kearah mulut mengalami kelumpuhan.

c. Terjadi penumpukan lendir dan bakteri yang tidak dibuang akan

berkembang biak serta membangunkan lekosit untuk menyerang


7

spurum yang purulenta akan terbentuk, disusul oleh batuk yang

produktif pada penderita dengan bronkus yang peka, bronkuss yang

hiperaktif terjadi kekejangan otot-otot bronkus dan edema mukosa

(Sibuea, Herdin, 2005:60).

5. Diagnosis

a. Anamnesia

Keluhan utama pada klien dengan bronkhitis meliputi batuk

kering, produktif dengan sputum purulen, demam dengan suhu tubuh

dapat mencapai >40C, dan sesak nafas (Sibuea, Herdin dkk, 2005:61).

b. Pemeriksaan Fisik

Pada stadium dini tidak di temukan kelainan fisik hanya

kadang-kadang terdengar ronki pada waktu ekspirsi maupun inspirasi,

kadang di sertai bising mengi juga di dapatkan tanda-tanda overinflasi

paru.

Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan

bronkhitis biasanya di dapatkan adanya peningkatan suhu tubuh lebih

dari 40C, frekuensi napas meningkatkan dari frekuensi normal, nadi

biasanya meningkatkan seirama dengan peningkatkan suhu tubuh dan

frekuensi pernafasan, serta biasnya tidak ada masalah dengan tekanan

darah (Mutaqqin, Arif, 2008:120).


8

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan foto thorak pasterio-anterior dilakukan untuk

menilai derajat progresivitas penyakit yang berpengaruh menjadi

penyakit paru obstruktif menahun (Mutaqqin, Arif, 2008).

d. Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan adanya perubahan

pada peningkatan eosinofil (berdasarkan pada hasil hitung jenis darah).

Sputum diperiksa secara mikroskopi untuk diagnosis banding dengan

tuberkulosis paru.

- Darah

Pemeriksaan darah rutin hanya dapat memperkuat dugaan

saja, yaitu lektosis ringan (tidak selalu) dengan pergeseran tekanan,

yang sebenarnya tak bersedia dengan keadaan-keadaan dengan

infeksi kronis lain.

Kultur darah seringkali tak menunjukan adanya bakteriemi

kadang-kadang dapat memberikan hasil positif, sehingga

kemungkinan timbulnya metostasis pernanahan (terutama di otak)

perlu diwaspadai.

- Sputum

Pemeriksaan sputum memegang peranan yang sangat

penting dan dapat di kerjakan secara mikroskop dan kultur dengan

tes resistensi.
9

Pemeriksaan sputum sewaktu secara mikroskopik dapat

memberikan indikasi tentang bagaimana keadaan penderita.

Semakin purulen sputumnya. Semakin besar pula bahaya bahwa

sedang atau hampir terjadi suatu aksaserbasi akut ataupun suatu

infeksi sekunder yang baru (Mutaqqin, Arif, 2008:120).

6. Penatalaksanaan Terapi Bronkhitis.

1. Outcome
Tanpa adanya komplikasi yang berupa superinfeksi bakteri,
bronkhitis akut akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tujuan
penatalaksanaan hanya memberikan kenyamanan pasien, terapi
dehidrasi dan gangguan paru yang ditimbulkannya. Namun pada
bronkhitis kronik ada dua tujuan terapi yaitu: pertama, mengurangi
keganasan gejala kemudian yang kedua menghilangkan eksaserbasi
dan untuk mencapai interval bebas infeksi yang panjang.
2. Terapi pokok
Terapi antibiotika pada bronkhitis akut tidak dianjurkan
kecuali bila disertai demam dan batuk yang menetap lebih dari 6
hari, karena dicurigai adanya keterlibatan bakteri saluran napas
seperti S. pneumoniae, H. Influenzae. Untuk batuk yang menetap >
10 hari diduga adanya keterlibatan Mycobacterium pneumoniae
sehingga penggunaan antibiotika disarankan. Untuk anak dengan
batuk > 4 minggu harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut terhadap
kemungkinan TBC, pertusis atau sinusitis.
Tabel 1. Terapi awal pada Bronkhitis
Kondisi Klinik Patogen Terapi Awal
Bronkhitis akut Biasanya virus Lini I: Tanpa antibiotika
Lini II:Amoksisilin,amoksi-
klav,
makrolida
10

Bronkhitis Kronik H.influenzae, Lini I: Amoksisilin,


Moraxella quinolon
catarrhalis, Lini II: Quinolon, amoksi-
S. pneumoniae klav,
azitromisin, kotrimoksazol
Bronkhitis Kronik Seperti diatas,K. Lini I: Quinolon
dengan komplikasi Pneumoniae, Lini II: Ceftazidime,
P. aeruginosa, Cefepime
Gram
(-) batang lain
Bronkhitis Kronik Seperti diatas. Lini I: Quinolon oral atau
dengan infeksi parenteral, Meropenem atau
bakteri Ceftazidime/Cefepime+
Ciprofloksasin oral.
(Mutaqqim, Arif,2008: 121)

Antibiotika yang dapat digunakan lihat tabel 1, dengan lama


terapi 5-14 hari sedangkan pada bronkhitis kronik optimalnya selama
14 hari. Pemberian antiviral amantadine dapat berdampak
memperpendek lama sakit bila diberikan dalam 48 jam setelah
terinfeksi virus influenza A.
3. Terapi pendukung
a. Stop rokok, karena rokok dapat menggagalkan mekanisme
pertahanan tubuh
b. Bronkhodilasi menggunakan salbutamol, albuterol.
c. Analgesik atau antipiretik menggunakan parasetamol, NSAID
(Non Steroid Anti Inflammatori Drugs).
d. Antitusiv, codein atau dextrometorfan untuk menekan batuk.
e. Vaporizer

B. Antibiotik

1. Definisi

Antibiotik adalah suatu zat kimia yang dihasilkan mikroba

( bakteri, fungi, actinomycetes ) yang memiliki khasiat membasmi atau


11

menghambat pertumbuhan mikroba. Antibiotik biasanya dibuat dengan

cara mikrobiologi yaitu fungsi dibiakkan dalam tangki-tangki besar

bersama zat-zat gizi khusus, kemudian diisolasi dalam cairan kultur (Tan

dan Rahardja, 2002:65).

2. Antibiotik Bronkhitis

Antibiotik yang di gunakan untuk bronchitis yaitu sebagai berikut:

a. Penisilin

Penisilin diperoleh dari jamur Penicilium chrysogenum, dari berbagai

jenis yang dihasilkan penisilin-G dan turunannya bakterisid terhadap

kuman gram positif dan hanya beberapa kuman gram

negative.Penisilin termasuk antibiotic spektrum sempit, begitu pula

penisilin-V dan analognya, Ampisilin dan turunnya, memiliki spektrum

luas yang meliputi banyak kuman kuman gram negative.

Mekanisme kerja penisilin:

1) Penisilin menghindarkan sintesa lengkap dari polimer ini yang

spesifik bagi kuman

2) Dinding sel kuman dari satu jaringan peptidoglikan, yaitu polimer

dari senyawa amino dan gula yang saling terikat (Tan dan

Rahardja,2002:59).

b. Sefalosporin

Selosporin termasuk antibiotika betalaktam,khasit dan sifatnya mirip

dengan penisilin, sefalosporin diperoleh dengan cara semi sintesis dari


12

sefalospirin C yang dihasilkan oleh jamur Cephalosporium

acrremomum.

Mekanisme kerja sefalosporin :

1) Ekskresi dari sefalosporin melalui kemih praktis lengkap dan

dalam keadaan utuh.

2) Proses akhir kerjanya dapat dirintangi oleh probenesid guna

diperpanjang daya kerja.

3) Berkhasiat bakterisid dalam fase pertumbuhan kuman, berdasarkan

penghambatan sintesa peptidoglikan yang diperlukan kuman untuk

ketangguhan dindingnya.

4) Kepekaan untuk beta-laktamase rendah dibandingkan penisilin

(Tan dan Rahardja, 2002:59).

Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dosis selain dapat

menggagalkan terapi dan menimbulkan bahaya seperti sensitasi, resistensi

dari suprainfeksi.antibiotika digunakan untuk mengobati berbagai jenis

infeksi akibat kuman atau juga untuk prevensi infeksi. pada umumnya

penggunaan kombinasi dari dua atau lebih antibiotika tidak dianjurkan

apalagi kombinasi dengan dosis tetap, terapi terarah lebih disukai.

C. Drug Related Problems

1. Definisi

Drug Related Problems adalah suatu kejadian yang tidak

diinginkan yang dialami oleh pasien yang mana melibatkan atau diduga
13

melibatkan terapi obat dan itu sebenarnyan atau berpotensi berpengaruh

terhadap hasil yang diinginkan pasien (Cipolle, Stand dan Morley,1998).

Suatu kejadian dapat disebut DRP bila memunuhi dua komponen

berikut:

a. Kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien.

Kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosis,

penyakit, ketidak maupun (disability), atau sindrom dapat merupakan

efek dan kondisi psikologis, fisologis, ekonomi.

b. Ada hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat

Bentuk hubungan ini apat berupa konsekuensi dari terapi obat

maupun kejadian yang memerulakan terapi obat sebagai solusi maupun

preventif (Cipolle,Stand dan Morley,1998).

Drug Related Problem terdiri dari Actual DRP adalah masalah

yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan

pada penderita, sedangkan Potential DRP adalah masalah yang

diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang

digunakan oleh penderita (Cipolle,Stand dan Morley,1998).

Kategori DRPs antara lain sebagai berikut :

a. Indikasi yang tidak diterapi

Indikasi merupakan alasan di berikannya sutu terapi obat

kepada pasien. Indikasi yang tidak di terapi adalah bahwa secara

medis pasien membutuhkan obat namun tidak memperoleh pengobatan

dari dokter sesuai dengan indikasi tersebut.


14

b. Pemilihan obat yang tidak tepat (obat salah)

Pasien mempunyai kontraindikasi terhadap obat

c. Penggunaan obat tanpa indikasi

Pasien menerima pengobatan tanpa alasan medis yang kuat

(pasien sebenarnya tidak memerlukan obat).

d. Dosis subterapi (dosis kurang)

Pasien menerima dosis obat terlalu rendah, frekuensi

pemberian yang tidak tepat.

e. dosis berlebih

Pasien menerima obat dengan dosis terlalu tinggi, serta

frekuensi pemberian yang tidak tepat.

f. Adverse Drug Reactions (ADRs)

Pasien mengalami reaksi alergi, pasien mempunyai resiko

mengalami efek samping obat.

g. Kegagalan dalam menerima obat

Pasien gagal menerima obat yang tepat karena adanya

medication error (Cipolle,Strand dan Morley, 1998).

D. Rumah Sakit

1. Definisi

Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

gabungan alat ilmiah khusus dan rumit dan di fungsikan oleh berbagai

kesatuan personal terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangai


15

masalah mendidik modern yang semuanya terikat bersama-sama dalam

maksud yang sama untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang

baik (Siregar,P.J.T, 2004:8).

a. Tugas rumah sakit

Pada umumnya tugas rumah sakit adalah menyediakan untuk

pemeliharaan dan pemulihan kesehatan, tugas rumah sakit umum

adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan

berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan

pemeliharaan yang dilaksanakan secar serasi dan terpadu dengan

upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan rujuan

(Siregar,P.J.T, 2003:11).

Menurut Keputusan mentri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor: 983/ Menkes / SK / XI /1992, tugas Rumah sakit umum adalah

melaksanakan upaya penyembuhan secara berdaya guna dan berhasil

guna dengan menggutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan

yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan

dan pencegahan serta melaksanakan rujukan.

b. Fungsi rumah sakit

Guna melaksanakan tugasnya, rumah sakit mempunyai berbagi

fungsi, yaitu menyelenggarakan pelayanan medik, pelayanan

penunjang medik dan non medik, pelayanan dan asuhan keperawatan,

pelayanan rujukan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan

pengembangan serta administrasi umum dan keuangan. Dalam zaman


16

modern ini fungsi keempat, yaitu pencegahan penyakit dan

peningkatan kesehatan masyarakat juga telah menjadi fungsi rumah

sakit (Siregar,P.J.T,2003:10).

2. Klasifikasi Rumah Sakit Umum Pemerintah

Rumah sakit umum pemerintah pusat dan daerah klasifikasi

menjadi rumah sakit umum kelas A, B, C dan D, klasifikasi tersebut

didasarkan pada unsur pelayanan, ketegangan fisik dan peralatan

(Siregar, 2004).

a. Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistis luas

dan subspesialistik.

b. Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan medik sekurang-kurangnya

spesialistik dan subspesialistik terbatas.

c. Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang

mempunyai fasilitas dan kemampuan medik spesialistik dasar. Rumah

sakit umum kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai

fasilitas dan kemampuan medik dasar.

Adapun berdasarkan kapasitas tempat tidur rumah sakit

diklasifikasikan sesuai pola berikut:

1. Di bawah 50 tempat tidur

2. 50 99 tempat tidur

3. 100 199 tempat tidur


17

4. 200 299 tempat tidur

5. 300 399 tempat tidur

6. 400 499 tempat tidur

7. 500 tempat tidur dan lebih (Siregar, 2004).

E. Rekam Medik

1. Definisi

Rekam medik adalah sejarah ringkas, jelas, dan akurat dari

kehidupan dan kesakitan penderita, di tulis dari sudut pandang medik.

Definisi rekam medik menurut keputusan direktur jendral pelayanan

medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang

identitas, anemnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindak dan

pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama

riwayat di rumah sakit, baik awal jalan maupun rawat tinggal (Siregar,

P.J.P, 2003:17).

F. Standar Pelayanan Medis

Standar Pelayanan Medis adalah suatu pedoman yang dijalankan untuk

meningkatkan mutu menjadi semakin efektif dan efisien. SPM memiliki

dampak yang untung bagi profesi kedokteran sebagai pelaksana pelayanan

(Siregar,P.J.T,2003:18).
18

Tujuan SPM:

a. Melindungi masyarakat dari praktek-praktek yang tidak sesuai dengan

standar professional.

b. Melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar

(Siregar,P.J.T,2003:18).

Anda mungkin juga menyukai