Anda di halaman 1dari 4

Tantangan BI 7-Day Repo Rate

Oleh: Agus Herta Sumarto


Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dan
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercu Buana

Baru-baru ini Bank Indonesia (BI) telah membuat suatu kebijakan yang bisa

dikatakan cukup revolusioner yaitu mengganti instrumen kebijakan moneter terhadap

suku bunga lembaga perbankan. Sejak pertengahan tahun 2005, BI menggunakan BI

Rate sebagai instrumen utama kebijakan moneter terhadap suku bunga lembaga

perbankan. Namun sejak awal pemberlakuannya, BI Rate seolah-olah tumpul dan

tidak mampu memengaruhi dan mengendalikan besaran suku bunga lembaga

perbankan.

Selama ini BI Rate menjadi suku bunga acuan bagi lembaga perbankan untuk

menentukan tingkat suku bunganya baik suku bunga tabungan maupun suku bunga

pinjaman. Namun posisi BI Rate selama ini hanya sebagai suku bunga kebijakan yang

lebih mencerminkan pada sikap atau stance kebijakan moneter BI yang ditetapkan

oleh BI dan kemudian diumumkan kepada publik. Oleh karena itu sangat wajar jika

efektivitas BI Rate selama ini masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan beberapa

hasil penelitian semakin menguatkan hipotesis bahwa tidak ada hubungan antara BI

Rate dengan suku bunga lembaga perbankan.

Munculnya transmisi kebijakan moneter yang baru ini setidaknya

memunculkan secercah harapan bahwa instrumen kebijakan moneter ke depannya

akan labih bertaji dan mampu mendorong penurunan tingkat suku bunga kredit

perbankan ke level satu digit. Harapan akan lebih efektifnya transmisi baru ini cukup

masuk akal mengingat BI 7-Day Repo Rate ini memiliki beberapa kelebihan

dibandingkan BI Rate. Pertama, dibandingkan BI Rate, BI 7-Day Repo Rate

seharusnya memiliki nilai koefisien keterikatan yang lebih besar dibandingkan dengan

BI Rate. Jika BI Rate selama ini hanya merupakan cerminan sikap BI maka BI 7-Day

Repo Rate adalah bagian dari transaksi keuangan antara BI dengan lembaga

perbankan sehingga keterkaitannya akan sangat kuat.


Kelebihan kedua yang dimiliki oleh BI 7-Day Repo Rate adalah tingkat suku

bunganya yang lebih rendah dari BI Rate. Saat ini tingkat suku bunga BI 7-Day Repo

Rate ada di tingkat 5,5 persen sedangkan BI Rate ada pada level 6,75 persen. Dengan

demikian maka penggunaan BI 7-Day Repo Rate seharusnya bisa lebih mendorong

lembaga perbankan untuk menurunkan tingkat suku bunganya.

Selain dua kelebihan tersebut, penggunaan BI 7-Day Repo Rate seharusnya

juga bisa mendorong membanjirnya likuiditas di lembaga perbankan. Melalui

mekanisme deposito, lembaga perbankan bisa menambah cadangan likuidnya

sehingga dana yang tersedia untuk disalurkan kepada pasar bisa lebih besar dan

tentunya lebih murah. Dengan demikian maka lembaga perbankan akan memberikan

kontribusi yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Namun selain beberapa kelebihan yang telah disebutkan sebelumnya,

penggunaan BI 7-Day Repo Rate juga memiliki beberapa tantangan terutama jika

dikaitkan dengan target penurunan suku bunga kredit perbankan ke level satu digit.

Jika BI menjadikan BI 7-Day Repo Rate sebagai instrumen utama untuk menurunkan

tingkat suku bunga kredit perbankan ke level satu digit maka BI harus kembali

bersiap dengan terulangnya kejadian ketika BI menggunakan BI Rate.

Selama ini tingkat suku bunga kredit lembaga perbankan dibentuk oleh

beberapa variabel utama yaitu cost of fund, tingkat risiko pasar, tingkat risiko

nasabah, operational cost, kondisi persaingan pasar, dan tingkat net interest margin

(NIM) yang diharapkan. Dengan kata lain, jika BI ingin menurunkan tingkat suku

bunga kredit lembaga perbankan maka BI harus bisa mengubah tingkat harga dari

variabel-variabel tersebut. Sedangkan suku bunga acuan yang dalam hal ini adalah

BI 7-Day Repo Rate hanya merupakan salah satu faktor pembentuk dari variabel cost

of fund.

Cost of fund selama ini selain dipengaruhi oleh suku bunga acuan (BI Rate)

juga dipengaruhi oleh faktor struktur dana perbankan. Dengan kata lain, BI selain

menurunkan suku bunga acuan sebagaimana yang telah dilakukan sekarang, BI juga

harus bisa mendorong supaya dana murah bagi lembaga perbankan tersedia dalam
jumlah yang besar. Dana yang paling murah untuk lembaga perbankan adalah

jumlah tabungan dari masyarakat. Oleh karena itu, program-program yang diarahkan

untuk mendorong masyarakat gemar menabung harus terus ditingkatkan.

Variabel berikutnya yang memengaruhi tingkat suku bunga kredit bank adalah

tingkat risiko pasar. Variabel ini berkaitan erat dengan kondisi makro ekonomi.

Dengan kata lain, BI bersama pemerintah harus bisa menciptakan iklm ekonomi yang

kondusif dan prosprektif sehingga penilaian bank terhadap risiko pasar bisa jauh

berkurang. Sedangkan penilaian bank terhadap risiko individu kreditor berkaitan

dengan subjektivitas penilai risiko internal. Faktor ini sangat sulit dihindari karena
berkaitan dengan penilaian pribadi kreditor. Untuk mengurangi penilaian risiko

terhadap variabel ini, tidak ada jalan lain bagi BI dan pemerintah selain mengambil

sebagian atau sepenuhnya dari risiko tersebut. Cara yang bisa dilakukan BI adalah

meminta pemerintah untuk mengambil risiko ini melalui mekanisme subsidi suku

bunga.

Sedangkan tingkat NIM berkaitan dengan target keuntungan yang ingin

diperoleh oleh bank. Selama ini tingkat NIM lembaga perbankan Indonesia masih

sangat tinggi bila dibandingkan lima negara besar ASEAN. Rata-rata NIM Indonesia

masih berada di atas angka lima persen padahal rata-rata NIM lima negara besar

ASEAN (Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina) hanya berada di

kisaran angka 3,5 persen.

Untuk mengubah tingkat NIM suatu bank maka rasanya sulit bagi BI untuk

melakukan intervensi langsung. Selama ini NIM lembaga perbankan sangat persisten

dan tidak ada variabel yang memengaruhi selain keputusan para stockholder. Bank

Indonesia hanya bisa memberikan himbauan kepada para pemilik saham supaya

tidak memberikan target keuntungan yang lebih besar melalui NIM. Bank Indonesia

bisa mendorong pemerintah untuk menjadi pioner dengan menetapkan target

keuntungan yang lebih rendah kepada bank-bank milik pemerintah sehingga bank-

bank tersebut bisa menetapkan tingkat NIM yang jauh lebih rendah.
Berkaca pada kondisi di atas, jika tujuan utama BI mengubah BI Rate menjadi

BI 7-Day Repo Rate adalah untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit ke level

satu digit maka kebijakan tersebut harus diikuti dengan kebijakan-kebijakan susulan

yang dapat memengaruhi variabel utama pembentuk suku bunga kredit tadi. Jika

penggunaan BI 7-Day Repo Rate tidak dibarengi dengan instrumen kebijakan yang

lain maka nasib BI 7-Day Repo Rate akan sama dengan BI Rate yaitu menjadi macan

ompong yang efektivitasnya jauh dari yang diharapkan.

Anda mungkin juga menyukai