Anda di halaman 1dari 3

Darurat Pembiayan

Oleh: Agus Herta Sumarto,


Mahasiswa Program Doktor Manajemen Keuangan Universitas Indonesia dan
Dosen Universitas Mercu Buana

Tahun 2016 bukanlah tahun yang menggemberikan baik pemerintah dan para

pelaku ekonomi secara keseluruhan. Pada tahun 2016 ini beberapa target pencapaian

pemerintah yang tertuang dalam APBN dan APBN-P meleset dari yang telah

direncanakan. Bahkan pada semester dua 2016 pemerintah telah melakukan tiga kali

koreksi dalam penentuan anggaran pendapatan dan belanjanya. Oleh karena itu,

cukup dipahami jika pada RAPBN tahun 2017 pemerintah cukup realistis dengan

menetapkan anggaran pendapatan dan belanjanya di bawah anggaran pendapatan

dan belanja tahun 2016.

Melesetnya beberapa capaian pendapatan pemerintah tahun 2016 cukup

berdampak signifikan pada target pembangunan. Beberapa proyek pembangunan

infrastruktur harus mengalami beberapa penyesuaian baik dari sisi target waktu

penyelesaian maupun target besarnya pembiayaan. Bahkan beberapa rencana proyek

pembangunan infrastruktur harus mengalami peninjauan kembali supaya tidak

menjadi beban berlebih dalam belanja pemerintah tahun 2016 ini. Hal ini pula yang

mendasari kenapa pemerintah sangat menggenjot pelaksanaan tax amnesty.

Dengan adanya tax amnesty pemerintah berharap dapat memperoleh sumber

pendanaan baru bagi belanja pemerintah sehingga target pembangunan dapat diraih

dengan maksimal. Namun sayangnya, tax amnesty ini ibarat macan ompong.

Pelaksanaan tax amnesty ini tidak disertai dengan instrumen paksaan bagi para

pelakunya untuk memasukkan kekayaannya ke Indonesia. Pada akhirnya dana segar

yang diharapkan dapat masuk karena adanya tax amnesty ini ibarat pengharapan

terhadap kemurahan hati para pelaku sehingga capaiannya tidak dapat ditetapkan

secara pasti.

Terbatasnya anggaran pemerintah untuk pembiayaan pembangunan

infrastruktur seharusnya tidak menjadi kendala yang signifikan. Bahkan


keterbatasan anggaran pemerintah merupakan hal yang wajar dan dapat dipahami

jika peran serta pihak swasta dapat berjalan dengan optimal baik dengan melibatkan

lembaga pembiayaan maupun perorangan dan perusahaan.

Namun, peran pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur pada tahun

2016 ini sepertinya tidak bisa terlalu diharapkan. Walaupun Indeks Tendensi Bisnis

(ITB) pada triwulan II 2016 memperlihatkan adanya perbaikan dari 99,46 pada

triwulan I 2016 menjadi 110,24 pada triwulan II, namun dalam tataran praktis

kinerja sektor industri belum menunjukkan adanya pemulihan. Kinerja ekspor dan

impor yang selama ini menjadi barometer sektor industri belum menunjukkan adanya
berbaikan yang signifikan. Sampai dengan triwulan II 2016, kinerja ekspor dan impor

Indonesia masih mengalami pertumbuhan yang negatif. Dibandingkan triwulan I

2016, kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif 3,13 persen sedangkan impor

mengalami pertumbuhan negatif yang lebih besar yaitu 4,04 persen. Dengan kondisi

seperti ini maka sulit rasanya jika pembiayan pembangunan dibebankan kepada para

pelaku industri.

Alernatif terakhir yang menjadi sumber pembiayaan pembangunan

infrastruktur adalah lembaga pembiayaan terutama lembaga perbankan. Namun

setali tiga uang, industri perbankan dalam beberapa waktu terakhir ini mengalami

kesulitan likuditas yang juga besar. Angka Loan to Deposit Ratio (LDR) lembaga

perbankan saat ini sudah sangat tinggi, melebihi angka 90 persen. Per Juni 2016

angka LDR lembaga perbankan mencapai 91,19 persen atau naik 0,87 persen

dibandingkan bulan Mei 2016.

Tingginya angka LDR lembaga perbankan bisa menunjukkan dua hal yaitu

tingginya permintaan kredit terhadap lembaga perbankan dan yang kedua adalah

jumlah dana yang dimiliki lembaga perbankan sudah sangat terbatas. Tingginya LDR

juga akan berdampak pada dua hal. Pertama sesuai dengan prinsip ekonomi,

tingginya permintaan kredit di tengah ketersediaan dana yang terbatas akan

mengakibatkan kenaikan harga dari dana yang tersedia tersebut. Dengan kata lain,

tingginya permintaan kredit di tengah kesulitan likuiditas tentunya akan


mengakibatkan kenaikan suku bunga kredit yang signifikan. Bila hal ini terjadi maka

sudah bisa dipastikan kinerja perekonomian secara nasional akan terganggu.

Indonesia akan kembali terjebak pada pusaran high cost economy yang berdampak

pada inefisiensi ekonomi.

Dampak yang kedua dari tingginya LDR adalah selektifnya perbankan dalam

memilih kreditor. Lembaga perbankan akan memilih kreditor yang kemungkinan

memberikan imbal hasil tertinggi dengan tingkat risiko paling rendah. Padahal selama

ini kreditor pembiayaan infrastruktur dikenal sebagai kreditor dengan pay back period

paling lama dengan risiko paling tinggi. Dengan kata lain, dengan terbatasnya dana

yang dimiliki lembaga perbankan maka hampir bisa dipastikan para kreditor untuk

pembiayaan pembangunan infrastruktur akan menempati daftar tunggu paling akhir

yang kemungkinan mendapatkan kredit bisa dikatakan mustahil.

Kondisi tersumbatnya sumber pembiayaan infrastruktur semakin memperkuat

keyakinan bahwa saat ini Indonesia berada pada periode darurat infrastruktur. Jika

pemerintah tidak bisa menemukan solusi yang tepat maka paling tidak pembangunan

infrastruktur selama satu tahun ini akan terhambat. Dalam kondisi seperti ini maka

kebijakan pinjaman luar negeri dan privatisasi bank-bank BUMN menjadi pilihan

yang cukup realistis untuk digunakan pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai