Darurat Pembiayaan
Darurat Pembiayaan
Tahun 2016 bukanlah tahun yang menggemberikan baik pemerintah dan para
pelaku ekonomi secara keseluruhan. Pada tahun 2016 ini beberapa target pencapaian
pemerintah yang tertuang dalam APBN dan APBN-P meleset dari yang telah
direncanakan. Bahkan pada semester dua 2016 pemerintah telah melakukan tiga kali
koreksi dalam penentuan anggaran pendapatan dan belanjanya. Oleh karena itu,
cukup dipahami jika pada RAPBN tahun 2017 pemerintah cukup realistis dengan
infrastruktur harus mengalami beberapa penyesuaian baik dari sisi target waktu
menjadi beban berlebih dalam belanja pemerintah tahun 2016 ini. Hal ini pula yang
pendanaan baru bagi belanja pemerintah sehingga target pembangunan dapat diraih
dengan maksimal. Namun sayangnya, tax amnesty ini ibarat macan ompong.
Pelaksanaan tax amnesty ini tidak disertai dengan instrumen paksaan bagi para
yang diharapkan dapat masuk karena adanya tax amnesty ini ibarat pengharapan
terhadap kemurahan hati para pelaku sehingga capaiannya tidak dapat ditetapkan
secara pasti.
jika peran serta pihak swasta dapat berjalan dengan optimal baik dengan melibatkan
2016 ini sepertinya tidak bisa terlalu diharapkan. Walaupun Indeks Tendensi Bisnis
(ITB) pada triwulan II 2016 memperlihatkan adanya perbaikan dari 99,46 pada
triwulan I 2016 menjadi 110,24 pada triwulan II, namun dalam tataran praktis
kinerja sektor industri belum menunjukkan adanya pemulihan. Kinerja ekspor dan
impor yang selama ini menjadi barometer sektor industri belum menunjukkan adanya
berbaikan yang signifikan. Sampai dengan triwulan II 2016, kinerja ekspor dan impor
2016, kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif 3,13 persen sedangkan impor
mengalami pertumbuhan negatif yang lebih besar yaitu 4,04 persen. Dengan kondisi
seperti ini maka sulit rasanya jika pembiayan pembangunan dibebankan kepada para
pelaku industri.
setali tiga uang, industri perbankan dalam beberapa waktu terakhir ini mengalami
kesulitan likuditas yang juga besar. Angka Loan to Deposit Ratio (LDR) lembaga
perbankan saat ini sudah sangat tinggi, melebihi angka 90 persen. Per Juni 2016
angka LDR lembaga perbankan mencapai 91,19 persen atau naik 0,87 persen
Tingginya angka LDR lembaga perbankan bisa menunjukkan dua hal yaitu
tingginya permintaan kredit terhadap lembaga perbankan dan yang kedua adalah
jumlah dana yang dimiliki lembaga perbankan sudah sangat terbatas. Tingginya LDR
juga akan berdampak pada dua hal. Pertama sesuai dengan prinsip ekonomi,
mengakibatkan kenaikan harga dari dana yang tersedia tersebut. Dengan kata lain,
Indonesia akan kembali terjebak pada pusaran high cost economy yang berdampak
Dampak yang kedua dari tingginya LDR adalah selektifnya perbankan dalam
memberikan imbal hasil tertinggi dengan tingkat risiko paling rendah. Padahal selama
ini kreditor pembiayaan infrastruktur dikenal sebagai kreditor dengan pay back period
paling lama dengan risiko paling tinggi. Dengan kata lain, dengan terbatasnya dana
yang dimiliki lembaga perbankan maka hampir bisa dipastikan para kreditor untuk
keyakinan bahwa saat ini Indonesia berada pada periode darurat infrastruktur. Jika
pemerintah tidak bisa menemukan solusi yang tepat maka paling tidak pembangunan
infrastruktur selama satu tahun ini akan terhambat. Dalam kondisi seperti ini maka
kebijakan pinjaman luar negeri dan privatisasi bank-bank BUMN menjadi pilihan