Anda di halaman 1dari 3

Daging Sapi dan Kegagalan Invisible Hand

Oleh: Agus Herta Sumarto,


Peneliti INDEF dan Dosen Universitas Mercu Buana

Dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1776 dengan judul An Inquiry into The

Nature and Cuases of The Wealth of Nation, ekonom Adam Smith menuliskan hasil

pengamatannya yang sangat terkenal dan menjadi salah satu kiblat madzhab ekonomi

liberal sampai sekarang, invisible hand. Smith sangat yakin bahwa intervensi /

campur tangan pemerintah dalam suatu perekonomian sama sekali tidak diperlukan.

Smith percaya bahwa suatu perekonomian akan mencapai titik keseimbangan yang

efisien dengan sendirinya. Bahkan, Smith sangat yakin intervensi pemerintah dalam

suatu perekonomian akan kontra produktif dengan tujuan dari ekonomi itu sediri,

menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Smith, harga yang terbentuk dalam suatu perekonomian (pasar)

merupakan barometer utama dari tingkat efisiensi di pasar tersebut. Dinamika harga

yang terjadi dalam suatu pasar merupakan hal yang wajar dan akan kembali kepada

titik keseimbangan dengan sendirinya tanpa harus ada campur tangan dari

pemerintah. Namun dalam era ekonomi modern terutama pasca era Keynes,

pandangan Smith ini mengalami sedikit modifikasi. Peran pemerintah mulai diakui

dan bahkan dipandang penting guna menciptakan kondisi di mana pasar harus

bekerja secara bebas tanpa kendali dari salah satu pihak baik produsen maupun

konsumen. Pandangan baru ini yang kemudian menjadi justifikasi pemerintah

Jokowi-Jk dalam melakukan intervensi terhadap kasus dinamika harga daging sapi.

Kasus dinamika harga daging sapi selama bulan puasa seharusnya bukanlah

hal yang istimewa. Naik atau turunnya harga daging sapi merupakan hal yang wajar

sebagaimana naik atau turunnya harga-harga komoditas lainnya. Harga daging sapi

seharusnya dapat kembali ke kondisi keseimbangannya semula atau membentuk

harga keseimbangan yang baru yang mencerminkan kondisi efisiensi pasar yang baru.

Jika dilihat berdasarkan teori ekonomi, dalam pasar yang efisien (pasar

persaingan sempurna) daging sapi merupakan salah satu komoditas superior yang
jumlah permintaannya akan sangat dipengaruhi oleh tingkat harga (elastis). Sebagai

barang superior maka permintaan daging sapi akan berkurang ketika harganya

meningkat. Ketika jumlah permintaan berkurang maka keuntungan yang diperoleh

produsen juga akan mengalami penurunan. Pada kondisi ini maka produsen akan

kembali menurunkan harganya sehingga tingkat harga daging sapi akan kembali pada

kondisi keseimbangan yang semula.

Namun dalam kasus Indonesia, daging sapi ternyata tidak termasuk ke dalam

barang yang elastis (dipengaruhi oleh harga). Menurut penelitian internal INDEF

dalam kurun waktu satu tahun terakhir, tingkat elastisitas daging sapi hanya -0,2.
Artinya kenaikan harga sebesar 1% hanya akan menurunkan tingkat permintaan

sebesar 0,2%. Dengan kata lain, daging sapi termasuk ke dalam jenis barang yang

inelasatis (tidak dipengaruhi oleh harga), padahal menurut teori daging sapi

seharusnya termasuk ke dalam jenis komoditas yang elastis.

Pada pasar yang efisien, ketika harga daging sapi naik maka konsumen

memiliki berbagai alternatif selain daging sapi. Pasar menyediakan berbagai barang

substitusi sebagai pengganti daging sapi. Dalam kondisi ini maka kenaikan harga

daging sapi seharusnya tidak berlangsung lama karena kenaikan ini akan direspon

oleh konsumen dengan mengkonsumsi komoditas lain selain daging sapi.

Dalam kasus Indonesia kondisi penggantian konsumsi ini tidak terjadi.

Berbagai komoditas yang seharusnya bisa menjadi komoditas substitusi daging sapi

tidak terjadi. Kenaikan harga daging sapi yang tinggi juga diikuti oleh kenaikan harga

barang substitusinya yang tidak kalah tingginya. Kenaikan harga daging sapi dari

kisaran harga Rp100.000 per kilogram menjadi sekitar Rp120.000 Rp140.000 per

kilogram diikuti oleh kenaikan harga daging ayam dan telur ayam yang selama ini

menjadi komoditas substitusi dari daging sapi. Harga daging ayam naik dari kisaran

harga Rp28.000 per ekor menjadi Rp34.000 Rp36.000 per ekor. Harga telur ayam

yang dalam kondisi normal bekisar pada harga Rp20.000 per kilogram menjadi

sekitar Rp28.000 per kilogram. Oleh karena itu, konsumen tidak memiliki alternatif
yang lebih baik selain mengkonsumsi daging sapi pada tingkat harga yang lebih

tinggi. Pada kondisi inilah daging sapi menjadi komoditas yang inelastis.

Masuknya daging sapi menjadi komoditas yang inelastis menandakan telah

terjadi kegagalan pasar (market failure) dalam pasar daging sapi di Indonesia, terlepas

apakah karena eksternalitas ataukah karena adanya market power yang dimiliki oleh

satu pihak tertentu. Selain menandakan adanya kegagalan pasar, inelastisnya

komoditas daging sapi menandakan pemerintah gagal dalam menjaga pasar untuk

bekerja secara efisien. Di samping itu, kasus daging sapi ini beserta komoditas-

komoditas substitusinya menandakan bahwa intervensi yang dilakukan pemerintah

selama ini telah gagal.

Sebenarnya, jika pemerintah tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk

mengendalikan harga daging sapi maka pemerintah bisa melakukan intervensi

terhadap komoditas susbtitusi dari daging sapi tersebut. Pemerintah bisa melakukan

pengendalian harga terhadap komoditas daging ayam dan telur ayam. Pemerintah

harus berupaya keras supaya harga daging ayam dan telur ayam tidak mengalami

kenaikan yang signifikan seperti daging sapi. Dengan menjaga stabilitas harga daging

ayam dan telur ayam maka pemerintah secara tidak langsung telah menjaga pasar

untuk paling tidak mendekati efisien (mendekati pasar persaingan sempurna)

dengan memberikan alternatif bagi konsumen selain mengkonsumsi daging sapi.

Intervensi pemerintah dalam kasus daging sapi telah membuat pasar bekerja

hanya dengan satu tangan. Ketidaktepatan intervensi pemerintah semakin

memperburuk keadaan yaitu menjadikan satu tangan yang tersisa terikat di

belakang. Maka sangat wajar jika pada akhirnya konsep invisible hand-nya Adam

Smith gagal dalam pasar daging sapi di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai