Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan yang


bersifatzoonosis (menular ke manusia). Lebih dari 55.000 kasus rabies pada
manusiadilaporkan setiap tahun di dunia (Rupprecth, 2004). Rabies disebabkan
oleh virus rabies, dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae. Virus rabies
termasuk virus yang memiliki genom RNA untai tunggal berpolaritas negatif (ss-
RNA virus), memiliki ukuran diameter 75 nm dan panjang 180 nm (OIE,
2008).Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan
ditularkan melalui gigitan atau melalui kulit yang terluka (Bingham, 2005; Kang
et al., 2007).
Bali merupakan propinsi yangdinyatakan tertular secara resmi berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian No.:1637.1/2008 tertanggal 1 Desember
2008.Secara laboratorium rabies pada anjing di Bali didiagnosis pertama kali pada
tanggal 27 Nopember 2008 yaitu pada satu ekor anjing asal Kelurahan
Kedonganan. Dengan mengkaji kasus pada manusia dan hewan serta masa
inkubasi rabies, rabies diduga masuk ke Semenanjung Bukit, Badung sekitar
bulan April 2008 (Putra et al., 2009).
Mengingat akan bahaya rabies terhadap kesehatan dan ketentraman
masyarakatkarena dampak buruknya yang selalu diakhiri kematian, maka usaha
pengendalian penyakit berupa pencegahan dan pemberantasan perlu dilaksanakan
seintensif mungkin (Depkes R.I, 2007). Penatalaksanaan profilaksis rabies sangat
kompleks, tergantung dari epidemiologilokal, jenis dan sifat hewan pembawa
rabies, derajat kontak dan tes diagnostik yang tersedia di daerah tersebut
(Rupprecht, 2004). Pemberian vaksin anti rabies (VAR) atau VAR disertai serum
anti rabies (SAR)harus berdasarkan atas tindakan tepat dengan
mempertimbangkan hasil-hasil penemuan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
(Depkes R.I, 2007). Oleh karena permasalahan tersebut, maka dalam bab
selanjutnya akan dibahas secara lebih mendetail mengenai definisi, etiologi,
manifestasi klinis, dan penanganan dari Rabies.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Rabies


Rabies adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus, bersifat akut
serta menyerang susunan saraf pusat.Rabies merupakan penyakit mematikan baik
pada manusia maupun hewan yangdisebabkan oleh infeksi virus (golongan
Rabdovirus) yang ditularkan melalui gigitan hewanseperti anjing, kucing,
kelelawar, kera, musang dan serigala yang di dalam tubuhnyamengandung virus
(Kemenkes RI, 2015).Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat
menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan
CFR (Case FatalityRate) 100% (WHO, 2006). Virus rabies dikeluarkan bersama
air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan melalui luka gigitan atau jilatan.

2.2 Epidemiologi Rabies


Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam memantau upaya
pengendalianrabies, yaitu: GHPR (kasus Gigitan Hewan Penular Rabies),
PET/Post Exposure Treatment(penatalaksanaan kasus gigitan), dan kasus yang
positif rabies dan mati berdasarkan uji Lyssa.
Gambar 1. Situasi Kasus Rabies di Indonesia Tahun 2009-2014

Tahun 2014 terdapat 25


provinsi tertular rabies dari 34 provinsi di Indonesia. Sebanyak sembilan provinsi
lainnya bebas rabies, lima diantaranya provinsi bebas historis (Papua, Papua
Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan NTB), dan enpat provinsi
dibebaskan (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan DKI Jakarta). Kasus
kematian karena rabies (Lyssa) di tahun 2014 secara signifikan mengalami
penurunan dari 195 pada tahun 2009 menjadi 81 kasus Lyssa pada tahun 2014.
Demikian juga dengan jumlah kasus GHPR pada tahun 2014 mengalami
penurunan dalam tiga tahun terakhir.Terjadi peningkatan PET dari 78,5% pada
tahun2013 menjadi 79,4% pada tahun 2014(Kemenkes RI, 2015).
Pada tahun 2014 terdapat 42.958 kasus gigitan hewan penular rabies.
Kasus GHPRpaling banyak terjadi di Bali yaitu sebanyak 21.161 kasus dengan
kasus meninggal berdasarkan tes lyssa yang positif rabies berjumlah satu orang.
Diikuti oleh Nusa Tenggara Timur dengan 5.340 kasus GHPR serta Sulawesi
Utara sebanyak 3.601 kasus GHPR dengan 22 positif rabies. Sebanyak enam belas
provinsi yang terdapat positif rabies tersebar di lima
puluhkabupaten/kota(Kemenkes RI, 2015).
2.3 Etiologi Rabies
Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia
Rhabdoviridae, genus Lyssa. Virus berbentuk peluru atau silindris dengan salah
satu ujungnya berbentuk kerucut dan pada potongan melintang berbentuk bulat
atau elip (WHO, 2006).Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah,
memiliki membran selubung (amplop) dibagian luarnya yang pada permukaannya
terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya lebih dari 500 buah (Rupprecht,
2004). Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak yang tinggi.
Virus berukuran panjang 180 nm, diameter 75 nm, tonjolan berukuran 9 nm,dan
jarak antara spikes 4-5 nm.
Gambar 2. Virus Rabies

2.4 Masa Inkubasi


Masa inkubasi rabies pada anjing adalah 10 15 hari, dan pada hewan lain
adalah 3-6 minggu, kadang-kadang berlangsung sangat panjang hingga 1-2 tahun.
Masa inkubasi padamanusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu atau
selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih) (Rupprecht, 2004). Biasanya
lebih cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan
periode inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang
terjadi.Masa inkubasi bisa tergantung pada umur pasien, latar belakang genetik,
status immun, strain virus yang terlibat, dan jarak yang harus ditempuh virus dari
titik pintu masuknya ke susunan saraf pusat (WHO, 2006).
Masa inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus dari luka sampai
ke otak, pada gigitan dikaki masa inkubasi kira-kira 60 hari, pada gigitan di
tangan masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-kira 30
hari (Rupprecht, 2004).

2.5 Patogenesis
Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi,
kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau
mukosa).Cakaran oleh kuku hewan penular rabies adalah berbahaya karena
binatang menjilati kuku-kukunya. Saliva yang ditempatkan pada permukaan
mukosa seperti konjungtivamungkin infeksius. Ekskreta kelelawar yang
mengandung virus rabies cukup untuk menimbulkan bahaya rabies pada mereka
yang masuk gua yang terinfeksi dan menghirup aerosol yang diciptakan oleh
kelelawar. Penularan rabies melalui transplan kornea dari penderita dengan
ensefalitis rabies yang tidak didiagnosis padaresipen/penerima sehat telah direkam
dengan cukup sering (Rupprecht, 2004).
Penularan dari orang ke orang secara teoritis mungkin tetapi kurang
terdokumentasi dan jarang terjadi.Luka gigitan biasanya merupakan tempat masuk
virus melalui saliva, virus tidak bisa masuk melalui kulit utuh. Setelah virus rabies
masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada
tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut
saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Bagian otak
yang terserang adalah medullaoblongata dan annons hoorn.Sesampainya di otak
virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luasdalam semua bagian
neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik,
hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron
sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf
volunter maupun saraf otonom.
Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam
tubuh dan berkembang biak dalam jaringan- jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal
dan sebagainya. Gambaran yang palingmenonjol dalam infeksi rabies adalah
terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion
besar (WHO, 2006).

2.6 Manifestasi Klinis Rabies


Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium (WHO, 2006). :
1. Stadium Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat
adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa
seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di
tenggorokan selama beberapa hari.
2. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat
bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan
terhadap ransangan sensoris.
3. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan
gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan
terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu
merintih sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa
tidak nyaman dan ketidak beraturan. Kebingungan menjadi semakin hebat
dan berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh
gemetar atau kaku kejang.
4. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi.
Kadangkadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan
paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum
tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.

2.7 Profilaksis Rabies


Profilaksis terhadap rabies merupakan tindakan efektif dan aman. Mencuci
luka dan vaksinasi segera setelah kontak dengan hewan tersangka rabies dapat
mencegah timbulnya rabies hampir 100%. Strategi yang paling efektif untuk
mencegah rabies adalah mengurangi penularan rabies pada anjing melalui
vaksinasi (Medicina, 2009).
2.7.1 Pre Exposure Profilaksis
Pemberian vaksinasi sebeum terjadinya gigitan ditujukan untuk orang
yang memiliki resiko untuk terpapar rabies, seperti dokter hewan, orang yang
bekerja dengan hewan, karyawan laboratorium yang bekerja dengan virus rabies
itu sendiri, rumah potong hewan, dan petugas kesehatan yang bekerja untuk
menangani kasus infeksi rabies (Bimingham, 2005).
Vaksinansi rabies sebelum gigitan juga harus dipertimbangkan pada
seseorang yang memiliki frekuensi kontak yang sering dengan virus rabies itu
sendiri dan hewan yang belum jinak. Wisatawan juga harus mendapatkan vaksin
rabies sebelum gigitan terutama yang akan melakukan kontak dengan hewan
didaerah yang sering terjadi infeksi rabies (Bimingham, 2005).
Berdasarkan Guideline WHO tahun 2010 tentang profilaksis sebelum dan
sesudah gigitan, disebutkan untuk profilaksis sebelum gigitan diberikan sebanyak
3 kali yaitu pada hari ke 0, hari ke 7, dan hari ke 28, dengan dosis yang diberikan
0,5 ml -1 ml secara intramuscular atau 0,1 secara intradermal. Diinjeksikan di are
deltoid pada dewasa dan di bagian anterolateral paha untuk anak-anak (WHO,
2014).
Bagi seseorang yang akan menerima vaksisn anti rabies dan
kemoprofilaksis malaria secara bersamaan maka rute yang sebaiknya digunakan
adalah secara intradermal (WHO, 2010). Setelah dilakukan profilaksis sebelum
gigitan seseorang harus melakukan pengecekan terhadap titer antibodinya setiap 6
bulan secara berkala sesuai dengan kategori resiko. VAR ulangan (booster)
diberikan pada yang berisiko tinggi dengan titer antibodi kurang dari 1:5 dengan
pemeriksaan Rapid Fluorescent Focus Inhibition Test (RFFIT) atau kurang 0,5 IU/
ml sesuai rekomendasi WHO. (WHO, 2014; Minnesota Guideline;Susilawathi,
2009).
Tabel 1. Pedoman pengebalan sebelum digigit (Pre-exposure vaccination)
(Susilawathi, 2009)
Kategori Jenis resiko Group profesi Rekomendasi
resiko

Terus menerus Kontak dengan virus Petugas Vaksinasi


secara terus menerus, laboratorium lengkap, tes
sering dalam yang meneliti serologi setiap
konsentrasi tinggi. virus 6 bulan,
Terdapat kemungkinan rabies booster
kontak yang tidak diberikan bila
diketahui titer rendah (<
(gigitan/bukan 1:5)
gigitan/aerosol)

Sering Kontak dengan virus Karyawan Vaksinasi


selalu terjadi secara laboratorium lengkap, tes
episodik dengan diagnostik serologi setiap
sumber yang rabies, 2 tahun,
diketahui. dokter hewan booster
Terdapat kemungkinan dan diberikan bila
kontak yang tidak teknisi yang titier rendah
diketahui(gigitan/buka bekerja
n pada hewan
gigitan/aerosol)

Jarang Kontak dengan virus Dokter hewan Vaksin


hampir selalu terjadi dan lengkap, tes
secara episodik teknisi yang serologi tidak
dengan bekerja diperlukan
sumber yang diketahui dengan hewan
terhadap kontak di
(gigitan/bukan gigitan) daerah dengan
kejadian rabies
yang
rendah.
Wisatawan
yang
mengunjungi
daerah endemik
rabies

Sangat jarang Kontak hamper Populasi pada Vaksinasi


episodik(gigitan/bukan daerah tidak
) endemis diperlukan

Tabel 2. Dosis dan Cara Pemberian VAR Untuk pengebalan Sebelum Digigit
(Depkes, R.I 2007).
Vaksinasi Dosis Waktu Pemberian

Dasar 1. 0,5 ml Pemberian I ( hari ke 0)

2. 0,5 ml Hari ke 28

Ulangan 0,5 ml 1 tahun setelah pemberian I

Ulangan Selanjutnya 0,5 ml Tiap 3 Bulan

2.7.2 Post Exposure Profilaksis


Rekomendasi WHO mencegah rabies tergantung adanya kontak:
1. Kategori 1: menyentuh, memberi makan hewan atau jilatan hewan pada
kulit yang intak karena tidak terpapar tidak perlu profilaksis, apabila
anamnesis dapat dipercaya.
2. Kategori 2: termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit
luka, garukan, atau lecet (erosi ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan,
badan, dan kaki. Untuk luka resiko rendah diberi VAR saja.
3. Kategori 3: jilatan/ luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu
(muka,kepala,leher),luka pada jari tangan/ kaki, genitalia, luka yang
lebar/dalam dan luka yang banyak (multiple)/ atau ada kontak dengan
kelelawar, maka gunakan VAR dan SAR. (WHO,2014)
Perawatan post-exposure untuk mencegah rabies meliputi pembersihan
dan desinfeksi luka atau titik kontak, dan pemberian imunisasi anti-rabies sesegera
mungkin (SAR & VAR). Setiap ada kasus gigitan hewan penular rabies harus
ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin. Tujuan dari profilaksis pasca
pajanan adalah untuk menetralisir virus sebelum dapat memasuki sistem saraf.
Setelah luka dibersihkan, administrasi antibodi pasif dan imunisasi aktif harus
dilakukan (Natasha,2015). Untuk mengurangi atau mematikan virus rabies yang
masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan
segera dengan air mengalir dan sabun atau detergent selama 10-15 menit
kemudian diberikan antiseptik (alkohol, betadine, obat merah dll) (Tansil,2014).
Pemberian profilaksis tetanus dan antibiotik dipertimbangkan pada luka
resiko tinggi antara lain: luka gigitan multipel, luka dalam dan lebar, luka di
daerah muka, kepala, leher, jari tangan/kaki, dan jilatan pada mukosa. Luka
gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Disekitar luka
gigitan yang terpaksa dijahit, perlu disuntik SAR sebanyak mungkin, sisanya
disuntikan secara intramuskular. Terhadap luka resiko rendah yang tidak
berbahaya seperti: jilatan pada kulit, luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi),
luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki, cukup diberikan VAR saja. Untuk
kontak (dengan air liur atau saliva hewan tersangka/ hewan rabies atau penderita
rabies) tetapi tidak ada luka, terjadi kontak tidak langsung atau tidak ada kontak
maka tidak perlu diberikan VAR atau SAR. (Susilawathi, 2009).
2.7.2.1 Dosis dan Cara Pemberian Vaksin Anti Rabies
1. Vaksin PVRV (Purified Vero Rabies Vaccine) terdiri dari vaksin kering
dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe.
a. Dosis dan cara pemberiannya sesudah digigit; cara pemberiannya
adalah disuntikkan secara intramuscular (im) di daerah deltoideus/
lengan atas kanan dan kiri. Dosis untuk anak dan dewasa sama yaitu
0,5 ml dengan 4 kali pemberian yaitu hari ke 0 (dua kali pemberian
sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian dan hari ke 21 satu kali
pemberian.
b. Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan SAR sesudah
digigit; cara pemberiannya sama di atas. Dosis untuk anak dan
dewasa sama yaitu Dasar 0,5 ml dengan 4 kali pemberian yaitu hari
ke 0 (dua kali pemberian sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian
dan hari ke 21 satu kali pemberian. Ulangan 0,5 ml sama pada anak
dan dewasa pada hari ke 90.
Depkes menganjurkan pemberian Purified VeroRabies Vaccine
(PVRV) dengan regimen 2-1-1. Vaksin disuntikkan secara intramuskular
di deltoid atau di anterolateral paha (pada anak yang lebih kecil). Cara
pemberiannya adalah diberikan 2 dosis sekaligus pada hari ke 0 dan satu
dosis diberikan masing-masing pada hari ke-7 dan 21. Vaksin tidak boleh
diberikan di area gluteal karena buruknya respons antibodi yang didapat.
Jika VAR diberikan bersama dengan SAR, VAR diberikan dengan cara
yang sama dan diulang pada hari ke-90. Pada daerah dengan keterbatasan
vaksin dan biaya, vaksin dapat diberikan secara intradermal. Dengan cara
ini, volume dan biaya vaksin dapat dikurangi 60-80%. (WHO, 2014).
2. Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV) mempunyai kemasan yang terdiri
dari dos berisi 7 vial @1 dosis dan 7 ampul pelarut @2 ml dan Dos berisi
5 ampul @1 dosis intra kutan dan 5 ampul pelarut @0,4 ml.
a. Dosis dan cara pemberian sesudah digigit adalah: cara pemberian
untuk vaksinasi dasar disuntikkan secara subcutan (sc) disekitar
pusar. Sedangkan untuk vaksinasi ulang disuntikkan secara
intracutan (ic) dibagikan fleksor lengan bawah. Dosis untuk
vaksinasi dasar pada anak adalah 1 ml, dewasa 2 ml diberikan 7 kali
pemberian setiap hari, untuk ulangan dosis pada anak 0,1 ml dan
dewasa 0,25 ml diberikan pada hari ke 11,15,30 dan hari ke 90.
b. Dosis dan cara pemberian bersamaan dengan SAR sesudah digigit ;
cara pemberian sama dengan diatas. Dosis dasar untuk anak 1 ml,
dewasa 2 ml diberikan 7 kali pemberian setiap hari, untuk ulangan
dosis pada anak 0,1 ml dan dewasa 0,25 ml diberikan pada hari ke
11,15,25,35 dan hari ke 90. (WHO, 2014).
2.7.2.2 Dosis dan Cara Pemberian Serum Anti Rabies (SAR)
Pemberian SAR merupakan imunisasi pasif yang bertujuan untuk
segera memberikan neutralizing antibodies sebelum sistem imun penderita siap
untuk menghasilkan antibodi sendiri yang terjadi 7-14 hari setelah VAR
diberikan. Ada dua jenis SAR yang digunakan secara luas yaitu: human rabies
immune globulin (HRIG) dan equine rabies immune globulin (ERIG). SAR
hanya diberikan sekali pada awal vaksinasi, jika SAR tidak diberikan pada
awal vaksinasi masih dapat diberikan sampai hari ke-7 sejak vaksinasi awal.
Setelah hari ke-7 merupakan kontraindikasi SAR karena telah terjadi respon
imun aktif terhadap VAR.
1. Serum heterolog(ERIG),mempunyai kemasan bentuk vial 20 ml (1 ml =
100 IU). Cara pemberian: disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka
sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intramuskular. Dosis 40 Iu/KgBB
diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari ke 0, dengan melakukan
skin test terlebih dahulu.
2. Serum homolog (HRIG), mempunyai kemasan bentuk vial 2 ml (1 ml =
150 IU). Cara pemberian: disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka
sebanyak mungkin,sisanya disuntikkan intramuskular. Dosis 20 Iu/ kgBB
diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari ke 0, dengan
sebelumnya dilakukan skin test (WHO,2014).

Gambar 3. Chart Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka Rabies


2.8 Tipe-Tipe Vaksin
Semua vaksin rabies untuk manusia mengandung virus rabies yang telah
diinaktifkan.
1. Vaksin Sel Diploid Manusia (HDCV)
Untuk mendapkatkan suatu suspensi virus rabies yang bebas dari
protein asing dan protein sistem saraf, virus rabies diadaptasi untuk tumbuh
dalam lini sel fibroblast normal manusia WI-38. Preparasi virus rabies
dipekatkan oleh ultrafiltrasi dan diinaktivasi dengan -propiolakton. Tidak ada
reaksi ensefalitik ataupun anafilaktik serius yang pernah dilaporkan.
2. Vaksin Rabies, Terabsorbsi (RVA)
Suatu vaksin yang dibuat dalam lini sel diploid yang berasal dari sel-sel
paru janin kera rhesus diijinkan di AS tahun 1988. Virus vaksin ini diinaktivasi
oleh - propiolakton dan dipekatkan oleh adsorbsi dengan aluminium fosfat.
3. Vaksin Sel Embrio Ayam yang Dimurnikan (PCEC)
Vaksin ini dipreparasi dari strain virus rabies fixed flury LEP yang
tumbuh dalam fibroblast ayam. Diinaktivasi oleh -propiolakton dan
dimurnikan lebih lanjut oleh sentrifugasi zonal.
4. Vaksin Jaringan Saraf
Dibuat dari otak domba, kambing atau tikus yang terinfeksi dan
digunakan di banyak bagian dunia termasuk Asia, Afrika dan Amerika Selatan.
Menimbulkan sensitisasi pada jaringan saraf dan menghasilkan ensefalitis
pasca vaksinasi (suatu penyakit alergi) dengan frekuensi subscansial (0,05%).
Perkiraan efektivitasnya pada orang yang digigit oleh hewan buas/gila
bervariasi dari 5 sampai 50%.
5. Vaksin Embrio Bebek
Vaksin ini dikembangkan untuk meminimalkan masalah ensefalitis
pasca vaksinasi. Virus rabies ditanam dalam telur bebek berembrio. Jarang
terdapat reaksi anafilaktik, tetapi antigenisitas vaksinnya rendah, sehingga
beberapa dosis harus diuji untuk mendapatkan respon antibodi yang
memuaskan.

6. Virus Hidup yang Dilemahkan


Virus hidup yang dilemahkan yang diadaptasi untuk tumbuh pada
embrio ayam (misalnya, strai flury) digunakan untuk hewan tetapi tidak untuk
manusia. Kadang-kadang vaksin demikian bisa menyebabkan kematian oleh
rabies pada kucing atau anjing yang disuntik. Virus rabies yang tumbuh pada
biakan sel hewan yang berlainan telah dipakai sebagai vaksin untuk hewan
peliharaan.

2.9 Efek Samping, Kontraindikasi, dan Interaksi Obat VAR


Efek samping yang terjadi seperti kemerahan dan indurasi ringan pada
bekas suntikan, jarang terjadi demam. Bila terjadi reaksi penyuntikan berikan
antihistamin sistemik atau lokal, jangan diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid
dan obat-obatan imunosupresif dapat menyebabkan kegagalan vaksinasi. Pada
kasus ini perlu dilakukan pemeriksaan antibodi secara serologis. Hati-hati
terhadap kasus alergi streptomisin dan atau neomisin (komponen ini juga terdapat
di dalam vaksin). Mengingat pentingnya pencegahan rabies, semua kontraindikasi
adalah sekunder bila terdapat kasus tersangka/ terkontaminasi dengan virus rabies.
Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi pada pemberian VAR. Pemberian
VAR setelah terjadi kontak/ gigitan dengan hewan rabies merupakan tindakan
yang tepat untuk melindungi ibu dan bayi yang dikandungnya (Susilawathi,2009).

2.10 Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasnya
timbul pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan intra-
kranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom
abnormalitas hormone antidimetik (SAHAD); disfungsi otonomik yang
menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia, hipotermia, aritmia dan henti
jantung. kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering terjadi komplikasi
hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi
pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal
jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik. (Herijanto, 2006)

Tabel 3. Komplikasi Rabies

Jenis Komplikasi
Nerologik Pulmonal Kardovaskular
Hiperaktif Hiperventilasi Aritmia
Hidrofobia Hipoksemia Hipotensi
Kejang fokal Ateletaksis Gagal jantung kongestif
Gejala neurologi local Apnea Thrombosis arteri/ vena
Edeme serebri Pneumotoraks Obstruksi vena kava
Aerofobia
superior
Henti jantung
Pituitari Lain-lain
SAHAD Anemia
Diabetes Insipidus Pendarahan
gastrointestinal
Hipotermia
Hipertermia
Hipovolemia
Ileus paralitik
Retensio urin
Gagal ginjal akut
Pneumomediastinum

2.11 Prognosis
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus
sudah mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari
kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun
1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis
seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian
terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun
paralisis generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang
melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis
yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan
angka survival 100%. (Herijanto, 2006)
BAB III
SIMPULAN

Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan yang bersifat
zoonosis (menular ke manusia).Rabies disebabkan oleh virus rabies, Virus rabies
termasuk virus yang memiliki genom RNA untai tunggal berpolaritas negative.
Provinsi Balimerupakan propinsi terbaru tertular rabies di Indonesia , maka usaha
pengendalian penyakit berupa pencegahan dan pemberantasan perlu dilaksanakan
seintensif mungkin. Penatalaksanaan profilaksis rabies sangat kompleks,
tergantung dari epidemiologilokal, jenis dan sifat hewan pembawa rabies, derajat
kontak dan tes diagnostik.
Pemberian vaksin anti rabies (VAR) atau VAR disertai serum anti rabies
(SAR)harus berdasarkan atas tindakan tepat dengan mempertimbangkan hasil-
hasil penemuan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Gejala dari rabies ini mulai
dari Stadium Prodromal: Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang
susunan saraf pusat adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala,
gatal. Stadium Sensoris : penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan
pada tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang
berlebihan. Stadium Eksitasi:Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi
meninggi dengan gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus,
ketakutan terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Stadium
Paralis: Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi.
Profilaksis terhadap rabies merupakan tindakan efektif dan aman. Mencuci
luka dan vaksinasi segera setelah kontak dengan hewan tersangka rabies dapat
mencegah timbulnya rabies hampir 100%. Strategi yang paling efektif untuk
mencegah rabies adalah mengurangi penularan rabies pada anjing melalui
vaksinasiPre Exposure Profilaksis dan Post Exposure Profilaksis.
DAFTAR PUSTAKA

Bingham J. 2005. Canine Rabies Ecology in Southern Africa. Emerging


Infectious Diseasses. 11(9) : 1337-1341. www.cdc.org. Diakses Maret
2011.
DEPKES R.I. Dirjen PPM & PPL. 2007. Petunjuk Perencanaan dan
Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka/Rabies di Indonesia.
Kang B., J.S.Oh, C.S.Lee, B.K.Park, Y.N.Park, K.S.Hong, K.G.Lee, B.K.Cho, and
D.S.Song. 2007. Evaluation of Rapid Immunodiagnostic Test kit for
Rabies Virus. Journal of Virology Methods.145(2007): 30-36
Kementrian Kesehatan RI. 2015. Rabies. Dalam: Profil Kesehatan Indonesia
2014. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI.
Menteri Pertanian. 2008. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
1637.1/Kpts/PD 640/12.2008. Tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah
Penyakit Anjing Gila (Rabies) di Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
Natasha S Crowcroft: The prevention and management of rabies; 13 January
2015.
OIE. 2008. Rabies. Manual of standard for diagnostic techniques. Chapter 2.1.13.
Terrestrial manual. P.304-323.
Paul Harijanto dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006; Rabies. FKUI:
Jakarta
Putra.A. A.G., I.K.Gunata, Faizah, N.L.Dartini, D.H.W.Hartawan, G.Setiaji,
A.A.G.Semara-Putra, Soegiarto, dan H.Scott-Orr. 2009. Situasi Rabies
Bali: Enam bulan pasca program pemberantasan. Buletin Veteriner. XXI
(74) : 13-26
Rupprecht CE, Gibbons RV. 2004. Prophylaxis against Rabies. N ENGL
JMED.351(25):2626-35.
Susilawathi NM, Raka Sudewi AA. 2009. Profilaksis Rabies.MEDICINA
2009;40:55-9.
Tansil Kunadi. 2014. Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya. Bagian
Mikrobiologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
WHO Guide for Rabies Pre and Post-exposure prophylaxis in Humans, 2014.
http://www.who.int/rabies/PEProphylaxisguideline.pdf. Diakses tanggal
30Mei 2016.
World Health Organization Media Centre: Rabies, 2006. Diunduh dari: http://
www.who.int/_utm.

Anda mungkin juga menyukai