Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama Pasien : Tn. NU
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 32 tahun
Alamat : Koya
Suku : Papua
Agama : Kristen Protestan
MRS : 10 08 2016
KRS :

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama (Autoanamnesis)
Kaki kanan tidak dapat diluruskan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan kaki kanan tidak dapat diluruskan, hal ini sudah
dialami pasien 1 bulan lebih SMRS. pasien sebelumnya mengaku
pada tanggal 6 juli saat itu pasien sedang berdiri di pinggir jalan lalu
pasien di tabrak dari arah kanan pasien, paha kanan pasien terbentur di
mobil, pasien terjatuh dan terseret dengan posisi kaki kanan pasien
terlipat. Setelah itu pasien dibawah ke RS Kwainggai dari situ pasien di
rujuk ke RS Dok 2, di sana pasien di coba dilakukan reposisi dengan cara
ditarik di kamar oprasi RS Dok 2 namun tidak berhasil, akhirnya pasien
minta pulang paksa ke rumah, di rumah pasien sempat diurut sebanyak
dua kali, namun terasa semakin sakit sehingga pasien dibawa berobat ke
RSUD Abepura. Mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri kepala (-),
pingsan (-).

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak memiliki riwayat sakit, alergi dan gangguan yang lain.
Pasien tidak ada riwayat operasi.

d. Kebiasaan
Merokok (+) 6 10 batang / hari
Konsumsi Alkohol 30% - 40 % hampir 4 5 kali per bulan

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis, GCS : E4V5M6

1
TTV : TD = 120/70 mmHg, N = 74 x/menit, reguler, kuat angkat , R = 20
x /mnt, S = 36,5oC
b. Status Interna
Kepala/leher: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pembesaran
KGB (-), Oral Candidiasis (-/-)
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Simetris, dalam keadaan statis dan dinamis, retraksi
dinding dada (-), jejas (-)
Palpasi : vokal fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor pada paru kanan dan kiri
Auskultasi : Suara nafas dasar : vesikuler
Suara tambahan : wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga ke V, 2 cm kelateral
linea mid clavicularis sinistra, tidak kuat angkat,
tidak melebar.
Perkusi :
Batas atas :ICS II linea parasternalis kiri
Pinggang :ICS III linea parasternalis kiri
Batas kiri :ICS VI 2 cm ke lateral linea midclavicularis
kiri
Batas kanan : ICS VI linea sternalis kanan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-),
bising Jantung (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak cembung , caput medusa (-)
Auskultasi : Peristaltic (+) normal 2x / menit
Perkusi : timpani, shifting dullnes (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) , turgor normal,
massa (-)
Hepar : tidak teraba membesar
Lien : tidak teraba membesar
Ekstremitas
Superior : akral teraba hangat, sianosis (-/-), edem (-/-)
Inferior : akral hangat (+), sianosis (-/-), edem (-/-)

Status Lokalis Regio HIP (S)


Look : deformitas (+), Flexi (+), Adduksi (+), Internal Rotasi (+)

2
Feel : nyeri tekan (+), pulsasi a. dorsalis pedis dextra (+)
Movement : pasif terbatas, gerak terbatas Hip joint (D)

Apparenth Leg Length (ALL)


- Umbilikus Maleolus medialis (S) = 103 cm
- SIAS (S) Maleolus medialis (S) = 99 cm
- Umbilikus Maleolus medialis (D) = sdn
- SIAS (D) Maleolus medialis (D) = sdn

IV. DIAGNOSA SEMENTARA


Dislokasi Hip Joint Dextra

V. TERAPI PADA SAAT MRS


Pro Rho Pelvis AP/Lat
Siap PRC 500 cc
Cek DL, CT, BT, RFT, PITC, HbSAg
VI. FOTO KLINIS

VII. FOTO RONTGEN

3
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap : 10-08-2016
Hemoglobin : 12,3 g/dl Ur : 17 SGOT : 19
Leukosit : 6.900 Cr : 1,2 SGPT : 22
Trombosit : 165.000 HBSAg: NR
CT : 0600 PITC : NR
BT : 0300

IX. FOLLOW UP RUANGAN


Tgl Catatan Tindakan Ket
10/8/ S : kaki kanan sulit diluruskan
2016 Kesadaran : Composmentis -Siap PRC 500 cc
s/d TTV : TD : 120/70 mmHg, N : -Cek DL,CT-
14/8/ 71 x/m, R : 20 x/m, SB : 36,9 BT,Ur,Cr,HBSAg,PITC
2016 Kepala : CA (-/-), SI (-/-), ,SGOT,SGPT
P>KGB (-) -Rencana Oprasi Senin
Thoraks : I : Simetris, P : V/F 15/8/2016
D = S, Per : Sonor, A : Rho -/-,
Whe -/-
Cor : I : Ictus Cordis (-), P :
Thrill (-). P : Pekak, A : BJ I-II
regular
Abdomen : I : datar, A : BU :
(+), P : NT (-) P : timpani.

Ekstremitas :
Akral hangat, edema (-/-)
Status Lokalis :
Look : deformitas (+),
Flexi(+),Adduksi(+),Internal

4
rotasi (+)
Feel : nyeri tekan (+)
Mov : Pasif Terbatas, gerak
terbatas Hip joint (D)
A : Dislokasi Hip Joint (D)

16/8/ S : nyeri Luka Oprasi (+) IVFD RL 20 tpm


2016 Kesadaran : Composmentis Inj.Ceftriaxone 3 x 1gr
TTV : TD : 110/70 mmHg, N : Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
80 x/m, R : 20 x/m, SB : 36,5 Inj Hypoac 3x200 gr
Status Interna : dbn Inj Ketorolac 3% 3x1 A
Status Lokalis : Cek Lab
Look : Extensi, bduksi (+) Ro Pelvis AP
Feel : nyeri (+) Pro ORIF
Mov : Immobilisasi (Tidak
mlkukan gerakan
Flexi,Adduksi dan Internal
Rotasi)
A : Neglected Dislokasi Hip
Joint (D) post Op H1 + Fraktur
Acetabulum (D)

X. DIAGNOSA TERAKHIR
Neglected Dislokasi Hip Joint (D) post Op H1 + Fraktur Acetabulum (D)

XI. TERAPI
IVFD RL 20 tpm
Inj.Ceftriaxone 3 x 1gr
Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
Inj Hypoac 3x200 gr
Inj Ketorolac 3% 3x1 A

XII. RESUME
Seorang Pria umur 32 tahun datang dengan keluhan kaki kanan tidak dapat
diluruskan, hal ini sudah dialami pasien 1 bulan lebih SMRS. pasien
sebelumnya mengaku pada tanggal 6 juli saat itu pasien sedang berdiri di
pinggir jalan lalu pasien di tabrak dari arah kanan pasien, paha kanan pasien
terbentur di mobil, pasien terjatuh dan terseret dengan posisi kaki kanan
pasien terlipat. Pemeriksaan fisis, Tekanan darah : 120 / 70 mmHg, Nadi : 78
x/m, Respiratory rate : 20 x/m, Suhu Badan : 36,7 0C. Status Generalis :
dalam batas normal, Status Lokalis Regio Hip Joint (D) : Look : deformitas

5
(+) Flexi (+),Adduksi(+)Internal Rotasi (+), Feel : nyeri tekan (+), pulsasi a.
dorsalis pedis Dextra (+), Movement : gerak Pasif terbatas Hip joint (D),

XIII. PEMBAHASAN

a. Definisi Dislokasi
Dislokasi panggul adalah suatu keadaan dimana terjadi perpindahan
permukaan caput femoris terhadap acetabulum. Dislokasi terjadi ketika
caput femoris keluar dari acetabulum. Kondisi ini dapat kongenital atau
didapat (acquired). Dari kedua dislokasi ini, dislokasi yang paling sering
ditemukan adalah dislokasi panggul yang didapat akibat trauma (dislokasi
panggul traumatika). Dislokasi panggul traumatika ini dapat terjadi pada
semua kelompok usia dan angka kejadiannya meningkat seiring dengan
meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas dan dislokasi panggul ini
merupakan suatu kegawatdaruratan ortopedi yang membutuhkan
tatalaksana segera.

b. Anatomi Sendi Panggul


Sendi panggul atau articulatio coxae adalah sebuah sendi
sinovial yang dibentuk oleh tulang femur pada bagian caput femur dan
tulang pelvis pada asetabulum dan mempunyai konfigurasi ball and socket.
Konfigurasi sendi yang demikian ini memungkinkan sendi tersebut
mempunyai kelebihan dalam stabilitas weight bearing sekaligus kebebasan
pergerakan. Dalam keadaan normal sendi ini dapat bergerak ke arah abduksi
(0-450), adduksi(0-300), fleksi (0-1400), ekstensi (0-100), eksorotasi (0-500)
dan endorotasi (0-400).

Asetabulum terbuka ke arah depan dan bawah kira-kira


sebanyak 300. Colum femur mempunyai inklinasi ke depan (anteversi)
berkisar 0-300 dan mempunyai inklinasi keatas kira-kira 12,50.

6
Gambar 1. Os femur dan Os Pelvis

Sendi ini diliputi otot dan ligamen. Otot-otot bagian anterior


meliputi otot-otot pada lapisan superfisial yaitu M. Psoas Mayor, M.
Pektineus dan M. Iliakus dan otot pada lapisan profunda yaitu M. Rektus
Femoris, M. Iliopsoas, M. Obturator Eksterna dan Ligamentum Ileofemoral.
Otot bagian posterior meliputi otot pada lapisan superfisial yaitu M. Gluteus,
M. obturator Internus, M. Kuadratus Femoris dan M. Piriformis dan otot
pada lapisan profunda yaitu M. Gemelli, M. Obturator Eksterna, M.
Obturator Internus dan Ligamentum Iskiofemoralis.
2

Gambar 2. Musculus

Ligamentum anterior lebih kuat daripada ligamentum posterior.


Pada bagian anterior terdapat dua buah ligamentum yaitu Ligamentum
Iliofemoralis dan Ligamentum Pubofemoralis, sedangkan bagian posterior
terdapat sebuah ligamentum yaitu Iskiofemoralis.

7
Gambar 3. Ligamentum-ligamentum yang melekat di os femur dan os pelvis

Caput femoralis mendapat perdarahan dari percabangan a.


sirkumfleksa femoris medialis dan a. obturator ramus anterior serta a.
ligamentum teres.

Gambar 4. Pembuluh darah

Sendi pinggul mempunyai gerakan yang luas, tetapi lebih


terbatas daripada articulatio humeri. Kekuatan sendi sebagian besar
bergantung pada bentuk tulang-tulang yang ikut dalam persendian dan
kekuatan ligamentum. Bila lutut difleksikan, fleksi dibatasi oleh permukaan
anterior tungkai atas yang berkontak dengan dinding anterior abdomen. Bila
lutut diluruskan (ekstensi), fleksi dibatasi oleh ketegangan otot-otot
hamstring. Ekstensi yaitu gerakan tungkai atas yang difleksikan ke belakang
kembali ke posisi anatomi, dibatasi oleh tegangan Ligamentum Iliofemorale,
Ligamentum Pubofemorale, dan Ligamentum Ischiofemorale. Gerakan

8
abduksi dibatasi oleh tegangan Ligamentum Pubofemorale, dan adduksi
dibatasi oleh kontak dengan tungkai sisi yang lain dan oleh tegangnya
Ligamentum Teres Femoris. Rotasi lateral dibatasi oleh tegangan
Ligamentum Iliofemorale dan Ligamentum Pubofemorale, dan rotasi medial
dibatasi oleh ligamentum ischiofemorale. Gerakan-gerakan berikut ini dapat
terjadi:

Fleksi dilakukan oleh M. Iliopsoas, M. Rectus Femoris, M. Sartorius,


dan juga mm. adductores.
Ekstensi (gerakan ke belakang oleh tungkai atas yang sedang fleksi)
dilakukan oleh M. Gluteus Maksimus dan otot-otot hamstring.
Abduksi dilakukan oleh M. Gluteus Medius dan Minimus, dan dibantu
oleh M. Sartorius, M. Tensor Fasciae Latae, dan M. Piriformis.
Adduksi dilakukan oleh M. Adductor Longus dan M. Adductor Brevis
serta serabut-serabut adductor dari M. Adductor Magnus. Otot-otot ini
dibantu oleh M. Pectineus dan M. Gracilis.
Rotasi lateral dilakukan oleh M. Piriformis, M. Obturatorius Internus
dan Eksternus, M. Gemellus Superior dan M. Gemellus Inferior dan
M. Quadrates Femoris, dibantu oleh M. Gluteus Maksimus.
Rotasi medial dilakukan oleh serabut-serabut anterior dari M. Gluteus
Medius dan M. Gluteus Minimus dan M. Tensor Fasciae Latae.
Circumduksi merupakan kombinasi dari gerakan-gerakan di atas.
Kelompok otot-otot ekstensor lebih kuat daripada kelompok
otot-otot fleksor, dan lateral lebih kuat daripada rotator medial.

a. Ligamen Anatomi
Sendi pinggul berbentuk bola dan socket. Caput berputar
dalam acetabulum dan tidak tertutup sempurna. Kedalaman acetabulum
ini dilengkapi oleh fibrous labrum, yang membuat fungsional sendi lebih
dalam dan lebih stabil. Labrum menambahkan lebih dari 10% cakupan
caput femoralis, menciptakan situasi yang membuat kaput 50% lebih
tercakup selama gerakan. Dibutuhkan lebih dari 400 N kekuatan hanya
untuk merusak sendi panggul. Kapsul sendi pinggul adalah kuat dan
meluas dari tepi acetabulum ke garis intertrochanteric anterior dan leher

9
femoralis posterior. Serat longitudinal didukung oleh kapsul spiral tebal
disebut ligamen.
Anterior, ligamentum iliofemoral atau ligamen Y berasal
dari aspek superior dari sendi di ilium dan spina iliaca anterior inferior.
Berjalan pada dua pita memasuki sepanjang garis intertrochanteric
superior dan hanya dari superior ke inferior trokanter minor. Inferior
kapsul lebih lanjut didukung oleh ligamentum pubofemoral, yang berasal
dari ramus superior superolateral dan masuk pada garis intertrochanteric
ke ligamentum Y.
Posterior, kapsul masuk pada leher femoralis pada inferior
dari caput medial dan meluas ke dasar trokanter mayor lateral.
Ligamentum ischiofemoral dalam kapsul posterior berasal dari dinding
posterior inferior dengan iscium. Berjalan lateral obliq dan superior
untuk memasuki leher femoralis dengan kapsul. Selain ligamen, rotator
eksternal pendek berbaring di kapsul posterior, memberikan dukungan
tambahan.
b. Neurovaskular Anatomi
Semua saraf ke tungkai bawah lewat dekat sendi pinggul.
Saraf skiatik yang paling menjadi perhatian karena paling berisiko. Saraf
ini berjalan posterior pada sendi, muncul dari notch isciadica yang dalam
ke piriformis dan yang superfisial ke obturator internus dan otot gemelli.
Dalam 85% orang saraf ini adalah sebuah struktur tunggal yang terletak
di posisi normal. Pada 12% itu membagi sebelum keluar dari skiatik
notch yang besar dan divisi peroneal melewati agak lebih dalam daripada
otot piriformis. Dalam 3% saraf ini mengelilingi piriformis dan dalam
1% seluruh saraf melewati piriformis. Dengan terjadinya dislokasi
posterior, saraf dapat teregang atau langsung tertekan.

Saraf obturator melewati foramen obturatorius


superolateral dengan arteri obturatorius. Saraf femoralis terletak medial
dari otot psoas dalam selubung yang sama dan dapat cedera dengan
terjadinya dislokasi anterior. Cedera pada vaskular dari caput femur
merupakan faktor penting dalam dislokasi panggul. Pada orang dewasa,
pasokan darah utama untuk kaput berasal dari arteri kolum femur. Arteri

10
ini berasal dari cincin ekstrakapsular di dasar colum femur. Cincin ini
dibentuk oleh kontribusi dari arteri circumfleksa femoralis posterior
medial dan lateral anterior cirkumfleksa femoralis. Pembuluh darah
melintasi kapsul dekat insersi pada leher dan daerah trokanterika dan
naik sejajar dengan leher, memasuki kaput berdekatan dengan
permukaan inferior artikular. Pembuluh darah superior dan posterior,
yang terutama berasal dari arteri femoralis circumfleksa medial, lebih
besar dan lebih banyak daripada pembuluh darah anterior. Selain
pembuluh serviks, kontribusi yang kecil untuk kaput muncul dari arteri
foveal, sebuah cabang dari arteri obturatorius yang terletak di dalam
ligamentum teres. arteri ini memberi kontribusi yang signifikan ke
bagian epifisis dari pembuluh darah kaput femur pada sekitar 75% dari
pinggul.

Posisi panggul ketika dislokasi dapat menekuk pembuluh


darah yang memvaskularisasi caput femur, membuat sirkulasi kolateral
menjadi penting. Namun, perubahan dalam suplai darah extraosseous
tidak memberikan perubahan yang konsisten dalam pasokan intraosseous
ke kaput, hal ini mungkin terjadi karena ada sirkulasi kolateral.

Gambar 5. Pembuluh darah os femur

c. Epidemiologi

11
Dengan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas, dislokasi panggul
traumatik makin sering ditemukan. Dislokasi panggul ini dapat terjadi
pada semua kelompok usia. Dislokasi panggul posterior merupakan
dislokasi yang paling sering terjadi. Dislokasi panggul posterior terjadi
sebanyak 90% dari kasus, sedangkan dislokasi panggul anterior terjadi
sebanyak 10% dari seluruh kasus dislokasi panggul traumatik.

d. Klasifikasi

Berdasarkan arah dislokasi, dislokasi panggul dibagi menjadi 3, yaitu


dislokasi posterior, dislokasi anterior, dan dislokasi pusat (central).

a. Dislokasi Posterior
1) Mekanisme Cedera
Empat dari lima dislokasi panggul traumatik adalah
dislokasi posterior. Biasanya dislokasi ini terjadi dalam kecelakaan
lalu lintas bila seseorang yang duduk di dalam mobil terlempar ke
depan sehingga lutut terbentur pada dashboard. Femur terdorong ke
atas dan caput femoris keluar dari acetabulum, seringkali terjadi
fraktur pada acetabulum (fraktur-dislokasi).

Gambar 6. Mekanisme cedera pada dislokasi panggul posterior

2) Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

12
Caput femoris dapat berada di posisi yang tinggi (iliac)
atau rendah (ischiatic), tergantung dari posisi flexi paha ketika terjadi
dislokasi.

Dislokasi tipe iliac:


- Panggul flexi, adduksi, endorotasi.

- Extremitas yang terkena tampak memendek.


- Trochanter major dan bokong di daerah yang mengalami
dislokasi terlihat menonjol.
- Lutut extremitas yang mengalami dislokasi tampak
menumpang di paha sebelahnya.
-
Dislokasi tipe ischiatic:
- Panggul flexi.
- Panggul sangat beradduksi sehingga lutut di extremitas yang
mengalami dislokasi tampak menindih di paha sebelahnya.
- Extremitas bawah tampak dalam posisi endorotasi yang
ekstrim.
- Trochanter major dan bokong di daerah yang mengalami
dislocasi terlihat menonjol.

Gambar 7. Posisi sendi pada dislokasi pinggul posterior

13
Jika salah satu tulang panjang mengalami fraktur
(biasanya femur), dislokasi panggul seringkali tidak terdiagnosis.
Pedoman yang baik adalah dengan pemeriksaan pelvis dengan
pemeriksaan radiologis. Tungkai bawah juga harus diperiksa untuk
mencari apakah terjadi cedera syaraf ischiadicus.

Cedera neurovaskular pada dislokasi panggul posterior


dapat memberikan gambaran sebagai berikut:

Nyeri di panggul, bokong, dan tungkai bawah bagian posterior.


Hilangnya sensasi di tungkai bawah dan kaki.
Hilangnya kemampuan dorsoflexi (cabang peroneal) atau
plantarflexi (cabang tibial).
Hilangnya deep tendon reflex di pergelangan kaki.
Hematoma lokal
3) Klasifikasi
Epstein dan Thompson menganjurkan suatu klasifikasi
yang dapat membantu perencanaan tatalaksana. Klasifikasi ini dibuat
sebelum ditemukannya CT-scan.

Berikut ini adalah klasifikasi dislokasi panggul posterior


menurut Epstein dan Thompson:

Tipe I : Dislokasi sederhana, dengan atau tanpa fragmen


di dinding posterior acetabulum.
Tipe II : Dislokasi dengan fragmen besar di dinding
posterior acetabulum.
TipeIII : Dislokasi dengan kominusi dinding
posterior acetabulum.
Tipe IV : Dislokasi dengan fraktur dasar (lantai)
acetabulum.
Tipe V : Dislokasi dengan fraktur caput femoris, yang
diklasifikasikan menurut Pipkin

14
Gambar 8. Klasifikasi FractureCaput Femoris Menurut Pipkin

A) Tipe I: Garis fracture berada di bawah fovea, B) Fragmen fracture meliputi fovea, C) Sama
seperti tipe I dan II, namun disertai dengan fracture collum femoris, D) Fracture caput femoris dan
acetabulum dalam bentuk apapun.

4) Pemeriksaan Radiologi
Pada foto anteroposterior (AP), caput femoris terlihat
keluar dari acetabulum dan berada di atas acetabulum. Segmen atap
acetabulum atau caput femoris dapat ditemukan patah dan bergeser.
Foto oblik dapat digunakan untuk mengetahui ukuran fragmen. CT
scan adalah cara terbaik untuk melihat fraktur acetabulum atau setiap
fragmen tulang.

e. Diagnosis
Sebagaimana bidang ilmu lainnya, pengobatan bedah ortopedi hanya
dapat berhasil dengan baik bila sebelumnya dapat ditegakkan suatu
diagnosis yang baik. Pemeriksaan diawali dengan menanyakan riwayat
penderita (anamnesis) dan dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan-pemeriksaan tertentu berdasarkan kebutuhan yang
diperlukan. Hal-hal yang yang diperlukan dalam diagnosis adalah(5) :
1. Anamnesa
Sebagian dari kelainan ortopedi dapat terdiagnosis melalui
anamnesis yang baik dan teratur, sehingga seorang dokter harus

15
meluangkan waktu yang cukup dalam melakukan anamnesis, tekkun
dan menjadikannya kebiasaan. Anamnesis melalui pengambilan
riwayat penderita secara skematis meliputi :
Data Pribadi, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan
alamat.
Tanggal Pemeriksaan
Keluhan Utama, merupakan beberapa gejala / keluhan
muskuloskeletal yang membuat penderita datang untuk diperiksa,
seperti :
a. Trauma
b. Nyeri
c. Kekakuan pada sendi
d. Pembengkakan
e. Deformitas
f. Instabilitas sendi
g. Kelemahan otot
h. Gangguan sensibilitas
i. Gangguan atau hilangnya funsi
j. Jalan pincang

Riwayat Penyakit Sekarang


Riwayat Penyakit Lainnya
Riwayat Sebelum Sakit, meliputi :
a. Riwayat penyakit dahulu
b. Riwayat trauma
c. Riwayat pengobatan
d. Riwayat operasi
Riwayat Sistem Tubuh Lainnya
Riwayat Keluarga
Latar Belakang Sosial dan Pekerjaan

Bila tidak ada riwayat trauma, berarti fraktur patologis. Trauma


harus diperinci kapan terjadinya, dimana terjadinya, jenisnya, berat
ringan trauma, arah trauma dan posisi pasien atau ekstremitas yang
bersangkutan (mekanisme trauma). Teliti kembali trauma ditempat lain
secara sistematik dari kepala, muka, leher, dada dan perut.

2. Pemeriksaan umum
Bertujuan untuk mengevaluasi keadaan fisik penderita secara
umum serta melihat apakah ada indikasi penyakit lainnya selain
kelainan muskuloskeletal. Perlu dicari kemungkinan komplikasi umum

16
seperti syok pada fraktur multipel, fraktur pelvis, fraktur terbuka;
Tanda tanda sepsis pada fraktur terbuka yang mengalami infeksi.
pemeriksaan dilakukan secara sistematik karena sebagian penderita
yang datang adalah penderita yang sudah berumur dan biasanya
memiliki kelainan lain selain kelainan muskuloskeletal yang
dikeluhkan.

3. Pemeriksaan status lokalis


Pemeriksaan dilakukan secara sistematis dengan urut-urutan
sebagai berikut(5) :
a. Inspeksi (Look)
Inspeksi sebenarnya telah dimulai ketika penderita memasuki
ruangan periksa. Pada inspeksi secara umum diperhatikan raut muka
penderita, apakah terlihat kesakitan. Cara berjalan sekurang-
kurangnya 20 langkah, cara duduk dan cara tidur.
Inspeksi dilakukan secara sistematik dan perhatian terutama
ditujukan pada :
Kulit, meliputi warna kulit dan tekstur kulit.
Jaringan lunak, yaitu pembuluh darah, saraf, otot, tendo, ligamen,
jaringan lemak, fasia, dan kelenjar limfe.
Tulang dan sendi
Sinus dan jaringan parut, meliputi :
Apakah sinus berasal dari permukaan saja, dari dalam tulang
atau dalam sendi.
Apakah jaringan parut berasal dari luka operasi, trauma atau
supurasi.
Lihat juga ukuran panjang tulang, bandingkan kiri dan kanan,
misalnya, pada tungkai bawah meliputi apparenth length (jarak
antara umbilikus dengan maleolus medialis) dan true lenght
(jarak antara SIAS dengan maleolus medialis)

b. Palpasi (Feel)
Yang perlu diperhatikan pada palpasi adalah :
Suhu kulit, apakah lebih panas/dingin dari biasanya, apakah
denyutan arteri dapat diraba atau tidak.
Jaringan lunak; palpasi jaringan lunak dilakukan untuk
mengetahui adanya spasme otot, atrofi otot, keadaan membran
sinovia, penebalan membran jaringan sinovia, adanya tumor dan

17
sifat-sifatnya, adanya cairan di dalam/di luar sendi atau adanya
pembengkakan.
Nyeri tekan; perlu diketahui lokasi yang tepat dari nyeri,
apakah nyeri setempat atau nyeri yang bersifat kiriman dari
tempat lain (referred pain)(5). Pemeriksaan nyeri sumbu tidak
dilakukan lagi karena akan menambah trauma(6).
Tulang; diperhatikan bentuk, permukaan, ketebalan, penonjolan
dari tulang atau adanya gangguan di dalam hubungan yang
normal antara tulang yang satu dengan lainnya.
Pengukuran panjang anggota gerak; terutama untuk anggota
gerak bawah dimana adanya perbedaan panjang merupakan
suatu hal yang penting untuk dicermati. Pengukuran juga
berguna untuk mengetahui adanya atrofi/pembengkakan otot
dengan membandingkannya dengan anggota gerak yang sehat.
Penilaian deformitas yang menetap; pemeriksaan ini
dilakukan apabila sendi tidak dapat diletakkan pada posisi
anatomis yang normal.

c. Kekuatan Otot (Power)


Pemeriksaan kekuatan otot penting artinya untuk diagnosis,
tindakan, prognosis serta hasil terapi.
Penilaian dilakukan menurut Medical Research Council dimana
kekuatan otot dibagi dalam grade 0 - 5, yaitu :
Grade 0 : Tidak ditemukan adanya kontraksi pada otot.
Grade 1 : Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan
dari tonus otot yang dapat diketahui dengan palpasi dan tidak
dapat menggerakkan sendi.
Grade 2 : Otot hanya mampu menggerakkan persendian tetapi
kekuatannya tidak dapat melawan pengaruh gravitasi.
Grade 3 : Di samping dapat menggerakkan sendi, otot juga
dapat melawan pengaruh gravitasi tetapi tidak kuat terhadap
tahanan yang diberikan oleh pemeriksa.
Grade 4 : Kekuatan otot seperti pada grade 3 disertai dengan
kemampuan otot terhadap tahanan yang ringan.
Grade 5 : Kekuatan otot normal.

d. Pergerakan (Move)

18
Pada pergerakan sendi dikenal dua istilah yaitu pergerakan aktif
yang merupakan pergerakan sendi yang dilakukan oleh penderita
sendiri dan pergerakan pasif yaitu pergerakan sendi dengan
bantuan pemeriksa.
Pada pergerakan dapat diperoleh informasi mengenai(5) :
Evaluasi gerakan sendi secara aktif dan pasif
Apakah gerakan ini menimbulkan rasa sakit.
Apakah gerakan ini disertai dengan adanya krepitasi.
Pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan karena akan
menambah trauma.
Stabilitas sendi
Terutama ditentukan oleh integritas kedua permukaan sendi dan
keadaan ligamen yang mempertahankan sendi. Pemeriksaan
stabilitas sendi dapat dilakukan dengan memberikantekanan
pada ligamen dan gerakan sendi diamati.
Pemeriksaan ROM (Range of Movement)
Pemeriksaan batas gerakan sendi harus dicatat pada setiap
pemeriksaan ortopedi yang meliputi batas gerakan aktif dan
batas gerakan pasif.
Setiap sendi mempunyai nilai batas gerakan normal yang
merupakan patokan untuk gerakan abnormal dari sendi.
Dikenal beberapa macam gerakan pada sendi, yaitu : abduksi,
adduksi, ekstensi, fleksi, rotasi eksterna, rotasi interna, pronasi,
supinasi, fleksi lateral, dorso fleksi, plantar fleksi, inversi dan
eversi.
Gerakan sendi sebaiknya dibandingkan dengan mencatat
gerakan sendi normal dan abnormal secara aktif dan pasif.

Pada pasien Tn. NU ini didiagnosis dengan Neglected Dislokasi


Hip joint (D) dari anamnesis pada pasien ini dimana pasien datang
dengan keluhan kaki kanan tidak dapat diluruskan, hal ini sudah dialami
pasien 1 bulan lebih SMRS. pasien sebelumnya mengaku pada tanggal
6 juli saat itu pasien sedang berdiri di pinggir jalan lalu pasien di tabrak
dari arah kanan pasien, paha kanan pasien terbentur di mobil, pasien
terjatuh dan terseret dengan posisi kaki kanan pasien terlipat.
Pemeriksaan fisis, status lokalis Regio Hip Joint (D) : Look : deformitas

19
(+) Flexi (+), Adduksi (+), Internal Rotasi (+), Feel : nyeri tekan (+),
pulsasi a. dorsalis pedis Dextra (+), Movement : gerak Pasif terbatas Hip
joint (D). Pemeriksaan penunjang yaitu Foto Rontgen Pelvis Ap/Lat (D) :
ditemukan caput femoris (D) terlihat keluar dari acetabulum dan berada
di atas acetabulum.
Dari hasil ini maka Diagnosis dapat di tegakan karena
pemeriksaan Fisik yang di temukan pada Tn.NU sesuai dengan yang
terdapat pada teori karena Dislokasi posterior hip joint dapat disebabkan
oleh trauma. Dislokasi terjadi pada axis longitudinal femur saat femur
dalam keadaan fleksi 90 Dearajat dan sedikit adduksi. Pemeriksaan pada
penderita dislokasi posterior hip joint akan menunjukkan tanda yang
abnormal. Paha (pada bagian yang mengalami dislokasi) diposisikan
sedikit fleksi, internal rotasi dan adduksi. Ini merupakan posisi menyilang
karena kaput femur terkunci pada bagian posterior asetabulum.
Pada pasien Tn.NU saat dilakukan Operasi Reposisi Terbuka di
dapatkan patahan dari Acetabulum sehingga pasien ini di berikan
Diagnosis juga dengan Fraktur Acetabulum (D). Berdasarkan klasifikasi
posterior menurut Epstein dan Thompson pada Dislokasi Sendi Panggul

f. Tatalaksana
Dislokasi harus direduksi secepat mungkin di bawah anestesi
umum. Reduksi harus dilakukan dalam waktu 12 jam sejak terjadinya
dislokasi. Pada sebagian besar kasus dilakukan reduksi tertutup, namun
jika reduksi tertutup gagal sebanyak 2 kali maka harus dilakukan reduksi
terbuka untuk mencegah kerusakan caput femoris lebih lanjut. Sebelum
melakukan reduksi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan neurovaskular.

Indikasi reduksi tertutup:


Dislokasi dengan atau tanpa defisit neurologis jika tidak
ada fraktur.
Dislokasi yang disertai fraktur jika tidak terdapat defisit
neurologis.

20
Kontraindikasi reduksi tertutup:
Dislokasi panggul terbuka.
Berikut ini adalah beberapa teknik yang dapat digunakan
untuk mereduksi dislokasi panggul posterior sederhana (tipe I
Epstein).

Pada pasien Tn. NU ini penatalaksanaan yang dilakukan


sesuai dengan teori dimana pasien telah dilakukan Reposisi tertutup
namun tidak berhasil maka ini merupakan suatu indikasi Operasi
pada pasien Tn.NU ini karena gagal reposisi tertutup.

g. Komplikasi
Dini
Cedera nervus ischiadicus.

Syaraf ini kadang-kadang mengalami cedera, namun biasanya


membaik lagi. Jika setelah mereduksi dislokasi, lesi nervus
ischiadicus dan fraktur acetabulum yang tidak tereduksi
terdiagnosis, maka nervus harus dieksplorasi dan fragmennya
dikoreksi ke tempat asalnya (disekrupkan pada posisinya).
Penyembuhan sering membutuhkan waktu beberapa bulan, dan
sementara itu tungkai harus dihindarkan dari cedera dan
pergelangan kaki harus dibebat untuk menghindari kaki terkulai
(foot drop).

Cedera pembuluh darah.

Kadang-kadang arteri gluteus superior robek dan mungkin


terdapat banyak perdarahan. Jika keadaan ini dicurigai, maka
harus dilakukan arteriogram. Pembuluh darah yang robek
mungkin perlu diligasi.

Fraktur corpus femoris.

Bila ini terjadi bersamaan dengan dislokasi panggul, dislokasi


biasanya terlewatkan. Maka harus digunakan pedoman bahwa

21
pada setiap fraktur corpus femoris, bokong dan trochanter per
palpasi, dan panggul harus dilakukan pemeriksaan X-ray.
Sekalipun tindakan pencegahan ini tidak dilakukan, suatu
dislokasi harus dicurigai bila fragmen proximal pada fraktur
melintang pada batang terlihat beradduksi. Reduksi dislokasi ini
jauh lebih sulit, tetapi manipulasi tertutup yang perlahan harus
tetap dicoba. Jika cara ini gagal, maka reduksi terbuka harus
dicoba, dan pada saat yang sama, femur dapat difiksasi dengan
intramedullary nail.

Lambat
Nekrosis avaskular.

Persediaan darah pada caput femoris sangat terganggu sekurang-


kurangnya pada 10% dislocasi panggul traumatik. Jika reduksi
ditunda lebih dari beberapa jam, angkanya meningkat menjadi
40%. Necrosis avaskular terlihat pada pemeriksaan X-Ray
sebagai peningkatan kepadatan caput femoris, tetapi perubahan
ini tidak ditemukan sekurang-kurangnya selama 6 minggu, dan
kadang-kadang jauh lebih lama (sampai 2 tahun), tergantung
pada kecepatan perbaikan tulang. Jika caput femoris
menunjukkan tanda-tanda fragmentasi, mungkin diperlukan
operasi. Jika terdapat segmen nekrotik yang kecil, osteotomi
penjajaran tulang (realigment) merupakan metode terpilih.
Sebaliknya, pada pasien yang lebih muda, pilihannya adalah
antara penggantian caput femoris dengan prostesis bipolar atau
artrodesis panggul. Pada pasien berusia di atas 50 tahun,
penggantian panggul keseluruhan adalah pilihan yang lebih
baik.

Miositis osifikans.

Komplikasi ini jarang terjadi, mungkin berhubungan dengan


beratnya cedera. Karena sulit diramalkan, complicasi ini sulit

22
dicegah. Gerakan tidak boleh dipaksa dan pada cedera yang
berat, masa istirahat dan pembebanan mungkin perlu
diperpanjang.

Dislokasi yang tak tereduksi.

Setelah beberapa minggu, dislocksi yang tak diterapi jarang


dapat direduksi dengan manipulasi tertutup dan diperlukan
reduksi terbuka. Insidensi kekakuan atau neckosis avaskular
sangat meningkat dan di kemudian hari pasien dapat
memerlukan pembedahan rekonstruktif.

Osteoartritis.

Osteoartritis sekunder sering terjadi dan diakibatkan oleh:

(1) kerusakan cartilago pada saat dislokasi

(2) adanya fragmen yang bertahan dalam sendi, atau

(3) nekrosis iskemik pada caput femoris.

h. Indikasi operasi

gagal reposisi tertutup

kedudukan caput femur tidak stabil

terjadi fraktur koolum femoris

adanya lesi N. Ischiadiku

23
DAFTAR PUSTAKA

1. R. Chairuddin. PENGANTAR ILMU BEDAH ORTOPEDI. 2009. PT. Yarsif


Watampone. Jakarta.
2. Vaccaro. A.R. Orthopaedic Knowledge Update 8. 2003. American Academy of
Orthopaedic Surgeon. USA.
3. N.A. Teuku. SUDUT ANTEVERSI LEHER FEMUR PADA ORANG
INDONESIA. Fakultas Kedokteran. Universitas Hasanuddin.
4. M. Michael. Femoral Neck Fractures. 2006. Harvard Medical School.
5. Subagjo. S.A.W. Mochamad. Dkk. ANATOMI BAGIAN 1. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.

24
6. Byrne, P.D. Mulhall, J.K. Baker, F.J. The Hip Joint. BMS 712 Lower Limb.
IBMS KMU. 2010. Dublin. Ireland.

7. Sjamsuhidajat. R, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah ed 2. Penerbit buku

kedokteran EGC. Jakarta.2005

8. Schwartz. Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah ed 6. Penerbit buku

kedokteran EGC. Jakarta. 2000.

25

Anda mungkin juga menyukai