KONJUNGTIVITIS VERNAL
Pembimbing :
dr. Ayu S. Bulo Oetoyo, Sp.M, M.Sc
Penyusun:
Kara Citra Kalandra
030.11.153
Konjungtivitis Vernal
Disusun oleh :
Kara Citra Kalandra
030.11.153
Mengetahui
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya, sehingga referat yang berjudul Konjungtivitis Vernal dapat
diselesaikan. Penyusunan referat ini adalah salah satu persyaratan dalam
menempuh kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUD Budhi
Asih. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada:
1. Dr. Ayu S. Oetoyo, Sp.M, M.Sc selaku pembimbing dalam penyusunan
referat
2. Seluruh staff SMF Mata RSUD Bushi Asih.
3. Rekan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Mata RSUD Bushi Asih.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal
tersebut tidak lepas dari segala keterbatasan kemampuan yang peneliti miliki.
Oleh karena itu bimbingan dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangatlah diharapkan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Konjungtivitis merupakan peradangan selaput bening yang menutupi
bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut
menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, dimana mata merah adalah
gejala yang paling menyolok. Konjungtivitis biasanya disebabkan oleh faktor
eksogen tetapi dapat pula disebabkan oleh faktor endogen.
Konjungtiva merupakan bagian mata yang sering berhubungan dengan
dunia luar dan lebih beresiko terjadi peradangan. Sehingga tak heran bahwa
konjungtivitis adalah penyakit mata paling umum didunia. Prevalensi
konjungtivitis di Indoesia belum diketahui secara pasti. Namun berdasarkan Bank
Data Departemen Kesehatan Indonesia (2013) jumlah pasien rawat inap
konjungtivitis di seluruh rumah sakit pemerintah tercatat sebesar 12,6% dan
pasien rawat jalan konjungtivitis sebesar 28,3%. Sedangkan pada tahun 2014
diketahui dari 185.863 kunjungan ke poli mata. Konjungtivitis juga termasuk
dalam 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada tahun 2015
Prevalensi kejadian konjungtivitis di Amerika diperkirakan 6 juta orang
setiap tahunya dan 1% dari seluruh kunjungan ke dokter umum merupakan kasus
konjungtivitis. Konjungtivitis viral merupakan konjungtivitis infeksius yang
paling sering terjadi. Konjungtivitis bakterial merupakan penyebab tersering
kedua, dan bertanggung jawab atas 50-70% kasus anak. Sedangkan konjungtivitis
non infeksius paling sering disebabkan oleh konjungtivitis alergi yang menyerang
15-40% populasi dan paling sering terjadi di musim panas.
Konjungtivitis alergi merupakan bentuk radang konjungtiva akibat reaksi
alergi terhadap noninfeksi pada penderita yang biasanya memiliki riwayat atopi.
Reaksi dapat berupa reaksi cepat seperti pada reaksi alergi biasa, maupun reaksi
lambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri
dan toksik. Konjungtiva mengandung berbagai sel dari sistem kekebalan yang
melepaskan senyawa kimia dalam merespon terhadap berbagai alergen. Mediator
ini menyebabkan peradangan pada mata, yang mungkin berlangsung sebentar atau
bertahan lama. Konjungtivitis alergi biasanya mengenai kedua mata. Selain mata
merah gejala yang terjadi adalah timbulnya rasa gatal yang sangat hebat disertai
produksi air mata berlebihan.
Konjungtivitis vernalis adalah bentuk konjungtivitis alergi yang lebih
serius namun jarang terjadi, dimana penyebabnya pastinya tidak diketahui.
Konjungtivitis vernalis paling sering terjadi pada anak laki laki usia prepubertas
dengan riwayat atopi. Konjungtivitis vernalis biasanya kambuh setiap musim
semi dan hilang dan musim dingin. Banyak anak tidak mengalaminya lagi pada
umur dewasa muda. Penyakit ini paling sering ditemukan di daerah beriklim
kering dan panas, seperti di Afrika sub-Sahara dan Timur Tengah. Penyakit ini
lebih jarang terjadi di daerah beriklim sedang dan hampir tidak ada di daerah
dingin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata dan permukaan anterior sklera.
Konjungtiva palpebra dan forniks disuplai oleh cabang dari arcade arteri
periferal dan merginal kelopak mata. Konjungtiva bulbar disuplai oleh dua set
pembuluh darah: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arcade
arteri kelopak mata dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari
arteri siliaris anterior. Cabang terminal dari arteri konjungtiva posterior
beranastomose dengan arteri konjungtiva anterior untuk membentuk pleksus
perikornea. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus
limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari cabang oftalmik nervus V.
Saraf ini mengandung serabut nyeri yang relatif sedikit.
2.1.1 Histologi
Lapisan epitel konjungtiva terdiri atas 2 hingga 5 lapisan sel epitel silindris
bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di
atas caruncula, dan di dekat sambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri
dari sel-sel epitel skuamosa bertingkat. Sel epitel superfisial mengandung sel
goblet bulat atau oval yang terletak paling banyak di daerah inferonasal dan
forniks. Sel goblet tersebut dapat mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata
prakornea secara merata. Sel epitel basal bewarna lebih pekat dibandingkan sel
superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva terdiri dari jaringan ikat longgar yang kaya akan
pembuluh darah. Stroma konjungtiva dibagi menjadi lapisan adenoid
(superfisialis) dan lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung
jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam
folikel tanpa stratum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai
setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan tersusun longgar pada bola
mata. Kelenjar lakrimal aksesorius (Kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur
dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal terdapat di dalam stroma. Sebagian besar
kelenjar Krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar
Wolfring terdapat di tepi tarsus atas.
2.2.1 Histologi
Kornea terdiri dari 5 lapisan sel, yaitu:
1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5-6 lapis sel
epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel
gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh
lapisan kornea. Epitel memiliki daya regenerasi
2. Membran Bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari
epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti
stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak
mempunyai daya generasi.
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan
lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril
kolagen dengan lebar sekitar 10-250 m dan tinggi 1-2 m yang
mencakup hampir seluruh diameter kornea, Lamella ini berjalan sejajar
dengan permukaan kornea, dan karena ukuran serta kerapatanya menjadi
jernih secara optik.
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih
yang tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini
berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal + 40 mm.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal,
tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut.
Endotel dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor.
Gambar 5. Histologi kornea
2.3 Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian
putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Penyebab konjungtivitis antara lain
bakteri, klamidia, alergi, viral, toksis, dan berkaitan dengan penyakit sistemik
Gambar 7. Chemosis
4. Membran
Pseudomembran,merupakan lapisan eksudat yang menempel pada
epitel yang inflamasi, dapat dilepaskan dengan mudah
True Membran,merupakan apisan epitel superfisial konjungtiva,
dan jika dilepas akan menimbulkan robekan
5. Infiltrasi : Infiltrasi selular pada daerah dengan inflamasi kronik, biasanya
disertai dengan respon papilar. Pada pemeriksaan didapatkan pembuluh
darah tarsal tampak tidak terlalu jelas, terutama pada palpebra superior.
Gambar 8. Inflitrasi
2.3.3.1 Trakoma
Trakoma adalah suatu bentuk konjungtivitis folikular kronik yang
disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur namun lebih banyak ditemukan pada orang muda dan anak anak. Trakoma
umumnya bilateral. Penyakit ini menyebar langsung melalui kontak langsung atau
benda pencemar. Bentuk akut penyakit ini lebih infeksius dari bentuk sikatriksnya.
Vektor serangga, terutama lalat dapat berperan dalam transmisi. Penyebaran sering
dihubungkan dengan epidemi konjungtivitis bakterial dan musim kemarau di
negara tropis dan sub tropis.
Masa inkubasinya rata-rata tujuh hari tetapi bervariasi dari lima sampai
empat belas hari. Pada anak kecil, onsetnya tidak jelas dan penyakit dapat sembuh
dengan komplikasi minimal atau tidak ada komplikasi sama sekali. Pada dewasa,
onsetnya sering subakut atau akut, dan komplikasi dapat timbul kemudian. Pada
onset, trakoma sering menyerupai dengan konjungtivitis bakterial, tanda dan
gejala biasanya terdiri dari produksi air mata berlebih, fotofobia, nyeri, eksudasi,
edema pada kelopak mata, kemosis pada konjungtiva bulbar, hiperemia, hipertrofi
papiler, folikel tarsal dan limbal, keratitis superios, formasi pannus, dan tonjolan
kecil dan nyeri dari nodus preaurikular.
Pada trakoma yang sudah benar-benar matang, juga mungkin terdapat
keratitis epitelial superior, keratitis subepitelial, pannus, atau folikel limbal
superior, dan akhirnya terbentuk peninggalan sikatrikal yang patognomonik dari
folikel tersebut, yang dikenal dengan nama Herberts pits dengan bentuk depresi
kecil dari jaringan ikat pada partemuan limbokorneal ditutupi oleh epitel. Pannus
yang terkait adalah membran fibrovaskular naik dari limbus, dengan lengkung
vaskular memanjang ke kornea. Semua tanda dari trakoma lebih parah pada
konjungtiva dan kornea superior dibandingkan dengan bagian inferior.
Secara histopatologik pada pemeriksaan kerokan konjungtivs dengan
pewarnaan Giemsa didapatkan inklusi klamidia yang tampak sebagai massa
sitoplasma biru atau ungu gelap yang sangat halus, yang menutupi sel inti epitel.
Secara morfologis, agen trakoma mirip dengan agen konjungtivitis inklusi, tetapi
keduanya dapat dibedakan secara serologis dengan mikroimunofluoresen.
Trakoma disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotipe A,B,Ba atau C.
2.4.4 Patofisiologi
Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang
insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV.
Konjungtiva adalah bagian dari Mucosa-Associated Lymphoid Tissue (MALT).
Respon humoral konjungtiva berhubungan secara erat dengan IgA yang
diproduksi oleh kelenjar lakrimal, dan imunitas selular didominai oleh CD4+ dan
sel T. Terdapat peningkatan jumlah limfosit CD4 + Th2 dalam dalam konjungtiva
pasien dengan keratokonjungtivitis vernal. sel-sel ini mendorong terjadinya
hipersensitivitas yang di mediasi oleh IgE. Th2 menghasilkan sitokin dan
interleukin yang mempromosi terjadinya sintesis IgE. Keadaan ini menyebabkan
degranulasi sel mast, pelepasan histamin, dan sel inflamasi lain saat terpapar oleh
alergen Peradangan interstitial kronis yang terjadi ini akan menyebabkan
remodeling jaringan serta manifestasi klinis dari keratokonjungtivitis.
Tahap awal konjungtivitis vernal ditandai oleh fase prehipertrofi, dimana
dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus pada tarsus superior . Deposisi
kolagen dan substansi dasar maupun seluler mengakibatkan terbentuknya
Macropapillae (<1mm) dengan permukaan rata, berbentuk poligonal yang terlihat
menyerupai cobblestone pada pemeriksaan klinis. Hiperplasia jaringan ikat
meluas ke atas membentuk Giant Papillae (>1mm) dengan dasar perlekatan yang
luas. Kolagen maupun pembuluh darah akan mengalami hialinisasi. Epiteliumnya
berproliferasi menjadi 510 lapis sel epitel yang edematous dan tidak beraturan.
Di sekitar papil juga terdapat mukus tebal berserabut berisi eosinofil dan granula
Charcot-Leyden Seiring dengan bertambah besarnya papil, lapisan epitel akan
mengalami atrofi di apeks sampai hanya tinggal satu lapis sel yang kemudian akan
mengalami keratinisasi. Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan
akibat vasodilatasi dan hipertropi yang menghasilkan lesi fokal.
Kornea pada keadaan normal tidak dapat terkena reaksi alergi akut, karena
kornea tidak memiliki sel mast maupun pembuluh darah. Namun, daerah perifer
kornea ikut terpengaruh pada reaksi imun melalui elemen respon humoral dan
selular yang berada pada pembuluh di limbus. Sehingga eosinofil, protein granular
eosinofil, neurotoksin, dan kolagenase, khususnya matrix metallopeptidase
(MMP)-9, dapat merusak epitel kornea yang menyebabkan keterlibatan kornea di
keratokonjungtivitis vernal.
2.4.6 Penatalaksanaan
1. Terapi Non-medikamentosa
2. Terapi Medikamentosa
a. Lokal
b. Sistemik
3. Terapi Bedah
BAB III
KESIMPULAN