Anda di halaman 1dari 60

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahanlahan


kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan
proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan
umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan
bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan
dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik
dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat
mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan
suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi
di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu
terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup
sempit, proses tersebut tidak tertandingi.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya
daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar
tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai
penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah
mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan
terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain
sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem
pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai
2

bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman


panca indera, menurunnya daya tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi
merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka
masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta
perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada
organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel
serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami
yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun
sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada
lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan
(impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations),
ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan
dialami bersamaan dengan proses kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang
pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses
penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera,
menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine maupun
tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka
masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta
perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin
berkisar antara 1530% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri
yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan
bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang
dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa,
malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter,
dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan
3

penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan,


sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak
yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian
basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan
dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang
tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan
keluarnya urin (Hariyati, 2000).
Pengeluaran urin yang tidak biasa, merupaka patogenesis dari penyakit
diabetes militus. Diabetes mellitus (DM) berasal dari kata Yunani diabanein,
yang berarti tembus atau pancuran air, dan dari kata Latin mellitus yang
berarti rasa manis.Di Indonesia (dan Negara berbahasa Melayu) lebih
dikenal sebagai kencing manis. Diabetes Mellitus adalah penyakit yang
ditandai dengan peningkatan kadar gula darah (hiperglisemia) yang terus-
menerus dan bervariasi, terutama
Sumber lain menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan diabetes mellitus
adalahkeadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolic
akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik
pada mata, ginjal, dan pembuluh darah, disertailesi pada membrane basalis
dalam pemeriksaan dengan mikroskopelektron.
Semua jenis diabetes mellitus memiliki gejala yang mirip dan komplikasi
pada tingka lanjut. Hiperglisemia sendiri dapat menyebabkan dehidrasi dan
ketoasidosis. Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular
(risikoganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan
retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat
menyebabkan impotensi dan ganggguan dengan risiko amputasi. Komplikasi
yang lebih serius lebih umum bila control kadar gula darah buruk. Penderita
diabetes memiliki kadar gula darah yang tinggi. Ini disebabkan karena
pancreas tidak dapat memproduksi insulin atau pun otot, lemak dans el-sel hati
tidak merespon normal.
Secara umum, asupan gula dalam darah disimpan dalam hati.Di sini diolah
4

menjadi glikogen. Jika tubuh memerlukan, hati akan mengeluarkan dan


mengolah kembali menjadi glukosa. Bagi orang normal, sebanyak apapun
konsumsi gula tidak mengganggu organ tubuh. Namun, tidak demikian bagi
diabetesi. Jika buang air kecil, airnya agak kental dan terasa manis. Ini
dikarenakan banyaknya gula yang berada dalam darah.Gula tersebut
dibersihkan dan dikumpulkan dalam kandung kemih oleh ginjal.

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara usia lanjut (lansia) dengan

penyakit diabetes militus, dan adakah prevalensi perbedaan jenis kelamin antara

lansia pria dan lansia wanita ?

I.3. Tujuan Penelitian

I.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui apakah ada hubungan antara usia lanjut (lansia) dengan

penyakit diabetes militus, dan adakah prevalensi perbedaan jenis kelamin

antara lansia pria dan lansia wanita.

I.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

I.3.2.1. Menganalisa apakah ada hubungan antara usia lanjut (lansia)

dengan penyakit diabetes militus.

I.3.2.2. Menganalisa adakah prevalensi perbedaan jenis kelamin antara

lansia pria dan lansia wanita

I.4. Manfaat Penelitian


5

Berdasarkan tujuan penelitian maka disusun manfaat penelitian sebagai

berikut:

I.4.1. Bagi Pasien atau Keluarga

Manfaat bagi pasien/keluarga : informasi ini dapat menjadi ilmu

pengetahuan serta pengalaman untuk lebih memberikan perhatian terhadap

penyakit diabetes militus.

I.4.2. Bagi Rumah Sakit

Untuk mendapatan informasi akan pengetahuan pasien lansia tentang

diabetes militus sehingga pihak Rumah Sakit dapat melakukan suatu program

peningkatan pengetahuan para lansia tentang hal tersebut sehingga nantinya

akan berguna dan dapat di aplikasikan di lingkungan tempat tinggal.

I.4.3. Bagi Peneliti

Merupakan pengalaman berharga untuk mengaplikasikan ilmu yang

diperoleh selama pendidikan, serta menambah pengetahuan dan wawasan

dalam meneliti.

I.4.4. Bagi Program Studi Ilmu Kedokteran

Untuk memberikan informasi tentang pengetahuan mahasiswa /

mahasiswi tentang penyakit diabetes militus pada lansia sehingga dapat

mempersiapkan mahasiswa kedokteran untuk melakukan promosi-promosi

kesehatan ataupun memberikan seminar tentang diabetes militus dan

bahayanya pada lansia di tempat-tempat lainnya.

I.4.5. Bagi Penelitian Selanjutnya


6

Merupakan salah satu sumber ketika membuat proposal penelitian yang

mana proposal tersebut mempunyai kemiripan judul proposal, dan untuk bahan

perbandingan buat peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan diabetes militus.

BAB II
7

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Inkontinensia urin

A. Pengertian

Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang


bersifat sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter
uretra eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau
sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006),
inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal
sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum
penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar
prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif.
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan
karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang
tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit
rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006
1. inkontinensia Keadaan dimana seseorang mengalami
dorongan pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera
setelah merasa dorongan yang kuat setelah
berkemih.
Inkontinensia dorongan ditandai dengan
seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam
sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat,
2006). Pasien Inkontinensia dorongan mengeluh
tidak dapat menahan kencing segera setelah
timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini
disebabkan otot detrusor sudah mulai
mengadakan kontraksi pada saat kapasitas
8

kandung kemih belum terpenuhi.


2. inkontinensia total Keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak
dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab
inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks
detrusor karena pembedahan, trauma atau
penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati.
3. inkontinensia stress tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya
dorongan berkemih, dan sering miksi.
Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya
urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di
abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan
abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin,
mengangkat benda yang berat, tertawa (Panker,
2007).
4. inkontinensia reflex Keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan
oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla
spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan
tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa
bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau
spasme kandung kemih tidak dihambat pada
interval teratur
5. inkontinensia keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran
fungsional urin secara tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai
dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih,
9

merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi


kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan
urin

B. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi
dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat
kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan
gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin
meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen
topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan
misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat,
atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi
karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan
metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain
adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi
asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet
secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah
10

masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non
farmakologik atau farmakologik yang tepat.
Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit
yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau
penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal
pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika,
antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic
adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika
seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil
dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat
kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan,
kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi
vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses
persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan
otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya
kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas),
akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra),
sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain
adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga
berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan
struktur kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).

C. Faktor Predisposisi atau Faktor Pencetus


1. Usia

Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi
juga berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih
11

belum mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil
karena sistem neuromuskulernya belum berkembang dengan baik.
Manusia usia lanjut juga akan mengalami perubahan dalam eliminasi
tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus otot, sehingga peristaltik
menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan
eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko mengalami
konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol otot
sfingter sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).
2. Diet

Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya,


misalnya jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat
menghambat miksi karena kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat,
dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam
jengkolat yang akan menyumbat saluran kemih sehingga pengeluaran
utine menjadi terganggu. Selain itu, urine juga dapat menjadi bau jengkol.
Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan tonus otot, sehingga
mengurangi kemampuan seseorang untuk mengeluarkan feses maupun
urine. Selain itu malnutrisi menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh
terhadap infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ
perkemihan(Asmadi, 2008).
3. Cairan

Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke


ginjal untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi
berkurang dan lebih pekat(Asmadi, 2008).
4. Latihan fisik

Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot.


Tonus otot yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma
sangat penting bagi miksi (Asmadi, 2008).
5. Stres psikologi
12

Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan


mengalami diare ataupun beser (Asmadi, 2008).
6. Temperatur

Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan


tubuh karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut
menyebabkan tubuh akan kekurangan cairan sehingga dampaknya
berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain
itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan yaitu terjadi anoreksia,
kelemahan otot, dan penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).
7. Nyeri

Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang
seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi
urine (Asmadi, 2008).
8. Sosiokultural

Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di


masyarakat Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka
sesuatu yang pribadi , sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet
yang digunakan secara bersama-sama (Potter & Perry,2006).
9. Status volume

Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam


keseimbangan, peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan
peningkatan produksi urine. Cairan yang diminum akan meningkatakan
volume filtrat glomerulus dan eksresi urina (Potter & Perry,2006).

10. Penyakit

Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan
hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung
kemih, dan individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi.
Misalnya diabetes melitus dan sklerosis multiple menyebabkan kondusi
13

neuropatik yang mengubah fungsikandung kemih. Artritis reumatoid,


penyakit sendi degeneratif dan parkinson, penyakit ginjal kronis atau
penyakit ginjal tahap akhir (Potter & Perry,2006).
11. Prosedur bedah

Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum


menjali pembedahan yang diakibatkan oleh proses penyakit atau puasa
praoperasi, yang memperburuk berkurangnya keluaran urine. Respons
stres juga meningkatkan kadar aldosteron menyebabkan berkurangnya
keluaran urine dalam upaya mempertahankan volume sirkulasi cairan
(Potter & Perry,2006).
12. Obat-obatan

Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik


(atropin), antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat
penyekat beta adrenergik (inderal) (Potter & Perry,2006).

D. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang
berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi
mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih
melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung
kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang
mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis
yang menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis
kandung kemih berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan,
akan merangsan timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal
ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering mengalami
14

inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi


antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan
kontraksi kandung kemih akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

E. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut
Uliyah (2008) yaitu:
a. Ketidaknyamanan daerah pubis
b. Distensi vesika urinaria
c. Ketidak sanggupan untuk berkemih
d. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
e. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
f. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
g. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

F. Pemeriksaan penunjang
1. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam
urine.
2. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi
pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.
3. Cysometry
digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas
intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih.
4. Urografi ekskretorik
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur
15

dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.


5. Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan
jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.
Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah
mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin,
modifikasi lingkungan,medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal
tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang
keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain
itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan
lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
- Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih)dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7
x/hari.
- Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya.
- Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula
setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam.
- Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengankebiasaan lansia.
- Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi
berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila
ingin berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir).
c Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
- antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
16

- Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine


untuk meningkatkan retensi urethra.
- Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfa
kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi
diberikan secara singkat.

d Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin.
Terapi inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvic(pada wanita).
e Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia
yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat
bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan

G. Pathway

Kecemasan - kelainan neurologi


-disfungsi neurologi
-Kontraksi kandung (medulla spinalis)
kemih - penyumbatan saluran urin
terhambat (obat2an, tumor)
Diluar keinginan

Inkontinensia akibat stres


Urge Incontinence Overflow Incontinence

Inkontinensia
fungsional gangguan kognitif berat
17

Terjadi
pengisian Defisit pengetahuan
kandung kemih

Tekanan didalam
kandung kemih
meningkat
Volume Daya
Tampung
Otot Ditrusor
membesar
Relaksasi

Distimulus lewat
serabut reflex
eferen

Sfingter Sfingter Gangguan


interna eksterna eliminasi urine
menutup relaksasi

Urine masuk Isi kandung kelemah


keuretra kemih keluar an
posterior

Terjadi Gangguan
katerisas
Inkontinensia Integritas Kulit
urin

Resiko infeksi Gangguan bodi


image

H. Askep
a. Pengkajian
1. Identitas klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi
18

pada lansia (usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan,


tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko
mengalaminya.
2. Riwayat kesehatan
- Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang
dirasakan saat ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah
ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan,
tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan
dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi.
Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum
terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
- Riwayat kesehatan masa lalu
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit
serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien,
apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan
ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
- Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita
penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit
bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan fisik
a Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan
karena respon dari terjadinya inkontinensia
b Pemeriksaan Sistem
- B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi.
- B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisah
19

- B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
- B4 (bladder)
Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila
ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada
meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis,
seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga
di luar waktu kencing.
- B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri
tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
- B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
4. Data penunjang
a Urinalisis
b Hematuria.
c Poliuria
d Bakteriuria.
5. Pemeriksaan Radiografi
a IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan
ureter.
b VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk,
dan fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi
prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
6. Kultur Urine
a Steril.
b Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
c Organisme.
20

I. Diagnosa
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai
berikut:
1. Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan
struktur dasar penyokongnya.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam
waktu yang lama.
3. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine
4. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan
akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
5. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik
berhubungan dengan deficit pengetahuan tentang penyebab inkontinen,
penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan
gejala komplikasi, serta sumbe komonitas.

II. 2. Defnisi dan Etiolgi Diabetes Mellitus


2.1.1 Definisi
Diabetes mellitus, DM (bahasaYunani: , diabanein, tembus
atau pancuran air) (bahasa Latin: mellitus, rasa manis) yang juga dikenal di
Indonesia dengan istilah penyakit kencing manis adalah kelainan metabolik
yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma berupa hiperglikemia
kronis dan gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan protein, sebagai
akibat dari defisiensi sekresi hormon insulin, aktivitas insulin, atau diakibatkan
oleh defisiensi transporter glukosa. Diabetes Mellitus juga dapat diartikan
sebagai suatu penyakit karena tubuh tidak mampu mengendalikan jumlahgula,
atau glukosa, dalam aliran darah.Ini menyebabkan hiperglikemia, suatu kadar
gula darah yang tingginya sudah membahayakan. Diabetes mellitus merupakan
penyakit kronik yang disebabkan oleh:
21

a. ketidakmampuan organ pancreas untuk memproduksi hormon


insulin dalam jumlah yang cukup,
b. tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang telah dihasilkan oleh
pancreas secara efektif, atau
c. gabungan dari kedua hal tersebut

2.1.2 Etiologi Diabetes Mellitus


Penyebab utama diabetes di era globalisasi adalah adanya perubahan
gaya hidup (pola makan yang tidak seimbang, kurang aktivitas fisik).
Selain itu, adanya stress, kelainan genetika, usia yang semakin lama
semakin tua dapat pula menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya
penyakit diabetes. Diabetes mellitus dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Diabetes mellitus tipe 1, yakni diabetes mellitus yang disebabkan oleh
kurangnya produksi insulin oleh pankreas.
2. Diabetes melitustipe 2, yang disebabkan oleh resistensi insulin,
sehingga penggunaan insulin oleh tubuh menjadi tidak efektif.
3. Diabetes gestasional, adalah hiperglikemia yang pertama kali

ditemukan saat kehamilan.


Penyebab diabetes adalah kurangnya produksi insulin (DM tipe I) atau
kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (DM tipe II). Namun
jika dirunut lebih lanjut, ada beberapa faktor yang menyebabkan DM
sebagai berikut :
a. Genetik atau factor keturunan
DM sering diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Anggota
keluarga penderita DM memiliki kemungkinan lebih besar terserang
penyakit ini dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak
menderita DM. Para ahli kesehatan juga menyebutkan DM merupakan
penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin. Biasanya kaum
laki-laki menjadi ,sedangkan kaum perempuan sebagai pihak yang
membawa gen untuk diwariskan kepada anak-anaknya.
b. Sindromovariumpolikistik (PCOS)
Menyebabkan peningkatan produksi androgen di ovarium dan
resistensi insulin serta merupakan salah satu kelainan endokrin
22

tersering padawanita, dan kira-kira mengenai 6 persen dari semua


wanita, selama masa reproduksinya.
c. Virus dan bakteri
Virus penyebab DM adalah rubella, mumps, dan human coxsackievirus
B4. Melalui mekanisme infeksisitolitik dalamsel beta.Virus ini
mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Bisaj uga, virus ini
menyerang melalui reaksi autoimunitas yang menyebabkan hilangnya
otoimun dalam sel beta. Sedangkan bakteri masih belum bias
dideteksi, tapi menurut ahli mengatakan bahwa bakteri juga berperan
penting menjadi penyebab timbulnya DM.3

2.2. Penyebab Diabetes Mellitus


Faktor Penyebab Diabetes Mellitus, atau lebih dikenal dengan istilah
penyakit kencing manis mempunyai beberapa faktor pemicu penyakit
tersebut, antara lain:

a. Pola makan

Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang


dibutuhkan oleh tubuh dapat memacu timbulnya diabetes mellitus.
konsumsi makan yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan
sekresi insulin dalam jumlah yang memadai dapat menyebabkan
kadar gula dalam darah meningkat .
b. Obesitas (kegemukan)

Orang gemuk dengan berat badan lebih dari 90 kg cenderung


memiliki peluang lebih besar untuk terkena penyakit diabetes
militus.
c. Faktor genetis

Diabetes mellitus dapat diwariskan dari orang tua kepada anak.


Gen penyebab diabetes mellitus akan dibawa oleh anak jika orang
tuanya menderita diabetes mellitus. Pewarisan gen ini dapat sampai
23

ke cucunya bahkan cicit walaupun resikonya sangat kecil.

d. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan

Bahan-bahan kimia dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan


radang pankreas, radang pada pankreas akan mengakibatkan fungsi
pankreas menurun sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon
untuk proses metabolisme tubuh termasuk insulin. Segala jenis
residu obat yang terakumulasi dalam waktu yang lama dapat
mengiritasi pankreas.
e. Penyakit dan infeksi pada pancreas

Infeksi mikroorganisme dan virus pada pankreas juga dapat


menyebabkan radang pankreas yang otomatis akan menyebabkan
fungsi pankreas turun sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon
untuk proses metabolisme tubuh termasuk insulin.
f. Pola hidup

Pola hidup juga sangat mempengaruhi faktor penyebab diabetes


mellitus. Jika orang malas berolah raga memiliki resiko lebih tinggi
untuk terkena penyakit diabetes mellitus karena olah raga berfungsi
untuk membakar kalori yang berlebihan di dalam tubuh. Kalori
yang tertimbun di dalam tubuh merupakan faktor utama penyebab
diabetes mellitus selain disfungsi pankreas.
Penyebab penyakit kencing manis atau diabetes tergantung
pada jenis diabetes yang di derita. Ada 2 jenis diabetes yang umum
terjadi dan diderita banyak orang yaitu diabetes tipe 1 dan diabetes
tipe 2. Perbedaannya adalah jika diabetes tipe 1 karena masalah
fungsi organ pankreas tidak dapat menghasilkan insulin, sedangkan
diabetes tipe 2 karena masalah jumlah insulin yang kurang bukan
karena pankreas tidak bisa berfungsi baik.
24

2.2.1 Diabetes Tipe 1

Penyakit diabetes tipe 1 sering disebut Insulin Dependent Diabetes


Mellitus atau Diabetes Mellitus yang Bergantung pada Insulin. Jadi
diabetes tipe 1 berkaitan dengan ketidaksanggupan pankreas untuk
membuat insulin. Jadi diabetes tipe ini berkaitan dengan kerusakan atau
gangguan fungsi pankreas menghasilkan insulin. Penderita penyakit
diabetes tipe 1 sebagian besar terjadi pada orang di bawah umur 30
tahun. Itu sebabnya penyakit ini sering dijuluki diabetes anak-anak
karena penderitanya lebih banyak terjadi pada anak-anak dan remaja.
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan cukup insulin
akibat kelainan sistem imun tubuh yang menghancurkan sel yang
menghasilkan insulin atau karena infeksi virus sehingga hormon insulin
dalam tubuh berkurang dan mengakibatkan timbunan gula pada aliran
darah. Penyebab Diabetes Tipe 1, Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak
dapat menghasilkan cukup insulin. Karena kekurangan insulin
menyebabkan glukosa tetap ada di dalam aliran darah dan tidak dapat
digunakan sebagai energi. Beberapa penyebab pankreas tidak dapat
menghasilkan cukup insulin pada penderita diabetes tipe 1, antara lain
karena:

a. Faktor keturunan atau genetika. Jika salah satu atau kedua orang tua
menderita diabetes, maka anak akan berisiko terkena diabetes.
b. Autoimunitas yaitu tubuh alergi terhadap salah satu jaringan atau
jenis selnya sendiri dalam hal ini, yang ada dalam pankreas. Tubuh
kehilangan kemampuan untuk membentuk insulin karena sistem
kekebalan tubuh menghancurkan sel-sel yang memproduksi insulin.
25

c. Virus atau zat kimia yang menyebabkan kerusakan pada pulau sel
(kelompok-kelompok sel) dalam pankreas tempat insulin dibuat.
Semakin banyak pulau sel yang rusak, semakin besar kemungkinan
seseorang menderita diabetes.

2.2.2 Diabetes Tipe 2

Penyakit diabetes tipe 2 sering juga disebut Non-Insulin


Dependent Diabetes Mellitus atau Diabetes Mellitus Tanpa Bergantung
pada Insulin. Berbeda dengan diabetest tipe 1, pada tipe 2 masalahnya
bukan karena pankreas tidak membuat insulin tetapi karena insulin
yang dibuat tidak cukup. Kebanyakan dari insulin yang diproduksi
dihisap oleh sel-sel lemak akibat gaya hidup dan pola makan yang
tidak baik. Sedangkan pankreas tidak dapat membuat cukup insulin
untuk mengatasi kekurangan insulin sehingga kadar gula dalam darah
akan naik.Diabetes tipe 2 merupakan jenis diabetes yang sebagian besar
diderita. Sekitar 90% hingga 95% penderita diabetes menderita diabetes
tipe 2. Jenis diabetes ini paling sering diderita oleh orang dewasa yang
berusia lebih dari 30 tahun dan cenderung semakin parah secara
bertahap.Penyebab Diabetes Tipe 2,Penyebab diabetes tipe 2 karena
insulin yang dihasilkan oleh pankreas tidak mencukupi untuk mengikat
gula yang ada dalam darah akibat pola makan atau gaya hidup yang
tidak sehat. Beberapa penyebab utama diabetes tipe 2 dapat
diringkaskan sebagai berikut:

1. Faktor keturunan, apabila orang tua atau adanya saudara sekandung


yang mengalaminya.
2. Pola makan atau gaya hidup yang tidak sehat. Banyaknya gerai
makanan cepat saji (fast food) yang menyajikan makanan berlemak
dan tidak sehat.

3. Kadar kolesterol yang tinggi.


26

4. Jarang berolahraga.

5. Obesitas atau kelebihan berat badan. Semua penyebab diabetes


tipe 2 umumnya karena gaya hidup yang tidak sehat. Hal ini
membuat metabolisme dalam tubuh yang tidak sempurna sehingga
membuat insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik.
Hormon insulin dapat diserap oleh lemak yang ada dalam tubuh.
Sehingga pola makan dan haya hidup yang tidak sehat bisa
membuat tubuh kekurangan insulin.

2.3. Gejala Klinis atau Tanda-Tandanya


Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa
gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal
yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air
kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain
itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh
terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali
sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.

a. Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,


polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue),
iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).
b. Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM
Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai
beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan
komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah
terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk,
dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga
komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.
27

Pada awalnya, pasien sering kali tidak menyadari bahwa dirinya mengidap
diabetes melitus, bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Namun, harus
dicurigai adanya DM jika seseorang mengalami keluhan klasik DM berupa:
- poliuria (banyak berkemih)
- polidipsia (rasa haus sehingga jadi banyak minum)
- polifagia (banyak makan karena perasaan lapar terus-menerus)
- penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
Jika keluhan di atas dialami oleh seseorang, untuk memperkuat diagnosis
dapat diperiksa keluhan tambahan DM berupa:
- lemas, mudah lelah, kesemutan, gatal
- penglihatan kabur
- penyembuhan luka yang buruk
- disfungsi ereksi pada pasien pria
- gatal pada kelamin pasien wanita
Diagnosis DM tidak boleh didasarkan atas ditemukannya glukosa pada urin
saja. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kadar glukosa darah dari
pembuluh darah vena. Sedangkan untuk melihat dan mengontrol hasil terapi dapat
dilakukan dengan memeriksa kadar glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Seseorang didiagnosis menderita DM jika ia mengalami satu atau lebih kriteria di
bawah ini:
- Mengalami gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma sewaktu 200
mg/dL
- Mengalami gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma puasa 126
mg/dL
- Kadar gula plasma 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) 200
mg/dL
- Pemeriksaan HbA1C 6.5%
Keterangan:
- Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir pasien.
- Puasa artinya pasien tidak mendapat kalori tambahan minimal selama 8
jam.
- TTGO adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan memberikan larutan
glukosa khusus untuk diminum. Sebelum meminum larutan tersebut akan
dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah, lalu akan diperiksa kembali 1
28

jam dan 2 jam setelah meminum larutan tersebut. Pemeriksaan ini sudah
jarang dipraktekkan.
Jika kadar glukosa darah seseorang lebih tinggi dari nilai normal tetapi tidak
masuk ke dalam kriteria DM, maka dia termasuk dalam kategori prediabetes.
Yang termasuk ke dalamnya adalah
- Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT), yang ditegakkan bila hasil
pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL
dan kadar glukosa plasma 2 jam setelah meminum larutan glukosa TTGO
< 140 mg/dL
- Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yang ditegakkan bila kadar glukosa
plasma 2 jam setelah meminum larutan glukosa TTGO antara 140 199
mg/dL

2.4. Diagnosa Diabetes Mellitus


Diagnosis diabetes mellitus antara lain keluhan dan gejala yang khas
ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah
puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk
diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2
jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2
kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan
pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti
ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat, dll. Ada perbedaan antara uji
diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik dilakukan pada mereka
yang menunjukan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tapi punya resiko DM (usia >45
tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus
berulang, melahirkan bayi >4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida
>= 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah,


tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam
29

menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan
cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan
glukosa darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan
glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya .
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai bahan darah kapiler. Saat ini
banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang
umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik
dan cara pemeriksaan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara
berkala , hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan
cara konvensional.

2.4.1 Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk


umumnya (mass-screening = pemeriksaan penyaring) tidak dianjurkan karena
disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif
belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan
penyaring bersama penyakit lain (general check up) , adanya pemeriksaan
penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat
dianjurkan. Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan
salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu :

a. kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )


b. kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)}
c. tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
d. riwayat keluarga DM
e. riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
f. riwayat DM pada kehamilan
g. dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl
h. pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa
Darah Puasa Terganggu)
30

Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM (mg/dl)

*metode enzimatik

Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia


PERKENI tahun 2011.
2.4.2 Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan


khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang
mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan
impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita.
Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis
DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan
glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal , belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih
lanjut dengan menddapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar
glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl
pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO)
yang abnormal. Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1985) antara lain :
31

a. diperiksa kadar glukosa 3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti


biasa kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa
dilakukan
b. puasa semalam, selama 10-12 jam, kadar glukosa darah puasa
diperiksa diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgBB,
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum selama/dalam darah
2 (dua) jam sesudah beban glukosa; selama pemeriksaan
subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Kriteria diagnostik Diabetes Melitus, yaitu :


a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl , atau
b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl (Puasa
berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir ) atau
Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO**.

Keterangan :

* Kriteria diagnostik tsb harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain,
kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi
metabolik akut, seperti ketoasidosis atau berat badan yang menurun
cepat.

**Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik.

2.5. Faktor Resiko


Faktor risiko Diabetes Melitus, antara lain :

1. Faktor Usia

Usia bisa menjadi factor risiko karena sering bertambahnya umur terjadi
penurunan fungsi-fungsi organ tubuh, termasuk reseptor yang membantu
pengangkutan glukosa ke jaringan. Reseptor ini semakin lama akan
semakin tidak peka terhadap adanya glukosa dalam darah. Sehingga, yang
terjadi adalah peningkatan kadar glukokosa dalam darah.
32

2. Jenis Kelamin

Pada usia kurang dari 40 tahun, pria dan wanita memiliki risiko yang sama
mengalami diabetes. Sedangkan pada usia lebih dari 40 tahun, wanita
lebih berisiko mengalami diabetes. Pada wanita yang telah mengalami
menopause, gula darah lebih tidak terkontrol karena terjadi penurunan
produksi hormone esterogen dan progesteron. Hormon esterogen dan
progesterone ini mempengaruhi bagaimana sel-sel tubuh merespon insulin.
3. Pola Makan

Kebiasaan makan yang sekaligus banyak, meningkatkan risiko diabetes.


Makan yang sekaligus banyak memacu insulin dan reseptor untuk bekerja
lebih keras, sehingga reseptor lebih cepat mengalami kerusakan.
4. Keturunan

Kepekaan reseptor terhadap glukosa ternyata diturunkan ke generasi


berikutnya. Sehingga, orang tua mengalami diabetes, kemungkinan
anaknya juga mengalami diabetes.
5. Aktivitas Fisik

Orang-orang yang suka hidup dengan santai tanpa melakukan apapun


ternyata memiliki risiko yang lebih besar mengalami diabetes. Orang-
orang yang sering berrsantai adalah orang-orang yang membiasakan otot-
otot luriknya tidak bekerja, sehingga otot lurik tidak aktif. Bila otot lurik
tidak aktif, maka reseptor yang menerima glukosa juga tidak aktif.
Akibatnya, glukosa akan tinggi kadarnya dalam darah.
6. Kehamilan Besar atau Kembar

Kehamilan yang besar atau kembar ternyata dapat meningkatkan produksi


hormon pertumbuhan lebih banyak. Hormon pertumbuhan ini melawan
kerja insulin. Karena kerja insulin dihambat, akibatnya kadar glukosa
dalam darah tinggi.
7. Obesitas atau Kegemukan
33

Orang yang mengalami obesitas tentu memiliki simpanan lemak yang


lebih banyak dibandingkan orang yang memiliki berat badan ideal.
Banyaknya lemak dalam tubuh, meningkatkan jaringan adipose. Padahal
reseptor-reseptor glukosa terdapat pada jaringan non-adiposa. Akibatnya,
jumlah reseptor glukosa juga semakin sedikit. Sehingga, yang terjadi
adalah peningkatan kadar glukosa darah.
8. Merokok

Merokok merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di


Indonesia karena merokok dapat menimbulkan kematian. Bila pada tahun
2000 hampir 4 juta orang meninggal akibat merokok, maka pada tahun
2010 akan meningkat menjadi 7 dari 10 orang yang akan meninggal
karena merokok. Di Indonesia, 70% penduduknya adalah perokok aktif.
Dilihat dari sisi rumah tangga, 57 persennya memiliki anggota yang
merokok yang hampir semuanya merokok di dalam rumah ketika bersama
anggota keluarga lainnya. Artinya, hampir semua orang di Indonesia ini
merupakan perokok pasif.
9. Stres

Stres memang faktor yang dapat membuat seseorang menjadi rentan dan
lemah, bukan hanya secara mental tetapi juga fisik. Penelitian terbaru
membuktikan komponen kecemasan, depresi dan gangguan tidur malam
hari adalah faktor pemicu terjadinya penyakit diabetes khususnya di
kalangan pria.

10. Hipertensi

Penderita penyakit darah tinggi memiliki resiko diabetes yang lebih tinggi.
Di Amerika telah meneliti hubungan antara tekanan darah dengan diabetes
tipe 2 dan menemukan bahwa wanita yang memiliki tekanan darah tinggi
berisiko 3 kali terkena diabetes dibandingkan dengan wanita yang
memiliki tekanan darah rendah.
34

11. Kelompok Etnik atau Ras

Kelompok etnik atau ras khususnya di Afrika Amerika, penduduk asli


Amerika, Asia, Kepulauan Pasifik, dan Amerika Hispanik.
2.6. Mekanisme Diabetes Mellitus
Mekanisme timbulnya penyakit kencing manis atau diabetes mellitus
adalah sebagai berikut; Pada kondisi normal, glukosa dalam tubuh yang berasal
dari makanan, diserap ke dalam alirandarah dan bergerak ke sel-sel di dalam
tubuh. Glukosa tersebut kemudian dimanfaatkan sebagaisumber energi.
Pengubahan glukosa dalam darah menjadi energi dilakukan oleh hormon
insulinyang dihasilkan oleh kelenjar pankreas. Hormon insulin juga berfungsi
untuk mengatur kadar glukosa dalam darah. Secara normal, glukosa akan masuk
ke sel-sel dan kelebihannyadibersihkan dari darah dalam waktu 2 jam . Namun
apabila insulin yang tersedia jumlahnya terbatas dan atau tidak bekerja dengan
normal,maka sel-sel di dalam tubuh tidak terbuka dan glukosa akan terkumpul
dalam darah. Kadar glukosa darah di atas 10 mmol per liter merupakan kondisi di
atas ambang serap ginjal. Apabila kadar glukosa dalam darah berlebihan, maka
sebagian glukosa kemudian dibuang bersama urin.Peristiwa terbuangnya glukosa
bersama-sama urin tersebut dikenal dengan istilah kencing manis.
35

Gb 2.Bagan Mekanisme Diabetes Mellitus

2.7. Hubungan Diabetes Mellitus dengan Penyakit lain


1. Diabetes Mellitus dengan penyakit jantung koroner

DM merupakan penyakit gangguan kronik pada metabolisme yang


ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, disebabkan oleh defisiensi
insulin relatif atau absolut. (Inzuchi SE, 2003). Gambaran patologik DM
sebagian besar dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat
kurangnya insulin yaitu berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel
tubuh, peningkatan metabolisme lemak yang menyebabkan terjadinya
36

metabolism lemak abnormal disertai endapan kolesterol pada dinding


pembuluh darah sehingga timbul gejala aterosklerosis serta berkurangnya
protein dalam jaringan tubuh (Guyton CA. 1996). DM yang tidak dikelola
dengan baik mengakibatkan komplikasi vaskuler yang dibedakan menjadi
komplikasi makrovaskuler seperti penyakit jantung koroner, penyakit
pembuluh darah perifer dan stroke, mikrovaskuler seperti retinopati,
nefropati dan neuropati. Pada penderita DM terjadinya iskemia atau infark
miokard kadang-kadang tidak disertai dengan nyeri dada atau disebut SMI
(silent myocardial infarction). SMI pada penderita DM mungkin yang
menyebabkan kematian karena terlambatnya diagnosis PJK atau sulitnya
mendiagnosa PJK pada penderita DM. Kematian mendadak pada penderita
DM mungkin disebabkan PJK yang menghasilkan aritmia atau infark
miokard (Maron DJ et al, 2004).
Mekanisme terjadinya PJK pada DM sangat komplek dan risiko
terjadinya aterosklerosis dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain
hipertensi, hiperglikemia, kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL
(low density lipoprotein), kadar kolesterol HDL (high density lipoprotein),
kadar trigliserida, merokok, latihan fisik yang kurang, jenis kelamin pria,
umur (penuaan) , riwayat penyakit keluarga, dan obesitas (Grundy SM et
al, 1999). Fungsi tubuh secara fisiologis seperti sistem vaskuler
maupun endokrin akan mengalami penurunan dengan bertambahnya umur
sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi kronik pada
penderita DM tipe 2 seperti PJK. (Hogikyan RV et al, 2003) Obesitas
merupakan faktor risiko terjadinya komplikasi PJK pada DM bersama-
sama dengan kurangnya aktifitas fisik, dislipidemia dan hipertensi (Wittles
EH et al, 1992). Nikotin yang terkandung dalam rokok menyebabkan
peningkatan tekanan arteri dan denyut jantung dan membentuk ikatan
COHb yang berkorelasi kuat dengan terjadinya infark miokard dan angina
pektoris (Aronow Ws et al, 1983]. Ketidakpatuhan diet DM akan membuat
tidak terkendalinya kadar glukosa darah, kadar kolesterol dan trigliserida
(Garg A et al, 2003). Faktor keturunan terjadinya PJK dihubungkan
37

dengan adanya gen tertentu (Feinleib M, 1983). Pada wanita sebelum


menapouse mempunyai risiko lebih rendah daripada pria karena adanya
hormon estrogen endogen yang mempunyai efek protektif terhadap
terjadinya PJK (Jick H, 1983). Orang yang mengidap diabetes dua sampai
empat kali memiliki resiko penyakit jantung. Beberapa penelitian besar
juga menemukan pasien dengan gula darah tinggi cenderung memiliki
serangan jantung dan masalah kardiovaskular lainnya.
2. Diabetes Mellitus dengan penyakit hipertensi

Pada umumnya pada diabetes melitus menderita juga


hipertensi.Hipertensi yang tidak dikelola dengan baik akan mempercepat
kerusakan pada ginjal dan kelianan kardiovaskuler. Sebaliknya apabila
tekanan darah dapat dikontrol maka akan memproteksi terhadap
komplikasi mikro dan makrovaskuler yang disertai pengelolaan
hiperglikemia yang terkontrol. Hipertensi berpengaruh pada penyakit
vaskuler antara lain pada organ otak (stroke, demensia ), jantung ( Infark
miokard, gagal jantung, kematian mendadak,atau ginjal ( gagal ginjal
terminal ). Dengan demikian secara patofisiologis dasarnya adalah
kelainan pada dinding pembuluh darah merupakan awal kelainan pada
organ organ tersebut. Hipertensi pada penderita DM tipe 2 menimbulkan
percepatan komplikasi pada jantung dan ginjal.
3. Diabetes mellitus dengan obesitas
Obesitas (kegemukan) sangat berhubungan erat dengan patofisiologi
diabetes mellitus, resistansi insulin, dislipidemia, hipertensi, dan
aterosklerosis. Obesitas sangat berkontribusi terhadap kejadian sindrom
metabolik yang berkaitan dengan metabolisme lemak dan glukosa, Namun
dalam skala yang besar, obesitas juga dapat mempengaruhi disfungsi
berbagai organ. Adipokin (zat dari jaringan adiposa/lemak yang bersifat
pro-inflamasi, mencetuskan resistansi insulin, hipertensi, dan trombosis)
mengalami peningkatan. Dalam keadaan normal adipokin dipertahankan
seimbang dengan hormon dari sel adiposit yang bersifat sebagai anti-
38

inflamasi dan anti-aterogenik. Salah satu hormon protektif ini adalah


adiponektin, yang dapat melindungi hati dari fibrosis karena efek anti-
inflamasi terhadap sitokin tumour necrosis factor- (TNF-) yang merusak
lemak di hati dan mengganggu pelepasan insulin di pankreas. Obesitas
juga menyebabkan disfungsi imun karena efeknya terhadap sekresi
adipokin inflamasi; dan menjadi faktor risiko utama dari beberapa kanker;
termasuk kanker hati, esofagus, dan usus besar. Karena cepatnya efek
obesitas dalam memperburuk metabolik sindrom dan kanker, kondisi ini
sangat berpengaruh besar dalam merusak tubuh manusia jika metode
pengobatan dan pencegahan yang signifikan tidak segera ditemukan.
Karena itulah upaya pencegahan sangat penting untuk memperbaiki
kebiasaan makan dan aktivitas fisik sehari-hari. Banyak cara yang
telah diketahui tentang pengendalian obesitas, salah satunya bahwa
pengendalian obesitas berhubungan dengan pengendalian nafsu makan
pada tingkat molekular yang mempengaruhi homeostasis energi dari
metabolisme lemak dan glukosa. Selanjutnya, obesitas mempunyai peran
yang berhubungan dengan gangguan pengaturan pada metabolisme sel
yang menyebabkan resistansi insulin pada diabetes mellitus tipe 2.
Kelebihan produksi sitokin dari jaringan adiposa berkontribusi pada
gangguan fungsi pembuluh darah pada hipertensi dan dislipidemia
(kolesterol dan trigliserida yang berlebihan). Kondisi inilah yang akhirnya
menimbulkan menjadi aterosklerosis. Kelebihan simpanan lemak penting
untuk kelangsungan hidup pada waktu kondisi lapar atau kurangnya
asupan nutrisi. Asupan nutrisi berlebihan yang terjadi terus menerus akan
menyebabkan simpanan lemak juga menjadi berlebihan, yang pada
akhirnya akan menyebabkan obesitas. Diduga bahwa simpanan asam
lemak dalam bentuk senyawa kimia berupa triasilgliserol dalam sel-sel
adiposit dapat melindungi tubuh dari efek toksik asam lemak. Asam lemak
dalam bentuk bebas dapat bersirkulasi bebas dalam pembuluh darah dan
menimbulkan stres oksidatif di seluruh tubuh (lipotoksisitas). Sejumlah
asam lemak bebas dapat dilepaskan dari triasilgliserol dalam upaya
39

kompensasi penghancuran simpanan lemak yang berlebihan, sehingga


menimbulkan efek lipotoksisitas yang berpengaruh pada jaringan adiposa
maupun non-adiposa, serta berperan pada patofisiologi penyakit di
berbagai organ seperti hati dan pankreas. Pelepasan asam lemak bebas dari
triasilgliserol yang berlebihan ini juga menghambat lipogenesis dan
menurunkan bersihan triasilgliserol. Hal ini dapat meningkatkan
kecenderungan hipertrigliseridemia. Pelepasan asam lemak bebas oleh
lipoprotein lipase endotel dari trigliserida yang meningkat dalam
peningkatan lipoprotein menyebabkan lipotoksisitas yang juga
mengganggu fungsi reseptor insulin. Konsekuensi resistansi insulin adalah
hiperglikemia, yang dikompensasi dengan produksi glukosa dari hati
(glukoneogenesis), yang justru turut memperberat hiperglikemia. Asam
lemak bebas juga menurunkan penggunaan glukosa dari otot yang
terstimulasi insulin, yang turut berkontribusi pada hiperglikemia.
Lipotoksisitas akibat kelebihan asam lemak bebas turut menurunkan
sekresi insulin dari sel pankreas, yang akhirnya sel akan mengalami
kelelahan. Disamping obesitas hal lain yang dapat menyebabkan seseorang
terserang oleh penyakit diabetes adalah karena sistem imun atau sistem
kekebalan tubuh seseorang mengalami penurunan serta adanya
penumpukan racun dalam tubuh, sehingga kesempatan untuk terserang
oleh berbagai penyakit sangatlah besar yang salah satunya penyakit
Deabetes Melitus.
4. Diabetes mellitus dengan penyakit periodontal, Penyakit periodontal dapat
diartikan sebagai suatu proses patologis yang mengenai jaringan
periodontal. Sebagian besar penyakit periodontal inflamatif disebabkan
oleh infeksi bakteri. Walaupun faktor-faktor lain dapat juga memengaruhi
jaringan periodontal, penyebab utama penyakit periodontal adalah
mikroorganisme yang berkumpul di permukaan gigi (plak bakteri dan
produk-produk yang dihasilkannya) dan membentuk koloni. Beberapa
kelainan sistemik dapat berpengaruh buruk terhadap jaringan periodontal,
tetapi faktor sistemik semata tanpa adanya plak bakteri tidak dapat
40

menjadi pemicu terjadinya periodontitis. Pada penderita diabetes mellitus,


dengan meningkatnya kadar glukosa dalam darah dan cairan gingival
berarti juga merubah lingkungan mikroflora, menginduksi perubahan
bakteri secara kualitatif. Sehingga perubahan tersebut mengarah pada
penyakit periodontal yang berat, dan dapat teramati pada penderita
diabetes melitus dengan kontrol buruk. Berkaitan dengan jaringan
periodontal, hiperglikemia kronik penderita diabetes melitus akan
meningkatkan aktivitas kolagenase, dan menurunkan sintesis kolagen.
Enzim kolagenase menguraikan kolagen, sehingga ligament periodontal
rusak, dan gigi menjadi goyah. Jaringan periodontal akan menjadi kuat
kembali apabila diabetes melitus diobati dengan baik, serta gigi goyah
pada pasien diabetes melitus jangan buru-buru dicabut. Diabetes yang
tidak terkontrol atau kurang baik kontrolnya disertai oleh peningkatan
kerentanan terhadap infeksi, termasuk periodontitis kronis..Semua hal
yang dikemukakan diatas secara jelas menunjukkan hubungan serta
peranan diabetes mellitus terhadap terjadinya periodontitis kronis. Dengan
demikian penyakit periodontal adalah salah satu komplikasi diabetes
mellitus yang harus diperhatikan.

2.8. Pencegahan dan penanggulangan


Upaya pencegahan penyakit diabetes mellitus dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
a. Pencegahan Primer
Cara ini adalah cara yang paling sulit karena sasarannya orang
sehat. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah agar DM tidak
terjadi pada orang atau populasi yang rentan (risiko tinggi), yang
dilakukan sebelum timbul tanda-tanda klinis dengan cara :
1. Makan seimbang artinya yang dimakan dan yang dikeluarkan
seimbang disesuiakan dengan aktifitas fisik dan kondisi tubuh, dengan
menghindari makanan yang mengandung tinggi lemak karena bisa
41

menyebabkan penyusutan konsumsi energi. Mengkonsusmsi makanan


dengan kandungan karbohidrat yang berserat tinggi dan bukan olahan.
2. Meningkatkan kegiatan olah raga yang berpengaruh pada sensitifitas
insulin dan menjaga berat badan agar tetap ideal.
3. Kerjasama dan tanggung jawab antara instansi kesehatan, masyarakat,
swasta dan pemerintah, untuk melakukan penyuluhan kepada
masyarakat.
b. Pencegahan Sekunder
Ditujukan pada pendeteksian dini DM serta penanganan segera dan
efektif, sehingga komplikasi dapat dicegah.
1. Hal ini dapat dilakukan dengan skrining, untuk menemukan penderita
sedini mungkin terutama individu/populasi.
2. Kalaupun ada komplikasi masih reversible / kembali seperti semula.
3. Penyuluhan kesehatan secara profesional dengan memberikan materi
penyuluhan seperti : apakah itu DM, bagaimana penatalaksanaan DM,
obat-obatan untuk mengontrol glukosa darah, perencanaan makan, dan
olah raga.

c. Pencegahan Tersier
1. Upaya dilakukan untuk semua penderita DM untuk mencegah
komplikasi.
2. Mencegah progresi dari komplikasi supaya tidak terjadi kegagalan
organ.
3. Mencegah kecacatan akibat komplikasi yang ditimbulkan.
Pencegahan diabetes mellitus juga dapat dilakukan dengan
menggunakan perubahan pola hidup, melakukan beberapa perubahan
sederhana dalam gaya hidup sekarang dapat membantu dalam
mengendalikan diabetes. Beberapa cara tersebut antara lain :
a. Lakukan lebih banyak aktivitas fisik
Latihan olahraga dapat membantu meningkatkan sensitivitas
tubuh terhadap insulin, yang membantu menjaga kadar gula darah
dalam kisaran normal. Dengan meningkatkan olahraga, tubuh
menggunakan insulin lebih efisien sampai 70 jam setelah latihan.
42

Jadi, berolahraga 3-4 kali seminggu akan bermanfaat pada


kebanyakan orang.
b. Dapatkan banyak serat dalam makanan
Makanan berserat tidak hanya mengurangi risiko diabetes dengan
meningkatkan kontrol gula darah tetapi juga menurunkan resiko
penyakit jantung dan menjaga berat badan ideal dengan
membantu perut merasa kenyang. Makanan tinggi serat antara
lain buah-buahan, sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan dan
umbi-umbian. Salah satu makanan tinggi serat yang terbukti dapat
mengendalikan diabetes adalah dedak padi atau bekatul.
c. Makanlah kacang-kacangan dan biji-bijian
Biji-bijian dapat mengurangi risiko diabetes dan membantu
menjaga kadar gula darah. Dalam sebuah studi pada lebih dari
83.000 perempuan, konsumsi kacang-kacangan (dan selai kacang)
tampaknya menunjukkan beberapa efek perlindungan terhadap
pengembangan diabetes. Wanita yang mengonsumsi lebih dari
lima porsi satu ounce kacang per minggu menurunkan resiko
terkena diabetes dibandingkan wanita yang tidak mengonsumsi
kacang sama sekali.
d. Turunkan berat badan
Sekitar 80% penderita diabetes kegemukan dan kelebihan berat
badan. Jika seseorang kelebihan berat badan, pencegahan diabetes
dapat bergantung pada penurunan berat badan. Dalam sebuah
penelitian, orang dewasa yang kegemukan mengurangi risiko
diabetes mereka sebesar 16 persen untuk setiap kilogram berat
badan yang hilang. Juga, mereka yang kehilangan sejumlah berat
setidaknya 5 sampai 10 persen berat badan awal dan berolahraga
secara teratur mengurangi risiko diabetes hampir 60 persen dalam
tiga tahun.
e. Perbanyak minum produk susu rendah lemak
Data mengenai produk susu rendah lemak tampaknya berbeda-
43

beda, tergantung apakah seseorang gemuk atau tidak. Pada


penderita obesitas, semakin banyak susu rendah lemak yang
dikonsumsi, semakin rendah risiko sindrom metabolik. Secara
khusus, mereka yang mengonsumsi lebih dari 35 porsi produk
susu tersebut seminggu memiliki risiko jauh lebih rendah
dibandingkan mereka yang mengonsumsi kurang dari 10 porsi
seminggu. Menariknya, hubungan ini tidak begitu kuat pada
orang yang ramping.
f. Kurangi lemak hewani
Dalam sebuah penelitian terhadap lebih dari 42.000 orang, diet
tinggi daging merah, daging olahan, produk susu tinggi lemak,
dan permen, dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes hampir
dua kali dari mereka yang makan diet sehat. Hal ini independen
terhadap berat badan dan faktor-faktor lain.
g. Kurangi konsumsi gula
Konsumsi gula saja tidak terkait dengan pengembangan diabetes
tipe 2. Namun, setelah disesuaikan dengan berat badan dan
variabel lainnya, tampaknya ada hubungan antara minum
minuman sarat gula dan pengembangan diabetes tipe 2. Wanita
yang selalu minum satu atau lebih minuman bergula sehari
memiliki hampir dua kali lipat risiko terkena diabetes daripada
wanita yang hanya kadang-kadang atau tidak minum minuman
bergula.

h. Berhenti merokok
Merokok tidak hanya berkontribusi pada penyakit jantung dan
menyebabkan kanker paru-paru tetapi juga terkait dengan
pengembangan diabetes. Merokok lebih dari 20 batang sehari
dapat meningkatkan risiko diabetes lebih dari tiga kali lipat
dibandingkan orang yang tidak merokok.
44

i. Hindari lemak trans


Hindari mengonsumsi lemak trans (minyak sayur terhidrogenasi)
yang banyak digunakan pada produk olahan dan makanan cepat
saji. Minyak tersebut berkontribusi pada peningkatan risiko
penyakit jantung dan diabetes tipe- 2.
j. Dapatkan dukungan
Dapatkan teman, keluarga atau kelompok yang membantu dalam
mencegah diabetes. Dengan mendapat dukungan, seseorang akan
memiliki motivasi untuk melakukan sesuatu, dalam hal ini adalah
perilaku untuk perubahan gaya hidup yang mengarah pada
pencegahan diabetes mellitus.
Berikut adalah strategi yang bisa dilakukan untuk pencegahan
DM antaralain:
a. Population/Community Approach (Pendekatan Komunitas)
Mendidik masyarakat menjalankan gaya hidup sehat dengan
cara:
- Mengendalikan berat badan, glukosa darah, lipid, tekanan
darah, asam urat.
- Menghindari gaya hidup berisiko.
- Kerjasama dengan semua lapisan masyarakat.
b. Individual High Risk Approach (Pendekatan Individu) :
- Umur > 40th
- Obesitas
- Hipertensi
- Riwayat keluarga / keturunan
- Dislipidemia / timbunan lemak dalam darah yang berlebihan
- Riwayat melahirkan > 4 kg
- Riwayat DM pada saat kehamilan.

2.9. Epidemiolgi Diabetes Mellitus di Indonesia


Populasi beresiko DM menurut Wijayakusuma (2004) :

a. Orang yang memiliki pola makan secara berlebihan dan melebihi jumlah
kadar kalori yang dibutuhkan oleh tubuh.
b. Orang-orang yang gemuk, yang mempunyai berat badan melebihi 90 kg
45

c. Orang yang memiliki warisan gen penyebab Diabetes Melitus dari orang
tua.
d. Orang yang sering mengkonsumsi bahan kimia dan obat-obatan
e. Orang yang terkena penyakit infeksi pada pancreas

Khusus DM tipe 2 beresiko pada lansia dan dapat menimbulkan


komplikasi kronik baik berupa komplikasi makrovaskular maupun
mikrovaskular.

2.9.1 Insiden DM

Jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia, diperkirakan


mengalami peningkatan dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta jiwa pada tahun 2030 mendatang. Tingginya angka
tersebut menjadikan Indonesia peringkat keempat jumlah penderita
diabetes melitus terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat, India, dan
Cina. Berdasarkan hasil survei tahun 2003, prevelansi diabetes melitus
di perkotaan mencapai 14,7 persen dan di pedesaan hanya 7,2 persen.
Peningkatan insidensi DM akan meningkatkan insidensi komplikasi
akibat diabetes tersebut. Dari berbagai penelitian didapatkan ebanyak
30-40% penderita DM tipe 2 (DMt2) akan mengalami kerusakan
ginjal berupa nefropati diabetik yang pada akhirnya akan jatuh ke
Gagal ginjal terminal yang akan memerlukan hemodialisis. Selain
komplikasi pada organ ginjal ini, DM ini juga sebagai penyebab
peningkatan insidensi kesakitan dan kematian penyakit kardiovaskuler.
Dengan meningkatnya insidensi DMt2 maka secara signifikan akan
meningkatkan pula insidensi gagal ginjal dan penyakit kardiovaskuler.
Dengan demikian peningkatan insidensi DM yang signifikan akan
meningkatkan pula insidensi gagal ginjal dan penyakit kardiovaskuler.
Dengan kondisi seperti itu maka diperlukan upaya pengelolaan dan
pencegahan terhadap komplikasi yang sering menjadi suatu langkah
pengelolaan yang strategis dan sangat penting, dengan harapan upaya
tersebut dapat menunda perkembangan terjadinya komplikasi maupun
46

menghambat progresitfitas komplikasi yang sudah terjadi. Dalam


tulisan ini akan diungkapkan selain epidemiologi, dan patofisiologi
hipertensi pada penderita DMt2, juga bagaimana kiat pemilihan obat
anti hipertensi pada DM.
2.9.2 Distribusi

Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030


prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta
orang (Diabetes Care, 2004). Sedangkan hasil Riset kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab
kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah
perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah
pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%. Berdasarkan
hasil Riskesdas 2007 prevalensi nasional DM berdasarkan
pemeriksaan gula darah pada penduduk usia >15 tahun
diperkotaan 5,7%. Prevalensi nasional Obesitas umum pada
penduduk usia >= 15 tahun sebesar 10.3% dan sebanyak 12
provinsi memiliki prevalensi diatas nasional, prevalensi nasional
Obesitas sentral pada penduduk Usia >= 15 tahun sebesar 18,8 %
dan sebanyak 17 provinsi memiliki prevalensi diatas nasional.
Sedangkan prevalensi TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) pada
penduduk usia >15 tahun di perkotaan adalah 10.2% dan
sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi diatas prevalensi
nasional. Prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar
93,6%, dan prevalensi kurang aktifitas fisik pada penduduk >10
tahun sebesar 48,2%. Disebutkan pula bahwa prevalensi merokok
setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7% dan
prevalensi minum beralkohol dalam satu bulan terakhir adalah
4,6%. Prevalensi diabetes mellitus (DM) di Indonesia
menunjukkan kecenderungan peningkatan. Dari berbagai
penelitian epidemiologi di Indonesia sebelum tahun 1990-an
47

umumnya didapatkan prevalensi DM sebesar 1,5 2,3 persen


pada penduduk 15 tahun ke atas, namun di Manado didapatkan
prevalensi DM 6,1 persen. Prevalensi DM di daerah urban
Jakarta didapatkan kenaikan dari 1,7 persen pada tahun 1982
menjadi 5,7 persenpada tahun 1993. Demikian pula di daerah
urban ujung pandang, meningkat dari 1,5 persen pada tahun
1981 menjadi 2,9 persen pada tahun 1998. Pada tahun 2001-2005,
prevalensi diabetes pada penduduk 25 tahun ke atas di Kota
Depok dan Jakarta, menjadi 11,8-14,7 persen. Riskesdas 2007
mendapatkan prevalensi DM di daerah perkotaan Indonesia
adalah 5,7 persen. Menurut provinsi, prevalensi DM tertinggi
terdapat di Kalimantan Barat dan Maluku Utara (masing-masing
11,1%), dan terendah di Papua (1,7%). Berdasarkan hasil survei
tahun 2003, prevelansi diabetes melitus di perkotaan mencapai
14,7 persen dan di pedesaan hanya 7,2 persen. Diabetes melitus
kini menjadi ancaman yang serius bagi manusia dan telah menjadi
penyebab kematian urutan ketujuh di dunia. Jumlah penderita
diabetes melitus di Indonesia, diperkirakan mengalami
peningkatan dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi sekitar
21,3 juta jiwa pada tahun 2030 mendatang. Tingginya angka
tersebut menjadikan Indonesia peringkat keempat jumlah
penderita diabetes melitus terbanyak di dunia setelah Amerika
Serikat, India, dan Cina. Meningkatnya penderita diabetes melitus
disebabkan oleh peningkatan obesitas, kurang aktivitas fisik,
kurang mengkonsumsi makanan yang berserat, merokok, dan
tingginya lemak.
48

Gb.3 Grafik Penderita Diabetes di Indonesia

Pada grafik diatas bahwa penderita Diabetes Melitus di Indonesia


dari tahun ke tahun selalu meningkat, yaitu dari tahun 1994
sampai tahun 2010.
2.9.3 Frekuensi
Tabel 4. Penyakit Utama Penyebab Kematian Di Rumah Sakit Di
Indonesia Tahun 2000
No Jenis Penyakit %
1. Stroke, tanpa pendarahan 5,9
2. Pneumonia 3,5
3. Demam tifoid 3,5
4. Tuberkulosis paru 3,3
5. Pendarahan intracranial 3,1
6. Diabetes Mellitus 3,0
7. Pertumbuhan janin lamban, malnutrisi janin, dan gangguan 3,0
yang berhubungan dengan kelainan premature
8. Trauma (klasifikasi lainnya 3,0
9. Penyakit jantung (klasifikasi lainnya) 2,9
10. Gagal ginjal (klasifikasi lainnya) 2,9

Sumber: Ditjen Yanmedik, Depkes RI


49

Tabel 4 menunjukkan bahwa penyakit Diabetes Mellitus berada di urutan


keenam dengan prevalensi sebesar 3,0% dari 10 penyakit utama yang ada di
rumah sakit yang menjadi penyebab utama kematian.

Tabel 5 Distribusi Penyakit Diabetes Mellitus dan Penyakit Metabolik


Lainnya Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit Di Indonesia Tahun 2005.

No Penyakit Jumlah Kasus Jumlah Mati CFR (%)


1. Diabetes Mellitus 42.000 3.316 7,9
2. Tiroktosikosis 913 67 7,3
3. Gangguan kelenjar tyroid 4.065 148 3,6
lainnya
4. Penyakit endokrin dan 9.912 823 8,3
metabolic lainnya
Sumber : Statistik RS.Indonesia Edisi Tahun 2005, Ditjen Yanmed Depkes RI
Tabel 5 menunjukkan bahwa kematian akibat penyakit di pasien rawat
inap rumah sakit tertinngi disebabkan oleh penyakit Diabetes Mellitus yaitu
sebanyak 3.316 kematian dengan CFR 7,9%. Jadi berdasarkan kedua tabel diatas
dapat disimpulkan bahwa meskipun penyakit Diabetes Mellitus berada di urutan
keenam dari 10 penyakit yang dapat penyebabkan kematian di rumah sakit
Indonesia tetapi Diabetes Mellitus berada diurutan pertama penyebab kematian di
pasien rawat inap rumah sakit.

2.9.4 Distribusi Menurut Orang


Berdasarkan proses timbulnya penyakit Diabetes Mellitus dapat
disimpulkan bahwa orang yang berisiko mengalami Diabetes Mellitus
adalah mereka yang memiliki riwayat Diabetes dari keluarga. Pasien
Diabetes Mellitus tipe 2 umumnya dewasa usia 40-an dan mengalami
kegemukan (obesitas) dan tidak aktif. Sedangkan pada Diabetes
Mellitus tipe 1 biasanya terdapat pada anak-anak dan remaja , salah
satu penyebabnya adalah seringnya mengkonsumsi fast food. Ibu yang
melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4 kg juga berisiko mengalami
Diabetes Mellitus. Perkiraan jumlah orang dewasa dengan Diabetes
50

Mellitus menurut kelompok umur untuk negara maju dan negara


berkembang tahun 2000 dan 2030 menunjukkan bahwa di negara
maju orang dewasa yang berisiko untuk terkena Diabetes Mellitus
adalah yang berumur 65 tahun ke atas sedangkan di Negara
berkembang orang dewasa yang berisiko terkena Diabetes Mellitus
adalah umur 46-64 tahun. (Sumber : Data Sekunder). Prevalensi
Diabetes Mellitus global menurut jenis kelamin dan umur Tahun 2000
menunujukkan bahwa prevalensi kejadian Diabetes Mellitus untuk
jenis kelamin laki-laki dan perempuan hampir sama hanya berbeda
pada umur 70-80 tahun. (Sumber : Data Sekunder).

2.9.5 Distribusi Menurut Tempat


Tabel 6 Prevalensi Kejadian Diabetes Mellitus Di Beberapa Negara
Tahun 2000 dan 2030
No Rangking negara Orang dengan DM Rangking negara Orang dengan DM (juta)
tahun 2000 (juta) tahun 2030
1. India 31,7 India 79,4
2. Cina 20,8 Cina 42,3
3. Amerika Serikat 17,7 Amerika Serikat 30,3
4. Indonesia 8,4 Indonesia 21,3
5. Jepang 6,8 Pakistan 13,9
6. Pakistan 5,2 Brazil 11,3
7. Federasi Rusia 4,6 Banglades 11,1
8. Brazil 4,6 Jepang 8,9
9. Italia 4,3 Filipina 7,8
10. Banglades 3,2 Mesir 6,7
Sumber data Sekunder

Tabel 6 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat keempat


dengan penderita terbesar di dunia yaitu 8,4 juta orang pada tahun 2000 dan
diperkirakan terus meningkat dari tahun ke tahun yaitu sebanyak 21, 3 juta orang
penderita Diabetes Mellitus.
51

2.9.6 Distribusi menurut waktu


Lamanya seseorang menderita penyakit dapat memberikan
gambaran mengenai tingkat patogenesitas penyakit tersebut.
Peningkatan angka kesakitan Diabetes Mellitus dari waktu ke waktu
lebih benyak disebabkan oleh faktor herediter, life style (kebiasaan
hidup) dan faktor lingkungannya. Komplikasi Diabetes Mellitus
dengan penyakit lain terkait dengan lamanya seseorang menderita
Diabetes Mellitus, semakin lama seseorang menderita Diabetes
Mellitus maka komplikasi penyakit Diabetes Mellitus juga akan lebih
mudah terjadi.

2.9.7 Populasi yang Beresiko


a. Obesitas (kegemukan).
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa
darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.
b. Hipertensi.
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi erat kaitannya dengan
tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya
tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
c. Riwayat keluarga Diabetes Mellitus.
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen
diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif.
Hanya orang yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut
yang menderita Diabetes Mellitus.
d. Dislipedimia.
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan
plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat
52

pada pasien Diabetes.

e. Umur.
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes
Mellitus adalah > 45 tahun.
f. Riwayat persalinan.
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan
bayi > 4000 gram.

Tabel 7 Distribusi Frekuensi Karakteristik Berdasarkan Kelompok Umur Penderita


Diabetes Melitus

No Umur Frekuensi Presentae


1 40-50 12 28,6
2 51-60 12 28,6
3 >60 18 42,8
Total 42 100

Tabel 8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Penderita Diabetes Melitus

No Jenis kelamin Frekuensi Presentase


1 Laki-laki 13 30,9
2 perempuan 29 69,1
Total 42 100

2.10. Gambar Orang dengan Penyakit Diabetes Mellitus


53

Gb.9. Amputasi Bagian Infeksi Penderita Diabetes Mellitus

Gb. 10. Perluasan area infeksi penderita diabetes mellitus

Gb. 11 Penderita komplikasi diabetes dengan luka yang susah mengering


54

Gb. 11 Ulkus pada penderita diabetes mellitus

Gb. 12. Infeksi gangrene pada penderita diabetes mellitus

II.9. Kerangka Teori


55

Tabel 2 Kerangka Teori


56

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

III.1. Kerangka Konsep Penelitian

Tabel 3 Kerangka Konsep Penelitian

Ket :

: Area yang diteliti

III.2. Hipotesa Penelitian


57

BAB IV

METODE PENELITIAN

IV.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

IV.2. Populasi Penelitian

IV.3. Sampel Penelitian

IV.5. Lokasi dan Waktu Penelitian


58

IV.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Alat Ukur Skala

- -
59

IV.7. Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

IV.7.1. Alat Penelitian

IV.7.2. Cara Pengumpulan Data

IV.8. Pengolahan dan Analisa Data

IV.8.1. Pengolahan Data

IV.8.1.1. Editing

IV.8.1.2. Coding

IV.8.1.3. Procesing

IV.8.1.4. Cleaning

IV.9. Analisa Data

IV.9.1.1. Analisis Univariat

IV.9.1.2. Analisis Bivariat


60

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta :


Salemba Medika.
Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses
pemulihan inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?
id=76387&lokasi=lokal

Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep


dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Proses dan


praktik. Ed. 4. Jakarta: EGC

Rochani. (2002). Penduduk indonesia idap inkontinensia urin. Diakses dari


http://www.pdpersi.co.id

Uliyah, Musfiratul. 2008. Ketrampilan Dasar praktik Klinik. Jakarta : Salemba


Medika
Anonim ,2012. Diagnosa hipertensi. (online).http://repository.usu.ac.id/handle /
123456789/21553.
Anonim ,2012. Hipertensi .(online). jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/381103642
_0125-9695.pdf.
Anonim ,2012. Jantung dan hipertensi. (online).http://id.shvoong.com/medicine-
and-health/epidemiology-public-health/2099121-hubungan-diabetes-
penyakit-jantung-arteri/#ixzz2CkZRG86B.
Anonim ,2012. Penyebab diabetes tipe 1 dan 2. (online).http://www.
berassteamrice.com/web/images/diabetes.pdf.

Anda mungkin juga menyukai