Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut termaktub dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa

"negara Indonesia adalah negara hukum.1 Mengenai konsep negara hukum dikenal

berbagai istilah baik rechtsstaat, rule of law, atau etat de droit.2 Dalam konteks

Indonesia yang mana sistem hukumnya merupakan warisan kolonial, menggunakan

sistem hukum Eropa kontinental atau yang biasa disebut sebagai civil law atau

modern roman law. Konsep negara hukum yang mengacu pada sistem hukum civil

law adalah rechtsstaat, yang mana hal tersebut lebih lanjut ditegaskan dalam

penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Sebelum Amandemen yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas

Hukum (Rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).3

Beberapa ahli yang mengembangkan konsep rechtsstaat sendiri adalah Hans

Kelsen dan Julius Stahl. Hans Kelsen mengemukakan mengenai 4 (empat) syarat

dari rechtsstaat, yaitu:4

1. Negara yang kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan undang-


undang, yang proses pembuatannya dilakukan oleh parlemen, anggota-
anggota parlemen itu sendiri dipilih langsung oleh rakyat.

1
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2
Lihat dalam Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD
1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Kencana, Jakarta, hlm. 20.
3
Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebelum
Amandemen.
4
Hans Kelsen, 1978, Pure Theory of Law, University California Press, Berkeley, hlm. 313.
2. Negara yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban atas setiap
kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh elite negara.
3. Negara yang menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
4. Negara yang melindungi hak-hak asasi manusia.

Kemudian bandingkan dengan syarat-syarat dasar bagi pemerintahan yang

demokratis di bawah konsep rule of law menurut International Commission of

Jurist sebagai berikut: (a) Perlindungan konstitusional; (b) Kekuasaan kehakiman

yang bebas dan tidak memihak; (c) Pemilihan umum yang bebas; (d) Kebebasan

menyatakan pendapat; (e) Kebebasan berserikat dan beroposisi; dan (f) Pendidikan

kewarganegaraan.5

Berdasarkan kedua konsep negara hukum baik rechtsstaat maupun rule of

law, menegaskan bahwa dalam negara hukum haruslah terdapat jaminan atas

kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. Hal tersebut menunjukkan

bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak merupakan hal yang

penting dalam negara hukum baik rehctsstaat maupun rule of law. Kekuasaan

kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya diartikan bebas dari

pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan melaksanakan

tugasnya.6 Kekuasaan kehakiman merupakan instrumen penting dalam rangka

melindungi hak-hak asasi manusia dan menjamin diselenggarakannya kehidupan

negara yang sejalan dengan konstitusi dan undang-undang.

5
International Commission of Jurist, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern
Age, Makalah, South-East Asian and Pasific Conference of Jurist, Bangkok, 15-19 Februari
1965, hlm. 39-45. Sebagaimana dikutip dalam Ahsin Thohari, 2004, Komisi Yudisial &
Reformasi Peradilan, ELSAM, Jakarta, hlm. 49.
6
E.C.S Wade dan G. Godfrey Philips, 1965, Constitutional Law: An Outline of the Law and
Practice of the Constitution, Including Central and Local Fovernment, the Citizen and the State
and Administrative Law, Longmans, London, hlm. 255. Sebagaimana dikutip dalam Ahsin
Thohari, Ibid., hlm. 50.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum, adanya kekuasaan

kehakiman yang bebas dan tidak memihak sejatinya telah dijamin dalam konstitusi,

yang mana dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan.7 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan

tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.8 Konstruksi yang

demikian menunjukkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia menganut sistem

bifurkasi (bifurcation system), di mana kekuasaan kehakiman terbagi dua cabang,

yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah

Agung dan peradilan konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan

constitutional review atas produk perundang-undangan yang dijalankan oleh

Mahkamah Konstitusi.9

Dalam konteks ketatanegaraan, menurut Jimly Asshiddiqie, Mahkamah

Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi

menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat, 10 sehingga

Mahkamah Konstitusi juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of

the democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the

7
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
9
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Mahkamah Konstitusi: Perspektif Politik dan Hukum,
Kompas, 24 September 2002. Sebagaimana dikutp dalam Nimatul Huda, 2008, UUD 1945 dan
Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 252.
10
Mahkamah Konstitusi, 2004, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Institusi
Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi
RI, Jakarta, hlm. iv.
citizens constitutional rights), serta pelindung hak asasi manusia (the protector of

human rights).11

Sebagai sebuah peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki 4

(empat) buah kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal

24C ayat (1) dan (2), yaitu:12

1. kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang


putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar.
2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
3. memutus pembubaran partai politik.
4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas menegaskan

fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the

constitution). Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan

negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi adalah

melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi sehingga menjadi hak

konstitusional warga negara.13 Kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi

sebagaimana dimaksud di atas kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 jo.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi.

11
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 29. Sebagaimana
dikutip dalam Nimatul Huda, Op.cit., hlm. 256.
12
Lihat dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
13
Nimatul Huda dan R. Nazriyah, 2011, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-undangan,
Nusa Media, Bandung, hlm. 145.
Dari 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban yang dimiliki oleh

Mahkamah Konstitusi di atas, permohonan perkara yang paling banyak diterima

Mahkamah Konstitusi ialah terkait dengan pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar. Hal ini disebabkan setiap warga negara, badan hukum, dan

lembaga negara dapat bertindak sebagai pemohon apabila hak dan atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan suatu undang-undang.14 Sampai saat

ini, jumlah perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

yang masuk adalah sebanyak 1363 perkara, yang mana dari 1363 perkara tersebut,

858 perkara telah diputus dengan jumlah undang-undang yang diuji adalah

sebanyak lebih dari 400 undang-undang.15 Jumlah tersebut sangatlah jauh lebih

banyak apabila dibandingkan dengan perkara sengketa kewenangan lembaga

negara yang hingga saat ini jumlahnya mencapai 36 perkara, sengketa hasil

pemilihan umum tahun 2009 sebanyak 657 dengan jumlah perkara yang diputus

sebanyak 71 perkara, serta perkara pembubaran partai politik yang berjumlah 0

perkara.16

Kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar diatur lebih lanjut dalam Pasal 50 hingga Pasal 60 Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 jo. Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi, terkait teknis

pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005

14
Nimatul Huda, Op.cit., hlm. 258.
15
Berdasarkan data yang didapat oleh penulis dalam Mahkamah Konstitusi, Rekapitulasi Perkara
Pengujian Undang-Undang, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.
RekapPUU, diakses 6 November 2015.
16
Lihat lebih lanjut data mengenai rekapitulasi perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi
dalam Ibid.
tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Permohonan

pengujian undang-undang meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil.17

Pengujian materiil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi

muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, sedangkan pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang

berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak

termasuk pengujian materiil sebagaimana dijelaskan sebelumnya.18

Menjadi pertanyaan kemudian, apa yang menyebabkan perkara pengujian

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar menjadi jumlah perkara yang

paling banyak dimohonkan oleh masyarakat. Sudikno Mertokusumo menjelaskan

mengenai salah satu asas dalam hukum yakni asas fictie hukum sebagai berikut:19

Undang-Undang itu sendiri adalah hukum, karena berisi kaedah hukum untuk
melindungi kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia itu seberapa
dapat terlindungi, maka undang-undang harus diketahui oleh setiap orang.
Bahkan setiap orag dianggap tahu akan undang-undang (iedereen wordt
geacht de wet te kennen, nemo ius ignorare constetur). Ini merupakan fictie,
kenyataannya tidaklah dapat diharapkan bahwa setiap orang mengetahui
setiap undang-undang yang diundangkan.

Iedereen wordt geacht de wet te kennen, nemo ius ignorare constetur secara

bahasa dapat diartikan sebagai semua orang dianggap tahu akan undang-undang,

ketidaktahuan akan undang-undang bukanlah merupakan alasan pemaaf. Hal ini

merupakan konsekuensi dari berlakunya suatu undang-undang, yang mana pada

17
Lihat lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
18
Lihat lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
19
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm.
88.
prinsipnya undang-undang memiliki kekuatan mengikat sejak undang-undang

tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, sehingga setiap

orang terikat untuk mengakui eksistensinya,20 namun demikian pada kenyataannya

banyak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara akibat

berlakunya suatu undang-undang. Hal ini terbukti dengan banyaknya perkara

pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang masuk ke

Mahkamah Konstitusi.

Melihat banyaknya perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar yang masuk ke Mahkamah Konstitusi, menunjukkan bahwa masih

banyak produk undang-undang yang dihasilkan oleh legislatif yang kurang

memperhatikan Undang-Undang Dasar sehingga berakibat pada terlanggarnya hak-

hak konstitusional warga negara. Pengujian undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar ini dapat dikatakan sebagai bentuk pengawasan masyarakat terhadap

lembaga legislatif agar tidak membuat undang-undang dengan sewenang-wenang

dan harus memperhatikan kebutuhan masyarakat, sebagaimana diketahui bahwa

undang-undang sendiri mengikat bagi seluruh masyarakat. Lebih lanjut, banyaknya

pengujian undang-undang yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut

menunjukkan bahwa produk hukum yang dilahirkan oleh pembentuk undang-

undang, masih cacat ideologis.21 Pengujian undang-undang yang dilakukan oleh

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perwujudan dari adanya checks and

20
Ibid., hlm. 94.
21
Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi dan Komunikasi Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2013, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003 2012), Kepaniteraan dan
Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 4.
balances antar lembaga negara. Kontrol dalam bentuk judicial review tersebut dapat

menjadi sarana untuk melakukan purifikasi undang-undang yang dihasilkan

lembaga legislatif sehingga tidak merugikan masyarakat.22

Berdasarkan Pasal 56, amar putusan yang dapat dijatuhkan oleh Mahkamah

Konstitusi adalah berupa putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat

diterima, menyatakan permohonan dikabulkan, menyatakan permohonan ditolak.23

Dalam beberapa putusannya Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian atas

produk legislasi sehingga norma atau undang-undang yang diuji memenuhi syarat

konstitusionalitas.24 Putusan Mahkamah Konstitusi memberi tafsir (petunjuk, arah,

dan pedoman serta syarat bahkan membuat norma baru) yang dapat diklasifikasi

sebagai putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan putusan

inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).25 Apabila tafsir yang

ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi dipenuhi, maka suatu norma atau undang-

undang tetap konstitusional, namun apabila tafsir yang ditentukan oleh Mahkamah

Konstitusi dalam putusannya tidak terpenuhi maka suatu norma hukum atau

undang-undang menjadi inkonstitusional sehingga harus dinyatakan bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.26

Meskipun sudah sangat banyak perkara pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar yang diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi,

22
Ibid., hlm. 5.
23
Lihat lebih lanjut dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4316)
24
Nimatul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit., hlm. 148.
25
Hamdan Zoelva, Mekanisme Checks and Balances Antar Lembaga Negara (Pengalaman dan
Praktik di Indonesia), Makalah, Simposium Internasional Negara Demokrasi Konstitusional,
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 12 Juli 2011.
26
Ibid.
tidak jarang putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi dipandang

kontroversi. Sebagai contoh adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-

059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 perihal pengujian Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang mana dalam

pertimbangannya Mahkamah menyatakan bahwa apabila Undang-Undang a quo

dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam

pertimbangan Mahkamah, maka terhadap Undang-Undang a quo tidak tertutup

kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali (conditionally constitutional).27

Lebih lanjut, putusan dengan model conditionally constitutional dan

conditionally unconstitutional memberikan peluang bahwa suatu undang-undang

yang telah diuji dapat diuji kembali.28 Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi

dengan model seperti ini dapat menjadi pintu masuk perumusan norma, 29 padahal

dalam ketentuan Undang-Undang Dasar sebagai hukum yang menempati hirarki

tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan, telah dinyatakan bahwa

putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final,30 sehingga memiliki konsekuensi bahwa

27
Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan
008/PUU-III/2005 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tanggal 19
Juli 2005, hlm. 495.
28
Yance Arizona memberikan perbandingan antara sifat Putusan MK dengan Konstitusionalitas
Berysarat. Menurut Yance Arizona, putusan bersifat conditionally constitutional menjadikan
putusan MK tidak bersifat final, maksudnya masih ada upaya hukum yang bisa ditempuh,
meskipun tidak upaya hukum vertikal.
Lihat lebih lanjut dalam Yance Arizona, 2008, Dibalik Konstitusionalitas Bersyarat Putusan
Mahkamah Konstitusi, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan
Ekologis, Jakarta, hlm. 17
29
Lihat lebih lanjut dalam Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi dan
Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Op.cit., hlm. 14.
30
Lihat lebih lanjut dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
putusan tersebut langsung mengikat sebagai hukum (legally binding) sejak

diucapkan di dalam persidangan.31 Menjadi pertanyaan kemudian, apakah amar

putusan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang bersifat

konstitusional atau inkonstitusional bersyarat akan menderogasi sifat putusan

Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding tersebut.

Berdasarkan seluruh uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk

mengetahui dan menelaah bagaimana karakteristik putusan Mahkamah Konstitusi

yang bersifat conditionally constitutional dan conditionally unconstitutional dalam

pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, serta bagaimana

korelasi atau implikasinya terhadap sifat final dan mengikatnya putusan Mahkamah

Konstitusi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas,

maka penulis merumuskan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat

bersyarat (conditionally) dalam pengujian Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar?

2. Bagaimana implikasi putusan bersyarat dalam pengujian Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar terhadap sifat final dan

mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi?

31
Yance Arizona, Op.cit., hlm. 3-4.
C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara subyektif diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih

gelar Sarjana Hukum dari Strata-1 (S-1) Program Studi Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada. Selain tujuan subyektif tersebut, penelitian ini

juga memiliki tujuan obyektif yang sesuai dengan rumusan masalah yang telah

dipaparkan di atas, yaitu untuk mengetahui, memahami, dan menelaah lebih

mendalam bagaimana implikasi putusan konstitusional bersyarat (conditionally

constitutional) dan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally

unconstitutional) terhadap sifat final dan mengikatnya putusan Mahkamah

Konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar.

Selain tujuan subyektif dan obyektif di atas, penelitian ini juga memiliki

tujuan yang bersifat khusus. Pertama, untuk mengetahui karakteristik putusan

bersyarat baik secara konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau

inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dalam perkara pengujian

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kedua, untuk mengetahui

implikasi putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan

putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dalam

pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar terhadap sifat final dan

mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi.


D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis diharapkan mampu memberikan

manfaat baik bagi penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, masyarakat, dan

pemangku kebijakan atau pihak-pihak lain yang terkait. Pertama, diharapkan

dengan dilakukannya penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan dan

wawasan bagi peneliti berkaitan dengan hukum acara Mahkamah Konstitusi,

khususnya berkaitan dengan bagaimana karakteristik putusan baik yang

konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat dalam pengujian

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar serta kaitannya dengan sifat final

dan mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi. Kedua, penelitian ini diharapkan

mampu memberikan sumbangsih pemikiran dan gagasan yang bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan hukum, terutama berkaitan dengan konteks

kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, lebih khusus lagi

berkaitan dengan penjatuhan putusan bersyarat dalam perkara pengujian undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Ketiga, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi

masyarakat luas, terutama berkaitan dengan bagaimana karakteristik dari putusan

konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan putusan inkonstitusional

bersyarat (conditionally unconstitutional) dalam pengujian undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar serta implikasinya terhadap sifat final dan

mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi. Keempat, hasil penelitian ini dapat

dijadikan referensi atau acuan baik bagi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
yang berwenang menjatuhkan putusan atas pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar, maupun bagi pihak-pihak lain yang berkaitan.

E. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan penulis baik di perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada maupun penelusuran melalui internet,

penulis tidak menemukan penelitian yang mengangkat judul Implikasi Putusan

Bersyarat dalam Pengujian Undang-Undang terhadap Sifat Final dan Mengikatnya

Putusan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian sebelumnya memang ada

beberapa penelitian yang juga membahas mengenai putusan bersyarat, antara lain:

Keaslian Pertama, Penulisan Hukum oleh Budiyanto berjudul Implikasi dan

Implementasi Putusan Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional)

dalam Pengujian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dalam Periode 2003-2008. Terdapat beberapa perbedaan yang fundamental antara

penelitian ini dengan penelitian di atas. Pertama, fokus penelitian yang dilakukan

penulis adalah berbeda dengan penelitian di atas. Penelitian di atas menekankan

pada putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), sedangkan

penulis membahas putusan bersyarat baik putusan konstitusional bersyarat

(conditionally constitutional) dan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally

unconstitutional). Kedua, penelitian di atas lebih menekankan pembahasan

mengenai implementasi dan implikasi putusan konstitusional bersyarat, sedangkan

penulis lebih menekankan pada implikasi dari putusan bersyarat baik secara

konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat terhadap sifat final dan


mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi. Ketiga, terkait dengan konteks waktu.

Penelitian di atas membahas mengenai putusan Mahkamah Konstitusi pada periode

2003 2008, sedangkan penulis tidak membatasi pembahasan putusan, sehingga

diharapkan pembahasan akan lebih komprehensif.

Untuk melihat perbedaan selanjutnya, maka Penulis akan mengutip rumusan

masalah dari penelitian di atas, yaitu:32

1) Apakah dasar pertimbangan MK dalam menetapkan putusan


konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) pengujian
undang-undang terhadap UUD NRI 1945?
2) Bagaimanakah implikasi dan implementasi putusan konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional) dalam pengujian undang-
undang terhadap UUD NRI 1945?
3) Bagaimanakah UU MK memastikan bahwa putusan konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional) di tindaklanjuti oleh organ
undang-undang sehingga kerugian konstitusional pemohon dapat
segera dipulihkan?
Berdasakan rumusan masalah tersebut, terlihat bahwa rumusan masalah

dalam penelitian ini dengan penelitian di atas adalah berbeda. Hal ini pun

menunjukkan perbedaan fokus pembahasan yang dilakukan oleh Penulis dengan

penelitian di atas.

Keaslian Kedua, Penulisan Hukum oleh Sri Wahyuni berjudul Pola dan

Bentuk Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam

Perkara Pengujian Undang-Undang untuk Mewujudkan Konstitusionalisme.

Penelitian ini memiliki beberapa perbedaan dengan penelitian tersebut. Pertama,

terkait fokus penelitian yang digunakan penulis berbeda dengan penelitian di atas.

32
Budiyanto, 2009, Implikasi dan Implementasi Putusan Konstitusional Bersyarat (Conditionally
Constitutional) dalam Pengujian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dalam Periode 2003-2008, Skripsi, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, hlm. 11.
Penulis di atas lebih menekankan pada pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi

secara umumnya, sedangkan penulis lebih fokus membahas mengenai implikasi

putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat atau

inkonstitusional bersyarat. Kedua, penulis penelitian di atas lebih membahas

mengenai pola dan bentuk pelaksanaan putusan yang dikaitkan dengan terwujudnya

konstitusionalisme, sedangkan penulis lebih berfokus pada pembahasan mengenai

implikasi putusan bersyarat terhadap sifat final dan mengikatnya putusan

Mahkamah Konstitusi.

Selain ketiga perbedaan di atas, rumusan masalah yang diangkat oleh penulis

berbeda dengan penelitian di atas, yang mana rumusan masalah dari penelitian di

atas, yaitu:33

1) Bagaimana pola dan bentuk pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi


Republik Indonesia dalam perkara pengujian undang-undang?
2) Apakah pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dalam perkara pengujian undang-undang sudah mewujudkan
konstitusionalisme?

Selain dua penelitian di atas, terdapat pula beberapa penelitian yang

membahas mengenai putusan bersyarat baik konstitusional bersyarat (conditionally

constitutional) atau konstitusional tidak bersyarat (conditionally unconstitutional).

Namun demikian, pembahasan yang dilakukan pada umumnya lebih membahas

mengenai implementasi putusan bersyarat baik yang konstitusional bersyarat atau

inkonstitusional bersyarat. Hal yang membedakan dengan penelitian-penelitian

yang telah ada sebelumnya adalah bahwa penelitian ini lebih fokus membahas

33
Sri Wahyuni, 2011, Pola dan Bentuk Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dalam Perkara Pengujian Undang-Undang untuk Mewujudkan Konstitusionalisme,
Skripsi, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm. 8.
secara mendalam mengenai implikasi dari putusan bersyarat terhadap sifat final dan

mengikatnya putusan Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan penjelasan di atas, jelas terdapat perbedaan yang signifikan

antara penelitian ini dengan penelitian yang telah ada sebelumnya. Selain itu

penelitian ini bukanlah merupakan tindakan plagiasi. Dengan demikian, unsur

keaslian penelitian ini dapat terpenuhi dan dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah.

Anda mungkin juga menyukai