Anda di halaman 1dari 24
‘YANG DINTAR, YANG KAVA eee en } Di muka bumi ini tidak ada satu pun yang menimpa orang-orang tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalak? penjara. Tapi dalam beberapa hal sekolah lebih kejam ketimbang perjara. Di penjara, misalnya, Anda tidak dipaksa membeli dan membaca buku-buku karangan Para sipir atau kepala penjara (Bernard Shaw dalam Parents and Children) Sampai tahun 2000, lebih dari enam juta Wnuk usia sekolah yang tidak mampu menyelesaikan lidikan tingkat dasar (Kompas 18 November 2000) miskinan sejak dulu susah didefinisikan, Ada yang kan, kalau kemiskinan diukur dari tingkat biaya kon- | Sedang yang lain, indikator kemiskinan adalah depri- | Wadan Pusat Statistik Nasional mendefinisikan garis kemiskinan dari ah yang dibelanjakan untuk memenuhi Kebutuban konsumsi 2 ORANG MISEIN OILARANG SrHOLAW viasi atau kehilangan kemampuan, seperti penurunan tingkat gizi, buta huruf, dan buruknya akses pada pelayanan keseha- tan. Beberapa yang lain mendefinisikan kemiskinan dari pen- dapatan yang mereka terima?. Akan tetapi “garis kemiskinan’ juga bisa terukur dari bentuk bangunan’. Kalau definisi yang satu ini, saya sendiri pernah alami. Gara-gara tidak bisa bayar ‘SPP, saya kemudian memutuskan untuk minta keterangan Kepa- la Desa, surat yang mencantumkan kalau saya tergolong ke- luarga pra sejahtera. Bekal surat inilah yang membikin saya mendapatkan beasiswa, Beasiswa orang miskin, ukurannya waktu itu adalah surat keterangan kepala desa. Untung waktu itu, sekolah saya, sebuah kampus swasta yang hingga kini ong- kosnya mahal, memiliki belas kasihan pada orang miskin. Apa~ lagi paras muka mauput. ukuran tubuh saya memenuhi syarat kemiskinan ini. Kemiskinan dalam dunia pendidikan memiliki wajahnya yang asli, perlu dikasihani, bahkan kalau perlu, men- jadi alat promosi. Beasiswa untuk orang miskin menjadi ben- dera yang diagung-agungkan tiap sekolah. Dengan kata lain, Kemiskinan kenyataannya layak jual. Alkisah saya mendapat brosur promosi sebuah kampus. Satu halaman penuh diisi dengan foto bangunan kampus ber- sama para mahasiswanya yang habis diwisuda, Tertera di bro- sur tentang beasiswa yang ditawarkan, di antaranya untuk mere- setara dengan 2,100 kalori per kapita per hari, ditambah kebutuhan pokok lainnya, seperti sandang. pangan, perumahan, keschatan dan pendidikan, Lih Kompas 22 Desember 2003. ? UNDP (Program Pembangunan PBB) mendefinisikan ‘garis kemiskinan’ scbagai orang yang bekerja dengan pendapatan dua dotar AS atau Sekitar Rp 17.000 per hari. Lih Kompas 22 Desember 2003. BPS DKI memberikan indikator penduduk miskin adalah penduduk dengan rumah berlantai tanah, luas rumah di bawah delapan meter per segi, pola makanan tidak berganti-ganti, dan tidak mampu membeli pakaian baru. Li Kompas 22 Desember 2003. YANG DINTAR YANG WAYA ka yang berprestasi dan mereka yang tidak mam- pu. Disitu memang tidak dijelaskan, bagaimana memperoleh beasiswa ini. Tapi upacara pemberian stopmap-yang dimuat di atas kalimat pemberian bea- Siswa untuk siswa tidak mampu-makin menunjukkan bagaimana watak sosial se- buah sekolah. Sekolah bukan urusan bisnis melulu tapi juga mampu memberi kesempatan gratis pada siswa yang tidak mampu. Yang tidak mampu wa- jib disantuni, Yang miskin harus tetap diberi keistimewaan. Ba- gaimana kriteria orang miskin yang berhak memperoleh beasis- wa? Urusan menetapkan kemiskinan itulah yang makin susah, _ ditengah krisis ekonomi yang belum selesai. Realitas kemiskin- an jauh lebih sulit didefinisikan apalagi dinikmati. Karena kita ‘tahu, jumlah orang miskin makin bertambah saja dari hari ke hari. Laporan Gerakan Anti-Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menyebut, sebelum krisis sekitar 20 juta warga Indo- o OLANG AISWIM DILARANG Sr¥#LAW | nesia berada di bawah garis kemiskinan*. Sesudah krit | lah itu meningkat sampai dua kalinya, Dalam berita Ia jum- takan, penduduk miskin di Indonesia jumlahnya 37,4 juta dan itu belum termasuk propinsi Aceh dan Papua*. Sedang jika di- ukur kemiskinan dari kehilangan kemampuan, diperoleh data seperti: setiap hari lahir sekitar 11.000 anak Indonesia, namun 800 di antaranya meninggal sebelum usia lima tahun oleh pe- nyakit-penyakit yang sebenamya bisa dicegah. PEMILU BESOK PILIH SAYA LAGI | ; MASA JABATAN KEDUA SAYA PAS: | LRANTAS 4 TI LEBIM BERPENGALAMAN !t Data lain mengatakan, angka kematian ibu melahirkan ti- dak pernah turun dari 360 per 100.000 kelahiran hidup meskipun angka sebenarnya boleh jadi lebih dari dua kalinya. Data Per- serikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (UNICEF) menyatakan, * Meski jumlah orang miskin berbeda-beda ditinjau dari pendefini- sian akan tetapi yang menarik di Indonesia, seperti yg dikatakan Direktur Regional Asia Pasifik Organisasi Perburuhan Intemnational/ILO, Indonesia baik sebelum maupun setelah krisis jumlah orang miskinnya tetap, Lik Kompas 2 Mei 2002 * Lih Kompas 27 Oktober 2003. 10 ‘YANG PATA YANG Kaa dua sampai tiga juta anak Indonesia akan disebut sebagai gene- rasi yang hilang akibat kekurangan pangan, penyakitan dan tidak berpendidikan*. Tidak berpendidikan ini, pada kenyataannya, menjadi salah satu biang keladi tingginya angka kematian. Pada- hal berulang-ulang, sejak zaman Pak Harto, ada kebijakan pe- merintah tentang wajib belajar. Tapi nasib program ini, tidak ferlalu jelas, karena badai reformasi telah membikin sckolah menggerakkan program dengan semangat pedagang. |_ Hingga sekarahg perkera wajib belajar itd juga ndak ae eu) ljagang, gurunya bergaya ala militer, muridnya kaya Peete he toa “Li Kompas 17 Oktober 2003. ORANG MISKIN DILARANE SrweLau Ekspresi demikian ini terekam dalam jajak pendapat yang dilakukan harian Kompas’, Tidak kurang dari 42% responden berpendapat, biaya sekolah di SD saat ini ‘sangat mahal. Kemu- dian 45% menganggap biaya SMP saat ini mahal dan 51% me- nyatakan biaya SMU saat ini mahal. Jangan tanya bagaimana biaya di perguruan tinggi, tentu jauh lebih mahal. Walaupun dasar hukum konstitusional menyatakan kalau negara mengelu- Bicara kualitas, seorang peneliti pendidikan, menulis di KOMPAS 17 Agustus 2003, menuruttemuannya gf rata-rata setiap murid sd kelas 3 sampai kelas 6 dalam setiap kuartal mempelajari sejumlah buku yang bila ditimbang beratnya 43 kilogram! mee; LUAR BIASA RATA-RATA BERAT SEORANG MLIRID SD SAA TAK SAMPAI SEMASIFF ITU. *Lih Kompas 9 Juni 2003. YANG MOFTAR YANG Kala arkan anggaran 20% untuk biaya pendidikan, akan tetapi, di sisi dain, ada desakan untuk pelaksanaan otonomi dan pengurangan subsidi. Kebijakan yang saling bertolak belakang ini, ujung- ujungnya membawa korban masyarakat umum. Keluhan me- ngucur deras dari banyak anggota masyarakat, mengenai biaya hingga kualitas. Sebab soalnya sama, tingginya biaya tak seca- fa olomatis membikin pendidikan jadi lebih berkualitas. Bica- rakualitas, saya ingin menyitir pendapat seorang peneliti pendi- dikan*; menurut temuannya, rata-rata setiap murid SD kelas 3 ‘sampai kelas 6 dalam setiap kuartal mempelajari sejumlah buku bila ditimbang beratnya 43 kilogram! Luar biasa, sebab Tata-rata berat seorang murid SD bahkan tak sampai angka itu. Begitulah, kualitas bukannya makin membaik tapi terus jiksa. Ada campur-aduk antara beban kurikulum dengan nan berbagai instansi. Dulu ketika sekolah SMP, saya me- kan bagaimana sibuknya bersekolah. Kami dididik baris- is selama dua minggu olch para serdadu, tiap pagi dari delapan hingga sepuluh pagi. Pokoknya kami dilatih ba- kaki kami melakukan: langkah balik kanan, balik kiri, h penghormatan, dan sebagainya. Muka para serdadu ini serius, sehingga dalam pikiran saya, jangan-jangan ada asing mau melakukan invasi. Tidak saja serdadu, tapi i juga dipungut biaya untuk nonton film perjuangan. Saya bagaimana digiring masuk gedung bioskop untuk melihat dari Serangan Fajar hingga pemberontakan G 30'S PKI’. * Lin Kompas 17 Agustus 2003. Saya pikir kegiatan ini sudah tidak lagi berjalan, sampai suatu saat membaca berita yang bikin sakit perut, bunyinya: Siswa SD disuruh ‘honton ketoprak sant jam belajar dengan biaya Rp 1500 per siswa, Pertun- _jukan ini dilangsungkan saat jam pelajaran. Sebunyak 163 siswa dari 167 ‘menyaksikan pertunjukan. Dalam berita itu dinyatakan kalau pertunjukan ini hanya menjadi bancakan berbagai pihak. Lih Bernas 4-4-2002. B ORANG WISIN DILARANE SrHOLAU Menjelang masuk SMA dan Perguruan Tinggi maka kami ha- Tus mendengar penceramah yang non-stop bicara tentang Panca- sila dan semua butir-butimya. Kegiatan itu populer dengan nama Penataran. Selain itu, sekolah memang kegiatan yang membi- ngungkan, karena kami terlalu banyak mengkonsumsi ancaman. Kalimat ‘tidak naik kelas' menjadi mantera yang disampaikan para guru jika menyaksikan muridnya tidak tertib, Termasuk seandainya terlambat membayar SPP. ‘Yat. ONTAR YONG WA SPP ini yang jadi perkara menyakitkan, Dengarlah keluh- ‘fan seorang ibu rumah tangga": Setiap sekolah membuat atur- “an sendiri-sendiri untuk mendapatkan uang dari para siswa- nya. Anak saya tahun ini saja sudah menghabiskan sekitar dua "juta hanya buat sumbangan-sumbangan yang tidak jelas untuk “apa. Padahat waktu pendaftaran kemarin kami juga sudah di- minta sejuta lebih buat vang bangkw. Inilah sekolah kita, dalam - Soal pembiayaan membingungkan dan tidak transparan, Dalam ‘Salah satu riset pada sebuah perguruan tinggi, Francis Waho- no" mengungkapkan, bagaimana sejumlah pos pengeluaran -fawan untuk dikorupsi dan terjadi banyak miss-management, ferutama pengeluaran untuk pos administrast dan alat-alat. Ke- _terbukaan dan minimnya keterlibatan orang tua didik dalam pengelolaan dana menjadi masalah utama lembaga pendidikan _ sekarang. Itulah mengapa banyak kalangan khawatir atas sejum- dana yang disalurkan untuk program pendidikan, di an- taranya seperti dana kompensasi BBM Pendidikan yang pada ‘ 2003 mencapai Rp 1,155 trilyun’”. Kritikan atas penyaluran dana ini, lagi-lagi pada transpa- -fansi dan pertanggungjawaban, Temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) tentang tidak transparanny pengelolaan Anggar- ® Lih Kempax 9 Juni 2003 “Lih Francis Wahono, Kapitalisme Perididikan, Antara Kompetisi Keadilan. INSIST Press, Cindelaras dan Pustaka Pelajair, 2001, “Program ini diltincurkan pertama kali oleh Departemen Perxlidikien Nasional bersania Departemen Agama pada pertengahan Juli 2001, Dana kali disalurkan pada September 2001, Dana kompensasi itu disalur- dalam bentuk beasiswa dengan mempergunakan mekanisme jaring peng- Jaman Sosial (JPS) dan dikirim melalui giro pos. Untuk keamanan, penyatur- annya langsung diawasi olch Komite Kabupsten, yang kint berganti nama ‘menjadi Dewan Pendidikan, Usulan nama-nama yang mendapat beasiswa ditentukan dari bawah, pemerintah hanya mengalokasikan jumlah dana yang diterima setiap kabupaten/kota berdasarkan indeks kemiskinan. Lih Kou pas 3 Januari 2003, bi) ORANG MISWIN DILARANG Sr¥oLau an Pendaptan dan Belanja Sekolah (APBS) pada Sekolah Me- nengah Petama, Sekolah Menengah Atas, dan Sckolah Dasar makin menbuktikan betapa buram wajah pendidikan kita, Hal yang samaberlaku untuk beasiswa, keluhan disampaikan teru- tama menyangkut kriteria yang menerima, karena ada orang mampu yeig memperolch dana, sedang yang tidak mampu se- baliknya. Belum lagi persoalan adanya anak yang mendapatkan beasiswa dobel. Ada lagi, dalam suatu pemberitaan dinyatakan bagaiman: Sejumlah propinsi tidak tuntas menyalurkan dana subsidi BEM". CW MENCAIAT MANIPULAS! DANA PENULISAN IJAZAH YANG A UNTUK KEGHTAN PALANG MERAH DIANGGARKAN RP 435 JUTA . SEBUAH SMU TERNYATA HANYA BAYA RP 900,000. (Pm) OF SSEBESAR P 4.2 JUTA YANG \DIBEBANKAN KEPADA ORANG { SISWA NAMIN KEGIATAN ITU TIDAK AENGALOKSICAN BP" TB MENGALOKISIKAN 3.8 || RINGKASNYA 'APBS DAN UANG PUNGUTAN UTA ANGGHAN RAPAT PARA |] NON APBS TIDAK TRANSPARAN DAN GURU DAN KPALA SEKOLAH || KEPALA SEKOLAH TIDAK PERNAH UNTUK 30 JALIL NYATANYA, RAPAT HAYA Sé KALI MEMPERTANGGUNG JAWABKAN PENGGUNAAN MAUPUN SISANYA, BACALAH KOMPAS 7 NOVEMBER 2003 © Lih Jompas 8 Januari 2003. ug Vabee NTA WANE KAA Bantuan untuk pendidikan memang jumlahnya cukup be- aapalagi terdapat andil berbagai lembaga international. Con- phnya, seperti bantuan dari International Bank for Reconstruc- and Development (IBRD) yang memberikan bantuan ope- terhadap sejumlah lembaga pendidikan"’. Hal yang sa- oleh Pemerintah Belanda, yang memberikan hibah membangun sekolah-sekolah yang hancur karena keru- Ini belum terhitung bantuan dari berbagai perusahaan be- mengucurkan dana pada sejumlah sekolah maupun sis- ang tidak mampu. Seperti halnya yang dilakukan Perusa- Penerbangan Singapura Airlines (SIA), yang memberikan. ituan biaya pendidikan sebesar Rp 10 milyar bagi pelajar In- ssia di tingkat SD, SLTP, SLTA, hingga perguruan tinggi. itu dibagi untuk masa 7 tahun dan dialokasikan pada 4.000 lajar’*. Tapi bagaimana dampak bantuan-bantuan itu? Apa- lah bantuan ini memang mengangkat banyak orang miskin se- Lih Kompas 4 Agustus 2003. © Lih Kompas 14 Maret 2002. ORANC MISWIN DILARANC SrvOLAU hingga mampu mencicipi pendidikan? Atau bantuan ini telah berhasil mendirikan sekolah yang kokoh, baik dalam bangunan maupun metodologi pengajaran? Semua harapan ini jauh dari maksud semula. Sekolah nyatanya masih belum bisa menjang- kau kebutuhan riil mayoritas warga miskin. Hal ini di antaranya banyak disebabkan oleh kebijakan pendidikan yang masih bermasalah. Alokasi untuk dana pen- didikan masih sangat kecil. Jika pendidikan didanai 20% dari APBN mustinya sektor pendidikan memperoleh-anggaran sebe- sar Rp 80 triliun dari total APBN sebesar Rp 300 triliun. Tapi pada kenyataannya, dana untuk sektor pendidikan hanya ber- kisar Rp 13,6 triliun atau sekitar 4% dari APBN. Bahkan de- ngan alasan yang dikesankan ‘masuk akal’, alokasi 20% ini dicicil sehingga baru pada tahun 2009 terealisir. Padahal, dalam amandemen UUD 1945 pasal 31 ditetapkan bahwa kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar bagi tiap warga (pasal 31 ayat 2) dan kewajiban pemerintah dan DPR mempri- oritaskan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD (pasal 31 (4) UUD 1945). Jika kemudian ada kesepa- katan untuk ‘mencicil” anggaran itu, berarti pemerintah meng- abaikan pasal-pasal UUD 1945. Padahal dalam ketentuan ini sudah jelas tercantum bahwa pendidikan dari tingkat dasar hing- ga SMP, jika merujuk pada ketentuan UUD 1945, gratis dalam arti tidak dipungut bayaran, karena memang tugas dan tanggung jawab pemerintah, Tapi sebaliknya keadaan yang terjadi, selain untuk bersekolah dipungut bayaran, ketentuan pembayaran itu scenaknya ditetapkan olch pihak sckolah, bukan diatur oleh UU". Inilah salah satu sebab mengapa pendidikan kita rusak- rusakan seperti sekarang. “ Di Inggris penentuan vang kuliah dilakukan melalui UU yang di- sepakati parlemen, scdang di Indonesia hal demikian tidak terjadi. Di Ing- 18 awe naan Wane Wave Padaha! pekerjaan rumah pendidikan sangat banyak, pa- tidak dalam soal pemberantasan buta aksara. Hingga 2002 Jereatat sebanyak 17,079,220 dari 220 juta lebih penduduk ia atau 7,763 persen yang tidak bisa baca-tulis. Mereka buta aksara. Sedangkan untuk anak-anak pra-sekolah 4-6 tahun yang belum tertampung pada lembaga pen- in sebanyak 1 1.298.070 orang. Mereka yang mengalami Sekolah Dasar per tahunnya ada sekitar 3 juta orang. Da- rs PM Tony Blair bahkan nyaris mendapat mosi tidak percaya karena pem- yyaan pendidikan yang tinggi. Urusan rusak bangunan bahkan hanya sam- ‘di Menko Kesra, tidak pada Presiden. Lik H. Soedjiarto, “Soal 20% Dana Pendidikan’, Kompas 20 Februari 2004 19 ORANG MISHIN DILARANG SFHOLAU pat Anda bayangkan, betapa terseok-seoknya negara ini untuk mengurus pendidikan penduduknya sendiri. Ini baru soal peng- entasan buta huruf, belurn jika kita menginjak masalah soal mutu pendidikan, Hasil survei menunjukkan prestasi buruk pendidik- an negeri ini: Laporan Bank Dunia menyebutkan ketrampilan membaca siswa kelas 4 SD Indonesia paling rendah di Asia Timur. Lalu, prestasi siswa SLTP dalam mata pelajaran IPA menempati urutan ke-32 dan matematika urutan ke-34 dari 38 negara. Soal daya saing, Indonesia menduduki ranking ke-37 dari $7 negara’. Tantangan untuk meningkatkan mutu ditam- bah dengan kecilnya dana membikin negara ini makin tampak memalukan kalau ngomong soal pendidikan. Dana kecil mengakibatkan sekolah tidak bisa berdiri de- ngan bangunan fisik yang kuat. Bayangkan, data tahun 2000 me- nunjukkan ada 800 ribu ruang belajar SD yang tidak dapat dipa- kai". Ini data yang mengejutkan, sebab mengikuti data Kompas, jumlah ruang belajar SD hanya ada sekitar 900 ribu ruang! Be- tapa parah. Kerusakan fisik yang terkadang membawa korban, membikin sekolah harus membangun ruang sendiri. Kerusakan ini bahkan bisa mendorong tingginya angka putus sekolah, se- lain kematian akibat rontoknya gedung sekolah. Benar-benar mengenaskan, padahal kita menyaksikan bagaimana pemerin- tah maupun sektor swasta menggenjot untuk bangunan hotel, tugu, atau bahkan patung kota, yang menghabiskan biaya pu- luhan miliar. Malah, ada gedung sekolah yang dibiarkan ter- lantar karena muridnya di-merger dengan sekolah lain. Keti- dakmampuan pemerintah untuk mengurus gedung sekolah ini menunjukkan betapa beratnya masalah yang melingkari dunia pendidikan kita. Dengan kehancuran banyak gedung sckolah, "" Lih Kompas 28 September 2001. “Lik Kompas 18 November 2000. ‘Wan DTA Vane Waa ‘apalagi ditambah konflik bersenjata di beberapa daerah, masa- Jah dunia pendidikan makin masuk ke ngarai yang dalam, BELAJAR DAPAT DIPAKAI |, SIDANG SOAL PENDIDIKAN MAH GARING _NDAK DUITNYA, KAPAN LAG! KITA BISA FOYA,- FOYA GINI KALAL NGGAK (LAG! BERKUASA, SIAPA TAHU PEMILU BESOK PARTA) KITA KALAH Parahnya lagi, jika biaya pendidikan mahal maka pen- likan bisa menjadi biang utama proses pemiskinan. Pertama Halui pintu penarikan biaya yang amat tinggi kepada siswa. Solo misalnya, sejumlah sekolah negeri favorit memasang if tinggi di balik kedok wang sumbangan sukarela orangtua '*. Pintu penarikan biaya ‘awal’ ini kemudian ditambahi ” Di jenjang SMU tarif masuk sekolah berkisar antara Rp 12,5-15 untuk SMP antara Rp 7,5-10 juta, dan SD sekitar Rp 1-3 juta. Di Ta- 21 TRANG WISKIN DILARANG Sr¥OLAD dengan uang buku dan seragam, dimana sekolah bekerjasama dengan berbagai perusahaan penerbitan serta pedagang kain. Walaupun ada ‘kemewahan’, yakni beasiswa maupun bantuan dana bagi siswa yang tidak mampu, tetapi hal ini tidak begitu Saja menyelesaikan masalah, Lagi-lagi muncul metode penetap- an siapa yang ‘patut’ mendapat bantuan dan bagaimana meka- nisme penyaluran bantuan. Di sini masuklah masalah yang saya katakan sejak awal, yakni tansparansi dan akuntabilitas penyaluran dana, Hawa korupsi yang berputar di lingkungan cclite ternyata juga menyentuh sektor pendidikan. Sudah jadi ru- mor umum bahwa semua yang menyangkut pendidikan ‘dipro- yekkan’, dari alat-alat sekolah hingga kegiatan siswa. Ongkos telah membelit semua komponen pendidikan kita. Mereka yang menjadi korban utama dan pertama, adalah para orang tua mu- rid. Pintu berikutnya, yang kadang keterlaluan, adalah kegi- atan siswa menjelang akhir Sekolah, di antaranya wisata dan tambahan les pelajaran, Saya pernah mengalami, bagaimana se~ kolah--tempat adik kandung--meminta ongkos Rp 450-500 ribu untuk kegiatan yang kadang berbuah kecelakaan. Dengan alas- an mengunjungi tempat-tempat bersejarah, orang tua harus dibe- bani pembayaran transportasi hingga memberi uang saku. Be- jum lagi, ongkos untuk wisuda yang kini sudah menjadi ritual pada setiap jenjang lembaga pendidikan. Hal yang mengejutkan, terdapat sekolah yang merayakan kelulusan siswanya di hotel berbintang. Sungguh memalukan, saat kualitas pendidikan bera- da pada posisi nomor buncit, masih saja kita ‘unjuk gigi’, Sal unjuk memalukan ini, pendidikan kita memang jago: tiap kelu- lusan, ada konvoi sepeda motor yang putar-putar tanpa mengin- mngering dan Jakarta kondisinya sama, untuk SD dan SMP dikenai sumbang- aan rata-rata Rp 1-2 juta. Lin Koran Tempo 2 Juli 2002. 22 ‘VANE TAR YANG WAV ih rambu jalan, memakai seragam dicat warra-warni. Mo- Me untuk meniru yang sensasional, memang “keahlian’ peserta didik. Namanya meniru, tentu harus mengeluarkan ongkos yang -. Saat ulus itulah kesempatan untuk melakukan eksploitasi. Mari kita urutkan proses eksploitasi ujian akhir ini dengan deretan kegiatan yang di luamya tampak lazim, tapi sebenar- | nya pengurasan uang. Ujian akhir biasanya diikuti jerat biaya, 2 ORANG MISWIN DILARANC SEWOLAD kemudian jika hasil ujian buruk maka keluarlah biaya lagi un- tuk mengulang. Hasil ujian yang dicetak dalam ijasah juga kena biaya legalisir. Lantas keluar lagi biaya ketika diputuskan lu- lus, tiap siswa yang lulus diminta memberi sumbangan, seperti buku untuk perpustakaan-bahkan ada sekolah yang sudah menetapkan judul yang wajib dibeli, Kemudian, acara itu tadi, yakni wisuda yang ongkosnya lumayan mahal, Ringkasnya, masuk sekolah bayar vang, keluar pun bayar lagi. Ini untuk seko- lah yang tingkat dasar dan lanjutan, belum jika bicara pendi. dikan kanak-kanak dan pendidikan tinggi. Dua lembaga pendi- dikan ini, meski jarak waktu di antaranya cukup lama, tapi terkadang biayanya sama “mengejutkan’, Untuk taman kanak- Kanak saja, biayanya bisa membuat kita tertawa sekaligus me- nangis, karena ada biaya untuk tambahan pelajaran musik, wi- sita, dan terakhir wisuda. Pintu biaya seputar lingkungan sekolah ini kemudian di- pertajam dengan kebijakan pemerintah yang menghapus berba- gai subsidi. Sektor publik menjadi korban utama. Salah satu- nya adalah bidang angkutan umum., Kenaikan ongkos angkut- an umum ini berdampak pada uang transportasi siswa. Selan- jutnya, tarif listrik yang mengalami kenaikan, otomatis memukul biaya rumah tangga di tiap keluarga serta ongkos produksi se- jumiah barang industri. Beban biaya yang dalam perhitungan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan stabilitas makro memi- liki efek langsung pada lembaga pendidikan, Mahalnya ongkos pendidikan ini, selain karena kebutuhan untuk menyediakan prasarana dan sarana fisik sekolah, juga didorong kebijakan ne- Bara yang mau melepaskan tanggung jawab. Sekolah kemudi- an menjadi perantara dari kebijakan represif negara, lewat ‘kenaikan harga kebutuhan sekolah, hingga belitan SPP, Jika diringkas: melalui kebijakan penghapusan subsidi, sekolah me- nempatkan diri sebagai arena pasar yang menjadi perebutan ber- 4 “YRC YONA YAN Ma | kekuatan ekonomi, sebagaimana tertcra pada tabel di ba- [Neos] cece Bf Eee Ss — ia i menjadi proses yang berjalan seperti mesin ‘Orang tua seperti berhadapan dengan situasi daru- mampu mengambil pertimbangan. Setoran untuk se~ dengan bayaran untuk kesehatan. Keduanya ditem- sebagai kebutuhan primer. Orang tua tak segan-segan, dengan meminjam kesana-kemari, ‘nambal’ biaya se- Bagaimanapun, ada pandangan yang terlanjur menjadi , bahwa pendidikan adalah tangga untuk naik ke kelas yang lebih baik. Kebutuhan untuk sekolah seperti untuk makan dan minum. Tiap tahun ajaran baru, segenap daya upaya, para orang tua menyisingkan le- mencari biaya agar anaknya bisa sekolah. Terdapat kisah mengharukan bagaimana kerja keras orang tua- tidak mampu-dalam menyckolahkan anaknya. Tiap orang 3 ORANG MISKIN DILALANG SrWOLAU q Harga semua ae +] barang ikut naik ey t a Bales PEMERINTAH YANG LAIN JUGA MENVEBABKAN RAKYAT SEMAKIN SULIT UNTUK MENDAPATKAN PENDIDIKAN, KEBLJAKAN PEMERINTAH ITU SECARA. Ce eee eee tt a tet eee tua menyimpan kisah yang menakjubkan bagaimana ‘mengen- taskan’ anaknya agar menjadi ‘orang berhasil’ melalui sekolah. Tidak percaya? Bacalah Perjalanan Anak Bangsa, kumpulan 18 kisah nyata tentang proses asuhan dan sosialisasi orang In- donesia yang diterbitkan LP3ES, Semua anak memiliki peng- alaman jerih-payah dalam menempuh sekolah. Kebanyakan di antaranya, melihat sekolah sebagai kercta besar menuju status sosial yang lebih tinggi. Karcnanya, mereka mengeluarkan apa saja, termasuk biaya untuk bisa menikmati sckolah. Kini biaya itu kian membumbung sejak sekolah menjadi program kalang- 26 YONG DONA YAN WAY sta, yang meletakkan sekolah sebagai lembaga untuk me- h laba. ‘Swastanisasi menjadi biang keladi utama yang merasuki baga pendidikan. Ada kepentingan kalangan pemodal yang Mmenyelinap ketika mereka mendirikan sekolah. Sekolah seper- sebuah pabrik yang nanti mengeluarkan makhluk yang ber- ma macam-macam. “Normal!’-nya sekolah, akan menghasil- Serene Yang Less Seite see es, Solan ekolah one * akan menelurkan anak didik yang memiliki ke- di pives Hictenvecmastaie Tapi sekolah yang umum an mencetuskan banyak pengangguran, Padahal, mana peduli olah dengan lulusannya yang penganggur? Sekolah memang n monster yang haus akan wang, tapi yang benar, sekolah 1s memakan biaya. Dari tahun ke tahun, sekolah me- ongkos dengan alasan bermacam-macam. Anchnya, jinya biaya kadang tidak menyentuh nasib guru atau fasilitas eects tans sated paooraia Buku menjadi uatu yang mahal untuk beberapa sekolah, meskipun budaya tampaknya belum sepenuhnya diadopsi kultur pen- Swastanisasi lembaga pendidikan, bahkan dengan dasar kan otonomi membikin sekolah perlu mencari penghasilan penghasilan yang lagi dikutip dari orang tua siswa. " seperti apa yang dialami kampus-kampus negeri ini, yang dikeluhkan adalah biaya kuliah yang membum- Meski menggunakan nama yang beragam dalam melaku- en calon mahasiswa, ujung-ujungnya tetap saja pe- biaya. Apalagi untuk strata yang lebih tinggi, seperti dan $3, ongkosnya kadangkala menakjubkan. Ini seperti naik angkutan, makin nyaman kendaraan yang Anda i, makin tinggi biaya yang harus Anda keluarkan. Artinya, in sekolah itu stratanya naik ke puncak maka biaya yang a ORANG MISKIN DILARANG SrYOLAU dikenakan juga makin naik. Kelebihan sekolah memang terletak pada kecanggihannya memberikan ‘mimpi’. Lihatlah iklan se- kolah, yang terasa amat menjanjikan di tengah himpitan kemis- kinan yang menyakitkan. ‘YANG PINT VANE Wa Swastanisasi terjadi karena negara malas mengambil pe- n. Anggaran pendidikan yang jauh lebih murah ketimbang an pertahanan” membikin penguasa jadi kelihatan tidak k. Pendidikan yang berulang-ulang disebutkan dalam si, temnyata cuma “pemanis’ saja. Maka dengan membi- mahal sekolah, pendidikan merupakan penyumbang utama zkatan populasi orang miskin, Proyek kemiskinan berhasil at jasa liberalisasi pendidikan, Apslagi jika kita lihat ke- ilan sekolah dalam mencetuskan pengangguran, maka plitlah tuduhan kita semua, bahwa sekolah hanya akan smbuat spiral kemiskinan yang tak berujung. Ini seperti ter- ra dari spiral di bawah ini, bagaimana siklus kemiskinan makin epat arusnya ketika orang miskin memutuskan untuk be- at sekolah. Tapi kalau orang miskin itu kita ganti dengan kaya, maka siklusnya akan lain. Apalagi jika gerakan olah mahal ini dikaitkan dengan tatanan ekonomi global yang uga mendorong terbitnya kapitalisasi pendidikan. rm SEKOLAH LULUS MISKIN PENGANGGURAN i ® Anggaran sektor pendidikan sekitar Rp 14 triliun atau 4,9% dari 29

Anda mungkin juga menyukai