Anda di halaman 1dari 23

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Quality of Life

2.1.1 Definisi Quality of Life

Kebanyakan ahli berpendapat bahwa lingkup dari konsep dan

pengukuran kualitas hidup harus berpusat pada persepsi subjektif individu

mengenai kualitas hidup dan kehidupannya sendiri (Mendlowicz & Mauro,

2000). Mendukung pernyataan tersebut, Ruggeri, Warner, Bisoffi & Fontecendo

(2011) mengatakan bahwa kualitas hidup subjektif memiliki kekuatan prediktif

yang lebih tinggi daripada kualitas hidup objektif. Carr & Higginson (2006)

bahkan mengatakan bahwa kualitas hidup merupakan suatu konstruk yang

bersifat individual. Berdasarkan hal ini, komponen objektif dari kualitas hidup

tidak mempengaruhi kualitas hidup itu sendiri secara langsung melainkan

diperantarai oleh persepsi individu. Kualitas hidup merupakan interaksi antara

penghayatan subjektif dan bobot kepentingan dalam/dari aspek-aspek kehidupan

tertentu, dengan beberapa faktor kondisi kehidupan yang dapat berpengaruh

ataupun tidak tergantung dari persepsi individu mengenai berbagai kondisi

kehidupan.

Liu mengatakan bahwa terdapat banyak definisi kualitas hidup dengan

jumlah yang sama dengan jumlah manusia (Felce & Perry, 2005). Dengan kata

10

http://digilib.mercubuana.ac.id/
lain, tiap-tiap manusia memiliki definisi mereka masing-masing mengenai

kualitas hidup. Pernyataan Liu ini juga mengindikasikan bahwa kualitas hidup

adalah sebuah konsep yang bersifat sangat subjektif. Sifat subjektif dari kualitas

hidup ini membuat konseptualisasi dari kualitas hidup bervariasi antara satu

peneliti dengan yang lain. Molnar (2009) mengatakan bahwa pada dasarnya

menyusun konsep mengenai kualitas hidup adalah hal yang sulit. Meskipun

secara umum kualitas hidup menggambarkan kesejahteraan individual dari suatu

masyarakat (Liao, Fu & Yi, 2006), sulit untuk mendapatkan konsensus dalam

mendefinisikan kualitas hidup secara operasional (Liao, Fu & Yi, 2006).

Untuk mempermudah konseptualisasi mengenai kualitas hidup, Moons,

Marquet, Budst, & de Geest (2004) menyebutkan hal-hal penting dalam

konseptualisasi kualitas hidup: (1) kualitas hidup tidak boleh disamakan dengan

status kesehatan ataupun kemampuan fungsional, (2) kualitas hidup lebih

didasarkan oleh evaluasi subjektif daripada parameter objektif, (3) tidak terdapat

perbedaan yang jelas antara indicator-indikator kualitas hidup dengan faktor

yang menentukan kualitas hidup, (4) kualitas hidup dapat berubah seiring waktu,

namun tidak banyak, (5) kualitas hidup dapat dipengaruhi secara positif maupun

negative. Dengan mempertimbangankan kelima criteria tersebut, Moons,

Marquet, Budst, & de Geest (2004) mendefinisikan kualitas hidup sebagai

berikut:

The degree of overall life satisfaction that is positively or


negatively influenced by individuals perception of centain aspects of life
important to them
(Marquet, Marquet, Budst, & de Geest, 2004)

11

http://digilib.mercubuana.ac.id/
Berdasarkan definisi ini, dapat dilihat bahwa kualitas hidup berkaitan

dengan persepsi individu mengenai beberapa aspek kehidupan yang penting

baginya. Lebih lanjut lagi, Bergner menemukan bahwa kualitas hidup akan

meningkat seiring dengan menipisnya diskrepansi antara tujuan yang telah

dicapai dengan tujuan yang ingin dicapai (OConnor, 2013). Berdasarkan hal ini,

OConnor (2013) mengemukakan bahwa persepsi individu mengenai diskrepansi

antara apa yang ada/ terjadi saat ini dengan apa yang mungkin dapat ada/ terjadi

merupakan faktor utama penentu kualitas hidup individu. Dengan demikian,

dapat disimpulkan pula bahwa tinggi rendahnya kualitas hidup seseorang dapat

dilihat dari diskrepansi yang dirasakan oleh individu itu sendiri antara kondisi

kehidupannya saat ini dengan kondisi kehidupan tertentu yang diinginkan.

Definisi kualitas hidup yang sedikit berbeda dibuat berdasarkan WHO

yakni kualitas hidup sebagai persepsi individu mengenai posisi mereka dalam

kehidupan dilihat dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal

serta hubungannya dengan tujuan, harapan, standar, dan hal-hal lain yang

menjadi perhatian individu (Power, 2013). Definisi kualitas hidup berdasarkan

WHO ini menekankan adanya persepsi dari individu mengenai posisi kehidupan

mereka saat ini dan persepsi individu ini dapat dipengaruhi oleh budaya dan

sistem nilai di mana individu tinggal. Bila dikaitkan dengan definisi yang

dikemukakan oleh OConnor (2013), dalam mempersepsi posisi kehidupannya

saat ini, individu melihat seberapa jauh perbedaan antara kondisi kehidupannya

saat ini dengan kondisi kehidupan yang diinginkan oleh individu. Jadi, individu

menilai kondisi kehidupannya saat ini dengan melihat jarak antara posisi

12

http://digilib.mercubuana.ac.id/
kehidupannya saat ini dengan kehidupan yang ia inginkan. Dikaitkan kemnali

pada definisi kualitas hidup yang dikemukakan oleh Moons, Marquet, Budst &

de Geest (2004), kondisi kehidupan yang dipersepsi oleh individu dalam

kaitannya dengan kualitas hidup adalah kondisi kehidupan individu dalam

beberapa aspek yang penting bagi individu itu sendiri.

Berdasarkan beberapa definisi ini, peneliti menyimpulkan bahwa kualitas

hidup adalah penilaian subjektif individu mengenai posisi kehidupannya saat ini

pada beberapa aspek kehidupan yang penting baginya.

2.1.2 Aspek-aspek Quality of Life

Molnar (2009) mengatakan bahwa kualitas hidup ditentukan oleh

beberapa komponen ya
yang juga merepresentasikan aspek-aspek kehidupan. Lebih

spesifik lagi, Carr & Higginson (2006) mengatakan bahwa kualitas hidup

ditentukan aspek-aspek yang dianggap penting dalam kehidupan seseorang.

Kedua pernyataan ini sesuai dengan definisi kualitas hidup yang digunakan

dalam penelitian ini yakni kepuasan subjektif mengenai kondisi kehidupan

individu saat ini terhadap beberapa aspek kehidupan yang penting bagi individu

itu sendiri.

Lebih jauh lagi, Perry & Felce (2005) mengatakan bahwa hal-hal yang

dianggap penting oleh tiap-tiap individu berbeda satu dengan lainnya. Aspek

kualitas hidup bersifat sangat individual karena hal-hal yang penting bagi satu

individu akan berbeda dengan individu yang lainnya. Perry & Felce (2005)

mengatakan bahwa hanya individu sendiri yang dapat menentukan pengaruh dari

13

http://digilib.mercubuana.ac.id/
aspek-aspek kehidupan terhadap kesejahteraan hidupnya. Berawal dari

pemikiran mengenai aspek kualitas hidup yang dapat berbeda antara individu

yang satu dan yang lainnya, berbagai studi kualitas hidup meneliti mengenai

aspek-aspek kehidupan yang penting bagi individu dalam hubungannya dengan

kualitas hidup. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi aspek kualitas hidup

berdasarkan Kolman antara lain adalah kehidupan keluarga (hubungan dan

situasi dalam keluarga), kesejahteraan psikologis (struktur psikologis dari

manusia), aspek-aspek fungsional (pekerjaan), aspek-aspek somatic (kesehatan),

aspek-aspek lingkungan (kerja sama dengan lingkungan sekitar), aspek-aspek

eksistensial yang berupa kondisi kehidupan (Molnar, 2009). Sedangkan menurut

Wardhani (2006) kualitas hidup merupakan produk dari interaksi antara aspek

sosial, kesehatan, dan ekonomi.

Felce & Perry (2005) melakukan review literatur-literatur dari berbagai

penelitian yang menghasilkan aspek-aspek kualitas hidup dan mengelompokkan

aspek-aspek kualitas hidup yakni physical wellbeing (terdiri dari aspek-aspek

kesehatan, kebugaran, keamanan fisik, dan mobolitas), material wellbeing

(terdiri dari aspek-aspek pendapatan, kualitas lingkungan hidup, privacy,

kepemilikan, makanan, alat transportasi, lingkungan tempat tinggal, keamanan,

dan stabilitas), social wellbeing (terdiri dari hubungan interpersonal dan

keterlibatan dalam masyarakat), development and activity, emotional wellbeing

(terdiri dari afek atau mood, kepuasan atau pemenuhan kebutuhan, kepercayaan

diri, agama, dan status/ kehormatan).

14

http://digilib.mercubuana.ac.id/
Menurut WHO (Power, 2013) kualitas hidup meliputi empat domain

yaitu:

1. Domain fisik yang terdiri dari kenyamanan fisik dalam beraktivitas,

tenaga yang dimiliki dan perasaan lelah, kesempatan untuk tidur dan

istirahat.

2. Domain psikologis yang terdiri dari perasaan positif, kemampuan

berfikir dan belajar saat menghadapi masalah, kemampuan mengingat

dan konsentrasi dalam menjalankan usaha, harga diri, gambaran dan

penampilan diri.

3. Domain hubungan sosial yang terdiri dari hubungan perorangan,

dukungan sosial, aktivitas seksual.

4. Domain lingkungan yang terdiri dari keamanan lingkungan rumah,

sumber penghasilan, kesehatan dan perhatian sosial, kesempatan untuk

memperoleh informasi baru, partisipasi dalam kesempatan berekreasi

dan waktu luang.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Quality of Life

Terdapat penelitian-penelitian ataupun argumentasi yang berkaitan

dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Faktor-faktor yang

didapatkan mempengaruhi kualitas hidup tidak selalu sama antara penelitian

yang satu dengan yang lain. Beberapa penelitian mengemukakan faktor-faktor

individual yang dapat mempengaruhi kualitas hidup. OConnor (2013)

mengatakan bahwa kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh standar referensi yang

15

http://digilib.mercubuana.ac.id/
digunakan seseorang seperti harapan, aspirasi, perasaan mengenai persamaan

antara diri individu dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan defenisi kualitas

hidup berdasarkan WHO bahwa kualitas hidup akan dipengaruhi oleh harapan,

tujuan dan standar dari masing-masing individu (Power, 2013).

Selain itu terdapat juga penelitian dan argumentasi yang

mengindikasikan adanya pengaruh dari faktor budaya terhadap kualitas hidup.

Fadda & Jiron (2009) mengatakan bahwa kualitas hidup bervariasi antara

individu yang tinggal di kota/ wilayah satu dengan yang lain bergantung pada

konteks budaya, sistem, dan berbagai kondisi yang berlaku pada wilayah

tertentu. Beberapa penelitian juga menemukan adanya pengaruh dari variabel

demografis seperti penghasilan, status pernikahan, dan tingkat pendidikan

terhadap kualitas hidup (Liao, Fu & Yi, 2006). Para ahli menyimpulkan bahwa

beberapa faktor demografis yang berpengaruh terhadap kualitas hidup individu,

yaitu gender/ jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan,

penghasilan, dan hubungan dengan orang lain.

2.2 Spiritualitas

2.2.1 Definisi Spiritualitas

Kata spiritual berasal dari bahasa Latin yaitu spiritus yang berarti

hembusan atau bernafas, kata ini memberikan makna segala sesuatu yang

penting bagi hidup manusia. Seseorang dikatakan memiliki spirit yang baik jika

orang tersebut memiliki harapan penuh, optimis dan berfikir positif, sebaliknya

16

http://digilib.mercubuana.ac.id/
jika seseorang kehilangan spiritnya maka orang tersebut akan menunjukkan

sikap putus asa, pesimis dan berfikir negatif (Roper, 2012).

Terdapat berbagai definisi spiritual menurut sudut pandang masing-

masing. Menurut Delaney (2005) spiritualitas adalah fenomena multidimensi

yang menghasilkan pengalaman universal, bagian konstruk sosial dan

perkembangan individu sepanjang hidup. Mahmoodishan & Vlasblom (2012)

mendefinisikan spiritualitas merupakan konsep yang luas, sangat subjektif dan

individualis, diartikan dengan cara yang berbeda pada setiap orang. Definisi lain

menyatakan bahwa spiritualitas merupakan bagian inti dari individu yang tidak

terlihat dan memberikan makna dan tujuan hidup serta hubungan dan keterikatan

dengan Yang Maha Tinggi yaitu Tuhan (McEwen, 2014). Spiritualitas berbeda

dengan agama, spiritualitas merupakan konsep yang lebih luas yang bersifat

universal dan pribadi sedangkan agama merupakan bagian dari spiritualitas yang

terkait dengan budaya dan masyarakat (McEwen, 2014).

Tischler (2009) mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau dengan suatu

cara berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang

individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka,

memberi, dan penuh kasih. Fernando (2006) yang mengatakan bahwa

spiritualitas juga bisa tentang perasaan akan tujuan, makna, dan perasaan

terhubung dengan orang lain.

Definisi yang digunakan dalam penelitian ini, spiritualitas merupakan

kepercayaan yang mengacu pada adanya pengalaman, baik itu pengalaman

positif ataupun pengalaman negatif, yang diperoleh dari hubungan dengan diri

17

http://digilib.mercubuana.ac.id/
sendiri, hubungan dengan kehidupan sosial dan lingkungan, serta hubungan

dengan Tuhan.

2.2.2 Aspek-Aspek Spiritualitas

Delaney (2005) menegaskan bahwa spiritualitas mencakup tiga aspek

utama yang digunakan untuk mengukur spiritualitas individu yang meliputi:

a. Penemuan diri (self-discovery), yaitu perjalanan spiritual yang dimulai

dari refleksi diri dan pencarian arti serta tujuan. Proses penemuan diri

merujuk pada bagaimana seorang wirausaha mensyukuri hal-hal yang

berkaitan dengan usaha yang telah dirintis selama ini, yang tidak terlepas

dari tujuan hidup yang ingin dicapai ke depannya.

b. Hubungan (relationships), yaitu hubungan integral pada orang lain

berdasar rasa hormat yang mendalam, hubungan tersebut meliputi

hubungan terhadap keluarga, dan lingkungan sekitar.

c. Kesadaran ekologi (eco-awarenesshigher power/universal intelligence


intelligence),

yaitu hubungan integral kepada Tuhan dan adanya kesadaran terhadap

lingkungan yang dijadikan acuan dalam menjalankan wirausaha.

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang (Taylor, dkk.,

2007), yaitu:

18

http://digilib.mercubuana.ac.id/
a. Tahapan Perkembangan

Setiap individu berbeda dalam pemenuhan spiritualitas sesuai dengan

usia, jenis kelamin, agama, dan kepribadian individu. Spiritualitas

merupakan bagian dari kehidupan manusia dan berhubungan dengan

proses perubahan dan perkembangan pada manusia.

b. Budaya

Setiap budaya berbeda dalam bentuk pemenuhan spiritualitas. Budaya

dan spiritualitas menjadi dasar sesorang dalam melakukan sesuatu dan

menjalani cobaan atau masalah dalam hidup dengan seimbang.

c. Keluarga

Keluarga sangat berperan dalam perkembangan spiritualitas individu.

Keluarga adalah tempat pertama kali individu mendapatkan pengalaman

dan pandangan hidup. Melalui keluarga, individu belajar tentang Tuhan,

kehidupan, dan diri sendiri. Keluarga memiliki peran yang penting dalam

memenuhi kebutuhan spiritualitas, dikarenakan keluarga memiliki ikatan

emosional yang kuat dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari

dengan individu.

d. Agama

Agama sangat mempengaruhi spiritualitas individu. Agama merupakan

suatu sistem keyakinan dan ibadah yang dipraktikkan individu dalam

pemenuhan spiritualitas individu. Agama merupakan cara pemeliharaan

hidup terhadap segala aspek kehidupan.

e. Pengalaman Hidup

19

http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif mempengaruhi

spiritualitas seseorang. Pengalaman hidup mempengaruhi seseorang

dalam mengartikan secara spiritual terhadap kejadian yang dialaminya.

Pengalaman hidup yang menyenangkan dapat menyebabkan seseorang

bersyukur atau tidak bersyukur.

2.3 Konsep Life Satisfaction

Life satisfaction (Kepuasan hidup) didefinisikan sebagai tingkatan

perilaku individu terhadap kualitas hidup mereka yang dapat disamakan dengan

kebahagiaan. Komponen kepuasan hidup telah dijadikan konsep sebagai evaluasi

kognitif dalam hidup seseorang (Pavot & Diener, 2008). Hal tersebut dapat

dikatakan bahwa kepuasan hidup merupakan penilaian evaluatif setiap individu

terhadap keseluruhan hidupnya. Lebih lanjut, Diener (1984) mengatakan bahwa

life satisfaction merupakan penilaian secara kognitif mengenai seberapa baik dan

memuaskan hal-hal yang sudah dilakukan individu dalam kehidupannya secara

menyeluruh dan atas area-area utama dalam hidup yang mereka anggap penting

(domain satisfaction) seperti hubungan interpersonal, kesehatan, pekerjaan,

pendapatan, spiritualitas dan aktivitas di waktu luang.

Karakteristik individu yang memiliki life satisfaction yang tinggi antara

lain memiliki keluarga dan teman dekat yang supportif, memiliki pasangan yang

romantis, memiliki aktivitas pekerjaan dan aktivitas pensiun yang berharga,

menikmati waktu santai mereka dan mempunyai kesehatan yang baik. Individu

dengan life satisfaction tinggi dikatakan juga tidak memiliki masalah dengan

20

http://digilib.mercubuana.ac.id/
kecanduan alkohol, obat-obatan atau judi (Diener, 1984). Diener (1984) juga

mengatakan bahwa individu yang memiliki life satisfaction yang tinggi adalah

individu yang memiliki tujuan penting dalam hidupnya dan berhasil untuk

mencapai tujuan tersebut. Jadi, individu yang life satisfaction-nya tinggi merasa

bahwa hidup mereka bermakna dan mempunyai tujuan dan nilai yang penting

bagi mereka.

Hubungan antara kepuasan kerja dan kepuasan hidup adalah penting

karena kepuasan dalam bekerja menjadi salah satu faktor penyebab terwujudnya

kepuasan hidup seseorang. Penelitian tentang kepuasan hidup yang dilakukan

oleh Feldman (2000) menemukan bahwa kepuasan yang diperoleh dari kegiatan

wirausaha berpengaruh terhadap kepuasan hidup wirausahawan secara

keseluruhan, kesejahteraan psikologis secara minat mereka untuk tetap

berwirausaha. Diener menemukan sejumlah faktor yang mempengaruhi

kepuasan seseorang (Iverson & Maguire, 2008). Menurut Diener, seseorang

yang jumlah pendapatannya lebih besar daripada yang lain cenderung akan lebih

bahagia. Mereka memiliki kemampuan yang lebih untuk membeli barang/jasa

sesuai keinginan. Dengan kata lain, pendapatan yang lebih besar merupakan

salah satu faktor yang dapat meningkatkan kepuasan hidup seseorang (Heuwel,

2007).

Penelitian lain dari Kuratko (2007) menemukan bahwa salah satu tujuan

seseorang berwirausaha adalah untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan

mendapat jaminan untuk mewariskan usahanya di masa depan. Dengan kata lain,

kesejahteraan keluarga yang terjamin akan membuat hidup seseorang lebih

21

http://digilib.mercubuana.ac.id/
bahagia. Temuan tersebut sesuai dengan penelitian tentang kepuasan hidup yang

dilakukan oleh Iverson & Maguire (2008) yang menemukan faktor-faktor yang

mempengaruhi kepuasan hidup meliputi faktor-faktor yang berkaitan dengan

pekerjaan, pribadi, lingkungan dan masyarakat.

Diener (1984) mengatakan bahwa dalam komponen life satisfaction ini

terdapat lima aspek yang meliputi area work, family, leisure, health, finances,

self dan ones group. Lima aspek tersebut adalah:

1. Keinginan untuk mengubah kehidupan,

2. Kepuasaan terhadap hidup saat ini,

3. Kepuasan hidup di masa lalu,

4. Kepuasan terhadap kehidupan di masa depan,

5. Penilaian orang lain terhadap kehidupan seseorang.

Oleh karena itu, peneliti ingin menyimpulkan definisi life satisfaction

(kepuasan hidup) adalah tingkat di mana seseorang menyukai hidupnya secara

keseluruhan yang merujuk kepada kebahagiaan. Kepuasan hidup seseorang

dapat diukur melalui keinginan untuk mengubah kehidupan, kepuasan terhadap

hidup saat ini, masa lalu, dan masa depan, serta penilaian orang lain terhadap

kehidupan seseorang.

2.4 Dewasa Awal

2.4.1 Definisi Dewasa Awal

Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus

yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau

22

http://digilib.mercubuana.ac.id/
telah menjadi dewasa. Masa dewasa (adulthood) biasanya dimulai dari usia 20-

an hingga usia tua atau hingga meninggal (Ciccarelli & Meyer, 2006). Tentunya,

untuk menentukan awal periode masa dewasa bukanlah perkara yang mudah,

karena itu terdapat beberapa ahli yang memeliki pendapat berbeda. Namun, hal

ini bukanlah merupakan perbedaan yang substansial tetapi sebagai langkah awal

untuk mengkaji mengenai pekembangan manusia khususnya pada masa dewasa.

Papalia, Olds, & Feldman (2008) mengungkapkan bahwa kelompok

dewasa awal ((young


young adulthood
adulthood)) berkisar antara usia 20-40 tahun, dimana pada

masa ini terjadi pelepasan peran sebagai remaja ke peran baru sebagai dewasa

awal. Namun di Indonesia, awal bata usia dewasa awal dimulai dari 25 tahun

hingga 40 tahun, karena menurut Sarwono (2006) batasan remaja untuk

masyarakat Indonesia berakhir pada usia 24 tahun dan dinyatakan belum

menikah.

Santrock (2002) mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk

bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan

sedikit waktu untuk hal lainnya. Kenniston mengemukakan masa muda (youth)

adalah periode kesementaraan ekonomi dan pribadi, dan perjuangan antara

ketertarikan pada kemandirian dan menjadi terlibat secara social (Santrock,

2002). Dua kriteria yang diajukan untuk menunjukkan akhir masa remaja dan

permulaan dari masa dewasa awal adalah kemandirian ekonomi dan kemandirian

dalam membuat keputusan. Mungkin yang paling luas diakui sebagai tanda

memasuki masa dewasa adalah ketika seseorang mendapatkan pekerjaan penuh

waktu yang kurang lebih tetap (Santrock, 2002). Pada masa ini terjadi perubahan

23

http://digilib.mercubuana.ac.id/
fisik dan psikologis pada diri individu yang disertai berkurangnya kemampuan

reproduktif. Merupakan masa dimana individu tidak lagi harus bergantung

secara ekonomis, sosiologis, maupun psikologis pada orang tuanya, masa untuk

bekerja, dan terlibat dalam hubungan masyarakat, serta menjalin hubungan

dengan lawan jenis.

2.4.2 Perkembangan Dewasa Awal

1. Perkembangan Kognitif

Kemampuan kognitif yang menonjol pada dewasa awal, menurut

Piaget ditandai dengan masa operasi formal ((formal operation


operation), mereka

telah mampu berpikir abstrak, menghubungkan konsep-konsep,

membuat kesimpulan secara logis-sistematis (Santrock, 1995).

2. Perkembangan Psikososial

Pada tahap perkembangan psikososial ini, individu berada dalam

sebuah situasi dimana kehidupan rumah tangga, membangun keluarga,

dan pekerjaan menjadi wacana-wacana yang penting. Menurut Erikson

(dalam Indragiri, 2008) baru pada usia dewasa inilah individu faktanya

memiliki kesiapan dari dalam dirinya sendiri (genuine readiness) untuk

menjalin keintiman sosial dengan individu lain.

Seorang ahli psikoanalisis, Erikson menyatakan bahwa krisis

utama yang terjadi pada perkembangan dewasa awal adalah intimacy

versus isolation, yaitu masa dimana tugas utama perkembangan mereka

adalah menemukan mate atau pasangan (Papalia, 2008). Mereka

24

http://digilib.mercubuana.ac.id/
mencoba mengembangkan hubungan yang berarti dengan orang lain,

membagi perasaan, pengalaman maupun gagasan-gagasan guna

mencapai kehidupan yang intim, hangat dan menyenangkan. Sebaliknya,

bila seseorang tidak mampu mewujudkan tujuan tersebut, menurut

Erikson, maka ia akan menemui pengalaman isolasi yaitu suatu krisis

yang ditandai dengan perasaan keterpisahan seseorang dengan

lingkungan sosialnya.

Pada masa dewasa awal, perubahan-perubahan yang juga akan terjadi

adalah mengenai cara berpikir orang dewasa awal yang mulai berbeda dengan

remaja (Santrock, 2002). Individu yang berada pada tahap dewasa awal mulai

menyadari perbedaan pendapat dan berbagai pespektif yang dipegang oleh orang

lain. Pada masa dewasa awal, individu akan mulai berubah dari mencari

pengetahuan, menerapkan apa yang diketahui untuk mengejar karir dan

membentuk keluarga. Berikut ada beberapa fase yang akan dilewati setiap

individu ketika memasuki masa dewasa awal (Santrock, 2002), yaitu:

a. Fase Mencapai Prestasi

Fase ini adalah fase di mana dewasa awal melibatatkan penerapan

intelektualitas pada situasi yang memiliki konsekuensi besar dalam

mencapai tujuan jangka panjang, seperti pencapaian karir dan

pengetahuan. Para individu yang mulai memasuki dewasa awal akan

mampu menguasai kemampuan kognitif yang dimiliki, sehingga

memperoleh kebebasan yang cukup.

25

http://digilib.mercubuana.ac.id/
b. Fase Tanggung Jawab

Memasuki fase tanggung jawab, dimana fase ini terjadi ketika

keluarga terbentuk dan perhatian diberikan pada keperluan-keperluan

pasangan dan keturunan. Perluasan kemampuan kognitif yang sama

diperlukan pada saat karir individu meningkat dan tanggung jawab

kepada orang lain akan muncul dalam pekerjaan dan komunitas.

c. Fase Eksekutif

Fase ini terjadi ketika individu mulai memasuki masa dewasa

tengah, dimana seorang individu mulai bertanggung jawab kepada sistem

kemasyarakatan dan organisasi sosial. Pada fase ini, individu mulai

membangun pemahaman tentang bagaimana organisasi sosial bekerja

dan berbagai hubungan kompleks yang terlibat didalamnya.

d. Fase Reintegratif

Fase reintegratif adalah fase yang akan terjadi di akhir masa

dewasa, dimana orang dewasa yang lebih tua memilih untuk

memfokuskan tenaga mereka pada tugas dan kegiatan yang bermakna.

2.5 Konsep Wirausaha

Wirausaha berasal dari kata wira & usaha. Kata wira artinya pahlawan

atau pejuang, sedangkan usaha artinya adalah perbuatan, sikap atau berbuat

sesuatu. Seorang wirausahawan menurut Schumpeter (1999) adalah seorang

inovator yang melakukan berbagai perubahan didalam pasar lewat

26

http://digilib.mercubuana.ac.id/
penggabungan beberapa hal atau sesuatu yang baru

(www.seputarpengetahuan.com). Beberapa ahli mengemukakan pendapat

mengenai definisi wirausaha, diantaranya Hadipranata (2008) mengemukakan

bahwa wirausaha merupakan sosok yang mengambil resiko yang dibutuhkan

untuk mengelola dan mengatur segala urusan serta menerima sejumlah

keuntungan financial maupun non financial. Selain itu, pendapat lain

dikemukakan oleh Zimmerer (2000), kewirausahaan ialah penerapan

keinovasian dan kreativitas untuk pemecahan masalah dan memanfaatkan

berbagai peluang yang dihadapi orang lain setiap hari. Sedangkan menurut

Robbin & Coulter (2002), kewirausahaan merupakan suatu proses dimana

seseorang ataupun suatu kelompok individu menggunakan upaya yang

terorganisir dan sarana untuk mencari sebuah peluang dan menciptakan suatu

nilai yang tumbuh dengan memenuhi kebutuhan dan keinginan melalui sebuah

inovasi dan keunikan, tidak mempedulikan apapun sumber daya yang digunakan

pada saat ini. Oleh karena itu, pengertian wirausaha dapat disimpulkan bahwa

menciptakan sebuah usaha atau bisnis yang dihadapkan dengan resiko dan

ketidakpastian.

Beberapa peluang sebagai keuntungan yang memberikan dorongan kuat

seseorang untuk berwirausaha adalah sebagai berikut (Suharyadi, 2007):

1. Mempunyai kebebasan mencapai tujuan yang dikehendaki

Wirausaha memberikan kebebasan kepada setiap kepada setiap orang

untuk menentukan tujuannya sendiri.

27

http://digilib.mercubuana.ac.id/
2. Mempunyai kesempatan untuk menunjukkan kemampuan dan

potensi diri secara penuh

Banyak orang menyadari bahwa menjadi pekerja itu terkadang sangat

membosankan, tidak menantang, dan sangat tidak menarik. Namun,

bagi wirausahawan hal tersebut tidak berlaku, bahkan bekerja dan

bermain hampir tidak ada bedanya.

3. Memperoleh manfaat dan laba yang maksimal

Dengan membuka usaha, ada manfaat yang mengembangkan diri

seperti dapat membuka lapangan kerja bagi orang lain, membantu

yang tidak mampu, dan memperoleh laba yang cukup banyak

sehingga dapat menikmati kehidupan yang lebih baik.

4. Terbuka kesempatan untuk melakukan perubahan

Menjadi seorang pengusaha mempunyai kebebasan untuk mengubah

kondisi perubahan sesuai dengan keinginan yang sudah dipikirkan

dengan matang dan risiko yang diperhitungkan dengan cermat.

5. Terbuka peluang untuk membantu masyarakat dalam menciptakan

lapangan kerja

6. Terbuka peluang untuk berperan dalam masyarakat dan mendapatkan

pengakuan atas usaha mereka.

28

http://digilib.mercubuana.ac.id/
Meredith (Suharyadi, 2012) mengemukakan ciri-ciri wirausahawan

sebagai berikut:

1. Percaya Diri

Segala sesuatu yang telah diyakini dan dianggap benar harus

dilakukan sepanjang tidak melanggar hokum dan norma yang

berlaku. Percaya diri merupakan sikap dan keyakinan untuk memulai,

melakukan, dan menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang dihadapi.

2. Berorientasi pada Tugas dan Hasil

Apa yang diakukan seorang wirausahawan merupakan usaha untuk

mencapai tujuan yang telah ditentukan.

3. Berani mengambil resiko

Resiko usaha pasti ada, tidak ada jaminan suatu usaha akan

mengalami keuntungan terus-menerus. Oleh karena itu, untuk

memperkecil kegagalan usaha maka wirausahawan harus mengetahui

peluang kegagalan.

4. Kepemimpinan

Wirausahawan yang berhasil ditentukam pula oleh kemampuan

dalam memimpin.

5. Keorisinilan

Nilai keorisinilan dari semua yang dihasilkan oleh wirausahawan

akan sangat menetukan keberhasilan mereka dalam mencapai

keunggulan bersaing.

29

http://digilib.mercubuana.ac.id/
6. Berorientasi pada Masa Depan

Memiliki pandangan jauh ke depan dan bila perlu sudah tiba lebih

dahulu pada masa depan merupakan kemampuan yang biasanya ada

pada setiap wirausahawan yang sukses.

2.6 Kerangka Pemikiran

Setiap orang pasti menginginkan kualitas hidup yang baik, termasuk para

wirausahawan. Menurut WHO, kualitas hidup merupakan penilaian subjektif

individu mengenai posisi kehidupannya saat ini pada beberapa aspek kehidupan

yang penting baginya, termasuk aspek fisik, psikologis, hubungan dengan orang

lain, dan lingkungan (Power, 2013). Kualitas hidup yang baik diperoleh tidak

terlepas dari pekerjaan yang digeluti oleh seseorang. Dalam penelitian ini,

pekerjaan yang dimaksud adalah berwirausaha. Dengan berwirausaha maka para

pelakunya akan memperoleh berbagai pengalaman baik itu yang positif ataupun

yang negatif. Pengalaman yang dimiliki oleh wirausahawan muda tidak lepas

dari hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan lingkungan sosial, dan

hubungan dengan Tuhan. Di mana pengalaman tersebut merupakan bagian dari

spiritualitas yang memiliki pengaruh terhadap kualitas hidup. Kebanyakan

wirausahawan tidak memperhatikan kesadaran terhadap lingkungan dan jarang

sekali ditemukan seorang wirausahawan yang mau berlaku jujur dalam

berbisnis. Studi terdahulu yang dilakukan oleh Baker (2003) memaparkan bahwa

spiritualitas memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan, maka pengalaman yang diperoleh sepanjang hidup

30

http://digilib.mercubuana.ac.id/
seseorang akan mempengaruhi kualitas hidup, pengalaman tersebut juga menjadi

dasar dalam memaknai peluang yang diperoleh dalam hidupnya sebagai hasil

interaksi dengan lingkungan dan pencapaian keselarasan hidup. Penelitian lain

juga pernah dilakukan oleh Young (2012) yang menunjukkan bahwa efek positif

dari spiritualitas dapat meningkatkan kualitas hidup, karena dengan

mendekatkan diri kepada Tuhan maka akan mengurangi stres yang diperoleh

dari kehidupan sehari-hari.

Selain adanya pengalaman yang tidak terlepas dari spiritualitas, kepuasan

hidup berwirausaha juga dapat meningkatkan kualitas hidup. Dengan

berwirausaha, dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi para pencari kerja.

Dunia wirausaha menimbulkan ketertarikan tersendiri bagi orang-orang yang

berkeinginan untuk memulai dan mengembangkan usahanya sendiri.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa seorang wirausahawan pada umumnya

memiliki karakteristik tertentu meliputi kemampuan berinovasi, rasa percaya

diri, keberanian mengambil resiko, dan kebutuhan akan keberhasilan (Finnie &

La Portie, 2007). Penelitian lainnya dari Kuratko, dkk., (2007) juga menemukan

bahwa wirausahawan mendapatkan kepuasan lebih dari usahanya sendiri

dibandingkan saat mereka masih menerima gaji/upah dari orang lain. Kepuasan

dari usaha yang mereka jalankan menurut penelitian Heuwel, dkk., (2007) akan

berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang. Dengan berwirausaha, maka

peluang untuk membuktikan kemampuan diri, menggunakan keahliannya dalam

bekerja, serta mendapatkan pengakuan publik bila mampu mengelola usahanya

dengan baik. Menurut penelitian Finnie & La Portie (2007), kebutuhan akan

31

http://digilib.mercubuana.ac.id/
keberhasilan mendorong seseorang untuk mencari peluang berwirausaha dengan

harapan dapat memperoleh kepuasan yang lebih besar dalam bekerja. Dengan

demikian, kepuasan tersebut dapat menimbulkan perasaan kebahagiaan yang

dapat membantu dalam meningkatkan kualitas hidup.

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka diperoleh bagan kerangka

pemikiran sebagai berikut:

Wirausahawan
Muda

Quality of Life
(Kualitas Hidup)
H1 H2

Spiritualitas Life Satisfaction


(Kepuasan hidup)
H3

2.7 Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas dapat diajukan hipotesis penelitian, yaitu:

H1 : Ada pengaruh spiritualitas terhadap kualitas hidup (quality of life) pada

wirausahawan muda.

H2 : Ada pengaruh life satisfaction terhadap kualitas hidup (quality of life)

pada wirausahawan muda.

H3 : Ada pengaruh spiritualitas dan life satisfaction terhadap kualitas hidup

(quality of life) pada wirausahawan muda.

32

http://digilib.mercubuana.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai