Anda di halaman 1dari 3

Birokrasi Indonesia zamam Orde Baru dan zaman Reformasi,

adakah perubahnnya?

Birokrasi di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan bureaucratic polity. Model


ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan
menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang
berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel.
Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada
pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran structural dalam birokrasi yang tidak
terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses
perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan
ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu
pemaksaan.

Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang
berkembang di Indonesia adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisein dan
mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.

Birokrasi Indonesia saat ini tidak bisa terlepas dari faktor sejarah. Sejarah telah
menciptakan birokrasi patrimonial. Birokrasi ini mendasarkan pada hubungan bapak
buah dengan anak buah (patron client) sehingga segala yang dikerjakan bawahan
hendaknya harus sesuia dnegan keinginan atasan. Hal ini menimbulkan bawahan
selalu tergantung pada atasan. Budaya patronase menimbulkan rasa ewuh pakewuh
yang berlebihan terhadap atasan.
Birokrasi di zaman orde baru ditandai dengan beberapa cirri-ciri seperti pegawai
negeri yang menjadi pengurus partai selain Golkar, maka dia akan tersingkirkan dari
jajaran birokrasi. Selain itu, orang atau sekelompok orang yang tidak berpihak pada
Golkar, maka bisa dipastikan akan mendapat perlakuan diskriminatif dalam birokrasi.
Jika suatu wilayah tidak merpakan basis Golkar, maka pembangunan akan sangat
tertinggal karena pemerintah lebih mengutamakan daerah yang merupakan basis
Golkar. Keberpihakan birokrasi terhadap suatu partai, tentu saja dalam hal ini Golkar,
akan mengurangi profesionalisme dari birokrasi tersebut. Dalam zaman orde baru
juga ada suatu kebijakan yang disebut zero growth. Adanya kebijakan zero growth
yang menyebabkan jumlah anggota birokrasi makin membengkak. Hal ini menjadikan
birokrasi tidak efisien karena jumlah pekerja dengan pekerjaannya tidak sebanding.

Pada awal reformasi dan pada masa orde baru pemerintahan yang baik belum juga
terlaksana. Misalnya saja dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja
berbelit-belit dan memerlukan waktu yang lama, tidak jelas. Membutuhkan biaya
tinggi karena ada pungutan-pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering
terbengkalai atau lamban dalam perbaikan. Masih banyak KKN yang terjadi dalam
lingkungan birokrasi.

Keterlibatan birokrasi dalam partai politik membuat pelayanan terhadap masyarakat


menjadi diabaikan, karena mereka lebih mementingkan kepentingan partai politiknya.
Dalam buku Birokrasi dan Politik di Indonesia, karangan Prof. DR. Miftah Thoha,
MPA, disebutkan bahwa

Upaya untuk netralitas birokrasi di zaman reformasi semakin berkembang. Hal ini
bermula ketika ada gerakan happening-art yang moderat berupa pelepasan seragam
KORPRI oleh dokter dan pegawai lingkungan UI yang diadakan oleh Forum Salemba
(Forsal), kemudian ada gayung bersambut berupa gerakan pernyataan yang sangat
keras seperti melakukan penghapusan unit KORPRI di Departemen Penerangan.
Selain itu gerakan juga berlangsung di legislative dalam perbedaan pernyataan sikap
kalangan muda FKP agar KORPRI dibubarkan atau bersikap netral dengan kalangan
tuanya, faksi Akbar Tanjung. Juga perbedaan pandangan Mendagri Syarwan Hamid
yang menginginkan birokrasi netral dan tidak menjadi pengurus politik berlawanan
dengan pandangan Mensesneg Akbar Tanjung yang menganggap berpolitik adalah
hak asasi PNS.
Kemudian ada pula tindakan presiden Abdurrahman Wahid yang menghapuskan
Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, dengan alasan bahwa departemen
tersebut bermasalah, banyak KKN, dan departemen itu dianggap telah mencampuru
hak-hak sipil warga negara.
Penghapusan dua departemen tersebut dapat dikatakan sesuai dengan prinsip
reinventing government atau ada pula yang menganggap hal ini sebagai langkah
debirokratiasasi dan dekonstruksi cabinet masa lalu yang dianggap terlalu berlebihan
mengintervensi kemerdekaan dan kemandirian publik.

Aturan induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan
Pemerintah/ 1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas
pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khusunya dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam pemerintahan Megawati, para menteri dalam kabinet masa itu melestarikan
tradisi Golkar, yaitu semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier
dengan non karier, serta jabatan birokrasi dengan jabatan politik. Hal ini menunjukkan
bahwa pada masa ini harapan untuk melakukan reformasi birokrasi tidak akan
terlaksana.

Saat membentuk cabinet yang pertama setelah Gus Dur terpilih, sedang terjadi
keributan tentang pengangkatan Sesjen di Departemen Kehutanan dimana sesjen
tersebut adalah orang dari partai yang sama dengan menteri kehutanan saat itu. Begitu
juga terjadi di beberapa departemen dan di Diknas, BUMN, dan lain-lain. Ada
beberapa eselon yang diangkat yang dia merupakan orang dari partai yang sama
dengan menteri yang membawahi departemen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
bagaimana suatu birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari intervensi partai politik.

Setelah reformasi, pemerintah berusaha memperbaiki keadaan birokrasi Indonesia,


yaitu dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang mengatur tentang
pemberantasan KKN dan menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan
bertanggung jawab. Diantaranya adalah Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya


pemberantasan korupsi juga dikeluarkan, antara lain, Keppres Nomor 44 Tahun 2000
tentang Komisi Ombudsmen Nasional, sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 155
Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsmen Nasional;
PP Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah; PP Nomor 56 Tahun 2000 tentang Pelaporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah; dan PP Nomor 274 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Pasca reformasi, ikhtiar untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh
politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-
menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP
No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari
partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.

Meskipun sudah melakukan reformasi di tahun 1998 ternyata untuk melakukan suatu
perubahan dalam berbirokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal yang sangatlah sulit.
Kepentingan-kepentingan partai masih saja mengintervensi birokrasi pemerintahan di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai