Kota Pelajar
Kota Pelajar
Untuk menjadikan kota sebagai kota pelajar dlam makna label atau brand,
tidaklah mudah. Label atau brand itu biasanya muncul di atas pengakuan
masyarakat, yang kemunculannya diangkat oleh individu atau masyarakat tertentu
atas dasar karakteristiknya.
Khusus untuk sebuah kota, setidaknya bukanlah pengakuan, predikat, label, atau
brand kota pelajar yang kita inginkan, melainkan praksisnya. Untuk menjadikan
sebuah kota sebagai kota pelajar, apakah sebagai predikat, pengakuan, atau label,
atau sebatas praksis diperlukan pencapaian kriteria seperti: jenis dan jenjang
pendidikan, mutu pendidikan, sumberdaya, toko buku, sentra informasi, lingkungan
belajar, kondisi politik dan ekonomi masyarakat, jaringan informasi, biaya hidup dan
pemondokan, sarana transportasi, dukungan, dan pengakuan masyarakat.
Lingkungan Belajar
Meski dua lapis pondasi itu bersifat sinergis dalam menopang lahirnya sebuah kota
sebagai kota pelajar. Akan tetapi yang lebih utrama adalah apakah sekolah-
sekolah atau perguruan-perguruan tinggi di daerah ini siap dan mampu secara
kompetitif.
Pada tataran yang lebih luas, masyarakat dan orang tua murid bertanggung jawab
agar anak didik dapat menjadi manusia pembelajar. Terbentuknya anak didik
menjadi manusia pembelajar akan membuat mereka yang cerdas secara penalaran
akan terhindar dari penyakit berprestasi kurang.
1. Asesmen kebutuhan
Analisis atas kekuatan-kekuatan, dan kelemahan-kelemahan internal institusi
pendidikan.
2. Penyusunan program
3. Penentuan sumberdaya
Sumberdaya manusia
Sumberdaya finansial
Sumberdaya fasilitatif
Tapi lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Sekolah di Indonesia mata
pelajarannya? Ampun mak! Nih simak apa kata pakar, profesor Rhenald Kasali Ph.D;
salah satu idolaku.
Sebagian besar pembaca, mungkin dibesarkan dalam kultur ekonomi yang sulit sehingga
kaya dengan berbagai peribahasa seperti: Hemat Pangkal Kaya dan Rajin Pangkal
Pandai. Kita bermain layang-layang di antara pematang sawah yang tiada batasnya,
menangkap belut di antara lumpur-lumpur sungai yang airnya bening, bermain bersama
anak-anak kampung dengan tiada henti canda, tawa, dan keringat.
Bagaimana anak-anak kita sekarang? Lahan-lahan kosong telah berganti menjadi kebun
sawit atau perumahan mewah. Tak ada lagi lapangan badminton, arena bermain layang-
layang dan air yang mengalir bening. Pestisida dan pupuk kimia merusak tanah. Tapi
anak-anak punya mainan baru, Facebook, Twitter, online games, warnet, dan bimbel.
Pergaulan fisik diganti oleh dunia maya, statistic, dan ilmu berhitung diganti kalkulator
dan software. Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran sehingga masih banyak
waktu untuk bermain. Bagaimana anak-anak kita?
Bukannya dikurangi, tetapi semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak anak-
anak kita semakin banyak. Sewaktu saya menulis "Sekolah Untuk Apa?" minggu lalu,
saya menyebut anak saya di kelas sepuluh diharuskan menuntaskan 16 mata pelajaran,
seorang ibu menyurati saya karena anaknya yang belajar di MI diwajibkan tuntas 23
mata pelajaran. Sementara di New Zealand dan banyak negara maju anak-anak sekolah
hanya mengambil 6 mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit "The Power of
Simplicity", kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, "kalau terlalu mudah tidak
akan melahirkan kehebatan".
Bukan hanya itu, di banyak negara selain dirampingkan, mata ajar wajib juga dibatasi
hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan dengan karier masa depan.
Bagaimana di sini? Mata ajar yang banyak itu adalah mata ajar yang "sakral", wajib
diambil semuanya. Kesakralan itu sesungguhnya hanya semu saja, karena mata ajar
agama disamakan dengan berhitung dan sejarah ala kita, yaitu ala hafal-hafalan. Bukan
belajar dari sejarah, tetapi pengetahuan tentang sejarah. Bukan akhlak dan moral dalam
beragama, melainkan hafalan ayat. Dan bukan logika matematika, melainkan
bagaimana menurunkan rumus. Lengkaplah penderitaan anak-anak kita.
Mendidik bukanlah untuk melahirkan orang-orang yang bingung, tahu semua tapi selalu
bertanya "saya harus melakukan apa?" ini adalah realita, semakin banyak ditemui orang
yang tak bisa bekerja dengan prioritas. Anda mungkin pernah mendengar ucapan
Stephen Covey, "Dahulukanlah Yang Utama". Atau seperti kata Maxwell, "Bekerjalah
dengan prioritas karena 80% hasil yang engkau capai hanya berasal dari 20% upayamu."
Orang yang ingin menuntaskan semua tugas (dan banyak) bisa bagus di ijazah tapi bisa
bingung dalam kehidupan. Kata para ulama, kesempurnaan hanyalah milik Tuhan.
Tetapi seperti Michael Jackson yang sudah sempurna, manusia selalu ingin lebih
sempurna lagi, sampai akhirnya rusaklah wajah, tubuh dan kesehatan jiwanya.
Saya juga kurang mengerti kalau pendidik kurang memahami bahwa talenta
dan leadership merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup. Untuk itulah
talenta harus diasah, diberi ruang dan waktu agar ia
tumbuh. Leadership maupun entrepreneurship diasah dari keseharian di luar bangku
sekolah. Diuji dalam interaksi kehidupan.
Tentu saya bertanya-tanya kalau pendidikan kita dibuat lebih ramping apakah benar
menjadi lebih baik. Saya selalu teringat masa-masa memulai karir sebagai penguji di
program S3. Saat seorang tua, kandidat doktor diuji, yang mengajukan pertanyaan ada
13 orang hebat. Namanya juga orang hebat, pertanyaannya pasti sulit bagi seorang
pemula. Tetapi Semua penguji tidak puas, kandidat digoreng kekiri, diongseng ke kanan
hingga nyaris hangus. Di ruang rapat semua menyatakan tidak puas. Sebagai doktor
muda yang baru kembali dari sekolah doktor saya tak punya suara yang berarti. Saya
hanya bertanya, "beginikah cara bapak-bapak menguji seorang calon doktor?"
Semua orang terdiam, dan saya pun terkejut dengan pertanyaan saya. Beberapa orang
menatap tajam, karena mereka adalah mantan guru-guru saya dan terkenal di hadapan
publik. Karena malu telah berta-kata bodoh, saya teruskan saja berkata jujur. Saya
katakan kita harus percaya diri. Ujian dengan penguji sebanyak ini menunjukkan kita
kurang pede. Lagi pula tak ada yang bisa lulus dengan ujian seperti ini. Semua dosen
hanya marah-marah karena kepintarannya tak dimengerti orang lain, dan memberi
saran yang saling bertentangan.
Sayapun mengatakan andaikan saya yang diuji di sini, saya berani jamin saya pun tidak
akan lulus. Pertanyaan ujian terlalu luas. Di Amerika Serikat, kita hanya diuji oleh
empat orang pembimbing, dan bila kita bingung, kita tidak dibantai, malah dibantu. Di
Indonesia, kalau kita membantu mahasiswa kita dianggap berkolusi. Di SLTA negara-
negara maju, jumlah mata ajar memang ramping, tetapi sejak remaja mereka sudah
biasa membuat makalah dengan kedalaman referensi dan terbiasa bekerja dengan
metode ilmiah.
Saya tentu tak akan protes kalau dengan sekolah yang ditempa kesulitan ini kita bisa
pergi ke bulan. Fakta menunjukkan sebaliknya. Bahkan TKW yang Sekolah Dasarnya
ditempuh dengan sama beratnya dengan para dokter saja hanya berakhir di ujung
kesulitan. Tidakkah kita bertanya, jangan-jangan ada yang tidak beres dengan
kurikulum persekolahan kita?
Saya juga bertanya-tanya, akankah anak-anak dididik dengan baik kalau hanya belajar 6
mata pelajaran seperti di New Zealand, Denmark atau negara-negara industri lainnya?
Namun fakta yang saya temui, ternyata pendidikan yang hanya fokus pada enam mata
pelajaran itu menempatkan pendidikan New Zealand terbaik keenam di dunia. Rasanya
di sana juga tak ada siswa yang kesurupan saat ujian, apalagi contekan massal. Perlukah
kita meremajakan cara berpikir kita?