Anda di halaman 1dari 8

Siapa pelaku kekerasan seksual pada anak?

Justru orag yang memiliki hubungan dekat dengan anak (orang tua,
kakak/adik, keluarga, tetangga, teman sepermainan, teman sekolah, guru
pembimbing di lingkungan rumah dan guru disekolah
Apa yang menjadi faktor penyebabnya?

o Mudahnya mengakses pornografi melalui perangkat teknologi


seperti internet, media cetak mapun media elektronik (hp, game on
line),
o Era kebebasan pers

o Media-medai sosial seperti facebook, twiter, skype, whats app, dan


sebagainya
Dampak Kekerasan Seksual bagi Anak

Jangka pendeknya akan mengalami mimpi-mimpi buruk, ketakutan yang


berlebihan pada orang lain, dan konsentrasi menurun yang akhirnya akan
berdampak pada kesehatan.
Jangka panjangnya, ketika dewasa nanti dia akan mengalami phobia pada
hubungan seks atau bahkan yang parahnya lagi dia akan terbiasa dengan
kekerasan sebelum melakukan hubungan seksual. Bisa juga setelah
menjadi dewasa, anak tesebut akan mengikuti apa yang dilakukan
kepadanya semasa
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dibawah Umur Sebagi Korban
Kejahatan Seksual
Secara preventif, yaitu hak atas rasa aman, hak atas kebebasan pribadi,
sosialisasi hak-hak korban dan akses terhadap APH/keadilan. Hal ini dapat
dilakukan dengan pemberian sanksi pidana terhadap pelaku
sebaiknya diberikan hukuman seberat-beratnya. Pemberian sanksi berat
tersebut harus diperhatikan pada motif pelaku, tujuan pelaku
melakukan tindak pidana, cara pelaku melakukan tindak pidana dan
motif korban.
Pasal 81 (1) UU No. 23 Tahun 2002 mengatur ketentuan pidana bagi
pelaku yang melakukan persetubuhan di luar perkawinan dengan
pidana minimum 3 tahun dan maksimum 15 tahun. Adanya pidana
tambahan berupa ganti kerugian. Menuntut ganti rugi akibat suatu
tindak pidana/kejahatan yang menimpa diri korban melalui cara
penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana (Pasal 98
sampai dengan Pasal 101 KUHAP)
Secara Represif diperlukan perlindungan hukum berupa pemberian
restitusi dan kompensasi bertujuan mengembalikan kerugian yang
dialami oleh korban baik fisik maupun psikis, sebagaimana diatur dalam
pasal 98-101 KUHAP. Konseling diberikan kepada anak sebagai korban
perkosaan yang mengalami trauma berupa rehabilitasi serta
perlindungan identitas dari pemberitaan media massa dan untuk
menghindari labelisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 64 (3) UU
Perlindungan Anak, dan Pasal 90 UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
1. Dasar Hukum
1. Pasal 285 KUHP, menurut KUHP perkosaan hanya dialamai oleh
perempuan perempuan, pada laki-laki perbuatan cabul.
2. Pasal 81 dan 82 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
3. Pasal 5,6 dan 8, 44, 46, 47 dan 48 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
1. Unsur-unsur tindak pidana perkosaan

Dalam ketentuan Pasal 285 diatas terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada atau tidaknya

tindak pidana perkosaan, unsurunsur yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan


2. Memaksa seorang wanita
3. Bersetubuh di luar perkawinan dengan dia (pelaku)

Ad a) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan

jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala

senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya sampai orang itu jadi pingsan atau tidak

berdaya.

Ad b) Memaksa seorang wanita, artinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

perempuan yang bukan iastrinya bersetubuh dengan dia.

Ad c) Bersetubuh di luar perkawinan, artinya peraduan antara kemaluan laki-laki dan perempuan

yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kelamin laki-laki harus masuk ke

anggota kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan mani dengan wanita yang bukan istrinya.

Sementara tindak pidana perkosaan menurut RUU KUHP diatur dalam Bab XVI Tentang Tindak

Pidana Kesusilaan Bagian Kelima Tentang Perkosaan dan Perbuatan Cabul Paragraf 1, yang

berbunyi:

Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling singkat 3

(tiga) tahun dan paling lama 12 tahun:

1) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan,

bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;

2) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa

persetujuan perempuan tersebut;

3) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan

perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau

dilukai;
4) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan

perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah

suaminya yang sah;

5) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14

(empat belas) tahun, dengan persetujuannya; atau

6) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa

perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

1. Ciri-ciri korban

Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada

prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe / ciri-ciri korban,


1. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk
tipe ini, kesalahan ada pada pelaku
2. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang
orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut
mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku
dan korban.
3. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang
tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minotitas dan
sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. korban dalam hal ini
tidak dapat disalahkan tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
4. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. nilah yang dikatakan sebagai kejahatan
tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang
tergolong kejahatan tanpa korban. pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga
sebagai pelaku.
1. Pengertian dan Jenis Korban Perkosaan

Menurut Arif Gosita, korban perkosaan adalah seorang wanita, yang dengan kekerasan atau

dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan.

Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian sebagai Berikut :

1. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek) sedangkan ada
juga laki-laki yang diperkosa oleh wanita.
2. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada
persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.
3. Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu.

Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakatnuntuk lebih memperhatikan posisi

korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban,

yaitu[2]
1. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya
penanggulangan kejahatan.:
2. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga
cenderung menjadi korban.
3. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan
4. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya
menjadi korban.
5. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya
sendiri.

Menurut Arif Gosita, jenis-jenis korban perkosaan adalah sebagai berikut:


1. Korban murni terdiri atas

a) Korban perkosaan yang belum pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum

perkosaan;

b) Korban perkosaan yang pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum perkosaan

1. Korban ganda ( double / multiple victimization)

Adalah korban perkosaan yang selain mengalami penderitaan selama diperkosa, juga mengalami

berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosial, misalnya: mengalami ancaman-ancaman yang

mengganggu jiwanya, mendapat pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaan Pengadilan, tidak

mendapat ganti kerugian, mengeluarkan uang pengobatan, dikucilkan dari masyarakat karena

sudah cacat khusus, dan lain-lain.

1. Korban semu (pura-pura diperkosa)

Adalah korban yang sebenarnya sekaligus juga pelaku. Ia berlagak diperkosa dengan tujuan

mendapat sesuatu dari pihak pelaku.

a) Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena kehendaknya sendiri;

b) Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena disuruh, dipaksa untuk berbuat demikian

demi kepentingan yang menyuruh. Dalam pengertian tertentu, pelaku menjadi korban tindakan

jahat lain.

1. Ciri Pelaku Perkosaan


1. Mempunyai hubungan buruk dengan perempuan
2. Takut terhadap perempuan
3. Sadis, frustasi terhadap perkawinannya
4. The overenthusiastic lover, perempuan sebagai pemuas hasrat
5. Pembenaran diri:
Dia tidak menolak saya
Dia mengundang saya kerumahnya
1. Faktor Penyebab Perkosaan
1. Pelampiasan kemarahan unjuk kekuasaan
2. Naluri lelaki: laki-laki mempunyai dorongan seksual yang tinggi, dan jika
lelaki menunjukan agresivitas seksualnya pada umumnya tidak ada sanksi
sosial bagi pelakunya
3. Pelakunya mempunyai kelainan seksual-harus dihukum dan ditangani
secara klinis. Penyimpangan seksual tidak termasuk dalam dasar penghapus
pidana (dasar pemaaf) yang dialur dalam Pasal. 44 KUHP
4. mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengalaman buruk
khususnya dalam hubungan personal (cinta), terasing dalam pergaulan
sosial, rendah diri, ada ketidakseimbangan emosional
1. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perkosaan
1. Dendam pada korban, atau seseorang
2. Pengaruh lingkungan, film / gambar-gambar porno
3. Situasi dan kondisi lingkungan maupun pelakunya yang memungkinkan
terjadi perkosaan
1. Dampak Perkosaan Bagi Korban Pemerkosaan
1. Dampak fisik

a) Nafsu makan menurun drastis


b) Sakit asma

c) Sakit kepala

d) Sulit tidur

e) Sakit didaerah perut / kemaluan

f) Bengkak disekujur tubuh / tubuh yang terluka

g) Sulit buang air besar / kecil

h) Mungkin akan mandul

i) Tertular PMS, HIV-AIDS

j) Infeksi pada alat reproduksi

1. Dampak Mental / Emosional

a) Stres berat- ketakutan, depresi, phobia

b) Merasa : hina, bersalah, malu, menyalahkan diri sendiri, tidak berdaya

c) Curiga pada orang lain

d) Takut hamil

e) Goncangan jiwa yang berat

f) Dorongan untuk bunuh diri

1. Dampak Pada Kehidupan Pribadi dan Sosial

a) Ditinggalkan teman dekat

b) Hubungan dengan suami / pasangan memburuk atau pecah cerai

c) Tidak lagi bergairah untuk bercinta

d) Takut atau tidak bisa jatuh cinta

e) Sulit membina hubungan dengan pria lain

f) Menghindari setiap pria

g) Sulit untuk percaya orang lain dan sungguh-sungguh mencintai : pernah dan merasa

dikhianati

1. Penderitaan dan Kerugian yang Dialami Korban Perkosaan


1. Penderitaan fisik dan psikis
Penderitaan fisik : di dalam UU No 23 tahun 2004 pasal 6, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud

pasal 5 huruf a adalah perrbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, atau luka berat

Penderitaan Psikis : di dalam UU No 23 tahun 2004 pasal 7 kekerasan psikis sebagaimana

dimaksut pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa

percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan

psikis berat seseorang.

1. Kerugian : materil dan immaterial

Materil : biaya-biaya pengobatan, penghasilan yang hilang akibat peristiwa kejahatan yang

dialami dsb.

1. Memiliki aspek baik hukum pidana dan hukum perdata


1. Perlindungan Terhadap Korban Perkosaan

Perlindungan korban berupa penggantian kerugian materiil dapat dituntut langsung kepada si

pelaku kejahatan. Akan tetapi terhadap penggantian kerugian immateriil , di beberapa Negara

(apabila pelaku orang yang tidak mampu) dibebankan kepada negara.

Adapun tujuan dari perlindungan korban adalah sebagai berkut:

1. Memberikan rasa aman kepada korban, khususnya pada saat memberikan


keterangan pada setiap proses peradilan pidana;
2. Memberikan dorongan dan motivasi kepada korban agar tidak takut dalam menjalani
proses peradilan pidana;
3. Memulihkan rasa percaya diri korban dalam hidup bermasyarakat;
4. Memenuhi rasa keadilan, bukan hanya kepada korban dan keluarga korban, tapi juga
kepada masyarakat;
5. Memastikan perempuan bebas dari segala bentuk kekerasan;
6. Menempatkan kekerasan berbasis jender sebagai bentuk kejahatan yang serius dan
merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia;
7. Mewujudkan sikap yang tidak mentolerir kekerasan berbasis jender;
8. Penegakan hukum yang adil terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan
(perkosaan).

Adapun bentuk-bentuk korban kejahatan , adalah sebagai berikut:[3]


1. Pemberian restitusi dan kompensasi
2. Konseling
3. Pelayanan / bantuan medis
4. Bantuan hukum
5. Pemberian informasi
1. Ganti Kerugian Bagi Korban Perkosaan

Dasar hukumnya :

1. Pasal 1365 KUHAP


2. Pasal 98 KUHAP
3. UU Nomor 23 tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 telah mengatur
pidana denda bagi pelaku

Ganti kerugian bagi korban perkosaan berupa[4]:


1. Restitusi, ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku
2. Kompensasi, ganti kerugian yang diberikan Negara karena pelaku tak mapu.
Dimungkinkan sebagai upaya pemberian pelayanan pada para korban kejahatan dalam
rangka mengembangkan kesejahteraan dan keadilan
3. Bantuan : pengobatan, pemulihan mental ( psikiater, psikolog, sukarelawan), korban
harus diberitahukan tentang kondisi kesehatan. Aparat penegak hukum harus
senantiasa siap siaga membantu juga memberikan perhatian yang istimewa terhadap
tiap korban

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari pembahasan karya ilmiyah yang diuraikan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki
terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang
berlaku melanggar
2. Dalam ketentuan Pasal 285 diatas terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada
atau tidaknya tindak pidana perkosaan, unsurunsur yang dimaksud adalah sebagai
berikut : 1) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, 2) Memaksa seorang wanita,
3) Bersetubuh di luar perkawinan dengan dia (pelaku)
3. Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe / ciri-ciri
korban, yaitu : 1) Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap
menjadi korban. 2) Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang
merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. 3) Mereka yang secara biologis dan
sosial potensial menjadi korban. 4) Korban karena ia sendiri merupakan pelaku.
4. Menurut Arif Gosita, jenis-jenis korban perkosaan adalah sebagai berikut: 1) korban
murni, 2) korban ganda, 3) korban semu
5. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perkosaan : 1) Dendam pada korban, atau
seseorang, 2) Pengaruh lingkungan, film / gambar-gambar porno, 3) Situasi dan kondisi
lingkungan maupun pelakunya yang memungkinkan terjadi perkosaan
6. Dampak Perkosaan Bagi Korban Pemerkosaan : 1) Dampak fisik, 2) Dampak Mental /
Emosional , 3) Dampak Pada Kehidupan Pribadi dan Sosial
7. Penderitaan dan Kerugian yang Dialami Korban Perkosaan Kerugian : 1) Penderitaan
fisik dan psikis , 2) materil dan immaterial 3) Memiliki aspek baik hukum pidana dan
hukum perdata
8. Perlindungan korban berupa penggantian kerugian materiil dapat dituntut langsung
kepada si pelaku kejahatan. Akan tetapi terhadap penggantian kerugian immateriil , di
beberapa Negara (apabila pelaku orang yang tidak mampu) dibebankan kepada negara.
9. Ganti kerugian bagi korban perkosaan berupa : 1) Restitusi, 2) kompensasi, 3)
bantuan
1. Saran

Dalam karya tulis ilmiyah ini penulis memeberikan saran sebagai berikut :

1. Dalam menangani korban perkosaan Masyarakat seharusnya juga ikut mendukung


para perempuan korban kekerasan (perkosaan) untuk mendapatkan perlindungan
hukum, sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakan
masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.
2. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dalam memberi pelayanan dan
perlindungan kepada perempuan korban perkosaan seharusnya dilandasi oleh rasa
kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak hanya menggunakan
landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan Undang-Undang di luar KUHP (tidak
menggunakan sangkaan pasal tunggal).
3. Kita sebagai mahasiswa hukum tidak hanya mengejar gelar sarjana saja, tapi kita
harus ikut andil menangani penanggulangan tindak pidana kejahatan perkosaan,
sehingga berkurangnya tindak kejahatan perkosaan tersebut. Dan wanita Indonesia
harus membudayakan untuk menutup aurat sehingga tidak terjadi kejahatan perkosaan,
karena kejahatan perkosaan terjadi karena perempuan yang memancing laki-laki untuk
melakukan perkosaan dengan memakai pakaian yang mengoda dan feminism.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara

Norma dan Realita, Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada, 2007 Harkristuti Harkrisnowo, Hukum

Pidana

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN Balai Pustaka, 1984

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, PN Balai Pustaka,

1984), hal.741

[2] Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara

Norma dan Realita, (Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada, 2007), hal. 49

[3] Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom,urgensi perlindungan korban kejahatan. Hal 165

[4] Deklarsi PBB tentang Keadilan terhadap korban kekerasan dan korban penyalahgunaan

kekuasaan, 29 november 1985, Milan, italia

Anda mungkin juga menyukai