Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Penerbit
Deutsche Gesellschaft fr Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH
- Regional Economic Development (RED) -
Wisma Bakrie 2, Lantai 5
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. B2
Jakarta 12920
Indonesia
Tel. +62 21 579 45740
Faks. +62 21 579 45740
Email. jakarta@red.or.id
Internet. www.red.or.id
Penyusun
Srie Jayamahe
Pendukung Dana
Reproduksi
Dilarang mereproduksi publikasi ini baik seluruhnya maupun sebagian dalam bentuk apa
pun tanpa izin dari pemegang hak cipta, kecuali untuk tujuan pendidikan atau nirlaba,
dengan ketentuan bahwa pengakuan sumber harus dibuat dan salinannya diberikan kepada
GIZ.
Disclaimer
Informasi yang terdapat dalam publikasi ini diambil dari sumber-sumber yang diyakini dapat
diandalkan. Namun, tidak ada pernyataan atau jaminan yang diberikan sehubungan dengan
keakuratan, kelengkapan atau keandalannya. GIZ tidak bertanggung jawab atas setiap
akibat/kerugian karena penggunaan isi publikasi ini
KAJIAN KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN
PRODUK BERBAHAN BAKU GAMBIR
DI SUMATERA BARAT
KATA PENGANTAR
Dalam upaya meningkatkan nilai tambah produk gambir yang sudah lama
menjadi mata pencaharian masyarakat di berbagai daerah di Sumatera Barat,
khususnya di Kabupaten Lima Puluh Kota, dan meningkatkan perekonomian
daerah, maka dibutuhkan kehadiran industri hilir bagi produk gambir Sumatera
Barat. Untuk itu, pendirian pabrik pengolahan produk berbahan baku gambir
merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan dengan dukungan pemerintah
dan masyarakat.
Dalam rangka memberikan informasi awal bagi calon investor maka perlu
dilakukan suatu kajian tentang kelayakan usaha pengolahan produk berbahan
baku gambir di wilayah Sumatera Barat. Untuk itu, BAPPEDA Sumatera Barat
bekerjasama dengan GIZ (Deutsche Gesellschaft fr Internationale
Zusammenarbeit) melakukan kajian ini. Adapun aspek yang dianalisis dalam
studi ini mencakup potensi sumber daya bahan baku, potensi pasar, potensi
tekhnis dan finansial serta aspek lingkungan.
Berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan ini, tim kerja penyusunan kajian
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan
masukan dan sumbangan pemikiran sehingga kajian ini dapat diselesaikan
sebagaimana mestinya.
Akhirnya tim kerja berharap semoga kajian ini dapat menjadi bahan
rujukan dan referensi untuk lebih mendorong minat investor untuk berinvestasi
di Sumatera Barat, khususnya pada pendirian usaha pengolahan produk berbahan
baku gambir agar produk unggulan ini mampu memberikan nilai tambah yang
lebih besar bagi masyarakat dan perekonomian di wilayah ini.
Tim Peneliti
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Maksud dan Tujuan 3
1.3. Lingkup Pekerjaan 4
1.4. Kerangka Konsep 4
1.5. Lingkup Analisis Kajian 5
1.6. Data dan Sumber Data 6
1.7. Sistematika Laporan 7
ii
4.4. Aspek Lokasi Pabrik 47
4.5. Aspek Legalitas 48
LAMPIRAN
iii
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
EXECUTIVE SUMMARY
PENDAHULUAN
Salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah produk gambir yang sudah lama
menjadi mata pencaharian masyarakat di berbagai daerah di Sumatera Barat, khususnya di
Kabupaten Lima Puluh Kota, dan meningkatkan perekonomian daerah adalah dengan
mendorong adanya industri intermediary (katekin dan tannin) dan industri hilir bagi produk
gambir Sumatera Barat. Untuk itu, pendirian pabrik pengolahan produk berbahan baku
gambir merupakan upaya yang harus dilakukan dengan dukungan pemerintah dan
masyarakat, selain industri pengolahan farmasi maupun makanan berbahan dasar gambir.
vii
Metode yang dipergunakan dalam kajian ini adalah metode deskriptif kuantitatif.
Dimana kajian potensi didasarkan pada data historis dan observasi. Untuk itu, data yang
digunakan dalam kajian ini meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder meliputi
angka-angka historis yang diperoleh dari instansi terkait serta literatur yang terkait
sedangkan data primer didapatkan langsung dengan melakukan pengamatan dan
wawancara di lapangan kepada pelaku usaha dan instansi pemerintah terkait. Pengumpulan
data primer dilakukan dengan wawancara dan interview dan untuk melengkapi informasi
dilakukan FGD (Focus Group Discussion) dengan para pakar di bidang terkait serta pimpinan
instansi terkait.
Luas area tanaman perkebunan gambir di Propinsi Sumatera Barat adalah 66% dari
total area gambir nasional dan disusul oleh provinsi Riau. Sedangkan provinsi Sumatera
Utara berada pada urutan ke tiga. Tetapi di masa mendatang tidak tertutup kemungkinan
Sumatera Utara akan menjadi penghasil gambir yang besar di wilayah Sumatera khususnya
dan Indonesia pada umumnya, karena di Sumatera Utara khususnya kabupaten Pakpak
Bharat sejak tahun 2011 telah dicanangkan gerakan sejuta gambir yaang didanai oleh APBD.
Pemkab Pakpak Bharat bahkan juga akan mendirikan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah)
yang dikhususkan untuk menangani masalah gambir secara luas dengan penyertaan modal
sebesar Rp 1, 5 miliar dari APBD. BUMD ini akan menampung hasil penggiat tanaman
gambir dan bertanggung jawab memberi pembekalan terkait industri hilir guna
meningkatkan nilai tambah bagi penggiat tanaman gambir. Hal ini menunjukkan bahwa
gambir akan dikembangkan menjadi icon di daerah ini. Tingkat pertumbuhan lahan dan
produksi gambir di Sumatera Utara selama 4 tahun terakhir menunjukkan angka yang cukup
fantastis, dimana luas lahan bertumbuh dengan 10,34% sedangkan produksi bertumbuh
dengan 36,68%.
Sebagai daerah penghasil terbesar gambir di Indonesia, maka tidak diragukan lagi
potensi produksi gambir di wilayah ini, akan tetapi jika ditinjau dari aspek ketersediaan lahan
dan peruntukannya, ternyata di wilayah kabupaten Lima Puluh Kota ditemui adanya
penanaman gambir pada lahan yang termasuk areal kawasan lindung. Perkebunan gambir
terutama terdapat di Kecamatan Kapur IX, Mahat, Pangkalan Koto Baru dan Suliki Gunung
Mas. Kapur IX merupakan kecamatan penghasil gambir terbesar (hampir 2/3 total produksi)
dengan wilayah utama yaitu Nagari Sialang.Areal penanaman gambir tersebut sebahagian
besar berada pada Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Kampar Kanan dan DAS Mahat.
Berdasarkan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), fungsi kawasan hutan kedua Sub
DAS tersebut adalah 64,30% sebagai kawasan lindung dan 35,70 % sebagai kawasan yang
boleh diusahakan (kawasan eksploitasi). Kawasan lindung tersebut terdiri dari 61,37%
(20.4412 Ha) sebagai hutan lindung dan 2,93 % sebagai hutan suaka alam. Hal ini berarti
bahwa perkebunan gambir di kawasan ini berada pada kawasan konservasi alam.
Usaha tani gambir di kabupaten Lima Puluh Kota mayoritas dilaksanakan secara
tradisional dalam bentuk perkebunan rakyat dengan dukungan teknologi yang masih
sederhana. Pengusahaannya dilakukan oleh keluarga-keluarga dengan jumlah kepala
keluarga berjumlah 8.002 KK dari 86.009 KK atau 9,30%. Bila diasumsikan 1 KK terdiri dari 4
orang, maka jumlah orang yang terlibat dalam usaha tani gambir ini mencapai 32.008 orang
atau 9,65% dan total penduduk yang berjumlah 331.674 jiwa. Persentase KK terbanyak yang
berusaha di bidang perkebunan gambir adalah di Kecamatan Kapur IX dengan porsi 47,07%
dari total penduduknya, selanjutnya adalah di kecamatan Pangkalan Koto Baru (20,07%), dan
kecamatan Bukik Barisan (19,50%).
Salah satu kendala yang dihadapi dalam usaha tani gambir di wilayah ini adalah
produktivitas gambir yang masih rendah dan besarnya kehilangan hasil dalam pengolahan.
Produktivitas gambir rata-rata di Indonesia berkisar antara 400-600 kg getah kering per ha,
sementara produktivitas optimal bisa mencapai 2.100 kg getah kering per ha. Rendahnya
produktivitas gambir diduga karena teknik budidaya yang masih tradisional dan penggunaan
input produksi yang tidak optimal. Dimana petani masih menggunakan bibit seadanya dan
belum menggunakan varietas unggul serta sistem pemeliharaan yang juga belum memadai.
Metode dan alat panen serta pengolahan hasil yang belum efektif dan efisien juga menjadi
faktor rendahnya produktivitas gambir di Sumatera Barat khususnya dan Indonesia pada
umumnya.
Ada 4 (empat) tipe gambir yang tumbuh di Indonesia, dan di sentra gambir Sumatera
Barat, tipe tersebut adalah: udang, riau mancik, riau gadang dan cubadak. Dari hasil riset
ditemukan bahwa gambir tipe udang memiliki kandungan katekin paling tinggi dibandingkan
dengan tipe lainnya. Hasil dari 8 (delapan) kali pengulangan percobaan dalam penelitian
dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
Berdasarkan hasil kajian, maka hal yang dapat disimpulkan dan perlu dilakukan
terkait dengan aspek sumber daya ini diantaranya adalah:
1. Sumbar memiliki ketersediaan bahan baku dan luas lahan yang layak dan
memadai untuk produksi berbagai komoditi berbahan baku gambir.
2. Strategi yang terkait dengan perluasan perkebunan bagi penyediaan bahan baku
gambir. Propinsi Sumatera Barat memiliki lahan yang cocok untuk perkebunan
gambir, namun beberapa lahan menggunakan hutan lindung. Untuk mengatasi
hal ini, maka diperlukan ekstensifikasi lahan diluar lahan yang sudah ada dan
tidak menggunakan hutan lindung.
3. Petani sebaiknya menggunakan varietas unggul sebagai bibit gambir untuk
menghasilkan mutu yang dibutuhkan oleh pasar. Pola intensifikasi dalam bentuk
perbaikan kualitas bibit, pemeliharaan dan pengolahan mutlak dilakukan.
4. Perlu dilakukan pemetaan lahan perkebunan, sehingga hal ini akan memberikan
kejelasan berinvestasi di Sumatera Barat terkait dengan lahan yang dapat
digunakan sebagai areal perkebunan gambir.
5. Perlunya kebijakan pemerintah yang mengatur larangan ekspor daun gambir dan
gambir asalan yang tidak memenuhi persyaratan standar yang telah ditetapkan.
Pada bagian ini akan dibahas tentang aspek potensi pasar dari produk agroindustri gambir di
pasar lokal, nasional dan internasional.
Pasar domestik utama produk gambir Sumatera Barat saat ini terdapat di Sumatera
dan Jawa. Gambir yang berasal dari Sumatera Barat selain dipasok untuk konsumsi lokal di
wilayah Sumatera juga dikirimkan ke beberapa daerah di Jawa terutama Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Untuk pasar internasional ekspor gambir Indonesia sebagian besar berasal dari
Sumatera Barat dan sebagian kecil dari Sumatera Selatan dan Bengkulu. Dengan 80 %
pangsa pasar gambir dunia yang dikuasai, Indonesia termasuk negara pengekspor gambir
terpenting di dunia dengan negara tujuan utama India yakni sekitar 84% dari total gambir
yang diekspor. Negara pengimpor gambir lainnya yaitu Singapura.Pakistan. Nepal dan
Banglades.
Saat ini gambir yang dijual berdasarkan nama produk dan bentuknya saja. Tidak ada
merek dagang dan identitas produk lainnya yang akan membedakan merek gambir Sumatera
Barat dengan lainnya. Hal inilah diantaranya yang membuat kondisi daya tawar petani di
pasar menjadi lemah, karena produk yang cenderung homogen akan sangat mudah
disubstitusi oleh produk sejenis yang berasal dari daerah atau negara lainnya. Selain itu,
Jika dilihat dari fluktuasi volume dan nilai ekspor gambir Indonesia selama sepuluh
tahun terakhir tampak bahwa harga rata-rata tertinggi komoditas ini adalah $ 2.08/kg
sedangkan harga terendah mencapai $0,42 /kg. Harga pasar komoditas ini sangat ditentukan
oleh permintaan para importir khususnya dari India. oleh sebab itu upaya mengolah lebih
lanjut produk ini sangat penting artinya untuk menciptakan pasar baru di dalam maupun luar
negeri. sehingga tidak tergantung lagi sepenuhnya pada pasar India.
Katekin dan tanin banyak dibutuhkan oleh dunia industri, seperti industri farmasi,
industri kosmetik, industri makanan, maupun industri lainnya. Katekin dimanfaatkan dalam
pembuatan berbagai ragam produk kosmetika, diantaranya krim anti penuaan, krim anti
jerawat, anti ketombe, kosmetik perawatan rambut rusak, sabun mandi, dan sebagainya.
Sedangkan dalam industri minuman, katekin digunakan sebagai bahan dalam pembuatan
minuman tersebut. Selanjutnya,pada industri pewarna alami, katekin dimanfaatkan sebagai
bahan untuk mewarnai kain wool dan sutra. Selain itu, katekin juga digunakan untuk
pewarna kulit samak, pewarna rambut, dan pewarna makanan. Volume kebutuhan katekin
untuk produk-produk kosmetik mencapai 1.078.582,65 kg, untuk produk sabun mandi
mencapai 15.362,61 kg, produk minuman mencapai 3.755,77 kg, sedangkan produk pasta
gigi dan obat untuk kanker masing-masing sebesar 4.357,27 kg dan 4.776,10 kg. Penggunaan
katekin yang relatif cukup besar memberikan peluang besar untuk pengembangan produk
tersebut.
Kebutuhan tanin juga dapat dihitung berdasarkan produk potensial pengguna tanin.
Pada produk penyamak kulit misalnya,volume kebutuhan tanin mencapai 53.166,3066 kg,
produk desinfektan mencapai 47.920 kg, sedangkan insektisida mencapai 41.943 kg.
Walaupun gambir Sumatera Barat sudah lama diperdagangkan secara lokal, nasional
dan bahkan internasional; akan tetapi, hal ini tidaklah menjamin kesejahteraan petani.
Penjualan produk yang sangat dominan dalam bentuk "gambir mentah", atau gambir
asalan dengan pengolahannya yang masih sangat sederhana. Pasar eksporpun bersifat
monopsony dimana posisi tawar menawar (bargaining power) petani gambir cenderung
sangat lemah atau sangat rendah. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi para petani
karena harga yang dinikmati jauh lebih rendah dibandingkan harga yang berlaku di pasar
international. Kondisi ini tentunya tidak dapat dibiarkan berlangsung terus menerus. Oleh
sebab itu upaya diversifikasi produk gambir dan pemanfaatannya mutlak dilakukan agar nilai
tambah gambir dapat dinikmati oleh pelaku usaha di daerah, khususnya di kawasan sentra
gambir Sumatera Barat.
Saat ini belum ada kontrol dan intervensi pemerintah daerah maupun pusat dalam
perdagangan gambir, baik dalam bentuk peraturan yang membatasi ataupun mengatur
mekanisme perdagangan gambir. Dalam upaya mengembangkan agroindustri gambir di
wilayah Sumatera Barat, maka pola pemasaran yang ada saat ini harus dirubah menjadi pola
pemasaran yang memiliki nilai tambah bagi pelaku usaha, salah satu model yang dapat
dikembangkan adalah strategi Supply Chain Management (SCM).
Untuk melihat kondisi permintaan gambir maka dalam studi ini dilakukan estimasi
permintaan gambir untuk memprediksi permintaan selama 20 tahun ke depan dengan
asumsi bahwa faktor penentu utama permintaan adalah harga dan variabel selain harga
dianggap tetap. Dengan menggunakan data 10 tahun terakhir dan tahun dasar adalah tahun
2001; maka diperoleh persamaan permintaan gambir di Sumatera Barat adalah sebagai
berikut;
Jika diamati kondisi pasar yang ada saat ini, maka produk yang paling memungkinkan
untuk dikembangkan dan masuk pasar adalah produk yang dikonsumsi secara massal dan
kontiniu oleh konsumen, yang sering disebut dengan convenient product yaitu produk
yang dicoba dulu oleh masyarakat untuk kemudian memutuskan apakah produk ini akan
terus dikonsumsi atau tidak. Jenis produk ini diantaranya adalah produk makanan, minuman
dan kosmetika serta obat herbal. Beberapa produk yang sudah dikembangkan oleh Andalas
Farma diantaranya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Produk Yang Siap Masuk Pasar Produk Yang Sedang Dalam Pembuatan
Produk Bahan baku (industri hulu)
Gambir Terstandardisasi, Katekin Gambir granul, Gambir serbuk , Gambir roti ,
Antioksidan (Katevit), Zat warna kain Alkaloid gambir , Proantosianidin , Tanin gambir
Serbuk kalincuang,Senyawa biotransformasi,Tablet
Antiulcer, Hepatoprotektor, Suspensi ED,
Pengomplek Fe , Antinematoda. antioksidan
minyak,Pereaksi logam berat
Produk Obat-obatan (Industri Farmasi)
Kapsul obat wasir, Tablet hisap Tablet Permen gambir; Pastilles gambir, Zat warna lipstik ,
antidiare, obat luka dan obat kumur. Gel luka bakar, Antidiabetes, Radang gusi
Produk Kosmetika (Industri Hilir)
Masker anti aging , Sabun transparan, Gel anti acne/jerawat
Shampo antiketombe, Pasta gigi, Lulur,
Teh gambir
Industri Aneka
Pengawet kayu, Tinta pemilu, dan Zat Kertas gambir, Kap lampu, Papan catur, Filter AC,
warna kain. Cat antikorosi,Kertas gambir, Boneka, Jilbab gambir
dan Batik gambir
Disamping produk yang sudah berhasil dikembangkan oleh Andalas Farma
(Universitas Andalas) juga ada produk yang dikembangkan oleh SMKN 1 Pangkalan
kabupaten Lima Puluh Kota yakni kerupuk gambir, risoles gambir dan pestisida gambir.
Berdasarkan kajian aspek pasar di atas, maka diperlukan strategi sebagai berikut:
1. Meningkatkan mutu gambir untuk mencari pasar dalam negeri agar sama baiknya
dengan hasil yang diperoleh dari luar negeri.
2. Menciptakan pengolahan produk hilir untuk mendifersifikasi produk gambir.
3. Menciptakan produk bernilai tinggi dari gambir yang dibutuhkan pasar dalam dan
luar negeri yakni katekin dan tanin.
4. Meningkatkan penggunakan katekin dan tannin untuk berbagai industri dalam negeri
seperti industri batik, kosmetik dan lainnya.
5. Mendorong diproduksinya produk-produk hilir yang aman dan sehat berbahan baku
gambir sehingga akan tercipta pasar baru ditengah masyarakat.
6. Perlunya adanya kebijakan pemerintah yang lebih baik dan adil bagi bisnis dalam
negeri. Hal ini akan mendorong iklim berinvestasi dalam negeri bagi investor.
7. Perluasan pasar dalam negeri dan luar negeri seiring dengan upaya diversifikasi
produk gambir sehingga mampu menjangkau berbagai segmen pasar.
8. Membangun kerjasama dalam pemasaran produk gambir. Hal ini dilakukan karena
Indonesia belum mampu mengjangkau akses pasar.
9. Promosi, Merk dan pencitraan. Selama ini ekspor gambir ke berbagai Negara tanpa
merk dan promosi. Hal ini berdampak konsumen produk gambir tidak mengetahui
bahwa produk yang mereka konsumsi berasal dari Indonesia. Untuk mendorong agar
mutu terjaga, pemerintah harus mewajibkan gambir yang diekspor harus memenuhi
standar mutu yang telah ditetapkan.
Saat ini hampir semua aktivitas produksi dan penanganan gambir dilakukan secara
manual dan teknologi sederhana. Dampaknya adalah rendahnya mutu, tidak efisien dan
rendahnya produktifitas. Untuk itu, perbaikan dalam pola produksi dan teknologi yang
dihasilkan mutlak dilakukan.
Dari studi yang dilakukan Herryandie (2011) ditemukan bahwa dari berbagai
alternatif metode introduksi teknologi yang ada seperti perbaikan teknologi pada setiap
rumah kempa, pengadaan peralatan portable, unit pengolahan bergerak (mobile) dan
pengembangan pabrik gambir mandiri, maka alternatif unit pengolahan bergerak (mobile)
merupakan alternantif yang terbaik diantara alternatif lainnya. Kriteria ini didasarkan pada
lapangan kerja untuk pengempa, pemanfaatan kembali ampas daun gambir sebagai pupuk,
kemungkinan utilitas peralatan dan kesinambungan kegiatan.
Dalam kajian ini, diusulkan investor untuk berinvestasi pada pabrik pengolahan
katekin dan tanin. Semua produk gambir asalan yang diproduksi oleh petani ditampung dan
dibeli sesuai dengan kualitas. Dengan hal ini diharapkan perekonomian masyarakat tidak
mati dan diharapkan masyarakat tani memiliki alternatif penjualan dengan biaya transportasi
rendah. Tahapan proses produksi katekin dan tanin dari gambir asalan pada prinsipnya
terdiri dari pelarutan, pemisahan kotoran, pemisahan padatan dari cairan, pelarutan kembali
padatan dan pengeringan hingga diperoleh bubuk katekin dan tanin.
Sedangkan untuk produk hilir atau turunan lainnya yang saat ini telah dihasilkan oleh
beberapa lembaga penelitian, hendaknya pemerintah mendorong dengan memfasilitasi
kerjasama industri/investor dengan peneliti dalam memproduksi secara massal produk yang
dihasilkan. Lebih dari 40 produk hilir yang dapat dihasilkan dari gambir, namun diperlukan
skala prioritas yang akan dikembangkan. Berdasarkan analisa kebutuhan pasar, produk yang
telah dihasilkan dan diujicobakan dan teknologi yang digunakan maka yang dapat
dikembangkan untuk tahap awal ada sebanyak 14 produk hilir yakni:
No Keterangan Estimasi Satuan
Harga (Rp)
1 Antioksidan (Katevit) 20,000 Bungkus
2 Masker peel off 25,000 Bungkus
3 Anti Ane Gel 25,000 Bungkus
4 Obat kumur Gartevit 15,000 Botol
5 Obat Luka (Oka Tinctur) 15,000 Botol
6 Masker anti aging 5,000 Bungkus
7 Kapsul obat wasir 1,000 Tablet
8 Tablet hisap 500 Tablet
9 Tablet antidiare 2,000 Tablet
10 Sabun transparan 5,000 Batang
11 Shampo antiketombe 15,000 Botol
12 Lulur 15,000 Bungkus
13 Tinta pemilu 20,000 Botol
14 Teh gambir 10,000 Kotak
Dari kajian aspek teknis dan teknologi dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Teknologi pengeringan daun gambir yang akan diusulkan adalah dengan
menggunakan spray dryer.
2. Pabrik yang diusulkan adalah pabrik pengolahan katekin dan tanin yang berasal dari
gambir asalan.
3. Pabrik pengolahan katekin dan tanin dirancang dengan pabrik tetap dan mobile unit.
4. Produksi produk hilir sebagai diversifikasi produk gambir harus segera dikembangkan
dan diproduksi secara masal dengan melibatkan kerjasama Akademisi, Pelaku Bisnis
dan Pemerintah. Hal ini disebabkan karena produk gambir ini harus bersaing dengan
produk yang memiliki manfaat yang sama (substitusi) sehingga produk gambir harus
menciptakan pasar.
Pendekatan ini menitik beratkan pada kebutuhan investasi awal untuk pengolahan katekin
dan tanin, kelayakan investasi pengolahan pabrik katekin dan tanin serta analisis produk
turunan berbahan dasar gambir lainnya. Analisis finansial berkaitan rasio antara jumlah
pendapatan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dalam pembangunan dan operasional
pabrik katekin dan tanin. Secara umum ukuran dari kelayakan finansial terdiri atas beberapa
indikator keuangan, diantaranya (1) Net Present Value (NPV), (2) Benefit Cost Ratio (BCR) dan
(3) Payback Period (PP).
Analisis Pabrik pengolahan katekin dan tanin akan menggunakan dasar nilai bobot
emas (oz) sebagai dasar perbandingan pendapatan dan biaya dengan standar harga emas
dunia.
Dari arus kas yang dihasilkan dalam kajian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. NPV untuk pabrik tetap yakni 135,99 dan 527,14 untuk mobile unit. Jika Nilai NPV
lebih besar dari 0 (nol) maka usulan investasi dapat diterima. Dari perhitungan diatas
diperoleh hasil usulan investasi dinyatakan layak/diterima baik untuk pabrik tetap
maupun mobile unit.
2. Benefit Cost Rasio (Rasio B/C) diperoleh hasil bahwa untuk pabrik tetap 1,16
sedangkan untuk rasio B/C mobile unit sebesar 1,39. Hal ini mengindikasikan bahwa
usulan investasi dapat diterima baik pabrik tetap maupun mobile unit karena bernilai
lenih dari 1. Hal ini dapat diartikan penerimaan yang diperoleh mampu menutupi
biaya-biaya yang timbul.
3. Payback Period (PP) merupakan suatu periode yang diperlukan untuk menutup
kembali pengeluaran investasi dengan
menggunakan aliran kas. Dari perhitungan
diperoleh hasil bahwa Payback period untuk
mobile unit adalah selama 2,73 tahun dan
untuk pabrik tetap adalah selama 6,58 tahun.
Dalam kajian ini juga dilakukan uji sensitifitas dengan hasil semua variabel masih
memberikan nilai NPV yang lebih besar dari nol selain harga dan rendemen katekin. Variabel
harga, rendemen katekin, rendemen tanin dan harga tanin menunjukkan rentang NPV yang
sangat lebar. Hal ini menunjukkan NPV sangat sensitif terhadap perubahan empat variabel
tersebut. Jika katekin dan tanin dapat dijual pada tingkat harga yang lebih tinggi dari harga
minimal tertentu dan rendemen lebih tinggi dari nilai minimal maka unit produksi katekin
dan tanin layak dikembangkan. Atas hal tersebut, sangat penting adanya pengendalian yang
cermat terhadap kadar katekin dan tanin yang diperoleh dari masyarakat.
ANALISIS LINGKUNGAN
Dari segi budidaya penanaman gambir pada lahan yang berfotografi tidak datar atau
berlereng ternyata masih belum mengikuti kaedah-kaedah konservasi, dimana sistem jarak
tanam yang dipakai tidak beraturan dan tidak mengikuti baris kontur.Pola tanamnya secara
monokultur. Sistem budidaya yang semacam ini akan memberi peluang terjadinya erosi yang
dapat merusaka lingkungan sekitarnya.
Oleh sebab itu, usaha pengembangan komoditas gambir pada lahan yang mempunyai
tingkat kemiringan tinggi perlu penerapan teknologi budidaya konservasi, yaitu dengan
menerapkan:
1) Pembuatan Teras; tujuan dari pembuatan teras ini adalah untuk mengurangi terjadinya
erosi sebelum penananam gambir maka harus dibuat teras menurut baris kontur guna
memperlambat laju erosi.
2) Pengaturan sistem jarak tanam menurut baris kontur; tujuan penanaman menurut
baris kontur adalah untuk mengurangi erosi, penanaman menurut baris kontur akan
dapat membentuk teras alami yang sangat efektif untuk mengurangi erosi permukaan.
Material-material yang terbawa oleh aliran permukaan akan tertahan pada barisan
tanaman sehingga membentuk lapisan yang lebih tebal sehingga membentuk teras
alami.
3) Intercropping; merupakanpenanaman tumbuhan atau komoditas lain di sela tanaman
gambir yang dapat dimanfaatkan sebagai penyanggaerosi. Tanaman yang dimanfaatkan
sebagai penyangga erosi adalah tanaman yang dapat memberikan hasil tambahan antara
lain, petai, jengkol dan lain-lain. Serta tanaman yang tidak menganggu pertumbuhan
tanaman gambir. Tajuk tanaman tidak terlalu lebar sehingga intensitas cahaya tidak
terhalang.
Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang disarankan dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
A. Rekomendasi untuk Pemerintah
1) Perlunya pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait dengan mutu gambir yang
boleh diekspor dan persyaratan lainnya seperti merk dan promosi.
2) Perlunya pemerintah memberikan insentif kepada investor yang bersedia bergerak
dalam pengolahan produk turunan dari gambir.
3) Perlunya mendorong industri yang ada baik skala besar maupun rumah tangga untuk
memproduksi secara massal berbagai produk hilir dari bahan dasar gambir.
4) Perlunya sinergisitas antar lembaga dalam mengembangkan gambir di Indonesia.
5) Perlunya mendorong perguruan tinggi ataupun lembaga penelitian lainnya dalam
mengembangkan produk hilir dari gambir sehingga dapat diproduksi oleh
masyarakat.
6) Perlunya pemerintah memfasilitasi masyarakat tani dalam memperoleh varietas
unggul sebagai bibit gambir.
7) Perlunya dilakukan pembinaan kepada masyarakat tani dalam mengolah gambir
sehingga mutu terjaga dan produktifitas meningkat.
8) Pemerintah perlu mendorong industri dalam negeri menggunakan katekin dan
tanin hasil produksi dalam negeri sehingga diharapkan dapat mengurangi
ketergantungan dari India.
BACKGROUND
Gambier plant in West Sumatera included in the ten
major export commodities in the province, although it is still
cultivated crops in smallholder farming scale. Not only as a
foreign exchange earner, gambier farming also a livelihood for
family farmers head 125,000 or about 15 percent of the
population of West Sumatera. During its development, until
now the price is determined by the buyer gambier. Gambier
processed also unchanged in terms of both quality and F IGURE GAMBIER FLOWER
The aims of this study to identify the prospects of the business of processing
products made from Gambier (Gambier derived products) and its prospects for economic
improvement and economic development in West Sumatera. Furthermore, the purpose of
this study is to provide information about the resource potential, market potential and
technical and financial aspects, so that the investor will get sufficient information to make
decisions in the investment and business development of gambier and its derived product.
The method used in this study was descriptive quantitative method. Where the
assessment of potential based on historical data and observations. Therefore, the data used
in this study include secondary data and primary data. Secondary data consists of historical
figures obtained from the relevant authorities as well as related literature, while primary
data obtained by direct observation and field interviews to businesses and government
agencies. Primary data were collected by interview and interview and to complete the
xxiii
information carried FGD (Focus Group Discussion) with experts in related fields as well as
the leaders of relevant institutions.
RESOURCES ASPECT
The area of gambier plantation area in West Sumatra province is 66% of the total
area of national gambier. it followed by the Riau province and the province of North
Sumatera. But in the future, there is a possibility of North Sumatera will be producing a
larger gambier, because in Pakpak Bharat regency has been proclaimed a million gambier
movement funded by local budgets since the year 2011. The local goverment also develop
BUMD (Regional-Owned Enterprises) which is devoted to supporting the efforts gambier
program, within the equity of Rp 1, 5 billion sourced from local budget. The growth rate and
production of gambier in North Sumatera during the last 4 years shows quite a fantastic
number, where the land area grew by 10.34%, while production grew by 36.68%. This
suggests that the gambier plant will develop into an excellent products in this area.
Gambier plant area in West Sumatera reached only 3% of the total planted area of
existing plantations in West Sumatera with gambier plant growth area reached 10.89% per
year. With the launching of the "Gateway Gambier" in 2012, it will more encourage the
community to increase the land area and gambier production in the future.
The Lima Puluh Kota district is the largest producer with land area and the largest
amount of production than any other region in West Sumatera, as well as the level of
productivity / ha and the number of KK (Head of Family) is engaged in production activities.
In addition, the Pesisir Selatan District also has gambier planting area is quite large, whereas
in other areas is still relatively small compared to these two regions. However, other areas
also have the potential for growing gambier especially the highlands in West Sumatera.
Gambier farming in the Lima Puluh Kota district traditionally held the majority in the
form of smallholders with simple technology support. The main problems encountered in
farming gambier in the region is the low productivity and a high level of yield loss in
processing. The Low productivity due to traditional cultivation techniques and use of
production inputs that are not optimal. The farmers tend to use potluck seedsings rather
than flagship seeds and their maintenance system is also very simple. Harvesting methods
and tools as well as the processing results have not been effective and efficient are also
factors to low productivity of gambier farming in this region.
Based on its kind, there are four (4) types of gambier which are grew up in Indonesia,
and in the center of Gambier West Sumatera, the type are udang, riau mancik, riau gadang
and cubadak. From the research found that the type of udang has the highest content of
catechins compared with other types. The results can be seen in the following table.
Based on the results of the study on the potential resource, it can be concluded:
1. West Sumatra has the availability of raw materials and land to produce various
commodities made from raw gambier.
2. Expansion strategy for increasing the supply of raw materials gambier should not
use the protected forest.
3. Farmers should use seed high yielding
varieties of gambier to produce the
quality required by the market.
4. Intensification in the form of seed
quality improvement, maintenance and
processing must be carried out.
5. Government should be able to prevent
FIGURE 3 CUBE GAMBIER
export of gambier leaves and gambier
cubes which does not meet the requirements of established standards.
Although Indonesia has the advantage in availability of suitable land and sources of
raw materials but gambier agro-industry development activities still very simple because it
only reached the stage of semi-finished goods taking operations gambier leaf extract that
has been boiled.
Up to now, the products sold by farmer are leaf gambier and simple mold gambier
which is the activity has been going on for centuries, this condition causes the farmer does
not get a significant value added from gambier, and the value added obtained by the
importing country that succeed cultivate gambier into a final product that can be consumed
by the end users in a variety of forms and functions.
The main domestic markets of West Sumatra gambier products currently found in
Sumatra and Java. Gambier from West Sumatra not only supplied for local consumption in
the region of Sumatra but also sent to several areas in Java, especially Central Java and East
Java.
For the international market, export Indonesian gambier mostly from West Sumatera
and a small portion of South Sumatera and Bengkulu. According to BPS; 80% share of the
gambier world market is dominated by Indonesian gambier, so Indonesia the most
important exporting country in the world with the main destination country India which is
about 84% of the total exported gambier. Other importing countries, such as Singapore,
Pakistan. Nepal and Bangladesh.
Up to now, gambier products of West Sumatera sold based on the name and shape
alone. No trade mark and the identity of the products that will differentiate from other
products in the world. This condition weakens the bargaining power of farmers gambier in
the market, because the products tend to be very simple and homogeneous, it will easier
substituted by similar products from other regions or countries. Although there has been
certified products standards but the products produced by the farmers do not refer to the
existing standards. So that the position of farmers as the first manufacturer gambier
products remain in a "price taker" and not a "price maker".
Seen from fluctuations in the volume and value of exports of Indonesian gambier
over the last ten years it appears that the highest average price of this commodity is $
2.08/kg, while the lowest price reached $ 0.42 / kg. The market price of this commodity is
determined by the demand for particular importers from India. therefore further efforts to
cultivate this product is very important to create new markets at home and abroad. so it
does not depend only on the Indian market.
Although the Indonesian gambier demand is likely to increase, but the effort to
develop downstream products are needed, such as catechins and tannins processing,
because processing of gambier became standardized catechins and tannins have better
business prospects and can provide a huge advantage for the management, labor, farmer,
and will increase foreign exchange due to the relatively high export prices.
Catechins and tannins needed in many industries, such as pharmaceutical industry,
cosmetic industry, food industry, and other industries. Catechin used in the manufacture of a
wide range of cosmetic products, including anti-aging cream, anti acne cream, anti-dandruff,
damaged hair care cosmetics, soap, and so on. While in the beverage industry, catechins
used as an ingredient in the manufacture of the drink.
Use of tannins can be calculated based on potential product users tannins. At the
tanner products for example, the volume needs reached 53166.3066 kg tannins, disinfectant
products reached 47 920 kg, while the insecticide reached 41 943 kg.
Although Gambier West Sumatra have long traded locally, nationally and even
internationally; however, this does not improve the welfare of farmers. This is caused by the
sale of which is dominated by a very simple gambier products, such as "raw gambier", or
"cubes gambier" Furthermore, the export market is "monopsony" where the bargaining
power of gambier farmers tend to be very weak or very low. This condition is not favorable
for the farmers because the buyers set the price lower than the prevailing price in the
international market. This condition must not be allowed to take place continuously.
Therefore, efforts to diversify gambier products and their use must be carried out to increase
the value added of gambier for businesses in the area, particularly in the central Gambier of
West Sumatra.
To see the potential future demand gambier, these studies estimate the demand
gambier to predict demand for the next 20 years, assuming that the main determinants of
the demand is price, factors other than the price is considered fixed. Using data from the last
10 years and the base year is 2001; estimated demand equation gambier in West Sumatra as
follows;
Based on the study of aspects of the potential market, it would require the following
strategies:
1. Improvement of Gambier quality for the domestic market in order to find as good as
the results obtained from abroad.
2. Develop downstream processing products for variety of products gambier.
3. Creates downstream processing products for diversifying gambier.product
4. Create high value products from gambier required by the industry in the domestic
and overseas markets such as catechins and tannins.
5. Encourage the use of catechin and tannin to various domestic industries such as
batik industry, cosmetics and others.
6. Encourage the production of downstream gambier products that are safe and
healthy to use and will create a new market in economic activity.
7. There should be an expansion of markets both domestically and abroad with the
efforts to diversify gambier products to reach various market segments.
8. Establishing cooperation in product marketing gambier, It is necessary because
Indonesia does not have good market access, especially for the international market
9. Required effort for promotion, brand and imagery products so that consumers know
that the comes from Indonesia.
10. To ensure the quality of products, the government should require that gambier
traded meet established quality standards.
11. Need for better government policies and support for businesses in the country. This
will encourage domestic investment climate for investors.
Today almost all production activities and gambier handling is conducted manually
and simple technology. The impact of such work is the quality of the product followed is low
or not optimal, inefficiency and low productivity. Therefore, improvement in production
form and technology is absolutely necessary.
From Herryandie research (2011) found that from a number alternatives of current
technology introduction method such as technology improvements in every clamp house,
portable equipment procurement, mobile unit processing and the development of gambier
independent plant, then alternative mobile processing units is the best alternative among
the other. This criteria is based on employment for the workers, reusing of waste from
gambier leaves as fertilizer, the possibility of utility equipment and sustainability of activities.
For the drying of the gambier, it is recommended to use dryer spray therefore the
production of catechins up to more than 90% (Gumbira-Said, 2009). For effectiveness and
efficiency reason, it is suggested in this study that for the catechins and tannins processing is
better to work with fixed and mobile units plants; as the mobile unit is removable so that it
will makes the work easier, besides the size and scale of the dryer spray.
GAMBIR SUMATERA BARAT 2012 xxxii
`
In this study, the investor is suggested to invest in catechins and tannins processing
plants. All pure gambier that is produced by the farmers accommodated and purchased
based on quality. Accordingly, the gambier farmers having an alternative for selling their
product within minimum transportation costs; likewise, this bussiness will help those
community to perpetuates their income.
For downstream products or other derivative, which has been produced by several
research institutes, government should encourage to facilitate cooperation between industry
/ investor with researchers in producing mass-produced products. More than 40
downstream products that can be produced from Gambier, but the priorities needed to be
developed. Based on the analysis of market requirements, products that have been
produced, tested and used the technology can be developed as downstream products in
early stage such as ;
Table 3. Price Estimation of Derived Gambier Product
No The Type of Product Price Estimate (Rp) Unit
FINANCIAL ASPECTS
This approach focuses on the initial investment requirement for processing the
catechins and tannins, catechins investment feasibility of processing plants and tannin as
well as analysis of other derivatives gambier products .
Financial analysis basically is the ratio between the total revenue by the amount of
the costs incurred in the construction and operation of the plant catechins and tannins.
Indicators of financial feasibility, which is used in this study were (1) Net Present Value
(NPV), (2) Benefit Cost Ratio (BCR) and (3) Payback Period (PP).
Analysis of catechins and tannins processing plants will use a base value of gold
weight (oz) as a basis for comparison of revenue and expenses by the standards of the world
gold price.
From the calculation of the initial investment, the estimation results show that for
the establishment of fixed and mobile plant unit cost of Rp. 5,763,666,666, -
Calculation based on estimated cash flow generated in this study it can be concluded
that:
1. NPV for fixed plant is 135.99 and 527.14 for the mobile unit. If the NPV is greater
than 0 (zero), the investment proposal is acceptable. based on the results of these
calculations concluded that the investments are feasible / acceptable for both fixed
and mobile plant unit.
2. The value of Benefit Cost Ratio (Ratio B / C) obtained for the fixed plant 1.16 while
for mobile units is 1.39. This indicates that the investment plan is acceptable both
fixed and mobile plant unit, it is shown by the BCR value greater than 1. This value
indicates that the income will be able to cover the costs incurred.
3. Payback Period (PP) is a period required to cover capital expenditures using cash
flow. Based on the estimation results obtained payback period for the mobile unit is
2.73 years and for fixed plant is 6.58 years.
Based on the analysis of the financial aspects, it can be concluded that the
establishment of processing industries catechins and tannins derived from pure/cube
gambier in district of Lima Puluh Kota is feasible. The condition is true if the variable is used
as an assumption in this plan in accordance with the amount of planning.
The sensitivity testof this study was found that all the variables gives NPV greater
than zero in addition to the price and yield of catechins. Variable pricing, yield catechins,
tannins yield and price tannins show a very wide range of NPV. This shows that the NPV is
very sensitive to changes in the four variables. If catechins and tannins can be sold at a
higher price level than a certain minimum price
and the yield is higher than the minimum value,
then the units of catechin and tannin production
feasible. Based on that, it is important to have a
careful control of the content of catechins and
tannins derived from gambier products produced
by farmers
FIGURE 8 GAMBIER PLANT
ANALISIS LINGKUNGAN
The gambier cultivation in the Limapuluhkota district have not followed the rules of
conservation land, this can be seen from the pattern of cultivation that does not pay
attention to the slope steepness, while rainfall in West Sumatra is quite high. This needs to
be aware in the selection of land for encouraging critical areas both on the upstream and
downstream parts of the river flow. The situation is aggravated by the habit of farmers who
use wood as fuel in the processing of gambier, this action can also threaten damage to the
forest environment.
RECOMMENDATION
1) The first step that must be done in the development of gambier derivative
products is the establishment of catechin and tannin factory; both fixed and
mobile units.
2) Agroindsutri gambier for cosmetic products, food & beverage and
pharmaceuticals have the potential to be developed
3) The important thing that should be considered by prospective investors is the
diversity of business sectors have led to the diversity of rules and laws; both at
central and local levels.
1.1.Latar Belakang
Tanaman gambir (Unicaria gambir) adalah komoditas spesifik lokasi Sumatera Barat.
Artinya komoditas ini tumbuh dan berkembang secara baik di daerah ini dan merupakan
mata pencaharian pokok yang memegang peran penting dalam menentukan tingkat
pendapatan masyarakat serta pendapatan daerah dan negara, karena produk ini adalah
komoditas ekspor yang mampu memberikan sumbangan besar bagi pendapatan
masyarakat, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah serta devisa untuk
negara.
Tanaman gambir merupakan tanaman perdu, termasuk salah satu di antara famili Rubiace
(kopi-kopian) yang memiliki nilai ekonomi tinggi, yang berasal dari ekstrak (getah) daun
dan ranting karena mengandung asam katechu tannat tanin), katechin, pyrocatecol,
florisin, lilin, fixed oil. Thorper dan Whiteley (l921) mengemukankan bahwa kandungan
utama gambir adalah asam katechu tannat (20-50%), katechin (7-33%), dan pyrocatechol
(20-30%), serta zat kimia lainnya dalam jumlah terbatas. Sedangkan Bachtiar (1991)
menyatakan bahwa kandungan kimia gambir yang paling banyak dimanfaatkan adalah
katechin dan tanin. (Azmi Dhalimi,2006)
Kegunaan utama gambir secara tradisional pada umumnya adalah sebagai bahan
pelengkap makan sirih dan obat-obatan, seperti di Malaysia gambir digunakan untuk obat
luka bakar, disamping itu rebusan daun muda dan tunasnya digunakan sebagai obat diare
dan disentri serta obat kumur-kumur pada sakit kerongkongan. Secara moderen gambir
banyak digunakan sebagai bahan baku industri farmasi dan makanan, diantaranya adalh
sebagai bahan baku obat penyakit hati dengan paten catergen, bahan baku permen yang
melegakan kerongkongan bagi perokok di Jepang karena gambir mampu menetralisir
nikotin. Sedangkan di Singapura gambir digunakan sebagai bahan baku obat sakit perut
dan sakit gigi (Suherdi dkk, l99l; Nazir, 2000) dalam Dhalimi,2006).
Berbagai potensi yang dimiliki gambir telah banyak dipelajari dan diteliti keampuhannya
,antara lain sebagai anti nematode dengan melakukan isolasi senyawa bioefektif anti
nematoda Bursapeleucus xyphylus dari ekstrak gambir (Alen et al., 2004), bahan infuse dari
gambir untuk penyembuhan terhadap gangguan pada pembuluh darah (Sukati dan
Kusharyono, 2004), perangsang sistem syaraf otonom (Kusharyono, 2004) dan gambir
Gambir juga digunakan sebagai bahan baku dalam industri tekstil dan batik, yaitu sebagai
bahan pewarna yang tahan terhadap cahaya matahari (Risfaheri et al., l995), di samping itu
gambir juga digunakan sebagai bahan penyamak kulit agar tidak terjadi pembusukan dan
membuat kulit menjadi lebih renyah setelah dikeringkan (Bachtiar, l991; Suherdi et al,
l991). Sedangkan industri kosmetik menggunakan gambir sebagai bahan baku untuk
menghasikkan astrigen dan lotion yang mampu melembutkan kulit dan menambah
kelenturan serta daya tegang kulit. (Dhalimi,2006).
Tanaman gambir termasuk jenis tanaman iklim tropis, tanaman ini oleh para ahli
diperkirakan berasal dari wilayah Sumatera dan Kalimantan, tanaman ini diketahui juga
tumbuh di Malaysia dan Singapura, dimana di Malaysia dan Singapura, tanaman gambir
dibudidayakan sebagai tanaman perkebunan penting hingga awal abad 20 akan tetapi
seiring dengan perkembangan industrialisasi yang sangat berpengaruh terhadap
perkebangan tanaman gambir yang bergeser ke tanaman gambir dan nenas (Thulaja,
2003). Saat ini tanaman gambir di Indonesia dapat ditemui di Kepulauan Riau, pantai timur
Sumatera, Indragiri, Bangka, Belitung, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat (Nuryeti et
al., 1995). Al Hendry (2009)
Di pulau Sumatera daerah yang memiliki perkebunan gambir adalah: Provinsi Aceh,
Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Sumatera Selatan dan daerah lain yang
memiliki gambir rakyat adalah pulau Bangka Belitung. Provinsi Sumatera Barat merupakan
provinsi dengan luas areal perkebunan gambir rakyat terbesar di Indonesia. Adapun sentra
perkebunan gambir di Sumatera Barat terdapat di Kabupaten Limapuluh Kota dan
Kabupaten Pesisir Selatan. Di daerah Kabupaten Limapuluh Kota, daerah perkebunan
gambir utama adalah Kecamatan Kapur IX, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kecamatan
Bukit Barisan dan Kecamatan Lareh Sago Halaban. Beberapa Kabupaten lain yang memiliki
perkebunan gambir di Sumatera Barat adalah Kabupten Padang Pariaman, Pasaman,
Sawah Lunto Sijunjung dan Kabupaten Agam.
Indonesia merupakan pemasok utama gambir dunia (80%), dimana sebagian besar gambir
ini berasal dari daerah Provinsi Sumatera Barat (Djanun, 1998) dengan negara tujuan
ekspornya Banglades, India, Pakistan, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Perancis dan Swiss
(Denian, 2002) dengan permintaan ekspor yang terus meningkat sepanjang tahun.
Di Sumatera Barat gambir banyak diusahakan dalam skala usahatani perkebunan rakyat
dan termasuk dalam sepuluh komoditas ekspor utama di provinsi ini. Disamping sebagai
penyumbang devisa, usahatani gambir juga merupakan mata pencaharian bagi lebih
kurang 125.000 kepala keluarga petani atau sekitar 15 persen penduduk Sumatera Barat
(Ermiati, 2004). Oleh sebab itu upaya peningkatan nilai tambah gambir akan sangat
bermanfaat bagi masyarakat untuk dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
mereka, dan akan bermuara pada peningkatan perekonomian masyarakat dan daerah.
Kajian yang akan dilakukan ini adalah untuk mengidentifikasi kelayakan proyek atau
potensi pendirian pabrik pengolahan produk berbahan baku gambir sebagai usaha
potensial yang akan dikembangkan di Propinsi Sumatera Barat. Adapun ruang lingkup
yang akan menjadi titik berat dalam kajian ini nantinya adalah:
(1) Analisis potensi ketersediaan sumber daya di daerah
(2) Analisis potensi pasar baik lokal, nasional maupun internasional
(3) Analisis aspek tekhnis dan pengelolaan produksi; terutama terkait dengan
kebutuhan alternative technologi
(4) Analisis finansial untuk pendirian usaha
(5) Analisis Regulasi, perizinan dan daya dukung infrastruktur Lingkungan. Lokasi
Pabrik.
Berdasarkan analisis terhadap aspek di atas akan dikaji kelayakan dan potensi
pendirian pabrik pengolahan produk berbahan baku gambir ini di Sumatera Barat.
1.4.Kerangka Konsep
Metode yang akan dipergunakan dalam kajian ini adalah metode deskriptif
kuantitatif. Dimana kajian potensi didasarkan pada data historis dan observasi. Untuk
itu, data yang diperlukan dalam kajian ini meliputi data sekunder dan data primer. Data
sekunder meliputi angka-angka historis yang diperoleh dari instansi terkait sedangkan
data primer didapatkan langsung dengan melakukan pengamatan dan wawancara di
lapangan kepada pelaku usaha dan instansi pemerintah terkait. Pengumpulan data
primer dilakukan dengan wawancara dan interview dan untuk melengkapi informasi
dilakukan FGD (Focus Group Discussion) dengan para pakar di bidang terkait serta
kepala instansi terkait.
Kajian terhadap studi kelayakan usaha pendirian pabrik Pengolahan Produk Berbahan
Baku Gambir di Propinsi Sumatera Barat ini dilakukan dengan beberapa pendekatan:
1. Pendekatan Sumber Daya
Data peluang pasar dapat didasarkan pada hasil survey atau analisa pasar
(supply-demand) baik di tingkat daerah/lokal maupun nasional termasuk
pemanfaatan data statistik tertentu. Apabila permintaan dapat mencapai skala
ekonomis untuk diusahakan, maka usaha tersebut layak untuk dilakukan
sedangkan yang tidak atau belum memenuhi skala ekonomi tidak akan
menguntungkan untuk dilakukan.
3. Pendekatan Tekhnis dan Pengelolaan Produksi
4. Pendekatan Finansial
5. Pendekatan Lingkungan
Dengan pendekatan ini akan dapat dilihat dampak pengembangan usaha ini
terhadap lingkungan dan bagaimana daya dukung lingkungan untuk
pengembangan usaha tersebut.
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, jenis data yang digunakan dalam kajian
ini adalah data primer dan data sekunder, dimana bentuk data berupa data kuantitatif
dan data kualitatif yang meliputi data-data yang memberikan informasi produksi
Metode yang dipergunakan untuk memperoleh data-data yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah melalui:
a. Metode Dokumentasi
1.7.Sistematika Laporan
BAB I PENDAHULUAN: bagian ini mencakup Latar Belakang, maksud dan Tujuan
dilakukannya kajian, Lingkup Pekerjaan, Kerangka Konsep, Lingkup Analisis Kajian,
Data dan Sumber Data serta gambaran sistematika laporan
BAB II ANALISIS ASPEK SUMBER DAYA: bagian ini akan mengungkapkan tentang
Perkembangan Produksi Gambir baik di Indonesia maupun Sumatera Barat, Potensi
Produksi Gambir Daerah di Sekitar Sumatera Barat, Proyeksi Produksi Gambir
Sumatera Barat dan Hambatan Produksi Gambir di Sumatera Barat
BAB III ANALISIS ASPEK PASAR: pada bagian ini akan dipaparkan tentang potensi
pasar gambir yang mencakup perkembangan Pasar Gambir dan Produk turunannya di
Indonesia, Perkembangan Ekspor Gambir Indonesia, Permintaan Gambir Dunia dan
BAB IV ASPEK TEKNIS PRODUKSI: kajian pada aspek ini mencakup Aspek Tekhnis
pendirian pabrik pengolahan produk berbahan baku gambir, Aspek Manajemen
Produksi dan aspek legalitas untuk pendirian pabrik gambir di Sumatera Barat.
BAB V ANALISIS ASPEK FINANSIAL: bagian ini merupakan kajian finansial kelayakan
usaha pendirian pabrik pengolahan produk berbahan baku gambir yang potensial
untuk dikembangkan di Sumatera Barat, yang mencakup aspek Kebutuhan Investasi
Awal dan Analisa Keuangan, serta Asumsi yang Digunakan dalam melakukan Analisis
Kelayakan Usaha.
BAB VI . ASPEK LINGKUNGAN: pada bagian ini akan dibahas tentang Dampak Positif
dan Dampak Negatif dari pendirian pabrik pengolahan produk berbahan baku gambir
di wilayah Sumatera Barat
2.1.Pendahuluan
Salah satu produk pertanian sub sektor perkebunan yang menjadi bahan
ekspor semenjak dahulu adalah gambir. Gambir (Uncaria Gambir (Hunter) Roxb)
merupakan tanaman perdu setengah merambat. Pemanfaatannya adalah sebagai
bahan obat-obatan, pewarna alami dan lain-lain. Tanaman gambir produk
3 Riau 4.901,0 24
Selanjutnya pada tabel 2.2. dapat dilihat luas tanam dan produksi
tanaman gambir di wilayah Sumatera Utara yang menunjukkan bahwa kabupaten
Pakpak Bharat merupakan produsen terbesar gambir di wilayah ini dan diikuti
oleh jkabupaten Dairi. Dengan dicanangkannya gerakan penanaman gambir yang
pembelian bibitnya dibiayai oleh APBD maka budidaya tanaman ini akan semakin
Tabel 2.2. Luas Tanam dan Produksi Tanaman Gambir Perkebunan Rakyat
Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009
No Kabupaten Luas Tanaman (Hektar) Produksi
TBM TM TTM Jumlah (Ton)
1 Mandailing - 7,8 2,0 9,8 3,00
2 Natal - 10,0 - 10,0 3,63
3 Tapanuli 90,0 571,0 90,0 751,0 321,20
4 Tengah - 27,5 15,0 42,5 9,73
5 Dairi 140,0 909,0 1,0 1.050,1 1.523,00
Deli Serdang
Pakpak Bharat
Total 230,0 1.525,3 108,0 1.863,3 1.860,58
Sumber: Sumatera Utara Dalam Angka, BPS, Tahun 2010.
Tabel 2.4. Luas Area Tanaman Perkebunan di Provinsi Riau, Sumatera Barat,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan Tahun 2007. (Ha)
No Tanaman Sumatera Sumatera Riau Sumatera
Barat Utara Selatan
1. Karet 87,286.00 362,084.95 512,900.79 928,075.00
2. Kelapa Sawit 326,580.0 372,153.00 1,611,381.6 506,124.00
0 0
3. Kelapa Dalam 79,829.00 123,201.89 552,021.69 58,354.00
4. Kayu Manis 35,232.00 6,970.37 0.50 1,708.25
5. Kopi Robusta 28,788.00 53,869.36 10,192.46 276,855.00
6. Kopi Arabika - 25,086.98 563.30 -
7. Lada 126.00 183.80 - 12,001.35
8. Cengkeh 1,602.00 3,364.68 19.30 373.00
9. Kakao 1,814.90 56,258.78 9,265.28 4,826.73
10. Pinang 517.00 4,575.80 5,777.55 1,543.95
11. Kemiri - 11,211.88 2.00 -
12. Kapuk 93.00 483.15 7.20 905.25
13. Aren 1,158.00 5,031.14 98.54 1,610.10
14. Vanili - 162.10 - 350.00
15. Tebu 14,576 711.00 - -
16. Tembakau 1,033 302.12 - 112.00
17. Nilam - 2,728.40 - 877.00
18. Pala 1,233.00 228.85 - -
19. Saga - - 62,342.93 -
20. Kemenyan - 24,077.95 - -
21. Gambir 13,115.00 1,481.50 4,901.00 512.00
Sumber: Sumatera Barat Dalam Angka 2009; dalam Herryandie (2012)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa luas lahan tanaman gambir dalam
lima tahun terakhir di Provinsi Sumatera Barat memperlihatkan pertumbuhan
rata-rata sebesar 10,89% setiap tahun, pertumbuhan yang relatif tinggi ini
menunjukkan bahwa animo masyarakat masih sangat besar untuk melakukan
budi daya tanaman ini. Hal ini diantaranya dikarenakan oleh potensi pendapatan
yang juga besar dari usaha perkebunan ini. Akan tetapi jika dilihat dari segi laju
pertumbuhan produksi gambir, maka tampak bahwa pertumbuhan jumlah
produksi masih relatif kecil yaitu hanya 3,01%. Kondisi ini mengindikasikan dua
hal, pertama bahwa penanaman gambir di lahan baru belum cukup umur untuk
dipanen dan kedua bahwa produkstivitas masih relatif rendah. Data produksi
tanaman perkebunan Provinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Secara tekhnis, tanaman gambir dapat dipanen pertama kalinya pada saat
tanaman sudah berumur 1,5 2 tahun, panen berikutnya tidak ada kriteria
tertentu, biasanya petani hanya melihat jumlah daun yang cukup banyak dengan
usia daun berkisar antara 6 8 bulan setelah panen. Pada umumnya gambir
dapat dipanen 2 hingga 4 kali dalam setahun selama 15 tahun sejak pertama
dipanen.
Jika dilihat dari luas tanam dan produksi tanaman gambir di Sumatera
Barat tampak bahwa potensi produksi masih cukup besar karena pertumbuhan
lahan yang masih tinggi. Akan tetapi untuk dapat meningkatkan produktivitas
produksi tentunya perlu dilakukan berbagai upaya agar produk yang dihasilkan
dapat ditingkatkan dari segi kuantitas dan kualitasnya.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa 9 dari 19 atau 47,47% daerah kota
kabupaten di wilayah Sumatera Barat menghasilkan gambir, dimana dari waktu
ke waktu terjadi peningkatan luas areal, jumlah produksi dan kepala keluarga
(KK) tani yang melakukan aktivitas budi daya gambir. Selanjutnya, jika dilihat dari
kondisi tanaman maka tampak bahwa jumlah lahan yang berisi tanaman rusak
cenderung meningkat, hal ini tentunya perlu mendapat perhatian agar potensi
produksi tidak terganggu di masa mendatang. Upaya peremajaan tanaman perlu
segera dilakukan oleh petani dan para pelaku usaha perkebunan gambir di daerah
ini, tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas bibit dan keseimbangan
lingkungan.
Berdasarkan luas tanam dan produksi di kabupaten Lima Puluh Kota pada
tahun 2008 dan 2011 dapat dilihat bahwa luas tanam gambir bertumbuh dengan
2,42% sedangkan produksinya bertumbuh dengan laju rata-rata 12,74%. Kondisi
berbeda dengan pertumbuhan lahan dan produksi yang terjadi di wilayah
Sumatera Barat, dimana pada bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa
pertumbuhan lahan gambir di Sumatera Barat bertumbuh jauh lebih besar
dibandingkan dengan pertumbuhan produksi gambir. Dari data ini dapat
dikatakan bahwa besarnya laju pertumbuhan produksi di daerah kabupaten Lima
Puluh Kota didorong oleh tingginya produktivitas tanaman gambir di wilayah ini.
Kondisi ini juga mencerminkan bahwa produksi gambir masih memiliki potensi
untuk meningkat dimasa mendatang.
Jika dilihat dari laju pertumbuhan lahan dan produksi yang meningkat
selama empat tahun terakhir, maka dapat diperkirakan bahwa 4 kecamatan yang
belum melakukan penanaman gambir, yaitu Kecamatan Luak, Akabiluru, Situjuah
Limo Nagari dan Gunung Omeh pada dasarnya merupakan kawasan yang
potensial untuk melakukan usaha tani gambir, sehingga tidak tertutup
kemungkinan bahwa masyarakat di kawasan ini akan mulai melakukan usaha tani
gambir. Dengan dicanangkannya program GERBANG GAMBIR dan menjadikan
gambir sebagai produk unggulan maka tentunya komoditas ini semakin memiliki
Tabel 2.10. Jumlah Penduduk, Jumlah Keluarga dan Jumlah Keluarga Petani
Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota
Jumlah Jumlah Keluarga Petani
No Kecamatan Penduduk Keluarga Gambir (KK)
(Jiwa) (KK) Jumlah %
1 Kapur IX 26,300 6,128 3,497 57,07
2 Pangkalan Koto Baru 27,665 6,536 1,312 20,07
3 Suliki 14,098 4,012 192 4,79
4 Guguak 33,383 8,668 28 0,32
5 Lareh Sago Halaban 32,805 8,630 341 3,95
6 Mungka 23,059 5,959 467 7,84
7 Harau 42,019 10,175 715 7,03
8 Payakumbuh 29,568 7,001 65 0,93
9 Bukit Barisan 21,921 7,102 1,385 19,50
Sumber: Bahan Presentasi Dinas Perkebunan Kabupaten Lima Puluh Kota, 2008
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa di daerah Kapur IX terdapat 57,07%
kepala keluarga di kawasan ini berusaha dalam budidaya gambir, hal ini
mendukung fakta bahwa kawasan ini sebagai penghasil terbesar gambir di
kabupaten Limapuluh Kota. Selanjutnya kecamatan Pangkalan Koto Baru
mempunyai 20,07% KK yang bekerja sebagai petani gambir dan di urutan ketiga
adalah kecamatan Bukit Barisan dengan 19,5% KK sebagai petani gambir.
Ditinjau dari faktor iklim, curah hujan di wilayah Barat Pulau Sumatera cukup
tinggi. Budidaya gambir pada daerah lereng yang tidak mengikuti kaedah-kaedah
konservasi lahan, akan mengancam munculnya lahan kritis baik pada bagian hulu
maupun bagian hilir aliran sungai. Keadaan ini semakin diperparah oleh kebiasaan
petani menggunakan kayu sebagai bahan bakar dalam pengolahan hasil gambir
sehingga juga dapat mengancam kerusakan lingkungan hutan.
Dari segi budidaya penanaman gambir pada lahan yang berfotografi tidak
datar atau berlereng belum mengikuti kaedah-kaedah konservasi, dimana system
jarak tanam yang dipakai tidak beraturan dan tidak mengikuti baris kontur. Pola
tanamnya secara monokultur. Sistem budidaya yang semacam ini akan memberi
peluang terjadinya erosi yang dapat merusak lingkungan sekitarnya.
Selain itu, kendala yang dihadapi saat ini adalah produktivitas gambir yang
masih rendah dan besarnya kehilangan hasil dalam pengolahan. Produktivitas
gambir rata-rata di Indonesia berkisar antara 400-600 kg getah kering per ha,
sementara produktivitas optimal bisa mencapai 2.100 kg getah kering per ha.
Rendahnya produktivitas gambir diduga karena teknik budidaya yang masih
tradisional dan penggunaan input produksi yang tidak optimal. Dimana petani
masih menggunakan bibit seadanya saja dan belum menggunakan varietas
unggul serta sistem pemeliharaan yang juga belum memadai. Metode dan alat
panen serta pengolahan hasil yang belum efektif dan efisien juga menjadi faktor
rendahnya produktivitas gambir di Indonesia.
Tabel 2.11. Prediksi Tingkat Produksi, Luas Lahan dan Jumlah KK Petani
Gambir di Sumatera Barat tahun 2012-2031
Tahun Produksi Luas Jumlah Tahun Produksi Luas Jumlah
(ton) Lahan KK (ton) Lahan KK
(Ha) Tani (Ha) Tani
Gambir Gambir
2012 14280 21673 12136 2022 16026 25524 17520
2013 14454 22058 12674 2023 16200 25909 18058
2014 14629 22443 13213 2024 16375 26294 18596
2015 14804 22828 13751 2025 16550 26679 19135
2016 14978 23213 14289 2026 16724 27064 19673
2017 15153 23598 14828 2027 16899 27449 20212
2018 15327 23983 15366 2028 17073 27834 20750
2019 15502 24368 15904 2029 17248 28219 21288
2020 15677 24753 16443 2030 17423 28604 21827
2021 15851 25138 16981 2031 17597 28989 22365
Sumber: Pengolahan data berdasarkan data BPS tahun 2005-2011.
Dari hasil estimasi di atas dengan asumsi ceteris paribus , dan tidak ada
halangan dalam melakukan perluasan lahan maka dapat dilihat bahwa produksi
gambir di daerah ini akan terus dapat ditingkatkan, akan tetapi mengingat lahan
Pada bagian ini akan dibahas tentang aspek potensi pasar dari produk
agroindustri gambir di pasar lokal dan nasional dan internasional.
Pasar domestik utama produk gambir Sumatera Barat saat ini terdapat di
Sumatera dan Jawa. Gambir yang berasal dari Sumatera Barat selain dipasok
untuk konsumsi lokal di wilayah Sumatera juga dikirimkan ke beberapa daerah di
Jawa terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk pasar internasional ekspor
gambir Indonesia sebagian besar berasal dari Sumatera Barat dan sebagian kecil
dari Sumatera Selatan dan Bengkulu. Dengan 80 % pangsa pasar gambir dunia
yang dikuasai. Indonesia termasuk Negara pengekspor gambir terpenting di
dunia. Berdasarkan data BPS (2008). dengan negara tujuan utama India yang
mengimpor gambir Indonesia terbanyak yaitu sekitar 84% dari total gambir yang
diekspor. Negara pengimpor gambir lainnya yaitu Sinagpura. Pakistan. Nepal dan
Banglades.
Walaupun Indonesia merupakan pengekspor gambir utama di dunia.
namun volume dan nilai ekspor gambir Indonesia mengalami fluktuasi dan tidak
seluruh ekspor gambir ke negara tujuan menunjukan kondisi stabil ataupun
GAMBIR SUMATERA BARAT 2012 25
pertumbuhan yang baik setiap tahunnya. Penyebab utama kondisi tersebut
diantanya dipengaruhi oleh kondisi mutu produk gambir yang rendah sehingga
harga di pasar juga menjadi rendah. Volume dan nilai ekspor gambir Indonesia
tahun 2010-2011 dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
2010 2011
Negara Tujuan
Bobot Nilai FOB Bobot Nilai FOB
(ton) (1000US$) (ton) (1000US$)
Myanmar - - 24.8 12
Polandia - - 24.7 26
Penggunaan katekin dan tanin yang relatif cukup besar ini memberikan
peluang besar bagi perusahaan untuk melakukan pengembangan produk
tersebut di Indonesia pada umumnya dan di Sumatera Barat khususnya.
Permintaan impor tanin di pasar dunia dapat dilihat pada tabel 3.3.
1 2000 71.175.852
2 2001 75.805.956
3 2002 81.974.490
4 2003 99.278.144
5 2004 97.498.667
6 2005 110.237.058
7 2006 119.725.195
8 2007 134.798.482
9 2008 12.314.530
Sumber : UN Comtrade (2008); dalam Mauldian 2010.
Jika dilihat dari harga jual produk turunan gambir maka dapat dilihat
bahwa agroindustri gambir mampu memberikan nilai tambah yang signifikan bagi
perekonomian dan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat pelaku usaha
khususnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa usaha ini pada dasarnya memiliki
5.Katekin Rp 1.000.000/g
Jika dilihat dari perkembangan ekspor gambir Indonesia dan harga produk
gambir di atas, maka dapat dikatakan bahwa aspek pasar gambir masih potensi
untuk terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan berkembangnya tekhnologi
yang memanfaatkan gambir sebagai bahan baku industri.
Tabel 3.4. Perkembangan Ekspor dan Harga Gambir Sumatera Barat Tahun
2001-2010.
Tahun Volume Nilai Harga rata-
(ton) ($ 000) rata/kg
2001 984 1.168 1,187
2002 959 1.164 1,214
2003 589 669 1,136
2004 850 967 1,138
2005 622 700 1,125
2006 496 562 1,133
2007 1.117 1.992 1,783
2008 2.696 4.120 1,528
2009 630 1.250 1,984
2010 1.960 3.590 1,832
Pertumbuhan 7,96 13,29 4,94
rata-rata (%)
Sumber: BPS Sumatera Barat.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa baik volume maupun nilai ekspor
gambir cenderung berfluktuasi, hal ini dikarenakan harga gambir juga
berfluktuasi. Kondisi ini jelas sangat mempengaruhi pendapatan para pelaku
usaha terutama petani gambir. Apalagi produksi gambir Sumatera Barat
diperkirakan 90% diekspor sehingga pendapatan petani gambir juga berfluktuasi.
Hanhya sekitar 10% sisa dari ekspor yang dikirim keluar Propinsi Sumatera Barat
antara lain: Yogyakarta, Semarang dan Jakarta, untuk proses batik dan bahan
baku obat obatan. Adapun negara tujuan ekspor gambir Sumatera Barat adalah
India, Pakistan, Bangladesh, China, Singapura, Jepang, Malaysia, dan
Nepal. Beberapa negara lain yang juga berpotensi untuk produk gambir ini
adalah Afrika Selatan, Uni Emirat Arab dimana saat ini Sumatera Barat belum
bisa ekspor langsung ke negara tersebut.
Jika diamati kondisi pasar yang ada saat ini, maka produk yang paling
memungkinkan untuk dikembangkan dan masuk pasar adalah produk yang
dikonsumsi secara massal dan kontiniu oleh konsumen, yang sering disebut
dengan convenient product yaitu produk yang dicoba dulu oleh masyarakat
untuk kemudian memutuskan apakah produk ini akan teurs dikonsumsi atau
tidak. Jenis produk ini diantaranya adalah produk makanan, minuman dan
kosmetika serta obat herbal. Beberapa produk yang sudah dikembangkan oleh
Andalas Farma diantaranya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Ada dua kategori oligopoli yaitu oligopoli ketat dan oligopoli longgar.
Dalam oligopoli terdapat beberapa perusahaan terkemuka ditambah sekelompok
pesaing-pesaing kecil. Yang menjadi ciri utama dari kelompok oligopoli adalah
hadirnya beberapa kelompok perusahaan terkemuka.
Jenis srtuktur pasar ini merupakan tingkat persaingan yang lebih rendah
dibandingkan oligopoli. Pada persaingan ini terdapat taraf pemusatan atau
konsentrasi pasar yang rendah, tetapi perusahaan memiliki sedikit tingkat
monopoli terhadap konsumen. Pada jenis pasar ini pangsa pasar empat
perusahaan terbesar tidak lebih dari 10 persen.
Praktek jual beli yang dilakukan oleh petani dan pedagang di Sumatera
Barat, khususnya kabupaten Lima Puluh Kota adalah bahwa petani cenderung
menjual hasil panennya kepada pedagang lokal yang sudah dikenal baik atau
minimal sudah pernah bertransaksi sebelumnya. Hal ini terjadi karena: (1) adanya
hubungan baik dengan pedagang yang bersangkutan, (2) terbatasnya akses petani
dengan pedagang yang berasal dari daerah di luar wilayahnya, dan (3) adanya
ketergantungan modal kerja dengan pedagang yang bersangkutan terutama
dalam kegiatan pengolahan. Selain pertimbangan kenal atau tidaknya dengan
siapa petani akan bertransaksi, pertimbangan lain adalah harga yang ditawarkan
pedagang, serta pemotongan kadar air yang ditawarkan pedagang, atau dengan
kata lain pertimbangan rasional dan memberikan keuntungan tertinggi tetap
menjadi acuan petani dalam melakukan transaksi, terutama petani yang tidak
memiliki keterikatan dan perjanjian dengan pedagang tertentu.
Sampai saat secara spesifik dapat ikatakan tidak ada ini kontrol dan
intervensi pemerintah daerah maupun pusat dalam perdagangan gambir, baik
dalam bentuk peraturan yang membatasi ataupun mengatur mekanisme
perdagangan gambir. Hambatan keluar masuk pasar dalam pemasaran gambir
sangat dipengaruhi oleh besarnya modal yang dimiliki oleh lembaga pemasaran
yang terlibat, misalnya untuk akses pada fasilitas penyimpanan/gudang dan
transportasi, serta yang tidak kalah pentingnya adalah adanya hubungan
kepercayaan di antara para pelaku pasar. Umumnya lembaga pemasaran yang
terlibat dalam proses pemasaran gambir di Sumatera Barat telah memiliki
pengalaman yang cukup lama (lebih dari 10 tahun), memiliki modal yang besar
dan bankable, serta memiliki hubungan kepercayaan yang baik dengan lembaga
pemasaran lainnya sehingga memiliki akses informasi yang baik. Kondisi inilah
yang akan menyulitkan pemain baru untuk masuk ke dalam pasar, terutama
Salah satu yang dapat menjadi hambatan masuk pasar adalah keberadaan
perusahaan terbesar yang telah ada sebelumnya dalam sebuah industri. Hal ini
dapat dilihat dari nilai Minimum Efficiency Scale (MES). Dari kajian yang dilakukan
Afrizal, 2009; dihasilkan nilai sebesar sebesar 17.869 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa hambatan untuk masuk ke pasar gambir di Kabupaten
Lima Puluh Kota khususnya dan Sumatera Barat pada umumnya relatif besar
karena nilai MES > 10. Tidak mudah bagi pendatang baru untuk masuk ke dalam
pasar. Pendatang baru disamping harus memiliki modal yang sangat besar untuk
dapat melakukan transaksi jual beli gambir, membeli peralatan, mengupah buruh,
mempekerjakan karyawan, memiliki armada untuk pembelian dan penjualan,
perizinan dan gudang serta lokasi penjemuran yang memadai, ia juga harus
memiliki jaringan yang kuat dengan partisipan pasar lainnya.
4.1.Pendahuluan
Pada bagian ini dibahas tentang aspek pemilihan lokasi pabrik serta teknis pengolahan, dari
mulai daun gambir dipetik sampai pada gambir diolah dan siap untuk dipasarkan. Selain itu,
dalam bab ini juga dijelaskan tentang alternatif teknologi, peralatan, sarana serta aspek legalitas
yang harus diperhatikan dalam upaya pengembangan usaha agroindustri gambir di Sumatera
Barat.
Proses pengolahan gambir menjadi gambir asalan dapat dilihat pada gambar 4.1. Bagian
tanaman gambir yang memiliki nilai ekonomi relatif tinggi terdapat pada bagian daun dan
Dari studi yang dilakukan oleh Amos, 2010; ditemukan bahwa kandungan katekin dari
daun gambir di sentra gambir Indonesia beragam, perbedaan ini diantaranya disebabkan oleh
proses pengolahan yang berbeda dan sifat katekin yang rentan terhadap panas. Apabila katekin
dipanaskan pada temperatur 1100 C atau dengan cara memanaskan pada larutan alkali karbonat,
maka akan kehilangan satu molekul air dan berubah menjadi asam kateku tanat (Thorpe,JF., and
Whiteley, M.A. 1921). Katekin jika mengalami pemanasan atau pemasakan yang lama dengan
larutan bersifat basa akan melakukan kondensasi sendiri sehingga berubah menjadi asam kateku
tanat yang berjumlah 24% (Leung,1980), Amos 2010.
Menurut Amos, 2010; kandungan katekin pada produk gambir yang dihasilkan di
Indonesia antara 2,5% sampai dengan 95%. Dalam penelitiannya Amos hanya melakukan
perhitungan persentasi pada kandungan katekin, dengan hasil yang dapat dilihat pada tabel 4.1.
Dari tabel dapat dilihat bahwa kandungan katekin tertinggi adalah gambir di sentra produksi
Sumatera Selatan sedangkan yang terendah adalah gambir dari sentra produksi Riau. Untuk
sentra gambir di Sumatera Barat kandungan katekinnya berada pada interval 40-80%. Hal ini
mengindikasikan bahwa perlu upaya pengembangan usaha agroindastri gambir di Sumatera
Barat agar produksi katekin lebih dapat ditingkatkan kualitasnya dengan sistem produksi yang
standar dan teruji.
Selanjutnya jika dilihat dari tipe gambir, ada 4 (empat) tipe gambir yang tumbuh di
Indonesia, dan di sentra gambir Sumatera Barat, tipe tersebut adalah: udang, riau mancik, riau
gadang dan cubadak. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Ferita, ddk; 2011, ditemukan bahwa
gambir tipe udang memiliki kandungan katekin paling tinggi dibandingkan dengan tipe lainnya.
Hasil dari 8 (delapan) kali pengulangan percobaan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 4.2.
Untuk itu, dalam upaya meningkatkan manfaat ekonomi gambir, maka perlu
dikembangkan berbagai produk, baik produk antara maupun produk konsumsi (produk akhir)
yang bernilai tambah tinggi. Untuk tujuan itu, aktivitas pengembangan produk diarahkan
kepada penciptaan berbagai macam produk hilir yang potensinya sebenarnya sangat beragam.
Gambir memiliki peluang yang besar untuk menumbuhkan berbagai industri baru yang
mengolah gambir asalan, produk olahan gambir asalan maupun bahan baku dari tanaman
gambir menjadi berbagai produk yang bermanfaat. (Herryandie;2011). Peluang tersebut
menjadi semakin terbuka karena kecenderungan konsumen dunia untuk mengkonsumsi
produk-produk alami semakin meingkat dan pilihan tekhnologi pengolahan juga semakin
beragam dan sudah tersedia di pasar saat ini.
1. Direktur Utama
Seorang Direktur Utama membawahi 3 orang direktur kepala bagian. Tugas direktur
utama adalah untuk mengawasi kerja dan menerima laporan pertanggung jawaban dari
ketiga direktur dibawahnya, disamping harus bertanggung jawab atas kelangsungan
hidup perusahaan, menentukan dan mengendalikan perusahaan.
Mengawasi kerja dan menerima laporan dari ketiga manajer yang dibawahinya
Mengawasi masalah kepegawaian ,mulai dari penggajian sampai kesejahteraan
karyawan dan pekerjanya
Membina hubungan baik dengan Pemerintah dan Instansi terkait
Mengawasi maslah administrasi dan keuangan perusahaan
Mengawasi hal-hal yang bersifat administrasi umum terkait aktivitas perusahaan.
3. Direktur Operasi
Direktur operasi membawahi manajer produksi, pengawasan mutu dan seorang manajer
teknik. Tugas dan tanggung jawab seorang direktur operasi adalah sebagai berikut :
Selanjutnya kebutuhan Sumber daya manusia sebagai tenaga kerja dalam organisasi
merupakan aset krusial yang akan menentukan keunggulan bersaing organisasi. Untuk itu dalam
penggunaan jumlah sumber daya perlu dipertimbangkan secara terencana agar organisasi dapat
beroperasi dalam skala yang efisien. Kelebihan atau kekurangan jumlah personel akan berakibat
terhadap kinerja perusahaan. Kebutuhan tenaga kerja dalam proses industri dihitung
berdasarkan proses produksi, jenis mesin atau peralatan yang dipakai dan bagian
kantor/administrasi. Secara umum karyawan antinya dapat dibedakan atas karyawan tetap dan
karyaawan lepas. Karyawan atau pekerja tetap adalah mereka yang telah lolos seleksi dan
bekerja untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kontrak kerja yang disepakati. Karyawan
ditempatkan di bagian kantor dan laboratorium dan operator mesin, satpam serta petugas
kebersihan. Karyawan dan pekerja ini tidak dapat meninggalkan pekerjaannya tanpa alasan atau
izin yang diterima perusahaan. Sedangkan pekerja lepas adalah pekerja yang bekerja secara
temporer, tidak harus melalui tahapan seleksi formal, karena pekerjaan yang dilakukan tidak
membutuhkan keahlian atau pendidikan khusus. Meskipun demikian mereka harus tetap
mendaftar ke bagian personalia untuk terikat bekerja dalam jangka waktu tertentu. Pekerja
lepas dibutuhkan pada bagian pencucian dan pembersihan daun gambir.
Menurut Sjafrizal (2008), pemilihan lokasi pabrik didasarkan dua kemungkinan, pertama
pabrik dibangun mendekati pasar dan yang kedua adalah mendekati sumber bahan baku. Pada
dasarnya dalam pemilihan lokasi pabrik, dilakukan atas dasar keuntungan komparatif
(comparative advantage) lokasi pabrik. Jika ongkos transportasi produk yang dihasilkan lebih
mahal dibandingkan dengan ongkos sumber bahan baku, maka penempatan pabrik seyogyanya
dilakukan mendekati pasar, dan begitu juga sebaliknya. Selain daripada faktor ongkos
transportasi, faktor-faktor lain juga perlu menjadi pertimbangan dalam pemilihan lokasi pabrik.
Diantaranya adalah ketersediaan sumber bahan baku dan daya tahannya, jika bahan baku
cenderung mudah rusak maka sebaiknya lokasi pabrik mendekati bahan baku, disamping itu
pemilihan lokasi pabrik juga harus meperhatikan infrastruktur yang tersedia. Atas dasar itu,
terdapat 3 daerah yang berpotensi dalam pendirian pabrik pengolahan gambir di Sumatera
Barat yaitu Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan serta Kabupaten Lima Puluh Kota.
Dilihat dari sisi ketersediaan infrastruktur di ketiga wilayah tersebut, Kota Padang adalah
wilayah yang paling siap dengan dengan infrastruktur yang paling baik. Walaupun demikian,
tidak dapat diabaikan bahwa besarnya potensi gambir di kedua wilayah lainnya perlu menjadi
pertimbangan mengingat industri pengolahan gambir sangat rentan terhadap ketersediaan
GAMBIR SUMATERA BARAT 2012 50
sumber bahan baku. Melihat dari potensi produksi gambir serta dukungan produksi wilayah
sekitarnya, maka Kabupaten Lima Puluh Kota berpotensi sebagai tempat pendirian industri
pengolahan gambir. Selanjutnya, kedekatan dengan kota Padang yang memiliki infrastruktur
paling baik disamping dukungan sumberdaya bahan baku maka kabupaten Pesisir Selatan juga
layak diperhitungkan sebagai lokasi pabrik pengolahan gambir (Agroindustri gambir)
Guna memberikan kemudahan pelayanan dan akurasi data terhadap para investor,
semenjak tahun 2010 Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi (BKPMP) Sumatera Barat
mulai menerapkan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE). Dengan menggunakan sistem pelayanan perizinan secara online ini, diharapkan
investor akan memperolah pelayanan yang mudah, cepat, tepat, transparan dan akuntabel.
Berdasarkan Peraturan Kepala BKPM No. 12 tahun 2009 dinyatakan bahwa izin prinsip
diperlukan oleh perusahaan yang membutuhkan fasilitas fiskal. Bagi penanaman modal asing
(PMA), izin prinsip dapat diajukan setelah perusahaan membentuk badan hukum Indonesia
yaitu berbentuk perseroan terbatas (PT). Jika perusahaan PMA tidak membutuhkan fasilitas
fiskal (pembebasan bea masuk, PPN dan PPh), penanam modal asing tidak perlu memiliki izin
prinsip.
Khusus untuk PMA, pengajuan permohonan izin prinsip diajukan kepada PTSP BKPM,
sedangkan PMDN mengajukan kepada PTSP Kabupaten bila proyek berlokasi di satu
kabupaten. Adapun kelengkapan yang dibutuhkan diantaranya adalah; (1) bukti Pendaftaran
bagi badan usaha yang telah melakukan pendaftaran; (2) Rekaman akta Pendirian Perusahaan
dan perubahannya; (3) Rekaman Pengesahan Anggaran Dasar Perusahaan dari Kementerian
Hukum dan HAM dan (4) Rekaman NPWP. (5) keterangan rencana kegiatan yang meliputi
uraian proses produksi dengan mencantumkan jenis bahan baku yang dilengkapi dengan
diagram alir (flow chart) dan uraian kegiatan usaha.
Sedangkan untuk PMDN, prosedur yang dilalui lebih sederhana, dimana waktu yang
dibutuhkan sekitar 3 hari kerja. Dalam hal ini, calon investor melampirkan bukti diri pemohon
yang terdiri dari (1) bukti pendaftaran (2) rekaman akta pendirian perusahaan dan perubahannya
untuk PT, CV, Fa atau rekaman Anggaran Dasar bagi Badan Usaha Koperasi; (3) rekaman
pengesahan Anggaran Dasar Perusahaan dari Kementerian Hukum dan HAM atau pengesahan
Anggaran Dasar Badan Usaha Koperasi oleh instansi yang berwenang; (4) rekaman KTP untuk
perseorangan serta (5) rekaman NPWP. Selain daripada itu, pengajuan juga harus melampirkan
keterangan rencana kerja yang berisi uraian proses produksi yang mencantumkan jenis bahan
baku dan dilengkapi dengan diagram alir (flow chart) serta uraian kegiatan usaha sektor jasa
serta rekomendasi dari instansi pemerintah terkait (sesuai syarat bidang usaha) yang diatur
dalam Perpres No. 36 tahun 2010.
5.1.Pendahuluan
Pendekatan ini menitik beratkan pada kebutuhan investasi awal untuk
pengolahan katekin dan tanin, kelayakan investasi pengolahan pabrik katekin dan
tanin serta analisis produk turunan berbahan dasar gambir lainnya. Analisis
finansial berkaitan rasio antara jumlah pendapatan dengan jumlah biaya yang
dikeluarkan dalam pembangunan dan operasional pabrik katekin dan tanin.
Secara umum ukuran dari kelayakan finansial terdiri atas beberapa indikator
keuangan, diantaranya (1) Net Present Value (NPV), (2) Benefit Cost Ratio (BCR)
dan (3) Payback Period (PP).
Dalam menganalisa aspek keuangan ini, akan dibedakan menjadi 2
kelompok hasil produk yakni analisis produk antara (Pabrik pengolahan katekin
dan tanin) dan analisis produk akhir/hilir yakni produk-produk turunan dari
bahan dasar gambir. Analisis Pabrik pengolahan katekin dan tanin akan
menggunakan dasar nilai bobot emas (oz) sebagai dasar perbandingan
pendapatan dan biaya dengan standar harga emas dunia.
Tabel 5.1
Perkiraan Biaya Investasi Awal Pabrik Katekin dan Tanin dan Mobiler Unit
Pengolahan
Pabrik Tetap
Harga
No Uraian Jumlah Satuan Jumlah Harga (Rp)
Satuan (Rp)
Mobile Unit
Harga
No Uraian Jumlah Satuan Jumlah Harga
Satuan
Dari tabel 5.1 diatas, jumlah investasi awal yang dibutuhkan untuk
pendirian pabrik tetap dan mobile unit adalah Rp. 5.763.666.666,- (Lima Milyar
Tujuh Ratus Enam Puluh Tiga Juta Enam Ratus Enam Puluh Enam Ribu Enam
Ratus Rupiah). Dalam komponen rincian biaya investasi tersebut, diasumsinya
biaya kontinjensi (biaya lain-lain) adalah 10% dari total biaya investasi.
Proses produksi katekin dan tanin dari gambir asalan membutuhkan air
dan pelarut serta memisahkan kotoran dari bahan yang akan dikeringkan lebih
lanjur dengan spray dryer. Selanjutnya, pengeringan akan melepaskan uap air
ataupun uap pelarut dari padatan kering dan menghasilkan produk berupa
Tabel 5.2
Kebutuhan Operasional Unit Produksi Katekin dan Tanin
Uraian Mobile Unit Pabrik Tetap
Bahan Proses
Gambir Asalan 7 Kg/hari 35 Kg/hari
Pelarut 14 Liter 70 Liter
Air Demineralisasi 35 Liter 175 Liter
Bahan Bakar dan Energi
Listrik
Jumlah Jam Operasi 8 Jam 8 Jam
Kebutuhan BBM Genset 8 Liter/Jam - Liter/Jam
64 Liter/Jam - Liter/Jam
Energi Listrik - 80 kWh/hari
Kebutuhan Gas 7 Tabung/hari 35 Tabung/hari
Tenaga Kerja 3 Orang 6 Orang
Dalam pengolahan katekin dan tanin terdapat perbedaan biaya yang timbul
antara pabrik tetap dan mobile unit yakni komponen biaya bahan bakar minyak
dan sopir. Dari perhitungan kebutuhan operasional unit produksi katekin dan tanin
yang dijelaskan dalam tabel 5.2 dapat disusun perkiraan nilai produk dan biaya
operasi unit produksi katekin dan tanin yang dijelaskan pada tabel 5.3 berikut ini.
Dari perhitungan biaya investasi dan biaya operasi 1 tahun diperoleh nilai
besarnya permodalan, tingkat pengembalian modal dan bagi hasil dengan
penyandang dana yang dijelaskan dalam tabel 5.5 berikut ini.
Tabel 5.5.
Permodalan, Pengembalian Modal dan Bagi Hasil
Mobile Pabrik
Uraian
Unit Tetap
Kebutuhan
Investasi 2,851.44 2,912.22
Biaya Operasi (1 Tahun) 590.4 2,068.50
Total Kebutuhan Modal 3,441.84 4,980.72
Lama Bagi Hasil 10 10
Pengembalian Pokok Modal 344.184 498.072
Proporsi Bagi Hasil Bagi Pemodal 40% 40%
Sumber: Adi, Alexis (2011)
Dari tabel 5.5 diatas diasumsikan proporsi bagi hasil bagi pemodal adalah
sebesar 40%, maka perhitungan arus kas unit produksi katekin dan tanin pada
tahun awal kegiatan investasi dan tahun pertama operasi akan dijelaskan dalam
tabel 5.6 berikut.
Tahun 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Penerimaan 537 537 537 537 537 537 537 537 537 537
Investasi 216 58
Biaya Operasi 0 156.83 156.83 156.83 156.83 156.83 156.83 156.83 156.83 156.83 156.83
Biaya Lainnya 202 202 202 202 202 202 202 202 202 202
Laba Kotor (216) 179 179 179 179 120 179 179 179 179 179
Pengurangan
Bagi hasil 71.57 71.57 71.57 71.57 71.57 71.57 71.57 71.57 71.57 71.57
Penyusutan 14.05 14.05 14.05 14.05 14.05 14.05 14.05 14.05 14.05 14.05
Laba Sebelum Pajak (216) 93 93 93 93 35 93 93 93 93 93
Pengurangan
PPh (15%) 14 14 14 14 5 14 14 14 14 14
Laba Bersih (216) 79 79 79 79 30 79 79 79 79 79
Arus Kas Kumulatif (216) (137) (58) 22 101 131 210 289 369 448 527.14
Tahun 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Penerimaan 537 537 537 537 537 537 537 537 537 537
Investasi 221 49
Biaya Operasi 0 223.82 223.82 223.82 223.82 223.82 223.82 223.82 223.82 223.82 223.82
Biaya Lainnya 213 213 213 213 213 213 213 213 213 213
Laba Kotor (221) 100 100 100 100 52 100 100 100 100 100
Pengurangan
Bagi hasil 40.13 40.13 40.13 40.13 40.13 40.13 40.13 40.13 40.13 40.13
Penyusutan 13.34 13.34 13.34 13.34 13.34 13.34 13.34 13.34 13.34 13.34
Laba Sebelum Pajak (221) 47 47 47 47 (2) 47 47 47 47 47
Pengurangan
PPh (15%) 7 7 7 7 (0) 7 7 7 7 7
Laba Bersih (221) 40 40 40 40 (2) 40 40 40 40 40
Arus Kas Kumulatif (221) (181) (141) (101) (62) (63) (23) 17 56 96 135.99
Nilai arus kas kumulatif pada tahun ke-10 merupakan nilai Net Present
Value (NPV) dari unit pengolahan katekin dan tannin dengan satuan bobot emas
(oz). Dari tabel 5.8, tabel 5.9 dan tabel 5.10 tersebut diatas maka dapat
disimpulkan sebagai berikut.
1. NPV merupakan selisih antara Present Value dari investasi dengan nilai
sekarang dari penerimaan kas bersih dimasa yang akan datang. Jika Nilai
NPV lebih besar dari 0 (nol) maka usulan investasi dapat diterima. Dari
perhitungan diatas diperoleh hasil usulan investasi dinyatakan
layak/diterima baik untuk pabrik tetap maupun mobile unit. Nilai NPV
untuk pabrik tetap lebih rendah daripada nilai NPV untuk mobile unit
yakni 135,99 untuk pabrik dan 527,14 untuk mobile unit.
2. Benefit Cost Rasio (Rasio B/C) diperoleh hasil bahwa untuk pabrik tetap
1,16 sedangkan untuk rasio B/C mobile unit sebesar 1,39. Hal ini
mengindikasikan bahwa usulan investasi dapat diterima baik pabrik tetap
Tabel 5.12
NVP Hasil Analisis Sensivitas (oz emas)
NPV Minimum NPV Maksimum
Variabel Mobile Pabrik Mobile Pabrik
Unit Tetap Unit Tetap
Harga Katekin -285.89 -677.05 1,069.17 678.01
Harga Tanin 120.63 -270.53 798.16 407
Rendemen Katekin -14.88 -406.04 1,069.17 678.01
Rendemen Tanin 256.13 -135.03 798.16 407
Harga Gambir Asalan 242.94 -148.22 547.45 156.29
Harga Pelarut 486.54 95.38 527.14 135.99
Harga BBM 501.04 -83.26 527.14 135.99
Harga Gas Elpiji 445.94 54.78 527.14 135.99
Gaji Tenaga Kerja 492.34 19.98 541.06 182.39
Biaya Promosi 376.41 -14.75 587.44 196.28
Biaya Asuransi 483.49 89.3 544.6 154.66
Biaya Perawatan 493.06 105.25 540.78 148.28
Proporsi Bagi Hasil
375.07 50.72 679.22 221.25
(untuk Pemilik Modal)
Dari tabel hasil uji sensitivitas tersebut diatas, semua variabel masih
memberikan nilai NPV yang lebih besar dari nol selain harga dan rendemen
Tabel 5.14
Produk Hilir Berbahan Baku Gambir
Tabel 5.15
Perkiraan Kebutuhan Investasi Awal Produk Hilir Berbahan Baku Gambir
Investasi
No Keterangan
Awal (Rp)
1 Antioksidan (Katevit) 20.000.000
2 Masker peel off 7.000.000
3 Anti Ane Gel 10.000.000
4 Obat kumur Gartevit 30.000.000
5 Obat Luka (Oka Tinctur) 7.000.000
6 Masker anti aging 3.000.000
7 Kapsul obat wasir 6.000.000
8 Tablet hisap 12.000.000
9 Tablet antidiare 10.000.000
10 Sabun transparan 15.000.000
11 Shampo antiketombe 25.000.000
12 Lulur 10.000.000
13 Tinta pemilu 25.000.000
14 Teh gambir 2.000.000
Sumber: Data Diolah (2012)
Dari tabel 5.15 terkait dengan kebutuhan investasi awal, diketahui bahwa besaran nilai
investasi awal antara 3 juta hingga 30 Juta rupiah. Pada umumnya besarnya biaya
investasi awal sangat ditentukan oleh nilai peralatan dalam pengolahan produk tersebut.
Selain itu dalam pengolahan produk hilir berbahan baku gambir, perizinan dari lembaga
terkait sangat penting untuk menciptakan jaminan kesehatan produk. Izin dapat berasal
dari BPOM ataupun dari Depkes untuk izin Industri Rumah Tangga (IRT).
6.1.Pendahuluan
Ditinjau dari faktor iklim, curah hujan di wilayah Barat Pulau Sumatera
cukup tinggi. Budidaya gambir pada daerah ini belum mengikuti kaedah-kaedah
konservasi lahan, akan mengancam munculnya lahan kritis baik pada bagian hulu
maupun bagian hilir aliran sungai. Keadaan semakin diperparah oleh kebiasaan
petani menggunakan kayu sebagai bahan bakar dalam pengolahan hasil gambir
sehingga juga dapat mengancam kerusakan lingkungan hutan.
Dari segi budidaya penanaman gambir pada lahan yang berfotografi tidak
datar atau berlereng ternyata masih belum mengikuti kaedah-kaedah konservasi,
dimana sistem jarak tanam yang dipakai tidak beraturan dan tidak mengikuti baris
kontur. Pola tanamnya secara monokultur. Sistem budidaya yang semacam ini
akan memberi peluang terjadinya erosi yang dapat merusaka lingkungan
sekitarnya.
Oleh sebab itu, usaha pengembangan komoditas gambir pada lahan yang
mempunyai tingkat kemiringan tinggi perlu penerapan teknologi budidaya
konservasi, yaitu dengan menerapkan: (Ridwan, 2012).
1) Pembuatan Teras; tujuan dari pembuatan teras ini adalah untuk mengurangi
terjadinya erosi sebelum penananam gambir maka harus dibuat teras
menurut baris kontur guna memperlambat laju erosi.
2) Pengaturan sistem jarak tanam menurut baris kontur; tujuan penanaman
menurut baris kontur adalah untuk mengurangi erosi, penanaman menurut
baris kontur akan dapat membentuk teras alami yang sangat efektif untuk
mengurangi erosi permukaan. Material-material yang terbawa oleh aliran
permukaan akan tertahan pada barisan tanaman sehingga membentuk
lapisan yang lebih tebal sehingga membentuk teras alami.
3) Intercropping; merupakan penanaman tumbuhan atau komoditas lain di sela
tanaman gambir yang dapat dimanfaatkan sebagai penyangga erosi. Tanaman
yang dimanfaatkan sebagai penyangga erosi adalah tanaman yang dapat
memberikan hasil tambahan antara lain, petai, jengkol dan lain-lain. Serta
tanaman yang tidak menganggu pertumbuhan tanaman gambir. Tajuk
tanaman tidak terlalu lebar sehingga intensitas cahaya tidak terhalang.
Dari hasil kajian dapat disimpulkan bahwa dari semua aspek yang dikaji maka
pengembangan Agroindustri gambir layak dilakukan di Sumatera Barat, adapun
keunggulan utama Indonesia pada umumnya dan Sumatera Barat khususnya
dalam pengembangan Agroindustri gambir adalah pada ketersediaan lahan dan
bahan baku.
Usaha pengolahan yang paling potensial adalah pengolahan gambir asalan yang
diproduksi oleh masyarakat menjadi Katekin dan Tanin yang berkualitas ekspor.
Untuk usaha pengolahan ini dapat dilakukan dengan pabrik tetap dan pabrik
mobile (bergerak); kajian kelayakan finansial memperlihatkan bahwa kedua
metode pengolahan layak untuk dilakukan namun demikian pabrik mobile
(bergerak) lebih efisien untuk dilakukan karena dapat menjangkau rumah kempa
masyarakat yang tersebar di sentra gambir di wilayah kabupaten Lima Puluh Kota
dan dapat mendorong pelaku usaha lokal untuk lebih produktif.
Hasil kajian ini adalah dalam rangka memberikan informasi awal bagi calon
investor tentang kelayakan usaha pengolahan produk berbahan baku gambir di
wilayah Sumatera Barat. Sebagai produsen utama gambir dunia maka investasi
untuk pengembangan agroindustri gambir di kabupaten Limapuluh Kota
khususnya dan Sumatera Barat pada umumnya adalah layak secara finansial dan
memiliki keunggulan pada ketersediaan lahan dan bahan baku.
Dalam hal pemilihan lokasi untuk pabrik, bagi calon investor dapat juga
mempertimbangkan kawasan industri Padang Industrial Park (PIP) yang
berlokasi di kawasan by pass Padang - Padang Paraman; lokasi ini akan lebih
mendukung jika produk yang dihasilkan berorientasi pada pasar internasional.
Keuntungan yang diperoleh investor yang menanamkan modalnya di dalam
kawasan industri antara lain adalah investor dapat melakukan konsultasi dan
meminta penjelasan secara cuma-cuma kepada pengelola kawasan industri
tentang tata cara berinvestasi, dibebaskan dari perizinan prinsip, izin lokasi, izin
Amdal , dan izin undang-undang gangguan (HO), dalam pembelian kavling
industri pembayarannya dapat diatur secara ringan, investor tidak perlu
membiayai infrastruktur lingkungan pabrik, tersedianya fasilitas pendukung yang
diperlukan investor. Meskipun PIP belum sepenuhnya dapat beroperasi secara
optimal, namun pemerintah Provinsi Sumatera Barat berupaya untuk
mengoptimalkan kawasan ini.
Hal penting lainnya yang harus diperhatikan oleh calon investor adalah
keberanekaan sektor usaha telah menjadikan adanya peraturan dan undang-
undang yang berbeda pula, hampir seluruh sektor usaha di Indonesia diatur oleh
ketentuan-ketentuan dan peraturan serta perundang-undangan. Namun
demikian, tidak semua peraturan perundang-undangan sektoral yang ada telah
dilengkapi dengan Peraturan Pemerintahnya, untuk itu para investor harus
mencermati status keberlakuan atas peraturan pada sektor yang diminatinya,
oleh karena peraturan-peraturan tambahan sering kali baru diterbitkan kemudian
Pemerintah daerah merupakan aktor kunci bagi penciptaan iklim investasi yang
kondusif dan pengembangan investasi daerah. Kebijakan yang tepat, peraturan
dan regulasi yang jelas, pelayanan yang responsif, merupakan sejumlah aspek
yang perlu mendapat perhatian serius oleh pemerintah daerah di masa yang akan
datang. Amat sulit mengharapkan adanya arus investasi ke daerah sekiranya
sejumlah aspek tersebut tidak ditangani atau dibenahi secara sungguh-sunguh
oleh pemerintah daerah.
2) Sumber Daya Manusia (SDM); masalah SDM ini sangat kompleks dan yang
dibahas dalam hal ini adalah aparat dan pelaku yang menanggani investor
masuk ke daerah. Investor seringkali menjadi sapi perahaan bagi beberapa
aparat dan pejabat. Uang suap dan pelicin serta punggutan liar begitu banyak,
jumlahnya tidak sedikit. Inilah yang membuat investor mulai mundur ketika
dia sudah melakukan investasi di daerah tersebut. Untuk itu, mental SDM
pengelola investasi didaerah harus diubah, mereka harus melayani dengan
baik investor yang datang. Beberapa dearah sudah melakukan perubahaan
drastis dengan membangun satu pintu pelayanan investasi (PTSP= Pelayanan
Terpadu Satu Pintu) sesuai dengan amanat UU No 25/2007 tentang
penanaman modal.