Tugas Dokbay 2
Tugas Dokbay 2
Cuci Tangan
Menurut Depkes, mencuci tangan adalah proses yang secara mekanis melepaskan
kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan air. Cuci tangan
adalah proses membuang kotoran dan debu secara mekanis dari kulit kedua belah tangan
dengan memakai sabun dan air (Tietjen, dkk, 2004). Sementara itu menurut Larson seperti
yang dikutip dalam Potter & Perry (2005) mengatakan bahwa mencuci tangan adalah
menggosok dengan sabun secara bersama seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat dan
ringkas yang kemudian dibilas di bawah air.
Mencuci tangan adalah membasahi tangan dengan air mengalir untuk menghindari
penyakit, agar kuman yang menempel pada tangan benar-benar hilang. Mencuci tangan juga
mengurangi pemindahan mikroba ke pasien dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme
yang berada pada kuku, tangan dan lengan (Schaffer, dkk, 2000).
Cuci tangan dapat diartikan sebagai tindakan perawat untuk menggosok tangan
dengan sabun secara bersama ke seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat dan ringkas
sesuai dengan prosedur pelaksanaan yang benar dan dibilas dibawah air mengalir dengan
menggunakan sabun anti mikroba, dan bertujuan untuk membebaskan tangan dari kuman
serta mencegah kontaminasi silang, memindahkan angka maksimum kulit dari kemungkinan
adanya infeksi pathogen (Kusyadi, 2010).
Teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan penularan
infeksi adalah mencuci tangan (Potter & Perry, 2005). Mencuci tangan adalah prosedur
kesehatan yang paling penting yang dapat dilakukan oleh semua orang untuk mencegah
penyebaran kuman. Mencuci tangan adalah tindakan aktif dan singkat menggosok tangan
dengan sabun dibawah air hangat yang mengalir (Depkes, 2003).
Cuci tangan adalah tindakan membersihkan kedua tangan dari mikoorganisme, debu,
dan kotoran dengan cara menggosok kedua tangan dengan menggunakan air dan sabun secara
bersamaan kemudian dibilas dengan air mengalir.
Menurut Tietjen (2004) tujuan cuci tangan adalah menghilangkan kotoran dan debu
secara mekanis dari permukaan kulit dan mengurangi mikroorganisme sementara. Tujuan dari
cuci tangan adalah untuk membersihkan mikroorganisme transien sebelum berpindah ke
pasien yang rentan. Infeksi silang dapat terjadi sewaktu perawat berpindah dari satu pasien ke
pasien yang lain atau memegang bagian yang berbeda pada satu pasien (Gould & Brooker,
2003).
Tujuan mencuci tangan adalah untuk membuang kotoran dan organisme yang
menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba total pada saat itu. Tangan
yang terkontaminasi merupakan penyebab utama perpindahan infeksi (Potter & Perry, 2005).
Tujuan dilakukannya cuci tangan yaitu mengangkat mikroorganisme yang ada di tangan,
mencegah infeksi silang (cross infection), menjaga kondisi steril, melindungi diri dan pasien
dari infeksi, dan memberikan perasaan segar dan bersih (Susiati, 2008).
2.1.3. Indikasi Cuci Tangan
b. memakai sarung tangan bedah steril atau DTT sebelum pembedahan atau sarung tangan
pemerikasaan untuk tindakan rutin .
c. sebelum melakukan prosedur invasif dengan atau tanpa menggunakan sarung tangan,
d. setelah bersentuhan dengan kulit yang tidak intact , membrane mukosa, atau balutan luka,
e. bila berpindah dari satu bagian tubuh yang terkontaminasi ke bagian tubuh yang lainnya
dalam satu perawatan pada pasien yang sama,
Cuci tangan menjadi salah satu langkah yang efektif untuk memutuskan rantai transmisi
infeksi, sehingga insidensi nosokomial dapat berkurang. Pencegahan dan pengendalian infeksi
mutlak harus dilakukan oleh perawat, dokter dan seluruh orang yang terlibat dalam perawatan
pasien. Salah satu komponen standar kewaspadaan dan usaha menurunkan infeksi nosokomial
adalah menggunakan panduan kebersihan tangan yang benar dan mengimplementasikan secara
efektif.
Hand hygiene adalah istilah yang digunakan untuk membersihkan tangan dari
mikroorganisme dengan cara menggosok kedua tangan menggunakan air dan sabun antiseptic
ataupun menggunakan alcohol handrub. WHO (2009) mencetuskan promosi global patient safety
challenge dengan clean care is safecare, yang artinya adalah perawatan yang bersih maupun
higienis adalah perawatan yang aman untuk keselamatan pasien (patient safety) dengan
merumuskan inovasi strategi penerapan hand hygiene atau kebersihan tangan untuk petugas
kesehatan dengan five moments for hand hygiene atau 5 momen mencuci tangan, yaitu mencuci
tangan di 5 momen krusial.
Teknik mencuci tangan biasa adalah membersihkan tangan dengan sabun dan air
bersih yang mengalir atau yang disiramkan, biasanya digunakan sebelum dan sesudah
melakukan tindakan yang tidak mempunyai resiko penularan penyakit. Peralatan yang
dibutuhkan untuk mencuci tangan biasa adalah setiap wastafel dilengkapi dengan peralatan
cuci tangan sesuai standar rumah sakit (misalnya kran air bertangkai panjang untuk
mengalirkan air bersih, tempat sampah injak tertutup yang dilapisi kantung sampah medis
atau kantung plastik berwarna kuning untuk sampah yang terkontaminasi atau terinfeksi), alat
pengering seperti tisu, lap tangan (hand towel), sarung tangan (gloves), sabun cair atau cairan
pembersih tangan yang berfungsi sebagai antiseptik, lotion tangan, serta di bawah wastafel
terdapat alas kaki dari bahan handuk.
Mencuci tangan aseptik yaitu cuci tangan yang dilakukan sebelum tindakan aseptik
pada pasien dengan menggunakan antiseptik. Mencuci tangan dengan larutan disinfektan,
khususnya bagi petugas yang berhubungan dengan pasien yang mempunyai penyakit menular
atau sebelum melakukan tindakan bedah aseptik dengan antiseptik dan sikat steril.
c. Teknik cuci tangan steril
Teknik mencuci tangan steril adalah mencuci tangan secara steril (suci hama),
khususnya bila akan membantu tindakan pembedahan atau operasi. Peralatan yang
dibutuhkan untuk mencuci tangan steril adalah menyediakan bak cuci tangan dengan pedal
kaki atau pengontrol lutut, sabun antimikrobial (non-iritasi, spektrum luas, kerja cepat), sikat
scrub bedah dengan pembersih kuku dari plastik, masker kertas dan topi atau penutup kepala,
handuk steril, pakaian diruang scrub dan pelindung mata, penutup sepatu (Tietjen, dkk,
2004).
2.1.6. Keuntungan Mencuci Tangan
Menurut Puruhito (1995), cuci tangan akan memberikan keuntungan yaitu dapat
mengurangi infeksi nosokomial, Jumlah kuman yang terbasmi lebih banyak sehingga tangan
lebih bersih dibandingkan dengan tidak mencuci tangan. Dari segi praktis, ternyata lebih
murah dari pada tidak mencuci tangan sehingga tidak dapat menyebabkan infeksi
nosokomial.
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai
bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah,
menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung,
maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar.
Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan
kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori SOR atau
Stimulus Organisme Respon.
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku menurut Notoatmodjo
(2003) dapat dibedakan menjadi dua yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku
terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup (convert behavior) merupakan respon seseorang
terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi
terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan
sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati
secara jelas oleh orang lain. Sedangkan perilaku terbuka (overt behavior) merupakan respon
seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap
stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat
diamati atau dilihat oleh orang lain.
Menurut teori Green dalam Notoatmodjo (2003), menganalisis perilaku manusia dari
tingkat kesehatan, dimana kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor
pokok, yakni faktor perilaku (behavio causes) dan faktor diluar perilaku (nonbehavior
causes). Selanjutnya perilakun itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu faktor-
faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya; faktor-faktor pendukung (enabling
factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-
fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya fasilitas untuk cuci tangan; dan faktor-faktor
pendorong (reinforcing factors) yang dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau
petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh Musadad, et.al. (1993) ditulis dalam CDK
(Cermin Dunia Kedokteran) yaitu perilaku cuci tangan oleh tenaga kesehatan baik dokter
maupun perawat menunjukkan bahwa sebagian besar petugas tersebut tidak melaksanakan
cuci tangan. Hal ini terlihat pada waktu petugas akan memeriksa pasien, baik saat pertama
kali atau pergantian dari pasien satu ke pasien lainnya. Mereka pada umumnya mencuci
tangan setelah selesai melakukan pemeriksaan pasien keseluruhannya. Kondisi seperti ini
dapat memicu terjadinya Infeksi nosokomial yang dikenal dengan Healthcare Associated
Infections (HAIs) yang dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari
pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas
kepada pasien (Depkes RI, 2009).
Salah satu tahap kewaspadaan standar yang efektif dalam pencegahan dan
pengendalian infeksi adalah hand hygiene (kebersihan tangan) karena kegagalan dalam
menjaga kebersihan tangan adalah penyebab utama infeksi nosokomial dan mengakibatkan
penyebaran mikroorganisme multi resisten di fasilitas pelayanan kesehatan (Menkes dalam
Depkes RI, 2009).
Menjaga kebersihan tangan dengan cara mencuci tangan menurut Tietjen (2004)
adalah metode paling mudah, murah dan efektif dalam pencegahan infeksi nosokomial
dengan strategi yang telah tersedia, yaitu:
a. menaati praktek pencegahan infeksi yang diajurkan,terutama kebersihan dan
kesehatan tangan (cuci tangan) serta pemakaian sarung tangan,
b. memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat untuk
dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor, diikuti dengan
sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi,
c. meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area beresiko tinggi lainnya di
mana kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan pada agen penyebab
infeksi sering terjadi.
2.2. Infeksi Nosokomial
Nosokomial berasal dari bahasa yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit, dan
komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/ Rumah Sakit. Jadi
infeksi Nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien dari rumah sakit pada saat pasien
menjalani proses asuhan (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial dapat terjadi pada penderita,
tenaga kesehatan, dan juga setiap orang yang datang ke Rumah Sakit. Infeksi yang ada di
pusat pelayanan kesehatan ini dapat ditularkan atau diperoleh melalui petugas kesehatan,
orang sakit, pengunjung yang berstatus karier atau karena kondisi rumah sakit (Septiari,
2012).
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit karena mikroorganisme
patogen yang menginfeksi pasien melalui pemberian pelayanan kesehatan (Potter & Perry,
2005). Infeksi nosokomial menurut Brooker (2008) adalah infeksi yang didapat dari rumah
sakit yang terjadi pada pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien tersebut tidak
menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat pasien masuk rumah sakit.
Batasan infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat oleh penderita, ketika
penderita dalam proses asuhan keperawatan di Rumah Sakit. Suatu infeksi pada penderita
baru bisa dinyatakan sebagai infeksi nosokomial apabila memenuhi beberapa kriteria/ batasan
tertentu diantaranya:
a. pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik
dari infeksi nosokomial,
b. pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit, tidak sedang dalam masa inkubasi
dari infeksi tersebut,
c. tanda-tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak
mulai perawatan,
d. infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya,
e. bila saat mulai dirawat di Rumah Sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan terbukti infeksi
tersebut didapat penderita ketika dirawat di Rumah Sakit yang sama pada waktu yang lalu,
serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial (Siregar, 2004).
a. Tahap pertama
Gejala klinis infeksi nosokomial dapat terjadi secara lokal dan sistemik (Potter &
Perry, 2005). Gejala klinis lokal akan memberikan gambaran klinis sesuai dengan organ yang
diserang misalnya bila organ paru yang diserang akan menimbulkan gejala seperti batuk,
sesak nafas, nyeri dada, gelisah dan sebagainya. Bila organ pencernaan yang terkena maka
akan menimbulkan gejala klinis seperti mual, muntah, kembung, kejang perut, dan
sebagainya (Darmadi, 2008).
Gejala klinis sistemik menimbulkan gejala (symptom) yang lebih banyak dari pada gejala
infeksi lokal. Biasanya menyebabkan demam, merasa lemas, malaise, nafsu makan menurun,
mual, pusing, pembesaran kelenjar limfe dan sebagainya (Potter & Perry, 2005).
Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak langsung, dan
droplet. Kontak langsung terjadi apabila sumber infeksi berhubungan langsung dengan
penjamu, misalnya Person to person pada penularan infeksi virus hepatitis A secara fecal
oral. Kontak tidak langsung terjadi apabila penularan membutuhkan perantara (biasanya
benda mati).
Hal ini terjadi karena benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh infeksi, misalnya
kontaminassi peralatan medis oleh mikroorganisme.
b. Penularan Melalui Common Vehicle
Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman, dan dapat
menyebabkan penyakit lebih dari satu penjamu. Adapun jenis-jenis common vehicle adalah
darah/ produk darah, cairan intravena, obat-obatan, dan sebagainya.
c. Penularan melalui udara, dan inhalasi
Penularan ini terjadi apabila mikroorganisme berukuran yang sangat kecil sehingga dapat
mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh, dan melalui saluran pernafasan. Misalnya
mikroorganisme yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas (staphylococcus), dan
tuberculosis.
d. Penularan dengan perantara vektor
Penularan ini dapat terjadi secara eksternal dan internal. Disebut penularan eksternal apabila
hanya terjadi pemindahan secara mekanis dari mikroorganisme yang menempel pada tubuh
vector, misalnya shigella, dan salmonela oleh lalat.
Penularan secara internal apabila mikroorganisme masuk kedalam tubuh vector, dan dapat
terjadi perubahan secara biologis, misalnya parasit malaria dalam nyamuk atau tidak
mengalami perubahan biologis, misalnya yersenia pestis pada ginjal (flea) (Septiari, 2012).
Dalam mengendalikan infeksi nosokomial dirumah sakit, ada tiga hal yang perlu ada
dalam program pengendalian infeksi nosokomial dirumah sakit, diantaranya :
a. adanya sistem surveilan yang mantap, surveilan suatu penyakit adalah tindakan
pengamatan yang sistemik, dan dilakukan terus menerus terhadap penyakit tersebut yang
terjadi pada suatu populasi tertentu dengan tujuan untuk dapat melakukan pencegahan, dan
pengendalian,
b. adanya peraturan yang tegas, dan jelas serta dapat dilaksanakan merupakan hal yang sangat
penting adanya. Peraturan-peraturan ini merupakan standar yang harus dijalankan setelah
dimengerti semua petugas,
c. adanya program pendidikan yang terus menerus bagi semua petugas rumah sakit dengan
tujuan mengembalikan sikap mental yang benar dalam merawat penderita. Keberhasilan
program ini ditentukan oleh perilaku petugas dalam melaksanakan perawatan yang sempurna
kepada penderita (Septiari, 2012).
2.2.8. Pencegahan Infeksi Nosokomial
a. Kewaspadaan universal
Kewaspadaan universal adalah suatu pedoman yang ditetapkan oleh Centers for
Disease Control (CDC) untuk mencegah penyebaran dari berbagai penyakit yang ditularkan
melalui darah dilingkungan rumah sakit maupun sarana pelayanan kesehatan lainya.
Diantaranya :
1) cuci tangan,
2) sarung tangan,
3) masker, kaca mata, masker muka,
4) baju pelindung,
5) kain,
6) peralatan perawatan pasien,
7) pembersih lingkungan,
8) instrumen tajam,
9) resusitasi pasien,
10) penempatan pasien,
b. Tindakan invasif
1) tindakan invasif sederhana adalah suatu tindakan memasukkan alat kesehatan ke dalam
tubuh, dan menyebar ke jaringan. Contoh : suntikan, pungsi (vena, lumbal, pericardial, pleura
suprapublik), bronkoskopi, angiografi, pemasangan alat (kontrasepsi, kateter intravena,
kateter jantung, pipa endotrakeal, pipa nasogastrik, pacu jantung),
2) tindakan invasif operasi adalah suatu tindakan yang melakukan penyayatan pada tubuh
pasien, dan dengan demikian memungkinkan mikroorganisme masuk kedalam tubuh dan
menyebar.
Mengenal dan memilih berbagai objek sehub ungan dengan tindakan yang akan diambil
adalah merupakan praktik tingkat pertama.
Universitas Sumatera Utara 25
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh
merupakan indicator praktik tingkat dua.
c. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu
merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.
d. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya
tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
Cuci tangan merupakan salah satu bentuk tindakan keperawatan. Tindakan keperawatan
adalah semua rencana dan tujuan yang dilakukan oleh perawat yaitu dengan melaksanakan
rencana dan tujuan spesifik yang telah ditetapkan (Potter & Perry, 2005). Menurut Bulechek
& McCloskey cit Carpetino (1999) tindakan keperawatan adalah tindakan otonomi
berdasarkan pada alasan ilmiah yang dilakukan untuk keuntungan klien dalam cara yang
dipikirkan yang berhubungan dengan diagnosa keperawatan dan tujuaan.
Menurut Asmadi (2008), proses keperawatan merupakan suatu upaya pemecahan masalah
yang tujuan utamanya adalah membantu perawat menangani klien secara komprehensif
dengan dilandasi alasan ilmiah, keterampilan teknis, dan keterampilan interpersonal.
Penerapan proses keperawatan tidak hanya ditujukan untuk kepentingan klien, tetapi juga
profesi keperawatan itu sendiri.
Tujuan penerapan proses keperawatan bagi klien, antara lain:
a. mempertahankan kesehatan klien,
b. mencegah sakit yang lebih parah/ penyebaran penyakit/ komplikasi akibat penyakit,
c. membantu pemulihan kondisi klien setelah sakit,
d. mengembalikan fungsi maksimal tubuh,
e. membantu klien terminal meninggal dengan tenang.
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Pengumpulan data dilakukan
secara sistematis guna menentukan status kesehatan klien saat ini dan secara komprehensif
terkait aspek biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual klien. Tujuan pengkajian adalah
untuk mengumpulkan informasi dan membuat data dasar klien. Metode utama yang dapat
digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik
serta diagnostik (Asmadi, 2008).
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon aktual atau potensial
klien terhadap masalah kesehatan yang dilakukan perawat yang mempunyai izin dan
berkompeten untuk mengatasinya. Respon aktual dan potensial klien didapatkan dari data
dasar pengkajian, tinjauan literatur yang berkaitan, catatan medis klien masa lalu, dan
konsultasi dengan profesional lain, yang kesemuanya dikumpulkan selama pengkajian (Potter
& Perry, 2005).
c. Perencanaan
Tahap perencanaan memberikan kesempatan kepada perawat, klien, keluarga dan orang
terdekat klien untuk merumuskan rencana tindakan keperawatan guna mengatasi masalah
yang dialami klien. Perencanaan ini merupakan suatu petunjuk tertulis yang menggambarkan
secara tepat rencana tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap klien sesuai dengan
kebutuhannya berdasarkan diagnosis keperawatan.
Universitas Sumatera Utara 28
Tahap perencanaan dapat disebut sebagai inti atau pokok dari proses keperawatan.
Perencanaan merupakan keputusan awal yang memberi arah bagi tujuan yang ingin dicapai,
hal yang akan dilakukan, termasuk bagaimana, kapan, dan siapa yang akan melakukan
tindakan keperawatan. Karenanya, dalam menyusun rencana tindakan keperawatan untuk
klien, keluarga dan orang terdekat perlu dilibatkan secara maksimal (Asmadi, 2008).
d. Implementasi
Implementasi yang merupakan komponen dari proses keperawatan adalah kategori dari
perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan yang dilakukan atau diselesaikan. Dalam teori,
implementasi dari rencana asuhan keperawatan mengikuti komponen perencanaan dari proses
keperawatan. Namun demikian, di banyak lingkungan perawatan kesehatan, implementasi
mungkin dimulai secara langsung setelah pengkajian (Potter 7 Perry, 2005).
e. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang
sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan
melibatkan klien dengan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan
tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. jika
sebaliknya, klien akan masuk kembali ke dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang
(reassessment). Secara umum, evaluasi ditujukan untuk:
Universitas Sumatera Utara 29
1) melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan,
3) mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai (Asmadi, 2008).
Universitas