Anda di halaman 1dari 8

ULKUS DEKUBITUS

1. Definisi ulkus decubitus


Dekubitus adalah nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan
lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka
waktu lama (National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP), 1989 dalam Potter &
perry, 2005). Luka tekan dapat digambarkan sebagai lesi yang disebabkan oleh
tekanan yang terus menerus, gesekan atau robekan. Luka tekan terjadi paling sering di
sakrum dan tumit tetapi dapat berkembang dimanapun pada tubuh termasuk koksigis,
oksiput, klavikula, telinga, dan hidung (New South Wales Health, 2003). Dekubitus
adalah area setempat dari jaringan lunak yang mengalami infark yang terjadi ketika
tekanan diberikan pada kulit melebihi tekanan penutupan kapiler normal, sekitar
32mmHg (Smeltzer & Bare, 2002).
2. Klasifikasi
Klasifikasi luka tekan menurut International NPUAP-EPUAP 2009:
a. Tahap I(Non-Blanchable Erythema)
Kulit utuh dengan kemerahan yang tidak hilang di area yang terlokalisir
biasanya diaderah penonjolan tulang. Pigmen kulit tampak lebih gelap,
warnanya berbeda dengan area disekitanya. Area tersebut akan terasa nyeri,
kencang, lembut, lebih hangat atau lebih dingin dibandingkan dengan
jaringan yang membatasinya. Ulkus dekubitus tahap I sulit untuk dideteksi pada
orang dengan warna kulit gelap.
b. Tahap II (Partial Thickness)
Hilangnya sebagian ketebalan dari dermis tampak sebagai luka terbuka
yang superficial dengan warna merah muda tanpa nanah. Bisa juga tampak kulit
lecet yang berisi serum atau sero-sanguinous. Tampak sebagai luka yang
mengkilap atau luka kering yang dangkal tanpa pengelupasan atau
memar.
c. Tahap III (Full Thickness Skin Loss)
Kehilangan jaringan total. Terlihat lemak subkutan, tetapi tulang, tendon
atau otot tidak terpapar. Terdapat nanah dan terbentuk lubang yang kecil. Tulang
hidung, telinga, oksiput, dan malleolus tidak mempunyai jaringan adiposa dan
berisiko untuk luka. Sedangkan, daerah yang mempunyai lemak yang
signifikan juga dapat terbentuk luka tekan. Tulang/ tendon tidak terlihat atau
teraba langsung.
d. Tahap IV (Full Thickness Tissue Loss)
Kehilangan jaringan total dengan tulang, tendon dan otot terpapar. Terdapat
nanah dan jaringan parut. Terbentuk kawah. Kedalaman kategori tahap IV
beragam tergantung lokasi anatomi. Kategori tahap IV dapat memperluas
ke otot dan/atau mendukung (seperti, fascia, tendon atau kapsul sendi)
terjadinya osteomielitis atau osteitis. Tulang/otot terlihat dan teraba langsung.
3. Faktor resiko ulkus decubitus
Berbagai faktor dapat menjadi predisposisi terjadi dekubitus pada klien:
a. Gangguan Input Sensorik
Klien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan
tekanan berisiko tinggi mengalami gangguan integritas kulit daripada klien
yang sensasinya normal. Klien yang mempunyai persepsi sensorik yang utuh
terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya
merasakan tekanan atau nyeri terlalu besar. Sehingga ketika klien sadar
dan berorientasi, mereka dapat mengubah posisi atau meminta bantuan
untuk mengubah posisi (Potter & Perry, 2005).
b. Gangguan Fungsi Motorik
Klien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri berisiko tinggi
terjadi dekubitus. Klien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi tidak mampu
mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini
meningkatkan peluang terjadi dekubitus.
c. Perubahan Tingkat Kesadaran
Klien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi
tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan. Klien koma
tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi
yang lebih baik. Selain itu pada klien yang mengalami perubahan tingkat
kesadaran lebih mudah menjadi bingung, seperti efek dari pemberian sedasi
sehingga terjadi peningkatan risiko dekubitus (Potter & Perry, 2005)
d. Gips, Traksi, Alat Ortotik, dan Peralatan Lain
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstermitasnya. Pasien
yang menggunakan gips berisiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya
friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya
mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips
terlalu ketat dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik
seperti penyangga leher terdapat tekanan yang menutup kapiler (Potter &
Perry, 2005).
Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Dekubitus
a. Gaya Gesek
Gaya gesek merupakan tekanan yang dberikan pada kulit dengan arah
pararel terhadap permukaan tubuh (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry
2005). Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel
pada permukaan tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai
dengan arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser kearah kulit dan
memberi gaya pada kulit (Maklebust & Sieggren, 1991 dalam Potter &
Perry, 2005). Kapiler jaringan yang berada di bawahnya tertekan dan
terbeban oleh tekanan tersebut, akibatnya tak lama setelah itu akan terjadi
gangguan mikrosirkulasi lokal kemudian menyebabkan hipoksia, perdarahan
dan nekrosis pada lapisan jaringan. Selain itu, terdapat penurunan aliran
darah kapiler akibat tekanan eksternal pada kulit. Lemak subkutan lebih rentan
terhadap gesek dan hasil tekanan dari struktur tulang yang berada di bawahnya.
Akhirnya pada kulit akan terbuka sebuah saluran sebagai ruang drainase dari
area nekrotik (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005).
b. Friksi
Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan pada kulit saat digeser
pada permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHPCR, 1994 dalam
Potter & Perry, 2005). Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera
akibat friksi mempengaruhi epedermis atau lapisan kulit bagian atas, yang
terkelupas ketika pasien mengubah posisinya.
c. Kelembaban
Kontak berkepanjangan dengan kelembaban akibat prespirasi, urine, feses, atau
drainase menyebabkan maserasi (pelunakan) kulit. Kulit bereaksi terhadap
bahan kaustik dalam ekskreta atau drainase dan mengalami iritasi (Smeltzer &
Bare, 2002).
d. Penurunan Status Nutrisi
Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan
yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai
bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu efek
tekanan meningkat pada jaringan tersebut (Potter&Perry, 2005). Pasien
yang mempunyai kadar protein rendah atau yang keseimbangan nitrogen
negatif mengalami penipisan jaringan dan menghambat perbaikan jaringan
(Brunner&Suddarth, 2002). Albumin serum merupakan indikator yang sensitif
terhadap defisisensi protein. Kadar albumin kurang dari 3,0 g/ml berkaitan
dengan edema jaringan hipoalbuminemia dan meningkatkan risiko terjadinya
luka dekubitus. Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan
lambatnya penyembuhan luka.
e. Edema
Klien yang mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminemia
menyebabkan perpindahan volume cairan ekstrasel kedalam jaringan
sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan resiko terjadi dekubitus
di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun dan produk
sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan
dasar kapiler (Shkleton&Litwalk, 1991 dalam Potter&Perry, 2005). Edema akan
menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada di bawahnya terhadap
tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level oksigen
meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera jaringan
(Potter&Perry, 2005).
f. Anemia
Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan
oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia
juga mengganggu metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka (Potter
& Perry, 2005).
g. Kakeksia
Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai
kelemahan dan kurus. Kondisi ini meningkatkan resiko luka dekubitus pada
pasien. Pada dasarnya pasien kakesia mengalami kehilangan jaringan adiposa
yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan (Potter&Perry,
2005).
h. Obesitas
Obesitas dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adiposa pada jumlah kecil
berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari
tekanan. Pasien dengan obesitas mengalami vaskularisasi yang bururk pada
jaringan adiposa sehingga rentan terhadap terjadinya luka akibat iskemi
(Brunner&Suddarth, 2002).
i. Infeksi
Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Klien infeksi biasa
mengalami demam. Infeksi dan demam menigkatkan kebutuhan metabolik tubuh
membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan
mengalami cedera akibat iskemi (Skheleton&Litwalk, 1991 dalam
Potter&Perry, 2005). Selain itu demam menyebabkan diaforesis dan
meningkatkan kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi
kerusakan kulit pasien (Potter&Perry, 2005).
j. Gangguan penuruann sirkulasi perifer
Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan
mengalami kerusakan iskemia. Gangguan sirkulasi pada pasien yang
menderita penyakit vaskuler, pasien syok atau yang mendapatkan
pengobatan sejenis vasopresor (Potter&Perry, 2005).
k. Pertimbangan Gerontologi
Kulit pada lansia mengalami penurunan ketebalan epidermal, kolagen
dermal, dan elastisitas jaringan. Kulit lebih kering sebagai akibat hilangnya
sebasea dan aktivitas kelenjar keringat. Perubahan kardiovaskular
mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Atrofi otot dan struktur tulang
menjadi fokus perhatian. Menurunnya persepsi sensoris dan berkurangnya
kemampuan mengatur posisi sendiri menunjang tekanan pada kulit yang
berkepanjangan (AHCPR, 1994 dalam Bruner&Suddarth, 2002).
4. Patofisiologi ulkus decubitus
Tiga elemen dasar yang menjadi dasar terjadi dekubitus, yaitu: 1)
intensitas tekanan dan tekanan yang menutupi kapiler, 2) durasi dan besarnya
tekanan, dan 3) toleransi jaringan ((Landis, 1930), (Koziak, 1959), (Husain, 1953;
Trumble, 1930) dalam Potter&Perry, 2005)). Beberapa tempat yang paling sering
terjadi dekubitus adalah sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trochanter besar, dan
tuberositis iskial (Meehan, 1994 dalam Potter & Perry, 2005). Dekubitus terjadi
sebagai hasil hubungan antara waktu dan tekanan (Scotts, 1988 dalam Potter &
Perry, 2005). Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula
insiden terbentuknya luka. Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi
beberapa tekanan. Tapi, pada tekanan eksternal terbesar daripada tekanan dasar
kapiler akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan
sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika
tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang
mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis (Maklebust, 1987
dalam Potter&Perry, 2005). Jika tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka
sirkulasi pada jaringan tersebut akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis
hiperemia reaktif. Karena kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk
mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang
berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Maklebust, 1995
dalam Potter&Perry, 2005).
Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek
yang terjadi saat menaikkan posisi klien diatas tempat tidur. Area tumit dan sakral
merupakan area yang paling rentan (Maklebust, 1987 dalam Potter&Perry, 2005).
Efek tekanan juga dapat di tingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata.
Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya
berada karena adanya gravitasi (Berecek, 1975 dalam Potter&Perry, 2005). Jika
tekanan tidak terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan
yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan
mengalami gangguan. Repons kompensasi jaringan terhadap iskemi, yaitu
hiperemia reaktif memungkinkan jaringan iskemi dibanjiri dengan darah ketika tekanan
dihilangkan. Peningkatan aliran darah meningkatkan pengiriman oksigen dan nutrien ke
dalam jaringan.
Gangguan metabolik yang disebabkan oleh tekanan dapat kembali normal.
Equilibrium yang sehat kembali pulih, dan nekrosis jaringan yang tertekan dapat
dihindari (Macklebust, 1991; Pires&Muller, 1991 dalam Potter&Perry, 2005).
Hiperemia reaktif akan efektif hanya apabila tekanan dihilangkan sebelum terjadi
kerusakan.
5. Komplikasi

Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV, walaupun dapat juga
terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Sabandar (2008) komplikasi yang dapat
terjadi antara lain:
Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik yang aerobik maupun anaerobik.
Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteitis, osteomielitis
dan arthritis septik.
Septikemia.
Anemia.
Hipoalbuminemia.
Kematian.
6. Tempat terjadinya luka decubitus

Beberapa tempat yang paling sering terjadi dekubitus adalah sakrum, tumit, siku,
maleolus lateral, trokanter besar, dan tuberostis iskial (Meehan, 1994). Menurut
Bouwhuizen (1986) menyebutkan daerah tubuh yang sering terkena luka dekubitus
adalah :

a. Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala, daerah
tulang belikat, daerah bokong dan tumit.

b. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama daun
telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki dan bagian atas
jari-jari kaki.

c. Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga, dan

d. lutut.

7. Proses penyembuhan luka

Proses penyembuhan luka dibagi menjadi empat fase, yaitu:

a. Fase hemostatis/koagulasi
Platelet mensekresikan vasokontriktor untuk mencegah kerusakan kerusakan kapiler
darah lebih lanjut sehingga perdarahan berhenti. Agregasi platelet diproduksi untuk
mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut dan mensejresi matrik kolagen. Disamping itu
juga mensekresi faktor pembekuan seperti thrombin yang bermanfaat dalam inisiasi
fibrin menjadi fibrinogen. Hemostasis terjadi beberapa menit setelah terjadi injuri sampai
dengan perdarahan berhenti.
b. Fase inflamasi
Pada fase inflamasi luka akan nampak bengkak, kemerahan, terasa hangat, dan nyeri.
Pada fase ini biasanya berlangsung dalam empat hari setelah terjadi injuri. Pada fase ini
terjadi destruksi dan penghancuran debris yang dilakukan oleh neutrophil atau PMN
yang menyebabkan pembuluh darah melepaskan plasma dan PMN ke sekitar jaringan.
Neutrophil menfagosit debris dan mikroorganisme sebagai pertahan primer terhadap
terjadinya infeksi. Fibrin dihancurkan dan didegradasi. Makrofag berperan sebagai
pertahanan seunder yang akan memfagosit bakteri.
c. Fase proliferative
Proses granulasi terjadi dalam durasi 4-21 hari yang ditujukan dengan terbentuknya
jaringan berwarna kemerahan dan adanya kontraksi pada luka. Proses angiogenesis
untuk membentuk sel-sel endotel sebagai cikal bakal terbentuknya kapiler-kapiler darah.
Sel-sel keratinosit juga diproduksi yang bertanggung jawab dalam proses epitelisasi.
d. Fase remodeling atau maturasi
Fase ini dimulai pada hari ke 21 sampai dengan 2 tahun. Pada fase remodeling dan
maturasi melibatkan peran fibroblast dan mikrofibroblas untuk membentuk suatu struktur
jaringan yang lebih kuat. Secara klinis luka akan tampak lebih berkontraksi sampai
mencapai maturasi.

Anda mungkin juga menyukai