Anda di halaman 1dari 67

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan
oleh basil Mycobacterium tuberculosis (WHO, 2014). Proses terjadinya infeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis biasanya terjadi secara inhalasi, sehingga TB paru
merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibandingkan organ lainnya (Amin,
2009). Sumber penularan dari TB paru ini adalah pasien dengan Basil Tahan Asam
(BTA) positif yang menyebarkan kuman ke udara melalui percikan dahak atau
droplet nuclei (Kemenkes, 2014).
TB paru sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di dunia, walaupun telah dilakukan upaya pengendalian dengan strategi
Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) yang dicanangkan oleh World
Health Organization (WHO, 2014). TB paru di Indonesia merupakan penyebab
kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernapasan. Pada tahun 2014,
Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban TB paru terbesar di dunia
(WHO, 2014). Angka insidensi TB paru di Indonesia pada tahun 2014 adalah 1 juta
kasus atau 399 kasus per 100.000 populasi, angka tersebut merupakan angka terbesar
di dunia. Angka ini jauh meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun 2013 yang
tercatat 460.000 kasus (183 kasus per 100.000 populasi).
Sasaran strategi nasional pengendalian TB paru hingga 2014 mengacu pada
rencana strategis Kementrian Kesehatan 2009-2014, yaitu menurunkan prevalensi TB
dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Saat ini
diperkirakan ada 1 dari setiap 3 kasus TB paru yang masih belum terdeteksi oleh
program (Kemenkes, 2015).
Salah satu upaya untuk mengendalikan infeksi TB paru, yaitu dengan
penemuan pasien TB paru itu sendiri dan dilakukannya pengobatan. Indikator yang
digunakan sebagai evaluasi pengobatan, yaitu angka keberhasilan pengobatan
2

(success rate). Angka keberhasilan pengobatan ini dibentuk dari angka kesembuhan
dan angka pengobatan lengkap. Pada tahun 2013, success rate di Indonesia tercatat
90,5%, angka ini menurun pada tahun 2014 menjadi 81,3%. WHO menetapkan
standar angka keberhasilan pengobatan TB paru sebesar 85% (WHO, 2010).
Data di Kalimantan Barat, untuk success rate pada tahun 2014 hanya 44,9%,
angka ini jauh menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 94,92%. (Kemenkes,
2014). Sedangkan di UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) Kecamatan Pontianak
Utara, pada tahun 2013 success rate-nya mencapai 85% (Profil UPTD Puskesmas
Kecamatan Pontianak Utara, 2013), pada tahun 2014 sebesar 85,71% (Profil UPTD
Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara, 2014), dan terjadi penurunan pada tahun
2015 yaitu menjadi 75%. Angka ini masih belum mencapai target yang ditetapkan
oleh Dinas Kesehatan pemerintah Kota Pontianak pada tahun 2015, yaitu >85%.
(Profil UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara, 2015)
Terjadinya penurunan angka kesembuhan tersebut menjadi catatan penting
mengingat bahwa TB paru merupakan penyakit infeksi menular yang penularannya
sangat progresif di lingkungan masyarakat, membutuhkan pengobatan yang lama dan
sangat rawan resisten obat apabila tidak patuh pengobatan. Berdasarkan hal tersebut,
maka dipandang perlu untuk melakukan evaluasi terhadap program angka
kesembuhan TB paru di wilayah kerja UPTD Kecamatan Puskesmas Pontianak Utara
sehingga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi instansi terkait dalam
upaya meningkatkan pencapaian program kesembuhan TB paru selanjutnya,
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh dinas kesehatan kota dan provinsi, serta
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Mengapa angka kesembuhan TB paru BTA (+) di wilayah UPTD Puskesmas
Kecamatan Pontianak Utara menurun pada tahun 2015?
3

1.3 Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Memahami program puskesmas khususnya program kesembuhan TB paru.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui permasalahan program kesembuhan TB paru secara umum di
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara pada tahun 2015.
b. Mengetahui prioritas masalah program kesembuhan TB paru secara umum di
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara pada tahun 2015.
c. Menyusun penyebab masalah program kesembuhan TB paru secara umum di
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara pada tahun 2015.
d. Menyusun alternatif penyelesaian masalah program kesembuhan TB paru
secara umum di UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara pada tahun
2015.
e. Memilih dan merumuskan upaya penyelesaian masalah program kesembuhan
TB paru secara umum di UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara pada
tahun 2015.

1.4 Manfaat
1.4.1. Bagi Mahasiswa
a. Mahasiswa dapat mengetahui perencanaan serta pelaksanaan program TB
paru di puskesmas.
b. Mahasiswa dapat belajar melakukan evaluasi program pada fasilitas kesehatan
dan memberi masukan untuk perbaikan program.
c. Mahasiswa dapat mengasah kemampuan kreatif untuk menemukan solusi
aplikatif dalam memecahkan masalah penurunan ketercapaian tingkat
kesembuhan TB paru BTA (+) dalam program TB paru di puskesmas.

1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan


4

a. Merealisasikan Tridarma perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsi dan


tugas perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan,
penelitian dan pengabdian bagi masyarakat.
b. Memberikan sarana pembelajaran bagi mahasiswa untuk menerapkan ilmu
yang telah didapat tentang evaluasi program dengan pendekatan system.
1.4.3. Bagi Puskesmas
a. Puskesmas mendapatkan gambaran tentang kemungkinan penyebab
penurunan angka kesembuhan dan masalah pelaksanaan program kesembuhan
TB paru di UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara.
b. Puskesmas mendapatkan alternatif pemecahan masalah program kesembuhan
TB paru di UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5

1.1 Puskesmas
1.1.1 Definisi Puskesmas
Puseksmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan
kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di suatu wilayah kerja.
1. Dr. Azrul Azwar, MPH (1980)
Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) adalah suatu kesatuan
organisasi fungsional yang langsung memberikan pelayanan secara
menyeluruh kepada masyarakat dalam suatu wilayah kerja tertentu dalam
bentuk usaha-usaha kesehatan pokok.
2. Departemen Kesehatan RI (1981)
Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) adalah suatu kesatuan
organisasi kesehatan yang langsung memberikan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh dan terintegrasi kepada masyarkat diwilayah kerja tertentu dalam
usaha-usaha kesehatan pokok
3. Departemen Kesehatan RI (1987)
a. Puskesmas adalah sebagai pusat pembangunan kesehatan yang berfungsi
mengembangkan dan membina kesehatan masyarakat serta
menyelenggarakan pelayanan kesehatan terdepan dan terdekat dengan
masyrakat dalam bentuk kegiatan pokok yang menyeluruh dan terpadu
diwilayah kerjanya
b. Puskesmas adalah suatu unit organisasi yang secara porfesional
melakukan upaya pelayanan kesehatan pokok yang menggunakan peran
serta masyarakat secara aktif untuk dapat memberikan pelayanan secara
menyeluruh dan terpadu kepada masyrakat di wilayah kerjanya.

4. Departemen Kesehatan RI (1991)


Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional
yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga
membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara
menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk
kegiatan pokok.
6

1.1.2 Tujuan, Fungsi dan Peran Puskesmas


1. Tujuan Puskesmas
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas
adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional,
yakni meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas agar
terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
2. Fungsi Puskesmas
Ada 3 fungsi puskesmas, yaitu :
a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan puskesmas
selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan
pembanguan lintas sector termasuk oleh masyarakat dan dunia
usaha di wilayah kerjanya.
b. Pusat pemberdayaan masyarakat. Puskesmas selalu berupaya agar
perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat
termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan dan
kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup
sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan
kesehatan termasuk sumber pembiayaan, serta ikut menetapkan,
menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan.
c. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama. Puskesmas bertanggung
jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama
secara menyeluruh , terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan
kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung jawab
puskesmas adalah :
1) Pelayanan kesehatan perorangan
Pelayananan kesehatan perorangan adalah pelayanan
kesehatan yang bersifat pribadi dengan tujuan umum
menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan,
tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan penegahan
penyakit.
7

2) Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan


yang bersifat public dengan tujuan utama memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa
mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan:
Proses dalam melaksanakan fungsinya dilakukan dengan cara :
1) Merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan
kegiatan dalam rangka menolong dirinya sendiri
2) Memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana
menggali dan menggunakan sumber daya yang ada secara
efektif dan efisien
3) Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi
dan rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada
masyarakat dengan ketentuan bantuan tersebut tidak
menimbulkan ketergantungan
4) Memberi pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat
5) Bekerja sama dengan sector-sektor yang bersangkutan dalam
melaksanankan program puskesmas

3. Peran Puskesmas
Jika ditinjau dari sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, maka
peranan dan kedudukan puskesmas di Indonesia adalah amat unik.
Sebagai sarana pelayanan kesehatan terdepan di Indonesia, maka
puskesmas kecualai bertanggungjawab dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan masyarakat, juga bertanggungjawab dalam
menyelenggarakan pelyanan kedokteran.
1.1.3 Kegiatan Pokok Puskesmas
Kegiatan-kegiatan pokok puskesmas yang diselenggarakan oleh
puskesmas sejak berdirinya semakin berkembang , mulai dari 7 usaha pokok
kesehatan, 12 usaha pokok kesehatan, 13 usaha pokok kesehatan dan sekarang
meningkat menjadi 20 usaha pokok kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh
8

puskesmas sesuai dengan kemampuan yang ada dari tiap-tiap puskesmas baik
dari segi tenaga, fasilitas, dan biaya atau anggaran yang tersedia
Berdasarkan buku pedoman kerja puskesmas yang terbaru ada 20
usaha pokok kesehatan yang dapat dilakukan oleh puskesmas, itu pun sangat
tergantung kepada faktor tenaga, sarana, dan prasarana serta biaya yang
tersedia berikut kemampuan manajemen dari tiap-tiap puskesmas. Dua puluh
kegiatan pokok puskesmas adalah :
1. Upaya kesehatan ibu dan anak
a. Pemeliharaan kesehatan ibu hamil , melahirkan dan menyusui serta bayi
anak balita dan anak prasekolah
b. Memberikan nasehat tentang makanan guna mencegah gizi buruk
c. Pemberian nasehat tentang perkembangan anak dan cara stimulasinya.
d. Imunisasi tetanus toksoid dua kali pada ibu hamil dan BCG, DPT 3 kali,
polio 3 kali dan campak 1 kali pada bayi
e. Penyuluhan kesehatan dalam mencapai program KIA
f. Pelayanan keluarga berencana
g. Pengobatan bagi ibu, bayi anak balita dan anak prasekolah untuk macam-
macam penyakit ringan
h. Kunjungan rumah untuk mencari ibu dan anak yang memerlukan
pemeliharaan , memberikan penerangan dan pendidikan tentang kesehatan
i. Pengawasan dan bimbingan kepada taman kanak-kanak dan para dukun
bayi
2. Upaya keluarga berencana
a. Mengadakan kursus keluarga berencana unutk para ibu dan calon ibu yang
mengunjungi KIA
b. Mengadakan kursus keluarga berencana kepada dukun yang kemudian
akan bekerja sebagai penggerak calon peserta keluarga berencana
c. Mengadakan pembicaraan pembicaraan tentang keluarga berencana
kapan saja ada kesempatan
d. Memasang IUD, cara cara penggunaan pil , kondom, dan cara-cara lain
denngan memberi sarananya.
e. Melanjutkan mengamati mereka yang menggunakan sarana pencegahan
kehamilan
3. Upaya peningkatan gizi
a. Mengenali penderita-penderita kekurangan gizi dan mengobati mereka
9

b. Mempelajari keadaan gizi masyarakat dan mengembangkan program


perbaikan gizi
c. Memberikan pendidikan gizi kepada masyarakat terutama dalam rangka
program KIA
d. Melaksanakan program-program :
e. Program perbaikan gizi keluarga melalui posyandu
f. Memberikan makanan tambahan yang mengandung protein dan kalori
kepada balita dan ibu menyusui
g. Memberikan vitamin A kepada balita umur dibawah 5 tahun
5. Upaya pengobatan
a. Melaksanakan diagnose sedini mungkin melalui:
1) Mendapatkan riwayat penyakit
2) Mengadaan pemeriksaan fisik
3) Mengadaan pemeriksaan labolatorium
4) Membuat diagnosa
b. Melaksanakan tindakan pengobatan
c. Melakukan upaya rujukan bila dipandang perlu, rujukan tersebut dapat
berupa:
1) Rujukan diagnostic
2) Rujukan pengobatan/rehabilitasi
3) Rujukan lain
6. Upaya penyuluhan
a. Penyuluhan kesehatan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari tiap-tiap program puskesmas. Kegiatan penyuluhan kesehatan
dilakukan pada setiap kesempatan oleh petugas, apakah di klinik, rumah
dan kelompok-kelompok masyarakat.
b. Di tingkat puskesmas tidak ada penyuluhan tersendiri, tetapi ditingkat
kabupaten diadakan tenaga-tenaga coordinator penyuluhan kesehatan.
Coordinator membantu para petugas puskesmas dalam mengembangkan
teknik dan materi penyuluhan di Puaskesmas.
7. Upaya kesehatan gigi dan mulut
a. Pembinaan/pengembangan kemampuan peran serta masyarakat dalam
upaya pemeliharaan diri dalam wadah program UKGM
b. Pelayanan asuhan pada kelompok rawan, meliputi:
1) Anak sekolah
2) Kelompok ibu hamil, menyususi dan anak pra sekolah
c. Pelayanan medik dokter gigi dasar, meliputi:
10

1) Pengobatan gigi pada penderita yang berobat maupun yang dirujuk


2) Merujuk kasus-kasus yang tidak dapat ditanggulangi kesasaran yang
lebih mampu
3) Memberikan penyuluhan secara individu atau kelompok
4) Memelihara kebersihan (hygiene klinik)
5) Memelihara atau merawat peralatan atau obat-obatan
d. Pencatatan dan pelaporan
8. Upaya pencatatan dan pelaporan
a. Dilakukan oleh semua puskesmas (pembina, pembantu dan keliling)
b. Pencatatan dan pelaporan mencakup:
1) Data umum dan demografi wilayah kerja puskesmas
2) Data ketenagaan di puskesmas
3) Data kegiatan pokok puskesmas yang dilakukan baik di dalam maupun
di luar gedung puskesmas
c. Laporan dilakukan secara periodik (bulan, triwulan enam bulan dan
tahunan)
9. Upaya pembinaan peran serta masyarakat
Upaya pembinaan peran serta masyarakat dapat dilakukan melalui:
a. Penggalangan dukungan penentu kebijaksanaan, pimpinan wilayah,
lintas sektoral dan berbagai organisasi kesehatan, yang dilakukan
melalui dialog, seminar dan lokakarya, dalam rangka komunikasi,
informasi dan motivasi dengan memanfaatkan media masa dan system
informasi kesehatan
b. Persiapan petugas penyelenggaraan melalui latihan, orientasi dan
sarasehan kepemimpinan dibidang kesehatan
c. Persiapan masyarakat, melalui rangkaian kegiatan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam mengenal dan memecahkan masalah
kesehatan, dengan mengenali dan menggerakkan sumber daya yang
dimilikinya, melalui rangkaian kegiatan:
1) Pendekatan kepada tokoh masyarakat
2) Survey mawas diri masyarakat untuk mengenali masalah
kesehatannya
3) Musyawarah masyarakat desa untuk penentuan bersama rencana
pemecahan masalah kesehatan yang dihadapi
d. Pelaksanaan kegiatan kesehatan oleh dan untuk masyarakat melalui
kader yang terlatih
11

e. Pengembangan dan pelestarian kegiatan oleh masyarakat


10. Upaya pembinaan pengobatan tradisional
a. Melestarikan bahan-bahan tanaman yang dapat diginakan untuk
pengobatan tradisional
b. Pengembangan dan pelestarian terhadap cara-cara pengobatan
tradisional
11. Upaya kesehatan remaja
12. Dana sehat
1.1.4 Kedudukan Puskesmas
a. Kedudukan dalam bidang administrasi
Puskesmas merupakan perangkat Pemerintah Daerah Tingkat II dan
bertanggung jawab langsung baik teknis maupun administrative kepada
Kepala Dinas Kesehatan
b. Kedudukan dalam hirarki pelayanan kesehatan
Dalam urutan hirarki pelayanan kesehatan sesuai dengan Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) maka puskesmas berkedudukan pada tingkat
fasilitas kesehatan pertama.
1.1.5 Satuan Penunjang
Sesuai dengan keadaan geografi, luas wilayah, sarana perhubungan serta
kepadatan penduduk dalam wilayah kerja puskesmas, tidak semua penduduk
dapat dengan mudah mendapatkan pelayanan puskesmas. Agar jangkauan
pelayanan puskesmas lebih merata dan meluas, perlu ditunjang dengan
puskesmas pembantu, penempatan bidan di desa-desa yang belum terjangkau
oleh pelayanan yang ada di puskesmas keliling. Disamping itu penggerakan
peran serta masyarakat untuk mengelola posyandu dan membina desa wisma
akan dapat menunjang jangkauan pelayanan kesehatan.
Demi pemerataan dan perluasan jangkauan pelayanan kesehatan maka
puskesmas perlu ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih
sederhana yang disebut puskesmas pembantu dan puskesmas keliling

2.1. Tuberkulosis (TB) Paru


2.1.1. Definisi
TB paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis, yang paling umum mempengaruhi paru-paru.
12

Penyakit ini ditularkan dari orang ke orang melalui cairan dari tenggorokan
dan paru-paru seseorang dengan penyakit pernapasan aktif (WHO, 2012).
TB paru adaah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis. TB paru mencakup 80% dari keseluruhan
kejadian penyakit tuberculosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan TB
ekstrapulmoner (Djojodibroto, 2009).
TB paru adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim
paru. TB dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges,
ginjal, tulang, dan nodus limfe. Agen infeksius utama, Mycobacterium
tuberculosis, adalah batang aerobik tahan asam yang tumbuh dengan lambat
dan sensitif terhadap panas dan sinar matahari (Smeltzer, 2008).

2.1.2. Epidemiologi
TB paru sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS
telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995. Dalam laporan WHO
tahun 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB paru pada tahun 2012
dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB paru dengan HIV
positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika. Pada tahun
2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TB paru MDR
(Multi Drugs Resistance) dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia.
Pada tahun 2012, diperkirakan proporsi kasus TB paru anak diantara seluruh
kasus TB paru secara global mencapai 6% (530.000 pasien TB paru
anak/tahun). Sedangkan kematian anak (dengan status HIV negatif) yang
menderita TB paru mencapai 740.000 kematian/tahun, atau sekitar 8% dari
total kematian yang disebabkan TB paru. (WHO, 2013)
Berdasarkan Global Tuberkulosis Kontrol tahun 2011 angka prevalensi
semua tipe TB paru adalah sebesar 289 per 100.000 penduduk atau sekitar
690.000 kasus. Insidensi kasus baru TB paru dengan BTA positif sebesar 189
per 100.000 penduduk atau sekitar 450.000 kasus. Kematian akibat TB paru di
luar HIV sebesar 27 per 100.000 penduduk atau 182 orang per hari. Menurut
13

laporan WHO tahun 2013, Indonesia menempati urutan ketiga jumlah kasus
TB paru setelah India dan Cina dengan jumlah sebesar 700 ribu kasus. Angka
kematian masih sama dengan tahun 2011 sebesar 27 per 100.000 penduduk,
tetapi angka insidennya menurun menjadi 185 per 100.000 penduduk di tahun
2012 (WHO, 2013).
Angka insidensi TB paru di Indonesia pada tahun 2014 adalah 399.000
kasus per 100.000 populasi, terbesar di dunia. Angka ini memang menurun
dari tahun 2013 yang mencapai 460.000 kasus per 100.000 populasi, namun
jika dibandingkan dengan India yang mampu menekan angka insidensi
dengan sangat signifikan, tentu Indonesia perlu mendapat perhatian yang
serius (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Pada tahun 2013, India yang
merupakan negara dengan beban TB paru terbesar di dunia, dengan 2,1 juta
kasus per 100.000 populasi, menjadi 167.000 kasus saja per 100.000 populasi
pada tahun berikutnya. Angka insidensi ini didasarkan dari jumlah total kasus
baru yang ditemukan di suatu negara dengan pelaporan per 100.000 populasi
dalam satu periode, lazimnya dalam satu tahun (Dinkes, 2014).
Pada tahun 2012, insidensi kasus baru di Provinsi Kalimantan Barat
adalah sebesar 99,3 per 100.000 penduduk atau sekita 4.553 kasus dari
seluruh wilayah kerja puskemas termasuk kasus yang ditemukan di rumah
sakit. Sedangkan untuk kota Pontianak sendiri ditemukan kasus baru sejumlah
507 kasus dari 579.600 penduduk dan menempati urutan ketiga setelah
Kabupaten Sambas dan Kabupaten Ketapang (Profil Kesehatan Kalimantan
Barat, 2012).

2.1.3. Etiologi
Penyebab TB paru adalah kompleks Mycobacterium tuberculosis.
Kompleks ini termasuk M. tuberculosis dan M. africanum terutama berasal
dari manusia dan M. bovis yang berasal dari sapi (Chin, 2009).
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran panjang 1 sampai 4 mm dengan tebal 0,3 sampai 0,6 mm. sebagian
14

besar komponen Mycobacterium tuberculosis adalah berupa lipid sehingga


kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan
faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah
yang banyak oksigen. Oleh karena itu, Mycobacterium tuberculosis senang
tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah
tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis (Somantri,
2007).
Mycobacterium tuberculosis mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat
bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering
disebut Basil Tahan Asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik.
Bakteri ini juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan
aerob (Widoyono, 2008).
Bakteri TB ini mati pada pemanasan 100C selama 5-10 menit atau pada
pemanasan 60 C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30
detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang
lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar
atau aliran udara. (Widoyono, 2008).

2.1.4. Cara Penularan TB Paru


Penularan TB paru terjadi melalui udara yang mengandung bakteri TB
dalam percikan ludah yang dikeluarkan oleh penderita TB paru atau TB laring
pada waktu penderita batuk atau bersin. Infeksi melalui selaput lendir atau
kulit yang lecet bisa terjadi namun sangat jarang. Secara teoritis seorang
penderita akan tetap menular sepanjang ditemukannya hasil TB di dalam
tubuh mereka. Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak sempurna
dahaknya akan tetap mengandung bakteri TB selama bertahun-tahun (Chin &
Kandun, 2012).
Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif. Pada waktu batuk
atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan
15

dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan 3000 percikan


droplet. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berasa dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya
penuaran seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seorang terpajan kuman
TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Bakteri TB bila sering masuk dan terkumpul dalam paru-paru akan
berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan
tubuh yang rendah) dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau
kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TB paru dapat menginfeksi
hampir seluruh organ tubuh seperti paru-paru, otak, ginjal, saluran
pencernaan, kelenjar getah bening, tulang. Meskipun demikian organ tubuh
yang paling sering terkena adalah paru-paru. Satu bakteri TB berhasil
menginfeksi paru-paru makan dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang
berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis
bakteri TB ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di
sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu
membuat jaringan disekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TB akan
menjadi dormant (tidur). Bentuk-bentuk dormant inilah yang telihat sebagai
tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen. Pada sebagian orang dengan sistem
imun yang baik, bentuk ini akan tetap dorman sepanjang hidupnya.
Sedangkan pada orang-orang dengan kekebalan tubuh yang kurang maka
bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel menjadi
banyak. Tuberkel yang banyak ini membuat sebuah ruang di dalam paru-paru.
16

Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak) (Nisa,
2007).
Daya penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya
bakteri TB yang terdapat dalam paru penderita, penyebaran bakteri TB di
udara dan penyebaran bakteri TB bersama dahak berupa droplet dan berada di
sekitar penderita TB. Makin tinggi derajat postif pemeriksaan sputum, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan sputum negatif, maka
penderita tersebut dianggap tidak menular. Begitu pula dengan TB ekstra paru
yang juga tidak menular (Notoatmodjo, 2007).

2.1.5. Faktor Resiko


Hampir semua indikator kesehatan memperlihatkan adanya hubungan
antara keadaan sakit dengan kondisi sosial ekonomi yang buruk. Indikator
yang paling sering digunakan dalam merefleksikan sosial ekonomi seseorang
atau suatu keluarga adalah pendapatan perbulannya, kepadatan tempat tinggal,
tingkat pendidikan, pengangguran, dan kelas sosial.
Faktor risiko untuk terjadinya TB paru pada seseorang antara lain
(Bustan, 2006):

a. Usia
Hampir tidak ada perbedaan di antara anak laki dan perempuan sampai
pada umur pubertas. Bayi dan anak kecil pada kedua jenis kelamin memiliki
daya tahan yang lemah. Sampai berusia dua tahun, infeksi terutama dapat
berakibat fatal, seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosis, yang
menyebar menurut peredaran darah. Sesudah usia satu tahun sampai sebelum
masa pubertas, seorang anak yang terinfeksi dapat berkembang menjadi TB
milier atau meningitis, atau salah satu bentuk tuberkulosis kronis yang lebih
meluas, terutama mengenai kelenjar getah bening, tulang atau penyakit
persendian. Sebelum pubertas, bagian lesi primer paru biasanya
mempengaruhi lokasi tersebut. Prevalensi tuberkulosis paru tampaknya
17

meningkat seiring dengan peningkatan usia pada kedua jenis kelamin. Pada
wanita, prevalensi mencapai maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian
berkurang. Pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya
mencapai usia 60 tahun (Achmadi, 2008).
b. Jenis kelamin
Di seluruh negara, diketahui bahwa kasus TB paru lebih sering
menyerang pria dibandingkan dengan wanita. Hal ini dapat dihubungkan
dengan perbedaan respon imun antara pria dan wanita. Bukti menunjukkan
bahwa pada level fisiologis, estrogen bermanfaat bagi sistem imun, sedangkan
hormon seks pria, testosterone bersifat imunosupresif. Tingginya angka TB
paru pada sebagian pria mungkin menggambarkan perbedaan epidemiologi,
pajanan terhadap risiko infeksi, dan progresi dari infeksi menjadi penyakit TB
paru.
TB paru merupakan penyebab utama kematian pada wanita akibat
penyakit infeksi. Setiap tahunnya, sekitar tiga perempat juta wanita meninggal
karena TB paru. Meskipun secara keseluruhan, prevalensi TB paru rendah
pada wanita, progresi dari infeksi menjadi penyakit lebih tinggi. Hal ini dapat
disebabkan oleh tiga beban utama antara lain rumah tangga, perawatan anak,
dan pekerjaan sehingga menyisakan waktu yang sedikit bagi dirinya untuk
mendapatkan perawatan kesehatan (Aditama, 2006).
c. Faktor lingkungan
Hubungan antara faktor lingkungan dan infeksi TB paru telah diakui, dan
transmisi TB telah lama diketahui berhubungan dengan ventilasi yang buruk
di rumah. Hal ini dapat dijelaskan dengan terjadinya penularan TB paru
melalui droplet menular ke udara. Penularan umumnya terjadi di dalam
ruangan, di mana droplet dapat bertahan di udara dalam waktu yang lama.
Droplet dapat tetap tersuspensi di udara dalam beberapa jam, tergantung dari
lingkungan.
Kondisi rumah yang terlalu padat dapat meningkatkan pajanan orang
yang rentan dengan orang yang menderita penyakit infeksi saluran
pernapasan, dan dapat meningkatkan kemungkinan transmisi. Kondisi rumah
18

yang padat berpotensi meningkatkan pajanan dari orang yang rentan dengan
penyakit infeksi pernapasan ini, dan dapat meningkatkan kemungkinan
transmisi.
Telah diketahui bahwa basil TB dapat mati karena sinar, terutama sinar
ultraviolet, sehingga keadaan rumah dengan pencahayaan (terutama
pencahayaan alam) cukup baik dapat mencegah penularan penyakit tersebut
(Achmadi, 2008).
d. Gizi
Terdapat bukti sangat jelas bahwa kelaparan atau gizi buruk mengurangi
daya tahan terhadap penyakit TB. Faktor ini sangat penting pada masyarakat
miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai risiko 3,7
kali untuk menderita TB berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya
cukup atau lebih.

e. Bahan toksik
Merokok tembakau dan minum banyak alkohol merupakan faktor penting
yang dapat menurunkan daya tahan tubuh. Peningkatan kerentanan perokok
terhadap infeksi dan perkembangan TB paru, kemungkinan besar karena
perubahan pada paru yang diinduksi merokok dalam waktu yang lama.
Nikotin diketahui dapat menghentikan produksi tumour necrosis factor-alpha
oleh makrofag paru sehingga perokok lebih rentan terhadap progresi infeksi
laten maupun penyakit aktif dari TB paru. Merokok berhubungan dengan
kegagalan terapi dan kematian pada pasien TB paru. Beberapa penelitian
membuktikan hubungan antara merokok dan infeksi TB paru, penyakit TB
dan kematiannya. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol juga dapat meningkatkan
risiko penyakit TB paru. Pecandu alkohol memiliki risiko tertular TB paru 1,5
kali lipat dibandingkan dengan orang bukan pecandu alkohol. Alkohol
diketahui memiliki efek inhibitor yang kuat terhadap imunitas yang
diperantarai sel. Selain rokok dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol, obat
19

kortikosteroid dan imunosupresif lain yang digunakan pada pengobatan


penyakit-penyakit tertentu juga meningkatkan risiko penyakit TB paru
(Aditama, 2006).
f. Penyakit lain
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa orang dengan diabetes
melitus memiliki insiden dua hingga empat kali lebih tinggi menderita
tuberkulosis aktif dibandingkan dengan orang tanpa diabetes melitus.
Selanjutnya, sejumlah penelitian juga melaporkan bahwa pada penderita
diabetes menunjukkan penyakit yang lebih berat pada saat TB paru
didiagnosis dan meningkatkan angka kematian (Supandiman, 2009). Pasien
yang terinfeksi dengan HIV dan Mycobacterium tuberculosis memiliki risiko
yang tinggi untuk terbentuknya TB aktif (Notoatmojo, 2007).

g. Kemiskinan
Di masyarakat, TB paru terkait erat secara timbal balik dengan
kemiskinan. Di satu pihak, kemiskinan merupakan faktor risiko penyakit TB
paru yang utama, di lain pihak, penyakit ini berperan besar dalam
menghambat upaya pengendalian kemiskinan, karena kemampuannya yang
besar membunuh kelompok masyarakat yang berusia produktif. Hubungan
antara kemiskinan dan penyakit TB paru dapat dihubungkan dengan kondisi
rumah yang buruk, perumahan yang terlampau padat, insanitasi dan kondisi
kerja yang buruk. Kondisi ini tentunya memudahkan terjadinya infeksi.
Masyarakat dengan status sosial ekonomi yang buruk biasanya diikuti dengan
tingkat pendidikan yang buruk berhubungan dengan tingkat pengetahuan TB
paru yang buruk, risiko infeksi dan penularannya, dan terlambat atau tidak
mencukupinya pelayanan kesehatan yang diterima. Kemiskinan juga
menghasilkan nutrisi yang buruk dan berat badan yang rendah, yang
menyebabkan sistem imun lebih rentan terhadap infeksi TB paru (ICFDDR,
2010).
20

2.1.6. Patogenesis
Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada sinar
ultraviolet, ventilasi, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap
kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan (Kementerian
Keseheatan RI, 2011).
Patogenesis TB paru pada individu imunokompeten yang belum pernah
terpajan berpusat pada pembentukan imunitas selular yang menimbulkan
resistensi terhadap organisme dan menyebabkan terjadinya hipersensitivitas
jaringan terhadap antigen. TB paru primer merupakan bentuk penyakit yang
terjadi pada orang yang belum pernah terpajan, sehingga tidak pernah
tersensitisasi (Kumar, 2007). Pada patogenesis TB paru primer,
Mycobacterium tuberculosis akan masuk melalui saluran napas dan bersarang
di jaringan paru, dimana akan terbentuk suatu sarang pneumonik yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini bisa timbul di bagian mana
saja dalam paru. Dari sarang primer, akan terlihat peradangan saluran getah
bening yang menuju hilus (limfangitis lokal) dan diikuti oleh pembesaran
kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional) (PDPI, 2011).
Sarang primer limfangitis lokal dengan limfadenitis regional kemudian
disebut sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu
3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat sembuh tanpa
meninggalkan bekas, sembuh dengan meninggalkan bekas (antara lain sarang
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus), atau bahkan dapat menyebar
dengan berbagai cara. Penyebaran secara perkontinuitatum yaitu menyebar
kesekitarnya, secara bronkogen yaitu menyebar di paru bersangkutan atau ke
paru sebelahnya, dapat juga terjadi ke usus apabila kuman tertelan bersama
21

sputum, sedangkan secara hematogen dan limfogen berkaitan dengan daya


tahan tubuh, serta jumlah dan virulensi basil (PDPI, 2011).

Gambar 2.1. Skema Patogenesis Infeksi Primer TB paru (PDPI, 2011)

Fase TB paru pasca primer terjadi karena imunitas menurun seperti


malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS), dan gagal ginjal (Kumar, 2007). TB paru pasca primer ini
22

juga dapat terjadi akibat reinfeksi eksogen karena berkurangnya proteksi yang
dihasilkan oleh penyakit primer atau karena besarnya inokulum basil hidup.
TB paru pasca primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di
segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini pada
awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil, yang dalam 3-10 minggu
akan menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit
dan sel datia langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai
jaringan ikat. Sarang dini dapat diresorpsi dan sembuh kembali dengan tidak
meninggalkan cacat. Sarang ini dapat pula mulai meluas, tetapi segera terjadi
proses penyembuhan dengan serbukan jaringan fibrosis, selanjutnya akan
membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran dan akan sembuh
dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya, dapat juga sarang tersebut menjadi
aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila
jaringan keju dibatukkan keluar. Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah
karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi
oleh makrofag dan proses yang berlebihan antara sitokin dengan Tumor
Necrosis Factor atau TNF (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi
tebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi
kavitas sklerotik (kronik). Kavitas ini mungkin meluas kembali dan
menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti
pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas, dapat pula memadat dan
membungkus diri (encapsulated), disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat
mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi
dan menjadi kavitas lagi. Kavitas bisa pula menjadi bersih dan menyembuh
yang disebut open healed cavity atau kavitas menyembuh dengan
membungkus diri lalu akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai
kavitas yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang atau
stellate shaped (Price, 2006).
23

Gambar 2.2. Skema patogenesis infeksi TB paru post primer (PDPD, 2011)

2.1.7. Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena (PDPI, 2011)
a. TB Paru
TB paru ini menyerang parenkim paru, tidak termasuk pleura dan kelenjar
pada hilus.
b. TB Ekstra Paru
TB ini menyerang organ tubuh lain selain parenkim paru, misalnya pleura,
selaput otak, pericardium, kelenjar limfe, tulang, persendiran, kulit, usus,
ginjal, saluran kemih, alat kelamin.

2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopik, keadaan


ini terutama ditujukan pada TB Paru (WHO, 2014)
a. BTA positif
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen sputum SPS (Sewaktu-Pagi-
Sewaktu) hasilnya BTA positif.
24

2) Satu spesimen sputum SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran TB paru.
3) Satu spesimen sputum SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
paru positif.
4) Satu atau lebih spesimen sputum hasilnya positif setelah 3 spesimen
sputum SPS pada pemriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT (Obat Anti
Tuberkulosis).
b. BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen sputum SPS hasilnya BTA negatif.
2) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran TB.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT, bagi
pasien dengan HIV negatif.
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3. Klasifikasi berdasakan riwayat pengobatan sebelumnya (Kementerian
Kesehatan RI, 2011)
a. Kasus Baru
Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa
positif atau negatif.

b. Kasus yang sebelumya diobati


1) Kasus Kambuh (relaps)
Pasien TB paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB
paru dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
2) Kasus Setelah Putus Berobat (Default)
Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
3) Kasus Setelah Gagal (Failure)
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi postif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
25

c. Kasus Pindahan (Transfer In)


Pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
d. Kasus Lain
Semua kasus yang tidak memenuhi kriteris diatas, seperti:
1) Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
2) Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya
3) Kembali diobati dengan BTA negatif.
4. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
a. Mono resitan (TB MR) : resisten terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.
b. Poli resistan (TB PR) : resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain isoniazid (H) dan Rifampisin secara bersamaan.
c. Multi drug resistan (TB MDR) : resistan terhadap isoniazid (H) dan
rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistan (TB XDR) : TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin,
dan Amikasin)
e. Resistan Rifampisin (TB RR) : resistan terhadap Rfampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

2.1.8. Manifetasi Klinis


Keluhan yang dirasakan pasien TB paru dapat bermacam-macam atau
malah banyak pasien yang ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali
dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah (Amin, 2009):
1. Demam
Biasanya subfebris menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-41C. Serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, kemudian timbul kembali. Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi
kuman TB yang masuk.
2. Batuk/Batuk Darah
26

Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar. Terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru, yakni setelah berminggu-minggu atau
berbulan-bulan sejak peradangan bermula. Batuk awalnya berupa batuk
kering (non-produktif), kemudian setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa
batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang terpecah. Kebanyakan
batuk darah pada TB paru berasal dari kavitas, tetapi dapat juga dari ulkus
dinding bronkus.

3. Sesak Nafas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas.
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri Dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/menghembuskan nafas.
5. Malaise
Penyakit TB paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise yang
sering ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan makin
kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat
malam dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan
terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

2.1.9. Diagnosis
Diagnosis TB paru diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
SPS. Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2
spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil
jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium. Diagnosis TB paru pada
orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB
27

paru nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis


merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan
uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB paru hanya
berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis (Depkes, 2008).
28

Gambar 2.3 Alur Diagnosis TB paru (Kementrian Kesehatan RI, 2011)

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai


keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk menegakkan diagnosis dengan mengumpulkan 3 bahan dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan yang dikenal
dengan konsep Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Depkes, 2014).
a. Sewaktu : dahak dikumpulkan pada saat pasien yang diduga TB paru
datang berkunjung pertama kali. Saat pulang suspek membawa pot
penampung dahak.
b. Pagi: dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot penampung dibawa sendiri kembali.
c. Sewaktu: dahak dikumpulkan pada hari kedia, saat pasien menyerahkan
dahak pagi hari.
Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 X berturut-turut untuk
menghundari faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 X
positif, maka pasien sudah dapat dipastikan sakit TB paru (Hudoyo, 2008).
29

Untuk interpretasi pemeriksaan mikroskopis dahak pasien dapat dibaca


dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International
Union Against Tuberculosis and Lung Disease) yaitu :
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
e. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

2.1.10.Tatalaksana
Pengobatan TB paru bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Kementerian Kesehatan
RI, 2011).

Tabel 2.1. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT Lini Pertama (Kementerian Kesehatan RI,
2011)
Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Jenis OAT Sifat
Harian 3 kali seminggu
5 10
Isoniazid (H) Bakterisid
(4-6) (8-12)
10 10
Rifampisin (R) Bakterisid
(8-12) (8-12)
25 35
Pyrazinamide (Z) Bakterisid
(20-30) (30-40)
15 15
Streptomycin (S) Bakterisid
(12-18) (12-18)
15 30
Ethambutol (E) Bakteriostatik
(15-20) (20-35)
30

Pengobatan TB paru dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:


1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB paru diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
Tahap intensif (awal):
1. Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam
2 bulan.
Tahap lanjutan:
1. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya :
1) Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
a) Pasien baru TB paru BTA positif
b) Pasien TB paru BTA negatif, foto toraks positif
c) Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.2. Dosis untuk Paduan OAT KDT untuk Kategori-1


31

Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu selama
Berat badan Tiap hari selama 56 hari
16 minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)

30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT

38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT

71 kg 5 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT

2) Kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a) Pasien kambuh
b) Pasien gagal
c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 2.3. Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori-2
Tahap Lanjutan
Tahap Intensif tiap hari 3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E
Berat badan
(275)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
2 tab 4 KDT
+ 500 mg 2 tab 2 KDT
30-37 kg 2 tab 4 KDT
+ 2 tab Etambutol
Streptomisin inj
3 tab 4 KDT
+ 750 mg 3 tab 2 KDT
38 54 kg 3 tab 4 KDT
+ 3 tab Etambutol
Streptomisin inj
4 tab 4 KDT
+ 1000 mg 4 tab 2 KDT
55 70 kg 4 tab 4 KDT
+ 4 tab Etambutol
Streptomisin inj
71 kg 5 tab 4 KDT 5 tab 4 KDT 5 tab 2 KDT
+ 1000 mg + 5 tab Etambutol
32

Streptomisin inj

3) OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap
intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.4. Dosis KDT untuk Sisipan


Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
Berat badan RHZE (150/75/400/275)

30 37 kg 2 tablet 4 KDT
38 54 kg 3 tablet 4 KDT
55 70 kg 4 tablet 4 KDT
71 kg 5 tablet 4 KDT

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida


(misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan
kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh
lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga
meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.

2.1.11. Komplikasi
WHO (2012) membagi komplikasi penyakit TB paru dalam 2 kategori,
yaitu:
a. Komplikasi Dini
1) Pleuritis
2) Efusi pleura
33

3) Empiema
4) Laryngitis
5) TB usus

b. Komplikasi Lanjut
1) Obstruksi jalan napas
2) Cor pulmonale
3) Amiloidosis
4) Karsinoma Paru
5) Sindrom gagal napas

2.2 Upaya Penanggulangan Tuberkulosis Paru di Indonesia


Upaya pengendalian tuberculosis di Indonesia sudah berlangsung sejak
sebelum kemerdekaan. Setelah perang dunia kedua, secara terbatas melalui 20
balai pengobatan dan 15 sanatorium yang pada umumnya berada di pulau Jawa.
Setelah perang kemerdekaan, diagnosis ditegakkan TB paru berdasarkan foto
toraks dan pengobatan pasien dilakukan secara rawat inap. Pada tahun 1977
mulai diperkenalkan pengobatan jangka pendek (6 bulan) dengan menggunakan
panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang terdiri dari isoniazid, Rifampisin,
dan Ethambutol. Pada tahun 1994 Departemen Kesehatan RI melakukan uji coba
penerapan strategi DOTS di satu Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dan satu
Kabupaten di Provinsi Jambi. Berikut kebijakan pemerintah mengenai TB paru
di Indonesia:
1. Pengendalian TB paru di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan asas
desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan kabupaten/kota sebagai titik
berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,
tenaga, sarana dan prasarana).
2. Pengendalian TB paru dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS
sebagai kerangka dasar dan memperhatikan strategi global untuk
mengendalikan TB paru (Global Stop TB Strategy).
34

3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah


terhadap program pengendalian TB paru.
4. Penguatan pengendalian TB paru dan pengembangannya ditujukan terhadap
peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan
pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya TB paru resistan obat.
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB paru dilaksanakan
oleh seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), meliputi: Puskesmas, Rumah
Sakit Pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Besar/Balai
Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), Klinik Pengobatan serta Dokter
Praktek Mandiri (DPM).
6. Pengobatan untuk TB paru tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan
TB paru dengan tingkat kesulitan yang tidak dapat ditatalaksana di FKTP
akan dilakukan di FKRTL dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor
penyulit telah dapat ditangani.
7. Pengendalian TB paru dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan
kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat
dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB).
8. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan
untuk peningkatan mutu dan akses layanan.
9. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB paru diberikan secara
cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistk yang efektif demi
menjamin ketersediaannya.
10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk
meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
11. Pengendalian TB paru lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan
kelompok rentan lainnya terhadap TB paru.
12. Pasien TB paru tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global
pengendalian TB paru.
2.2.1 Visi dan Misi
35

a. Visi
Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan
b. Misi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat
madani
2. dalam pengendalian TB.
3. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan
berkeadilan.
4. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.
5. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.

2.2.2 Tujuan dan Target


a. Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
b. Target
Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) yang ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun. Pada RPJMN 2010-2014
maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100,000 penduduk dari 235
menjadi 224, Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari
73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang
disembuhkan dari 85% menjadi 88%..Keberhasilan yang dicapai pada RPJMN
2010-2014 akan menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya.
Pada tahun 2015-2019 target program pengendalian TB akan disesuaikan
dengan target pada RPJMN II dan harus disinkronkan pula dengan target
Global TB Strategy pasca 2015 dan target SDGs (Sustainable Development
Goals). Target utama pengendalian TB pada tahun 2015-2019 adalah
penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1-2% per tahun
menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > dari 4-5% pertahun.
Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan
36

insidensi sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi
tahun 2015.

2.2.3 Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 2014


Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan
masyarakat miskin serta rentan lainnya.
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat
(sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB
Terpadu Pemerintah dan Swasta (Public Private Mix) dan menjamin
kepatuhan terhadap Standar Internasional Penatalaksanaan TB
(International Standards for TB).
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan
manajemen program pengendalian TB.
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi
strategis.
8. Strategi Nasional Program Pengendalian TB Nasional tahun 2015-2019
merupakan Pengembangan strategi nasional sebelumnya dengan
beberapa pengembangan strategi baru untuk menghadapi target dan
tantangan yang lebih besar.

2.2.4 Kegiatan
a. Tatalaksana TB Paripurna
1) Promosi Tuberkulosis
2) Pencegahan Tuberkulosis
3) Penemuan pasien Tuberkulosis
4) Pengobatan pasien Tuberkulosis
5) Rehabilitasi pasien Tuberkulosis
b. Manajemen Program TB
37

1) Perencanaan program pengendalian Tuberkulosis


2) Monitoring dan evaluasi program pengendalian Tuberkulosis
3) Pengelolaan logistik program pengendalian Tuberkulosis
4) Pengembangan ketenagaan program pengendalian Tuberkulosis
5) Promosi program pengendalian Tuberkulosis.
c. Pengendalian TB Komprehensif
1) Penguatan layanan Laboratorium Tuberkulosis;
2) Public-Private Mix Tuberkulosis;
3) Kelompok rentan: pasien Diabetes Melitus (DM), ibu hamil, gizi buruk;
4) Kolaborasi TB-HIV;
5) TB Anak;
6) Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB;
7) Pendekatan praktis kesehatan paru (Practicle Aproach to Lung Health = PAL);
8) Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO)

2.2.5 Organisasi Pelaksana


a Aspek Manajemen Program TB
1) Tingkat Pusat
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional
Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan
lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I.
sebagai penanggung jawab teknis upaya pengendalian TB.
Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Sub
Direktorat Tuberkulosis.
2) Tingkat Propinsi
Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari
Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan
dengan kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat
propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan Propinsi.
3) Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota
yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur
38

organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota. Dalam


pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh
DinasKesehatan Kabupaten/Kota.
b. Aspek Tatalaksana pasien TB
Dilaksanakan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).
1) Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
FKTP dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang
mampu memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam
FKTP adalah Puskesmas, DPM, Klinik Pratama, dan BKPM. Dalam layanan
tatalaksana TB, fasilitas kesehatan yang mampu melakukan pemeriksaan
mikroskopis disebut FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM). FKTP
Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM) menerima rujukan pemeriksaan
mikroskopis dari FKTP yang tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan
mikroskopis yang disebut sebagai FKTP Satelit (FKTP-S).
2) Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)
FKRTL dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan RTL yang mampu
memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif,
kuratif, rehabilitatif dan paliatif untuk kasus-kasus TB dengan penyulit dan
kasus TB yang tidak bisa ditegakkan diagnosisnya di FKTP. Fasilitas
kesehatan yang termasuk dalam FKRTL adalah RS Tipe C, B dan A, RS
Rujukan Khusus Tingkat Regional dan Nasional, Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat (BBKPM) dan klinik utama. Pelayanan kesehatan di tingkat
kabupaten/kota adalah tulang punggung pelaksanaan program pengendalian
TB. Setiap kabupaten/kota didukung oleh fasilitas kesehatan primer yaitu
Puskesmas Rujukan Mikroskopis, Puskesmas Satelit, dan Puskesmas
Pelaksana Mandiri. Puskesmas bertanggung jawab untuk mendiagnosa,
mengobati dan memonitor pengobatan, yang didukung oleh anggota keluarga
39

sebagai Pengawas Minum Obat (PMO).(KemenKes RI, 2014) Dipontianak


puskesmas menjalankan program dalam peningkatan pengetahuan mengenai
TB paru, penemuan kasus, dan pengobatan secara tuntan TB paru.

2.3 Pencegahan TB Paru menurut ISTC


Pengembangan edisi pertama International Standards for Tuberculosis Care
(ISTC) didanai oleh United States Agency for International Development
(USAID) melalui Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA) dan
dipandu oleh komite ahli terdiri dari 28 anggota dari 14 negara yang mewakili
perspektif yang relevan dan sesuai dengan bidang keahliannya. Komite ini
diketuai oleh Mario Raviglione dari World Health Organization (WHO) and
Philip Hopewell of the American Thoracic Society (ATS).
Tujuan dari ISTC adalah untuk menggambarkan level perawatan yang secara
luas diterima oleh semua praktisi, publik dan swasta, harus berusaha untuk
mencapai dalam mengelola pasien yang memiliki, diduga memiliki, atau berada
pada peningkatan risiko pengembangan TBC. Standar ini dimaksudkan untuk
mempromosikan kerjasama yang efektif dari semua penyedia layanan kesehatan
dalam memberikan perawatan yang berkualitas tinggi untuk pasien dari segala
usia, termasuk dengan TB paru sputum BTA positif dan BTA negatif,
tuberkulosis ekstra paru, tuberkulosis yang disebabkan oleh organisme
Mycobacterium tuberculosis yang resistan terhadap obat kompleks, dan
tuberkulosis dikombinasikan dengan infeksi HIV dan komorbiditas lainnya.
Selain itu, terdapat peningkatan kesadaran pentingnya bagi penyedia untuk
melakukan pendekatan untuk skrining dan pencegahan tuberkulosis.
Prinsip-prinsip dasar perawatan untuk orang dengan, atau yang diduga memiliki,
tuberkulosis adalah sama di seluruh dunia: diagnosis harus ditetapkan segera dan
akurat; standar regimen pengobatan terbukti harus digunakan, bersama dengan
dukungan pengobatan dan pengawasan yang tepat; respon terhadap pengobatan
harus dipantau; dan tanggung jawab kesehatan masyarakat harus dilakukan.
40

ISTC harus dipandang sebagai dokumen hidup yang akan direvisi sebagai
teknologi, sumber daya, dan perubahan sirkumstan. Seperti ditulis, standar di
ISTC disajikan dalam konteks apa yang umumnya dianggap layak sekarang atau
dalam waktu dekat.
Standar 1. Untuk memastikan diagnosis dini, penyedia layanan kesehatan
harus menyadari faktor risiko individu dan kelompok untuk TB dan melakukan
evaluasi klinis yang cepat dan tes diagnostik yang tepat bagi orang-orang dengan
gejala dan temuan yang konsisten dengan TB.
Standar 2. Semua pasien, termasuk anak-anak, dengan batuk yang tidak dapat
dijelaskan yang berlangsung dua minggu atau lebih atau dengan temuan yang
tidak jelas mengarah ke tuberkulosis pada pemeriksaan radiografi dada harus
dievaluasi untuk tuberkulosis.
Standar 3. Semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga menderita TB
paru dan mampu menghasilkan dahak harus memiliki minimal dua spesimen
dahak dikumpulkan untuk pemeriksaan mikroskopi pewarnaan atau spesimen
dahak tunggal untuk uji Xpert MTB / RIF * di laboratorium yang berkualitas
dan terjamin. Pasien yang beresiko resistensi obat, yang memiliki risiko HIV, atau
yang memiliki penyakit serius, harus melakukan Xpert MTB / RIF sebagai uji
diagnostik awal. tes serologis berbasis darah dan interferon gamma release assay
tidak boleh digunakan untuk diagnosis TB aktif.
Standard 4. Untuk semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga memiliki
TB ekstra paru, spesimen yang sesuai dari daerah yang dicurigai terlibat harus
diperoleh untuk pemeriksaan mikrobiologi dan histologis. Tes Xpert MTB / RIF
pada cairan serebrospinal direkomendasikan sebagai tes mikrobiologi awal pada
orang yang diduga menderita meningitis TB karena kebutuhan untuk diagnosis
yang cepat.
Standar 5. Pada pasien yang diduga menderita TB paru dengan pewarnaan
sputumnya negatif, Xpert MTB / RIF dan / atau kultur sputum harus dilakukan.
Di antara pasien dengan sputum yang negatif pada pewarnaan dan Xpert MTB /
41

RIF yang memiliki bukti klinis mengarah kuat ke TB, pengobatan anti
tuberkulosis harus dimulai setelah pengumpulan spesimen untuk pemeriksaan
kultur.
Standar 6. Untuk semua anak yang diduga menderita intratoraks TB (yakni,
paru, pleura, dan mediastinal atau hilus kelenjar getah bening), konfirmasi
bakteriologi harus dicari melalui pemeriksaan sekret pernapasan (dahak yang
dibatukkan, induksi sputum, bilas lambung) untuk pewarnaan mikroskopi, Xpert
MTB / RIF tes, dan / atau kultur.
Standard 7. Untuk memenuhi tanggung jawab kesehatan publik, sebagaimana
tanggung jawab kepada masing-masing pasien, penyedia harus meresepkan
regimen terapi yang tepat, memantau kepatuhan terhadap regimen dan, bila perlu,
mencari faktor yang menyebabkan gangguan atau menghentikan pengobatan.
Memenuhi tanggung jawab ini mungkin akan memerlukan koordinasi dengan
pelayanan kesehatan masyarakat lokal dan / atau lembaga lainnya.
Standard 8. Semua pasien yang belum pernah diobati sebelumnya dan tidak
memiliki faktor risiko untuk resistensi obat harus menerima rekomedasi WHO
lini pertama regimen pengobatan menggunakan obat-obatan kualitasnya terjamin.
Tahap awal harus terdiri dari dua bulan isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol. * Fase lanjutan harus terdiri dari isoniazid dan rifampicin diberikan
selama 4 bulan. Dosis obat antituberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan
rekomendasi WHO. Kombinasi obat dosis tetap dapat memberikan bentuk yang
lebih nyaman dari pemberian obat.
Standard 9. Pendekatan yang berpusat pada pasien untuk pengobatan harus
dikembangkan untuk semua pasien dalam rangka untuk mempromosikan
kepatuhan, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi penderitaan.
Pendekatan ini harus didasarkan pada kebutuhan pasien dan saling menghormati
antara pasien dan penyedia layanan kesehatan.
Standard 10. Response terhadap pengobatan pada pasien dengan TB paru
(termasuk orang-orang yang didiagnosis TB dengan tes rapid molekuler) harus
42

dipantau oleh tindak lanjut mikroskopis sputum pada saat selesainya tahap awal
pengobatan (dua bulan). Jika sputum BTA positif pada penyelesaian tahap awal,
dahak mikroskopik harus dilakukan lagi pada 3 bulan dan, jika positif, tes
sensitivitas molekular obat (line probe assay atau Xpert MTB / RIF) harus
dilakukan. Pada pasien dengan TB ekstra paru dan anak-anak, respon pengobatan
terbaik dinilai secara klinis.
Standard 11. Sebuah penilaian dari kemungkinan resistensi obat, berdasarkan
riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan sumber yang mungkin memiliki
organisme yang resistan terhadap obat, dan prevalensi komunitas resistensi obat
(jika diketahui), harus dilakukan untuk semua pasien. tes kerentanan terhadap
obat harus dilakukan pada awal terapi untuk semua pasien pada risiko resistensi
obat. Pasien yang sputum BTA tetap positif pada penyelesaian 3 bulan
pengobatan, pasien yang pengobatan telah gagal, dan pasien yang telah hilang
untuk follow up atau kambuh diikuti satu atau lebih program pengobatan harus
selalu dinilai untuk resistensi obat. Untuk pasien yang memungkinkan memiliki
resistensi obat, Xpert MTB / RIF harus dilakukan sebagai tes diagnostik awal.
Jika resistensi rifampisin terdeteksi, kultur dan uji resistensi terhadap isoniazid,
fluoroquinolones, dan obat suntik lini kedua harus dilakukan segera. Konseling
dan edukasi ke pasien, serta pengobatan empiris regimen lini kedua, harus dimulai
segera untuk meminimalkan kemungkinan transmisi. langkah-langkah
pengendalian infeksi sesuai dengan pengaturan harus diterapkan.
Standard 12. Pasien dengan atau sangat mungkin untuk memiliki tuberkulosis
yang disebabkan oleh organisme resistensi obat (terutama MDR / XDR)
seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung lini kedua obat
antituberkulosis dengan kualitas terjamin. Dosis obat anti tuberkulosis harus
sesuai dengan rekomendasi WHO. Regimen yang dipilih dapat merupakan
standarisasi atau berdasarkan kecurigaan atau konfirmasi pola resistensi terhadap
obat. Setidaknya lima obat, pirazinamid dan empat obat yang organisme diketahui
atau diduga rentan, termasuk agen injeksi-harus digunakan dalam fase intensif 6-8
43

bulan dan setidaknya 3 obat yang organismeny diketahui atau diduga rentan,
harus digunakan dalam fase lanjutan. Pengobatan harus diberikan paling sedikit
selama 18-24 bulan di luar konversi kultur. Pengamatan berpusat pada pasien,
diperlukan untuk memastikan kepatuhan. Konsultasi dengan spesialis
berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR / XDR TB harus
didapatkan. Standard 13. Pencatatan semua pengobatan yang diberikan yang
dapat diakses, sistematis, respon bakteriologis, hasil, dan reaksi efek samping
harus dipertahankan untuk semua pasien.
Standard 14. Tes HIV dan konseling harus dilakukan untuk semua pasien
dengan, atau yang diduga memiliki, tuberkulosis kecuali konfirmasi tes negatif
dalam dua bulan sebelumnya. Karena hubungan dekat tuberkulosis dan infeksi
HIV, pendekatan terpadu untuk pencegahan, diagnosis, dan pengobatan pada
tuberkulosis dan infeksi HIV dianjurkan di daerah dengan prevalensi HIV yang
tinggi. Pengujian HIV penting khusus sebagai bagian dari manajemen rutin dari
semua pasien di daerah dengan prevalensi tinggi infeksi HIV pada populasi
umum, pada pasien dengan gejala dan / atau tanda-tanda kondisi terkait HIV, dan
pada pasien yang memiliki riwayat mengarah ke resiko tinggi terpapar HIV.
Standard 15. Pada individu dengan infeksi HIV dan tuberkulosis yang
memiliki imunosupresi (jumlah CD4 kurang dari 50 sel / mm3), ART harus
dimulai dalam waktu 2 minggu dari mulai pengobatan tuberkulosis kecuali
meningitis TB muncul. Untuk semua pasien lain dengan HIV dan TB, terlepas
dari jumlah CD4, ART harus dimulai dalam waktu 8 minggu dari mulai
pengobatan untuk tuberkulosis. Pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV juga
harus menerima kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.
Standard 16. individu dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan
hati-hati, tidak memiliki TB aktif harus diobati untuk infeksi TB laten yang
diperkirakan dengan isoniazid selama minimal 6 bulan.
Standard 17. Semua penyedia layanan kesehatan harus melakukan evaluasi
menyeluruh untuk kondisi co-morbid dan faktor-faktor lain yang dapat
44

mempengaruhi respon pengobatan TB atau hasil dan mengidentifikasi layanan


tambahan yang akan mendukung hasil yang optimal bagi setiap pasien. Layanan
ini harus dimasukkan ke dalam rencana perawatan individu yang mencakup
penilaian dan arahan untuk pengobatan penyakit lain. Perhatian khusus harus
dilakukan untuk penyakit atau kondisi yang diketahui mempengaruhi hasil
pengobatan, misalnya, diabetes mellitus, penyalahgunaan obat dan alkohol, gizi,
dan merokok. Rujukan ke layanan dukungan psikososial lainnya, atau untuk
layanan seperti perawatan antenatal atau baik-bayi juga harus diberikan.
Standard 18. Semua penyedia layanan kesehatan harus memastikan bahwa
orang-orang yang memiliki kontak dekat dengan pasien yang memiliki infeksi TB
dievaluasi dan dikelola sesuai dengan rekomendasi internasional. Kontak prioritas
tertinggi untuk evaluasi adalah:
Orang dengan gejala mengarah tuberkulosis
Anak-anak berusia <5 tahun
Kontak dengan diketahui atau dicurigai status immunocompromised, terutama
infeksi HIV
Kontak pasien dengan MDR / XDR TB
Standard 19. Anak-anak <5 tahun dan orang dari segala usia dengan infeksi
HIV yang kontak dekat dari seseorang dengan infeksi TB, dan yang, setelah
dievaluasi dengan hati-hati, tidak memiliki TB aktif, harus diobati dianggap
sebagai infeksi TB laten dengan isoniazid selama setidaknya enam bulan.
Standard 19. Anak-anak <5 tahun dan orang dari segala usia dengan infeksi
HIV yang kontak dekat dari seseorang dengan infeksi TB, dan yang, setelah
dievaluasi dengan hati-hati, tidak memiliki TB aktif, harus diobati dianggap
sebagai infeksi TB laten dengan isoniazid selama setidaknya enam bulan.
Standard 20. Setiap fasilitas layanan kesehatan merawat pasien yang
memiliki, atau diduga menderita, TBC menular harus mengembangkan dan
melaksanakan rencana pengendalian infeksi TB yang tepat untuk meminimalkan
45

kemungkinan penularan M. tuberculosis kepada pasien-pasien dan petugas


kesehatan.
Standard 21. Semua penyedia layanan kesehatan harus melaporkan kasus baru
maupun pengobatan ulang TB dan pengobatan mereka diberikan kepada otoritas
kesehatan publik setempat sesuai dengan persyaratan hukum, peraturan, dan
kebijakan yang berlaku.

BAB III
METODE EVALUASI

3.1. Lokasi dan Waktu Evaluasi


Evaluasi dilakukan di UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Barat pada
tanggal 8 Agustus 2016 sampai 17 September 2016.

3.2. Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan :
1. Data primer
Data primer dikumpulkan dengan wawancara langsung terhadap
penanggung jawab program TB paru BTA (+) di UPTD Puskesmas
Kecamatan Pontianak Barat.
2. Data sekunder
46

Data sekunder dikumpulkan dengan mempelajari dokumentasi


Puskesmas, yaitu Profil Kesehatan UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak
Barat periode Januari 2015 Desember 2015 beserta laporan bulanan
program TB paru tahun 2015.

3.3. Indikator dan Tolak Ukur Penilaian


Evaluasi dilakukan pada laporan program TB paru BTA (+) di UPTD
Puskesmas Kecamatan Pontianak Barat periode Januari 2015 Desember 2015
dengan mempertimbangkan hasil capaian program TB paru tahun 2012, 2013
dan 2014. Rujukan tolak ukur penilaian yang digunakan adalah:
1. Keputusan menteri kesehatan 021/MENKES/SK/1/11 tentang rencana
strategis kementrian kesehatan tahun 2010-2014
2. standar pelayanan minimal dan indikator kinerja upaya UPTD Puskesmas
Kecamatan Pontianak Barat Tahun 2015

Tabel 3.1 Tolak Ukur Program TB Paru BTA (+)


No. Variabel Tolok Ukur keberhasilan (%)
Daerah/Puskesmas Kota
1. angka kesembuhan penderita 100 80
TB paru BTA (+)
2. Penemuan kasus TB paru BTA 7,14 70
(+)
Sumber:
1. Laporan Tahunan UPTD Puskesmas Kec. Pontianak Barat Tahun 2015
2. Pedoman Rencana Kerja Program Kesehatan Lingkungan Tahun 2011, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
47

BAB IV
PENYAJIAN DATA

4.1. Geografi dan Administrasi


UPTD singkatan dari Unit Pelaksanaan Teknis Daerah yang merupakan
perpanjangan tangan dari Dinas Kesehatan Kota dan membawahi UPK yang
ada di setiap kecamatan. UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara
membawahi 4 UPK yaitu UPK Siantan Hulu, UPK Siantan Tengah, UPK
Telaga Biru, dan UPK Katulistiwa. UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak
Utara merupakan suatu unit kesehatan yang melayani kesehatan masyarakat di
Kecamatan Pontianak Utara.
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara yang semula bernama
Puskesmas Siantan Hilir didirikan pada tahun 1971 dimana pada waktu itu
masih berbentuk Balai Pengobatan memiliki luas wilayah bina kurang lebih 787
ha/m2, dengan delapan luas wilayah menurut penggunaannya yang meliputi:
luas pemukiman 613 ha/m2, luas persawahan 0 ha/m2, luas perkebunan 67
48

ha/m2, luas kuburan 2 ha/m2, luas pekarangan 7 ha/m2, luas taman 0 ha/m2, luas
perkantoran 10 ha/m2, dan luas prasarana umum lainnya 88 ha/m2. UPTD
Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara mempunyai 40 RW dengan 151 RT
binaan.
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara memiliki luas wilayah
binaan 787 ha/m2 dengan batas wilayah, yaitu:
1. Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Pontianak
2. Sebelah Timur : berbatasan dengan Kelurahan Siantan Tengah
3. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Sungai Kapuas
4. Sebelah Barat : berbatasan dengan Kelurahan Batulayang.
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara terletak berseberangan
dengan sungai Kapuas, beralamat di Jl. Khatulistiwa No. 151 Kelurahan
Siantan Hilir. Jarak pusat pemerintahan wilayah dengan Kelurahan terjauh di
Kecamatan Pontianak Utara 4 Km dengan pemerintah kota, dengan waktu
tempuh kendaraan bermotor + 45 menit. Rata-rata waktu tempuh masyarakat ke
puskesmas + 10 menit sampai dengan 30 menit.

4.2 Kependudukan
Berdasarkan data dari Profil Kelurahan Siantan Hilir Tahun 2015
penduduk wilayah binaan UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara
berjumlah 28.405 jiwa yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki 14.570 jiwa dan
jenis kelamin perempuan 13.835 jiwa. Menurut data monografi kecamatan yang
termasuk dalam wilayah kerja UPTD Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara,
yang tersebar di empat kelurahan yaitu: Kelurahan Siantan Hilir terdiri dari 40
RW dan 150 RT. Persebaran penduduk menurut jenis kelamin di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara dapat dilihat pada Grafik II.1 di
bawah ini:

Gambar 4.1
Persebaran Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Wilayah Kerja
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara Tahun 2015
49

Sumber: Data Monografi Kecamatan Pontianak Utara Tahun 2015


Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2015 penduduk pada
wilayah kerja UPTD Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara terbanyak adalah
jenis kelamin laki-laki yaitu berjumlah 14.570 jiwa (51,29%), sedangkan untuk
jenis kelamin perempuan yaitu berjumlah 13.835 jiwa (48,71%).
Kepadatan penduduk di Kelurahan Siantan Hilir mencapai 46,17
km2/jiwa. Jumlah rumah tangga di Kelurahan Siantan Hilir sebanyak 9.136 KK.
Penduduk usia bayi (0-12 bln) berjumlah 562, balita usia (0-5 thn) berjumlah
2.670 orang, bumil berjumlah 605 orang, bulin sebanyak 655 orang, bufas
sebanyak 655 orang, WUS sebanyak 7.755 orang, dan PUS sebanyak 5.283
orang. Secara keseluruhan indikator kependudukan di UPTD Puskesmas
Kecamatan Pontiank Utara tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel II.1 dibawah
ini:
Tabel 4.1
Indikator Kependudukan di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kecamatan
Pontiank Utara Tahun 2015
No Uraian Jumlah
1 Luas wilayah (km) 787
2 RW 40
3 RT 151
50

4 Penduduk 28.405
5 Kepala keluarga 9.136
6 Bumil 605
7 Bulin 655
8 Bufas 579
9 Bayi 562
10 Balita 2670
11 WUS 8291
12 PUS 5283
13 Pra lansia dan usia lanjut 5.506
14 Ratio Jenis Kelamin (laki- laki:perempuan) 105,31
15 Ratio beban Tanggungan (KK: anggota keluarga) 44
16 Kepadatan penduduk (Km/jiwa) 36,09
Sumber: Data Monografi Kecamatan Pontianak Utara Tahun 2015
Dari Tabel II.1 diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2015 ratio jenis
kelamin antara jumlah penduduk perempuan dan laki-laki yaitu 105 yang
artinya dalam 100 penduduk perempuan terdapat 105 penduduk laki-laki.
Untuk ratio beban tanggungan di wilayah kerja UPTD Puskesmas Kecamatan
Pontianak Utara sebanyak 44, yang artinya setiap 100 orang penduduk yang
produktif harus menanggung beban 44 orang penduduk nonproduktif. Data
selengkapnya mengenai distribusi penduduk menurut kelompok umur dapat
dilihat pada Grafik II.2 di bawah ini:

Gambar 4.2
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara Tahun 2015
51

Sumber: Profil Kelurahan Siantan Hilir, Tahun 2015

Untuk penduduk menurut golongan umur dapat dilihat pada Tabel 2.2 di
bawah ini:
Tabel 4.2
Penduduk Per Kelurahan Menurut Kelompok Umur di Wilayah Kerja
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara Tahun 2015

Golongan Umur Jumlah %

0-4 th 2,329 8.20


5-9 th 2,478 8.72
10-14 th 2,482 8.74
15-19 th 2,387 8.40
20-24 th 2,519 8.87
25-29 th 2,903 10.22
30-34 th 2,966 10.44
35-39 th 2,377 8.37
40-44 th 2,009 7.07
45-49 th 1,536 5.41
50-54 th 1,282 4.51
55-59 th 999 3.52
60-64 th 702 2.47
65-69 th 589 2.07
52

70-74 th 398 1.40


75+ th 449 1.58
Sumber: Profil Kelurahan Siantan Hilir, Tahun 2015

Berdasarkan tabel diatas persentase kelompok umur terbesar adalah


kelompok umur 30-34 tahun (10,44%) dan persentase terkecil pada kelompok
umur 70-74 tahun (1,40%). Persentase penduduk menurut kelompok umur
dapat dilihat pada Grafik II.3 di bawah ini:

Gambar 4.3
Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur di Wilayah Kerja
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara Tahun 2015

Sumber: Profil Kelurahan Siantan Hilir, Tahun 2015

4.3. Sosial Ekonomi


1. Sarana Perekonomian
53

Sarana perekonomian di kelurahan yang termasuk dalam wilayah kerja


UPTD Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara mempunyai 23 Koperasi
(Simpan Pinjam, KUD, Koperasi Produksi, Koperasi Konsumsi, dan
Koperasi lainnya), 4 Pasar tanpa bangunan semi permanen, 1.297
Toko/warung/kaki lima/kios, 5 Bank, 1 Stasiun bis, 2 Stasiun Oplet/Taksi,
dan 55 Telepon umum. Kemudian terdapat 53 Industri besar dan sedang, 43
Industri kecil, 462 Industri rumah tangga, 3 hotel/losmen/penginapan, 75
rumah makan, cafetaria, dan warung, 74 angkutan, serta 399 perdagangan.

2. Pendidikan dan Tempat Ibadah


Menurut data monografi kelurahan yang termasuk dalam wilayah kerja
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara pada tahun 2015 yaitu sarana
pendidikan yang terdiri dari 8 PAUD, 8 TK, 15 SD, 6 SLTP, dan 3 SLTA.
Kemudian untuk tempat ibadah terdapat 13 Masjid, 26 Surau/Mushola, 2
Gereja, 1 Vihara, dan 3 Klenteng.
3. Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Kecamatan Pontiank Utara terdiri dari berbagai jenis mata pencaharian.
Sebagian besar bekerja sebagai PNS 551 orang, TNI/POLRI 362 orang,
pegawai swasta 794 orang, wiraswasta dan pedagang 1782 orang, petani 746
orang, pertukangan 103 orang, buruh tani 173 orang, pensiunan 161 orang,
nelayan 44 orang, jasa 2.059 orang, pelajar/mahasiswa 5.867 orang,
mengurus rumah tangga 8.485 orang, lainnya 2 orang, dan belum bekerja
sebanyak 7276 orang (Sumber: Profil Kelurahan Siantan Hilir Tahun 2015).
54

BAB V
HASIL PENILAIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Identifikasi Masalah


Identifikasi masalah dilakukan dengan mencari adanya kesenjangan antara
pencapaian program TB paru BTA (+) Puskesmas Kecamatan Pontianak Barat tahun
2015 dengan tolak ukur yang telah ditetapkan.

Tabel 5.1 Tabel Identifikasi Masalah


Tolak Ukur/ Capaian Masalah
No Indikator
Target (%) (%)
1. % Angka kesembuhan penderita TB 80 100 -
paru BTA (+)
% Penemuan pasien baru TB BTA 70 7,14 +
2.
(+)

Berdasarkan data diatas, indikator program TB paru BTA (+) yang tidak
tercapai, yaitu % penemuan pasien baru TB BTA (+).

5.2 Penentuan Prioritas Masalah


55

Prioritas masalah berdasarkan identifikasi adalah penemuan pasien baru TB


BTA (+) yang tidak mencapai target (7,14% vs 70%). Berdasarkan data pada tabel 5.1
di atas, tidak dilakukan penetapan prioritas masalah karena pada proses identifikasi
hanya satu tolak ukur yang merupakan masalah.

5.3 Identifikasi Faktor Penyebab Masalah


Sesuai dengan pendekatan sistem, ketidakberhasilan pencapaian pemeriksaan
dahak pada penderita suspek TB paru merupakan suatu output/hasil yang tidak sesuai
dengan target. Untuk mengatasinya, dengan pendekatan sistem harus diperhatikan
kemungkinan adanya masalah pada komponen lain pada sistem, mengingat suatu
sistem merupakan keadaan yang berkesinambungan dan saling mempengaruhi.
Terdapat daftar masalah yang mempengarui keberhasilan program puskesmas
mengenai kesembuhan penderita TB paru BTA (+), yaitu:

Tabel 5.3 Identifikasi Faktor Penyebab Masalah


Input Masalah
Man 1. Pelaksana / SDM (petugas kesehatan, kader) terbatas
2. Pelatihan terhadap pelaksana / SDM (petugas
kesehatan dan Kader) mengenai pengobatan TB paru
hanya setahun sekali
3. Pengetahuan petugas mengenai data kesehatan
penderita TB paru (status gizi, penyakit komorbid, efek
samping obat, kepatuhan berobat) masih terbatas
4. PMO yang hanya berasal dari keluarga penderita TB
paru
Money 1. Pendanaan kegiatan mengenai promosi kesehatan,
perekrutan kader dan Pengawas Menelan Obat (PMO)
terbatas
Method 1. Promosi kesehatan oleh petugas kesehatan maupun
kader mengenai pentingnya pengobatan TB paru dan
akibat yang bisa terjadi apabila tidak patuh yang hanya
dilakukan pada saat pertama kali pemberian obat
Material 1. Belum adanya posyandu yang memiliki data mengenai
pasien TB paru di wilayahnya beserta jadwal
pengambilan obat masing-masing penderita
56

Machine 1. Kurangnya penyebaran poster, leaflet, dan belum


adanya media audiovisual mengenai pentingnya
pengobatan TB paru
P1 (Perencanaan) 1. Jadwal untuk kunjungan rumah pada pasien TB paru
dalam masa pengobatan hanya dilakukan apabila pasien
tidak datang mengambil obat
2. Tidak adanya jadwal khusus untuk penyuluhan
mengenai pentingnya pengobatan TB paru

P2 (Pelaksanaan 1. Kurangnya peran aktif kader yang terlatih dalam


dan Penggerakan) melakukan penyuluhan
P3 (Pengawasan, 1. Evaluasi kader dan PMO oleh petugas kesehatan
Penilaian, dan puskesmas belum dilaksanakan
Pengendalian) 2. Terputusnya kontak petugas kesehatan dengan pasien
TB paru dan PMO
Lingkungan 1. Aspek personal penderita yang meliputi: Pengetahuan,
sikap dan perilaku (PSP) penderita TB paru mengenai
pengobatan TB paru; kepatuhan pengobatan TB paru;
tingkat pendidikan; sosial ekonomi penderita; status
gizi; penyakit komorbid

Setelah mengetahui masalah-masalah yang ada, langkah berikutnya adalah


mencari akar masalah, dalam hal ini kami menggunakan diagram fishbone:
57

Kesembuhan penderita
TB
Aspek personal
Tidak ada jadwal khusus penderita
mengenai pentingnya LINGKUNGAN
pengobatan TB paru Terputusnya kontak petugas
kesehatan dengan pasien TB paru
dan PMO
P1
Evaluasi kader & PMO belum P3
dilaksanakan
Jadwal kunjungan rumah hanya
dilakukan apabila pasien tidak
mengambil obat P2
Kurangnya peran aktif kader

MATERIAL
Belum adanya data penderita TB MACHINE
Kurangnya penyebaran poster,
paru dan jadwal pengambilan obat di
leaflet, dan belum adanya media
posyandu
audio visual mengenai pengobatan
PMO hanya berasal dari
TB paru
keluarga penderita TB paru

Pengetahuan pelaksana /
METHODE
SDM mengenai data Promosi kesehatan hanya
kesehatan penderita TB paru dilakukan pada saat pertama kali
terbatas
pemberian obat
MAN Pelaksana/ SDM terbatas
MONEY
Pelatihan terhadap Pendanaan kegiatan
pelaksana / SDM hanya 1 terbatas
tahun 1x
58

Pasien TB BTA +

Gambar 5.1. Diagram fishbone

5.5. Prioritas Penyebab Masalah


Tabel 5.5. Teknik kriteria matriks pemilihan prioritas penyebab masalah
I JUM
No Daftar Masalah T R
P S RI DU SB PB PC IxTxR
1 Pelaksana / SDM 4 4 3 2 1 1 1 4 3 192
terbatas
2 Pelatihan terhadap 4 3 3 2 2 1 1 3 4 192
pelaksana / SDM
hanya 1 tahun 1x
3 Kurangnya peran 5 4 2 3 2 2 1 2 3 114
aktif kader
4 Pengetahuan 2 1 2 2 3 1 2 3 4 156
pelaksana / SDM
mengenai data
kesehatan penderita
TB paru terbatas
5 PMO hanya berasal 2 4 1 4 4 1 3 3 3 189
dari keluarga
penderita TB paru
6 Pendanaan kegiatan 3 3 3 5 2 2 1 4 3 228
terbatas
7 Promosi kesehatan 4 3 4 2 3 4 1 3 4 252
hanya dilakukan
pada saat pertama
kali pemberian obat
8 Belum adanya data 3 5 5 2 3 1 3 4 4 352
penderita TB paru
dan jadwal
pengambilan obat
59

di posyandu
9 Kurangnya 4 2 2 2 3 1 5 4 3 228
penyebaran poster,
leaflet, dan belum
adanya media audio
visual mengenai
pengobatan TB
paru
10 Jadawal kunjungan 4 4 3 3 4 2 1 5 3 315
rumah hanya
dilakukan apabila
pasien tidak
mengambil obat
11 Tidak ada jadwal 2 3 4 4 3 1 3 4 4 320
khusus mengenai
pentingnya
pengobatan TB
paru
12 Evaluasi kader 4 3 5 4 5 3 4 4 4 448
dan PMO belum
dilaksanakan
13 Terputusnya kontak 4 4 3 2 3 3 1 4 4 320
petugas kesehatan
dengan pasien TB
paru dan PMO
14 Aspek personal 4 3 3 4 2 3 3 3 4 264
penderita

Setelah dilakukan pemilihan prioritas masalah, didapatkan penyebab masalah


yang ada yakni mengenai belum dilaksanakannya evaluasi terhadap kader dan PMO.
PMO merupakan salah satu faktor penting dalam proses pengobatan dan
kesembuhan pasien TB paru. PMO adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya
untuk mengawasi dan memantau penderita TB paru dalam meminum obat secara
teratur dan tuntas. PMO bisa berasal dari keluarga, tetangga, kader, tokoh masyarakat,
ataupun petugas kesehatan. Adapun syarat-syarat seorang PMO adalah:
1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
60

3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.


4. Bersedia dilatih dan/atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.
5. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat,
sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas yang
memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PKK,
tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
Selama ini belum ada petugas khusus ataupun kader yang menjadi PMO bagi
penderita TB BTA (+) sehingga PMO diambil dari salah satu anggota keluarga yang
paling dekat atau bertanggung jawab terhadap penderita. PMO ini menjadi sangat
vital karena PMO harus memastikan dan memotivasi penderita untuk tetap meminum
obat. Adapun Tugas seorang PMO adalah:
1. Mengawasi pasien TB paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur,
mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
2. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB paru yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB paru untuk segera memeriksakan diri ke unit
pelayanan kesehatan/UPK.
3. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan pada pasien dan
keluarga. TB paru disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan, TB
paru dapat disembuhkan dengan berobat teratur, mengetahui cara penularan TB
paru, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahan serta cara pemberian
pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan). Selain itu juga pentingnya
pengawasan pasien berobat teratur dan kemungkinan terjadinya efek samping obat
serta perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.
Sampai saat ini, kader TB paru hanya ditugaskan untuk melakukan penyuluhan
belum sampai mengawasi pengobatan pasien TB paru yang berada di wilayahnya.
Sedangkan PMO yang berasal dari keluarga hanya diberi edukasi dan perjanjian
komitmen pada saat pertama kali datang ke puskesmas sehingga sulit untuk menilai
apakah PMO melakukan tugasnya dengan baik selama pengobatan. Evaluasi pada
kader dan PMO menurut kami menjadi prioritas masalah utama karena program ini
61

merupakan solusi yang paling memungkinkan, sudah dilaksanakan dan paling hemat
dana sehingga harus berjalan secara maksimal.

5.6. Perencanaan Penyelesaian Masalah dan Penentuan Alternatif Penyelesaian


Masalah
Prioritas penyebab masalah yang dipilih adalah pengetahuan, sikap, dan
perilaku masyarakat yang masih kurang mengenai PMO TB. Alternatif pemecahan
masalah yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan Log Book Menelan Obat
a. Tujuan: sebagai salah satu bentuk pengawasan langsung dari PMO dan
bukti tertulis meminum obat
b. Sasaran: PMO dan penderita
c. Bentuk kegiatan:
1) Pembuatan buku yang berisi tanggal, jam meminum obat, tanda tangan
penderita dan pengawas obat
2) Pemeriksaan log book oleh pemegang program setiap dua minggu
d. Waktu kegiatan: satu bulan setelah dicanangkan
e. Dana dan peralatan: Dana operasional puskesmas.
2. Pendataan Lengkap kader TB paru dan PMO
a. Tujuan: membuat data kader TB paru dan PMO sehingga apabila
pemegang program kehilangan kontak dengan penderita TB paru,
pemegang program dapat menghubungi kader maupun PMO
b. Sasaran: kader dan PMO
c. Bentuk kegiatan:
1) Pembuatan buku data kader dan PMO yang terdiri dari alamat lengkap
dan nomor telepon yang dapat dihubungi
d. Waktu kegiatan: Pembentukan diperkiraan 1 bulan setelah pencanangan.
e. Dana dan peralatan: Dana operasional puskesmas.
3. Pembuatan, Sosialisasi, dan Pelaksanaan Tugas Pokok serta Fungsi Kader
a. Tujuan: memaksimalkan peran kader terhadap penderita TB paru dan
masyarakat.
b. Sasaran: kader dan tenaga kesehatan
c. Bentuk kegiatan:
62

1) Pengonsepan dan pembuatan tugas pokok dan fungsi kader TB paru


disertai sosialisasi di masyarakat, yang meliputi pendataan penderita TB
paru, melakukan promosi kesehatan mengenai pengobatan TB paru,
memberikan motivasi terhadap penderita TB paru, dan melakukan
pengawasan terhadap PMO.
d. Waktu kegiatan: pembentukan dan pembinaan diperkirakan membutuhkan
waktu 3 bulan.
e. Dana dan peralatan: dana operasional puskesmas dan bantuan pemerintah
daerah atau dinas kesehatan.
4. Pertemuan Rutin dan Pelatihan Kader beserta PMO
a. Tujuan: mengawasi kinerja kader TB paru dan PMO dalam pengobatan TB
paru, mengetahui kendala-kendala selama menjalani program.
b. Sasaran: tenaga kesehatan, petugas PMO dan kader TB paru
c. Bentuk kegiatan:
1) Pelatihan mengenai pengobatan TB paru pada PMO dan kader
2) Berbagi pengalaman saat mendampingi pengobatan pasien TB paru
beserta mencari solusi masalah yang dihadapi
d. Waktu kegiatan: pembentukan dan pembinaan diperkirakan membutuhkan
waktu 3 bulan
e. Dana dan peralatan: dana operasional puskesmas dan bantuan pemerintah
daerah atau dinas kesehatan.
5. Pembentukan kader dan PMO yang berasal dari mantan penderita TB
paru
a. Tujuan: Meningkatkan kesadaran mantan penderita TB paru untuk bersedia
ikut serta menjadi kader dan PMO, sehingga dapat meningkatkan motivasi
penderita TB paru mengenai kepatuhan meminum obat karena motivasi yang
diberikan berasal dari orang yang pernah meminum obat tersebut.
b. Sasaran: mantan penderita TB paru
c. Bentuk kegiatan: perekrutan kader dan PMO (bisa membaca dan menulis)
serta dilakukan pelatihan oleh pemegang program TB paru.
d. Waktu kegiatan: perekrutan dan pembinaan memerlukan waktu kira-kira 3
bulan
e. Dana dan peralatan: dana operasional puskesmas dan bantuan pemerintah
daerah atau dinas kesehatan
63

6. Pembuatan Poster, Leaflet, dan video penyuluhan mengenai Pengobatan


TB Paru
a. Tujuan: meningkatkan motivasi penderita TB paru dalam menjalani
pengobatan.
b. Sasaran: penderita TB paru dan tenaga kesehatan
c. Bentuk kegiatan:
1) Perekrutan kader yang memiliki pengetahuan mengenai media sosial dan
teknologi
2) Pengonsepan dan pembuatan video kreatif mengenai TB paru untuk
diputar di setiap penyuluhan atau bekerja sama dengan media informasi
untuk disebarluaskan.
d. Waktu kegiatan: pembentukan dan pembinaan diperkirakan membutuhkan
waktu 3 bulan
e. Dana dan peralatan: dana operasional puskesmas dan bantuan pemerintah
daerah atau dinas kesehatan.
7. Pengajuan dana proposal bagi pendanaan kegiatan yang dilakukan oleh
para kader kepada perusahaan-perusahaan di Kelurahan Siantan Hilir.
a. Tujuan: mendanai kegiatan yang dilakukan oleh kader dan PMO
b. Sasaran: tenaga kesehatan dan perusahaan-perusahan di Kelurahan Siantan
Hilir.

c. Bentuk kegiatan:
1) Pembuatan proposal dana mengenai kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan oleh petugas kesehatan mengenai pengobatan TB paru selama
setahun
d. Waktu kegiatan: pembuatan dan pengajuan proposal diperkirakan
membutuhkan waktu 3 bulan
e. Dana dan peralatan: dana operasional puskesmas dan bantuan pemerintah
daerah atau dinas kesehatan.
Penentuan prioritas penyelesaian masalah dilakukan untuk memilih alternatif
penyelesaian masalah yang paling menjanjikan. Sebelum melakukan pemilihan
sebaiknya dicoba memadukan berbagai alternatif penyelesaian masalah terlebih
64

dahulu. Bila tidak dapat dilaksanakan barulah dilakukan pemilihan. Cara pemilihan
yang dianjurkan adalah dengan menggunakan teknik kriteria matriks. Kriteria yang
dimaksud adalah:
1. Efektifitas penyelesaian masalah
Cara ini dilakukan dengan memberikan nilai 1 untuk alternatif penyelesaian
masalah yang paling tidak efektif sampai nilai 5 untuk yang paling efektif. Untuk
menentukan efektifitas ini digunakan kriteria tambahan sebagai berikut:
a. Besarnya masalah yang dapat diselesaikan/M (magnitude)
b. Pentingnya penyelesaian masalah, yang dikaitkan dengan
kelanggengan selesainya masalah/I (importance)
c. Sensitivitas, yang dikaitkan dengan kecepatan dalam
menyelesaikan masalah/V (vulnerability)
2. Efisiensi penyelesaian masalah
Nilai efisiensi dikaitkan dengan biaya/C (cost) yang diperlukan untuk
melaksanakan penyelesaian masalah. Semakin besar biaya dianggap semakin tidak
efisien (dinilai sampai dengan 5), sedangkan makin kecil biaya dianggap semakin
efisien (diberi nilai 1). Prioritas didapat dengan membagi hasil perkalian nilai M x
I x V dengan nilai C. Penyelesaian masalah dengan nilai P tertinggi adalah
prioritas penyelesaian masalah yang dipilih.
Setelah dijelaskan mengenai alternatif penyelesaian masalah yang dapat
dilaksanakan maka langkah selanjutnya adalah menentukan prioritas alternatif
penyelesaian masalah dengan menggunakan tabel matriks berikut.

Tabel 5.6. Penentuan prioritas alternatif penyelesaian masalah


Alternatif Penyelesaian Efektivitas Efisiensi Jumlah
Masalah M I V (C) (M x I x V/C)
Pembuatan Log Book 3 3 3 4 6,75
Menelan Obat

Pembentukan dan kader 5 5 3 3 25


65

PMO yang berasal dari


mantan pengidap TB
paru
Pembuatan, Sosialisasi, 3 4 2 4 6
dan Pelaksanaan Tugas
Pokok dan Fungsi Kader
Pertemuan Rutin dan 3 4 2 4 6
Pelatihan Kader beserta
PMO
Pembuatan Poster, Leaflet, 3 4 3 4 9
dan video penyuluhan
mengenai Pengobatan TB
Paru
Pendataan Lengkap kader 2 4 3 3 8
TB paru dan PMO
Pengajuan dana proposal 3 3 3 4 6,5
bagi pendanaan kegiatan
yang dilakukan oleh para
kader kepada perusahaan-
perusahaan di Kelurahan
Siantan Hilir.

Untuk nilai efektivitas (M), angka 5 diberikan pada alternatif kedua. Angka ini
diberikan atas pertimbangan bahwa alternatif kedua akan dapat menyelesaikan
masalah lebih baik daripada alternatif yang lain. Pembentukan dan pembinaan kader
dan PMO yang berasal dari mantan penderita TB paru akan mempermudah
masyarakat untuk memahami PMO dan lebih percaya karena kader pernah
mengalaminya. Selain itu diharapkan kader tersebut dapat memberikan penyuluhan
lebih aktif sehingga penderita TB dapat lebih memahami dan percaya karena kader
ini sendiri pernah menderita penyakit tersebut dan mengerti stigma dan bahaya dari
TB paru.
Untuk nilai efektivitas (I), angka 5 adalah diberikan pada alternatif kedua.
Alternatif kedua mendapat angka 5 karena dengan pembentukan dan pembinaan
kader yang optimal, akan membangun pondasi yang kuat pada kaderisasi dan
66

pembentukan PMO dan pembentukan pengetahuan di masyarakat semakin kuat


sehingga masalah PMO terselesaikan dan diharapkan angka pelaporan oleh
masyarakat secara mandiri mengenai suspek TB paru meningkat.
Untuk nilai efektivitas (V), angka 4 diberikan pada alternatif kedua. Hal ini
dikarenakan alternatif kedua dirasa akan lebih efektif karena selain berasal dari
penderita TB paru itu sendiri biaya reward dan pembentukan kader PMO akan lebih
murah dibanding biaya penambahan petugas sehingga Cost yang ditanggung tidak
terlalu tinggi (pemberian skor mengenai Cost=3).
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa
pembentukan dan pembinaan kader dan PMO yang berasal dari mantan penderita TB
paru merupakan prioritas penyelesaian masalah yang diharapkan dapat meningkatkan
persentase (%) kesembuhan penderita TB BTA (+) di UPTD Puskesmas Kecamatan
Pontianak Utara. Apabila solusi ini terwujud maka dengan pelatihan dan motivasi
yang cukup kader ini dapat berjalan dan masalah TB paru dimasyarakat diharapkan
dapat ditekan.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
1. Terdapat 2 indikator proram pencegahan penyakit menular (P2M) yang belum
tercapai di UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara Puskesmas
Siantan Hilir pada tahun 2015 yaitu Kesembuhan penderita TBC BTA+ dan
Cakupan kasus diare yang ditemukan
2. Berdasarkan perhitungan dengan tekni matriks, maka ditetapkan prioritas
masalah pada program P2M di UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Timur
adalah persentase (%) Kesembuhan penderita TB BTA
67

3. Prioritas penyebab masalah d adalah Evaluasi kader dan PMO oleh petugas
kesehatan puskesmas belum dilaksanakan secara maksimal
4. Alternatif pemecahan masalah yang dapat diajukan adalah pembentukan kader
dan PMO yang berasal dari mantan penderita TB paru.

6.2. Saran
6.2.1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Pontianak
Menganggarkan dana alokasi pada program TB secara khusus terkait dengan pemberian
reward bagi tim dan pemegang program TB sebagai salah satu pemacu motivasi.
6.2.2. Bagi Puskesmas Pontianak Utara
a. Menambah jumlah tenaga tim khusus yang melaksanakan program TB yang
terdiri dari beberapa orang yang sudah terlatih.
b. Membentuk program khusus kader dan PMO yang berasal dari mantan
penderita TB paru dalam upaya meningkatkan kepatuhan minum obat pasien
TB paru.
c. Melakukan pelatihan dan evaluasi rutin terhadap kader dan PMO yang
berasal dari mantan penderita TB paru.
6.2.3. Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat berperan aktif dalam pengkaderan Pengawas Minum Obat (PMO).

Anda mungkin juga menyukai