BAB I
PENDAHULUAN
(success rate). Angka keberhasilan pengobatan ini dibentuk dari angka kesembuhan
dan angka pengobatan lengkap. Pada tahun 2013, success rate di Indonesia tercatat
90,5%, angka ini menurun pada tahun 2014 menjadi 81,3%. WHO menetapkan
standar angka keberhasilan pengobatan TB paru sebesar 85% (WHO, 2010).
Data di Kalimantan Barat, untuk success rate pada tahun 2014 hanya 44,9%,
angka ini jauh menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 94,92%. (Kemenkes,
2014). Sedangkan di UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) Kecamatan Pontianak
Utara, pada tahun 2013 success rate-nya mencapai 85% (Profil UPTD Puskesmas
Kecamatan Pontianak Utara, 2013), pada tahun 2014 sebesar 85,71% (Profil UPTD
Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara, 2014), dan terjadi penurunan pada tahun
2015 yaitu menjadi 75%. Angka ini masih belum mencapai target yang ditetapkan
oleh Dinas Kesehatan pemerintah Kota Pontianak pada tahun 2015, yaitu >85%.
(Profil UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara, 2015)
Terjadinya penurunan angka kesembuhan tersebut menjadi catatan penting
mengingat bahwa TB paru merupakan penyakit infeksi menular yang penularannya
sangat progresif di lingkungan masyarakat, membutuhkan pengobatan yang lama dan
sangat rawan resisten obat apabila tidak patuh pengobatan. Berdasarkan hal tersebut,
maka dipandang perlu untuk melakukan evaluasi terhadap program angka
kesembuhan TB paru di wilayah kerja UPTD Kecamatan Puskesmas Pontianak Utara
sehingga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi instansi terkait dalam
upaya meningkatkan pencapaian program kesembuhan TB paru selanjutnya,
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh dinas kesehatan kota dan provinsi, serta
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
1.3 Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Memahami program puskesmas khususnya program kesembuhan TB paru.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui permasalahan program kesembuhan TB paru secara umum di
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara pada tahun 2015.
b. Mengetahui prioritas masalah program kesembuhan TB paru secara umum di
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara pada tahun 2015.
c. Menyusun penyebab masalah program kesembuhan TB paru secara umum di
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara pada tahun 2015.
d. Menyusun alternatif penyelesaian masalah program kesembuhan TB paru
secara umum di UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara pada tahun
2015.
e. Memilih dan merumuskan upaya penyelesaian masalah program kesembuhan
TB paru secara umum di UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara pada
tahun 2015.
1.4 Manfaat
1.4.1. Bagi Mahasiswa
a. Mahasiswa dapat mengetahui perencanaan serta pelaksanaan program TB
paru di puskesmas.
b. Mahasiswa dapat belajar melakukan evaluasi program pada fasilitas kesehatan
dan memberi masukan untuk perbaikan program.
c. Mahasiswa dapat mengasah kemampuan kreatif untuk menemukan solusi
aplikatif dalam memecahkan masalah penurunan ketercapaian tingkat
kesembuhan TB paru BTA (+) dalam program TB paru di puskesmas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
1.1 Puskesmas
1.1.1 Definisi Puskesmas
Puseksmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan
kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di suatu wilayah kerja.
1. Dr. Azrul Azwar, MPH (1980)
Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) adalah suatu kesatuan
organisasi fungsional yang langsung memberikan pelayanan secara
menyeluruh kepada masyarakat dalam suatu wilayah kerja tertentu dalam
bentuk usaha-usaha kesehatan pokok.
2. Departemen Kesehatan RI (1981)
Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) adalah suatu kesatuan
organisasi kesehatan yang langsung memberikan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh dan terintegrasi kepada masyarkat diwilayah kerja tertentu dalam
usaha-usaha kesehatan pokok
3. Departemen Kesehatan RI (1987)
a. Puskesmas adalah sebagai pusat pembangunan kesehatan yang berfungsi
mengembangkan dan membina kesehatan masyarakat serta
menyelenggarakan pelayanan kesehatan terdepan dan terdekat dengan
masyrakat dalam bentuk kegiatan pokok yang menyeluruh dan terpadu
diwilayah kerjanya
b. Puskesmas adalah suatu unit organisasi yang secara porfesional
melakukan upaya pelayanan kesehatan pokok yang menggunakan peran
serta masyarakat secara aktif untuk dapat memberikan pelayanan secara
menyeluruh dan terpadu kepada masyrakat di wilayah kerjanya.
3. Peran Puskesmas
Jika ditinjau dari sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, maka
peranan dan kedudukan puskesmas di Indonesia adalah amat unik.
Sebagai sarana pelayanan kesehatan terdepan di Indonesia, maka
puskesmas kecualai bertanggungjawab dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan masyarakat, juga bertanggungjawab dalam
menyelenggarakan pelyanan kedokteran.
1.1.3 Kegiatan Pokok Puskesmas
Kegiatan-kegiatan pokok puskesmas yang diselenggarakan oleh
puskesmas sejak berdirinya semakin berkembang , mulai dari 7 usaha pokok
kesehatan, 12 usaha pokok kesehatan, 13 usaha pokok kesehatan dan sekarang
meningkat menjadi 20 usaha pokok kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh
8
puskesmas sesuai dengan kemampuan yang ada dari tiap-tiap puskesmas baik
dari segi tenaga, fasilitas, dan biaya atau anggaran yang tersedia
Berdasarkan buku pedoman kerja puskesmas yang terbaru ada 20
usaha pokok kesehatan yang dapat dilakukan oleh puskesmas, itu pun sangat
tergantung kepada faktor tenaga, sarana, dan prasarana serta biaya yang
tersedia berikut kemampuan manajemen dari tiap-tiap puskesmas. Dua puluh
kegiatan pokok puskesmas adalah :
1. Upaya kesehatan ibu dan anak
a. Pemeliharaan kesehatan ibu hamil , melahirkan dan menyusui serta bayi
anak balita dan anak prasekolah
b. Memberikan nasehat tentang makanan guna mencegah gizi buruk
c. Pemberian nasehat tentang perkembangan anak dan cara stimulasinya.
d. Imunisasi tetanus toksoid dua kali pada ibu hamil dan BCG, DPT 3 kali,
polio 3 kali dan campak 1 kali pada bayi
e. Penyuluhan kesehatan dalam mencapai program KIA
f. Pelayanan keluarga berencana
g. Pengobatan bagi ibu, bayi anak balita dan anak prasekolah untuk macam-
macam penyakit ringan
h. Kunjungan rumah untuk mencari ibu dan anak yang memerlukan
pemeliharaan , memberikan penerangan dan pendidikan tentang kesehatan
i. Pengawasan dan bimbingan kepada taman kanak-kanak dan para dukun
bayi
2. Upaya keluarga berencana
a. Mengadakan kursus keluarga berencana unutk para ibu dan calon ibu yang
mengunjungi KIA
b. Mengadakan kursus keluarga berencana kepada dukun yang kemudian
akan bekerja sebagai penggerak calon peserta keluarga berencana
c. Mengadakan pembicaraan pembicaraan tentang keluarga berencana
kapan saja ada kesempatan
d. Memasang IUD, cara cara penggunaan pil , kondom, dan cara-cara lain
denngan memberi sarananya.
e. Melanjutkan mengamati mereka yang menggunakan sarana pencegahan
kehamilan
3. Upaya peningkatan gizi
a. Mengenali penderita-penderita kekurangan gizi dan mengobati mereka
9
Penyakit ini ditularkan dari orang ke orang melalui cairan dari tenggorokan
dan paru-paru seseorang dengan penyakit pernapasan aktif (WHO, 2012).
TB paru adaah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis. TB paru mencakup 80% dari keseluruhan
kejadian penyakit tuberculosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan TB
ekstrapulmoner (Djojodibroto, 2009).
TB paru adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim
paru. TB dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges,
ginjal, tulang, dan nodus limfe. Agen infeksius utama, Mycobacterium
tuberculosis, adalah batang aerobik tahan asam yang tumbuh dengan lambat
dan sensitif terhadap panas dan sinar matahari (Smeltzer, 2008).
2.1.2. Epidemiologi
TB paru sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS
telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995. Dalam laporan WHO
tahun 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB paru pada tahun 2012
dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB paru dengan HIV
positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika. Pada tahun
2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TB paru MDR
(Multi Drugs Resistance) dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia.
Pada tahun 2012, diperkirakan proporsi kasus TB paru anak diantara seluruh
kasus TB paru secara global mencapai 6% (530.000 pasien TB paru
anak/tahun). Sedangkan kematian anak (dengan status HIV negatif) yang
menderita TB paru mencapai 740.000 kematian/tahun, atau sekitar 8% dari
total kematian yang disebabkan TB paru. (WHO, 2013)
Berdasarkan Global Tuberkulosis Kontrol tahun 2011 angka prevalensi
semua tipe TB paru adalah sebesar 289 per 100.000 penduduk atau sekitar
690.000 kasus. Insidensi kasus baru TB paru dengan BTA positif sebesar 189
per 100.000 penduduk atau sekitar 450.000 kasus. Kematian akibat TB paru di
luar HIV sebesar 27 per 100.000 penduduk atau 182 orang per hari. Menurut
13
laporan WHO tahun 2013, Indonesia menempati urutan ketiga jumlah kasus
TB paru setelah India dan Cina dengan jumlah sebesar 700 ribu kasus. Angka
kematian masih sama dengan tahun 2011 sebesar 27 per 100.000 penduduk,
tetapi angka insidennya menurun menjadi 185 per 100.000 penduduk di tahun
2012 (WHO, 2013).
Angka insidensi TB paru di Indonesia pada tahun 2014 adalah 399.000
kasus per 100.000 populasi, terbesar di dunia. Angka ini memang menurun
dari tahun 2013 yang mencapai 460.000 kasus per 100.000 populasi, namun
jika dibandingkan dengan India yang mampu menekan angka insidensi
dengan sangat signifikan, tentu Indonesia perlu mendapat perhatian yang
serius (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Pada tahun 2013, India yang
merupakan negara dengan beban TB paru terbesar di dunia, dengan 2,1 juta
kasus per 100.000 populasi, menjadi 167.000 kasus saja per 100.000 populasi
pada tahun berikutnya. Angka insidensi ini didasarkan dari jumlah total kasus
baru yang ditemukan di suatu negara dengan pelaporan per 100.000 populasi
dalam satu periode, lazimnya dalam satu tahun (Dinkes, 2014).
Pada tahun 2012, insidensi kasus baru di Provinsi Kalimantan Barat
adalah sebesar 99,3 per 100.000 penduduk atau sekita 4.553 kasus dari
seluruh wilayah kerja puskemas termasuk kasus yang ditemukan di rumah
sakit. Sedangkan untuk kota Pontianak sendiri ditemukan kasus baru sejumlah
507 kasus dari 579.600 penduduk dan menempati urutan ketiga setelah
Kabupaten Sambas dan Kabupaten Ketapang (Profil Kesehatan Kalimantan
Barat, 2012).
2.1.3. Etiologi
Penyebab TB paru adalah kompleks Mycobacterium tuberculosis.
Kompleks ini termasuk M. tuberculosis dan M. africanum terutama berasal
dari manusia dan M. bovis yang berasal dari sapi (Chin, 2009).
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran panjang 1 sampai 4 mm dengan tebal 0,3 sampai 0,6 mm. sebagian
14
Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak) (Nisa,
2007).
Daya penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya
bakteri TB yang terdapat dalam paru penderita, penyebaran bakteri TB di
udara dan penyebaran bakteri TB bersama dahak berupa droplet dan berada di
sekitar penderita TB. Makin tinggi derajat postif pemeriksaan sputum, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan sputum negatif, maka
penderita tersebut dianggap tidak menular. Begitu pula dengan TB ekstra paru
yang juga tidak menular (Notoatmodjo, 2007).
a. Usia
Hampir tidak ada perbedaan di antara anak laki dan perempuan sampai
pada umur pubertas. Bayi dan anak kecil pada kedua jenis kelamin memiliki
daya tahan yang lemah. Sampai berusia dua tahun, infeksi terutama dapat
berakibat fatal, seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosis, yang
menyebar menurut peredaran darah. Sesudah usia satu tahun sampai sebelum
masa pubertas, seorang anak yang terinfeksi dapat berkembang menjadi TB
milier atau meningitis, atau salah satu bentuk tuberkulosis kronis yang lebih
meluas, terutama mengenai kelenjar getah bening, tulang atau penyakit
persendian. Sebelum pubertas, bagian lesi primer paru biasanya
mempengaruhi lokasi tersebut. Prevalensi tuberkulosis paru tampaknya
17
meningkat seiring dengan peningkatan usia pada kedua jenis kelamin. Pada
wanita, prevalensi mencapai maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian
berkurang. Pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya
mencapai usia 60 tahun (Achmadi, 2008).
b. Jenis kelamin
Di seluruh negara, diketahui bahwa kasus TB paru lebih sering
menyerang pria dibandingkan dengan wanita. Hal ini dapat dihubungkan
dengan perbedaan respon imun antara pria dan wanita. Bukti menunjukkan
bahwa pada level fisiologis, estrogen bermanfaat bagi sistem imun, sedangkan
hormon seks pria, testosterone bersifat imunosupresif. Tingginya angka TB
paru pada sebagian pria mungkin menggambarkan perbedaan epidemiologi,
pajanan terhadap risiko infeksi, dan progresi dari infeksi menjadi penyakit TB
paru.
TB paru merupakan penyebab utama kematian pada wanita akibat
penyakit infeksi. Setiap tahunnya, sekitar tiga perempat juta wanita meninggal
karena TB paru. Meskipun secara keseluruhan, prevalensi TB paru rendah
pada wanita, progresi dari infeksi menjadi penyakit lebih tinggi. Hal ini dapat
disebabkan oleh tiga beban utama antara lain rumah tangga, perawatan anak,
dan pekerjaan sehingga menyisakan waktu yang sedikit bagi dirinya untuk
mendapatkan perawatan kesehatan (Aditama, 2006).
c. Faktor lingkungan
Hubungan antara faktor lingkungan dan infeksi TB paru telah diakui, dan
transmisi TB telah lama diketahui berhubungan dengan ventilasi yang buruk
di rumah. Hal ini dapat dijelaskan dengan terjadinya penularan TB paru
melalui droplet menular ke udara. Penularan umumnya terjadi di dalam
ruangan, di mana droplet dapat bertahan di udara dalam waktu yang lama.
Droplet dapat tetap tersuspensi di udara dalam beberapa jam, tergantung dari
lingkungan.
Kondisi rumah yang terlalu padat dapat meningkatkan pajanan orang
yang rentan dengan orang yang menderita penyakit infeksi saluran
pernapasan, dan dapat meningkatkan kemungkinan transmisi. Kondisi rumah
18
yang padat berpotensi meningkatkan pajanan dari orang yang rentan dengan
penyakit infeksi pernapasan ini, dan dapat meningkatkan kemungkinan
transmisi.
Telah diketahui bahwa basil TB dapat mati karena sinar, terutama sinar
ultraviolet, sehingga keadaan rumah dengan pencahayaan (terutama
pencahayaan alam) cukup baik dapat mencegah penularan penyakit tersebut
(Achmadi, 2008).
d. Gizi
Terdapat bukti sangat jelas bahwa kelaparan atau gizi buruk mengurangi
daya tahan terhadap penyakit TB. Faktor ini sangat penting pada masyarakat
miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai risiko 3,7
kali untuk menderita TB berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya
cukup atau lebih.
e. Bahan toksik
Merokok tembakau dan minum banyak alkohol merupakan faktor penting
yang dapat menurunkan daya tahan tubuh. Peningkatan kerentanan perokok
terhadap infeksi dan perkembangan TB paru, kemungkinan besar karena
perubahan pada paru yang diinduksi merokok dalam waktu yang lama.
Nikotin diketahui dapat menghentikan produksi tumour necrosis factor-alpha
oleh makrofag paru sehingga perokok lebih rentan terhadap progresi infeksi
laten maupun penyakit aktif dari TB paru. Merokok berhubungan dengan
kegagalan terapi dan kematian pada pasien TB paru. Beberapa penelitian
membuktikan hubungan antara merokok dan infeksi TB paru, penyakit TB
dan kematiannya. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol juga dapat meningkatkan
risiko penyakit TB paru. Pecandu alkohol memiliki risiko tertular TB paru 1,5
kali lipat dibandingkan dengan orang bukan pecandu alkohol. Alkohol
diketahui memiliki efek inhibitor yang kuat terhadap imunitas yang
diperantarai sel. Selain rokok dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol, obat
19
g. Kemiskinan
Di masyarakat, TB paru terkait erat secara timbal balik dengan
kemiskinan. Di satu pihak, kemiskinan merupakan faktor risiko penyakit TB
paru yang utama, di lain pihak, penyakit ini berperan besar dalam
menghambat upaya pengendalian kemiskinan, karena kemampuannya yang
besar membunuh kelompok masyarakat yang berusia produktif. Hubungan
antara kemiskinan dan penyakit TB paru dapat dihubungkan dengan kondisi
rumah yang buruk, perumahan yang terlampau padat, insanitasi dan kondisi
kerja yang buruk. Kondisi ini tentunya memudahkan terjadinya infeksi.
Masyarakat dengan status sosial ekonomi yang buruk biasanya diikuti dengan
tingkat pendidikan yang buruk berhubungan dengan tingkat pengetahuan TB
paru yang buruk, risiko infeksi dan penularannya, dan terlambat atau tidak
mencukupinya pelayanan kesehatan yang diterima. Kemiskinan juga
menghasilkan nutrisi yang buruk dan berat badan yang rendah, yang
menyebabkan sistem imun lebih rentan terhadap infeksi TB paru (ICFDDR,
2010).
20
2.1.6. Patogenesis
Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada sinar
ultraviolet, ventilasi, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap
kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan (Kementerian
Keseheatan RI, 2011).
Patogenesis TB paru pada individu imunokompeten yang belum pernah
terpajan berpusat pada pembentukan imunitas selular yang menimbulkan
resistensi terhadap organisme dan menyebabkan terjadinya hipersensitivitas
jaringan terhadap antigen. TB paru primer merupakan bentuk penyakit yang
terjadi pada orang yang belum pernah terpajan, sehingga tidak pernah
tersensitisasi (Kumar, 2007). Pada patogenesis TB paru primer,
Mycobacterium tuberculosis akan masuk melalui saluran napas dan bersarang
di jaringan paru, dimana akan terbentuk suatu sarang pneumonik yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini bisa timbul di bagian mana
saja dalam paru. Dari sarang primer, akan terlihat peradangan saluran getah
bening yang menuju hilus (limfangitis lokal) dan diikuti oleh pembesaran
kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional) (PDPI, 2011).
Sarang primer limfangitis lokal dengan limfadenitis regional kemudian
disebut sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu
3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat sembuh tanpa
meninggalkan bekas, sembuh dengan meninggalkan bekas (antara lain sarang
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus), atau bahkan dapat menyebar
dengan berbagai cara. Penyebaran secara perkontinuitatum yaitu menyebar
kesekitarnya, secara bronkogen yaitu menyebar di paru bersangkutan atau ke
paru sebelahnya, dapat juga terjadi ke usus apabila kuman tertelan bersama
21
juga dapat terjadi akibat reinfeksi eksogen karena berkurangnya proteksi yang
dihasilkan oleh penyakit primer atau karena besarnya inokulum basil hidup.
TB paru pasca primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di
segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini pada
awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil, yang dalam 3-10 minggu
akan menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit
dan sel datia langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai
jaringan ikat. Sarang dini dapat diresorpsi dan sembuh kembali dengan tidak
meninggalkan cacat. Sarang ini dapat pula mulai meluas, tetapi segera terjadi
proses penyembuhan dengan serbukan jaringan fibrosis, selanjutnya akan
membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran dan akan sembuh
dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya, dapat juga sarang tersebut menjadi
aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila
jaringan keju dibatukkan keluar. Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah
karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi
oleh makrofag dan proses yang berlebihan antara sitokin dengan Tumor
Necrosis Factor atau TNF (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi
tebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi
kavitas sklerotik (kronik). Kavitas ini mungkin meluas kembali dan
menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti
pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas, dapat pula memadat dan
membungkus diri (encapsulated), disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat
mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi
dan menjadi kavitas lagi. Kavitas bisa pula menjadi bersih dan menyembuh
yang disebut open healed cavity atau kavitas menyembuh dengan
membungkus diri lalu akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai
kavitas yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang atau
stellate shaped (Price, 2006).
23
Gambar 2.2. Skema patogenesis infeksi TB paru post primer (PDPD, 2011)
2.1.7. Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena (PDPI, 2011)
a. TB Paru
TB paru ini menyerang parenkim paru, tidak termasuk pleura dan kelenjar
pada hilus.
b. TB Ekstra Paru
TB ini menyerang organ tubuh lain selain parenkim paru, misalnya pleura,
selaput otak, pericardium, kelenjar limfe, tulang, persendiran, kulit, usus,
ginjal, saluran kemih, alat kelamin.
2) Satu spesimen sputum SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran TB paru.
3) Satu spesimen sputum SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
paru positif.
4) Satu atau lebih spesimen sputum hasilnya positif setelah 3 spesimen
sputum SPS pada pemriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT (Obat Anti
Tuberkulosis).
b. BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen sputum SPS hasilnya BTA negatif.
2) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran TB.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT, bagi
pasien dengan HIV negatif.
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3. Klasifikasi berdasakan riwayat pengobatan sebelumnya (Kementerian
Kesehatan RI, 2011)
a. Kasus Baru
Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa
positif atau negatif.
Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar. Terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru, yakni setelah berminggu-minggu atau
berbulan-bulan sejak peradangan bermula. Batuk awalnya berupa batuk
kering (non-produktif), kemudian setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa
batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang terpecah. Kebanyakan
batuk darah pada TB paru berasal dari kavitas, tetapi dapat juga dari ulkus
dinding bronkus.
3. Sesak Nafas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas.
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri Dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/menghembuskan nafas.
5. Malaise
Penyakit TB paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise yang
sering ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan makin
kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat
malam dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan
terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
2.1.9. Diagnosis
Diagnosis TB paru diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
SPS. Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2
spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil
jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium. Diagnosis TB paru pada
orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB
27
2.1.10.Tatalaksana
Pengobatan TB paru bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Kementerian Kesehatan
RI, 2011).
Tabel 2.1. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT Lini Pertama (Kementerian Kesehatan RI,
2011)
Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Jenis OAT Sifat
Harian 3 kali seminggu
5 10
Isoniazid (H) Bakterisid
(4-6) (8-12)
10 10
Rifampisin (R) Bakterisid
(8-12) (8-12)
25 35
Pyrazinamide (Z) Bakterisid
(20-30) (30-40)
15 15
Streptomycin (S) Bakterisid
(12-18) (12-18)
15 30
Ethambutol (E) Bakteriostatik
(15-20) (20-35)
30
Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu selama
Berat badan Tiap hari selama 56 hari
16 minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
Streptomisin inj
30 37 kg 2 tablet 4 KDT
38 54 kg 3 tablet 4 KDT
55 70 kg 4 tablet 4 KDT
71 kg 5 tablet 4 KDT
2.1.11. Komplikasi
WHO (2012) membagi komplikasi penyakit TB paru dalam 2 kategori,
yaitu:
a. Komplikasi Dini
1) Pleuritis
2) Efusi pleura
33
3) Empiema
4) Laryngitis
5) TB usus
b. Komplikasi Lanjut
1) Obstruksi jalan napas
2) Cor pulmonale
3) Amiloidosis
4) Karsinoma Paru
5) Sindrom gagal napas
a. Visi
Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan
b. Misi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat
madani
2. dalam pengendalian TB.
3. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan
berkeadilan.
4. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.
5. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
insidensi sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi
tahun 2015.
2.2.4 Kegiatan
a. Tatalaksana TB Paripurna
1) Promosi Tuberkulosis
2) Pencegahan Tuberkulosis
3) Penemuan pasien Tuberkulosis
4) Pengobatan pasien Tuberkulosis
5) Rehabilitasi pasien Tuberkulosis
b. Manajemen Program TB
37
ISTC harus dipandang sebagai dokumen hidup yang akan direvisi sebagai
teknologi, sumber daya, dan perubahan sirkumstan. Seperti ditulis, standar di
ISTC disajikan dalam konteks apa yang umumnya dianggap layak sekarang atau
dalam waktu dekat.
Standar 1. Untuk memastikan diagnosis dini, penyedia layanan kesehatan
harus menyadari faktor risiko individu dan kelompok untuk TB dan melakukan
evaluasi klinis yang cepat dan tes diagnostik yang tepat bagi orang-orang dengan
gejala dan temuan yang konsisten dengan TB.
Standar 2. Semua pasien, termasuk anak-anak, dengan batuk yang tidak dapat
dijelaskan yang berlangsung dua minggu atau lebih atau dengan temuan yang
tidak jelas mengarah ke tuberkulosis pada pemeriksaan radiografi dada harus
dievaluasi untuk tuberkulosis.
Standar 3. Semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga menderita TB
paru dan mampu menghasilkan dahak harus memiliki minimal dua spesimen
dahak dikumpulkan untuk pemeriksaan mikroskopi pewarnaan atau spesimen
dahak tunggal untuk uji Xpert MTB / RIF * di laboratorium yang berkualitas
dan terjamin. Pasien yang beresiko resistensi obat, yang memiliki risiko HIV, atau
yang memiliki penyakit serius, harus melakukan Xpert MTB / RIF sebagai uji
diagnostik awal. tes serologis berbasis darah dan interferon gamma release assay
tidak boleh digunakan untuk diagnosis TB aktif.
Standard 4. Untuk semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga memiliki
TB ekstra paru, spesimen yang sesuai dari daerah yang dicurigai terlibat harus
diperoleh untuk pemeriksaan mikrobiologi dan histologis. Tes Xpert MTB / RIF
pada cairan serebrospinal direkomendasikan sebagai tes mikrobiologi awal pada
orang yang diduga menderita meningitis TB karena kebutuhan untuk diagnosis
yang cepat.
Standar 5. Pada pasien yang diduga menderita TB paru dengan pewarnaan
sputumnya negatif, Xpert MTB / RIF dan / atau kultur sputum harus dilakukan.
Di antara pasien dengan sputum yang negatif pada pewarnaan dan Xpert MTB /
41
RIF yang memiliki bukti klinis mengarah kuat ke TB, pengobatan anti
tuberkulosis harus dimulai setelah pengumpulan spesimen untuk pemeriksaan
kultur.
Standar 6. Untuk semua anak yang diduga menderita intratoraks TB (yakni,
paru, pleura, dan mediastinal atau hilus kelenjar getah bening), konfirmasi
bakteriologi harus dicari melalui pemeriksaan sekret pernapasan (dahak yang
dibatukkan, induksi sputum, bilas lambung) untuk pewarnaan mikroskopi, Xpert
MTB / RIF tes, dan / atau kultur.
Standard 7. Untuk memenuhi tanggung jawab kesehatan publik, sebagaimana
tanggung jawab kepada masing-masing pasien, penyedia harus meresepkan
regimen terapi yang tepat, memantau kepatuhan terhadap regimen dan, bila perlu,
mencari faktor yang menyebabkan gangguan atau menghentikan pengobatan.
Memenuhi tanggung jawab ini mungkin akan memerlukan koordinasi dengan
pelayanan kesehatan masyarakat lokal dan / atau lembaga lainnya.
Standard 8. Semua pasien yang belum pernah diobati sebelumnya dan tidak
memiliki faktor risiko untuk resistensi obat harus menerima rekomedasi WHO
lini pertama regimen pengobatan menggunakan obat-obatan kualitasnya terjamin.
Tahap awal harus terdiri dari dua bulan isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol. * Fase lanjutan harus terdiri dari isoniazid dan rifampicin diberikan
selama 4 bulan. Dosis obat antituberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan
rekomendasi WHO. Kombinasi obat dosis tetap dapat memberikan bentuk yang
lebih nyaman dari pemberian obat.
Standard 9. Pendekatan yang berpusat pada pasien untuk pengobatan harus
dikembangkan untuk semua pasien dalam rangka untuk mempromosikan
kepatuhan, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi penderitaan.
Pendekatan ini harus didasarkan pada kebutuhan pasien dan saling menghormati
antara pasien dan penyedia layanan kesehatan.
Standard 10. Response terhadap pengobatan pada pasien dengan TB paru
(termasuk orang-orang yang didiagnosis TB dengan tes rapid molekuler) harus
42
dipantau oleh tindak lanjut mikroskopis sputum pada saat selesainya tahap awal
pengobatan (dua bulan). Jika sputum BTA positif pada penyelesaian tahap awal,
dahak mikroskopik harus dilakukan lagi pada 3 bulan dan, jika positif, tes
sensitivitas molekular obat (line probe assay atau Xpert MTB / RIF) harus
dilakukan. Pada pasien dengan TB ekstra paru dan anak-anak, respon pengobatan
terbaik dinilai secara klinis.
Standard 11. Sebuah penilaian dari kemungkinan resistensi obat, berdasarkan
riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan sumber yang mungkin memiliki
organisme yang resistan terhadap obat, dan prevalensi komunitas resistensi obat
(jika diketahui), harus dilakukan untuk semua pasien. tes kerentanan terhadap
obat harus dilakukan pada awal terapi untuk semua pasien pada risiko resistensi
obat. Pasien yang sputum BTA tetap positif pada penyelesaian 3 bulan
pengobatan, pasien yang pengobatan telah gagal, dan pasien yang telah hilang
untuk follow up atau kambuh diikuti satu atau lebih program pengobatan harus
selalu dinilai untuk resistensi obat. Untuk pasien yang memungkinkan memiliki
resistensi obat, Xpert MTB / RIF harus dilakukan sebagai tes diagnostik awal.
Jika resistensi rifampisin terdeteksi, kultur dan uji resistensi terhadap isoniazid,
fluoroquinolones, dan obat suntik lini kedua harus dilakukan segera. Konseling
dan edukasi ke pasien, serta pengobatan empiris regimen lini kedua, harus dimulai
segera untuk meminimalkan kemungkinan transmisi. langkah-langkah
pengendalian infeksi sesuai dengan pengaturan harus diterapkan.
Standard 12. Pasien dengan atau sangat mungkin untuk memiliki tuberkulosis
yang disebabkan oleh organisme resistensi obat (terutama MDR / XDR)
seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung lini kedua obat
antituberkulosis dengan kualitas terjamin. Dosis obat anti tuberkulosis harus
sesuai dengan rekomendasi WHO. Regimen yang dipilih dapat merupakan
standarisasi atau berdasarkan kecurigaan atau konfirmasi pola resistensi terhadap
obat. Setidaknya lima obat, pirazinamid dan empat obat yang organisme diketahui
atau diduga rentan, termasuk agen injeksi-harus digunakan dalam fase intensif 6-8
43
bulan dan setidaknya 3 obat yang organismeny diketahui atau diduga rentan,
harus digunakan dalam fase lanjutan. Pengobatan harus diberikan paling sedikit
selama 18-24 bulan di luar konversi kultur. Pengamatan berpusat pada pasien,
diperlukan untuk memastikan kepatuhan. Konsultasi dengan spesialis
berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR / XDR TB harus
didapatkan. Standard 13. Pencatatan semua pengobatan yang diberikan yang
dapat diakses, sistematis, respon bakteriologis, hasil, dan reaksi efek samping
harus dipertahankan untuk semua pasien.
Standard 14. Tes HIV dan konseling harus dilakukan untuk semua pasien
dengan, atau yang diduga memiliki, tuberkulosis kecuali konfirmasi tes negatif
dalam dua bulan sebelumnya. Karena hubungan dekat tuberkulosis dan infeksi
HIV, pendekatan terpadu untuk pencegahan, diagnosis, dan pengobatan pada
tuberkulosis dan infeksi HIV dianjurkan di daerah dengan prevalensi HIV yang
tinggi. Pengujian HIV penting khusus sebagai bagian dari manajemen rutin dari
semua pasien di daerah dengan prevalensi tinggi infeksi HIV pada populasi
umum, pada pasien dengan gejala dan / atau tanda-tanda kondisi terkait HIV, dan
pada pasien yang memiliki riwayat mengarah ke resiko tinggi terpapar HIV.
Standard 15. Pada individu dengan infeksi HIV dan tuberkulosis yang
memiliki imunosupresi (jumlah CD4 kurang dari 50 sel / mm3), ART harus
dimulai dalam waktu 2 minggu dari mulai pengobatan tuberkulosis kecuali
meningitis TB muncul. Untuk semua pasien lain dengan HIV dan TB, terlepas
dari jumlah CD4, ART harus dimulai dalam waktu 8 minggu dari mulai
pengobatan untuk tuberkulosis. Pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV juga
harus menerima kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.
Standard 16. individu dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan
hati-hati, tidak memiliki TB aktif harus diobati untuk infeksi TB laten yang
diperkirakan dengan isoniazid selama minimal 6 bulan.
Standard 17. Semua penyedia layanan kesehatan harus melakukan evaluasi
menyeluruh untuk kondisi co-morbid dan faktor-faktor lain yang dapat
44
BAB III
METODE EVALUASI
BAB IV
PENYAJIAN DATA
ha/m2, luas kuburan 2 ha/m2, luas pekarangan 7 ha/m2, luas taman 0 ha/m2, luas
perkantoran 10 ha/m2, dan luas prasarana umum lainnya 88 ha/m2. UPTD
Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara mempunyai 40 RW dengan 151 RT
binaan.
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara memiliki luas wilayah
binaan 787 ha/m2 dengan batas wilayah, yaitu:
1. Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Pontianak
2. Sebelah Timur : berbatasan dengan Kelurahan Siantan Tengah
3. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Sungai Kapuas
4. Sebelah Barat : berbatasan dengan Kelurahan Batulayang.
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara terletak berseberangan
dengan sungai Kapuas, beralamat di Jl. Khatulistiwa No. 151 Kelurahan
Siantan Hilir. Jarak pusat pemerintahan wilayah dengan Kelurahan terjauh di
Kecamatan Pontianak Utara 4 Km dengan pemerintah kota, dengan waktu
tempuh kendaraan bermotor + 45 menit. Rata-rata waktu tempuh masyarakat ke
puskesmas + 10 menit sampai dengan 30 menit.
4.2 Kependudukan
Berdasarkan data dari Profil Kelurahan Siantan Hilir Tahun 2015
penduduk wilayah binaan UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara
berjumlah 28.405 jiwa yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki 14.570 jiwa dan
jenis kelamin perempuan 13.835 jiwa. Menurut data monografi kecamatan yang
termasuk dalam wilayah kerja UPTD Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara,
yang tersebar di empat kelurahan yaitu: Kelurahan Siantan Hilir terdiri dari 40
RW dan 150 RT. Persebaran penduduk menurut jenis kelamin di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara dapat dilihat pada Grafik II.1 di
bawah ini:
Gambar 4.1
Persebaran Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Wilayah Kerja
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara Tahun 2015
49
4 Penduduk 28.405
5 Kepala keluarga 9.136
6 Bumil 605
7 Bulin 655
8 Bufas 579
9 Bayi 562
10 Balita 2670
11 WUS 8291
12 PUS 5283
13 Pra lansia dan usia lanjut 5.506
14 Ratio Jenis Kelamin (laki- laki:perempuan) 105,31
15 Ratio beban Tanggungan (KK: anggota keluarga) 44
16 Kepadatan penduduk (Km/jiwa) 36,09
Sumber: Data Monografi Kecamatan Pontianak Utara Tahun 2015
Dari Tabel II.1 diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2015 ratio jenis
kelamin antara jumlah penduduk perempuan dan laki-laki yaitu 105 yang
artinya dalam 100 penduduk perempuan terdapat 105 penduduk laki-laki.
Untuk ratio beban tanggungan di wilayah kerja UPTD Puskesmas Kecamatan
Pontianak Utara sebanyak 44, yang artinya setiap 100 orang penduduk yang
produktif harus menanggung beban 44 orang penduduk nonproduktif. Data
selengkapnya mengenai distribusi penduduk menurut kelompok umur dapat
dilihat pada Grafik II.2 di bawah ini:
Gambar 4.2
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara Tahun 2015
51
Untuk penduduk menurut golongan umur dapat dilihat pada Tabel 2.2 di
bawah ini:
Tabel 4.2
Penduduk Per Kelurahan Menurut Kelompok Umur di Wilayah Kerja
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara Tahun 2015
Gambar 4.3
Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur di Wilayah Kerja
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontiank Utara Tahun 2015
BAB V
HASIL PENILAIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data diatas, indikator program TB paru BTA (+) yang tidak
tercapai, yaitu % penemuan pasien baru TB BTA (+).
Kesembuhan penderita
TB
Aspek personal
Tidak ada jadwal khusus penderita
mengenai pentingnya LINGKUNGAN
pengobatan TB paru Terputusnya kontak petugas
kesehatan dengan pasien TB paru
dan PMO
P1
Evaluasi kader & PMO belum P3
dilaksanakan
Jadwal kunjungan rumah hanya
dilakukan apabila pasien tidak
mengambil obat P2
Kurangnya peran aktif kader
MATERIAL
Belum adanya data penderita TB MACHINE
Kurangnya penyebaran poster,
paru dan jadwal pengambilan obat di
leaflet, dan belum adanya media
posyandu
audio visual mengenai pengobatan
PMO hanya berasal dari
TB paru
keluarga penderita TB paru
Pengetahuan pelaksana /
METHODE
SDM mengenai data Promosi kesehatan hanya
kesehatan penderita TB paru dilakukan pada saat pertama kali
terbatas
pemberian obat
MAN Pelaksana/ SDM terbatas
MONEY
Pelatihan terhadap Pendanaan kegiatan
pelaksana / SDM hanya 1 terbatas
tahun 1x
58
Pasien TB BTA +
di posyandu
9 Kurangnya 4 2 2 2 3 1 5 4 3 228
penyebaran poster,
leaflet, dan belum
adanya media audio
visual mengenai
pengobatan TB
paru
10 Jadawal kunjungan 4 4 3 3 4 2 1 5 3 315
rumah hanya
dilakukan apabila
pasien tidak
mengambil obat
11 Tidak ada jadwal 2 3 4 4 3 1 3 4 4 320
khusus mengenai
pentingnya
pengobatan TB
paru
12 Evaluasi kader 4 3 5 4 5 3 4 4 4 448
dan PMO belum
dilaksanakan
13 Terputusnya kontak 4 4 3 2 3 3 1 4 4 320
petugas kesehatan
dengan pasien TB
paru dan PMO
14 Aspek personal 4 3 3 4 2 3 3 3 4 264
penderita
merupakan solusi yang paling memungkinkan, sudah dilaksanakan dan paling hemat
dana sehingga harus berjalan secara maksimal.
c. Bentuk kegiatan:
1) Pembuatan proposal dana mengenai kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan oleh petugas kesehatan mengenai pengobatan TB paru selama
setahun
d. Waktu kegiatan: pembuatan dan pengajuan proposal diperkirakan
membutuhkan waktu 3 bulan
e. Dana dan peralatan: dana operasional puskesmas dan bantuan pemerintah
daerah atau dinas kesehatan.
Penentuan prioritas penyelesaian masalah dilakukan untuk memilih alternatif
penyelesaian masalah yang paling menjanjikan. Sebelum melakukan pemilihan
sebaiknya dicoba memadukan berbagai alternatif penyelesaian masalah terlebih
64
dahulu. Bila tidak dapat dilaksanakan barulah dilakukan pemilihan. Cara pemilihan
yang dianjurkan adalah dengan menggunakan teknik kriteria matriks. Kriteria yang
dimaksud adalah:
1. Efektifitas penyelesaian masalah
Cara ini dilakukan dengan memberikan nilai 1 untuk alternatif penyelesaian
masalah yang paling tidak efektif sampai nilai 5 untuk yang paling efektif. Untuk
menentukan efektifitas ini digunakan kriteria tambahan sebagai berikut:
a. Besarnya masalah yang dapat diselesaikan/M (magnitude)
b. Pentingnya penyelesaian masalah, yang dikaitkan dengan
kelanggengan selesainya masalah/I (importance)
c. Sensitivitas, yang dikaitkan dengan kecepatan dalam
menyelesaikan masalah/V (vulnerability)
2. Efisiensi penyelesaian masalah
Nilai efisiensi dikaitkan dengan biaya/C (cost) yang diperlukan untuk
melaksanakan penyelesaian masalah. Semakin besar biaya dianggap semakin tidak
efisien (dinilai sampai dengan 5), sedangkan makin kecil biaya dianggap semakin
efisien (diberi nilai 1). Prioritas didapat dengan membagi hasil perkalian nilai M x
I x V dengan nilai C. Penyelesaian masalah dengan nilai P tertinggi adalah
prioritas penyelesaian masalah yang dipilih.
Setelah dijelaskan mengenai alternatif penyelesaian masalah yang dapat
dilaksanakan maka langkah selanjutnya adalah menentukan prioritas alternatif
penyelesaian masalah dengan menggunakan tabel matriks berikut.
Untuk nilai efektivitas (M), angka 5 diberikan pada alternatif kedua. Angka ini
diberikan atas pertimbangan bahwa alternatif kedua akan dapat menyelesaikan
masalah lebih baik daripada alternatif yang lain. Pembentukan dan pembinaan kader
dan PMO yang berasal dari mantan penderita TB paru akan mempermudah
masyarakat untuk memahami PMO dan lebih percaya karena kader pernah
mengalaminya. Selain itu diharapkan kader tersebut dapat memberikan penyuluhan
lebih aktif sehingga penderita TB dapat lebih memahami dan percaya karena kader
ini sendiri pernah menderita penyakit tersebut dan mengerti stigma dan bahaya dari
TB paru.
Untuk nilai efektivitas (I), angka 5 adalah diberikan pada alternatif kedua.
Alternatif kedua mendapat angka 5 karena dengan pembentukan dan pembinaan
kader yang optimal, akan membangun pondasi yang kuat pada kaderisasi dan
66
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Terdapat 2 indikator proram pencegahan penyakit menular (P2M) yang belum
tercapai di UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Utara Puskesmas
Siantan Hilir pada tahun 2015 yaitu Kesembuhan penderita TBC BTA+ dan
Cakupan kasus diare yang ditemukan
2. Berdasarkan perhitungan dengan tekni matriks, maka ditetapkan prioritas
masalah pada program P2M di UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Timur
adalah persentase (%) Kesembuhan penderita TB BTA
67
3. Prioritas penyebab masalah d adalah Evaluasi kader dan PMO oleh petugas
kesehatan puskesmas belum dilaksanakan secara maksimal
4. Alternatif pemecahan masalah yang dapat diajukan adalah pembentukan kader
dan PMO yang berasal dari mantan penderita TB paru.
6.2. Saran
6.2.1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Pontianak
Menganggarkan dana alokasi pada program TB secara khusus terkait dengan pemberian
reward bagi tim dan pemegang program TB sebagai salah satu pemacu motivasi.
6.2.2. Bagi Puskesmas Pontianak Utara
a. Menambah jumlah tenaga tim khusus yang melaksanakan program TB yang
terdiri dari beberapa orang yang sudah terlatih.
b. Membentuk program khusus kader dan PMO yang berasal dari mantan
penderita TB paru dalam upaya meningkatkan kepatuhan minum obat pasien
TB paru.
c. Melakukan pelatihan dan evaluasi rutin terhadap kader dan PMO yang
berasal dari mantan penderita TB paru.
6.2.3. Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat berperan aktif dalam pengkaderan Pengawas Minum Obat (PMO).