Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN KASUS DERMATO-VENEREOLOGI

TINEA KORPORIS

OLEH :

BAIQ TRISNA SATRIANA


(H1A 008 042)

PEMBIMBING :
dr. Angelica Vanini Taufiq, Sp.KK

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA MATARAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2013

PENDAHULUAN

Tinea corporis adalah suatu penyakit kulit menular yang menyerang daerah kulit
tak berambut yang disebabkan jamur dermatofita spesies Trichophyton,
Microsporus, Epidermophyton. Dari tiga golongan tersebut penyebab tersering
penyakit tinea corporis adalah Tricophyton rubrum dengan prevalensi 47% dari
semua kasus tinea corporis. Tinea corporis merupakan infeksi yang umum terjadi
pada daerah dengan iklim tropis seperti Negara Indonesia dan dapat menyerang
semua usia terutama dewasa.1,2,3
Penegakan diagnosis tinea corporis berdasarkan gambaran klinis, status
lokalis dan pemeriksaan penunjang. Keluhan yang dirasakan penderita biasanya
gatal terutama saat berkeringat. Keluhan gatal tersebut memacu pasien untuk
menggaruk lesi yang pada akhirnya menyebabkan perluasan lesi terutama di
daerah yang lembab. Kelainan kulit berupa lesi bentuk bulat atau lonjong,
berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan
papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Pada pemeriksaan
mikroskopis kerokan lesi dengan larutan kalium hidroksida (KOH) 10%
didapatkan hifa. 1,2
Penegakan diagnosis penting untuk memberikan terapi yang adekut agar
tidak terjadi penyulit berupa kekambuhan, reaksi alergi, hiperpigmentasi, maupun
infeksi sekunder yang membuat penderita menjadi tidak kunjung sembuh. Berikut
ini dilaporkan satu kasus tinea korporis. Pembahasan akan menekankan pada
penegakan diagnosis pasien.1,3

2
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Tn. T
Umur : 28 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Gatep, Ampenan
Agama : Islam
Waktu Pemeriksaan : 02 Desember 2013

Anamnesis

Keluhan Utama :
Gatal di ketiak

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke Poli Kulit RSUD Kota Mataram pada tanggal 2


Desember 2013 dengan keluhan gatal di ketiak sejak 4 bulan. Pertama
kali gatal muncul di bagian perut dan selangkangan sekitar 1 tahun yang
lalu yang kemudian menyebar sampai ke kedua ketiak. Awalnya hanya
berupa bintik-bintik kemerahan yang kemudian semakin meluas. Keluhan
gatal dirasakan semakin memberat terutama setelah berkeringat dan
menggunakan deodoran. Deodoran selama ini tidak pernah diganti, selalu
jenis yang sama. Pasien pernah mengobati keluhannya ini dengan
menggunakan salep (lupa nama salep) dan obat-obatan cina namun
keluhan tidak berkurang.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien


menyangkal adanya riwayat alergi baik pada makanan ataupun obat-
obatan. Riwayat asma ataupun sering bersin di pagi hari tidak ada.

3
Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat keluarga dengan keluhan serupa disangkal oleh pasien. Riwayat


asma (-), sering bersin dipagi hari (-), alergi makanan dan obat-obatan (-)

Pemeriksaan Fisik

Status Generalis
Keadaan Umum : baik
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6

Status Dermatologis

Regio axilla dextra et sinistra dan periumbilikalis : tampak plak eritema berbatas
tegas dengan tepi polisklik dikelilingi papul eritema multiple (tepi aktif) dan
tertutup skuama tipis di atasnya.

Diagnosis Banding

1. Tinea korporis
2. Dermatitis Kontak Alergi e.c deodoran
3. Pitiriasis Rosea
4. Psoriasis Vulgaris

Pemeriksaan Penunjang

1. Kerokan kulit dengan KOH 10%

2. Biakan pada Sabouroud Dekstrose Agar

Diagnosis Kerja

Tinea korporis

4
Tatalaksana

~ Antihistamin: cetirizine 10 mg 1x/hari


~ Griseovulfin 500 mg PO 1x/hari selama minimal 3 minggu
~ Ketokonazole krim dioleskan 2x/hari selama minimal 2 minggu

Edukasi

~ Menyarankan kepada pasien untuk menggunakan obat secara teratur dan tidak
menghentikan pengobatan tanpa seizin dokter
~ Memeliharan dan menjaga kebersihan
~ Menggunakan pakaian yang menyerap keringat, tidak ketat, dan menghindari
kulit lembab
~ Tidak menggunakan pakaian atau handuk secara bergantian atau bersama-
sama dengan anggota keluarga lain.

Prognosis

~ Qua ad Vitam : bonam


~ Qua ad Sanationam : bonam
~ Qua ad Kosmetikam : bonam

5
PEMBAHASAN

Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut


(glabrous skin). Keluhan yang dirasakan penderita biasanya gatal dengan kelainan
kulit berupa lesi bentuk bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema,
skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya
biasanya lebih tenang. Kadang-kadang dapat terlihat erosi dan krusta akibat
garukan. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi dengan pinggir yang
polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang bergabung menjadi satu.1,2

Gambar 1. Tinea korporis2


Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien kasus ini,
didapatkan gejala dan tanda yang mengarahkan diagnosis kepada tinea korporis.
Pasien pada kasus ini memiliki keluhan gatal yang memberat ketika berkeringat
dan menggunakan deodoran. tampakan lesi kulit juga khas seperti tampakan lesi
tinea korporis dimana pada pasien didapatkan gambaran plak eritema berbatas
tegas dengan tepi bentuk polisiklik yang dikelilingi papul eritema multipel, tepi
terlihat lebih aktif dan terdapat pula skuama tipis di atasnya. Diagnosis banding
pada kasus ini yaitu DKA, pitiriasis rosea dan psoriasis.
DKA penyebabnya yaitu bahan kimia sederhana dengan berat molekul
umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses disebut
hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum
korneumsehingga mencapai sel epidermis di bawahnya (sel hidup). Penderita

6
umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa
yang berbatas tegas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula.
Pemeriksaan fisik sangat penting karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan
kulitnya sering kali dapat diidentifikasi penyebabnya. Pada pasien ini lesi kulit
terdapat di bagian ketiak, perut dan selangkangan. Kemungkinan diagnosis DKA
berkurang dikarenakan tempat kelainan lesi juga terdapat di bagian lain tubuh
yang tidak terkena deodoran yang dicurigai sebagai bahan kontaktan.4

Gambar 2. Dermatitis kontak alergi5

Pitiriasis Rosea dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan
skuama halus, umumnya di badan, solitar, berbentuk oval dan anular, dengan
diameter kira-kira 3 cm. Selanjutnya lesi akan memberikan gambaran yang khas
dengan susunan yang sejajar dengan costa hingga menyerupai pohon cemara
terbalik. Tempat predileksi di badan, lengan atas bagian proksimal, dan paha atas.
Pada pasien ini tidak terdapat tampakan khas pitiriasis rosea dengan lesi inisial
dan tampakan pohon cemara terbalik. 6,7,8

7
Gambar 3. Pitiriasis Rosea7

Psoriasis yang penyebabnya masih tidak diketahui juga memiliki lesi kulit
berupa plak eritematosa yang sirkumskripta dan tersebar merata, ditutupi oleh
skuama tebal, berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih mengkilat seperti mika.
Jika skuama digores menunjukkan tanda tetesan lilin. Pada psoriasis terdapat 2
fenomena, yaitu Koebner dan Auspitz. Predileksi penyakit ini biasanya pada
perbatasan daerah scalp dan wajah, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku
dan lutut, serta daerah lumbosakral.6

8
Gambar 4. Psoriasis9

Jika dilakukan pemeriksaan penunjang dengan memeriksa sediaan langsung


kerokan kulit yang ditetesi larutan KOH 10% maka untuk tinea korporis yang
merupakan infeksi oleh dermatosis akan tampak hifa, sebagai gambaran dua garis
sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora)pada
kelainan kulit yang lama dan/atau sudah diobati. Pemeriksaan dengan pembiakan
diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk
menentukan spesies jamur. Pemeriksan ini dilakukan dengan menanamkan bahan
klinis pada media buatan yaitu medium agar dekstrosa sabouraud.1
Terapi yang diberikan pada kasus ini yaitu griseofulvin oral dan
ketokonazole krim. Pengobatan untuk tinea korporis secara topikal dapat
diberikan salah satu dari golongan allilamin, imidazol, tolnaftat, butenafine,
ciclopirox. Sedangkan untuk sistemik yang biasanya digunakan yaitu flukonazol,
itrakonazol, terbinafin atau griseofulvin. Ketokonazol merupakan turunan
imidazol sintetik yang bersifat lipofilik dan larut dalam air pada pH asam.
Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofita, pitiriasis versikolor,

9
kutaneus kandidiasis, dan dapat juga untuk pengobatan dermatitis seboroik. Obat
ini bekerja dengan cara menghambat 14--dimetilase pada pembentukan
ergosterol membrane jamur. Obat tinea korporis griseofulvin merupakan obat
yang bersifat fungistatik. Obat ini bekerja dengan cara masuk ke dalam sel jamur
yang rentan dengan proses yang tergantung energi. Griseofulvin berinteraksi
dengan mikrotubulus dalam jamur yang merusak serat mitotik dan menghambat
mitosis. Obat ini berakumulasi di daerah yang terinfeksi, disintesis kembali dalam
jaringan yang mengandung keratin sehingga menyebabkan pertumbuhan jamur
terganggu. Terapi harus dilanjutkan sampai jaringan normal menggantikan
jaringan yang terinfeksi dan biasanya membutuhkan beberapa minggu sampai
bulan. Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi tinea yang berat yang tidak
respons terhadap obat-obat anti fungi lainnya. Resistensi obat ini terjadi karena
sistem asupan tergantung energi. Untuk efek sampingnya, obat ini dapat
menyebabkan hepatotoksisitas. Efektivitas griseofulvin dan terbinafin pada suatu
penelitian dibandingkan tidak berbeda secara signifikan. Subgrup dari infeksi
Trichophyton merespon lebih baik dengan pemberian terbinafin, sedangkan
infeksi M. Audouinii merespon lebih baik dengan griseofulvine. Pada pasien ini
dipilih griseofulvin karena lebih mudah untuk didapatkan, tersedia bentuk generik
dan lebih murah. Selain itu diberikan antihistamin cetirizine untuk simptomatis
mengurangi keluhan gatal.1,2,10

10
KESIMPULAN

Telah dilaporkan satu kasus tinea korporis. Diagnosa didapatkan


berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diperlukan pemeriksaan penunjang
dengan kerokan kulit yang ditetesi KOH 10% untuk menegakkan diagnosis dan
biakan agar Sabouraud Dextrose Agar untuk menentukan spesies jamurnya.
Pengobatan yang diberikan untuk kasus diatas adalah pengobatan dengan anti
jamur topikal dan oral dengan ketokonazol dan griseovulfin, dan diberikan
antihistamin cetirizine untuk mengurangi gatal.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam, Cetakan Kedua. Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta; 2011. Hal.89-106.

2. Verma S, Heffernan MP. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,


Onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, et al. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. McGraw-Hill : New
York; 2008.p.1807-1822
3. Ermawati Y. Penggunaan Ketokonazol pada Pasien Tinea Corporis. Fakultas
kedokteran Universitas Lampung. Medula Unila.2013;1(3):82-91
4. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam, Cetakan Kedua. Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta; 2011.hal.129-
153
5. Cohen DE, Jacob SE. Allergic Contact Dermatitis. In: Wolff K, et al.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. McGraw-
Hill : New York; 2008. p.135-145

6. Djuanda A. Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam: Djuanda A, Hamzah M,


Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam, Cetakan Kedua.
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta; 2011.
Hal.189-203.

7. Blauvelt A. Pityriasis Rosea. In: Wolff K, et al. Fitzpatricks Dermatology in


General Medicine. Seventh Edition. McGraw-Hill : New York. 2008. p.366-
368.

8. Murtiastutik D, dkk. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kedua.


Dep./SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unair/RSUD Dr.Soetomo:
Surabaya; 2009.

9. Gudjonsson JE, Elder JT. Chapter 18: Psoriasis. In: Wolff K, et al.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. McGraw-
Hill : New York. 2008. p.169-193.

12
10. Menkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
302/Menkes/SK/III/2008 Tentang Harga Obat Generik. Menkes RI. 2008.

13

Anda mungkin juga menyukai