Anda di halaman 1dari 8

Kumpulan Asuhan Keperawatan

Sabtu, 25 Desember 2010


Asuhan Keperawatan HNP

A. Pengertian.
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah penyakit yang disebabkan oleh trauma atau perubahan
degeneratif yang menyerang massa nukleus pada daerah vertebra L4-L5, L5-S1, atau C5-C6
yang menimbulkan nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).
( Doenges, 1999).

Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah menonjolnya nukleus dari diskus ke dalam anulus
(cincin fibrosa sekitar diskus) dengan akibat kompresi saraf. ( Smeltzer, 2001).

Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah herniasi atau penonjolan keluar dari nukleus pulposus
yang terjadi karena adanya degenerasi atau trauma pada anulus fibrosus.
( Rasjad, 2003).

Herniasi adalah suatu proses bertahap yang ditandai dengan serangan-serangan penekanan akar
syaraf (yang menimbulkan berbagai gejala dan periode penyesuaian anatomik). ( Price, 2005).
Nukleus Pulposus adalah bantalan seperti bola dibagian tengah diskus (lempengan kartilago yang
membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra). (Smeltzer, 2001).

Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah penyakit yang disebabkan oleh proses degeneratif atau
trauma yang ditandai dengan menonjolnya nukleus pulposus dari diskus ke dalam anulus yang
menimbulkan kompresi saraf sehingga terjadi nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan
berulang (kambuh).

B. Patofisiologi
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) dapat disebabkan oleh proses degeneratif dan trauma yang
diakibatkan oleh ( jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat benda berat)
yang berlangsung dalam waktu yang lama. Diskus intervertebralis merupakan jaringan yang
terletak antara kedua tulang vertebra, yang dilingkari oleh anulus fibrosus yang terdiri atas
jaringan konsentrik dan fibrikartilago dimana didalamnya terdapat substansi setengah cair.
Substansi inilah yang dinamakan dengan Nukleus Pulposus yang mengandung berkas-berkas
serat kolagenosa, sel jaringan ikat, dan sel tulang rawan. Bahan ini berfungsi sebagai peredam-
kejut (shock absorver) antara korpus vertebra yang berdekatan, dan juga berperan penting dalam
pertukaran cairan antara diskus dan kapiler. Diskus intervertebra ini membentuk sekitar
seperempat dari panjang keseluruhan kolumna vertebralis. Diskus paling tipis terletak di regio
lumbalis. Seiring dengan bertambahnya usia, kandungan air diskus berkurang (dari 90% pada
masa bayi menjadi 70% pada lanjut usia) dan diskus menjadi lebih tipis sehingga resiko
terjadinya HNP menjadi lebih besar. Selain itu serat-serat menjadi lebih kasar dan mengalami
hialinisasi,yang ikut berperan menimbulkan perubahan yang menyebabkan HNP melalui anulus
disertai penekanan saraf spinalis. Dalam herniasi diskus intervertebralis, nukleus dari diskus
menonjol kedalam anulus (cincin fibrosa sekitar diskus) dengan akibat kompresi saraf.
Kehilangan protein polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus.
Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus.
Setelah trauma (jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat beban berat
dalam waktu yang lama) kartilago dapat cedera, kapsulnya mendorong kearah medulla spinalis
atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap saraf spinal saat
muncul dari kolumna spinal. Sebagian besar herniasi diskus (proses bertahap yang ditandai
serangan-serangan penekanan akar saraf) terjadi di daerah lumbal di antara ruang lumbal IV ke V
(L4 ke L5), atau lumbal kelima (L5 ke S1), hal ini terjadi karena daerah inilah yang paling berat
menerima tumpuan berat badan kita pada saat beraktivitas. Arah tersering herniasi bahan
Nukleus pulposus adalah posterolateral. Karena akar saraf daerah lumbal miring kebawah
sewaktu keluar melalui foramen saraf, herniasi diskus antara L5 dan S1 lebih mempengaruhi
saraf S1 daripada L5. (Price, 2005) , ( Brunner& Suddarth , 2001) serta Rasjad, 2003).

Hernia Nukleus Pulposus yang menyerang vertebra lumbalis biasanya menyebabkan nyeri
punggung bawah yang hebat, mendesak, menetap beberapa jam sampai beberapa minggu, rasa
nyeri tersebut dapat bertambah hebat bila batuk, bersin atau membungkuk, dan biasanya
menjalar mulai dari punggung bawah ke bokong sampai tungkai bawah. Parastesia yang hebat
mugkin terjadi sesudah gejala nyeri menurun, deformitas berupa hilangnya lordosis lumbal atau
skoliosis, mobilitas gerakan tulang belakang berkurang (pada stadium akut gerakan pada bagian
lumbal sangat terbatas, kemudian muncul nyeri pada saat ekstensi tulang belakang), nyeri tekan
pada daerah herniasi dan bokong (paravertebral), klien juga biasanya berdiri dengan sedikit
condong ke satu sisi.

Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus dapat meninbulkan komplikasi antara lain berupa
radiklitis (iritasi akar saraf), cedera medulla spinalis, parestese, kelumpuhan pada tungkai bawah.

C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien dengan Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah :
1. Penatalaksanaan medis.
a. Pemberian obat-obatan seperti analgetik, sedatif (untuk mengontrol kecemasan yang sering
ditimbulkan oleh penyakit diskus vertebra servikal), relaksan otot, anti inlamasi atau
kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi yang biasanya terjadi pada jaringan penyokong
dan radiks saraf yang terkena, antibiotik diberikan pasca operasi untuk mengurangi resiko infeksi
pada insisi pembedahan (Smeltzer, 2001).
b. Prosedur pembedahan.
1) Laminektomi, adalah eksisi pembedahan untuk mengangkat lamina dan memungkinkan ahli
bedah spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi medulla
dan radiks, laminektomi juga berarti eksisi vertebra posterior dan umumnya dilakukan untuk
menghilangkan tekanan atau nyeri akibat HNP.
2) Disektomi, adalah mengangkat fragmen herniasi atau keluar dari diskus intervertebral.
3) Laminotomi, adalah pembagian lamina vertebra.
4) Disektomi dengan peleburan- graft tulang (dari krista iliaka atau bank tulang) yang digunakan
untuk menyatukan dengan prosesus spinosus vertebra ; tujuan peleburan spinal adalah untuk
menjembatani diskus defektif untuk menstabilkan tulang belakang dan mengurangi angka
kekambuhan.
5) Traksi lumbal yang bersifat intermitten. (Smeltzer, 2001).
6) Interbody Fusion (IF) merupakan penanaman rangka Titanium yang berguna untuk
mempertahankan dan mengembalikan tulang ke posisi semula.
c. Fisioterapi

2. Penatalaksanaan keperawatan.
a. Tirah baring (biasanya 2 minggu) pada alas yang keras atau datar.
b. Imobilisasi dengan menggunakan kolar servikal, traksi servikal, brace atau korset.
c. Kompres lembab panas (untuk 10 sampai 20 menit diberikan pada daerah belakang leher
beberapa kali sehari untuk meningkatkan aliran darah ke otak dan menolong relaksasi otot bagi
klien yang mengalami spasme otot).
d. Anjurkan mempergunakan posisi yang benar dan disiplin terhadap gerakan punggung yaitu
membungkuk dan mengangkat barang. Teknik yang benar adalah menjaga agar tulang belakang
tetap tegak, menekuk lutut dan menjaga berat badan tetap dekat dengan tubuh untuk
menggunakan otot-otot tungkai yang kuat dan menghindari pemakaian otot-otot punggung.
e. Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi nyeri
f. Perawatan luka pada klien pasca operasi untuk mengurangi risiko infeksi. (Smeltzer, 2001).
3. Diit.
Klien dengan HNP dianjurkan untuk makan makanan yang banyak mengandung serat untuk
mencegah konstipasi yang dapat memperberat rasa nyeri.

D. Pengkajian
Pengkajian menurut Marillyn E Doenges (1999), Smeltzer (2001).
1. Aktifitas/Istirahat.
Gejala : Riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat benda berat,duduk, mengemudi dalam waktu
lama, membutuhkan papan atau matras yang keras saat tidur, penurunan rentang gerak dari
ekstremitas pada salah satu bagian tubuh, tidak mampu melakukan aktifitas yang biasa
dilakukan.
Tanda : Atrofi otot pada bagian tubuh yang terkena, gangguan dalam berjalan.
2. Eliminasi.
Gejala : konstipasi, adanya inkontinensia urine.

3. Integritas ego.
Gejala : ketakutan akan timbulnya paralisis, ansietas, masalah pekerjaan.
Tanda : cemas, depresi, menghindar dari keluarga atau orang terdekat.

4. Neurosensori.
Gejala : kesemutan, kekakuan, kelemahan dari tangan/ kaki.
Tanda : penurunan refleks tendon dalam, kelemahan otot, nyeri tekan dan spasme otot.
5. Nyeri/ Kenyamanan.
Gejala : nyeri seperti tertusuk pisau yang akan semakin memburuk dengan adanya batuk, bersin,
membengkokkan badan, mengangkat beban, defekasi, mengangkat kaki atau fleksi pada leher ;
nyeri yang tidak ada hentinya, ; nyeri yang menjalar kekaki, bokong (lumbal), atau
bahu/lengan, ; kaku pada leher (servikal), terdengar adanya suara krek saat nyeri baru timbul/
saat trauma atau merasa punggung patah, keterbatasan untuk mobilisasi/ membungkuk
kedepan.
Tanda : sikap dengan cara bersandar dari bagian tubuh yang terkena, perubahan cara
berjalan,berjalan dengan terpincang-pincang, pinggang terangkat pada bagian tubuh yang
terkena, nyeri pada saat palpasi.
6. Keamanan.
Gejala : adanya riwayat masalah punggung yang baru saja terjadi.

7. Penyuluhan/ Pembelajaran.
Gejala : gaya hidup yang monoton atau hiperaktif.

Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik menurut Doenges (1999), Smeltzer (2001), Rasjad (2003), dan Apley
(1995).
1. Foto rontgen spinal : memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada tulang belakang/
ruang intervertebralis
2. Elektromiografi (EMG) : dapat melokalisasi lesi pada tingkat akar saraf spinal utama yang
terkena , juga menentukan secara pasti akar saraf yang terkena
3. Venogram epidura : dilakukan pada kasus dimana keakuratan dari miogram terbatas.
4. Pungsi lumbal : mengesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi, adanya darah.
5. Tanda LeSeque : dengan mengangkat kaki lurus keatas,dapat mendukung diagnosa awal
dari herniasi diskus intervetebra ketika muncul nyeri pada kaki posterior.
6. CT Scan : dapat menunjukkan adanya kanal spinal yang mengecil, adanya protusi
diskus intervertebralis.
7. MRI : pemeriksaan non invasive yang dapat menunjukkan adanya perubahan tulang
dan jaringan lunak dan dapat memperkuat bukti adanya herniasi discus, memastikan lokasi dan
tipe patologi.
8. Mielogram : mungkin memperlihatkan penyempitan dari ruang discus, menentukan
lokasi, dan ukuran herniasi secara spesifik.
9. Pemeriksaan urine : menyingkirkan kelainan pada saluran kencing.
10. LED : menyingkirkan adanya tumor ganas, infeksi, dan penyakit Reumatik.
E. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada klien pre operasi Laminektomi indikasi HNP menurut Doenges
(1999), Tucker (1998).
1. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, gangguan nyeri terus menerus.
2. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis dan tindakan berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan atau informasi.

3. Nyeri akut/ kronis berhubungan dengan agen pencedera fisik; kompresi saraf, spasme otot.
4.Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan, spasme otot,
kerusakan neuromuskuler.

Diagnosa keperawatan pada klien post operasi Laminektomi menurut Doenges (1999), Tucker
(1998).
1. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, gangguan nyeri terus menerus.
2. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah sekunder terhadap
edema operasi.
3. Tak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru sekunder
terhadap nyeri
4. Nyeri akut/ kronis berhubungan dengan agen pencedera fisik; kompresi saraf, spasme otot, insisi
pembedahan.
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan, spasme otot,
kerusakan neuromuskuler.
6. Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi, penurunan aktivitas fisik.
7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis dan tindakan berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan atau informasi.

F. Perencanaan.
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan menyusun perencanaan untuk
masing-masing diagnosa yang meliputi prioritas diagnosa keperawatan, penetapan tujuan dan
kriteria evaluasi sebagai berikut :

1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah sekunder terhadap
edema operasi.
Tujuan : menunjukkan sirkulasi yang adekuat pada seluruh tubuh
Kriteria hasil : 1) TTV klien terutama Nadi dan tekanan darah normal. 2) Capilarry refill < 3
detik. 3) Tidak ada tanda-tanda sianosis
Perencanaan : 1) Kaji pergerakan aatu sensasi dari ektremitas bawah/kaki (lumbal), dan
tangan/lengan (servik). 2) Pertahankan klien dalam posisi terlentang selama beberapa jam. 3)
Pantau TTV, catat kehangatan dan pengisian kapiler. 4) Lakukan palpasi pada daerah operasi
untuk mengetahui adanya edema. 5) Lakukan pengukuran terhadap drainase (jika
menggunakannya). 6) Berikan terapi cairan atau darah sesuai indikasi. 7) Periksa darah lengakp
(seperti Hb, Ht, dan eritrosit).

2. Tak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru sekunder
terhadap nyeri.
Tujuan : jalan nafas klien bersih tidak ada sumbatan
Kriteria hasil : 1) Respiratory rate (RR) klien dalam batas normal (16-22 x/mnt). 2) AGD klien
dalam batas normal. 3) Ronchi (-), dan wheezing (-).
Perencanaan : 1) inspeksi adanya edema pada wajah/leher (pada laminektomi servikal). 2)
Dengarkan adanya suara yang parau. 3) Auskultasi suara napas, catat adanya suara ronchi atau
mengi. 4) Bantu klien untuk melakukan batuk efektif, miring kiri dan kanan, serta napas dalam.
5) Kolaborasi pemberian oksigen jika diperlukan. 6) Pantau hasil analisa gas darah.

3. Nyeri akut/ kronis berhubungan dengan agen pencedera fisik; kompresi saraf,spasme otot,
insisi pembedahan.
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil : 1) Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol. 2) Postur dan wajah rileks 3)
Mendemonstrasikan keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri. 4)
Mengekspresikan perasaan nyaman.
Perencanaan : 1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus,
tetapkan skala 1-10. 2) Pertahankan tirah baring selama fase akut, letakkan klien pada posisi
semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan flexi, posisi terlentang
dengan atau tanpa meninggikan kepala 10-3- derajat pada posisi lateral. 3) Bantu pemasangan
brace atau korset. 4) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan. 5) Anjurkan
klien untuk melakukan teknik relaksasi. 6) Anjurkan klien untuk melakukan mekanika tubuh atau
gerakan yang tepat. 7) Berikan tempat tidur ortopedik atau letakkan papan dibawah kasur atau
matras. 8) Berikan obat sesuai kebutuhan seperti relaksan otot, analgetik, antiinflamasi,
antibotik. 9) Pasang penyokong fisik seperti brace lumbal. 10) Konsultasikan dengan ahli terapi
fisik (fisioterapi).

4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan, spasme otot,
kerusakan neuromuskuler.
Tujuan : menunjukkan tingkat aktivitas sesuai toleransi tubuh yang optimal.
Kriteria hasil : 1) Klien dapat beraktivitas sesuai kemampuan. 2) Klien dapat mempertahankan
kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
Perencanaan : 1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik. 2)
Berikan aktifitas yang disesuaikan dengan kemampuan klien. 3) Anjurkan klin untuk melatih
kaki bagian bawah / lutut, nilai adanya edema, eritema pada ekstremitas bawah. 4) Bantu klien
dalam melakukan aktivitas ambulasi. 5) Berikan perawatan kulit dengan baik, masase titik yang
tertekan setelah perubahan posisi. 6) Berikan analgetik kira-kira 30 menit sebelum memindahkan
atau melakukan ambulasi klien selama periode akut.

5. Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi, penurunan aktivitas fisik.


Tujuan : menunjukkan pola BAB yang normal, serta kontraksi usus yang normal.
Kriteria hasil : 1) Bising usus klien dalam batas normal (8-15 x/mnt). 2) Konsistensi feses lunak
atau setengah padat.
Perencanaan : 1) Catat adanya distensi abdomen dan auskultasi bising usus klien. 2) Anjurkan
klien untuk melakukan ambulasi sesuai kemampuan. 3) Mulai untuk meningkatkan diet sesuai
toleransi pasien. 4) Berikan obat laksatif, pelembek feses sesuai kebutuhan.

6. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, gangguan nyeri terus menerus.


Tujuan : klien menunjukkan ekspresi rileks.
Kriteria hasil : 1) Klien tampak rileks dan mengatakan ansitas berkurang pada tingkat yang
dapat diatasi. 2) Mendemontrasikan keterampilan pemecahan masalah.
Perencanaan : 1) Kaji tingkat ansietas klien. 2) Berikan informasi yang akurat dan jawab
dengan jujur. 3) Berikan kesempatan klien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapi. 4)
Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin
menghalangi proses penyembuhannya.

7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis dan tindakan berhubungan dengan


kurangnya pengetahuan atau informasi.
Tujuan : mengatakan pengertiannya tentang kondisi dan tindakan medis yang dilakukan.
Kriteria hasil : 1) Klien mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan tindakan.
2) Melakukan kembali perubahan gaya hidup.
Perencanaan : 1) Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis serta pembatasan kegiatan
seperti menghindari mengemudikan kendaraan dalam periode waktu yang cukup lama. 2)
Berikan informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat, dan
menggunakan sepatu penyokong. 3) Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya,
seperti halnya beberapa obat yang menyebabkan kantuk yang sangat berat (analgetik, relaksan
otot). 4) Anjurkan menggunakan papan/matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah
leher, tidur miring dengan lutut difleksikan, hindari posisi telungkup. 5) Diskusikan mengenai
kebutuhan diit. 6) Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama. 7) Anjurkan untuk
melakukan kontrol medis secara teratur.

G. Pelaksanaan
Pelaksanaan merupakan tindakan mandiri dasar berdasarkan ilmiah, masuk akal dalam
melaksanakan yang bermanfaat bagi klien yang diantisipasi berhubungan dengan diagnosa
keperawatan dan tujuan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan merupakan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Tindakan yang dilakukan dapat berupa
tindakan mandiri maupun kolaborasi. Dalam pelaksanaan langkah-langkah yang dilakukan
adalah mengkaji kembali keadaan klien, validasi rencana keperawatan, menentukan kebutuhan
dan bantuan yang diberikan serta menetapkan strategi tindakan yang akan dilakukan. Selain itu
juga dalam pelaksanaan tindakan semua tindakan yang dilakukan pada klien dan respon klien
pada setiap tindakan keperawatan didokumentasikan dalam catatan keperawatan. Dalam
pendokumentasian yang perlu didokumentasikan adalah waktu tindakan dilakukan, tindakan dan
respon klien serta diberi tanda tangan sebagai aspek legal dari dokumentasi yang dilakukan.

H. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang dilakukan untuk mengukur
seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai berdasrkan standar dan kriteria yang
telah ditetapkan. Evaluasi merupakan aspek penting dalam proses keperawatan , karena
menghasilkan kesimpulan apakah intervensi keperawatan dapat diakhiri atau ditinjau kembali
atau dimodifikasi. Dalam evaluasi prinsip objektivitas, reliabelitas, dan validitas dapat
dipertahankan agar keputusan yang diambil tepat. Evaluasi proses keperawatan sendiri ada dua
yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses adalah evaluasi yang dilakukan segera
setelah tindakan dilakukan dan didokumentasikan pada catatan keperawatan. Sedangkan evaluasi
hasil adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur sejauh mana pencapaian tujuan yang
ditetapkan, dan dilakukan pada akhir asuhan keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai