Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

Sirosis hati suatu bentuk respon aktif terhadap penyembuhan cedera hati

kronik yang dapat pulih kembali meskipun belum diketahui secara pasti derajat

fibrosis yang masih reversibel. Istilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh

Laennec pada tahun 1826. Diambil dari bahasa Yunani scirrhus atau kirrhos yang

artinya warna oranye dan dipakai untuk menunjukkan warna oranye atau kuning

kecoklatan permukaan hati yang tampak saat otopsi 1,10

Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan sekitar 35.000

kematian per tahun di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian

utama yang kesembilan di AS, dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

kematian di AS. Banyak pasien yang meninggal pada dekade keempat atau

kelima. Setiap tahun ada tambahan 2000 kematian yang disebabkan karena gagal

hati fulminan (fulminant hepatic failure) dan dapat disebabkan hepatitis virus

(virus hepatitis A dan B), obat (asetaminofen), toksin (jamur Amanita phalloides

atau jamur yellow death-cap), hepatitis autoimun, penyakit Wilson, dan berbagai

macam penyebab lain yang jarang ditemukan.3,4,5

Beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia menjelaskan

bahwa berdasarkan diagnosis klinis saja dapat dilihat bahwa prevalensi sirosis hati

yang dirawat di bangsal penyakit dalam umumnya berkisar antara 3,6 - 8,4% di
Jawa dan Sumatra, sedang di Sulawesi dan Kalimantan di bawah 1%. Secara

keseluruhan rata-rata prevalensi sirosis adalah 3,5% dari seluruh pasien yang

dirawat di bangsal penyakit dalam, atau rata-rata 47, 4% dari seluruh pasien

penyakit hati yang dirawat, meskipun belum ada data resmi tentang sirosis hati di

Indonesia.6,11
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesis

Identitas Pasien

Nama : Ny. T

Umur : 78 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Ds. Baktiya

Pekerjaan : Petani

Agama : Islam

Masuk Rumah Sakit : 1 November 2016

Keluar Rumah Sakit : 8 November 2016

Keluhan Utama

Perut yang semakin membesar beberapa hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dibawa keluarga ke rumah sakit dengan keluhan perutnya yang


terasa penuh menyesakkan dan semakin membesar dalam beberapa hari ini dan
hal tersebut membuat nafasnya terasa berat. Pasien rasa nyeri pada bagian ulu
hati. Nyeri tersebut sudah beberapa minggu ini di keluhkan pasein, namun
memberat beberapa hari SMRS. Nyeri tersebut rasanya seperti terbakar (panas)
dan terkadang menjalar ke seluruh bagian perut. Rasa nyeri tidak berkurang
dengan perubahan posisi serta tidak dipengaruhi oleh waktu dan makanan. Rasa
nyeri juga akan lebih terasa jika di tekan. Pasien juga mengeluhkan kakinya
bengkak yang menurut pasien membuatnya menjadi susah berjalan. Selain itu
pasien juga mengeluhkan mual dan muntah lebih kurang 5x tidak memiliki ampas
(air saja) dan tidak ada darah SMRS serta tubuhnya yang terasa lemas. Sebelum
muncul gejala ini, pasien mengeluhkan ada riwayat demam yang tidak
dipengaruhi oleh waktu dan badan yang terasa sangat lemas. Pada anamnesis
lanjutan, tidak diketahui riwayat ikterik pada pasien. Pasien tidak mengeluhkan
sesak dan tidak pernah sesak sebelumnya, pasien juga tidak memerlukan bantal
yang tinggi untuk dapat tidur dengan nyaman pasien juga tidak mengeluhkan
mudah lelah ataupun adanya batuk ketika malam hari namun pada beberapa waktu
yang lalu pasien pernah BAB dengan warna yang hitam. Riwayat pekerjaan
pasien bertani dan sudah lama berhenti, sebelum sakit pasien biasa beraktivitas
sendiri (tanpa bantuan) namun sekarang pasien memerlukan bantuan orang lain
untuk dapat mengerjakan aktivitas sehari hari.

Riwayat Penyakit Dahulu

DM (-) HT (-) Nyeri Sendi (+)

Riwayat Penggunaan Obat

Obat anti nyeri yang di beli di depot obat

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Kebiasaan

Minum alkohol (-)

Merokok (-)
2.2 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis, E4 V5 M6

Tanda Vital : Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Nadi : 100x/i

Frekuensi Napas : 20x/i

Suhu Tubuh : 36oC

Status Gizi : BB = 68 Kg

TB = 150 cm

IMT = Tidak Valid dinilai

Kepala / Leher

Umum

Ekspresi : Sakit Sedang

Rambut : Tidak rontok namun tampak kusam

Kulit : Hiperpigmentasi (-) Jejas / Memar (-)

Nafas : Fetor Hepatikum


Mata

Palpebra : Edema (-/-) Retraksi (-/-) Kelambatan (-/-)

Konjungtiva : Pucat (+/+)

Sklera : Ikterik (+/+)

Kornea : Normal

Pupil : Ishokor (+/+) Refleks cahaya (+/+)

Eksoftalmus : (-/-)

Stellwag sign : (-/-)

Hidung

Septum deviasi : (-/-)

Tanda radang : (-/-)

Sekret : (-/-)

Epistaksis : (-/-)

Pernapasan cuping : (-/-)

Telinga

Bentuk : Normal

Lubang Telinga : Sekret (-/-) tanda radang (-/-) nodul (-/-)

Proc. Mastoideus : Nyeri (-/-)


Mulut

Bibir : Pucat (+) sianosis (-)

Rongga Mulut : Lesi (-)

Gusi : Perdarahan (-)

Lidah : Makroglosia (-) Mikroglosia (-)

Tonsil : T1/T1 Bengkak (-) Hiperemis (-)

Faring : Hiperemis (-)

Leher

Inspeksi : Pembesaran KGB (-) Jejas (-)

Palpasi : Masa atau pembesaran KGB (-)

Thorax

Umum

Bentuk dan pergerakan dada simetris (+)

Ginekomasti (-)

Retraksi otot pernapasan (-)

Pelebaran ICS (+)

Pulmo : I = bentuk dada simetris, gerak napas simetris, retraksi ICS (-)

P = fremitus raba Dextra = Sinistra


P = sonor di seluruh lapang paru

A = suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Cor : I = Ictus cordis tidak terlihat

P = Ictus cordis teraba

P = kanan : ICS III parasternal line dextra

Kiri : ICS VI 2 jari lateral midclavicula line sinistra

A = S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

I = Cembung, sikatriks (-), spider nevy (-), Caput Medusae (-)

P = Soefl, flat, nyeri tekan (+) pada region epigastrium dan

hipokondria dextra, massa (-) hepatomegali (-) Splenomegali

(-)

P = Timpani (-) shifting dullness (+), fluid wafe (+)

A = Bising usus (+) normal

Ekstremitas

Edema kekuatan otot 5 5

4 4

Superior Inferior
Ekstremitas hangat Ekstremitas hangat

USG

Terdapat cairan pada rongga abdomen


Hepar tampak normal
Splen tampak normal
Kesan : Asites

2.3 Diagnosis

Sirosis Hepatis

2.4 Penatalaksanaan

2.5 Prognosis

Vitam : dubia ad bonam

Functionam : dubia ad bonam

2.6 Follow Up

Perintah Pengobatan / Tindakan


Tanggal Perjalanan penyakit
yang diberikan
H+1 S = Perut terasa penuh (+) mual (-) muntah (+) IVFD NaCL 10gtt/i
napas terasa berat (+) susah tidur (+) lemas (+)
01/11/2016 nafsu makan (-) nyeri epigastrik (+) BAB (-10hari) Inj. Ceftriaxone gr 1 vial/12j

Prosogan mg 30 vial/12j

O= CM, TD:130/80 mmHg, N: 80x/i, RR: 26x/i; Lasix mg 20 amp/H


ST: 35,6oC, BU () KP (+/+) Ikterik (+/+) Asites
(+) Ro(-/-) Wh (-/-) Venektasi (-) ET (+/+) Ondansetron mg 4 amp/12j

Kalnex mg 50 amp/12j

A = Asites ec. Sirosis Hepatis Orl. Spironolacton 2 x 25mg

Lesipar 1 x 300mg

P = Pemeriksaan Darah Rutin, Albumin, Globulin, Urdahex 1 x 250mg


LFT, RFT, Transfusi 5 Kolf PRC
Lactulosa Syr 3 x 1

H+2 S = Perut terasa penuh (+) mual (+) muntah (+) IVFD NaCL 10gtt/i
napas terasa berat () susah tidur (+) lemas (+)
02/11/2016 nafsu makan (-) sakit kepala (+) nyeri epigastrik Inj. Ceftriaxone gr 1 vial/12j
(+) BAB (-11hari) BAK (+)
Prosogan mg 30 vial/12j

Lasix mg 20 amp/H
O= CM, TD:190/80 mmHg, N: 83x/i, RR: 21x/i;
ST: 35,7oC, BU () KP (/) Ikterik (+/+) Asites Ondansetron mg 4 amp/12j
(+) Ro(-/-) Wh (-/-) Venektasi (-) ET (+/+)
Kalnex mg 50 amp/12j

Orl. Spironolacton 2 x 25mg


A = Asites ec. Sirosis Hepatis
Lesipar 1 x 300mg
Urdahex 1 x 250mg

Lactulosa Syr 3 x 1

H+3 S = Perut terasa penuh () mual (+) muntah (+) Three Way
napas terasa berat () susah tidur (+) lemas (+)
03/11/2016 nafsu makan (-) sakit kepala (+)nyeri epigastrik (+) IVFD Aminoleban/H
BAB (-12hari) BAK (+)
Inj. Ceftriaxone gr 1 vial/12j

Prosogan mg 30 vial/12j
O= CM, TD:160/80 mmHg, N: 68x/i, RR: 16x/i;
ST: 36,3oC, BU () KP (/) Ikterik (/) Asites Lasix mg 20 amp/H
() Ro(-/-) Wh (-/-) Venektasi (-) ET (/)
Ondansetron mg 4 amp/12j

Kalnex mg 50 amp/12j
A = Asites ec. Sirosis Hepatis
Orl. Spironolacton 2 x 25mg

Lesipar 1 x 300mg

Urdahex 1 x 250mg

Lactulosa Syr 3 x 1

H+4 S = Perut terasa penuh () mual () muntah (-) Three Way


napas terasa berat () susah tidur (-) lemas ()
04/11/2016 nafsu makan (+) sakit kepala (-) nyeri epigastrik IVFD Aminoleban/H
() BAB (-13hari) BAK (+)
Inj. Ceftriaxone gr 1 vial/12j

Prosogan mg 30 vial/12j
O= CM, TD:180/90 mmHg, N: 64x/i, RR: 18x/i;
ST: 36,6oC, BU (+) KP (-/-) Ikterik (/) Asites () Lasix mg 20 amp/H
Ro(-/-) Wh (-/-) Venektasi (-) ET (/)
Ondansetron mg 4 amp/12j

Kalnex mg 50 amp/12j
A = Asites ec. Sirosis Hepatis
Orl. Spironolacton 2 x 25mg

Lesipar 1 x 300mg

Urdahex 1 x 250mg

Lactulosa Syr 3 x 1

Amlodipin 1 x 10mg

H+5 S = Perut terasa penuh () mual (-) muntah (-) Three Way
napas terasa berat () susah tidur (-) lemas ()
05/11/2016 nafsu makan (+) sakit kepala (-) nyeri epigastrik IVFD Aminoleban/H
() BAB (+ hitam) BAK (+)
Inj. Ceftriaxone gr 1 vial/12j

Prosogan mg 30 vial/12j
O= CM, TD:120/60 mmHg, N: 82x/i, RR: 20x/i;
ST: 36,4oC, BU (+) KP (-/-) Ikterik (/) Asites () Lasix mg 20 amp/H
Ro(-/-) Wh (-/-) Venektasi (-) ET (/)
Ondansetron mg 4 amp/12j

Kalnex mg 50 amp/12j
A = Asites ec. Sirosis Hepatis
Orl. Spironolacton 2 x 25mg

Lesipar 1 x 300mg

Urdahex 1 x 250mg

Lactulosa Syr 3 x 1

Amlodipin 1 x 10mg
H+6 S = Perut terasa penuh () mual (-) muntah (-) Three Way
napas terasa berat () susah tidur (-) lemas ()
06/11/2016 nafsu makan (+) sakit kepala (-) nyeri epigastrik IVFD Aminoleban/H
() BAB (+) BAK (+)
Inj. Ceftriaxone gr 1 vial/12j

Prosogan mg 30 vial/12j
O= CM, TD:120/70 mmHg, N: 78x/i, RR: 16x/i;
ST: 37oC, BU (+) KP (-/-) Ikterik (/) Asites Lasix mg 20 amp/H
() Ro(-/-) Wh (-/-) Venektasi (-) ET (/)
Ondansetron mg 4 amp/12j

Kalnex mg 50 amp/12j
A = Asites ec. Sirosis Hepatis
Orl. Spironolacton 2 x 25mg

Lesipar 1 x 300mg

Urdahex 1 x 250mg

Lactulosa Syr 3 x 1

Amlodipin 1 x 10mg

H+7 S = Perut terasa penuh () mual (-) muntah (-) Three Way
napas terasa berat (-) susah tidur (-) lemas () nafsu
07/11/2016 makan (+) sakit kepala (-) nyeri epigastrik () IVFD Aminoleban/H
BAB (-) BAK (+)
Inj. Ceftriaxone gr 1 vial/12j

Prosogan mg 30 vial/12j
O= CM, TD: 90/50 mmHg, N: 68x/i, RR: 16x/i;
ST: 36,4oC, BU (+) KP (-/-) Ikterik (/) Asites Lasix mg 20 amp/H
() Ro(-/-) Wh (-/-) Venektasi (-) ET (/)
Ondansetron mg 4 amp/12j

Kalnex mg 50 amp/12j
A = Asites ec. Sirosis Hepatis
Orl. Spironolacton 2 x 25mg

Lesipar 1 x 300mg

Urdahex 1 x 250mg

Lactulosa Syr 3 x 1

H+8 S = Perut terasa penuh () mual (-) muntah (-) Spironolacton 1 x 100mg
napas terasa berat (-) susah tidur (-) lemas () nafsu
08/11/2016 makan (+) sakit kepala (-) nyeri epigastrik () Amlodipin 1 x 10mg
BAB (+) BAK (+)
Lasix 1 x 40mg

Fasorbid 1 x 5mg
O= CM, TD: 90/50 mmHg, N: 68x/i, RR: 16x/i;
ST: 36,4oC, BU (+) KP (-/-) Ikterik (/) Asites Mertigo SR 2 x 6mg
() Ro(-/-) Wh (-/-) Venektasi (-) ET (/)
Omeprazole 2 x 20mg

Domperidon 3 x 10mg
A = Asites ec. Sirosis Hepatis

P = Pasien PBJ

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi

Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan

adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan

adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat

dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan

sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat perubahan jaringan ikat

dan nodul tersebut. Selanjutnya, distorsi arsitektur hepar dan peningkatan

vaskularisasi ke hati menyebabkan varises atau pelebaran pembuluh darah di

daerah gaster maupun esophagus (Widjaja & Karjadi, 2011).11

3.2 Prevalensi

Sirosis hepatis menjadi penyebab kematian ke 12 dengan 29.165

kematian pada tahun 2007 dan rata-rata angka mortalitas 9,7 per 100.000 orang

di Amerika (Starr & Rainess, 2011) sedangkan rata-rata prevalensi sirosis hati

di indonesia adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal Penyakit

Dalam, atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat

menurut laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia dengan

Perbandingan prevalensi sirosis pada pria : wanita adalah 2,1:1 dan usia rata-

rata 44 tahun. World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan

783 000 pasien di dunia meninggal akibat sirosis hati. Sirosis hati paling

banyak disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis. Di

Indonesia sirosis hati banyak dihubungkan dengan infeksi virus hepatitis B dan

C karena penyalahgunaan alkohol lebih jarang terjadi dibandingkan negara-


negara barat. Sekitar 57%, pasien sirosis hati terinfeksi hepatitis B atau C

(Perz, Armstrong, Farrington, Hutin, & Bell, 2006). South East Asia Regional

Office (SEARO) tahun 2011 melaporkan sekitar 5,6 juta orang di Asia

Tenggara adalah pembawa hepatitis B, sedangkan sekitar 480.000 orang

pembawa hepatitis C (WHO, 2011).

3.3 Etiologi dan Klasifikasi

Sirosis hepatis bisa dapat disebabkan oleh banyak faktor. Penyalahgunaan

alkohol dan infeksi virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering (Starr

& Rainess, 2011).

Tabel 1. Etiologi Umum Sirosis Hepatis (Starr & Rainess, 2011)

Untuk penentuan derajat keparahan dan prognosis pembedahan, maka

klasifikasi derajat keparahan yang sering digunakan adalah klasifikasi Child-

Turcotte-Pugh (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).

Tabel 2. Klasifikasi Sirosis dengan Skor Child-Turcotte-Pugh

Kriteria Klinis dan Nilai*


Biokimia

1 2 3

Bilirubin (mg/dl) < 2,0 2,0-3,0 > 3,0

Albumin (g/dl) > 3,5 2,8-3,5 < 2,8


Ascites - Ringan-Sedang Berat atau refrakter
terhadap diuretik

Ensefalopati - Stadium I/II Stadium III/IV

Waktu Protrombin

Perpanjangan <4 4-6 >6

INR <1,7 1,7-2,3 >2,3

* Sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh, kelas A (5-6 poin) mengindikasikan

penyakit hati least severe, kelas B (7-9 poin) mengindikasikan penyakit hati

moderately severe dan kelas C (10-15 poin) mengindikasikan most severe.

Hanya salah satu. Pemanjangan waktu protrombin atau INR yang digunakan.

3.4 Patogenesis

Infeksi hepatitis viral tipe B atau C menimbulkan peradangan sel hati.

Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas, terjadi kolaps

lobulus hati dan ini memacu timbulnya jarigan parut disertai terbentuknya septa

fibrosa difus dan nodul sel hati. Walaupun etiologinya berbeda, gambaran

histologis sirosis hati sama atau hampir sama (Price & Wilson, 2006)

Patogenesis sirosis menurut penelitian terakhir memperlihatkan adanya

peranan sel stelata (stellate cell) yang berperan dalam keseimbangan matriks
ekstraseluler dan proses degradasi. Jika terpapar faktor tertentu secara terus

menerus (misal hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik) maka sel stelata akan

menjadi sel yang membentuk kolagen dan jika terus berlangsung maka jaringan

hati normal akan diganti oleh jaringan ikat septa bisa dibentuk dari sel retikulum

penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat

menghubungkan daerah porta yang satu dengan yang lainnya atau porta dengan

sentral (bridging necrosis).

Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai

ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan

gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian

dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap

berikutnya terjadi peradangan dari sirosis pada sel duktules, sinusoid

retikuloendotel, terjadi abrogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari

reversibel menjadi ireversibel bila telah tertbentuk septa permanen yang aselular

pada daerah porta dan parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung etiologi

sirosis. Pada sirosis dengan etiologi hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis

daerah portal, pada sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limfosit T

dan makrofag menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator

timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis

aktif. Septa aktif ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.

3.5 Diagnosis
Pasien dengan sirosis biasanya akan tampak gejala dan tandanya baik dari

penyakit sirosis itu sendiri ataupun dari komplikasinya (Starr & Rainess, 2011)

Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas manifestasi klinis pada

pemeriksaan fisik, laboratorium dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan

pemeriksaan biopsi hati (Sjaifoelah, 1996).

Suharyono Soebandiri memformulasikan bahwa 5 dari 7 tanda dibawah

ini sudah dapat menegakkan diagnosa sirosis hati dekompensasi :

1. Asites

2. Splenomegali

3. Perdarahan varises

4. Albumin yang merendah

5. Spider naevi

6. Eritema palmaris

7. Vena kolateral (Sjaifoelah, 1996)

3.6 Manifestasi Klinis

Secara umum, meskipun memiliki banyak etiologi dan pola, namun

hampir semua jenis sirosis memiliki gambaran klinis yang sama. Masa ketika

sirosis bermanifestasi sebagai masalah klinis hanya sepenggal waktu dari


perjalanan klinis selengkapnya. Sirosis bersifat laten selama bertahun-tahun dan

perubahan patologis yang terjadi berkembang lambat hingga akhirnya gejala yang

timbul menyadarkan akan kondisi ini dan dalam waktu yang sama terjadi

kemunduran fungsi hati secara bertahap (Price & Wilson, 2006).

Fase Kompensasi Sempurna

Pada fase ini pasien tidak mengeluh sama sekali atau bisa juga keluhan

samar-samar tidak khas seperti pasien merasa tidak sehat, merasa kurang

kemampuan kerja, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual,

kadang mencret atau konstipasi, berat badan menurun, kelemahan otot dan

perasaan cepat lelah akibat deplesi protein (Price & Wilson, 2006). Keluhan

dan gejala tersebut tidak banyak bedanya dengan pasien hepatitis kronik aktif

tanpa sirosis hati dan tergantung pada luasnya kerusakan parenkim hati

(Sjaifoelah, 1996).

Fase Dekompensasi

Manifestasi klinis pasien sirosis pada fase dekompensasi secara garis besar

dibagi menjadi 2 yaitu (Price & Wilson, 2006) :

1. Manifestasi Gagal Hepatoseluler

Ikterus terjadi pada 60 % penderita selama perjalanan penyakitnya

dan biasanya hanya minimal. Hiperbilirubinemia tanpa ikterus lebih

sering terjadi. Penderita dapat menjadi ikterus selama fase


dekompensasi disertai gangguan reversibel fungsi hati. Gangguan

endokrin sering terjadi pada sirosis. Hormon korteks adrenal, testis,

dan ovarium dimetabolisme dan diinaktifkan oleh hati. Gangguan

pada hati juga akan mengganggu proses metabolime dan inaktivasi

dari hormon-hormon tersebut. Spider nevy yang terdiri dari arteriola

sentral tempat memanvarnya banyak pembuluh darah halus akan

terlihat pada kulit terutama di bagian leher, dada, dan bahu. Spider

nevy, atrofi testis, ginekomastia, alopesia pada dada dan aksila, serta

eritema palmaris diduga disebabkan oleh kelebihan estrogen dalam

sirkulasi. Peningkatan pigmentasi kulit juga diduga disebabkan oleh

aktivitas hormon perangsang melanosit (Melanocyt-stimulating

Hormone) yang bekerja secara berlebihan. Gangguan hematologik

yang sering terjadi pada sirosis adalah kecenderungan perdarahan,

anemia, leukopenia dan trombositopenia. Penderita sering mengalami

perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat, dan mudah memar. Masa

protrombin dapat memanjang. Manifestasi ini dapat terjadi akibat

berkurangnya pembentukan faktor-faktor pembekuan oleh hati.

Anemia, leukopenia, dan trombositopenia diduga disebabkan oleh

hipersplenisme. Limpa tidak hanya membesar, tetapi juga lebih aktif

menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi. Mekanisme lain yang juga

menyebabkan anemia adalah defisiensi besi, asam folat, dan vitamin

B 12 yang terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan peningkatan

hemolisis eritrosit. Penderita juga akan lebih mudah terserang infeksi.


Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites dan dapat

dijelaskan akibat hipoalbuminemia serta retensi garam dan air.

Kegagalan hati untuk inaktivasi aldosteron dan hormone anti diuretik

merupakan penyebab retensi natrium dan air. Fetor hepatikum

merupakan bau apek manis yang terdeteksi dari napas penderita dan

diyakini terjadi akibat ketidakmampuan hati dalam memetabolisme

metionin. Gangguan neurologis yang paling serius pada sirosis lanjut

adalah ensefalopati hepatikum yang diyakini akibat kelainan

metabolisme ammonia dan peningkatan kepekaan otak terhadap

toksin.

2. Manifestasi Hipertensi Portal

Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan vena

porta yang menetap di atas nilai normal (6-12 cm H2O). Tanpa

memandang penyakit dasarnya, mekanisme primer penyebab

hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah

melalui hati. Selain itu biasanya terjadi peningkatan aliran arteria

splanknikus. Kombinasi kedua faktor yaitu menurunnya aliran keluar

melalui vena hepatica dan meningkatnya aliran masuk bersama-sama

menghasilkan beban berlebihan pada sistem portal. Pembebanan yang

berlebihan sistem portal ini merangsang timbulnya aliran kolateral

guna menghindari obstruksi hepatik (varises). Tekanan balik pada

sistem portal mengakibatkan splenomegali dan sebagian bertanggung


jawab terhadap tertimbunnya asites. Asites merupakan penimbunan

cairan encer intraperitoneal yang mengandung sedikit protein. Faktor

utama patogenesis asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada

kapiler usus (Hipertensi Portal) dan penurunan tekanan osmotik

koloid akibat hipoalbuminemia. Faktor lain yang berperan adalah

retensi natrium dan air serta peningkatan sintesis dan aliran limfe hati.

Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi

portal terdapat pada esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui

melalui saluran ini ke vena kava menyebabkan dilatasi venaa-vena ini

(Varises Oesofagus) varises ini terjadi sekitar 70% pada pasien

dengan sirosis lanjut. Perdarahan pada varises ini sering menyebabkan

kematian. Sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superficial dinding

abdomen dan timbulnya sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena-

vena skitar umbilicus (Caput Medusae). Sistem vena rectal membantu

dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena berdilatasi dan

dapat menyebabkan berkembangnya hemorrhoid interna, perdarahan

pada hemorhhoid yang pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan di

daerah ini tidak setinggi tekanan pada esophagus karena jarak yang

lebih jauh dari vena porta. Splenomegali pada sirosis dapat dijelaskan

berdasarkan kongestif pasif kronis akibat aliran balik dan tekanan

darah yang lebih tinggi pada vena lienalis.


3.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

1. Darah

Bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom

mikrositer atau makrositer. Anemia bisa, akibat hipersplenisme dengan

leukopenia dan trombositopenia.

a) Kenaikan enzim transaminase / SGOT, SGPT tidak merupakan petunjuk

tentang berat dan luasnya kerusakan parenkhim hati. Kenaikan kadarnya

didalam serum timbul akibat kebocoran dari sel yang mengalami

kerusakan. Peninggian kadar gama GT sama dengan transaminase, ini

lebih sensitif tetapi kurang spesifik. Pemeriksaan bilirubin, transaminase

dan gama GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.

b) Albumin. Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin

merupakan tanda kurangnya daya hati dalam menghadapi stress.

c) Pemeriksaan CHE. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun.

d) Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan

pembatasan garam dalam diet.


e) Pemanjangan masa protombin merupakan petunjuk adanya penurunan

fungsi hati. Pemberian vit. K parenteral dapat memperbaiki masa

protrombin.

f) Peninggian kadar gula darah pada sirosis hati fase lanjut disebabkan

kurangnya kemampuan sel hati membentuk glikogen.

g) Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HBS Ag/ HBS Ab,

HbeAg/ HbeAb, HBV DNA, HCV RNA.

Pada pemeriksaan darah, saat ini dapat ditentukan apakah pada pasien

mengalami sirosis atau tidak dengan menghitung dengan rumus P2/MS yakni

ratio jumlah platelet dan fraksi monosit serta fraksi segmentasi neutrofil.

9 2
Jumlah Platelet(10 / L)
P2/MS=
Fraksi monosit ( ) x Segmented Neutrofil Fraction()

Keterangan.
Untuk indikator sirosis hepatis bila nilai P2/MS < 45.0 maka berarti ada

sirosis hepatis, bila nilai > 60.0 berarti tidak ada sirosis hepatis. Untuk

indikator fibrosis yang signifikan, bila nilai P2/MS <62.0 berarti ada fibrosis

signifikan, namun bila nilai > 115.0 berarti tidak ada fibrosis signifikan

(Gentile & Thabut, 2012).

2. Pemeriksaan AFP
Pemeriksaan AFP penting dalam menentukan apakah telah terjadi

transformasi kearah keganasan. Nilai AFP > 500 1000 mempunyai nilai

diagnostik suatu kanker hati primer.

3. Pemeriksaan penunjang lainnya.

EGD, USG, CT-Scan, ERCP, Angiografi.

3.8 Penatalaksanaan

Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :2,3,4,8,9,10

1 Simptomatis

2 Supportif, yaitu :

a Istirahat yang cukup

b Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang misalnya : cukup kalori,

protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin


c Pengobatan berdasarkan etiologi

Pada sirosis hati akibat infeksi virus hepatitis B dapat dicoba dengan

interferon alfa dan lamivudin.

Pada sirosis alkoholik, maka pengobatan utama adalah menghentikan

secara total konsumsi alkohol oleh pasien.

Pada hepatitis autoimun dapat diberikan steroid atau imunosupresif

Pada sirosis akibat hepatitis C kronik maka kombinasi interferon dan

ribavirin merupakan terapi standar.

d Pengobatan fibrosis hati

Pengobatan antifibrotik sampai saat ini lebih mengarah pada peradangan

dan tidak terjadap fibrosis.

3 Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi

komplikasi seperti:

a. Asites

Dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :

istirahat
diet rendah garam: untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan

diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal

maka penderita harus dirawat.

Diuretik

Pemberian diuretik hanya bagi penderita yang telah menjalani diet

rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya

kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat

pemberian diuretik adalah hipokalemia (khususnya penggunaan

furosemid) dan hal ini dapat mencetuskan ensefalopati hepatik, maka

pilihan utama diuretik adalah spironolakton, dan dimulai dengan dosis

rendah 100-200mg, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4

hari, apabila dengan dosis maksimal diuresisnya belum tercapai maka

dapat kita kombinasikan dengan furosemid 20-40mg/hari (dengan

pengawasan terhadap kadar kalium darah). Respon diuretik bisa

dimonitor dengan penurunan BB + 0,5kg/hari tanpa edema kaki atau +

1kg/hari dengan edema kaki

Parasintesis

Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan

konservatif. Pada keadaan demikian pilihan kita adalah parasintesis.

Parasintesis dilakukan bila asites sangat besar. Mengenai parasintesis

cairan asites dapat dilakukan 4-6 liter/hari, dengan catatan harus


dilakukan infus albumin sebanyak 6-8 gr/l cairan asites yang

dikeluarkan. Ternyata parasintesis dapat menurunkan masa opname

pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada Childs C, Protrombin <

40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3,

creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.

b Peritonitis bakterial spontan

Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan, atau setelah tindakan

parasintese. Tipe yang spontan terjadi 80% pada penderita sirosis hati

dengan asites, sekitar 20% kasus. Keadaan ini lebih sering terjadi pada

sirosis hati stadium kompesata yang berat. Pada kebanyakan kasus

penyakit ini timbul selama masa rawatan.

c Hepatorenal syndrome

Kasus ini merupakan kasus emergensi sehingga penentuan etiologi sering

dinomorduakan, namun yang paling penting adalah penanganannya lebih

dulu. Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan resusitasi sampai

keadaan pasien stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan :

Pasien diistirahatkan dan dipuasakan

Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi


Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali

kegunaannya yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es,

pemberian obat-obatan, evaluasi darah

Pemberian obat-obatan berupa antasida, ARH2, Antifibrinolitik,

Vitamin K, Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin

Disamping itu diperlukan tindakan-tindakan lain dalam rangka

menghentikan perdarahan misalnya Pemasangan Ballon Tamponade

dan Tindakan Skleroterapi / Ligasi atau Oesophageal Transection.

d Ensefalophaty hepatic

Suatu syndrome Neuropsikiatri yang didapatkan pada penderita penyakit

hati menahun, mulai dari gangguan ritme tidur, perubahan kepribadian,

gelisah sampai ke pre koma dan koma.Pada umumnya enselopati Hepatik

pada sirosis hati disebabkan adanya factor pencetus, antara lain: infeksi,

perdarahan gastro intestinal, obat-obat yang Hepatotoxic.

e Perdarahan gastrointestinal

Penyebab dari perdarahan gastrointestinal yang paling sering pada pasien

sirosis adalah perdarahan dari varises esofagus yang merupakan

manifestasi dari hipertensi portal dan penyebab dari sepertiga kematian.

Pengobatan yang dilakukan pada keadaan akut adalah tamponade dengan

alat pipa Sengstaken-Blakemore dan Minessota. Selanjutnya dapat


dilakukan tindakan ligasi endoskopi. Sedangkan untuk pencegahan dan

penatalaksanaan setelah perdarahan dapat diberikan preparat propanolol

untuk menurunkun hipertensi portal.

Penatalaksanan terhadap sirosis dan komplikasinya yang dilakukan pada

pasien ini antara lain:

1 Istirahat

2 Diet rendah garam, merupakan terapi lini pertama pada asites yang ringan

atau sedang

3 Diuretik, untuk membantu mempercepat diuresis maka diberikan preparat

diuretik. Pada tahap pertama hanya diberikan spironolakton, lalu dilanjutkan

dengan penambahan furosemid untuk meningkatkan laju diuresis. Pada

pasien ini, respon diuretik sepertinya cukup baik karena selama + 5 hari

perawatan, didapat penurunan BB + 7kg atau rata-rata 1,4kg/hari.

4 Preparat propanolol diberikan pada pasien ini untuk menurunkan hipertensi

portal dan mencegah terulangnya perdarahan gastrointestinal

5 Untuk mencegah ensefalopati hepatik, maka diberikan preparat laktulak

(laktulosa) karena dapat membantu mengeluarkan amonia dari tubuh pasien.

Selain itu juga diberikan Kanamisin untuk membunuh bakteri-bakteri yang

menghasilkan amonia di dalam usus.


3.9 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin dialami oleh penderita sirosis adalah :

Kegagalan hati

Hipertensi portal

Varises Esofagus

Asites

Ensefalopati

Peritonitis bacterial spontan.

Sindrom hepatorenal.

Transformasi kearah kanker hati primer.

3.10 Prognosis

Prognosis tidak baik bila

Ikterus yang menetap atau bilirubin darah > 1,5 mg%


Asites refrakter atau memerlukan diuretik dosis besar

Kadar albumin rendah (< 2,5 gr%)

Kesadaran menurun tanpa faktor pencetus

Hati mengecil

Perdarahan akibat varises esofagus

Komplikasi neurologis

Kadar protrombin rendah

Kadar natrium darah rendah (< 120 meq/i), tekanan sistole < 100 mmHg
BAB IV

PEMBAHASAN DAN ANALISIS KASUS

Pasien atas nama Tn. MH dengan usia 53 tahun, dibawa keluarga ke rumah

sakit karena dirumah mengalami muntah darah. Pasien mengeluh lemah, tidak

mau makan. Pasien merasa tidak nyaman di perut dan perut juga terasa tegang.

Pasien juga mengalami BAB hitam dan cair sejak 1 hari sebelum masuk RS.

Sebelumnya pasien di diagnosa menderita hepatitis B, sirosis hepatis dan varises

esofagus post ligasi. Hasil gastroskopi menunjukkan varises esofagus Grade II-III,
terdapat Red Color Sign, Gastropathy Congestive e.c Portal hypertension.

Kemudian dilakukan ligasi via endoskopi kembali.

4.1 Anamnesa

Kasus Teori

Wanita Angka kejadian di Indonesia


menunjukkan pria lebih banyak menderita
Usia 78 tahun
sirosis dari wanita (2-4: 1), terbanyak
didapat pada usia dekade kelima
Perut terasa penuh dan semakin
(Sjaifoelah, 1996).
membesar

Sirosis hepatis bisa dapat


Nyeri Ulu Hati
disebabkan oleh banyak faktor.
Sulit berjalan karena bengkak pada Penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus
kedua kaki hepatitis merupakan penyebab yang paling
sering (Starr & Rainess, 2011)
Riwayat BAB hitam
Keluhan hepatitis akut ataupun
Riwayat demam kronis berupa keluhan yang samar-samar
tidak khas seperti pasien merasa tidak
Riwayat Penggunaan Obat anti nyeri
sehat, merasa kurang kemampuan kerja,

Tidak mau makan selera makan berkurang, perasaan perut


kembung, mual, kadang mencret atau
Badan terasa lemas konstipasi, berat badan menurun,
kelemahan otot dan perasaan cepat lelah
Nyeri Perut dan terasa panas
(Price & Wilson, 2006).

Edema perifer umumnya terjadi


setelah timbulnya asites dan dapat
dijelaskan akibat hipoalbuminemia serta
retensi garam dan air (Price & Wilson,
2006).

4.2 gfhtdd

Pasien dengan sirosis dapat datang ke dokter dengan sedikit keluhan, dapat

tanpa keluhan sama sekali, atau dengan keluhan penyakit lain. Beberapa keluhan

dan gejala yang sering timbul pada sirosis antara lain adalah 1,4,5 : kulit berwarna

kuning, rasa mudah lelah, nafsu makan menurun, gatal, mual, penurunan berat

badan, nyeri perut dan mudah berdarah.

Pasien sirosis juga dapat mengalami keluhan dan gejala akibat komplikasi

dari sirosis hatinya. Pada beberapa pasien, komplikasi ini dapat menjadi keluhan

yang membawanya pergi ke dokter. Pasien sirosis dapat tetap berjalan kompensata

selama bertahun-tahun, sebelum berubah menjadi dekompensata. Sirosis

dekompensata dapat dikenal dari timbulnya bermacam komplikasi seperti ikterus,

perdarahan varises, asites, atau ensefalopati.

Kriteria usia dan jenis kelamin pasien ini sesuai dengan data epidemiologi

yakni pasien sirosis banyak pada laki-laki pada usia dekade 50 tahun. Ditambah

lagi pasien memang sudah menderita hepatitis B dan sudah dilakukan USG

dengan interpretasi sirosis dan splenomegali. Dari anmnesis pasien menderita

komplikasi varises esofagus dan sudah dilakukan ligasi kemudian datang dengan

keluhan muntah darah. Kemungkinan pada pasien ini terjadi perdarahaan berulang
pada varises esofagus ini. Hal ini dikuatkan dengan riwayat BAB hitam (Melena)

yang menunjukkan terjadi perdarahan pada saluran cerna bagian atas. Dari

beberapa penelitian, pada pasien varises esofagus yang dilakukan varises

esofagus, 20-43 % masih memungkinkan terjadi perdarahan berulang. Keluhan

awal pasien berupa lemas, tidak mau makan sesuai dengan gejala pada pasien

penderita hepatitis kronis berupa keluhan yang samar-samar tidak khas seperti

pasien merasa tidak sehat, merasa kurang kemampuan kerja, selera makan

berkurang, perasaan perut kembung, mual, kadang mencret atau konstipasi, berat

badan menurun, kelemahan otot dan perasaan cepat lelah. Pasien sulit berjalan

karena kaki yang bengkak dikarenakan ada penumpukan cairan akibat

hipoalbuminemia yang sering dijumpai pada pasien sirosis. Pasien juga

mengeluhkan sering nyeri perut dan terasa panas. Hal ini mungkin disebabkan

refluks gastroesofageal yang angka insedensinya meningkat pada pasien sirosis.

Refluks ini juga bisa menjadi pemicu terjadinya ruptur pada varises esophagus

karena kontak asam yang lama dan motilitas esophagus yang menurun. Pada

pasien juga tidak diketahui riwayat kepatuhan minum obat. Padahal seharusnya

kepatuhan minum obat untuk menurunkan tekanan hipertensi porta menjadi

perhatian utama, karena banyak perdarahan berulaang pada VE terjadi akibat

ketidakpatuhan minum obat. Selain itu, pasien juga bekerja dan berativitas disaat

harusnya beristirahat total. Hal ini juga dapat memicu terjadinya ruptur pada

varises esofagusnya meskipun sudah dilakukan ligasi.


4.2 Pemeriksaan Fisik

Kasus Teori

KU lemah Pasien merasa tidak sehat, merasa kurang

kemampuan kerja, selera makan berkurang,


TD 100/60 mmHg
perasaan perut kembung, mual, kadang mencret

Konjungtiva tampak anemis atau konstipasi, berat badan menurun, kelemahan

otot dan perasaan cepat lelah akibat deplesi protein


Pembesaran limpa
(Price & Wilson, 2006)

Edema pada kedua ekstremitas


Pada pasien dengan perdarahan varises
inferior
esophagus rentan terjadi syok hipovolemik yang

diawali dengn penurunan tekanan darah


Hypertimpani pada perkusi

abdomen
Anemia, leukopenia, dan trombositopenia

diduga disebabkan oleh hipersplenisme. Limpa

tidak hanya membesar, tetapi juga lebih aktif

menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi.

Mekanisme lain yang juga menyebabkan anemia

adalah defisiensi besi, asam folat, dan vitamin B 12

yang terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan

peningkatan hemolisis eritrosit (Price & Wilson,

2006)

Edema perifer umumnya terjadi setelah

timbulnya asites dan dapat dijelaskan akibat


hipoalbuminemia serta retensi garam dan air (Price

& Wilson, 2006)

Pada pemeriksaan fisik pasien ini tidak ditemukan stigmata dari sirosis

hepatis seperti asites, spider nevi, eritema palmaris dan lain-lain. Yang ditemukan

hanya edema perifer pada kedua ekstremitas inferior. Ini mungkin merupakan

akibat hipoalbuminemia yang lazim terjadi pada pasien dengan sirosis hati.

Tekanan darah pasien juga terhitung rendah yakni 100/60 mmHg yang

menunjukkan bahwa ada masalah pada sistem kardiovaskuler. Karena jantung dan

pembuluh darah pada pemeriksaan fisik masih dalam batas normal, kemungkinan

penurunan tekanan darah diakibatkan kekurangan volume yang mungkin

disebabkan oleh perdarahan pada varises esofagus. Konjungtiva anemis

menunjukkan pada pasien kekurangan sel darah merah. Kekurangan ini dapat

diduga disebabkan oleh hipersplenisme. Limpa tidak hanya membesar, tetapi juga

lebih aktif menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi. Mekanisme lain yang juga

menyebabkan anemia adalah defisiensi besi, asam folat, dan vitamin B 12 yang

terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan peningkatan hemolisis eritrosit

(Price & Wilson, 2006). Splenomegali diakibatkan oleh tekanan balik pada sistem

portal. Tekanan balik ini muncul akibat pembebanan yang berlebihan sistem portal

yang kemudian merangsang timbulnya aliran kolateral guna menghindari

obstruksi hepatic. Pendapat lain yang hampir sama menjelaskan splenomegali

pada sirosis dapat dijelaskan berdasarkan kongestif pasif kronis akibat aliran balik

dan tekanan darah yang lebih tinggi pada vena lienalis.


4.3 Pemeriksaan Penunjang

Kasus Teori

Laboratorium Pansitopenia merupakan efek dari pembesaran

dan peningkatan kerja dari limpa


Darah Lengkap

Pasien dengan sirosis hepatis rentan terkena


Leukosit = 3.200-18.000
infeksi

Hb = 4,9 - 9,4
Sirosis hepatis membuat fungsi hati untuk
Ht = 15,2 - 28,5 membentuk faktor-faktor pembekuan terganggu.

Akibatknya fungsi pembekuan darah juga


Trombosit = 38.000 - 139.000
terganggu.
Faal hati
Pada pasien yang sudah masuk ke dalam tahap
SGOT = 46 (P < 25 / W<31)
sirosis pemeriksaan fungsi liver hanya akan

meningkat sedikit atau bahkan mungkin normal


SGPT = 18 (P< 41 / W<32)

Hipoalbuminemia rentan terjadi pada pasien


Bil total = 0,4 (0-1,0)
dengan sirosis karena fungsi hari untuk
Bil direct = 0,3 (0-0,25)
membentuk albumin terganggu

Bil indirect = 0,1 (0-0,75)


Pada pasien sirosis, ukuran hati biasanya akan

Protein total = 5,7 mengecil dan ukuran limpa akan membesar akibat
Albumin = 2,7 tekanan balik untuk menghindari obstruksi pada

pembuluh darah di dalam hepar.


Globulin = 3,0

Varises terjadi pada hampir 50% pasien dengan


Faal ginjal
sirosis hati (Garcia-Tsao, Sanyal, Grace, & Carey,

Ur = 82,1 2007). Indikator peningkatan faktor resiko

terjadinya perdarahan pada varises esophagus


Cr = 1,4
adalah skor Child-Pugh, perhitungan platelet,

Elektrolit tekanan vena porta, dan muncul atau tidaknya

hepatocellular carcinoma, splenomegali dan atau


Na = 136
ascites. Skor Child-Pugh menunjukkan keparahan

K = 4,8 dari penyakit liver dan telah dilaporkan dapat

menjadi penanda yang andal. Tekanan dan aliran


Cl = 107
dari vena porta dan vena hepatica juga terbukti

Pemeriksaan Serologi secara signifikan menjadi prediktor dari

perdarahan varises esophagus. Sebagai faktor


HbsAg (+)
local, keberadaan Red Color Sign (RCS)

USG merupakan prediktor penting dari perdarahaan

varises esophagus dan juga sudah diketahui


Ada SOL besar pada RLL Posterior,
bahwa perdarahan varises berasal dari rupture
ukuran 9,1x9,8 cm dan 3,6x4,5 cm.
pada RCS ini. Karena itu endoskopi untuk
Ukuran dan sudut agak besar,
melihat keberadaan RCS menjadi penting untuk
echostruktur agak meninggi di medial.
dilakukan (Okamoto, et al., 2008).
Permukaan, bilier dan vaskular
normal.

Spleen besar, ukuran 11,7x16,9 cm,

echostruktur normal, splenic vein

normal. Gall bladder, pankreas, kedua

ginjal, urinary bladder, prostat, dan

caecum tidak tampak kelainan. Tidak

ada asites intra abdomen dan pelvis.

Banyak udara dalam GIT.

EGD

Varises Esofagus stage III, RCS (+),

Gaster: Snake like Appereance,

gastropathy.

Kesan : Gastropathy congestive +

Varises esofagus Grade III

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan pansitopenia yang terjadi sebagai

efek dari pembesaran limpa yang diikuti peningkatan destruksi sel darah.
Pemeriksaan fungsi hati (SGOT dan SGPT) tidak meningkat signifikan yang biasa

dijumpai pada pasien-pasien hepatitis kronik dan sirosis hepatis. Pemeriksaan

albumin juga menunjukkan angka penurunan yang diakibatkan penurunan

produksi albumin akibat fungsi hepar terganggu. Akibatnya tekanan osmotik

koloid di pembuluh darah menurun yang kemudian menyebabkan edema perifer

ataupun asites. Pemeriksaan dengan USG menunjukkan bahwa memang pada

pasien ini terdapat sirosis hepatis dan splenomegali. Splenomegali terjadi akibat

peningkatan tekanan balik pada hipertensi porta ke vena lienalis. Pada

pemeriksaan EGD, didapatkan varises esofagus grade II-III ditambah dengan

ditemukan Red Color Sign. Ini menunjukkan varises esofagus yang sudah lanjut

dan butuh tindakan intervensi via endoskopi yakni ligasi. Red Color Sign juga

menunjukkan bahwa pada pasein ini sangat rentan terjadi ruptur dan perdarahan

varises esofagus.

4.4 Diagnosis

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan

kesimpulan diagnosis bahwa pada pasien ini menderita sirosis hepatis akibat

infeksi virus Hepatitis B. Sirosis ini juga disertai dengan komplikasi perdarahan

varises esofagus berulang setelah diligasi, sehingga perlu dilakukan ligasi untuk

yang kedua kalinya.


4.5 Terapi
Kasus Teori

IVFD RL 14 tpm Profilaksis Sekunder

Sucralfat Syr 3xCI Propanolol mulai 20 mg per oral 2x/hari

ditingkatkan sampai dosis maksimal yang dapat


Omeprazole 1x1 tab,
ditoleransi atau sampai frekuensi nadi 55 x/menit

Ciprofoxacin tab 2x500mg


Isosorbid Mononitrat 10 mg per oral setiap malam

Kalnex inj 2x1 gr, dengan peningkatan bertahap hingga maksimun

20 mg 2x/hari. Ditingkatkan sampai dosis


Vit K Inj 3x1 amp,
maksimal yang dapat ditoleransi dengan tekanan

Paracetamol 3x500mg (K/P) darah 95 mmHg

Lactulac Syr 3xCI Ligasi Varises Endoskopi setiap 2-4 minggu

Sampai varises terobliterasi. Surveillans


Propanolol 3x10 mg
endoskopi pertama 1-3 bulan, setelah obliterasi,

Spironolakton 100 mg 1-1-0 lalu setiap 6-12 bulan

Ligasi 5 Titik Varises esofagus, Bila dengan Ligasi Gagal, maka digunakan terapi

jalankan protap post ligasi, kombinasi Ligasi + Penghambat Non Seletif

Albumin 20% (Evaluasi 3 minggu ISMN

post ligasi)
Bila dengan terapi ini juga gagal, maka

dipertimbangkan untuk terapi dengan TIPS,

Operasi Shunt atau transplantasi Hati


Terapi tambahan proton pump inhibitor dapat

menurunkan angka rupture varises esophagus

dengan jumlah yang signifikan

Pada pasien ini fokus pada profilaksis sekunder, karena sudah pernah

mendapatkan penanganan awal berupa ligasi varises sebelumnya, tetapi kemudian

ruptur dan terjadi perdarahan lagi. Tujuan terapi pada pasien ini adalah

pencegahan perdarahan berulang dan meminimalisir faktor-faktor yaang dapat

memicu terjadinya perdarahan. Pada Konsensus Baveno V merekomendasikan hal

yang sama dengan panduan dari American Association for the Study of Liver
Diseases dan American College of Gastroenterology bahwa terapi kombinasi

penghambat nonselektif dan ligasi varises menjadi pilihan terbaik. Namun

sebagai tambahan, Baveno V juga merekomendasikan penambahan ISMN pada

penghambat nonselektif terutama pada pasien yang menolak atau tidak dapat

dilakukan ligasi. Tetapi jika pasien mempunyai kontraindikasi penghambat

nonselektif, ligasi dapat menjadi pilihan utama. (Franchis & Faculty, 2010)

Penggunaan Asam Tranexamat (KALNEX) dan Vitamin K adalah untuk

meminimalisir dan mencegah terjadinya perdarahan. Paracetamol diberikan

sebagai obat simptomatis jika pasien mengalami peningkatan suhu tubuh, baik

karena infeksi ataupun sebab yang lain. Penggunaan antibiotik Ciprofloxacin

adalah sebagai terapi kausatif infeksi karena pasien dengan sirosis hepatis apalagi

ditambah dengan perdarahan varises sangat rentan terkena infeksi. Hal ini terbukti

jumlah leukosit pasien yang pernah mencapai angka 18.000. Lactulac merupakan

agen laksatif yang diberikan agar pasien tidak mengejan saat defekasi. Bila pasien

mengejan, dikhawatitkan akan memicu rupturnya pembuluh darah.

4.6 Prognosis

Kasus Teori
Vitam = dubia ad malam Prognosis tidak baik bila

Functionam = dubia ad malam Ikterus yang menetap atau

bilirubin darah > 1,5 mg%


Pada pasien terjadi perdarahan berulang

padahal sudah dilakukan tindakan ligasi Asites refrakter atau memerlukan

varises. diuretik dosis besar

Ditemukan RCS (+) pada EGD post ligasi. Kadar albumin rendah (< 2,5 gr

%)

Kesadaran menurun tanpa faktor

pencetus

Hati mengecil

Perdarahan akibat varises

esofagus

Komplikasi neurologis

Kadar protrombin rendah

Kadar natrium darah rendah (<

120 meq/i), tekanan systole <

100 mmHg
Prediksi perdarahan berulang

Red Color Sign (RCS)

merupakan prediktor penting dari

perdarahaan varises esophagus

DAFTAR PUSTAKA

1. Friedman SL: Hepatic Fibrosis, In: Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC, eds.
Schiffs Diseases of the Liver. 9th ed. Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven;
2003:409-28

2. Garcia-Tsao D and . Wongcharatrawee S. (VA Hepatitis C resource center


Program). Treatment of patients With Cirrhosis and Portal Hypertension
Literature Review and Summary of Recommended Interventions. Version
1 (October 2003). Available from URL: www.va.gov/hepatitisc

3. Wolf DC. Cirrhosis.eMedicine Specialities. 11 September 2009. Available


from URL: http://www.emedicine.com/med/topic3183.htm

4. Lee D. Cirrhosis of the Live. MedicineNet.com, 11 September 2009.


Available from URL: http://www.medicinenet.com/cirrhosis/article.htm
5. Hernomo K. Pengelolaan perdarahan massif varises esophagus pada sirosis
hati. Thesis. Airlangga University Press, Surabaya,1983.

6. Lorraine MW. Sirosis Hati. Dalam: Sylvia AP, Lorraine MW. Sirosis. Edisi
keenam, Volume I. EGC, Jakarta: 2005;1:493-501.

7. Guadalupe Garsia-Tsao et al. Prevention and Management of


Gastroesophagal Varices and Variceal Hemorrhage in Cirrhosis. American
Journal of Gastroenterology. United States of America. 2007.

8. Pere Gines et al. Management of Cirrhosis and Ascites. The New England
Journal of Medicine. Massachusetts Medical Society. 2004;350:1646-54.

10. Nurdjanah, Siti. Sirosis Hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Jilid II Edisi VI. Jakarta: FK UI. 2014;1978-1983

Alatsakis, M., Ballas, K., Pavlidis, T., Psarras, K., Rafailidis, S.,
Tzioufa-Asimakopoulou, V., et al. (2009). Early Propanolol
Administration Does Not Prevent development of
Esophageal Varices in Cirrhotic Rats. European Surgical
Research , 11-16.

Bosch, J., & Garcia-Pagan, J. (2003). Prevention of Variceal Rebleeding. Lancet


952-954.
Cheng, L., Wang, Z., Li, C., Cai, F., Huang, Q., & Linghu, E. (2007). Treatment
of gastric varices by endoscopic schlerotherapy using butyl cyanoacrylate:
10 years experience of 645 cases. China Medical Journal , 2081-2085.

Cheung, J., Wong, W., Zandieh, I., Leung, Y., Lee, S., & Ramji, A. (2006). Acute
management and secondary prophylaxis of esophageal variceal bleeding: A
western Canadian survey. Can J Gastroenterol , 531-534.

Cipoletta, L., Zambelli, A., Bianco, M., De Grazia, F., Meucci, C., & Lupinacci,
G. (2009). Acrylate glue injection for acutely bleeding oesophageal varices:
a prospective cohort study. Dig Liver Dis , 1729-1734.

Cheney CP, Goldberg EM and Chopra S. Cirrhosis and portal hypertension: an


overview. In: Friedman LS and Keeffe EB, eds. Handbook of Liver
Disease. 2nd ed. China, Pa: Churchill Livingstone; 2004:125-138

Dib, N., Oberti, F., & Cales, P. (2006). Current Management of The
Complications of Portal Hypeertension: Variceal Bleeding and Ascites.
CMAJ , 1433-1443.

Escorsell, A., Banares, R., Garcia-Pagan, J., Gilabert, R., Moitinho, E., &
Piqueras, B. (2002). TIPS versus drug therapy in preventing variceal
rebleeding in advanced cirrhosis: a randomizad controlled trial. Hepatology
, 385-392.

Franchis, R., & Faculty, T. B. (2010). Revising consensus in portal hypertensio:


Report of the Baveno V consensus workshop on methodology of diagnosis
and therapy in portal hypertension. Hepatology , 762-768.

Garcia-Pagan, J., Villanueva, C., Albillos, A., Banares, R., Morillas, R., &
Abraldes, J. (2009). Nadolol plus isosorbide mononitrate alone or
associated with band ligation in the prevention of recurrent bleeding: a
multicentre randomised controlled trial. Gut , 1144-1150.

Garcia-Tsao, G., & Bosch, J. (2010). Management of Varices and Variceal


Hemorrhage in Cirrhosis. N Engl J Med , 823-832.

Garcia-Tsao, G., Sanyal, A., Grace, N., & Carey, W. (2007). Prevention and
Mahagement of Gastroesophageal Varices and Variceal Hemorrhage in
Cirrhosis. Hepatology , 922-938.

Gentile, I., & Thabut, D. (2012). Noninvasive prediction of oesophageal varices :


as simple as blood count ? Liver International , 1091-1093.

Gonzales, R., Zamora, J., Gomez-Camarero, J., Molinero, L., Banares, R., &
Albillos, A. (2008). Meta-analysis: combination endoscopic and drug. Ann
Intern Med , 109-122.

Hidayat, S., Djojoningrat, D., Akbar, N., & Sabarinah. (2004). Risk Factors for
Recurrent Upper Gastrointestinal Tract Bleeding After Esophageal Varices
Ligation on Patients with Liver Cirrhosis. The Indonesian Journal of
Gastroenterohepatology Hepatology and Digestive Endoscopy , 79-88.

Kusumobroto, H., Adi, P., & Setiawan, P. (2007). Panduan Penatalaksanaan


Perdarahan Varises Pada Sirosis Hati. Surabaya: Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia.

Lee, J., Yoon, J., Myung, S., Keam, B., Kim, B., Chung, G., et al. (2008).
Complete Blood Count Reflects The Degree Of Oesophageal Varices and
Liver Fibrosis in Virus Related Chronic Liver Disease Patient. Journal Of
Viral Hepatitis , 444-452.

Lee, S., Lee, T., & Chang, C. (2009). Independent Factors Associated With
Recurrent Bleeding in Cirrhotic Patients With Esophageal Variceal
Hemorrhage. Dig Dis Sci , 1128-1134.
Lo, G. (2006). Prevention of Esophageal Variceal Rebleeding. J Chin Med
Assoc , 553-560.

Lo, G., Chen, W., Wang, H., Lin, C., Chan, H., & Tsai, W. (2009). Low-dose
terlipressin plus banding ligation versus low-dose terlipressin alone in the
prevention of very early rebleeding of oesophageal varices. Gut , 1275-
1280.

Nidegger, D., Ragot, S., Berthelemy, P., Masliah, C., Pilette, C., & Martin, T.
(2003). Cirhhosis and Bleeding: The Need for Very Early Management.
Journal of Hepatology , 509-514.

Okamoto, E., Amano, Y., Fukuhara, H., Furuta, K., Miyake, T., Sato, S., et al.
(2008). Does Gastroesophageal Reflux Have an Influence on Bleeding from
Esophageal Varices? Journal of Gastroenterology , 803-808.

Perz, J., Armstrong, G., Farrington, L., Hutin, Y., & Bell, B. (2006). The
Contributions of Hepatitis B Virus dan Hepatitis C Virus in Infections to
Cirrhosis and Primary Liver Cancer Worlwide. Hepatology , 529-538.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Salerno, F., & Cazzaniga, M. (2009). Prevention of early variceal rebleeding


adding banding to terlipressin therapy. Gut , 1182-1183.

Starr, P., & Rainess, D. (2011). Cirrhosis: Diagnosis, Management and


Prevention. American Family Physician , 1353-1359.

Sulaiman, H., Julitasari, Srie, A., Rustam, M., Melani, W., & Corwin, A. (1995).
Prevalence of Hepatitis B and C Viruses in Healthy Indonesian Blood
Donors. Trans R Soc Trop Med Hyg , 167-170.
Tjokroprawiro, A., Setiawan, P. B., Santoso, D., & Soegiarto, G. (2009). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Airlangga. Surabaya: Airlangga
Press.

Wang, Y. D., Ye, H., Ye, Z. Y., Zhu, Y. W., Xie, Z. J., Zhu, J. H., et al. (2008).
Laparoscopic Splenectomy And Azygoportal Disconnection for Bleeding
Varices With Hypersplenism. Journal of Laparoendoscopic and Advanced
Surgical Techniques , 37-41.

Wang, Y., Cheng, L., Li, N., Wu, K., Zhai, J., & Wang, Y. (2009). Study of glue
extrusion after endoscopic N-butyl-2-cyanoacrylate injection on gastric
variceal bleeding. World J Gastroeneterology , 4945-4951.

WHO. (2011). Viral Hepatitis in The WHO South-East Asia Region. New Delhi:
WHO.

Widjaja, F. F., & Karjadi, T. (2011). Pencegahan Perdarahan Berulang Pada


Pasien Sirosis Hati. Indonesian Medical Association , 417-424.

Anda mungkin juga menyukai