Oleh :
M. Hendra Fatriyadi
201610461011022
2017
A. DEFINISI
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit
nefron) yang berlangsung pelahan-lahan karena penyebab
berlangsung lama dan menetap yang mengakibatkan penumpukan
sisa metabolit (toksik uremik)sehingga ginjal tidak dapat memenuhi
kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit (Hudak &
Gallo, 1996).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah). (Brunner & Suddarth, 2001). Gagal ginjal kronis terjadi
dengan lambat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun,
dengan penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan peningkatan
bertahap dalam gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap
akhir (PGTA).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi
selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau
petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda
kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan
sebagai berikut:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau
fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan
pada pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3
bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal
(Sumber: Chonchol, 2005)
C. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan
diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur
lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes
melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National
Kidney Foundation, 2009).
D. KLASIFIKASI
E. PATOFISIOLOGI
Infeksi (ISK, glomerulonephritis, pielonefritis), penyakit
vaskuler, adanya zat toksik serta penyakit kongenital dapat
mempengaruhi GFR. Khususnya penyakit vaskuler dapat
menghambat suplai darah ke ginjal. Hal ini menyebabkan GFR
ginjal menjadi turun. Kondisi ini menyebabkan kerusakan sebagian
nefron. Nefron yang utuh mencoba untuk meningkatkan reabsorpsi
dan filtrasi, sehingga terjadilah hipertropfi nefron. Yang akan
meningkatkan jumlah nefron yang rusak. Selanjutnya karena
jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai
retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada
pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan
ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada
tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance
turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Gagal ginjal kronis juga akan mempengaruhi aktivasi RAA.
Dimana renin akan diproduksi dan akan merangsang angiotensin 1
yang selanjutnya akan diubah menjadi angiotensin 2 dan akan
merangsang sekresi aldosterone. Proses ini akan menyebabkan
retensi natrium dan air sehingga terjadi peningkatan tekanan
kapiler dan pada akhirnya mempengaruhi volume interstitial yang
meningkat. Pada penderita GGK akan timbul sebagai kondisi edema
yang biasanya terjadi pada area ektremitas.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein
(yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam
darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan
semakin. Kemudian timbul kondisi perpospatemia yang akan
menimbulkan kondis gatal-gatal dikulit. Sindrom uremia juga
menyebabkan gangguan asam basa dalam metabolisme tubuh yang
akan mempangaruhi produksi asam dalam lambung. Produksi asam
lambung ini selanjutnya akan mengiritasi lambung.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau
urine tak keluar (anuria)
- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh
pus bakteri, lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen
kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, HB, mioglobin.
- Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan
kerusakan ginjal berat).
- Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan
tubular, dan rasio urine/serum sering 1:1
- Klirens keratin : Mungkin agak menurun
- Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat
menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga
ada.
Darah
- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi
kadar kreatinin 16 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah
yaitu 5)
- Hitung darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia
Hb:biasanya kurang ari 78 g/dL
- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti
pada azotemia.
- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2)
terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi
hydrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein.
Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal kehabisan
Natrium atas normal (menunjukan status dilusi hipernatremia).
- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada
tahap akhir, perubahan
- EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih
besar.
- Magnesium/Fosfat : Meningkat
- Kalsium : Menurun
- Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena
kurang asam amino esensial.
- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama
dengan urine.
Piolegram Intravena
- Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal
dan ureter.
- Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan
mengidentifikasi ekstravaskular massa.
Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung
kemih, refluks ke dalam ureter, terensi.
Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya
massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk
menentukan sel jaringan untuk diagnosis histoligis.
Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan
pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor
selektif.
EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan
elektrolit dan asam/basa. Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral
dan Tangan : Dapat menunjukan demineralisasi.
H. KOMPLIKASI
a. Hiperkalemia
b. Perikarditis
c. Hipertensi
d. Anemia
e. Penyakit tulang (Smeltzer & Bare, 2001)
I. PENATALAKSANAAN
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya
faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat
akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara
optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit
(Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka
lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif
nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus
adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan
keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan
memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau
serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi
pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat
menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini
merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari
mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi
ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak
boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis,
yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg%
dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat
(Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan
sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit
rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang
kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai
sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Rahardjo, 2006).
Gambar. Hemodialisa
1. DEFINISI
Osteodistrofi ginjal adalah kelainan tulang pada GGK akibat
gangguan absorpsi kalsium, hiperfungsi paratiroid dan gangguan
pembentukan vitamin D aktif (kalsitriol). Yang terjadi adalah
penimbunan asam fosfat yang mengakibatkan hiperfosfatemia dan
kadar ion kalsium serum menurun. Keadaan ini merangsang
kelenjar paratiroid mengeluarkan hormon lebih banyak, agar
ekskresi fosfor meningkat dan kadar fosfat kembali normal. Gejala
klinis berupa gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk tulang,
fraktur spontan, dan nyeri tulang. Apabila disertai gejala rakitis,
akan timbul hipotonia umum, lemah otot, dan nyeri otot. Akan
ditemukan osteoporosis dan osteomalasia.
2. HORMON PARATIROID
Kelenjar paratiroid mengeluarkan hormon paratiroid
(parathiroid hormone, PTH) yang bersama-sama dengan Vitamin
D3 (1.25-dthydroxycholccalciferal), dan kalsitonin mengatur kadar
kalsium dalam darah. Sintesis PTH dikendalikan oleh kadar
kalsium plasma, yaitu dihambat sintesisnya apabila kadar kalsium
tinggi dan dirangsang bila kadar kalsium rendah. PTH akan
merangsang reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal, meningkatkan
absorbsi kalsium pada usus halus, sebaliknya menghambat
reabsorbsi fosfat dan melepaskan kalsium dari tulang. Jadi PTH
akan aktif bekerja pada tiga titik sasaran utama dalam
mengendalikan homeostasis kalsium yaitu di ginjal, tulang dan
usus.
Kadar normal PTH utuh dalam plasma adalah 10-55 pg/mL.
Waktu paruh PTH kurang dari 20 menit, dan polipeptida yang
disekresikan ini cepat diuraikan oleh sel-sel Kupffer di hati menjadi
2 polipeptida, sebuah fragmen terminal C yang tidak aktif secara
biologis dengan berat molekul 2500. PTH bekerja langsung pada
tulang untuk meningkatkan resorpsi tulang dan memobilisasi
Ca2+. Selain meningkatkan Ca2+ plasma dan menurunkan fosfat
plasma, PTH meningkatkan ekskresi fosfat dalam urin. Efek
fosfaturik ini disebabkan oleh penurunan reabsorpsi fosfat di
tubulus proksimal. PTH juga meningkatkan reabsorpsi Ca2+ di
tubulus distal, walaupun ekskresi Ca2+ biasanya meningkat pada
hiperparatiroidisme karena terjadi peningkatan jumlah yang
difiltrasi yang melebihi efek reabsorpsi. PTH juga meningkatkan
pembentukan 1,25 dihidroksikolekalsiferol, metabolit vitamin D
yang secara fisiologis aktif.
Efek hormon paratiroid terhadap konsentrasi kalsium dan
fosfat dalam cairan ekstraselular. Naiknya konsentrasi kalsium
terutama disebabkan oleh dua efek berikut ini: (1) efek hormon
paratiroid yang menyebabkan terjadinya absorpsi kalsium dan
fosfat dari tulang, dan (2) efek yang cepat dari hormon paratiroid
dalam mengurangi ekskresi kalsium oleh ginjal. Sebaliknya
berkurangnya konsentrasi fosfat disebabkan oleh efek yang sangat
kuat dari hormon paratiroid terhadap ginjal dalam menyebabkan
timbulnya ekskresi fosfat dari ginjal secara berlebihan, yang
merupakan suatu efek yang cukup besar untuk mengatasi
peningkatan absorpsi fosfat dri tulang.
Absorpsi kalsium dan fosfat dari tulang yang disebabkan oleh
hormon paratiroid. Hormon paratiroid mempunyai dua efek pada
tulang dalam menimbulkan absorpsi kalsium dan fosfat. Pertama
merupakan suatu tahap cepat yang dimulai dalam waktu beberapa
menit dan meningkat secara progresif dalam beberapa jam. Tahap
ini diyakini disebabkan oleh aktivasi sel-sel tulang yang sudah ada
(terutama osteosit) untuk meningkatkan absorpsi kalsium dan
fosfat. Tahap yang kedua adalah tahap yang lebih lambat, dan
membutuhkan waktu beberapa hari atau bahkan beberapa minggu
untuk menjadi berkembang penuh; fase ini disebabkan oleh adanya
proses proliferasi osteoklas, yang diikuti dengan sangat
meningkatnya reabsorpsi osteoklastik pada tulang sendiri, jadi
bukan hanya absorpsi garam fosfat kalsium dari tulang.
3. HIPERPARATIROID
Hiperparatiroid adalah karakter penyakit yang disebabkan
kelebihan sekresi hormone paratiroid, hormon asam amino
polipeptida. Sekresi hormon paratiroid diatur secara langsung oleh
konsentrasi cairan ion kalsium. Efek utama dari hormon paratiroid
adalah meningkatkan konsentrasi cairan kalsium dengan
meningkatkan pelepasan kalsium dan fosfat dari matriks tulang,
meningkatkan penyerapan kalsium oleh ginjal, dan meningkatkan
absorbsi kalsium di usus. Hormon paratiroid juga menyebabkan
fosfaturia, yang secara tidak langsung menyebabkan terjadinya
hipofosfatemia. Hiperparatiroidisme terbagi menjadi primer,
sekunder dan tersier. Hiperparatiroid sekunder merupakan suatu
keadaan dimana sekresi hormon paratiroid meningkat lebih banyak
dibanding dengan keadaan normal, karena kebutuhan tubuh
meningkat sebagai proses kompensasi. Pada keadaan ini terdapat
hiperplasi dan hiperfunsi merata pada keempat kelenjar paratiroid,
terutama dari chief cells. Biasanya penyebab primer adalah gagal
ginjal kronik, dan glomerulonefritis atau pyelonefritis menahun.
Penyakit lain yang juga dapat menyebabkan hiperparatiroid
sekunder adalah osteogenesis imperfekta, penyakit paget multiple
mieloma, karsinoma dengan metastase tulang.
Pada keadaan gagal ginjal, ada banyak factor yang merangsang
produksi hormon paratiroid berlebih. Salah satu faktornya
termasuk hipokalsemia, kekurangan produksi vitamin D karena
penyakit ginjal, dan hiperpospatemia. Hiperpospatemia berperan
penting dalam perkembangan hyperplasia paratiroid yang akhirnya
akan meningkatkan produksi hormon paratiroid.
4. PATOFISIOLOGI
Patogenesis terjadinya hiperparatiroidisme sekunder sudah
dihipotesiskan sejak 30 tahun yang lalu, dikenal dengan trade-of
theory. Pada GGK, terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan
jumlah massa ginjal yang berfungsi, sehingga akan mengurangi
ekskresi maupun fungsi metaboliknya. Salah satu substansi yang
tidak dapat diekskresikan oleh ginjal ialah fosfat. Akibatnya terjadi
hiperfosfatemia. Ginjal juga merupakan organ utama yang
mensekresikan kalsitriol (1,25(OH)2D3). Berkurangnya massa
ginjal akan mengakibatkan berkurangnya sekresi kalsitriol
(hipokalsitriolemia). Hiperfosfatemia dan hipokalsitriolemia ini
merupakan penyebab utama terjadinya hiperparatiroidisme
sekunder.
Pada GGK, terjadinya hiperfosfatemia secara langsung
mengakibatkan hipokalsemia, yaitu melalui mekanisme
keseimbangan kalsium dan fosfat: ion kalsium + hidrogen fosfat
CaHPO4. pada hiperfosfatemia, keseimbangan tersebut bergeser
ke kanan, sehingga kadar kalsium menurun. Kesimpulannya,
hiperfosfatemia menyebabkan hal-hal sebagai berikut: (1)
hipokalsemia melalui keseimbangan fisikokimiawi, (2) mengurangi
aktivitas kalsitriol dengan menghambat 1 hidroksilase, (3) diduga
secara langsung meningkatkan sekresi hiperparatiroid.
Hipokalsitriolemia mengakibatkan hal-hal sebagai berikut: (1)
hiperparatiroidemia melalui hilangnya penghambatan terhadap
sintesis pre-pro PTH, dan hiperplasia sel kelenjar paratiroid, (2)
hipokalsemia melalui: berkurangnya absorbsi kalsium di saluran
cerna, terhambatnya reabsorbsi kalsium di tubulus renalis, dan
terhambatnya mobilisasi kalsium dari tulang.
5. MANIFESTASI KLINIS
Karena hiperparatiroidisme sekunder disebabkan oleh
berbagai macam etiologi, maka manifestasi klinis yang sering
muncul selalu diserati dengan adanya manifestasi klinis akibat
kelainan yang mendasarinya, yaitu gagal ginjal atau defisiensi
vitamin D (osteomalasia atau miopati). Pasien mungkin tidak atau
mengalami tanda-tanda dan gejala akibat terganggunya beberapa
sistem organ pada kasus hiperparatiroidisme sekunder yang lama
dan berat. Gejala apatis, keluhan mudah lelah, kelemahan otot,
mual, muntah, konstipasi, hipertensi dan aritmia jantung dapat
terjadi, semua ini berkaitan dengan peningkatan kadar kalsium
dalam darah. Manifestasi psikologis dapat bervariasi mulai dari
emosi yang mudah tersinggung dan neurosis hingga keadaan
psikosis yang disebabkan oleh efek langsung kalsium pada otak
serta sistem saraf. Peningkatan kadar kalsium akan menurunkan
potensial eksitasi jaringan saraf dan otot.
Manifestasi utama dari hiperparatiroidisme terutama pada
ginjal dan muskuloskeletal. Pembentukan batu pada salah satu atau
kedua ginjal yang berkaitan dengan peningkatan ekskresi kalsium
dan fosfor merupakan salah satu komplikasi hiperparatiroidisme.
Kerusakan ginjal terjadi akibat presipitasi kalsium oksalat atau
kalsium fosfat dalam pelvis dan parenkim ginjal yang
mengakibatkan nefrolithiasis, obstruksi, pielonefritis serta gagal
ginjal. Nefrolitiasis juga menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan
retensi fosfat.
Manifestasi skeletal yang menyertai hiperparatiroidisme
dapat terjadi akibat demineralisasi tulang atau tumor tulang, yang
muncul berupa sel-sel raksasa benigna akibat pertumbuhan
osteoklast yang berlebihan, disebut sebagai osteitis fibrosa cystica.
Secara histologis, gambaran patognomonik adalah peningkatan
giant multinukleal osteoklas pada lakuna Howship dan penggantian
sel normal dan sumsum tulang dengan jaringan fibrotik. Pasien
dapat mengalami nyeri skeletal dan nyeri tekan, khususnya di
daerah punggung, panggul, tungkai dan persendian lutut serta,
nyeri ketika menyangga tubuh, fraktur patologik, deformitas,
osteomalasia dan kiposkoliosis. Nyeri persendian akibat deposit
kristal hidroksiapatite, karena adanya hiperfosfatemia. Bahkan,
dapat terjadi neksrosis avaskular pada caput femoris karena
adanya renal distrofi yang menyebabkan nyeri sendi panggul.
Kehilangan tulang yang berkaitan dengan hiperparatiroidisme
merupakan faktor risiko terjadinya fraktur.
Pada pasien dapat disertai dengan gejala disfungsi sistem
saraf pusat, nervus dan otot perifer, traktus gastrointestinal, dan
sendi. Manifestasi dari neuromuscular termasuk tenaga otot
berkurang (paroxysmal muscular weakness) yang perlahan-lahan,
mudah lelah, dan atrofi otot yang mungkin menyolok adalah tanda
kelainan neuromuscular primer.
Manifestasi pada traktus gastrointestinal kadang-kadang
ringan. Insidens ulkus peptikum dan pankreatis meningkat pada
hiperparatiroidisme dan dapat menyebabkan terjadinya gejala
gastroitestinal.
Pada anak-anak dengan azotemia, terjadi deformitas skeletal
berupa pembengkokan tibia dan femur. Kalsifikasi vaskular dan
nekrosis iskemia perifer dapat menyebabkan warna kulit jari dan
kuku menjadi pucat. Kadang, ulcer dan scar dapat timbul. Dan
didapatkan adanya hubungan kejadian stenosis mitral dan aorta
pada pasien anak dengan hemodialisis.
6. PENATALAKSANAAN
Pada kasus defisiensi vitamin D dapat dikoreksi dengan
pemberian kapsul vitamin D 50.000 IU/kapsul satu kali seminggu
selama 8 minggu dan dapat diulang 8 minggu lagi apabila tanda
defisiensi masih terlihat. Pada kasus gagal ginjal kronik, National
Kidney Foundation (NKF) merekomendasikan penurunan kadar
PTH untuk menormalkan turnover mineral tulang dan
meminimalisasi terbentuknya kalsifikasi ektopik. Pasien yang
mengalami dialisis gagal ginjal, biasanya mengalami peningkatan
kadar hormon paratiroid. Berikut pilihan terapi non bedah yang
dianjurkan bagi pasien hiperparatiroidisme sekunder pada kasus
gagal ginjal kronik:
1. Restriksi konsumsi fosfat, jika dari hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan kadar 25-hydroxyvitamin D >30
ng/mL.
2. Phosphate binder Calcium-based phosphate binders, seperti
calcium carbonate atau calcium acetate Non-calcium-based
phosphate binders, seperti sevelamer hydrochloride atau
lanthanum carbonate
3. Suplementasi kalsium dibatasi kurang dari 2 gr/hari
4. Vitamin D dan analognya: Calcitriol
Penekanan sekresi hormon paratiroid dengan low-dose
calcitriol mungkin dapat mencegah hiperplasia kelenjar
paratiroid dan hiperparatiroidisme sekunder. Analog
calcitriol: Paricalcitol, doxercalciferol, maxacalcitol, dan
falecalcitriol
5. Kalsimimetik, seperti cinacalcet
Kalsimimetik digunakan efeknya dalam meningkatkan
sensitivitas reseptor kalsium dan menghambat pengeluaran
dari PTH. Selain itu, kalsimimetik juga dapat menurunkan
kadar fosfor dalam darah. Penyembuhan dengan calcitriol
dan kalsium dapat mencegah atau meminimalisir
hiperparatiroidisme sekunder. Kontrol kadar cairan fosfat
dengan diet rendah fosfat juga penting. Pasien yang
mengalami dialysis-dependent chronic failure membutuhkan
calcitriol, suplemen kalsium, fosfat bebas aluminium, dan
cinacalcet (sensipar) untuk memelihara level cairan kalsium
dan fosfat.
DAFTAR PUSTAKA