Anda di halaman 1dari 8

1.

PENDAHULUAN

Tindakan Torakoskopi semakin banyak dipilih dan dilakukan oleh para ahli
torak. Setelah bronkoskopi,tindakan torakoskopi ini menjadi tindakan dengan teknik
endoksopi yang penting dalam ilmu respirasi dan pulmonologi. Tindakan torakoskopi
ini menjadi bagian penting dalam tata laksana penyakit dan kelainan pada pleura.

Torakoskopi adalah teknik intervensi invasif yang tertua dalam sejarah ilmu
respirasi dan pulmonologi dunia. Tindakan ini pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1910 oleh internis asal swedia yang bernama Hans Christian Jacobeus.
Jacobeus adalah yang pertama yang melakukan tindakan torakoskopi dengan
prinsip penggantian cairan oleh udara dengan tujan untuk memeriksa permukaan
pleura pada dua pasien dengan pleuritis tuberkulosis. Jacobeus lalu
mengembangkan torakoskopi dalam penggunaan terapeutik dengan menggunakan
termokauter untuk melisiskan adesi dan membuat suatu pneumothorax untuk
mengobati tuberkulosis.

Penerapan tindakan torakoskopi terutama untuk mendiagnosis pleura efusi


dan untuk melakukan talc poudrage pleurodesis pada efusi pleura ganas dan
pneumotoraks spontan berulang. Tindakan torakoskopi juga memainkan peran
penting dalam penentuan staging pada non-small cell lung cancer dan sebagai
panduan dalam pengobatan dan penentuan prognosis. Tindakan ini juga dapat
berguna untuk menyediakan biopsy dalam jumlah besar yang diperlukan untuk
penerapan teknik molekuler ,seperti penggunaan penanda molekuler, misalnya
pada epidermal growth factor receptor, dimana marker tersebut berperan dalam
penentuan staging dari penyakit keganasan dan membantu dalam penentuan terapi
yang potensial. penerapan lain yang tidak rutin dan lebih kompleks dari tindakan
torakoskopi ini adalah dalam pengobatan empiema, biopsy paru dengan forceps
dan cervical symphatectomy, namun prosedur diatas hanya bisa dikerjakan oleh
operator yang telah berpengalaman dan terlatih.

Tindakan torakoskopi aman dilakukan oleh dokter yang berpengalaman


dengan tingkat mortalitas sebesar 0.35%. Komplikasi mayor yang mungkin muncul
setelah tindakan adalah empiema, perdarahan, fistelbronkopleura,
pneumotoraksdan pneumonia dengan angka kejadian sebesar 1.8% dan komplikasi
minor berupa emfisema subkutis, perdarahan minimal, demam dan atrial fibrillation
dengan angka kejadian sebesar 7.3%.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keamanan dari tindakan
torakoskopi dan komplikasi yang mungkin muncul saat dan setelah tindakan
dilakukan

Metode dan Bahan


2.1. Pasien.
Kami melakukan analisis retrospektif dan prospektif dari 127 pasien yang
menjalani MT untuk tujuan diagnostik dan terapi di NMC selama periode 2007
sampai 2015 dan Rumah Sakit Toyota Kosei selama periode 2011 hingga 2015.
Analisis retrospektif dilakukan pada pasien selama periode 2007-2013 di NMC dan
selama periode 2011-2013 di Toyota Kosei Rumah Sakit dan analisis prospektif
dilakukan pada pasien selama tahun 2014 dan 2015 untuk keduanya. Selama
periode penelitian ini jumlah total pasien adalah 139 tapi dieksklusi 10 pasien
karena tidak memenuhi syarat untuk dilakukan analisis dan 2 pasien lainnya
dieksklusikan karena kegagalan untuk menyelesaikan MT. Data pasien diperoleh
dari sistem komputerisasi rumah sakit. Catatan kasus diperiksa untuk setiap laporan
komplikasi dan radiografi diperiksa untuk hasil akhir. Pemeriksaan histologi dan
pemeriksaan mikrobiologi yang relevan lainnya diperoleh dari sistem komputerisasi
laboratorium.

2.2. MT dan Manajemen Chest Tube.


MT dilakukan oleh dokter yang berpengalaman menggunakan Olympus
semirigid LTF- 260 thoracoscopy. Pasien diposisikan dengan posisi lateral dan
diberikan anestesi lokal dan sedatif menggunakan midazolam dan fentanil di NMC
dan hanya anestesi lokal di Toyota Kosei Hospital dengan pemantauan EKG dan
pulse oximetry.
Sekitar 5 sampai 10 biopsi diambil dari pleura parietal tergantung pada
temuan makroskopik dan 4 g bubuk (Steritalc, Novatech, La Ciotat, Prancis)
poudrage digunakan selama pleurodesis. Semua pasien menggunakan selang dada
16 F setelah dilakukan prosedur melalui port masuk sama pada thoracoscopy.
Selang WSD dihubungkan ke botol yang berisi air dengan tekanan negatif (-10
sampai -20 cm / H2O) digunakan sampai drainase cairan kurang dari 150 ml / hari.

2.3. Prethoracoscopic Investigasi.


Semua pasien dilakukan analisis cairan pleura, rontgen X-ray, CT scan, USG,
EKG, dan pemeriksaan fungsi hati dan ginjal.

2.4. Teknik thoracoscopic


Premedikasi. Midazolam 0,4 mg dan fentanyl 0,2 mg diberikan kepada pasien
sebelum dilakukan tindakan melalui jalur intravena dan saat tindakan yang
berlangsung lama.Oksigen diberikan melalui kanula hidung selama tindakan untuk
mempertahankan SpO2> 90%.
Setelah premedikasi, scope dan forsep dimasukkan, di bawah anestesi lokal,
melalui trocar dengan diameter luar 10 mm tanpa katup di sela iga, dengan pasien
berbaring ke arah sisi yang sehat.
Kateter steril digunakan melalui trocar dan sisa efusi dikeluarkan dalam kondisi
steril. Setelah rongga pleura dikosongkan, paru-paru dan pleura diperiksa dengan
cara thoracoscope dan kelainan seperti adhesi, deposisi fibrin, perubahan warna
pleura, hyperemia, nodul tuberkulosis, pembentukan tumor, dan sebagainya
diamati.
Setiap kali layak, biopsi diambil, ditempatkan segera dalam formalin, dan
dikirim untuk pemeriksaan mikroskopis. Sekitar 5 sampai 10 biopsi diambil dari
setiap pasien dari pleura parietal tergantung pada temuan makroskopik.

2.5. Analisis statistik.


Analisis statistik diproses dengan menggunakan Program perangkat lunak
statistik (PASW Statistics 16; SPSS Inc.,Chicago, IL, USA). Data statistik dijelaskan
dalam frekuensi (jumlah kasus), persentase, median, dan jangka yang tepat.

3. Hasil
Jumlah kasus adalah 127 dengan usia rata-rata 71,0 (rentang 33,0-92,0)
tahun dan 101 (79,5%) adalah laki-laki, 36 (28,3%) perokok aktif. Durasi rata-rata
drainase dengan selang WSD setelah MT adalah 7,0 (rentang, 0,0-47,0) hari dan
kasus talc poudrage adalah 30 (23,6%). Rincian karakteristik pasien ditunjukkan
pada Tabel 1.
Penyakit pleura jinak didiagnosis pada 58 kasus (45,7%),dengan rincian
tuberkulosis 15 kasus (11,8%), empyema 10 kasus (7,9%), pleuritis nonspesifik 27
kasus (21,3%), hipoalbuminemia 2 kasus (1,6%), pleuritis uremik 2 kasus (1,6%),
obat diinduksi pleuritis 1 kasus (0,9%), dan bulla pecah 1 kasus (0,9% dari total) .
Rincian data ditunjukkan pada Tabel 2.

Histologi ganas dilaporkan pada 69 kasus (54,3%) dengan rincian kanker paru
primer 35 kasus (27,5%), metastasis 16 kasus (12,6%), dan mesothelioma 18 kasus
(14,2%). Jenis histologis kanker paru adalah adenokarsinoma 29 kasus (82,9%),
skuamosa sel karsinoma 4 kasus (11,4%), dan smallcell karsinoma 2 kasus (5,7%).
Sumber yang paling umum dari metastasis adalah limfoma 4 kasus (25%). Rincian
ditunjukkan pada Tabel 2 dan 3.
Tidak ada kematian yang terkait dengan prosedur MT. Tidak ada perdarahan
hebat dari tindakan biopsi atau hemoptisis yang diamati. Komplikasi terjadi pada 21
kasus (16,5%) dengan rincian laserasi paru 3 kasus (2,4%), demam 5 kasus (3,9%)
(karena HAI 2 kasus,talc pouradge 2 kasus, dan keganasan 1 kasus), HAI 2 kasus
(1,6%), kebocoran berkepanjangan udara 14 kasus (11,0%), dan emfisema
subkutan 1 kasus (0,8%). Rincian ditunjukkan pada Tabel 4.

MT gagal pada dua kasus: kasus pertama adalah karena adhesi yang luas dan
kedua adalah kasus haemopneumothorax spontan primer kiri karena perdarahan
terus menerus dari bula emphysematous yang pecah.

Meskipun studi ini sudah dilakukan pada pasien dalam jumlah besar (127),
tingkat komplikasi tidak begitu parah 16,5% ( = 21). Komplikasi yang paling serius
adalah laserasi paru yang terjadi pada 3 kasus, semuanya terjadi selama
menggunakan trocar dan tidak melebihi 1,5 cm seperti yang diilustrasikan pada
Gambar 1. Dua dari mereka dapat ditangani selama melakukan MT dengan
memanggil ahli bedah kardiotoraks dan aplikasi asam polyglycolic (PGA) mesh dan
lem fibrin pada lokasi laserasi dengan anestesi lokal tanpa komplikasi selama dan
setelah prosedur tetapi kasus ketiga diabaikan selama prosedur dan mengakibatkan
kebocoran udara dan emfisema subkutis setelah prosedur yang meningkatkan dan
mengindikasikan intervensi bedah mendesak untuk menutup laserasi.
Untuk mencegah terjadinya laserasi paru, beberapa penulis menganjurkan
adanya induksi pneumotoraks beberapa jam atau bahkan sehari sebelum
thoracoscopy itu. Namun penggunaan trocar tumpul ke dinding dada tanpa induksi
sebelum pneumotoraks aman dan efektif terutama jika terdapat cairan pleura yang
cukup. Trocar harus dimasukkan tegak lurus terhadap dinding dada dengan gerakan
berputar. Hal ini lebih aman untuk menemukan ujung atas perbatasan inferior sela
iga, untuk mencegah kerusakan pembuluh darah interkostalis dan saraf.
Penggunaan trocar dapat menjadi masalah terutama dalam kasus adhesi pleura.
Ketika dokter tidak yakin adanya adhesi antara paru dan dinding dada pada setinggi
lokasi pemasangan, diseksi digital dan eksplorasi langsung pada lokasi pemasangan
dengan menggunakan teleskop dapat membantu [22]. USG dada juga dapat sangat
membantu untuk mengidentifikasi lokulasi pada rongga pleura serta untuk
menentukan lokasi pemasangan thoracoscopy[23].
Pemeriksaan dengan menggunakan Ultrasonografi telah dikerjakan sebelum
Medical Thoracoscopy dalam 3 kasus berat dengan laserasi paru, pneumotoraks
diciptakan sebelum menggunakan MT, dan tidak ada perlengketan yang luas yang
berperan dalam terjadinya laserasi paru, tetapi penyebab utama adalah manuver
yang kuat selama pemasangan trocar tersebut.
Komplikasi kedua yang sering dalam penelitian ini adalah demam, terjadi
pada 5 kasus karena penyebab yang berbeda. demam adalah kelas 1 di semua
kasus sesuai dengan Common Terminology Criteria for Adverse Event (CTCAE) versi
4.0. Dua dari lima kasus tersebut terjadi setelah penggunaan talc poudrage dan
hanya berlangsung selama dua hari dan membaik dengan pemberian antipiretik.
Kasus ketiga demam karena adanya proses keganasan; pasien ini didiagnosis
sebagai pleural metastasis dari karsinoma sel ginjal dan tidak membaik dengan
pemberian antipiretik atau antibiotik. Pasien tetap dipersiapkan dengan kondisi
demam sebelum melakukan MT hingga ada penyebab lain yang sehingga
dieksklusikan. Kasus keempat dan kelima karena berkembangnya HAI yang
membuat perburukan pada pasien yang sudah didiagnosis empyema setelah
perbaikan dengan MT yang dilakukan untuk drainase dan adhesiolisis; Pasien
keempat berusia tua (70 tahun) dengan keadaan umum yang buruk dan dirawat di
rumah sakit selama satu bulan; ia menderita demam selama dua hari setelah
prosedur dan membaik setelah satu minggu pemberian antibiotik. Pasien kelima
memiliki situasi yang sama seperti yang keempat (yang berusia 76 tahun, kondisi
umum yang buruk dan dirawat di rumah sakit selama 33 hari). Pasien dengan
septicemia dan demam tinggi selama tiga hari setelah prosedur yang berlangsung
selama 2 hari dan kemudian pasien meninggal. Perawatan di rumah sakit dalam
jangka waktu yang lama dengan kondisi umum yang buruk memainkan peran
penting dalam pengembangan HAI.
Ada 11 kasus kematian tetapi tidak berhubungan dengan MT. Penyebab
utama adalah keganasan dan adanya komorbiditas lainnya seperti penyakit hati
dan penyakit ginjal. Waktu rata-rata untuk drainase dengan selang WSD setelah
tindakan adalah 7,0 (kisaran, 0,0-47,0) hari. Dalam studi ini, pemanjangan waktu
drainase adalah karena kebocoran udara yang terus menerus dan reexpansion paru
yang tigak lengkap terutama pada pasien neoplastik dan pasien yang didiagnosis
sebagai empyema dengan komorbiditas lain dengan kondisi umum yang buruk.
Kasus rumit dengan kebocoran udara terus menerus adalah 14 kasus (11,0%)
termasuk 7 kasus dengan keganasan, 6 kasus dengan empiema, dan 1 kasus
dengan TB. Sehubungan dengan berkembangnya infeksi pascaprosedur, ini
merupakan bagian yang berpotensi untuk dimodifikasi dengan perbaikan
manajemen pasien segera setelah prosedur termasuk fisioterapi dada dan
mobilisasi dini untuk mengurangi telektasis basal, semua praktek yang dapat
dipelajari dari rekan-rekan bedah kami [23, 24] . Penggunaan antibiotik intravena
spektrum luas pada saat tindakan juga dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi
tindakan thoracoscopy, meskipun praktik ini bervariasi antara dokter dan tidak rutin
dikerjakan selama masa studi. Dalam penelitian ini empyema, pneumonia, dan 1
bulan kematian lebih sedikit dibandingkan dengan thoracoscopy besar lainnya [25,
26].
MT gagal dalam dua kasus: kasus pertama adalah karena adanya adhesi
berat yang terjadi saat dilakukan MTlalu tindakan dihentikan untuk keselamatan
pasien dan dilakukan torakotomi. Ultrasnografi thorax digunakan untuk menentukan
lokasi terbaik untuk memasukkan trocar tetapi adanya perlengketan yang luas
menyebabkan obliterasi rongga pleura seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.
Yang kedua adalah kasus haemopneumothorax primer kiri akibat rupturnya bula
emphysematous, yang didiagnosis dengan pemeriksaan CT scan seblum dilakukan
MT. Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya sejumlah besar efusi pleura kiri dengan
pneumotoraks dan bula emphysematous apikal yang besar, dan thoracocentesis
menunjukkan adanya efusi pleura hemoragik. Temuan pleura efusi pleura
hemoragik dan pleura normal diamati selama prosedur. Perdarahan aktif tidak
terlihat jelas tetapi lebih dari 2.000 mL hemoragik cairan dikeluarkan. Sebuah video
assisted thoracoscopic surgery (VATS) diindikasikan setelah prosedur, yang
dilakukan pada hari berikutnya untuk reseksi bula tersebut.

5. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah thoracoscopy medis secara umum
merupakan prosedur yang aman untuk dilakukan. Laserasi paru adalah komplikasi
yang paling serius dan harus ditatalasksana dengan baik. HAI adalah risiko rendah
dan dapat dikontrol dengan pengobatan medis.
Singkatan
MT: thoracoscopy Medis
HAI: Rumah Sakit memperoleh infeksi
ARDS: pernapasan sindrom gangguan akut
US: Ultrasonografi.

Anda mungkin juga menyukai