Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan pedesaan serta

kemiskinan di pedesaan telah mendorong upaya-upaya pembangungan di

kawasan pedesaan. Meskipun demikian, pendekatan pengembangan

kawasan pedesaan seringkali dipisahkan dari kawasan perkotaan. Hal ini

telah mengakibatkan terjadinya proses urban bias yaitu pengembangan

kawasan pedesaan yang pada awalnya ditujukan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat pedesaan malah berakibat sebaliknya yaitu

tersedotnya potensi pedesaan ke perkotaan baik dari sisi sumber daya

manusia, alam, bahkan modal (Douglas, 1989).


Berdasarkan kondisi tersebut, tidak berarti pembangunan pedesaan

menjadi tidak penting, akan tetapi harus dicari solusi untuk mengurangi

kesenjangan wilayah. Pengembangan kawasan agropolitan dapat dijadikan

alternatif solusi dalam pengembangan kawasan pedesaan tanpa melupakan

kawasan perkotaan. Melalui pengembangan agropolitan, diharapkan

terjadi interaksi yang kuat antara pusat kawasan agropolitan dengan

wilayah produksi pertanian dalam sistem kawasan agropolitan. Melalui

pendekatan ini, produk pertanian dari kawasan produksi akan diolah

terlebih dahulu di pusat kawasan agropolitan sebelum di jual (ekspor) ke

pasar yang lebih luas sehingga nilai tambah tetap berada di kawasan

agropolitan (Douglas, 1989).

1
Meskipun demikian, pengembangan kawasan agropolitan sebagai

bagian dari pengembangan wilayah nasional tidak bisa terlepas dari

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang merupakan matra

spasial yang menjadi kesepakatan bersama. RTRWN penting untuk

dijadikan alat untuk mengarahkan pengembangan kawasan agropolitan

sehingga pengembangan ruang nasional yang terpadu dan sistematis dapat

dilaksanakan. Sosialisasi kepada pihak-pihak yang terkait dengan

pengembangan kawasan agropolitan tentang hal ini mutlak diperlukan,

sehingga muncul pemahaman bersama tentang pentingnya proses ini untuk

mewujudkan pembangunan yang serasi, seimbang, dan terintegrasi.


Pengembangan wilayah dengan pendekatan agropolitan sebagai

konsep pembangunan pertanian dalam abad modern sekarang ini tidak bisa

lagi secara parsial. Pertanian harus dibangun secara holisitik yaitu dengan

membangun semua yang tersedia di perkotaan ke perdesaan. Semua

infrastruktur pendukung pembangunan pertanian harus tersedia di

perdesaan. Bukan hanya itu, untuk mengurangi urbanisasi, maka semua

kemudahan yang ada di perkotaan harus juga tersedia di perdesaan,

seperti: fasilitas komunikasi, transportasi, kesehatan, pendidikan, fasilitas

pendukung perekonomian/ keuangan, dan fasilitas pendukung lainnya

harus disediakan.
Penanganan dan pengembangan agropolitan harus dilakukan secara

terkoordinasi antar sektor dan instansi terkait agar hasilnya dapat dicapai

secara efektif dan efisien sesuai dengan sasaran yang diharapkan. Seperti

halnya dijelaskan dalam firman Allah bahwa kita harus memanfaatkan

2
sumber daya alam (pertanian) dengan sebaik efisien mungkin dan tidak

berlebih-lebihan sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:












artinya: Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan

yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-

macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya)

dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya yang bermacam-

macam itu bila dia berbuah dan tunaikan haknya di hari memetik hasilnya

(dengan disedekahkan kepada fakir miskin), dan janganlah kamu

berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang

berlebih-lebihan (QS Al-Anam (6) : 141).


Agropolitan merupakan kota pertanian yang tumbuh dan

berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis, serta mampu

melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan

pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Provinsi Sulawesi Selatan

merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang struktur

perekonomiannya di dominasi oleh sektor pertanian. Melihat potensi

sumber daya alam dan struktur ketenagakerjaannya, maka agropolitan

berpotensi untuk dikembangkan diprovinsi ini.


Kabupaten Enrekang adalah salah satu kabupaten yang terletak di

sebelah timur dari Provinsi Sulawesi Selatan. Kondisi sektor pertanian

yang menonjol dalam struktur ekonomi Kabupaten Enrekang sangat

relevan apabila sektor pertanian dikembangkan sebagai sektor unggulan

3
yang dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ekonomi

daerah. Dengan memperhatikan potensi yang ada seperti luas lahan

pertanian, mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah petani, serta

memberikan kontribusi terbesar dalam perekonomian daerah,Tahun 2013

sebesar 55,15% dari PDRB Kabupaten (BPS Kabupaten Enrekang, 2014).


Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP)

menetapkan Visi Kabupaten Enrekang adalah sebagai daerah agropolitan

yang mandiri, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan pada tahun 2028.

untuk mewujudkan visi tersebut, maka salah satu misi yang akan

dilaksanakan yaitu mengembangkan berbagai produk pertanian komoditas

unggulan Berbasis Ekonomi Masyarakat dan berorientasi pasar.


Sebagai kecamatan baru, Kecamatan Buntu Batu masih perlu

banyak belajar dari kecamatan induk yang mana dalam hal ini pemekaran

dari Kecamatan Baraka. Oleh karena itu Kecamatan Buntu Batu perlu

memaksimalkan potensi wilayahnya agar dapat memberikan pelayanan

terhadap masyarakat secara optimal. Selain itu, Kecamatan Buntu Batu

mengemban tanggung jawab guna mewujudkan visi dan misi Pemerintah

Kabupaten Enrekang. Visi Kantor Kecamatan Buntu Batu Terwujudnya

koordinasi pemerintahan pembangunan dan kemasyarakatan menuju

pelayanan prima untuk menunjang visi Kabupaten Enrekang sebagai

agropolitan yang religius berwawasan lingkungan. Kecamatan Buntu

Batu memiliki poensi pertanian yang cukup baik, adapun komiditi yang

terdapat di Kecamatan Buntu Batu yaitu, bawang merah, padi sawah, kopi,

jagung, coklat, tomat, salak, cabe, dan ubi kayu. Tetapi kondisi topografi

4
dan kemiringan wilayah yang curam sehingga beberapa wilayah sulit

untuk di akses akibat buruknya prasarana jalan menjadi permasalahan

yang ada di Kecamatan Buntu Batu.


Berdasarkan uraian latar belakang dan didukung oleh visi dan misi

Kabupaten Enrekang serta visi misi dari Kecamatan Buntu Batu, sehingga

penulis tertarik melakukan penelitian tentang Analisis faktor - faktor

yang mendukung pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan

Buntu Batu, Kabupaten Enrekang


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana potensi wilayah dalam mendukung pengembangan

Kawasan Agropolitan di Kecamatan Buntu Batu, Kabupaten

Enrekang?
2. Apa faktor - faktor yang mendukung pengembangan Kawasan

Agropolitan di Kecamatan Buntu Batu, Kabupaten Enrekang?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui potensi wilayah dalam mendukung pengembangan

Kawasan Agropolitan di Kecamatan Buntu Batu, Kabupaten Enrekang.


2. Untuk mengidentifikasi faktor - faktor yang mendukung

pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan Buntu Batu,

Kabupaten Enrekang.
D. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini terdiri dari dua ruang lingkup penelitian yakni

ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup substansi.


1. Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup lokasi penelitan ini yakni berada di Kecamatan

Buntu Batu, Kabupaten Enrekang yang terdiri dari 8 desa yaitu Desa

Pasui, Desa Langda, Desa Ledan, Desa Lunjen, Desa Buttu Mondong,

Desa Eran batu, Desa Potokullin, dan Desa latimojong


2. Ruang Lingkup Substansi

5
Lingkup substansi merupakan lingkup kajian materi penelitian ini

yakni mengidentifikasi potensi wilayah sektor pertanian dalam

mendukung pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan Buntu

Batu, Kabupaten Enrekang dan mengidentifikasi faktor - faktor yang

mendukung pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan Buntu

Batu, Kabupaten Enrekang.


E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN. Bab ini meliputi latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan, ruang lingkup penelitian, dan sistematika

penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini terdiri dari pengertian umum

agropolitan, ciri kawasan agropolitan, syarat kawasan agropolitan, system

kawasan agropolitan, cakupan wilayah kawasan agropolitan, tipologi

kawasan agropolitan, dan faktor-faktor dalam pembangunan dan

pengembangan agropolitan.
BAB III METODE PENELITIAN. Bab ini terdiri dari lokasi dan waktu
penelitian, jenis dan sumber data, variabel penelitian, pengumpulan data,

analisis data, definisi operasional, dan kerangka pikir.


.

Anda mungkin juga menyukai