ETIK PENELITIAN KES
KOMISI NASIONAL
ETIK PENELITIAN KESEHATAN
DEPARTEMEN KESEHATAN RI
JAKARTA
2007<=
= INDONESIA
SEHAT
2010
PEDOMAN NASIONAL
ETIK PENELITIAN KESEHATAN
KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN.
Sekretariat:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan — Depkes RI
Jl. Percetakan Negara No. 29
JAKARTA 10560
Telepon : 021 — 4261088 Pes. 114/117
Faks : 021 — 4243933
Email : kometik@litbang.depkes.go.id
Mailing list : komnas-etik@litbang.depkes.go.id
Website : http://www.litbang.depkes.go.id
|KATA PENGANTAR
KETUA KOMISI NASIONAL
ETIK PENELITIAN KESEHATAN
MASA BAKTI 2007 - 2011
(PADA EDISI CETAK KE IV TAHUN 2007)
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan di dunia
Internasional, tak terkecuali di Indonesia sebagai hasil dari perkembangan
tiset kesehatan, terutama yang terkait dengan keterlibatan manusia sebagai
subyck penelitian harus pula disertai dengan jaminan akan perlindungan
HAM terhadap subyek penelitian. Karenanya peran suatu komisi etik
penelitian berikut berbagai pedoman maupun perangkat perundang-
undangan yang mengatur tentang hal tersebut sangat penting untuk
ditindaklanjuti segera dalam skala nasional.
Dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengaturan penegakan
etik penelitian kesehatan, Menteri Kesehatan RI pertama kali membentuk
Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK) pada tahun 2002.
KNEPK yang sekarang ini dikukuhkan oleh Menteri Kesehatan untuk masa
bakti 2007-2011.
Pada tahun 2003, KNEPK telah berhasil menyusun Pedoman
Nasional Etik Penelitian Kesehatan (PNEPK). PNEPK ini telah
disosialisasikan kepada berbagai kalangan, terutama masyarakat ilmiah,
peneliti, dan komisi etik penelitian kesehatan di berbagai institusi dan
mendapatkan tanggapan positif disertai berbagai masukan untuk
penyempurnaannya. Sejak diterbitkan pertama kali dalam tahun 2003,PNEPK telah mengalami dua kali cetak ulang dengan
penyempurnaan, yaitu pada tahun 2004 dan 2005. PNEPK secara resmi
telah dinyatakan sebagai acuan dalam penatalaksanaan etik penelitian
kesehatan di Indonesia dengan SK Menkes
No. 103 1/MENKES/SK/VII/2005.
Dalam tahun 2007 ini KNEPK kembali melakukan cetak ulang
PNEPK untuk keempat kalinya. Penyempurnaan PNEPK pada edisi cetakan
ke IV ini diharapkan dapat benar-benar bermanfaat sebagai acuan untuk
komisi etik penelitian kesehatan institusi dalam melaksanakan tugasnya dan
bagi peneliti sebagai panduan dalam merancang penelitian yang memenuhi
kaidah ilmiah dan kaidah etik dalam usaha untuk meningkatkan kualitas
penelitian.
Mulai tahun 2006, PNEPK dilengkapi dengan beberapa suplemen
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pedoman ini. Ada tiga
buku suplemen yang telah terbit, yaitu Suplemen I: Etik Pemanfaatan Bahan
Biologik Tersimpan, Suplemen II: Etik Penggunaan Hewan Percobaan, dan
Suplemen III: Jaringan Komunikasi Nasional Etik Penelitian Kesehatan.
Sedangkan dua buku suplemen lainnya akan segera menyusul untuk
diterbitkan, yaitu Suplemen IV: Etik Penelitian Genetika, dan Suplemen V:
Etik Penelitian Epidemiologi.
Walaupun berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka
penyempurnaan pedoman ini, termasuk berbagai suplemen pelengkapnya,
namun tetap disadari bahwa pedoman ini bagi beberapa kalangan dapat
dirasakan masih kurang lengkap. Untuk itu diharapkan agar para pembaca
dan pengguna PNEPK dan suplemen pelengkapnya dapat mencari tambahantambahan berbagai bahan kepustakaan bidang etik penelitian kesehatan yang
cukup banyak terdapat dalam berbagai sumber dan media. Langkah seperti
ini pasti akan sangat membantu memperkaya wawasan dalam melakukan
penilaian etik yang lebih bijak untuk mengimbangi kemajuan iptek
kesehatan dan kedokteran yang tidak sangat pesat.
Selain dari PNEPK, suplemen pelengkapnya. dan berbagai sumber
acuan yang lain, perlu dikembangkan segera kerjasama antar Komisi Etik
institusi yang sudah ada di Indonesia dalam Jaringan Komunikasi Nasional
Etik Penelitian Kesehatan.
KNEPK mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Kepala
Badan Penclitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
yang menjadi mitra kerja dalam memfasilitasi kegiatan-kegiatan KNEPK
selama ini.
Kritik dan saran untuk perbaikan PNEPK ini atau usulan untuk
menyusun pedoman lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ctik
penelitian kesehatan di Indonesia sangat diharapkan. Semoga Tuhan Yang
Maha Kuasa senantiasa meridhoi usaha bersama ini.
Jakarta, Agustus 2007
Ketua Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan
GA_-+
R. Sjamsuhidajat
iiiMENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1031/Menkes/SK/VII/2005
TENTANG
PEDOMAN NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang a
b.
c
Mengingat : 1
bahwa kegiatan penelitian kesehatan yang
dilaksanakan oleh berbagai lembaga penelitian di
lingkungan kesehatan maupun di luar lingkungan
kesehatan harus memperhatikan aspek kendali mutu
dalam penelitian;
bahwa Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan
telah menyusun Pedoman Nasional Etik Penelitian
Kesehatan yang akan digunakan sebagai acuan
dalam setiap pelaksanaan penelitian;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman
Nasional Etik Penelitian Kesehatan;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negar
Republik Indonesia Nomor 3495);Menetapkan
Kesatu
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem
Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219)
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3609);
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1277/Menkes/SKIXI/2001 tentang Organisasi dan Tata
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1334/Menkes/SK/X/2002 tentang Komisi Nasional Etik
Penelitia Kesehatan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
187/Menkes/SK/II/2003 tentang Keanggotaan Komisi
Nasional Etik Penelitian Kesehatan
MEMUTUSKAN
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
PEDOMAN NASIONAL ETIK PENELITIAN
KESEHATANKedua
Ketiga
Keempat
Kelima
Keenam
vi
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
Pedoman Etik sebagaimana dimaksud dalam Diktum
Kedua merupakan acuan dalam penatalaksaan etik
penelitian kesehatan
Komisi Etik Penelitian Kesehatan yang ada pada setiap
lembaga penelitian kesehatan agar menyesuaikan
dengan pedoman sebagaimana ditetapkan dalam
Keputusan ini
Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan melakukan pembinaan dan
pengawasan pelaksanaan keputusan in dengan
mengikutsertakan lembaga penelitia kesehatan terkait
di daerah.
Keputusan ini beriaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Juli 2005
MENTERI KESEHATAN,
v Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI, Sp.JP (K)MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
SAMBUTAN
MENTERI KESEHATAN RI
Tujuan utama sektor kesehatan ialah meningkatkan kemampuan
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, sebagai perwujudan
kesejahteraan umum, seperti yang dimaksud dalam Pembukaan Undang-
undang Dasar 1945.
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dilaksanakan untuk
memilih dan menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, yang
diperlukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan. Dalam usaha
mencapai tujuan tersebut, pengembangan, pemanfaatan, dan penguasaan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) memegang peranan
yang penting. Kebijakan dan pelayanan kesehatan harus knowledge and
evidence based.
Namun, perkembangan Iptek di bidang kesehatan sering
mengakibatkan permasalahan di bidang etik. Pengikutsertaan manusia
dalam penelitian harus didasarkan pada informed consent (persetujuan
setelah penjelasan) dengan didasarkan prinsip etik umum, yakni
menghormati harkat martabat manusia, berbuat baik/menghasilkan manfaat,
tidak merugikan, dan berkeadilan
Penelitian dan pengembangan kesehatan yang mengikutsertakan
manusia harus dilakukan dengan memperhatikan etik, hak azasi manusia,
viidan norma yang berlaku dalam masyarakat di mana penelitian tersebut
dilakukan, memperhatikan kesehatan, dan keselamatan yang bersangkutan.
Untuk melakukan pembinaan di bidang etik penelitian kesehatan dan
melindungi manusia yang berpartisipasi dalam penelitian, telah dibentuk
Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan berdasarkan Kepmenkes Nomor
1334/MENKES/SK/X/2002, tanggal 29 Oktober 2002. Komisi tersebut,
dibantu sebuah sekretariat yang ada di lingkungan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Salah satu tugas komisi tersebut ialah menyusun pedoman-pedoman
nasional di bidang etik penelitian kesehatan. Buku ini, merupakan pedoman
nasional pertama yang dihasilkan komisi. Selanjutnya perlu dijadikan
rujukan bagi semua komisi etik penelitian kesehatan yang jumlahnya sekitar
30 komisi tersebar di seluruh Indonesia.
Setiap peneliti yang mengikutsertakan manusia dan hewan dalam
penelitiannya perlu memahami pedoman ini. Hal ini diperlukan agar peneliti
bekerja menurut standar profesi penelitian kesehatan.
Semoga dengan dikeluarkannya pedoman ini maka mutu penelitian
di Indonesia dapat meningkat. Selain itu diharapkan juga perlindungan
terhadap manusia yang menjadi subjek penelitian dapat terjamin dengan
lebih baik.
Jakarta, 24 September 2004
L M 5 tan RI
MY “Di-Achmad Sujudi
a
viiiKATA PENGANTAR
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN KESEHATAN
(PADA EDISI CETAK KE I TAHUN 2004 DAN
EDISI CETAK KE III TAHUN 2005)
PP No. 39 tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
mengamanatkan pembinaan dan pengawasan penelitian dan pengembangan
kesehatan (Litbangkes) kepada Menteri Kesehatan. Dalam pelaksanaan
penelitian yang menggunakan manusia sebagai objek penelitian, wajib
menghormati hak-hak azasi manusia dan sesuai dengan etika penelitian.
Dalam rangka pelaksanaan pembinaan terhadap etika penelitian,
melalui Kepmenkes No. 1334 Tahun 2002 dibentuk Komisi Nasional Etik
Penelitian Kesehatan (KNEPK), yang anggotanya ditetapkan dengan
Kepmenkes No. 187 Tahun 2003. Komisi ini merupakan suatu lembaga
struktural dan berkedudukan di lingkungan Badan Litbangkes.
Pada tahun 2003, KNEPK telah berhasil menyusun pedoman etik
penelitian kesehatan yang telah disosialisasikan kepada para pakar dan
mendapat tanggapan positif serta berbagai masukan untuk penyempurnaan.
Berdasarkan masukan para pakar tersebut, maka pada tahun 2004, pedoman
KNEPK tersebut disempurnakan dan dilengkapi dengan abstrak dalam
bahasa Inggris. Pedoman ini diharapkan dapat benar-benar dimanfaatkan
sebagai acuan baik komisi etik litkes institusi dalam melaksanakan
tugasnya.Kami sadari bahwa pedoman ini tidak terlepas dari kekurangan dan
kekeliruan, oleh sebab itu kami masih terbuka untuk menerima kritik dan
saran perbaikan ataupun usulan penyusunan pedoman lain sesuai kebutuhan
perkembangan etik litkes .
Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada KNEPK yang telah
bekerja keras untuk menyusun pedoman penyempurnaan ini. Ucapan yang
sama kami tujukan pula kepada World Health Organization (WHO) yang
terus membantu dalam pengembangan etik litkes di Indonesia.
Jakarta, 24 September 2004
4, Kepala Badan Litbangkes
-
Mees @
Dr. Dini Latief, M.ScKATA PENGANTAR
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN KESEHATAN
(PADA EDISI CETAK PERTAMA TAHUN 2003)
Tahun 2001 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan telah
mengadakan suatu survei Mapping dari panitia/komisi etik penelitian yang
terdapat di berbagai universitas/perguruan tinggi, rumah sakit pendidikan
dan lembaga penelitian di Indonesia. Pada survei tersebut, ditemukan
sejumlah 26 panitia/komite/komisi etik rumah sakit/kedokteran/kesehatan.
Hanya 15 dari panitia/komisi institusional tersebut yang telah mempunyai
pedoman operasional. Dan, dalam Focus Group Discussion (FGD) yang
diadakan di 12 kota, ditemukan banyak permasalahan yang disebabkan,
antara lain karena tidak adanya pedoman yang jelas.
Lokakarya Etik Penelitian Kesehatan yang diadakan Badan Litbang
Kesehatan dan WHO dalam tahun 2001 dan 2002, menyampaikan berbagai
rekomendasi untuk pengembangan etik penelitian antara lain pembentukan
komisi nasional dan pokok-pokok untuk pengembangan lebih lanjut etik
penelitian di Indonesia.
Menteri Kesehatan telah mengeluarkan keputusan Nomor
1334/MENKES/SK/X/2002, Tanggal 29 Oktober 2002 tentang Komisi
Nasional tik Penelitian Kesehatan dan CKeputusan Nomor
187/MENKES/SK/II/2003, Tanggal 10 Februari 2003 tentang Keanggotaan
Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Pedoman Nasional Etik
xiPenelitian Kesehatan ini, merupakan pedoman nasional pertama yang
dihasilkan oleh Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan.
Pedoman nasional ini, perlu dipergunakan disamping Pedoman Etik
Penelitian Kedokteran Indonesia yang telah diterbitkan pada tahun 1987,
yang merupakan hasil lokakarya Pembentukan Panitia Etik Penelitian
Kedokteran dan diselenggarakan tahun 1986 oleh Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia dan Konsorsium IImu-ilmu Kesehatan. Khusus, untuk
uji klinik/clinical trial perlu diperhatikan pula Pedoman Cara Uji Klinik
yang Baik (CUKB) di Indonesia yang dikeluarkan Badan POM tahun 2001.
Selain Deklarasi Helsinki (WMA 2000), pedoman ini banyak
merujuk pada Operational Guidelines for Ethics Committees that Review
Biomedical Research (WHO 2000) dan International Ethical Guidelines for
Biomedical Research Involving Human Subjects (CIOMS 2002).
Dengan adanya Pedoman Nasional ini, Komisi/Panitia/Komite Etika
Penelitian Kesehatan diharapkan dapat berfungsi lebih baik. Dan, para
peneliti yang mengikutsertakan manusia dapat melaksanakan penelitian
sesuai dengan norma atau etika yang berlaku.
Pedoman ini perlu. disempurnakan; disesuaikan mengikuti
perkembangan dibidang penelitian kesehatan dan pemikiran etik di negara
kita. Komentar dan masukan demi perbaikan, agar pedoman ini lebih sesuai
dengan situasi di Indonesia, akan sangat kami hargai, dan akan
dipertimbangkan dalam revisi pedoman ini untuk masa yang akan datang
xiiAkhir kata, kami ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih
kepada Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan yang dalam waktu relatif
singkat dapat menyusun Pedoman Nasional ini. Kepada World Health
Organization (WHO) yang telah membantu pengembangan etik penelitian
kesehatan di Indonesia kami juga menyampaikan penghargaan dan terima
kasih.
Jakarta, 12 November 2003
Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan,
SZ
Dr. Sumarjati Arjoso, SKM.
NIP. 140058825
xiiiSUMMARY
NATIONAL GUIDELINES
FOR HEALTH RESEARCH ETHICS
INTRODUCTION
In the last decades fundamental changes have happened shaping the
life of mankind. One of the changes is the evolving role of science and
technology from a supporting element to become the base for all human
development endeavors. Health development is now done through
knowledge based health systems. Due to this development, research and
utilization of research results have become even more important.
In Indonesia an increasing number of health research could be
observed. A part of the research is conducted in laboratories using in vitro
models but for certain categories of research in vivo models are needed,
using animal experimentation and/or involving human volunteers as
research subjects. The involvement of human volunteers as research subjects
and the use of experimental animals have caused various reactions in the
community and have generated ethical, legal and social-cultural
implications. To contribute to the safeguarding of the dignity, privacy,
rights, safety and well being of all actual and potential human volunteers as
research subjects and to ensure the welfare and humane care of the
experimental animals, as mentioned in point 11 and 12 of the Helsinki
Declaration, institutional health research ethics commissions should be
established guided by the National Guidelines.
xivFor the purpose of the National Guidelines, health research includes
research on pharmaceuticals, medical devices, medical radiation and
imaging, surgical procedures, medical records, and biological samples, as
well as epidemiological, social, and psychological investigations.
The ethical implications of health research were initially the personal
responsibility of the scientist. The increasing number of research conducted
by groups of scientists and institutions (multi-centered research), the
increasing autonomy of research institutions and the expectations of
sponsoring agencies have made the responsibility too much a burden to be
carried by the scientist alone. Research has also been strongly affected by
the globalization process and ethical, legal and social-cultural implications
have become international issues. Every government, research institution,
scientific journal, industry and sponsor have made ethical clearance
compulsory for research involving human volunteers as research subjects
and animal experimentations.
Taking into account the present status and trends of development, it
is essential that every institution in Indonesia conducting health research
should have an Institutional Research Ethics Commission (IREC). Even
though IRECs are set up by the institutions or by the government, it should
always be kept in mind that research ethics are the responsibility of the
scientist and the science community and not of the government.
The National Health Research Ethics Commission (NHREC), set up
by the Decree of the Minister of Health in 2002, has accessed the present
state of development and has published the National Guidelines for Health
Research Ethics. The National Guidelines should be used as reference by all
institutions doing health research with the objective that health research
xvethics will be developed following a national standard and will become an
integral part of health research in Indonesia.
Il. REFERENCE MATERIAL
International and national reference materials have been used to formulate
the National Guidelines for Health Research Ethics, such as:
1. Nuremberg Code.
The Nuremberg Code is an outcome of the Doctors’ Trial in 1947, as a
part of the Nuremberg Military Tribunal to prosecute Nazi German war
crimes. Unqualified personnel conducted atrocious experiments on
unconsenting prisoners and detainee's during the Second World War. The
Nuremberg code put emphasize on protection of the integrity of the
research subjects and on their voluntary consent.
2. Universal Declaration of Human Rights (United Nations, 1948)
To give the Declaration legal as well as morai force, the General
Assembly adopted in 1966 the International Covenant on Civil and
Political Rights. Article 7 of the Covenant states No one shall be
subjected to torture or cruel, inhuman or degrading treatment or
punishment. In particular, no one shall be subjected without his free
consent to medical experimentation. Through this statement, society
expresses the fundamental human value that is held to govern all research
involving human subjects — the protection of the rights and welfare of all
human subjects of scientific experimentation.
3. The Declaration of Helsinki. Ethical Principles for Medical Research
Involving Human Subjects.The Helsinki Declaration, adopted by the 18th World Medical
Association (WMA), General assembly in June 1964 in Helsinki, has
several times been amended. The 52nd WMA General Assembly in
Edinburgh, Scotland, in October 2004 adopted the latest amendment. The
Helsinki Declaration is accepted as the fundamental international
document in the field of ethics in health research. It sets out ethical
guidelines for physicians engaged in both clinical and non-clinical health
research. The Helsinki Declaration is the key reference used in
formulating the National Guidelines.
4, Operational Guidelines for Ethics Committees that Review Biomedical
Research (WHO 2000)
The document gives detailed guidelines for the establishment of Health
Research Ethics Committees and contributes to the development of
quality and consistency in the ethical review of health research. The
document is used as the key reference to establish institutional Health
Research Ethics Commissions in Indonesia and to guide their operating
procedures.
5. International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving
Human Subjects (CIOMS 2002)
The CIOMS publication is the third improved edition and is designed to
be of use, particularly to low-resource countries, in defining national
policies on the ethics of biomedical research, applying ethical standards
in local circumstances, and establishing or defining adequate
mechanisms for ethical review of research involving human subjects.
The translated and amended Guidelines as presented in the CIOMS
xviipublication have been used to formulate chapter IV of the National
Guidelines for Health Research Ethics.
6. Other national and international publications.
Other national and international publications concerning health research
ethics are used, such as the International Guidelines for Ethical Review
of Epidemiological Studies (CIOMS,1991), Guidelines for Good Clinical
Practice for Trials on Pharmaceutical Products (WHO, 1995), Directive
on Clinical Trials as adopted by the Council of Ministers of the European
Union and effective in 2004 and the Pedoman Cara Uji Klinik Yang Baik
(Guidelines for Good Clinical Trials) published by the Indonesian Food
and Drug Administration (2001).
II. GENERAL ETHICAL PRINCIPLES
The national guidelines for health research ethics are based on three
internationally recognized basic ethical principles, namely respect for
persons, beneficence and justice. The three principles, which in the abstract
have equal moral force, guide the conscientious preparation of proposals for
scientific research. The national guidelines are directed at the application of
the three principles to research involving human volunteers as research
subjects. The three basic principles are:
1. Respect for persons
The basic ethical principle Respect for Persons incorporates two
fundamental considerations, namely:
xviii(1) Respect for autonomy, which requires that those who are capable
of deliberation about their personal decisions should be treated
with respect for their capacity of self-determination.
(2) Protection of persons with impaired or diminished autonomy
2. Beneficence
The basic ethical principle Beneficence refers to the ethical obligation to
maximize benefits and to minimize harm. The risks of research should be
reasonable in the light of the expected benefits. The research design
should be sound and the investigators competent both to conduct the
research and to safeguard the welfare of the research subjects.
Beneficence proscribe the deliberate infliction of harm on persons; this
aspect is sometimes expressed as a separate principle, nonmaleficence
(do no harm)
3. Justice
The basic ethical principle Justice refers to the ethical obligation to treat
each person in accordance with what is morally right and proper, and to
give each person what is due to him or her. In research ethics involving
human volunteers as research subjects the principle refers primarily to
distributive justice, which requires the equitable distribution of both the
burden and the benefits of participation in research.
xixIV. HEALTH RESEARCH ETHICS COMMISSION
The increasing role of science and technology in health development
is reflected in an increasing number of research activities. A part of the
research can be conducted in laboratories using in vitro models but other
kind of research needs in vivo models using animal experimentation and the
involvement of human volunteers as research subjects. As a civilized nation
we are obliged to respect and honor the human volunteers. Mechanisms,
structures and procedure should be established to contribute to safeguarding
the life, health, welfare, privacy, dignity, right and safety of the human
volunteers. In every institute doing health research involving human
volunteers as research subjects or/and animal experimentation, Health
Research Ethics Commission (HREC) should be established to review
research proposals and protocols to grant certificates of ethical approval.
Depending on the situation and needs, HRECs can be established at
institutional, local, regional and national level. To establish HRECs the
following aspects needs to be considered:
Status.
" HRECs are established by the head of the institute following local
regulation and procedures
«The HREC is administratively responsible to the head of the institute
but independent in performing its functions, free from any political,
institutional, professional and market influences.Role and function:
Advise the head of the institute on all matters concerning health
research ethics
Ensure the application of research ethics in the institute by
developing policies and procedures and by providing independent,
competent and timely review of ethics of research proposals and
protocols.
Membership requirements.
Members are elected by the HREC meeting and officially installed
by the head of the institute.
The membership of HREC must be multidisciplinary and multi-
sectorial, including relevant scientific expertise, balanced age and
gender distribution, and laypersons representing the interests and the
concerns of the community.
To ensure the independence of HREC the head of the institute
should not be a member of HREC and a balanced presentation of
members from inside and outside the institution should be ensured.
Ethical Review of Research Protocols.
HREC meetings should meet quorum requirements. i.e. more than
half the members present with balanced representation of HREC
membership.
Decisions by HREC should preferable be reached by consensus but
where not possible by voting.
xxiV. ETHICAL REVIEW PROCESS
The guidelines for health research ethics are obtained from the CIOMS
publication International Ethical Guidelines for Biomedical Research
Involving Human Subjects (2002). Some commentaries on the guidelines
have been adapted to the Indonesian law and regulations and have taken into
account customs and social-cultural aspects of Indonesia. No changes were
made on the headings of the 21 guidelines. The 21 guidelines are as follows:
15
Ethical justification and scientific validity of biomedical research
involving human subjects
Ethical review committees
Ethical review of externally sponsored research
Individual informed consent
Obtaining informed consent: Essential information for prospective
research subjects
Obtaining informed consent: Obligations of sponsors and investigators
Inducement to participate in research
Benefits and risks of study participants
Special limitations on risks when research involves individuals who are
not capable of giving informed consent
10. Research in populations and communities with limited resources
11. Choice of controls in clinical trials12.
13.
14.
15.
16.
20.
21.
VI.
Equitable distributions of benefits and risks
Research involving vulnerable persons
Research involving children
Research involving individuals who by reason of behavioral disorders
are not capable of giving adequate informed consent
Women as research subjects
. Pregnant women as research subjects
. Safeguarding confidentiality
. Rights of injured subjects to treatment and compensation
Strengthening capacity for ethical and scientific review on biomedical
research
Ethical obligations of external sponsors to provide health-care services
. ANIMAL EXPERIMENTATION
A part of health research is conducted in laboratories using in vitro
models. To be able to use the research results for the benefit of mankind
further research is needed using living systems, such as cell and tissue
cultures or experimental animals. Only after animal experiments have
proven the safety and effectiveness of the new drug or intervention, research
involving human volunteers as research subjects may be conducted.
The use of experimental animals has provoked strong, even violent
reactions, in the society. The opposing views are due to differences in
culture, religion and the concept of life. The concern in the society now
xxiiiabout animal experimentation is stronger than the concern of the
involvement of human volunteers in health research. The NCHRE is
convinced that presently and in the near future experiments on whole living
organisms, such as experimental animals, will still be needed. NCHRE is of
the opinion that mechanisms and procedures should be established to
guarantee sound scientific and ethical research.
Point 11 and 12 of the Helsinki Declaration are used as the key
references for animal experimentation
11. Medical research involving human subjects must conform to generally
accepted scientific principles, be based on a thorough knowledge of the
scientific literature, other relevant sources of information, and on
adequate laboratory and, where appropriate animal experimentation.
12. Appropriate caution must be exercised in the conduct of research, which
may affect the environment, and the welfare of animals used for
research must be respected.
The concept of 3R was developed in 1980 to provide a framework for
improving the conduct and ethical acceptability of experimental techniques
on animals. The abbreviation 3R stands for Reduction, Refinement and
Replacement.
* Reduction.
The number of animals used should be kept to the absolute minimum by
refining the experimental design with if appropriate the use of statistics.
= Refinement.
Given that animals used in research may experience pain, suffering and
lasting harm, the first step must be considered whether less sentient or
xxivnon-sentient alternatives can be used. The experimental animal selected
should be the lowest on the evolutionary scale.
= Replacement.
Experimental animals should where possible be replaced by mathematical
and computer models, cell lines and tissue cultures. Mechanisms and
procedures should be established in the institute to guarantee the
fulfillment of the ethical requirements of animal experimentation, such as:
1, Every research using experimental animals should obtain an ethical
approval following the same procedure as research involving human
volunteers as research subjects.
2. The Institutional Health Research Ethics Commission should have at
least one veterinary surgeon as a member.
3. The institute must employ a veterinary surgeon to ensure humane care
of the animais
VIL THE PHASES OF CLINICAL TRIALS OF DRUGS AND
VACCINES
The phases of clinical trials to develop new drugs and vaccines are
presented mentioning the objective of each phase. A scientifically sound
clinical trial is the first prerequisite for the protocol to be reviewed to obtain
an ethical approval.
XXVDAFTAR ISI
KATA PENGANTAR KETUA KOMISI NASIONAL ETIK
PENELITIAN KESEHATAN MASA BAKTI 2007 - 2011
(EDISI CETAK KE IV TAHUN 2007)
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
(No. 103 1/MENKES/SK/VII/2005)
SAMBUTAN MENTERI KESEHATAN RI
(EDISI CETAK KE Il TAHUN 2004)
KATA PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN KESEHATAN
(EDISI CETAK KE I] TAHUN 2004 DAN EDISI CETAK KE Ill
TAHUN 2005)
KATA PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN KESEHATAN
(EDISI CETAK KE I TAHUN 2003)
SUMMARY
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN
Il. BAHAN REFERENSI DASAR
Il. PRINSIP ETIK UMUM
IV. KOMISI ETIK PENELITIAN KESEHATAN (KEPK)
1. Kedudukan
2. Peran dan Fungsi KEPK
Xxxvi
vii
xi
xiv
XXViDAFTAR ISI
3. Keanggotaan KEPK
4. Penilaian Etik Protokol Penelitian
V. PROSES PENILAIAN ETIK
Butir Pedoman 1 Pembenaran etik dan keabsahan ilmiah
penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia
Butir Pedoman 2 Komisi etik penelitian
Butir Pedoman 3 Penilaian etik penelitian dengan sponsor
eksternal
Butir Pedoman 4 Persetujuan sesudah penjelasan (PSP)
perseorangan (/ndividual Informed Consent)
Butir Pedoman 5 Memperoleh PSP; informasi esensial untuk
calon subyek penelitian
Butir Pedoman 6 Memperoleh PSP: kewajiban sponsor dan
peneliti
Butir Pedoman 7 Perangsang (inducement) ikut serta dalam
Penelitian
Butir Pedoman 8 Manfaat dan risiko reikutsertaan dalam
penelitian
Butir Pedoman 9 Pembatasan khusus tentang risiko jika
penelitian mengikutsertakan manusia yang tidak mampu
memberi PSP
Butir Pedoman 10 Penelitian pada penduduk dan masyarakat
dengan sumber daya terbatas
Butir Pedoman 11 Memilih pembanding (Control) pada
uji klinik
21
23
26
27
28
31
35
we
o
41
44
45
46
xxviiDAFTAR ISI
Butir Pedoman 12 Distribusi beban dan manfaat yang
adil/wajar pada pemilihan kelompok subyek penelitian
Butir Pedoman 13 Penelitian dengan mengikutsertakan
manusia yang rentan (Vulnerable)
Butir Pedoman 14 Penelitian dengan mengikutsertakan anak-
anak
Butir Pedoman 15 Penelitian mengikutsertakan manusia yang
karena gangguan jiwa atau perilaku tidak mampu memberi
PSP yang memadai
Butir Pedoman 16 Perempuan sebagai subyek penelitian
Butir Pedoman 17 Perempuan hamil sebagai subyek penelitian
Butir Pedoman 18 Perlindungan kerahasiaan
Butir Pedoman 19 Hak subyek yang dirugikan (Injured)
menerima pengobatan dan kompensasi
Butir Pedoman 20 Peningkatan kemampuan untuk penilaian
etik dan ilmiah serta pelaksanaan penelitian kesehatan
Butir Pedoman 21 Kewajiban etis sponsor eksternal untuk
menyediakan jasa pelayanan kesehatan
VI. PENGGUNAAN HEWAN PERCOBAAN
VII. TAHAP-TAHAP UJI KLINIK OBAT DAN VAKSIN
xxviii
49
49
51
52
53
55
56
57
58
59
60DAFTAR LAMPIRAN
. SK Menteri Kesehatan RI No. 562/Menkes/SK/V/2007
Tentang Konisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan
. SK Menteri Kesehatan RI No. 563/Menkes/SK/V/2002
Tentang Keanggotaan Konisi Nasional Etik Penelitian
Kesehatan
Masa Bakti 2007 - 2011
. SK Menteri Kesehatan RI No. 1334/Menkes/SK/X/2002
Tentang Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan
. SK Menteri Kesehatan RI No. 187/Menkes/SK/III/2003
Tentang Keanggotaan Komisi Nasional Etik Penelitian
Kesehatan
. Daftar Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian
Kesehatan, Tahun 2003-2007
. WMA Declaration of Helsinki
(World Medical Association 2004)
. Directives for Human Experimentation Nuremberg Code
(1947)
Halaman
69
4
77
82
85
87
96
xxixGe 1h ee i
: —_— rt ==.
; = ore ie eee a
- os So ¥, >
/ See moo
a re
x ee ck i ee
ee RR ge
a oe oy IL PENDAHULUAN
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, telah terjadi berbagai
perubahan fundamental dalam kehidupan manusia, antara lain perubahan
peran ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Iptek yang sebelumnya,
merupakan sarana penunjang berubah peran dan memberi landasan pada
keseluruhan upaya manusia. Dari sini berkembanglah konsep-konsep baru,
seperti pembangunan berdasarkan pengetahuan (knowledge based
development) dan diakui bahwa mutu pengelolaan pengetahuan strategik
menentukan keberlangsungan hidup suatu upaya/organisasi. Ini dapat dilihat
dari daya saing dan kemampuannya beradaptasi pada perubahan lingkungan.
Berdasarkan konsep baru upaya kesehatan dilaksanakan dengan sistem
kesehatan berdasarkan pengetahuan (knowledge based health systems).
Akibat perubahan fundamental tersebut, maka pemanfaatan, pengembangan,
dan penguasaan iptek memegang peran, yang makin menentukan dalam
penyusunan kebijakan dalam pembangunan kesehatan dan implementasinya.
Di Indonesia sudah terlihat peningkatan jumlah dan juga mutu
kegiatan penelitian kesehatan. Yang dimaksud dengan penelitian kesehatan
adalah sama dengan biomedical research oleh WHO yang mencakup
penelitian tentang farmasetik, peralatan kesehatan, radiasi medik dan
imaging, prosedur bedah, catatan medik, sampel biologik, penelitian
epidemiologi, ilmu sosial dan psikologi. Makin banyak ilmuwan dan
lembaga ilmiah melaksanakan penelitian kesehatan. Hasil penelitian perlu
dipublikasikan, supaya seluruh masyarakat ilmiah diinformasikan tentangpenemuan pengetahuan baru dan ditantang untuk menguji ulang
keabsahannya. Penelitian kesehatan di Indonesia dalam berbagai aspek tidak
dapat dipisahkan lagi dari dunia internasional, misalkan aspek publikasi,
kerja sama ilmiah dan sponsorship. Dengan demikian, meskipun tetap
memperhatikan nilai-nilai budaya dan kebutuhan bangsa Indonesia,
penelitian kesehatan di Indonesia sudah merupakan bagian integral
penelitian kesehatan internasional.
Sebagian penelitian kesehatan dapat diselesaikan di laboratorium
dengan menggunakan model in-vitro. Tetapi, pada permasalahan tertentu
dan juga sebelum hasil penelitian dapat dimanfaatkan guna meningkatkan
derajat kesehatan manusia/masyarakat perlu digunakan model in-vivo
dengan menggunakan hewan percobaan serta mengikutsertakan relawan
manusia sebagai subjek perielitian. Penggunaan hewan percobaan dan
pengikutsertaan relawan manusia sebagai subjek penelitian dalam penelitian
kesehatan, telah membawa implikasi etik, hukum dan sosial (Ethical Legal
and Social Implication, ELSI) dan menimbulkan beraneka ragam reaksi
dalam masyarakat. Menghadapi keadaan tersebut, perlu tersedia mekanisme
yang dapat menjamin bahwa penelitian kesehatan selalu akan menghormati
dan melindungi kehidupan, kesehatan, keleluasaan pribadi (privacy), dan
martabat (dignity) relawan manusia yang bersedia ikut serta sebagai subjek
penelitian serta juga menjamin kesejahteraan dan penanganan manusiawi
(Aumane care) hewan percobaan, sebagaimana yang disebut dalam butir 11
dan 12 Deklarasi Helsinki.
Pada hakekatnya, masalah etik penelitian adalah tanggung jawab
pribadi setiap peneliti. Tetapi dengan makin banyak penelitian dilaksanakan
2berkelompok atau bersama oleh beberapa lembaga _ penelitian
(multicentered) dan perkembangan lembaga-lembaga penelitian yang makin
otonom, serta harapan para sponsor, maka tanggung jawab etik penelitian
menjadi terlalu luas dan berat untuk dibebankan kepada perorangan/peneliti
saja. Penelitian kesehatan Indonesia yang dipacu oleh proses globalisasi
telah menjadi subsistem penelitian kesehatan internasional. Di seluruh dunia
sekarang sudah merupakan kenyataan, bahwa setiap lembaga penelitian,
setiap majalah ilmiah, setiap sponsor, dan setiap pemerintah
mempersyaratkan persetujuan etik (ethical approval) untuk penelitian yang
menggunakan hewan percobaan, atau mengikutsertakan relawan manusia
sebagai subjek penelitian. Memperhatikan perkembangan tersebut, maka
lembaga di Indonesia, yang sering/banyak melaksanakan penelitian
kesehatan, mutlak perlu memiliki Komisi Etik Penelitian Kesehatan
(KEPK). Meskipun Komisi Etik Penelitian kesehatan dibentuk oleh lembaga
atau oleh pemerintah, prinsip bahwa masalah etik merupakan tanggung
jawab ilmuwan dan masyarakat ilmiah selalu perlu dipegang teguh.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen
Kesehatan, bekerja sama dengan WHO, telah melakukan pengkajian dengan
pemetaan KEPK di Indonesia. Hasil pemetaan dilaporkan dalam buku
Situation Analysis and Mapping of Health Research Ethics Committees in
Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2002.
Pemetaan dilakukan dengan mengirimkan kuestioner ke 180
lembaga di 16 provinsi yang kemudian dilengkapi dengan pelaksanaan focus
group discussions di 12 kota. Dari 75 (41.67%) jawaban yang diterima
kembali tersusun peta distribusi KEPK sebagai berikut.JUMLAH KOMISI ETIK PENELITIAN KESEHATAN
PER PROVINSI
No PROVINSI JUMLAH
KEPK
1 | Sumatera Utara 1
2__| Sumatera Barat 1
3. | Sumatera Selatan 2
4 | DKI Jakarta 8
5 | Jawa Barat 1
6 | Jawa Tengah 2
7 ‘| DI Yogyakarta 3 : ‘|
8 | Jawa Timur S
9 | Bali 1
10 | Sulawesi Selatan 1
11. | Papua 1
| TOTAL | 26
Ke-26 Komisi Etik berbeda dalam komposisi keanggotaan dan tata
cara kerjanya. Tetapi, keberadaannya harus dihargai sebagai modal awal
yang sangat berharga untuk mengembangkan lebih lanjut etik penelitian
kesehatan di Indonesia. Tentang masalah etik pada penelitian yang
menggunakan hewan percobaan belum dimiliki informasi. Namun
demikian, banyak lembaga yang melaksanakan penelitian kesehatan di
Indonesia masih kurang sadar tentang pentingnya etik penelitian kesehatan.
Juga terdapat kekurangpahaman tentang cara pembentukan komisi etik dilembaga serta proses pemberian persetujuan etik. Untuk mengatasi masalah
tersebut, Pemerintah Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Menteri
Kesehatan telah membentuk dan mengukuhkan Komisi Nasional Etik
Penelitian Kesehatan (KNEPK) yang sesuai tugasnya akan bekerja sama
dengan lembaga-lembaga penelitian kesehatan yang mengikutsertakan
relawan manusia sebagai subjek penelitian dan/atau menggunakan hewan
percobaan. Kerja sama akan dilakukan dalam jaringan komunikasi nasional
yang bertujuan secara_ kolektif melaksanakan pembinaan guna
meningkatkan mutu etik penelitian kesehatan di Indonesia. Terbentuknya
KEPK di setiap lembaga penelitian kesehatan perlu dilengkapi dengan
pedoman operasional/prosedur pemberian persetujuan etik,
Sesuai dengan tugas yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 1334/Menkes/SK/X/2002, Komisi Nasional Etik
Penelitian Kesehatan telah melakukan kajian yang mendalam tentang
berbagai aspek etik penelitian kesehatan dimana manusia dan hewan
menjadi subjeknya. Hasil kajian tersebut, menghasilkan buku Pedoman
Nasional Etik Penelitian Kesehatan, yang diharapkan menjadi rujukan bagi
semua komisi/komite/panitia etik penelitian kesehatan yang terdapat di
universitas/perguruan tinggi, rumah sakit/fasilitas kesehatan, dan lembaga
penelitian di seluruh Indonesia. Dengan demikian diharapkan terjaminnya
etik penelitian kesehatan yang memenuhi standar di Indonesia.
Buku pedoman ini, mencakup etik penelitian kesehatan secara
umum, sehingga masih perlu dilengkapi dengan buku-buku pedoman
tentang permasalahan etik, atau bidang khusus penelitian kesehatan.
Misalnya tentang epidemiologi, ilmu sosial, perilaku, teknologi kion dan
sstem cells. Disadari, bahwa ilmu kesehatan dewasa ini berkembang secara
eksponensial dan tidak hanya menghasilkan banyak pengetahuan ilmiah
baru tetapi juga melahirkan konsep-konsep baru yang menyebabkan
pergeseran-pergeseran paradigma. Oleh karena itu, buku Pedoman Nasional
Etik Penelitian Kesehatan harus secara berkala dilengkapi dan
disempurnakan mengikuti perkembangan ilmu kesehatan dengan implikasi
etik risetnya.II. BAHAN REFERENSI DASAR
Untuk penyusunan buku Pedoman Nasional Etik Penelitian
Kesehatan, KNEPK telah menggunakan sebagai referensi beberapa
dokumen internasional yang sudah dimanfaatkan secara luas, sebagai
instrumen internasional untuk mengembangkan etik penelitian kesehatan.
Dokumen-dokumen tersebut tidak akan dikutip atau diterjemahkan secara
keseluruh-an, tetapi dipilih bagian-bagian yang relevan dengan keadaan dan
kebutuh-an Indonesia. Bagian-bagian terpilih pada pemanfaatan lebih lanjut
perlu dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan negara Republik
Indonesia, serta disesuaikan dengan kebiasaan, tradisi, sistem nilai, dan
budaya bangsa Indonesia. Untuk memperluas wawasan dan memperoleh
pengertian yang lebih lengkap dan komprehensif, sangat dianjurkan untuk
membaca keseluruhan dokumen referensi internasional tersebut.
Dokumen-dokumen internasional yang dimanfaatkan oleh KNEPK
sebagai bahan referensi adalah sebagai berikut.
1. Nuremberg Code (1947)
Nuremberg Code adalah instrumen internasional pertama mengenai
etik penelitian kesehatan dan berasal dari keputusan Pengadilan para
Dokter (the Doctor’s Trial) di kota Nuremberg tahun 1947. The
Doctor's Trial adalah bagian dari Nuremberg Military Tribunal yang
mengadili kejahatan perang yang dilakukan rezim Nazi Jerman. Para
dokter yang diadili disalahkan melaksanakan penelitian kesehatan
tanpa tujuan ilmiah yang rasional. Penelitian dilakukan secara paksapada tawanan kamp konsentrasi oleh tenaga kerja yang tidak
memenuhi persyaratan. Nuremberg Code meletakkan dasar perdana
untuk pengembangan etik penelitian kesehatan. Code disusun untuk
melindungi integritas subjek penelitian, menentukan persyaratan-
persyaratan untuk melaksanakan penelitian kesehatan secara etis dan
secara khusus memberi tekanan pada persetujuan sukarela (voluntary
consent) oleh manusia yang diikutsertakan sebagai subjek penelitian.
2. Universal Declaration of Human Rights (United Nations, 1948)
The General Assembly of the United Nations pada tahun 1948
mengadopsi the Universal Declaration of Human Rights. Guna mem-
beri kekuatan hukum dan moral pada Deklarasi tersebut pada tahun
1966 the General Assembly menetapkan the International Convenant
on Civil and Political Rights, yang dalam Artikelnya ke-7 tertulis No
one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading
treatment or punishment. In partcular, no one shall be subjected
without his free consent to medical or scientific experimentation.
Artikel ke-7 ini menegaskan perlindungan hak asasi manusia dan
kesejahteraan setiap relawan manusia yang ikut serta sebagai subjek
dalam penelitian kesehatan.
1, The Declaration of Helsinki. Ethical Principles for Medical
Research Involving Human Subjects (World Medical Assembly,
2000)
Deklarasi Helsinki disepakati oleh World Medical Association di kota
Helsinki tahun 1964, dan merupakan dokumen fundamentalinternasional di bidang etik penelitian kesehatan. Hingga sekarang,
Deklarasi Helsinki telah lima kali mengalami tambahan amandemen
mengikuti perkembangan di dunia ilmu kesehatan. Amandemen
terakhir, ditambahkan di General Assembly WMA di Edinburgh,
Scotland, Oktober 2000. Deklarasi Helsinki diakui sebagai dokumen
utama yang fundamental di bidang etik penelitian kesehatan.
Dokumen tersebut telah mempengaruhi perumusan _legislasi
internasional, regional, dan nasional. Deklarasi Helsinki memberi
pedoman kepada dokter yang melakukan penelitian kesehatan klinik
dan non-klinik. Karena kedudukan yang demikian penting maka
Deklarasi Helsinki akan dilampirkan secara lengkap (lampiran IV).
2. Operational Guidelines for Ethics Committees that Review
Biomedical Research (WHO 2000)
Dokumen membahas secara rinci tujuan dan cara pembentukan komisi
etik penelitian serta pengadaan sistem penilaian etik. Selain itu juga
dibahas masalah keanggotaan dan prosedur kerja, termasuk aplikasi
protokol penelitian dan proses pengambilan keputusan. Dokumen
tersebut merupakan pedoman kunci untuk membentuk KEPK dan
menentukan prosedur kerjanya. Dokumen ini telah diterjemahkan dan
diadaptasi untuk Indonesia oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Depkes.10
3. International Ethical Guidelines for Biomedical Research
Involving Human Subjects (CIOMS 2002)!
Council of International Organizations of Medical Sciences (CIOMS)
adalah organisasi internasional non-pemerintah yang berafiliasi resmi
dengan WHO. Dokumen tersebut adalah dokumen mutakhir hasil
penyempurnaan keempat yang paling lengkap tentang etik penelitian
kesehatan yang mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek
penelitian. Pedoman CIOMS memberi perhatian khusus pada
penerapan Deklarasi Helsinki di negara-negara sedang berkembang
untuk digunakan bagi perumusan kebijakan penerapan standar etik
penelitian kesehatan sesuai keadaan setempat. KNEPK memakai
dokumen tersebut, sebagai bahan referensi utama, dan sangat
menganjurkan untuk membaca keseluruhan buku CIOMS tersebut.
4, Selain lima dokumen tersebut, masih terdapat banyak dokumen lain
tentang etik penelitian kesehatan berkaitan dengan permasalahan
khusus atau bidang khusus penelitian kesehatan. Misalnya
International Guidelines for Ethical Review of Epidemiological
Studies (CIOMS 1991), Guidelines for Good Clinical Practice for
Trials on Pharmaceutical Products (WHO, 1995), Ethical Guidelines
in HIV Preventive Vaccine Research (UNAIDS, 2000) dan Directive
on Clinical Trials yang diadopt oleh Council of Ministers of the
European Union yang akan diberlakukan mulai tahun 2004.
Dokumen nasional yang patut dibaca dan dimanfaatkan adalah buku
* Dokumen dapat diturunkan tanpa biaya dari website CIOMS (www.cioms.ch)Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) di Indonesia diterbitkan
Badan Pengawasan Obat dan Makanan tahun 2001 dan Pedoman
Etik Penelitian Kedokteran Indonesia yang telah diterbitkan oleh FK-
UI pada tahun 1987.III. PRINSIP ETIK UMUM
Masalah di negara sedang berkembang yang sekarang sudah makin
sedikit dipertentangkan adalah sampai seberapa jauh prinsip etik dianggap
universal atau pluralistik, berkaitan dengan budaya setempat (culturally
relative). Sebenarnya, tantangan yang sekarang dihadapi etik penelitian
Kesehatan universal adalah penerapan prinsip-prinsip etik penelitian
kesehatan universal di dunia multikultural yang menggunakan beraneka-
ragam sistem pelayanan kesehatan. KNEPK berpendirian bahwa penelitian
kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian tidak
boleh melanggar standar etik universal. Tetapi, pada aspek tertentu (seperti
otonomi perorangan dan Persetujuan Sesudah Penjelasan (PSP, Informed
Consent) harus memperhitungkan nilai-nilai budaya setempat.
Semua penelitian kesehatan yang mengikutsertakan relawan manusia
sebagai subjek penelitian wajib didasarkan pada tiga prinsip etik umum,
yaitu menghormati harkat martabat manusia (respect for persons), berbuat
baik (benificence)’, tidak merugikan (nonmaleficence) dan keadilan
(justice). Secara universal, ketiga prinsip tersebut telah disepakati dan diakui
sebagai prinsip dasar etik penelitian yang memiliki kekuatan moral.
Sehingga suatu penelitian dapat dipertanggungjawabkan baik menurut
pandangan etik maupun hukum. Buku Pedoman Nasional Etik Penelitian
Kesehatan bertujuan untuk mengaplikasikan ketiga prinsip etik umum
tersebut agar dapat dipahami oleh para peneliti dalam upaya mematuhi
2 Dalam bahasa Latin bene artinya baik dan facere artinya membuat
12norma etik penelitian kesehatan di Indonesia yang mengikutsertakan
manusia sebagai subjek penelitian.
Ketiga prinsip etik umum tersebut adalah sebagai berikut.
1. Prinsip menghormati harkat martabat manusia
Prinsip ini merupakan bentuk penghormatan terhadap harkat martabat
manusia sebagai pribadi (persona) yang memiliki kebebasan berkehendak
atau memilih dan sekaligus bertanggungjawab secara pribadi terhadap
keputusannya sendiri.
Secara mendasar prinsip ini bertujuan:
a. menghormati otonomi, yang mempersyaratkan bahwa manusia yang
mampu menalar pilihan pribadinya harus diperlakukan dengan
menghormati kemampuannya untuk mengambil keputusan mandiri
(self-determination), dan
b. melindungi manusia yang otonominya terganggu atau kurang,
mempersyaratkan bahwa manusia yang _ berketergantungan
(dependent) atau rentan (vulnerable) perlu diberikan perlindungan
terhadap kerugian atau penyalahgunaan (harm and abuse).
2. Prinsip etik berbuat baik (beneficence)
Prinsip etik berbuat baik menyangkut kewajiban membantu orang lain
dilakukan dengan mengupayakan manfaat maksimal dengan kerugian
minimal. Diikutsertakannya subyek manusia dalam penelitian kesehatan
dimaksudkan untuk membantu tercapainya tujuan penelitian yang
dilakukan.Prinsip etik berbuat baik, mempersyaratkan bahwa:
a. risiko penelitian harus wajar (reasonable) dibanding manfaat yang
diharapkan,
b. desain penelitian harus memenuhi persyaratan ilmiah (scientifically
sound),
¢. para peneliti mampu melaksanakan penelitian dan sekaligus mampu
menjaga kesejahteraan subjek penelitian, dan
d. diikuti prinsip do no harm (non maleficence-tidak merugikan), yang
menentang dengan sengaja merugikan subjek penelitian.
Prinsip tidak merugikan, menyatakan bahwa jika tidak dapat melakukan hal-
hal yang bermanfaat, maka setidak-tidaknya jangan merugikan orang lain.
Prinsip tidak merugikan bertujuan agar subyek penelitian tidak diperlakukan
sebagai sarana dan memberikan perlindungan terhadap tindakan
penyalahgunaan.
3. Prinsip etik keadilan (justice)
Prinsip etik keadilan mengacu pada kewajiban etik untuk memperlakukan
setiap orang (sebagai pribadi otonom) sama dengan moral yang benar dan
layak dalam memperoleh haknya. Prinsip etik keadilan terutama
menyangkut keadilan distributif (distributive justice) yang mempersyaratkan
pembagian seimbang (equitable), dalam hal beban dan manfaat yang
diperoleh subyek dari keikutsertaan dalam penelitian. Ini dilakukan dengan
memperhatikan, distribusi usia dan gender, status ekonomi, budaya dan
konsiderasi etnik. Perbedaan dalam distribusi beban dan manfaat hanya
dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan, jika didasarkan pada
perbedaan yang relevan secara moral antara orang-orang yang
14diikutsertakan. Salah satu perbedaan perlakuan tersebut adalah kerentanan
(vulnerability). Kerentanan adalah ketidakmampuan untuk melindungi
kepentingan sendiri dan kesulitan memberi PSP, kurangnya kemampuan
menentukan pilihan untuk memperoleh pelayanan kesehatan atau keperluan
lain yang mahal, atau karena tergolong yang muda atau berkedudukan
rendah pada hirarki kelompoknya. Untuk itu, diperlukan ketentuan khusus
untuk melindungi hak dan kesejahteraan subjek yang rentan.
Sponsor dan peneliti pada umumnya tidak bertanggung jawab atas
perlakuan yang kurang adil di tempat penelitian dilaksanakan. Kegiatan
yang dapat memperburuk keadaan, menambah kekurangadilan, atau
membantu terciptanya ketidakseimbangan baru harus dihindarkan. Sponsor
dan peneliti juga tidak boleh mengambil keuntungan/kesempatan dari
ketidakmampuan negara-negara atau daerah penghasilan rendah atau
masyarakat yang rentan untuk kepentingan sendiri dengan melaksanakan
penelitian yang lebih murah.
Penelitian obat/produk baru tanpa mengikutsertakan negara sedang
berkembang akan mengakibatkan tidak diketahuinya profil keamanan dan
efektivitas obat/produk tersebut di berbagai populasi/kelompok etnik di
negara sedang berkembang. Penyalahgunaan keadaan tertentu dari negara
berkembang tempat penelitian dilakukan, semata-mata untuk menghindari
sistem pengaturan yang rumit di negara industri guna menghasilkan produk
yang menguntungkan di pasar negara industri, tidaklah etis.
Pada umumnya, proyek penelitian harus menguntungkan negara-
negara dengan penghasilan rendah, atau paling sedikit tidak memperburuk
15keadaannya. Penelitian harus memperhatikan kebutuhan dan prioritas
kesehatan masyarakat, serta setiap produk yang dihasilkan harus dapat
tersedia secara wajar guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat
tempat penelitian dilaksanakan sedapat mungkin memperoleh pelayanan
kesehatan yang lebih efektif dan melindungi kesehatannya sendiri.
Keadilan mempersyaratkan bahwa penelitian harus peka terhadap
keadaan kesehatan dan kebutuhan subjek yang rentan. Risiko untuk subjek
yang rentan paling mudah dapat dipertanggungjawabkan, jika tindakan atau
prosedur membawa kemungkinan manfaat langsung untuk kesehatannya.
Jika tidak ada keuntungan langsung untuk subjek maka penelitian masih
dapat dibenarkan melihat manfaat yang akan diterima oleh masyarakat dari
mana subjek berasal.IV. KOMISI ETIK PENELITIAN KESEHATAN (KEPK)
Peran ilmu pengetahuan yang makin menentukan dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan bangsa Indonesia telah tampak dalam
peningkatan jumlah dan juga mutu penelitian kesehatan di Indonesia.
Sebagian penelitian kesehatan dapat diselesaikan di laboratorium dengan
menggunakan model in-vitro, tetapi sering juga diperlukan model in-vivo
dengan menggunakan hewan percobaan dan/atau mengikutsertakan relawan
manusia sebagai subjek penelitian. Sebagai bangsa yang beradab, kesediaan
dan pengorbanan relawan manusia wajib dihargai dan dihormati. Dalam hal
ini perlu dikembangkan mekanisme, struktur, dan prosedur yang selalu
melindungi kehidupan, kesehatan, kesejahteraan (welfare), keleluasaan
pribadi (privacy), dan martabat (dignity) relawan manusia. Untuk keperluan
tersebut perlu dibentuk Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) di setiap
lembaga yang banyak/sering melaksanakan penelitian kesehatan, dengan
mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian atau menggunakan
hewan percobaan. KEPK sesudah melakukan penilaian protokol penelitian
dengan hasil yang memuaskan atau memberikan persetujuan etik (ethical
approval). Penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek
penelitian atau menggunakan hewan percobaan, yang dilaksanakan tanpa
persetujuan etik adalah pelanggaran berat etik penelitian.
KEPK dapat dibentuk di tingkat lembaga, lokal, regional, nasional,
dan internasional. Melihat luasnya negara Indonesia dengan demikian
banyak lembaga penelitian kesehatan, maka kurang layak untuk diadakan
sentralisasi pengelolaan dan perlu diadakan desentralisasi. Keadaan di
17daerah juga beranekaragam dan dengan demikian KEPK sebaiknya dibentuk
di tingkat lembaga. Di wilayah di mana terdapat lembaga penelitian yang
baik/kuat, dikelilingi lembaga-lembaga yang masih dalam tahap
pengembangan kemampuannya dengan jumlah penelitian yang masih
terbatas, maka demi efisiensi KEPK lembaga yang kuat atas permintaan,
dapat berfungsi sebagai KEPK regional. Untuk penelitian kerja sama dengan
luar negeri kadang-kadang dipersyaratkan persetujuan etik tingkat nasional.
Melihat tugas pokok dan kedudukan KNEPK yang hanya pada keadaan
khusus memberi persetujuan etik, maka sewajarnya KEPK Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI berfungsi sebagai
KEPK tingkat Nasional.
Menteri Kesehatan RI dengan Surat Keputusan No.1334/Menkes/
SK/X/2002 tanggal 29 Oktober 2002, telah memberi dasar hukum untuk
membentuk Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK). KNEPK.
telah menyusun Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan dan
mengembangkan jaringan komunikasi nasional, supaya etik penelitian
kesehatan di Indonesia dapat ditegakkan sebagai hasil upaya bersama.
Pada pembentukan KEPK di lembaga-lembaga penelitian kesehatan
perlu diperhatikan beberapa aspek umum sebagai berikut.Kedudukan KEPK
KEPK sebagai bagian dari organisasi lembaga yang melaksanakan
penelitian kesehatan secara administratif bertanggungjawab kepada
pimpinan lembaga
KEPK harus dibentuk mengikuti peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia dan sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
masyarakat yang dilayaninya
Lembaga harus menyediakan segala bentuk dukungan yang
diperlukan KEPK untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik
. KEPK melaksanakan fungsinya secara independen yaitu bebas dari
pengaruh manapun, termasuk tekanan politik, lembaga, profesi,
industri, atau pasar
Untuk pembentukan KEPK, pimpinan lembaga menentukan beberapa
orang sebagai formatur yang bersama pimpinan lembaga menentukan
keanggotaan, KEPK pada sidang pertama memilih ketua, wakil ketua
dan sekretaris. Selanjutnya KEPK sebagai badan independen memilih
anggota baru untuk kemudian diangkat/dikukuhkan oleh pimpinan
lembaga
Peran dan fungsi KEPK
Menyampaikan atas permintaan atau atas prakarsa sendiri nasehat dan
pandangannya mengenai permasalahan ctik penelitian kesehatan
kepada pimpinan lembaga.
. Menjamin bahwa penelitian kesehatan yang dilaksanakan oleh, di,
atau bersama lembaga memenuhi kriteria etik penelitian.20
. Menjamin bahwa relawan manusia yang diikutsertakan sebagai
subjek penelitian dihormati dan dilindungi martabat (dignity),
keleluasaan pribadi (privacy), hak-hak, kesehatan, keselamatan, dan
kesejahteraannya.
. Menjamin bahwa keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan subjek
penelitian tidak pernah akan dikalahkan (override) oleh upaya
pencapaian tujuan penelitian bagaimanapun pentingnya.
Menjamin kesejahteraan dan penanganan manusiawi hewan
percobaan yang digunakan dalam penelitian kesehatan.
. Menegaskan bahwa etik penelitian akan dilaksanakan atas dasar tiga
prinsip etik umum, yaitu menghormati harkat martabat manusia,
berbuat baik, dan keadilan.
Dalam pelaksanaan peran dan fungsinya KEPK memakai sebagai
dasar Deklarasi Helsinki dan buku Pedoman Nasional Etik Penelitian
Kesehatan.
KEPK melaksanakan fungsinya dengan memberi persetujuan etik
(ethical approval) sesudah melakukan penilaian protokol penelitian
yang diketahui pimpinan lembaga.
. KEPK tidak berwenang memberi sanksi, tetapi dapat mengusulkan
pemberian sanksi kepada pimpinan lembaga. KEPK berhak menarik
kembali/membatalkan persetujuan etik yang telah diberikan kalau di
kemudian hari ditemukan pelanggaran selama pelaksanaan penelitian.
Pada prinsipnya KEPK menganggap bahwa pemberian sanksi kurang
pantas dan lebih mengutamakan mengembangkan suasana
keterbukaan dan saling percaya (mutual trust) untuk melakukan
pembinaan.. KEPK bukan komisi penguji atau penilai ilmiah (akademis), tetapi
merupakan komisi penilai dan pengambil keputusan tentang kelayakan
etis suatu penelitian kesehatan guna mendukung terlaksananya
penelitian kesehatan bermutu.
Keanggotaan KEPK
awam yang dapat menyampaikan pandangan dan keprihatinan
masyarakat. Multidisiplin berarti, bahwa terdapat anggota dari berbagai
disiplin ilmu, selain Anggota baru dipilih oleh sidang KEPK dan
dikukuhkan oleh pimpinan lembaga.
. Harus tersedia prosedur tertulis mengenai identifikasi dan pemilihan
anggota KEPK, masa bakti keanggotaan, kebijakan tentang pemilihan
ulang, serta prosedur diskualifikasi, pengunduran diri, dan penggantian.
Supaya KEPK dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, maka
keanggotaan KEPK mutlak multidisiplin dan multisektoral, dengan
distribusi kepakaran yang relevan, distribusi umur dan gender yang
seimbang, serta dilengkapi orang (-orang) yang terhimpun pada ilmu
kesehatan, seperti ilmu hukum, sosiologi, pendidikan dan filsafat etika.
|. Lembaga juga memerlukan KEPK yang menjamin etik penelitian pada
penggunaan hewan percobaan. Kalau lembaga memutuskan, bahwa
KEPK melaksanakan kedua fungsi, yaitu etik tentang pengikutsertaan
manusia dan penggunaan hewan percobaan, maka paling sedikit harus
ada satu dokter hewan sebagai anggota KEPK.
Komposisi keanggotaan dan jumlah anggota ditentukan oleh sidang
KEPK. KEPK tidak merupakan forum perwakilan dan demi efisiensi
21kerja jumlah anggota perlu dibatasi, jumlah optimal diperkirakan 5 - 10
anggota.
Jika diperlukan pada sidang penilaian etik protokol penelitian KEPK
dapat mengundang konsultan bebas guna melengkapi kepakaran etiknya,
. Untuk menjamin kebebasan KEPK agar tidak dipengaruhi atau ditekan,
sebaiknya pimpinan lembaga tidak menjadi anggota KEPK, dan terdapat
cukup banyak anggota KEPK yang berasal dari luar lembaga.
. Setiap KEPK wajib memiliki buku pedoman yang terjangkau oleh yang
memerlukannya. KEPK dapat menggunakan sepenuhnya Pedoman
Nasional Etik Penelitian Kesehatan, tetapi jika dianggap perlu dapat
mengadakan penyesuaian dengan keadaan dan keperluan setempat. Jika
diadakan penyesuaian maka KEPK harus menerbitkan buku
pedomannya sendiri.
Perlu diadakan sistem rotasi keanggotaan sehingga terjamin kontinuitas
dan pengembangan/pemeliharaan kepakaran di KEPK dan KEPK secara
berkala diperkaya dengan pemikiran dan pendekatan segar/baru
Anggota terpilih harus menyetujui nama dan afiliasinya diumumkan
serta bersedia menandatangani perjanjian kerahasiaan yang mencakup
kerahasiaan tentang pembahasan pada sidang, aplikasi dan informasi
tentang peneliti. Perjanjian kerahasian tersebut juga harus ditandatangani
oleh anggota sekretariat KEPK.
. Pendidikan awal dan berkelanjutan (initial and continued education)
untuk anggota KEPK perlu diupayakan dengan dukungan lembaga4, Penilaian etik protokol penelitian
a. Penilaian protokol penelitian dilakukan oleh sidang KEPK yang sah
dan dilaksanakan secara kompeten, rahasia, tepat waktu dan bebas
dari segala pengaruh atau tekanan politik, lembaga, profesi, industri
atau pasar.
b. Anggota KEPK dapat menerima imbalan untuk jasa penilaian
protokol penelitian. Tetapi, penerimaan imbalan tidak boleh berkaitan
dengan pengambilan keputusan dalam sidang KEPK. Imbalan yang
diminta untuk anggota KEPK maupun lembaganya tidak boleh
sedemikian besar, sehingga menghambat pelaksanaan penelitian.
c. Sidang KEPK adalah sah jika tercapai kuorum, yaitu kehadiran lebih
dari setengah jumlah anggota dengan tetap memperhatikan distribusi
yang wajar antar anggota.
d. Sidang KEPK diadakan sesuai kebutuhan, tetapi paling sedikit
diadakan setiap 3 bulan.
e. Keputusan sidang KEPK diambil atas dasar konsensus atau
pemungutan suara.
f. Jika seorang anggota KEPK memiliki keterkaitan dengan penelitian
yang dinilai sehingga mungkin terjadi pertentangan kepentingan
(conflict of interest), maka dia harus melaporkan hal tersebut kepada
ketua sebelum penilaian dimulai. Dia boleh hadir, namun tidak ikut
serta dalam pembahasan dan pengambilan keputusan.
23g.
24
Persetujuan etik diberikan sesudah protokol penelitian dibahas,
dinilai, dan disetujui oleh sidang KEPK yang sah.
Seluruh proses penilaian serta keputusan sidang KEPK harus
didokumentasi.
Anggota KEPK perlu diberi cukup waktu untuk mempelajari protokol
penelitian yang akan dinilai.
KEPK hanya melakukan penilaian etik pada protokol penelitian yang
diketahui/disetujui oleh pimpinan lembaga. Hasil sidang KEPK
disampaikan dengan surat kepada peneliti dan pemimpin lembaga.
Pengiriman protokol penelitian secara resmi oleh pimpinan lembaga
merupakan jaminan, bahwa tim peneliti memiliki kemampuan untuk
melaksanakan penelitian dipandang dari latar belakang pendidikan
dan pengalaman, serta tersedianya dukungan sarana yang diperlukan.
Protokol harus dilengkapi surat persetujuan dari komisi ilmiah
lembaga yang menjamin bahwa masalah penelitian aktual dan relevan
dan didukung oleh tinjauan kepustakaan yang lengkap dan mutakhir,
serta desain penelitian yang memenuhi persyaratan. Jika lembaga
belum memiliki komisi ilmiah, maka tugas tersebut menjadi tanggung
jawab komisi etik.
Dalam protokol harus dijelaskan tata cara mendapat PSP dari calon
subjek penelitian dan dilengkapi format yang akan ditandatangani
oleh subjek penelitian.Format protokol penelitian harus dilengkapi cukup informasi tentang
cara pengisiannya dan dokumen-dokumen yang perlu dilampirkan.
Protokol hanya akan dinilai, kalau menggunakan format yang sudah
disediakan, dan dilengkapi semua lampiran dalam jumlah kopi yang
ditentukan.
Protokol penelitian perlu dilengkapi dengan daftar riwayat hidup
para peneliti.
25V. PROSES PENILAIAN ETIK
Lembaga-lembaga penelitian di Indonesia yang melaksanakan
penelitian kesehatan dan juga para ilmuwannya, sudah mengenal dan
terbiasa dengan proses penilaian ilmiah (scientific review). Penilaian ilmiah
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah yang universal dengan cara
dan metode yang sudah diakui keabsahannya oleh masyarakat ilmiah.
Penemuan masalah umum dengan latar belakang, perumusan masalah
ilmiah, tujuan penelitian, penyusunan hipotesis, perencanaan dan
pelaksanaan eksperimen dengan metode standar, pengumpulan, dan
pengelolaan data, sampai pada kesimpulan yang memecahkan masalah
ilmiah. Ini adalah rangkaian kegiatan yang pada umumnya sudah dikenal
dan tidak menimbulkan banyak kesulitan.
Berlainan halnya dengan proses penilaian etik penelitian, yang
sering masih belum cukup dikenal. Dalam ilmu pengetahuan, kita biasanya
dihadapkan keadaan hitam-putih atau benar-salah, tetapi pada etik penelitian
ditemukan suatu skala antara hitam dan putih dengan segala
pertimbangannya. Pada penilaian etik penelitian tidak dapat digunakan cara
yang absolut, antara benar dan salah tetapi ditemukan skala antara yang
lebih baik, wajar atau pantas; dengan yang kurang baik, atau tidak dapat
diterima. Penilaian etik penelitian tidak mungkin dan tidak layak dibakukan
metode dan tata cara pelaksanaannya dengan pendekatan uniform (blanket
approach). Setiap protokol penelitian yang dinilai harus diperlakukan
sebagai karya yang unik.
26Dengan demikian, buku Pedoman Nasional Etik Penelitian
Kesehatan, selain menjelaskan prinsip etik umum (Bab III), akan
menyampaikan juga sejumlah butir pedoman untuk dimanfaatkan pada
penilaian etik penelitian kesehatan. Butir-butir pedoman secara selektif
diterjemahkan, dipersingkat dan dilengkapi sesuai kebutuhan Indonesia dari
buku Jnternational Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving
Human Subjects (CIOMS, 2002). Sebaiknya seluruh buku referensi tersebut
dibaca supaya mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh dan
lengkap.
Butir Pedoman 1
Pembenaran etik dan keabsahan ilmiah penelitian kesehatan yang
mengikutsertakan manusia
Penelitian kesehatan yang mengikutsertakan relawan manusia
sebagai subjek penelitian dapat secara etis dibenarkan karena terdapat
kemungkinan ditemukan cara-cara baru yang akan menguntungkan
kesehatan masyarakat. Penelitian tersebut hanya dapat dibenarkan secara
etis jika dilaksanakan dengan:
a. menghormati dan melindungi subjek penelitian;
b. adil terhadap subjek penelitian; dan
c. penelitian secara moral dapat diterima oleh masyarakat lokasi
penelitian.
Penelitian yang secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan
tidak etis untuk dilaksanakan, karena memaparkan subjek penelitian pada
risiko tanpa kemungkinan memperoleh manfaat. Peneliti dan sponsor harus
27menjamin bahwa penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek
penelitian sesuai prinsip-prinsip ilmiah yang diterima secara umum dan
didasarkan pada pengetahuan yang memadai dari tinjauan kepustakaan
ilmiah mutakhir.
Penjelasan
Ciri-ciri esensial penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai
subjek penelitian yang secara etis dapat dibenarkan, adalah:
a, penelitian merupakan sarana untuk menghasilkan informasi yang
tidak dapat diperoleh dengan cara lain;
. desain penelitian memenuhi persyaratan ilmiah;
metode yang digunakan harus sesuai dengan tujuan penelitian dan
bidang ilmu pengetahuan; dan
|. peneliti dan semua tenaga pendukung yang ikut melaksanakan
penelitian harus kompeten dilihat dari latar belakang pendidikan dan
pengala-mannya. Informasi tersebut harus disampaikan dalam
protokol penelitian yang diajukan kepada komisi ilmiah dan KEPK
untuk penilaian dan persetujuan.
Butir Pedoman 2
Komisi etik penelitian
Semua protokol penelitian yang mengikutsertakan manusia harus
diajukan untuk dinilai kebaikan (merit) ilmiahnya dan kepantasan etiknya
oleh komisi ilmiah dan KEPK. Kedua komisi harus independen dari tim
28penelitian. Keuntungan finansial atau imbalan dalam bentuk lain yang
diterima dari penelitian tidak boleh mempengaruhi hasil penilaian. Peneliti
sudah harus mendapatkan persetujuan etik sebelum memulai penelitian.
KEPK harus mengadakan peninjauan lanjutan selama penelitian berjalan,
termasuk pemantauan kemajuan.
Penjelasan
Uraian lebih rinci telah disampaikan di bab IV tentang Komisi Etik
Penelitian Kesehatan.
Butir Pedoman 3
Penilaian ctik penelitian dengan sponsor eksternal
Organisasi sponsor eksternal dan peneliti asing perorangan harus
mengajukan protokol penelitian untuk penilaian ilmiah dan etik di negara
asalnya. Peninjauan harus dilakukan dengan standar etik yang sama ketat
seperti digunakan untuk penelitian yang dilaksanakan di negara tersebut.
Persetujuan ilmiah dan etik dari negara asalnya perlu dilampirkan pada
protokol penelitian yang diajukan kepada komisi ilmiah dan KEPK di
Indonesia. Pejabat kesehatan Indonesia, dan juga KEPK nasional, wilayah
atau lembaga, harus menjamin bahwa penelitian yang diusulkan adalah
sesuai dengan kebutuhan dan prioritas kesehatan Indonesia, memenuhi
standar etik yang dipersyaratkan, dan tidak bertentangan dengan norma yang,
berlaku di dalam masyarakat.
2930
Penjelasan
fy
Yang dimaksud dengan penelitian dengan sponsor eksternal adalah
penelitian yang dilakukan di negara tuan rumah (host country) tetapi
disponsori, dibiayai, dan kadang-kadang sebagian atau seluruhnya
dilaksanakan oleh organisasi internasional/nasional atau perusahan
farmasi dengan kerja sama/persetujuan dari penguasa terkait, lembaga
dan personel negara tuan rumah.
Komisi etik penelitian di negara sponsor atau di organisasi
internasional bertanggungjawab, bahwa penelitian memenuhi
persyaratan ilmiah dan etik negara asalnya/organisasi, serta ditambah
pembenaran yang kuat untuk melaksanakan penelitian di Indonesia.
Negara sponsor atau organisasi internasional harus melakukan
penilaian etik sesuai prosedur penilaian etiknya yang independen
dengan standar etik yang lazim digunakannya.
KEPK di Indonesia mengemban tugas khusus, yaitu menjamin bahwa
tujuan penelitian adalah sesuai kebutuhan dan prioritas kesehatan
Indonesia dan menjamin bahwa penelitian dilaksanakan sesuai
dengan kebiasaan dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, khususnya
penduduk setempat.
. KEPK di Indonesia lebih kompeten untuk menilai protokol penelitian
secara rinci, karena lebih memahami nilai dan norma budaya
penduduk setempat
KEPK di Indonesia juga lebih kompeten untuk memantau kepatuhan
selama penelitian berlangsung.Butir Pedoman 4
Persetujuan sesudah penjelasan (PSP) perorangan
(Individual Informed Consent)
Pada semua penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia
sebagai subjek penelitian, peneliti harus memperoleh PSP sukarela dari
calon subjek penelitian. Jika subjek penelitian tidak mampu memberi PSP
maka persetujuan harus diperoleh dari seorang yang menurut hukum yang
berlaku berhak mewakilinya. Tidak diperlukannya PSP (waiver) hanya
dibenarkan pada suatu keadaan khusus, dan merupakan suatu perkecualian
yang harus disetujui lebih dahulu oleh KEPK.
Penjelasan
PSP perorangan untuk menjadi subjek penelitian adalah keputusan
yang diambil oleh manusia yang kompeten, sesudah menerima dan
memahami informasi yang diperlukan, serta mengambil keputusan
tanpa dipaksa, dipengaruhi berlebihan, didorong, dibujuki, atau
diintimidasi. PSP didasarkan pada prinsip, bahwa manusia yang
kompeten, harus bebas memilih ikut serta atau tidak ikut serta. Maka
dengan demikian, hal ini melindungi kebebasan memilih dan
menghormati otonomi perorangan.
Proses memperoleh PSP terdiri atas memberikan informasi,
mengulangi penjelasan, menjawab secara jujur semua pertanyaan dan
menjamin bahwa calon subjek penelitian memahami setiap tahap
penelitian. Proses yang dilaksanakan dengan baik, membuktikan
bahwa peneliti menghormati martabat dan otonomi calon subjek
3L32
penelitian. Setiap calon subjek penelitian diberi waktu yang cukup
untuk mengambil keputusan dan untuk berkonsultasi dengan keluarga
atau orang lain.
. Pemberian informasi untuk mendapatkan PSP tidak boleh merupakan
ritual pembacaan dokumen. Informasi harus diberikan dalam bahasa
yang dapat dimengerti dan sesuai dengan tingkat pendidikan calon
subjek penelitian. Selalu perlu diperhatikan kedewasaan, kecerdasan,
tingkat pendidikan, dan agama atau sistem kepercayaan subjek.
Keberhasilan seluruh proses ditentukan oleh kemampuan dan
kesediaan peneliti untuk berkomunikasi penuh kesabaran dan
kepekaan.
. Biasanya PSP diberikan secara tertulis dan calon subjek penelitian
diminta menandatangani format PSP yang ikut ditandatangani oleh
seorang saksi. Jika calon subjek penelitian tidak mampu
melakukannya maka PSP ditandatangani oleh orang yang berhak
mewakilinya menurut hukum yang berlaku. Pemberian PSP secara
lisan harus disetujui lebih dahulu oleh KEPK dan pemberian PSP
lisan harus ditandatangani oleh saksi.
. KEPK dapat membuat perkecualian dan menyetujui bahwa seluruh
atau sebagian PSP tidak diperlukan (waiver). Jika, risiko
keikutsertaannya minimal, yaitu risiko yang tidak lebih dari
pemeriksaan rutin medik dan psikologik, ataa memperoleh PSP dari
setiap subjek menyebabkan penelitian kurang layak dilaksanakan.
Perkecualian, juga dapat diberikan kalau dokumen penandatanganan
merupakan ancaman terhadap kerahasiaan perorangan.Peneliti tidak boleh mulai melaksanakan penelitian pada seseorang
subjek penelitian sebelum mendapat PSP dari subjek yang
bersangkutan.
Pada penelitian dengan risiko minimal yang permintaan PSP setiap
individu akan membuat penelitian tidak layak dilaksanakan (seperti
pemanfaatan data dari catatan medik penderita), komisi etik dapat
memberi perkecualian pada sebagian atau keseluruhan proses
permintaan PSP.
PSP perlu diperbaharui, kalau terjadi perubahan pada keadaan dan
prosedur penelitian, misalkan diperolehnya informasi baru yang
berasal dari penelitian itu sendiri atau dari sumber informasi lain yang
mempengaruhi keseimbangan, antara risiko dan manfaat.
Pembaharuan PSP juga perlu dilakukan secara berkala dan terencana
pada penelitian jangka panjang.
Di Indonesia sering ditemukan keadaan di mana peneliti baru dapat
masuk suatu masyarakat dan menghubungi calon-calon subjek
penelitian sesudah mendapat restu/izin dari pemimpin masyarakat/
adat setempat. Kebiasaan tersebut harus dihormati tetapi izin
pemimpin masyarakat/adat setempat tidak dapat mengganti PSP
perorangan dari calon subjek penelitian. Perkecualian dalam hal ini
dapat diadakan dengan persetujuan KEPK.
. Untuk penelitian kerja sama dengan luar negeri, jika perlu harus
dialokasikan anggaran khusus supaya PSP dapat diperoleh menurut
standar yang ditetapkan di Indonesia, dalam bahasa lokal dan sesuai
dengan budaya setempat.
3334
11. Catatan medik (medical records) dan bahan biologik yang tersimpan
pada pelayanan klinik, hanya dapat digunakan untuk penelitian tanpa
PSP dari penderita, kalan KEPK memutuskan bahwa:
a. penelitian hanya memberi risiko minimal serta hak dan
kepentingan penderita tidak dilanggar;
b. keleluasaan pribadi, kerahasiaan dan anonimitas penderita
terjamin;
c. penelitian akan menjawab pertanyaan penting;
d. meminta PSP setiap penderita tidak layak dilakukan; dan
e. penderita berhak mengetahui bahwa catatan medik dan spesimen
biologiknya akan digunakan untuk penelitian.
12. Seorang peneliti mungkin ingin menggunakan catatan medik atau
bahan biologik yang dikumpulkan dan digunakan peneliti lain di
lembaga atau negara lain. Permasalahan yang mungkin akan timbul
adalah catatan medik dan bahan biologik memuat informasi yang
dapat mengidentifikasi subjek penelitian, sehingga kerahasiaan dapat
mengancam. Pemanfaatannya lagi catatan medik atau bahan
biologik, pada umumnya ditentukan oleh cara pengisian dokumen
asli PSP. Karena itu, sebaiknya jika diantisipasi kemungkinan
penggunaan lebih lanjut di kemudian hari, hal tersebut harus tertulis
dalam PSP.
Yang perlu dibahas dengan subjek penelitian adalah:
a. kemungkinan pemanfaatan lagi catatan medik dan bahan biologik
dan apakah pemanfaatan tersebut terbatas pada penelitian sejenisb. keadaan yang mewajibkan peneliti meminta otorisasi tambahan
langsung dari subjek penelitian;
c. peneliti akan memusnakan/menghilangkan segala sesuatu yang
mungkin dapat mengidentifikasi subjek penelitian; dan
d. subjek berhak untuk meminta pemusnaan atau dianonimkan
catatan medik atau bahan biologiknya yang dianggapnya sangat
sensitif, seperti foto, videotapes atau audiotapes.
Butir Pedoman 5
Memperoleh PSP : informasi esensial untuk calon subjek penelitian
Sebelum meminta seorang ikut serta sebagai subjek penelitian,
peneliti harus memberikan, dalam bahasa atau bentuk komunikasi lain yang
dapat dipahami oleh calon subjek penelitian, informasi yang mencakup hal-
hal sebagai berikut.
1. Bahwa dia diundang untuk ikut serta dalam penelitian, dengan alasan
mengapa dia dianggap cocok menjadi subjek penelitian, dan bahwa
keikutsertaannya adalah sukarela.
2. Dia bebas untuk menolak ikut serta dan dia bebas setiap saat menarik
diri dari penelitian tanpa hukuman atau kehilangan keuntungan yang
sebenarnya merupakan haknya.
3. Tujuan penelitian, prosedur yang dilakukan oleh peneliti dan calon
subjek penelitian, penjelasan perbedaan penelitian dengan pelayanan
medik rutin.
3536
Pada uji coba dengan pembanding (controlled trials) diberi penjelasan
tentang ciri-ciri penelitian, seperti pengacakan (randomization) dan
ketersamaran ganda (double-blinding). Subjek tidak akan diberitahu
tentang pengobatan yang diterimanya sampai penelitian berakhir dan
ketersamaran (blinding) sudah dihapus.
Kurun waktu keikutsertaannya, termasuk jumlah dan lamanya
kedatangannya ke pusat penelitian serta kemungkinan penelitian atau
keikutsertaannya dihentikan lebih awal.
Pemberian uang atau barang lain sebagai imbalan untuk
keikutsertaannya dengan dijelaskan jumlah dan bentuk imbalan
tersebut.
Sesudah penelitian selesai, subjek akan diberitahukan secara umum
hasil penelitian. Setiap subjek perorangan akan diberitahukan, tentang
setiap penemuan yang berkaitan dengan status kesehatan pribadinya.
Subjek atas permintaan berhak melihat data tentang dirinya, meskipun
data tidak memiliki kegunaan klinis, kecuali kalau komisi etik telah
mengizinkan non-disclosure data sementara atau permanen. Pada
keadaan itu, subjek diberitahukan tentang xon-disclosure dan
alasannya.
Risiko, rasa nyeri, ketidaknyamanan (discomfort), dan ketidaksenangan
(inconvenience) yang diduga mungkin akan dialami subjek penelitian,
termasuk risiko pada kesehatan dan kesejahteraan suami/isteri/mitranya.
. Manfaat langsung, jika ada, yang diharapkan untuk subjek dari
keikutsertaan subjek dalam penelitian.12.
13.
15.
16.
18.
. Manfaat yang diharapkan untuk masyarakat setempat atau masyarakat
luas, atau sumbangan kepada ilmu pengetahuan.
Apakah, kapan, dan bagaimana produk atau tindakan yang oleh
penelitian terbukti aman dan efektif, akan tersedia untuk subjek,
sesudah selesai ikut serta dalam penelitian, dan apakah sekiranya harus
membayar.
Tindakan atau cara pengobatan lain yang disediakan.
. Ketetapan yang akan diambil untuk menjamin keleluasaan pribadi
subjek dihormati serta kerahasiaan catatan yang dapat mengidentifikasi
subjek.
Batas-batas, secara hukum atau cara lain, kemampuan peneliti untuk
mengamankan kerahasiaan dan akibat yang mungkin terjadi, kalau
terjadi pelanggaran kerahasiaan.
Kebijakan mengenai pemanfaatan hasil uji genetik dan informasi
genetik keluarga, tindakan pencegahan yang ada, guna mencegah
pengungkapan hasil tes genetik subjek kepada keluarga atau pihak lain
(seperti perusahaan asuransi atau majikannya), tanpa persetujuan
subjek.
. Sponsor penelitian, afiliasi kelembagaan para peneliti, serta bentuk dan
sumber pembiayaan penelitian.
Kemungkinan penggunaan untuk penelitian, langsung atau tidak
langsung, catatan medik dan bahan biologik yang diambil sebagai
bagian pelayanan klinik.
3719.
20.
21,
22.
23.
24.
25.
38
Apakah direncanakan pemusnahan bahan biologik pada akhir
penelitian, kalau tidak dimusnahkan perlu dijelaskan penyimpanannya
(di mana, caranya, untuk berapa lama, dan disposisi akhir) dan
kemungkinan penggunaannya di kemudian hari. Subjek berhak
mengambil keputusan tentang penggunaannya di kemudian hari,
menolak penyimpanan, dan meminta pemusnaan.
Apakah akan dihasilkan produk komersial dari bahan biologiknya,
apakah subjek akan memperoleh keuntungan berupa uang atau dalam
bentuk lain dari pengembangan produk tersebut.
Apakah peneliti hanya berperan sebagai peneliti atau juga sebagai
dokternya.
Sampai seberapa jauh peneliti bertanggungjawab memberikan
pelayanan medik kepada subjek.
Pengobatan bebas biaya akan diberikan untuk kerugian (injury) atau
komplikasi akibat penelitian, bentuk dan lamanya pelayanan tersebut,
nama organisasi atau orang yang akan memberi pelayanan medik,
apakah terdapat sesuatu ketidakpastian tentang pembiayaan pelayanan
medik tersebut.
Dengan cara apa dan oleh organisasi mana subjek penelitian atau
keluarganya akan menerima kompensasi, jika terjadi cacat atau
kematian sebagai akibat kerugian tersebut. Kalau tidak terdapat
rencana pemberian kompensasi, maka hal tersebut harus dijelaskan.
Bahwa komisi etik telah memberi persetujuan etik pada protokol
penelitian.Butir Pedoman 6
Memperoleh PSP: kewajiban sponsor dan peneliti
Sponsor dan peneliti berkewajiban untuk:
a. tidak melakukan penipuan (deception), tidak memberi pengaruh
berlebihan atau melakukan intimidasi;
b. hanya meminta PSP setelah dia yakin, bahwa subjek cukup
memahami semua fakta dan akibat pengikutsertaannya, dan telah
diberi cukup kesempatan untuk mempertimbangkan keputusan
keikutsertaannya;
c, sebagai aturan umum, dari setiap subjek diperoleh format PSP
yang ditandatangani sebagai tanda bukti. Peneliti harus memiliki
alasan kuat untuk membuat perkecualian dari aturan umum
tersebut dan perkecualian harus disetujui lebih dahulu oleh
KEPK;
d. memperbaharui PSP setiap subjek, kalau terjadi perubahan berarti
pada keadaan dan prosedur penelitian, atau kalau tersedia
informasi baru yang dapat mempengaruhi kesediaan subjek untuk
terus ikut serta; dan
e. memperbaharui PSP untuk setiap subjek secara berkala pada
penelitian jangka panjang, pada jangka waktu yang telah
direncanakan, meskipun tidak terjadi perubahan pada desain atau
tujuan penelitian.
Penjelasan
1. Orang yang meminta PSP harus memahami penelitian dan mampu
menjawab semua pertanyaan yang mungkin akan diajukan.
Peneliti, sebaiknya siap di tempat jika diperlukan untuk
3940
membantu menjawab pertanyaan. Pembatasan bertanya, akan
mengurangi keabsahan PSP.
. Pada jenis penelitian tertentu peneliti dengan sengaja tidak
memberi informasi karena perlu dirahasiakan supaya penelitian
dapat mencapai tujuannya. Tindakan tersebut dengan penjelasan
harus disampaikan terlebih dahulu kepada KEPK untuk mendapat
persetujuan.
Intimidasi dalam bentuk apapun menyebabkan PSP menjadi tidak
sah.
Dokter-peneliti harus sadar tentang kedudukannya yang amat
berpengaruh dalam hubungan dokter-penderita. Oleh karena itu
dokter-peneliti harus yakin bahwa keikutsertaan penderita murni
atas keinginannya sendiri.
Peneliti harus menjelaskan secara objektif, lengkap, dan rinci
tentang ciri-ciri tindakan percobaan, seperti rasa nyeri,
ketidaknyamanan, risiko yang diketahui, dan kemungkinan
bahaya. Perlu juga dijelaskan, apakah terdapat risiko untuk
suami/isteri atau mitranya.
. Pada penelitian yang berkaitan dengan keadaan darurat, sering
tidak mungkin diperoleh PSP sebelumnya. Keadaan darurat harus
dijelaskan dalam protokol, ditambahkan dengan tindakan yang
akan diambil kalau PSP sudah mungkin dimintakan, paling sedikit
dari keluarga terdekat.Butir Pedoman 7
Perangsang (inducement) untuk ikut serta dalam penelitian
Subjek dapat diberi kompensasi untuk kehilangan penghasilannya,
biaya perjalanan dan pengeluaran lain berkaitan dengan keikutsertaannya
dalam penelitian. Namun, tidak boleh digunakan sebagai imbalan untuk
besarnya risiko yang harus ditanggung oleh subjek. Dia juga dapat
menerima pelayanan medik bebas biaya. Subjek, khusus untuk yang tidak
mendapat manfaat langsung, dapat diberikan kompensasi untuk
kekurangsenangan (inconvenience) dan waktu yang telah diberikan. Tetapi,
bayaran atau pelayanan medik tidak boleh demikian besar sehingga dapat
mempengaruhi keputusan subjek untuk ikut serta berlawanan dengan
kemauan pribadi yang sebenarnya (undue inducement). Semua bayaran dan
pelayanan medik yang diberikan pada subjek harus disetujui terlebih dahulu
oleh KEPK.
Penjelasan
1, Pemberian imbalan berupa uang atau dalam bentuk lain harus
dinilai dengan latar belakang tradisi dan budaya penduduk
setempat untuk menghindari pengaruh yang berlebihan (undue
inducement).
2. Penjaga/pengantar dari subjek yang dimintakan PSP yang kurang
kompeten, tidak diberi imbalan kecuali biaya perjalanan dan
pengeluaran yang berkaitan.
3. Subjek yang menarik diri dari penelitian karena alasan berkaitan
dengan penelitian, misalkan efek samping obat yang diteliti yang
41tidak dapat diterima atau alasan kesehatan, harus diberi bayaran
atau imbalan penuh, seperti yang seharusnya diterimanya pada
akhir penelitian. Pada penghentian ikut serta oleh sebab lain,
subjek diberi imbalan sesuai proporsi keikutsertaannya.
4. Peneliti yang mengeluarkan subjek karena ketidakpatuhan (non-
compliance) dapat menahan sebagian atau — seluruh
pembayarannya.
Butir Pedoman 8
Manfaat dan risiko keikutsertaan dalam penelitian
Pada semua penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia
sebagai subjek penelitian, peneliti harus menjamin bahwa manfaat dan
tisiko keikutsertaan seimbang secara wajar dan diupayakan supaya risiko
sekecil mungkin.
42
a. Tindakan atau prosedur yang mungkin memberi manfaat langsung
kepada subjek (diagnostik, terapi atau pencegahan) harus dibenarkan
karena diharapkan bahwa manfaat untuk subjek akan paling sedikit
sama dibanding setiap alternatif lain yang tersedia. Risiko tindakan
dan prosedur yang bermanfaat harus dibenarkan berhubungan
dengan manfaat yang diharapkan untuk perorangan subjek.
b. Risiko tindakan yang tidak akan memberi manfaat langsung kepada
subjek (diagnostik, terapi atau pencegahan) dapat
dipertanggungjawabkan berkaitan dengan manfaat yang diharapkan
untuk masyarakat (generalizable knowledge). Risiko tindakan
tersebut harus wajar dibandingkan pentingnya pengetahuan yang
akan diperoleh.Penjelasan
1s
Deklarasi Helsinki dalam beberapa paragraf, membahas kesejahteraan
subjek penelitian dan penghindaran risiko. Deklarasi Helsinki
menegaskan, bahwa kesejahteraan subjek penelitian harus diutamakan
dari pada kepentingan ilmu pengetahuan dan masyarakat (butir 5). Uji
klinik, harus didahului oleh penelitian laboratorium dan jika layak
percobaan hewan untuk menunjukkan kemungkinan keberhasilan yang
wajar tanpa risiko yang tidak pantas (butir 11). Setiap penelitian harus
didahului pengkajian cermat tentang risiko dan beban yang dapat
diprakirakan dibandingkan dengan manfaat yang diharapkan untuk
subjek dan orang lain (butirl6). Dokter-peneliti harus yakin, bahwa
risiko yang berkaitan telah cukup dikaji dan dapat ditangani secara
memuaskan (butir 17), risiko serta beban untuk subjek harus diperkecil’
dan wajar berkaitan dengan pentingnya tujuan penelitian atau
pengetahuan yang akan diperoleh (butir 18).
Pada penelitian uji coba yang dilaksanakan dengan pengacakan
(randomized controlled trial) kelompok pembanding/kontrol menerima
tindakan dengan mutu yang dianggap lebih rendah, atau tidak menerima
tindakan apapun. Supaya risiko untuk kelompok pembanding dijaga
tetap wajar, maka sebelum penelitian dimulai perlu ditentukan kriteria
untuk jika perlu menghentikan penelitian sebelum waktunya (stopping
rules).
43Butir Pedoman 9
Pembatasan khusus risiko jika penelitian mengikutsertakan manusia
yang tidak mampu memberi PSP
Jika terdapat pembenaran etik dan ilmiah untuk melaksanakan
penelitian dengan mengikutsertakan manusia yang tidak mampu memberi
PSP, maka risiko tindakan penelitian, yang tidak memberi manfaat langsung
kepada subjek, tidak boleh lebih besar dari risiko pemeriksaan rutin medik
atau psikologik. Kelebihan risiko, sedikit atau kecil, mungkin masih dapat
diperkenankan kalau dikalahkan oleh rasional ilmiah atau medik dan telah
mendapat persetujuan dari KEPK.
Penjelasan.
Kalau risiko ikut serta lebih besar dari pemeriksaan rutin medik atau
psikologik maka KEPK harus mengkaji apakah:
1. penelitian menyangkut penyakit yang diderita calon subjek atau
menyangkut keadaan yang rentan untuknya;
2. bahwa risiko hanya sedikit lebih besar dari pemeriksaan rutin medik
atau psikologik;
3. tujuan penelitian cukup penting untuk mempertanggungjawabkan
pemaparan subjek pada risiko yang lebih besar; dan
4. tindakan setaraf dengan tindakan klinik yang telah diterima atau akan
diterima oleh subjek.
44Butir Pedoman 10
Penelitian pada penduduk dan masyarakat dengan
sumber daya terbatas
Sebelum melaksanakan penelitian pada penduduk atau masyarakat
dengan sumber daya terbatas, sponsor dan peneliti harus melakukan segala
upaya untuk menjamin bahwa:
a. penelitian memperhatikan kebutuhan dan prioritas kesehatan penduduk
atau masyarakat di tempat penelitian akan dilaksanakan; dan
b. Setiap tindakan, produk, atau pengetahuan yang dihasilkan akan
disediakan secara wajar untuk kebaikan penduduk atau masyarakat
tersebut.
Penjelasan
1. Butir pedoman ini adalah tentang negara atau masyarakat dengan
sumber daya yang sedemikan terbatas, sehingga rentan untuk
dieksploitasi oleh sponsor atau peneliti yang berasal dari negara dan
masyarakat yang relatif lebih makmur.
2. Kalau pengetahuan/produk yang dihasilkan penelitian tidak mampu
dibeli oleh pemerintah atau masyarakat, tetapi terutama menguntungkan
penduduk yang mampu membelinya, maka penelitian dapat disebut
eksploitatif dan tidak etis dilaksanakan.
3. Kalau seluruh penelitian sudah selesai dan obat yang diteliti terbukti
bermanfaat, sponsor perlu terus berusaha menyediakan obat untuk
subyek, sampai obat memperoleh izin pemasaran dari badan pemerintah
yang berwewenang.
454. Kalau terdapat alasan kuat untuk meragukan, bahwa produk akan
disediakan secara wajar untuk penduduk, maka pelaksanaan penelitian
pada penduduk dan di negara tersebut tidak etis.
Butir Pedoman 11
Memilih pembanding (contro/) pada uji Klinik.
Sebagai peraturan umum, subjek penelitian di kelompok
pembanding di uji klinik suatu diagnostik, terapi, atau tindakan pencegahan,
harus menerima suatu perlakuan mapan yang telah terbukti efektif
(established effective intervention). Pada keadaan tertentu, secara etis dapat
diterima penggunaan pembanding alternatif (alternative comparator) seperti
plasebo atau “tidak-diobati”.
Plasebo dapat digunakan:
c. jika tidak ada tindakan mapan yang efektif (Deklarasi Helsinki butir 29);
d. jika subjek penelitian tidak diberikan tindakan mapan yang efektif,
subjek paling banyak dipapar pada ketidaknyamanan sementara, atau
penundaan hilangnya gejala; dan
e. jika penggunaan tindakan mapan yang efektif sebagai pembanding tidak
akan dapat memberi hasil yang dapat dipercaya secara ilmiah dan
penggunaan plasebo tidak akan menambah risiko kerugian yang berat
atau menetap pada subjek.Penjelasan
1s
Pembagian subjek penelitian secara acak (random) dalam kelompok
eksperimen dan kelompok pembanding selain lebih unggul secara
ilmiah, juga lebih adil karena risiko dan manfaat keikutsertaan
diprakirakan terbagi rata.
Penggunaan plasebo tidak dapat dibenarkan untuk penyakit/kondisi yang
telah ada obat standarnya.
Penggunaan plasebo secara etis, dapat diterima kalau penderita hanya
mengalami kelainan/penyakit yang tidak membahayakan dan diberikan
untuk kurun waktu relatif singkat.
Dimana oleh sebab ekonomi atau logistik tidak tersedia tindakan mapan
yang efektif dan diperkirakan juga tidak akan tersedia dalam waktu akan
datang, maka dapat dilakukan uji klinik dengan pembanding bukan
tindakan mapan yang efektif.
Ada pihak yang berpendapat, bahwa penggunan plasebo juga
dibenarkan, kalau pemberian tindakan mapan yang efektif pada
kelompok pembanding tidak memadai untuk memperoleh hasil yang
secara ilmiah dapat dipercaya. Tetapi, pihak lain tegas menolak
penggunaan pembanding selain tindakan mapan yang efektif, karena
kemungkinan terjadi eksploitasi penduduk yang miskin dan yang kurang
beruntung. Alasan penolakan adalah:
a. penggunaan plasebo dapat memaparkan subjek pada risiko
kerugian (harm) serius yang tidak hilang, sedangkan risiko
47tersebut dapat dihindari dengan menggunakan_tindakan/
produk mapan yang efektif;
tidak semua pakar ilmiah sepakat mengenai keadaan di mana
penggunaan tindakan/produk mapan yang efektif sebagai
pembanding tidak memberi hasil yang secara ilmiah dapat
dipercaya; dan
alasan ekonomi tidak tersedianya tindakan mapan yang
efektif tidak dapat membenarkan penelitian dengan plasebo
di negara dengan sumber daya terbatas, kalau pelaksanaan uji
klinik sama pada penduduk yang dapat menjangkau tindakan
efektif di luar uji klinik dianggap tidak etis.
6. Di negara di mana tindakan mapan yang efektif, tidak tersedia
48
penggunaan plasebo secara etis adalah kontroversial karena:
a.
sponsor penelitian mungkin menggunakan negara atau
masyarakat miskin sebagai lahan uji untuk penelitian yang
tidak dapat atau sulit dilakukan di negara dimana tindakan
mapan yang efektif tersedia. Selain itu, jika tindakan terbukti
aman dan efektif mungkin sekali tindakan tidak akan
dipasarkan di negara tempat penelitian; dan
subjek penelitian mungkin menderita penyakit berat yang
mengancam hidupnya dan tindakan mapan yang efektif tidak
terjangkau. Dokter harus membagi penderita dalam
kelompok eksperimen dan kelompok pembanding, yang akan
diberikan plasebo dan dengan demikian timbul pertentangan
etik untuk dokter yang sebenarnya harus memberi loyalitas
sepenuhnya (undivided loyalty) pada setiap pasiennya.Butir Pedoman 12
Distribusi beban dan manfaat yang adil/wajar pada pemilihan
kelompok subjek penelitian
Kelompok atau masyarakat yang diundang ikut serta menjadi subjek
penelitian harus dipilih dengan cara sedemikian rupa sehingga beban dan
manfaat penelitian dibagi secara patut/wajar. Mengeluarkan kelompok atau
masyarakat yang mungkin akan memperoleh manfaat dari keikutsertaan
harus dapat dibenarkan.
Penjelasan
1, Dimasa yang silam, dengan alasan yang pada waktu itu dianggap benar
terjadi bahwa kelompok-kelompok manusia tertentu dilarang ikut serta
dalam penelitian sehingga menyebabkan ketidakadilan kelas yang berat.
KEPK harus menjaga bahwa larangan ikut serta seperti itu tidak akan
terjadi lagi.
2. Sebaliknya KEPK harus melindungi kelompok-kelompok manusia yang
sudah terlalu sering diikutsertakan (overused).
Butir Pedoman 13
Penelitian dengan mengikutsertakan manusia yang rentan (vulnerable).
Diperlukan pembenaran khusus untuk meminta manusia yang rentan
ikut serta sebagai subjek penelitian. Jika mereka dipilih maka sarana untuk
melindungi hak dan kesejahteraannya harus digunakan secara ketat.
49Penjelasan
5. Manusia yang rentan adalah manusia yang secara relatif atau absolut
tidak mampu melindungi kepentingan sendiri. Mereka mungkin kurang
tenaga, inteligensi, pendidikan, sumber daya, kekuatan, dan sifat-sifat
Jain yang diperlukan untuk melindungi kepentingan sendiri.
6. KEPK dapat menerima pembenaran etik pelaksanaan penelitian yang
mengikutsertakan subjek yang rentan, bila:
e. penelitian tidak dapat dilaksanakan dengan sama baik pada
subjek yang tidak rentan;
f. menghasilkan pengetahuan yang akan meningkatkan mutu
diagnostik, pencegahan dan pengobatan untuk masalah
kesehatan khas atau unik di kelompok populasi yang rentan;
g. risiko untuk subjek penelitian tidak melebihi risiko
pemeriksaan rutin kesehatan atau psikologik; dan
h. jika calon subjek penelitian tidak mampu atau tidak sanggup
memberi PSP, persetujuannya akan dilengkapi izin
penanggung jawabnya (guardian) secara sosial atau wakil
yang sah.
5. Yang termasuk kelompok rentan ialah mereka yang mengharap
perlakuan khusus jika ikut serta atau takut menerima hukuman jika
menolak ikut serta. Misalkan, mahasiswa kedokteran dan keperawatan,
pekerja rumah sakit dan laboratorium, pegawai pabrik farmasi, tentara
dan polisi.
6. Manusia usia lanjut pada umumnya dianggap rentan. Dengan bertambah
usia bertambah juga sifat-sifat yang membuat mereka rentan, misalkan
penempatan di panti werda atau mulai timbulnya gejala-gejala demensia.
507. Kelompok masyarakat yang sering tergolong rentan adalah penduduk
panti-panti, penerima tunjangan atau bantuan sosial, orang miskin,
tunakarya, kelompok minoritas etnik atau ras, tunawisma, pengembara,
pengungsi, displaced persons, narapidana, penderita dengan penyakit
yang tidak dapat disembuhkan, serta masyarakat yang tidak kenal
konsep kesehatan modern.
Butir Pedoman 14
Penelitian dengan mengikutsertakan anak-anak
Sebelum memulai penelitian dengan mengikutsertakan anak-anak,
peneliti harus memastikan bahwa:
c. penelitian tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan hasil yang sama
baik pada orang dewasa,
d. tujuan penelitian adalah untuk memperoleh pengetahuan sesuai
kebutuhan kesehatan anak; orang tua atau wakil sah secara hukum telah
memberikan izin untuk setiap anak;
e. persetujuan (assent) setiap anak telah diperoleh dengan memperhatikan
kemampuan anaknya;
f. dan penolakan anak untuk ikut serta atau terus ikut serta dalam
penelitian harus dihormati.
51Penjelasan
1. Pengikutsertaan anak-anak sebagai subjek penelitian sangat diperlukan
pada penelitian obat dan vaksin untuk penyakit anak-anak dan keadaan
yang rawan untuk anak-anak (misalnya uji vaksin).
2. Banyak obat yang digunakan anak-anak belum pernah diuji khasiat dan
keamanannya pada subjek anak-anak, sehingga mereka tidak mendapat
keuntungan sepenuhnya dari pengetahuan baru dan anak-anak juga
terpapar pada risiko yang tidak diketahui.
3. Persetujuan (assent) anak sedapat mungkin harus diperoleh dan
dihormati dengan memperhatikan batas kemampuan anak sesuai
umurnya untuk mengambil keputusan. Jika anak dengan tegas menolak
ikut serta, sebaiknya mereka tidak dikutsertakan meskipun sudah diberi
izin oleh orang tuanya.
4. Orang tua atau wali harus diperbolehkan dalam batas kewajaran
mengamati jalannya penelitian yang mengikutsertakan anaknya sebagai
subjek supaya dapat menjaga kepentingan anaknya dan jika perlu
menarik anak keluar dari penelitian.
Butir Pedoman 15
Penelitian mengikutsertakan manusia yang karena gangguan jiwa
atau perilaku tidak mampu memberi PSP yang memadai
Sebelum memulai penelitian dengan mengikutsertakan manusia yang
karena gangguan jiwa atau perilaku tidak mampu memberi PSP secara
memadai, peneliti harus menjamin bahwa:
52a, penelitian tidak dapat dilakukan sama baik pada manusia yang
kemampuan untuk memberi PSP tidak terganggu/tanpa gangguan jiwa;
b. tujuan penelitian adalah untuk memperoleh pengetahuan sesuai
kebutuhan kesehatan khas manusia dengan gangguan jiwa atau perilaku;
dan
c. pada kasus di mana calon subjek penelitian tidak mampu memberi PSP,
persetujuan diperoleh dari anggota keluarga yang bertanggungjawab
atau wakil yang diberi kekuasaan menurut hukum yang berlaku.
Butir Pedoman 16
Perempuan sebagai subjek penelitian
Peneliti, sponsor, dan KEPK tidak boleh melarang perempuan usia
subur ikut serta dalam penelitian kesehatan. Kemungkinan menjadi hamil
selama penelitian tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk menghalangi
atau membatasi keikutsertaannya. Tetapi, suatu penjelasan mendalam
tentang risiko untuk perempuan hamil dan janinnya merupakan prasyarat
bagi kemampuan perempuan untuk mengambil keputusan rasional ikut serta
dalam penelitian klinik. Dalam diskusi tersebut, jika keikutserartaannya
dalam penelitian mungkin membahayakan janin dan/atau perempuan jika
menjadi hamil, maka peneliti dan sponsor harus menjamin uji kehamilan
bagi calon subjek penelitian dan mengharuskan subjek menggunakan
metode kontraseptif yang efektif sebelum penelitian dimulai. Kalau
memperoleh metode kontraseptif tersebut tidak mungkin, karena alasan
hukum atau agama, peneliti tidak boleh mengikutsertakan perempuan yang
dapat menjadi hamil selama penelitian yang mungkin berbahaya.
53Penjelasan
ly
54
Perempuan dalam kebanyakan masyarakat telah mengalami
diskriminasi dengan tidak diizinkannya ikut serta sebagai subjek
penelitian, Akibatnya, adalah bahwa hanya relatif sedikit diketahui
tentang keamanan dan khasiat kebanyakan obat, vaksin atau alat
(devices) untuk perempuan. Ketidaktahuan tersebut membahayakan dan
menimbulkan ketidakadilan karena kaum perempuan tidak memperoleh
manfaat sepenuhnya dari pengetahuan baru.
Kebijakan umum untuk tidak mengizinkan perempuan ikut serta
menjadi subjek penelitian disebabkan karena secara biologik ia dapat
menjadi hamil. Hal ini adalah tidak adil dan menyebabkan bahwa kaum
perempuan tidak dapat menikmati pengetahuan yang diperoleh dengan
penelitian.
Diskriminasi perempuan yang tidak diizinkan ikut serta dalam
penelitian adalah suatu penghinaan terhadap hak perempuan untuk
menentukan nasib sendiri (sel/-determination).
Dalam proses meminta PSP pada perempuan harus diperhatikan
kedudukan perempuan yang rentan dalam masyarakat tertentu. Hal ini
disebabkan karena perempuan sudah terbiasa tunduk pada kekuasaan,
tidak berani bertanya, dan sabar menerima rasa nyeri dan penderitaan
Persetujuan keikutsertaan harus diperoleh dari perempuan calon subjek
penelitian sendiri. Bahwa perempuan ingin membicarakan pengambilan
keputusannya dengan suami adalah suatu yang baik, wajar, dan terpuji,
tetapi, izin suami tidak dapat menggantikan persetujuan perempuan.Butir Pedoman 17
Perempuan hamil sebagai subjek penelitian
Perempuan hamil harus dianggap berhak untuk ikut serta dalam
penelitian kesehatan. Peneliti dan KEPK harus menjamin bahwa calon
subjek penelitian yang hamil menerima penjelasan yang memadai tentang
risiko dan manfaat untuk dirinya sendiri, kehamilannya, janinnya, keturunan
berikutnya dan kesuburannya. Penelitian pada perempuan hamil hanya
boleh dilakukan jika penelitian sesuai dengan kebutuhan kesehatan khas
perempuan hamil atau janinnya, atau dengan kebutuhan kesehatan
perempuan hamil pada umumnya dan jika pantas didukung oleh bukti-bukti
yang dapat dipercaya dari percobaan hewan, khususnya mengenai risiko
teratogenisitas dan mutagenisitas.
Penjelasan
1. Penelitian mengikutsertakan perempuan hamil mengandung risiko dan
manfaat untuk perempuan hamil dan janinnya. Pengambilan keputusan
tentang diterimanya risiko untuk janin harus diambil oleh perempuan
hamil sebagai bagian PSP.
2. Jika akan diberi imbalan pada subjek penelitian, harus dijaga jangan
sampai besarnya imbalan dapat mempengaruhi secara kurang wajar
pengambilan keputusan perempuan hamil untuk ikut serta dalam
penelitian.
3. Jika terdapat kekhawatiran realistis tentang kemungkinan terjadinya
kelainan pada fetus maka di Indonesia yang secara hukum tidak
55mengizinkan abortus jika fetus abnormal, sebaiknya perempuan hamil
tidak diikutsertakan sebagai subjek penelitian.
4. Pada protokol penelitian harus tercantum rencana pemantauan
kehamilan, persalinan, dan kesehatan ibu dan anak jangka pendek dan
panjang.
Butir Pedoman 18
Perlindungan kerahasiaan
Peneliti harus menjamin penjagaan kerahasiaan data penelitian
subjek. Subjek harus diberitahukan batas-batas, secara hukum atau cara lain,
kemampuan peneliti untuk melindungi kerahasian, dan akibat yang mungkin
terjadi pada pelanggaran kerahasiaan.
Penjelasan
1. Seorang peneliti tidak akan memberi informasi yang dapat
mengidentifikasi penderita kepada siapapun, kecuali kalau disetujui oleh
penderita yang bersangkutan, dan pemberian informasi telah mendapat
persetujuan KEPK.
2. Dalam penelitian yang akan melakukan uji genetik yang memiliki nilai
prediktif klinik harus diambil tindakan pengamanan kerahasiaan khusus.
Hasil uji genetik tidak boleh diberitahukan kepada siapapun, termasuk
keluarganya, kecuali kalau disetujui oleh yang bersangkutan.
56Butir Pedoman 19
Hak subjek yang dirugikan (injured) menerima pengobatan
dan kompensasi
Peneliti harus menjamin, bahwa subjek penelitian yang mengalami
kerugian akibat keikutsertaannya berhak mendapat pengobatan bebas biaya
dan bantuan keuangan atau bantuan lain yang memberi kompensasi secara
wajar untuk setiap perusakan (impairment), cacat atau handicap. Jika terjadi
kematian, akibat keikutsertaan dalam penelitian tanggungannya berhak
menerima kompensasi.
Penjelasan
1.
KEPK harus berusaha menentukan sebelumnya kerugian yang berhak
atau tidak berhak menerima pelayanan kesehatan bebas biaya pada
perusakan, cacat atau handicap yang terjadi akibat keikutsertaannya
dalam penelitian. Informasi tersebut harus merupakan bagian dari
penjelasan yang diberikan pada proses memperoleh PSP.
Subjek tidak boleh diminta melepaskan haknya untuk memperoleh
kompensasi.
Sebelum penelitian dimulai harus ada persetujuan dengan sponsor
penelitian (misalkan perusahaan farmasi), tentang pemberian
kompensasi jika terjadi perusakan, cacat atau handicap, dan juga jika
terjadi kematian akibat keikutsertaan dalam penelitian.
aTButir Pedoman 20
Peningkatan kemampuan untuk penilaian etik dan ilmiah serta
pelaksanaan penelitian kesehatan
Banyak negara belum memiliki kemampuan untuk menilai atau
menjamin mutu ilmiah dan mutu etik penelitian kesehatan yang diusulkan
atau dilaksanakan di wilayah kewenangannya. Untuk penelitian kolaboratif
yang disponsori pihak luar negeri, sponsor, dan peneliti berkewajiban etis
bahwa projek penelitian kesehatan yang menjadi tanggung jawabnya di
negara seperti tersebut di atas memberi sumbangan efektif kepada
peningkatan kemampuan nasional, atau lokal untuk merancang dan
melaksanakan penelitian kesehatan, mengadakan penilaian ilmiah dan etik
serta pemantauan penelitian tersebut.
Peningkatan kemampuan dapat mencakup antara lain kegiatan sebagai
berikut:
c, mengadakan dan memperkuat KEPK/proses penilaian etik yang bebas dan
kompeten;
d. meningkatkan kemampuan meneliti;
e. mengembangkan teknologi yang sesuai dengan pelayanan kesehatan dan
penelitian kesehatan;
f. mengadakan latihan untuk tenaga penelitian dan pelayanan kesehatan; dan
g. memberi penyuluhan kepada masyarakat yang warganya akan diundang
ikut serta sebagai subjek penelitian.
Penjelasan
1. Sponsor luar negeri diharap menggunakan tenaga setempat dan jika
perlu melatih tenaga setempat untuk menjadi peneliti, pembantu peneliti,
58atau pengelola. Juga diharap disediakan anggaran yang memadai untuk
upaya peningkatan kemampuan.
2. Untuk mencegah timbul pertentangan kepentingan (conflict of interest)
dan juga untuk melindungi kebebasan KEPK, sebaiknya bantuan
keuangan tidak diberikan secara langsung kepada KEPK.
Butir Pedoman 21
Kewajiban etis sponsor eksternal untuk menyediakan jasa
pelayanan Kesehatan
Sponsor eksternal secara etis berkewajiban untuk menjamin tersedianya:
a, jasa pelayanan kesehatan yang esensial untuk pelaksanaan penelitian
secara aman;
b. pengobatan subjek yang mengalami kerugian sebagai akibat tindakan
penelitian; dan
c. jasa sebagai bagian yang perlu dari komitmen sponsor untuk
menyediakan secara wajar kepada penduduk atau masyarakat yang
bersangkutan hasil penelitian, seperti tindakan yang bermanfaat atau
produk.
Penjelasan
1. Meskipun sponsor tidak berkewajiban memberi pelayanan kesehatan
selain yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, pemberian
pelayanan kesehatan yang lebih luas merupakan tindakan terpuji.
2. Subjek atau calon subjek yang menderita penyakit yang tidak ada
hubungan dengan penelitian harus oleh peneliti dirujuk ke tempat
pengobatan.
59VI. PENGGUNAAN HEWAN PERCOBAAN
Sebagian penelitian kesehatan dapat diselesaikan di laboratorium
dengan menggunakan model in-vitro. Tetapi, jika hasil penelitian hendak
dimanfaatkan untuk kepentingan manusia masih diperlukan penelitian
lanjutan pada sistem biologik yang hidup. Sistem biologik hidup yang
digunakan antara lain adalah biakan sel/jaringan dan hewan percobaan.
Kalau pada penelitian dengan menggunakan hewan percobaan telah
terbukti, bahwa obat atau tindakan aman dan efektif baru penelitian dapat
dilanjutkan pada relawan manusia sebagai subjek penelitian kesehatan.
Dewasa ini, di dunia terdapat pertentangan pendapat dan pandangan
tentang pembenaran menggunakan hewan percobaan. Pertentangan tersebut
berawal dari perbedaan budaya, agama dan pandangan tentang kehidupan.
Pendapat dan pandangan tersebut, diutarakan dengan berbagai cara, antara
lain unjuk rasa dengan tindakan kekerasan, seperti merusak dan membakar
‘laboratorium. Keganjilan adalah, bahwa dewasa ini penggunaan hewan
percobaan mendapat lebih banyak perhatian dan menyebabkan lebih banyak
pertentangan dari pada pengikutsertaan manusia sebagai subjek penelitian
kesehatan.
KNEPK berpendapat, bahwa dewasa ini dan juga pada masa yang
akan datang dapat diperkirakan bahwa penggunaan hewan percobaan pada
penelitian kesehatan masih dibutuhkan karena masih tetap diperlukan
pengujian pada mahluk hidup yang utuh (whole living organism). Diketahui
dan disadari bahwa pada penelitian hewan akan menderita dan sering harus
dikorbankan tetapi hal itu secara moral kurang bermakna melihat manfaat
60yang demikian besar untuk umat manusia. Namun KEPK_harus
mengembangkan prosedur dan mekanisme yang menjamin bahwa
percobaan hewan dilakukan dengan prosedur yang secara ilmiah dan etis
dapat dipertanggungjawabkan.
Deklarasi Helsinki yang dipakai sebagai referensi utama untuk etik
penelitian kesehatan menyebut pada dua butir penggunaan hewan
percobaan, yaitu pada butir 11 dan 12.
g. Butir 11
Penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek
penelitian harus memenuhi prinsip-prinsip ilmiah yang sudah diterima
secara umum. Ini didasarkan pada pengetahuan yang seksama dari
kepustakaan ilmiah dan sumber informasi lain, percobaan di laboratorium
yang memadai, dan jika layak percobaan hewan.
h. Butir 12
Keberhati-hatian (caution) yang wajar harus diterapkan pada penelitian
yang dapat mempengaruhi lingkungan, dan kesejahteraan hewan yang
digunakan dalam penelitian harus dihormati.
Di banyak negara, sudah diambil kebijakan untuk dalam waktu
sesingkat mungkin secara terencana dan bertahap menghentikan
penggunaan hewan percobaan. Beberapa negara sudah melarang
penggunaan hewan tertentu, seperti kera, anjing, kucing dan kuda. Di
Inggris (UK) dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, jumlah hewan
percobaan yang digunakan berkurang sebanyak 50%. Di perusahaan farmasi
besar di dunia dalam dasawarsa terakhir jumlah hewan yang digunakan
berkurang 90%. European Union telah mendirikan kompleks laboratorium
61besar di Ispra (Itali), yaitu ECVAM (European Centre for the Validation of
Alternative Methods) yang mengembangkan, menguji dan memantapkan
metode yang mengganti penggunaan hewan percobaan. Perlu dijaga
bersama bahwa Indonesia tidak menjadi tempat pelarian dari luar negeri
untuk penelitian dengan menggunakan hewan percobaan karena di negara
asalnya sudah tidak mungkin atau sulit sekali dilaksanakan, terutama perlu
diperhatikan penggunaan primata.
Dalam upaya meningkatkan mutu etik pada penggunaan hewan
percobaan sejak tahun 1980 digunakan konsep 3R, yaitu singkatan dari
Reduction, Refinement. Replacement. Konsep 3R adalah sarana untuk
menghilangkan segi-segi yang tidak manusiawi (inhumane) pada
penggunaan hewan percobaan dan telah memberi dasar untuk perumusan
peraturan perundangan-undangan di beberapa wilayah dan negara di dunia,
misalkan di European Union.
Konsep 3R menyediakan kerangka kerja untuk meningkatkan mutu
pelaksanaan percobaan hewan dan pembenaran etiknya. Hewan yang
digunakan dalam penelitian kesehatan menderita rasa nyeri, mengalami
kerugian yang menetap atau harus dikorbankan. Langkah pertama adalah
memilih hewan yang kurang rasa atau tidak rasa (sentient, non-sentient)
sebagai tindakan replacement. Perkembangan biologi molekuler membuka
kemungkinan baru untuk tidak lagi menggunakan hewan percobaan dengan
memanfaatkan biakan sel/jaringan dan stem cells. Melengkapi tindakan
replacement harus diupayakan tindakan refinement untuk mengurangi atau
menghilangkan sejauh mungkin rasa nyeri yang diderita hewan percobaan.
Selain itu, perlu dilakukan reduction supaya jumlah hewan yang digunakan
62sesedikit mungkin. Hal ini antara lain, dapat dicapai dengan meningkatkan
mutu desain eksperimen dengan memanfaatkan ilmu statistik. Penggunaan
hewan percobaan dalam jumlah besar tidak dapat diterima lagi, misalkan uji
toksisitas LD50 sudah praktis ditinggalkan di seluruh dunia.
Supaya penggunaan hewan percobaan pada penelitian kesehatan
secara etis selalu dapat dipertanggungjawabkan maka perlu diikuti penga-
turan sebagai berikut.
1
Setiap penelitian kesehatan yang menggunakan hewan percobaan harus
mengajukan protokolnya kepada KEPK untuk dinilai dan diberi
persetujuan etik.
Protokoi penelitian diajukan ke KEPK dengan surat pengantar dari
pimpinan lembaga.
Pada penilaian protokol penelitian KEPK akan menggunakan konsep 3R
sebagai pedoman dan landasan berpikir.
Pada protokol penelitian harus dilampirkan persetujuan dari komisi
ilmiah yang menyatakan bahwa penelitian sudah memenuhi semua
persyaratan ilmiah.
Prosedur dan tata cara penilaian protokol penelitian yang menggunakan
hewan percobaan pada sidang KEPK sama seperti penilaian protokol
penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian.
Untuk dapat melakukan penilaian protokol penelitian yang
menggunakan hewan percobaan dengan baik paling sedikit satu anggota
KEPK harus dokter hewan.
Salah satu prinsip etik adalah keseimbangan yang wajar antara risiko
dan manfaat. Sebagai contoh adalah larangan total menggunakan hewan
6312.
14.
percobaan untuk uji-coba kosmetika, karena manfaat untuk umat
manusia tidak seimbang dengan penderitaan hewan.
Hewan percobaan harus dipilih mengutamakan hewan dengan
sensitivitas neurofisiologik yang paling rendah (non-sentient organism)
dan hewan yang paling rendah pada skala evolusi.
Harus diupayakan semaksimal mungkin untuk mengurangi rasa nyeri,
ketidaknyamanan dan kesusahan (distress) bagi hewan percobaan.
Tindakan yang direncanakan untuk meringankan atau menghilangkan
penderitaan hewan percobaan harus disebut khusus dan rinci pada
protokol penelitian.
. Desain penelitian harus dibuat seramping mungkin, kalau perlu dengan
konsultasi pakar desain percobaan/ahli statistik, supaya jumlah hewan
yang digunakan sesedikit mungkin.
.Di lembaga harus ditugaskan seorang dokter hewan yang
bertanggungjawab tentang penanganan dan pemeliharaan hewan
percobaan.
Pembelian, transpor, pemeliharaan, pakan, air, kandang, sanitasi, suhu,
kelembaban harus memenuhi persyaratan dan dipantau selama penelitian
berlangsung.
. Penanganan hewan percobaan selama penelitian dan pengorbanan pada
akhir penelitian harus dilakukan secara manusiawi (humane). Cara
mematikan hewan percobaan dan membuang bangkai harus dijelaskan
pada protokol penelitian.
Peneliti dan tenaga penunjang harus memiliki kemampuan yang
memadai tentang pemeliharaan dan penanganan hewan percobaan yangmanusiawi. Untuk itu perlu diadakan secara berkala dan terencana
pendidikan dan latihan untuk para peneliti dan tenaga penunjang.
15, Format proposal harus memuat cukup penjelasan supaya dapat diisi
dengan baik.
65vil. TAHAP-TAHAP UJI KLINIK OBAT DAN VAKSIN
PENGEMBANGAN OBAT
Tahap I
Tahap I adalah penggunaan perdana suatu obat pada manusia. Biasanya
diteliti pada relawan manusia sehat dengan memperhatikan gejala keracunan
pada jumlah obat tertentu. Penelitian dilanjutkan dengan pencarian dosis
(dose-ranging) yang aman pada penderita dan pada kasus tertentu bukti
awal efektivitas.
Tahap I
Tahap II terdiri atas uji klinik dengan pembanding (controlled clinical
trials)) untuk membuktikan efektivitas dan keamanan relatif. Biasanya
dilakukan pada jumlah terbatas penderita yang dipantau secara seksama.
Tahap U1
Tahap III dilaksanakan sesudah terdapat kemungkinan layak efektivitas obat
dan bertujuan mengumpulkan bukti-bukti tambahan tentang efektivitas
untuk indikasi spesifik dan menentukan secara tepat, efek samping obat
(drug-related adverse effects). Tahap III mencakup penelitian dengan atau
tanpa pembanding.
Tahap II dan III harus dilaksanakan mengikuti paragraf 28-32 Deklarasi
Helsinki yang menyangkut penelitian bersama pelayanan medik.
66Tahap IV
Tahap IV dilaksanakan setelah diberi izin distribusi dan pemasaran oleh
badan pemerintah yang berwewenang. Uji klinik dapat mencakup penelitian
mencari efek farmakologi spesifik dan menentukan insiden terjadi efek
samping, dan menetapkan efek pemberian obat jangka panjang. Tahap IV
juga dirancang untuk mengevaluasi obat pada populasi yang belum diteliti
secara memadai sebelum obat dipasarkan (seperti anak-anak atau manusia
usia lanjut) atau menentukan indikasi klinik baru. Penelitian semacam ini
harus dibedakan dari penelitian pemasaran tanpa menggunakan manusia
sebagai subjek penelitian, penelitian promosi penjualan, dan survailans rutin
pasca-jual untuk menemukan reaksi berlawanan obat yang tidak perlu
dinilai komisi etik.
PENGEMBANGAN VAKSIN
Tahap I
Tahap I adalah penggunaan perdana calon vaksin pada populasi manusia
untuk penentuan awal keamanan dan efek biologik, termasuk
imunogenisitas. Tahap I dapat mencakup penelitian tentang dosis dan cara
pemberian (route of administration) dan biasanya mengikutsertakan kurang
dari 100 relawan.
Tahap II
Tahap II adalah penelitian awal pengujian efektivitas pada jumlah relawan
terbatas (biasanya antara 200 dan 300). Yang diperhatikan pada tahap II
adalah imunogenisitas.
67Tahap II
Tahap III adalah pengkajian lebih lengkap tentang keamanan dan efektivitas
pencegahan penyakit, mengikutsertakan jumlah relawan yang lebih besar
dalam penelitian dengan pembanding yang memadai dan dilaksanakan
bersama oleh beberapa pusat penelitian.
68LAMPIRAN
- SK Menteri Kesehatan RI No. 562/Menkes/SK/V/2007
Tentang Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan
SK Menteri Kesehatan RI No. 563/Menkes/SK/V/2002
Tentang Keanggotaan Komisi Nasional Etik Penelitian
Kesehatan Masa Bakti 2007 - 2011
SK Menteri Kesehatan RI No. 1334/Menkes/SK/X/2002
Tentang Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan
SK Menteri Kesehatan RI No. 187/Menkes/SK/III/2003
Tentang Keanggotaan Komisi Nasional Etik Penelitian
Kesehatan
. Daftar Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan,
Tahun 2003-2006
. WMA Declaration of Helsinki
(World Medical Association 2004)
Directives for Human Experimentation Nuremberg Code
(1947)Fin
rr
ae fem et
eee eee i ek
OS Fd ee es LC,
Pe Age Se 1d Fe
ic += a
or
7 . BS
nt ee 8 oe rs .
7 Sees
p+ @
eect ife tener Nata es *
a
See eee a
7
er ae - -
et a :
. a7 a
ae / ; -
SS, el || la
- : Pa -
_ wa a
- noice
5MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
Mengingat :
NOMOR : 562/MENKES/SK/V/2007
TENTANG
KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
|. bahwa penyelenggaraan penelitian dan pengembangan
kesehatan merupakan bagian penting dari pembangunan
kesehatan yang hasilnya dapat dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat;
. bahwa pelaksanaan —penelitian kesehatan yang
mengikutsertakan manusia sebagai subyek —wajib
menghormati hak-hak asasi manusianya;
bahwa pelaksanaan penelitian kesehatan yang menggunakan
hewan percobaan wajib dihormati hak asasinya dan
diperlakukan secara manusiawi (humane);
. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, b dan c tersebut di atas, dipandang
periu membentuk suatu Komisi Nasional Etik Penelitian
Kesehatan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Kesehatan;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3495);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437)
69Memperhatikan :
Menetapkan :
70
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONEUIA
ssebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tehun 2004
(Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4548);
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi
Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
4 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3609);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1179A/Menkes/
SK/X/1999 tentang Kebijakan Nasional Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan;
7, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/
X\/2005 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kesehatan;
Declaration of Helsinki, Ethical Principles for Medical Research
Involving Human Subjects, World Medical Association;
MEMUTUSKAN:
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG KOMISI
NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN.MENTER! KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 1
(1) Untuk melakukan pembinaan dan pengaturan penegakan etik penelitian
kesehatan dibentuk Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan yang disingkat
KNEPK.
(2) Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (*)
adalah suatu lembaga independen,
(3) Untuk mendukung kegiatan KNEPK diperbantukan sekretariat yang
merupakan unit non struktural yang berkedudukan di lingkungan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Pasal 2
Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. mempunyai tugas :
a. Membina pelaksanaan penegakan etik penelitian kesehatan.
b. Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian kesehatan melalvi
peningkatan mutu sumber daya manusia.
c. Menyusun pedoman-pedoman nasional di bidang etik penelitian kesehatan
yang mengikutsertakan manusia dan menggunakan hewan percobaan.
d. Mengembangkan jaringan kerjasama nasional dan internasional etik penelitian
kesehatan.
@, Mengadakan diskusi dan konsultasi tentang berbagai pandangan dan sikap
tentang masalah etik penelitian kesehatan.
f. Memberikan pertimbangan atas penelitian yang aspek etiknya perlu ditinjau
secara khusus.
g. Menyampaikan laporan tahunan kegiatan KNEPK kepada Menteri Kesehatan.
Pasal3
(1) Keanggotaan Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) bersifat multidisiplin dan multisektoral.
772
(2) Jumlah anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan sebanyak-
banyaknya 25 (dua puluh lima) orang.
(3) Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan diangkat untuk masa bakti
4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali.
(4) Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan dapat diganti dalam masa
bakti keanggotaannya apabila meninggal dunia atau karena sesuatu hal tidak
dapat melaksanakan tugas.
Pasal 4
(1) Anggota KNEPK dipilih, diangkat, dan diberhentikan oleh Rapat Kerja KNEPK.
(2) KNEPK mengajukan anggota yang terpilih sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) kepada Menteri Kesehatan melalui Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan untuk dikukuhkan.
Pasal5
(1) Susunan organisasi Komisi Nasional Etik Penelitian terdiri dari:
a. Ketua, para Wakil Ketua, dan Sekretaris dipilih oleh Rapat Kerja KNEPK.
b. Anggota.
(2) Tata kerja dan tata cara pemilinan Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris
ditetapkan oleh Rapat Kerja KNEPK.
Pasal6
Sekretariat KNEPK dipimpin oleh Sekretaris Eksekutif dan ditetapkan oleh Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal7
Segala pembiayaan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Komisi Nasional
Etik Penelitian Kesehatan dibebankan pada Anggaran Belanja Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan dan sumber lainnya yang tidak mengikat.
Pasal 8
Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1334/Menkes/SK/X/2002 tentang Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal9
Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Mei 2007
73MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 563/MENKES/SK/V/2007
TENTANG
KEANGGOTAAN KOMIS! NASIONAL
ETIK PENELITIAN KESEHATAN MASA BAKTI 2007 - 2011
Menimbang
Mengingat
14
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
a.bahwa dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut Keputusan
Menteri Kesehatan tentang Komisi Nasional Etik Penelitian
Kesehatan Nomor 562/MENKES/SK/V/2007, dipandang perlu
mengukuhkan Keanggotaan Komisi Nasional Etik Penelitian
Kesehatan (KNEPK);
bahwa dalam rapat kerja KNEPK di Jakarta tanggal 30 Januari
2007 telah ditetapbkan anggota Komisi Nasional Etik Penelitian
Kesehatan masa bakti Tahun 2007 - 2011;
bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan b, perlu menetapkan Keanggotaan
Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Masa Bakti Tahun
2007 - 2011 dengan Keputusan Menteri Kesehatan;
Ss
9
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3495);
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem
Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan* limu
Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Tahun 2002
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4219);
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1995
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3609);
Rp
-Menetapkan :
Kesatu :
Kedua
MENTERI KESEHATAN
‘REPUBLIK INDONESIA
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1179A/Menkes/SK/
X/1999 tentang Kebijakan Nasional Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/
XW/2005 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kesehatan;
MEMUTUSKAN:
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
KEANGGOTAAN KOMIS! NASIONAL ETIK PENELITIAN
KESEHATAN MASA BAKTI 2007 — 2011.
Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan masa bakti
Tahun 2007 - 2011 sebagaimana dimaksud Diktum Kesatu
sebagai berikut:
1. Prof. Dr. dr. A.A. Loedin
Prof. dr. Does Sampoerno, MPH
Prof. Dr. drh. Dondin Sayuthi
Prof. Dr. dr. | Gde Putu Surya, SpOG (K)
Prof, dr. Irawan Yusuf, Ph.D
Drs. Irnwan Yulianto, MPH
Dr. Kusmaryanto
Dra. Junaiti Sahar, SKp. M App.Sc., Ph.D
Prof. Dr. Kees Bertens
10. Dra. Linda Sitanggang, Ph.D
11. Mely G. Tan, Ph.D
12. Dr. dr. Mochammad Istiadjid Eddy Santoso, SpS., SpBS
13. Parni Hadi
Coe SS SS Sp
75Ketiga
Keempat :
76
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
14, dr. Pratiwi Pujilestari Sudarmono, Ph.D
15. Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudy
16. Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain Hamid, MS, Sp.FK
17. Prof. Dr. dr. H Rusdi Ismail, Sp.A (K)
18. Sandjaja, MPH., Dr.PH
19. Prof. dr. H.M. Sambas Wiradisuria, Sp.A(K)
20. Prof. dr. Siti Fatimah-Muis, M.Sc., Sp.GM
21. Prof. dr. R. Sjamsuhidajat, Sp.B. KBD
22. Prof. Dr. dr. Soenarto Sastrowijoto, Sp. THT
23. dr. Suriadi Gunawan, DPH
24. Prof. Dr. dr. Suryani As'ad, Sp.GK
25. Prof. Dr. Veronica Komalawati, SH, MH
Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan sebagaimana
dimaksud Diktum Kedua, dalam melaksanakan tugasnya
berpedoman pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
562/MENKES/SK/V/2007 tentang Komisi Nasional Etik Penelitian
Kesehatan
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Mei 2007Lampiran 3
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA.
NOMOR; 1334/MENKES/SK/X/2002
TENTANG
KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
a.
7
bahwa penyelenggaraan penelitian dan pengembangan
kesehatan merupakan bagian penting dari pembangunan
kesehatan yang hasilnya dapat dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat;
. bahwa pelaksanaan penelitian yang menggunakan manusia
sebagai objek penelitian wajib menghormati hak-hak azasi
manusia dan sesuai dengan etika penelitian;
bahwa sehubungan dengan huruf a dan b tersebut di atas
dipandang perlu membentuk suatu Komisi Nasional Etik
Penelitian Kesehatan yang ditetapkan dengan Keputusan
Manteri Kesehatan;
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3495);
. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan di daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hakazasi
Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
7Menetapkan:
4 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3609);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1179A/Menkes/
SK/X/1999 tentang Kebijakan Nasional Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan;
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1277/Menkes/
SK/X/2001 tentang Organisasi dan tata Kerja Departemen
Kesehatan;
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN
Pasal 1
(1) Untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan etik
penelitian dan pengembangan kesehatan dibentuk Komisi Nasional Etik
Penelitian Kesehatan yang selanjutnya disebut Komisi Nasional Etik.
(2) Komisi Nasional Etik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah suatu
lembaga non structural dan berkedudukan di lingkungan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Pasal 2
Komisi Nasional Etik mempunyai tugas :
a. Membina pelaksanaan penegakan etik penelitian dan pengembangan
kesehatan sesuai etik yang berlaku;
B. Menyusun pedoman-pedoman nasional di bidang etik penelitian
Kesehatan;
. Memberikan pertimbangan atau sebagai saksi ahli dalam pemeriksaan
penelitian kesehatan apabila diperlukan;
|. Memberikan persetujuan etik/ethical clearance terhadap penelitian yang
aspek etiknya perlu ditinjau secara khusus;
. Mengembangkan jaringan komunikasi nasional etik penelitian
kesehatan;
Melindungi hak-hak dan keselamatan objek penelitian;
. Melaksanakan monitoring pelaksanaan etik penelitian di tingkat institusi;
. Menyampaikan laporan tahunan kepada Menteri Kesehatan.
Pasal 3
(1) Keanggotaan Komisi Nasional Etik sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat
1) terdiri dari unsure-unsur:
- Peneliti
- Dokter
- Abli Hukum
- Ahli lainnya
- Wakil masyarakat awam
(2) Jumlah anggota Komisi Nasional Etik sebanyak-banyaknya 25 (dua
puluh lima) orang
(3) Anggota Komisi Nasional Etik diangkat untuk masa bakti 4 (empat)
tahun dan dapat diangkat kembali;
(4) Anggota Komisi Nasional Etik dapat diganti dalam masa bakti
keanggotaannya apabila meninggal dunia atau karena sesuatu hal tidak
dapat melaksanakan tugas.
i)Pasal 4
(1) Anggota Komisi Nasional Etik diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Kesehatan atas usul Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan;
(2) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dalam
mengusulkan keanggotaan Komisi Nasional Etik berkonsuitasi dengan
organisasi profesi
Pasal 5
(1) Susunan organisasi Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan terdir
dari:
a. Ketua dan Wakil ketua, yang dipilih diantara anggota Komisi
Nasional Etik;
b. Sekretaris, dijabat oleh staf senior Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan;
c. Anggota.
(2) Tata kerja dan tata cara pemilihan Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris
ditetapkan oleh Ketua Komisi Nasional Etik.
Pasal 6
Kepada Komisi Nasional Etik diperbantukan sebuah Sekretariat yang
ditetapkan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Pasal 7
Segala pembiayaan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Komisi
Nasional Etik dibebankan pada Anggaran Belanja Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan dan sumber lainnya yang tidak mengikat.
80Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada Tanggal : 29 Oktober 2002
MENTERI KESEHATAN,
Dr. ACHMAD SUJUDI
Disalin oleh Burman
Sesuai dengan aslinyaLampiran 4
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR; 187/MENKES/SK/I1/2003
TENTANG
KEANGGOTAAN KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN
KESEHATAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Membaca
Menimbang :
Mengingat :
82
Surat Kepala badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Nomor: PR.04.02.2.4.423 tanggal 7 Februari 2003 perihal
Keanggotaan Komisi Nasionai Etik Penelitian Kesehatan.
a. bahwa dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 1334/MENKES/SK/X/2002
tentang Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan,
dipandang perlu menetapkan pengangkatan Keanggotaan
Komis Nasional Etik Penelitian Kesehatan
b. bahwa mereka yang tercantum dalam keputusan ini
dianggap memenuhi syarat-syarat untuk diangkat sebagai
Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan untuk
masa bakti tahun 2003 s/d 2007
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3495);
2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem
Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4219);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3609);Menetapkan:
Keanggotaan
Pertama :
. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1179A/Menkes/SK/
X/1999 tentang Kebijakan Nasional Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan;
. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1277/Menkes/SK/
X1/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kesehatan;
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN
M
SS ae
Ds
10.
11,
12,
13;
14.
15,
16.
i.
18.
19,
20.
lengangkat :
Prof. DR.Dr. A.A. Loedin
Prof. Dr. Asri Rasad, Ph.D
Prof. DR. Does Sampoerno, MPH
Prof. Dr. H.R. Hariadi, Sp.OG
Dr. Irawan Yusuf, Ph.D
Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara
Prof. Dr. Jusuf Hanafiah, Sp.OG
Prof. DR. Kees Bertens
Dr. Liliana Kurniawan, M.Sc. DTMH
Mely G. Tan, Ph.D
Dr. Pratiwi Pujilestari Sudarmono, Ph.D
DR. Dr. Rianto Setiabudy
Prof. Dr. R. Sjamsuhidayat, Sp.B. KBD
Prof. Dr. H.M. Sambas Wiradisuria, Sp.AK
Dr. Samsi Jacobalis, Sp.B
Dr. Suriadi Gunawan, DPH
Dra. Sri Sugati Sjamsuhidajat, Apt, MM., Ph.D
Prof. Dr. Siti Fatimah-Muis, M.Sc., Sp.GM
Prof. Dr. Soenarto Sastrowijoto, Sp. THT
DR. Veronica Komalawati, SH.MH
Menjadi anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan
83Kedua :
Ketiga:
84
Pelaksanaan lebih lanjut Keputusan ini diserahkan kepada
Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan dengan
berpedoman pada Kep Menkes No. 1334/MENKES/SK/X/2002
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan
ketentuan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam
keputusan ini akan diadakan perbaikan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada Tanggal :10 Februari 2003
MENTERI KESEHATAN,
Dr. ACHMAD SUJUDILampiran 5
DAFTAR PIMPINAN DAN ANGGOTA KOMISI NASIONAL
ETIK PENELITIAN KESEHATAN 2003 — 2007
NO. NAMA AFILIASI
Ii Prof. dr. Asri Rasad, Ph.D | Universitas YARSI
Ketua
2; Dra. Sri Sugati Komisi Etik Badan Penelitian dan
Sjamsuhidajat, Apt, MM., | Pengembangan Kesehatan
Ph.D
Wakil Ketua
a: Prof. dr. Mohamad Jusuf | Fakultas Kedokteran Universitas
Hanafiah, Sp.OG (K) Sumatera Utara (USU)
Wakil Ketua
4, dr, Irawan Yusuf, Ph.D Fakultas Kedokteran Universitas
Wakil Ketua Hasanuddin
5. dr. Liliana ~Kurniawan, | Komisi Etik Badan Penelitian dan
MSc. DTMH, APU Pengembangan Kesehatan
Sekretaris (Teknis)
6. Prof. Dr.dr. A.A. Loedin Komisi Etik Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman
A Prof. dr. Does Sampoerno, | Fakultas Kesehatan Masyarakat
MPH Universitas Indonesia
8. Prof. dr. H.R. Hariadi, | Fakultas Kedokteran Universitas
Sp.0G Airlangga
9. Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara | Dept. Budidaya Tanaman
Fakultas Pertanian, Kampus IPB
Dermaga, Bogor
10. | Prof. Dr. Kees Bertens Pusat Pengembangan Etika,
Universitas Atmajaya
11. | Mely G. Tan, Ph.D Komite Nasional Anti Kekerasan
terhadap __Perempuan___ (Komnas
85NO. NAMA AFILIASI
Perempuan)
12. | dr. Pratiwi —Pujilestari | Bagian Mikrobiologi Fakultas
Sudarmono, Ph.D Kedokteran Universitas Indonesia
13. | Dr. dr. Rianto Setiabudy Bagian Farmakologi Fakultas
| | Kedokteran Universitas Indonesia
i
14. | Prof. dr. R. Sjamsuhidajat, | Komisi Etik Fakultas Kedokteran
| Sp.B. KBD Universitas Indonesia
15. | Prof. dr. H.M. Sambas | Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Wiradisuria, Sp.AK Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran
16. | dr. Samsi Jacobalis, Sp.B | Fakultas Kedokteran Universitas.
Tarumanegara
17, | dr. Suriadi Gunawan, DPH | Komisi Etik Badan Penelitian dan’
Pengembangan Kesehatan
18. | Prof. dr. Siti Fatimah-Muis, | Bagian iimu Gizi Fakultas
M.Sc, Sp.GM. Kedokteran, Universitas Diponegoro
19. | Prof. Dr. dr. Soenarto | Pusat Bioetika dan Humaniora
Sastrowijoto, Sp. THT Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada
20. | Dr. Veronica Komalawati, | Fakultas Hukum Universitas
S.H., MH Padjajaran
86Lampiran 6
WMA DECLARATION OF HELSINKI
Adopted by the 18th WMA General Assembly, Helsinki, Finland. June 1964.
anu amended by the
29th WMA General Assembly, Tokyo, Japan. October 1975
35th WMA General Assembly, Venice, Italy, October 1983
41st WMA General Assembly, Hong Kong, September 1989
48th WMA General Assembly, Somerset West,
Republic of South Africa, October 1996
and the 52nd WMA General Assembly, Edinburgh, Scotland. October 2000
Nate of Clarification on Paragraph 29 added by
the WMA General Assembly, Washington 2002
Note of Clarification on Paragraph 30 added by
the WMA General Assembly. Tokvo 2004
A. INTRODUCTION
1, The World Medical Association has developed the Declaration of
Helsinki as a statement of ethical principles to provide guidance to
physicians and other participants in medical research involving
human subjects. Medical research involving human subjects includes
research on identifiable human material or identifiable data.
2. It is the duty of the physician to promote and safeguard the health of
the people. The physician's knowledge and conscience are dedicated
to the fulfillment of this duty.
3. The Declaration of Geneva of the World Medical Association binds
the physician with the words, "The health of my patient will be my
8788
first consideration." and the International Code of Medical Ethics
declares that, "A physician shall act only in the patient's interest
when providing medical care which might have the effect of
weakening the physical and mental condition of the patient."
Medical progress is based on research which ultimately must rest in
part on experimentation involving human subjects.
In medical research on human subjects, considerations related to the
well-being of the human subject should take precedence over the
interests of science and society.
. The primary purpose of medical research involving human subjects
is to improve prophylactic. diagnostic and therapeutic procedures
and the understanding of the aetiology and pathogenesis of disease.
Even the best proven prophylactic, diagnostic, and therapeutic
methods must continuously be challenged through research for their
effectiveness, efficiency. accessibility and quality.
In current medical practice and in medical research, most
prophylactic, diagnostic and therapeutic procedures involve risks and
burdens.
Medical research is subject to ethical standards that promote respect
for all human beings and protect their health and rights. Some
research populations are vulnerable and need special protection.
The particular needs of the economically and medically
disadvantaged must be recognized. Special attention is also
required for those who cannot give or refuse consent for
themselves, for those who may be subject to giving consent under
duress, for those who will not benefit personally from the research
and for those for whom the research is combined with care.9. Research Investigators should be aware of the ethical, legal and
regulatory requirements for research on human subjects in their own
countries as well as applicable international requirements. No
national ethical. legal or regulatory requirement should be allowed to
reduce or eliminate any of the protections for human subjects set
forth in this Declaration.
B. BASIC PRINCIPLES FOR ALL MEDICAL RESEARCH
10. It is the duty of the physician in medical research to protect the life.
health, privacy. and dignity of the human subject.
. Medical research involving human subjects must conform to
generally accepted scientific principles. be based on a thorough
knowledge of the scientific literature. other relevant sources of
information, and on adequate laboratory and, where appropriate,
animal experimentation.
12. Appropriate caution must be exercised in the conduct of research
which may affect the environment, and the welfare of animals used
for research must be respected.
13. The design and performance of each experimental procedure
involving human subjects should be clearly formulated in an
experimental protocol. This protocol should be submitted for
consideration, comment, guidance, and where appropriate, approval
to a specially appointed ethical review committee, which must be
independent of the investigator, the sponsor or any other kind of
undue influence. This independent committee should be in
conformity with the laws and regulations of the country in which the
research experiment is performed. The committee has the right to
monitor ongoing trials. The researcher has the obligation to provide
8990
14.
monitoring information to the committee. especially any serious
adverse events. The researcher should also submit to the committee,
for review, information regarding funding. sponsors, institutional
affiliations, other potential conflicts of interest and incentives for
subjects.
The research protocol should always contain a statement of the
ethical considerations involved and should indicate that there is
compliance with the principles enunciated in this Declaration.
. Medical research involving human subjects should be conducted
only by scientifically qualified persons and under the supervision of
a clinically competent medical person. The responsibility for the
human subject must always rest with a medically qualified person
and never rest on the subject of the research, even though the subject
has given consent.
. Every medical research project involving human subjects should be
preceded by careful assessment of predictable risks and burdens in
comparison with foreseeable benefits to the subject or to others. This
does not preclude the participation of healthy volunteers in medical
research. The design of all studies should be publicly available.
. Physicians should abstain from engaging in research projects
involving human subjects unless they are confident that the risks
involved have been adequately assessed and can be satisfactorily
managed. Physicians should cease any investigation if the risks are
found to outweigh the potential benefits or if there is conclusive
proof of positive and beneficial results.
. Medical research involving human subjects should only be
conducted if the importance of the objective outweighs the inherent19s
20.
2
gah
risks and burdens to the subject. This is especially important when
the human subjects are healthy volunteers.
Medical research is only justified if there is a reasonable likelihood
that the populations in which the research is carried out stand to
benefit from the results of the research.
The subjects must be volunteers and informed participants in the
research project.
. The right of research subjects to safeguard their integrity must
always be respected. Every precaution should be taken to respect the
privacy of the subject, the confidentiality of the patient's information
and to minimize the impact of the study on the subject's physical and
mental integrity and on the personality of the subject.
. In any research on human beings, each potential subject must be
adequately informed of the aims, methods, sources of funding, any
possible conflicts of interest, institutional affiliations of the
researcher, the anticipated benefits and potential risks of the study
and the discomfort it may entail. The subject should be informed of
the right to abstain from participation in the study or to withdraw
consent to participate at any time without reprisal. After ensuring
that the subject has understood the information, the physician should
then obtain the subject's freely-given informed consent, preferably in
writing. If the consent cannot be obtained in writing. the non-written
consent must be formally documented and witnessed.
When obtaining informed consent for the research project the
physician should be particularly cautious if the subject is in a
dependent relationship with the physician or may consent under
duress. In that case the informed consent should be obtained by a
9192
26.
27.
. When a subject deemed legal
well-informed physician who is not engaged in the investigation and
who is completely independent of this relationship.
. For a research subject who is legally incompetent, physically or
mentally incapable of giving consent or is a legally incompetent
minor, the investigator must obtain informed consent from the
legally authorized representative in accordance with applicable law.
These groups should not be included in research unless the research
is necessary to promote the health of the population represented and
this research cannot instead be performed on legally competent
persons.
incompetent, such as a minor child.
is able to give assent to decisions about participation in research, the
investigator must obtain that assent in addition to the consent of the
legally authorized representative.
Research on individuals from whom it is not possible to obtain
consent, including proxy or advance consent, should be done only if
the physical/mental condition that prevents obtaining informed
consent is a necessary characteristic of the research population. The
specific reasons for involving research subjects with a condition that
renders them unable to give informed consent should be stated in the
experimental protocol for consideration and approval of the review
committee. The protocol should state that consent to remain in the
research should be obtained as soon as possible from the individual
or a legally authorized surrogate.
Both authors and publishers have ethical obligations. In publication
of the results of research, the investigators are obliged to preserve
the accuracy of the results. Negative as well as positive results
should be published or otherwise publicly available. Sources of28.
29. The benefits
30.
3
. The phy:
funding. institutional affiliations and any possible conflicts of
interest. should be declared in the publication. Reports of
experimentation not in accordance with the principles laid down in
this Declaration should not be accepted for publication.
. ADDITIONAL PRINCIPLES FOR MEDICAL RESEARCH
COMBINED WITH MEDICAL CARE
The physician may combine medical research with medical care.
only to the extent that the research is justified by its potential
prophylactic, diagnostic or therapeutic value. When medical research
is combined with medical care, additional standards apply to protect
the patients who are research subjects.
risks, burdens and effectiveness of a new method
should be tested against those of the best current prophylactic,
diagnostic. and therapeutic methods. This does not exclude the use
of placebo. or no treatment, in studies where no proven prophylactic.
diagnostic or therapeutic method exists. See footnote
At the conclusion of the study, every patient entered into the study
should be assured of access to the best proven prophylactic,
diagnostic and therapeutic methods identified by the study. See
footnote
an should fully inform the patient which aspects of the
care are related to the research. The refusal of a patient to participate
in a study must never interfere with the patient-physician
relationship.
. In the treatment of a patient, where proven prophylactic, diagnostic
and therapeutic methods do not exist or have been ineffective. the
physician, with informed consent from the patient, must be free to
93use unproven or new prophylactic, diagnostic and therapeutic
measures, if in the physician's judgement it offers hope of saving
life, re-establishing health or alleviating suffering. Where possible,
these measures should be made the object of research. designed to
evaluate their safety and efficacy. In all cases, new information
should be recorded and. where appropriate, published. The other
relevant guidelines of this Declaration should be followed.
Note of clarification on paragraph 29 of the WMA Declaration of
Helsinki
The WMA hereby reaffirms its position that extreme care must be taken in
making use of a placebo-controlled trial and that in general this
methodology should only be used in the absence of existing proven therapy.
However, a placebo-controlled trial may be ethically acceptable, even if
proven therapy is available. under the following circumstances:
- Where for compelling and scientifically sound methodological reasons its
use is necessary to determine the efficacy or safety of a prophylactic.
diagnostic or therapeutic method: or
- Where a prophylactic, diagnostic or therapeutic method is being
investigated for a minor condition and the patients who receive placebo will
not be subject to any additional risk of serious or irreversible harm.
All other provisions of the Declaration of Helsinki must be adhered to,
especially the need for appropriate ethical and scientific review.
94