Anda di halaman 1dari 133
ETIK PENELITIAN KES KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI JAKARTA 2007 <= = INDONESIA SEHAT 2010 PEDOMAN NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN. Sekretariat: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan — Depkes RI Jl. Percetakan Negara No. 29 JAKARTA 10560 Telepon : 021 — 4261088 Pes. 114/117 Faks : 021 — 4243933 Email : kometik@litbang.depkes.go.id Mailing list : komnas-etik@litbang.depkes.go.id Website : http://www.litbang.depkes.go.id | KATA PENGANTAR KETUA KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN MASA BAKTI 2007 - 2011 (PADA EDISI CETAK KE IV TAHUN 2007) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan di dunia Internasional, tak terkecuali di Indonesia sebagai hasil dari perkembangan tiset kesehatan, terutama yang terkait dengan keterlibatan manusia sebagai subyck penelitian harus pula disertai dengan jaminan akan perlindungan HAM terhadap subyek penelitian. Karenanya peran suatu komisi etik penelitian berikut berbagai pedoman maupun perangkat perundang- undangan yang mengatur tentang hal tersebut sangat penting untuk ditindaklanjuti segera dalam skala nasional. Dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengaturan penegakan etik penelitian kesehatan, Menteri Kesehatan RI pertama kali membentuk Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK) pada tahun 2002. KNEPK yang sekarang ini dikukuhkan oleh Menteri Kesehatan untuk masa bakti 2007-2011. Pada tahun 2003, KNEPK telah berhasil menyusun Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan (PNEPK). PNEPK ini telah disosialisasikan kepada berbagai kalangan, terutama masyarakat ilmiah, peneliti, dan komisi etik penelitian kesehatan di berbagai institusi dan mendapatkan tanggapan positif disertai berbagai masukan untuk penyempurnaannya. Sejak diterbitkan pertama kali dalam tahun 2003, PNEPK telah mengalami dua kali cetak ulang dengan penyempurnaan, yaitu pada tahun 2004 dan 2005. PNEPK secara resmi telah dinyatakan sebagai acuan dalam penatalaksanaan etik penelitian kesehatan di Indonesia dengan SK Menkes No. 103 1/MENKES/SK/VII/2005. Dalam tahun 2007 ini KNEPK kembali melakukan cetak ulang PNEPK untuk keempat kalinya. Penyempurnaan PNEPK pada edisi cetakan ke IV ini diharapkan dapat benar-benar bermanfaat sebagai acuan untuk komisi etik penelitian kesehatan institusi dalam melaksanakan tugasnya dan bagi peneliti sebagai panduan dalam merancang penelitian yang memenuhi kaidah ilmiah dan kaidah etik dalam usaha untuk meningkatkan kualitas penelitian. Mulai tahun 2006, PNEPK dilengkapi dengan beberapa suplemen yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pedoman ini. Ada tiga buku suplemen yang telah terbit, yaitu Suplemen I: Etik Pemanfaatan Bahan Biologik Tersimpan, Suplemen II: Etik Penggunaan Hewan Percobaan, dan Suplemen III: Jaringan Komunikasi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Sedangkan dua buku suplemen lainnya akan segera menyusul untuk diterbitkan, yaitu Suplemen IV: Etik Penelitian Genetika, dan Suplemen V: Etik Penelitian Epidemiologi. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka penyempurnaan pedoman ini, termasuk berbagai suplemen pelengkapnya, namun tetap disadari bahwa pedoman ini bagi beberapa kalangan dapat dirasakan masih kurang lengkap. Untuk itu diharapkan agar para pembaca dan pengguna PNEPK dan suplemen pelengkapnya dapat mencari tambahan tambahan berbagai bahan kepustakaan bidang etik penelitian kesehatan yang cukup banyak terdapat dalam berbagai sumber dan media. Langkah seperti ini pasti akan sangat membantu memperkaya wawasan dalam melakukan penilaian etik yang lebih bijak untuk mengimbangi kemajuan iptek kesehatan dan kedokteran yang tidak sangat pesat. Selain dari PNEPK, suplemen pelengkapnya. dan berbagai sumber acuan yang lain, perlu dikembangkan segera kerjasama antar Komisi Etik institusi yang sudah ada di Indonesia dalam Jaringan Komunikasi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. KNEPK mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Kepala Badan Penclitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. yang menjadi mitra kerja dalam memfasilitasi kegiatan-kegiatan KNEPK selama ini. Kritik dan saran untuk perbaikan PNEPK ini atau usulan untuk menyusun pedoman lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ctik penelitian kesehatan di Indonesia sangat diharapkan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa meridhoi usaha bersama ini. Jakarta, Agustus 2007 Ketua Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan GA_-+ R. Sjamsuhidajat iii MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1031/Menkes/SK/VII/2005 TENTANG PEDOMAN NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a b. c Mengingat : 1 bahwa kegiatan penelitian kesehatan yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga penelitian di lingkungan kesehatan maupun di luar lingkungan kesehatan harus memperhatikan aspek kendali mutu dalam penelitian; bahwa Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan telah menyusun Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan yang akan digunakan sebagai acuan dalam setiap pelaksanaan penelitian; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negar Republik Indonesia Nomor 3495); Menetapkan Kesatu MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3609); Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1277/Menkes/SKIXI/2001 tentang Organisasi dan Tata Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1334/Menkes/SK/X/2002 tentang Komisi Nasional Etik Penelitia Kesehatan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 187/Menkes/SK/II/2003 tentang Keanggotaan Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan MEMUTUSKAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN Kedua Ketiga Keempat Kelima Keenam vi MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini. Pedoman Etik sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua merupakan acuan dalam penatalaksaan etik penelitian kesehatan Komisi Etik Penelitian Kesehatan yang ada pada setiap lembaga penelitian kesehatan agar menyesuaikan dengan pedoman sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan ini Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan keputusan in dengan mengikutsertakan lembaga penelitia kesehatan terkait di daerah. Keputusan ini beriaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 7 Juli 2005 MENTERI KESEHATAN, v Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI, Sp.JP (K) MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI KESEHATAN RI Tujuan utama sektor kesehatan ialah meningkatkan kemampuan mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, sebagai perwujudan kesejahteraan umum, seperti yang dimaksud dalam Pembukaan Undang- undang Dasar 1945. Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dilaksanakan untuk memilih dan menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, yang diperlukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan. Dalam usaha mencapai tujuan tersebut, pengembangan, pemanfaatan, dan penguasaan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) memegang peranan yang penting. Kebijakan dan pelayanan kesehatan harus knowledge and evidence based. Namun, perkembangan Iptek di bidang kesehatan sering mengakibatkan permasalahan di bidang etik. Pengikutsertaan manusia dalam penelitian harus didasarkan pada informed consent (persetujuan setelah penjelasan) dengan didasarkan prinsip etik umum, yakni menghormati harkat martabat manusia, berbuat baik/menghasilkan manfaat, tidak merugikan, dan berkeadilan Penelitian dan pengembangan kesehatan yang mengikutsertakan manusia harus dilakukan dengan memperhatikan etik, hak azasi manusia, vii dan norma yang berlaku dalam masyarakat di mana penelitian tersebut dilakukan, memperhatikan kesehatan, dan keselamatan yang bersangkutan. Untuk melakukan pembinaan di bidang etik penelitian kesehatan dan melindungi manusia yang berpartisipasi dalam penelitian, telah dibentuk Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan berdasarkan Kepmenkes Nomor 1334/MENKES/SK/X/2002, tanggal 29 Oktober 2002. Komisi tersebut, dibantu sebuah sekretariat yang ada di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Salah satu tugas komisi tersebut ialah menyusun pedoman-pedoman nasional di bidang etik penelitian kesehatan. Buku ini, merupakan pedoman nasional pertama yang dihasilkan komisi. Selanjutnya perlu dijadikan rujukan bagi semua komisi etik penelitian kesehatan yang jumlahnya sekitar 30 komisi tersebar di seluruh Indonesia. Setiap peneliti yang mengikutsertakan manusia dan hewan dalam penelitiannya perlu memahami pedoman ini. Hal ini diperlukan agar peneliti bekerja menurut standar profesi penelitian kesehatan. Semoga dengan dikeluarkannya pedoman ini maka mutu penelitian di Indonesia dapat meningkat. Selain itu diharapkan juga perlindungan terhadap manusia yang menjadi subjek penelitian dapat terjamin dengan lebih baik. Jakarta, 24 September 2004 L M 5 tan RI MY “Di-Achmad Sujudi a viii KATA PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN (PADA EDISI CETAK KE I TAHUN 2004 DAN EDISI CETAK KE III TAHUN 2005) PP No. 39 tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, mengamanatkan pembinaan dan pengawasan penelitian dan pengembangan kesehatan (Litbangkes) kepada Menteri Kesehatan. Dalam pelaksanaan penelitian yang menggunakan manusia sebagai objek penelitian, wajib menghormati hak-hak azasi manusia dan sesuai dengan etika penelitian. Dalam rangka pelaksanaan pembinaan terhadap etika penelitian, melalui Kepmenkes No. 1334 Tahun 2002 dibentuk Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK), yang anggotanya ditetapkan dengan Kepmenkes No. 187 Tahun 2003. Komisi ini merupakan suatu lembaga struktural dan berkedudukan di lingkungan Badan Litbangkes. Pada tahun 2003, KNEPK telah berhasil menyusun pedoman etik penelitian kesehatan yang telah disosialisasikan kepada para pakar dan mendapat tanggapan positif serta berbagai masukan untuk penyempurnaan. Berdasarkan masukan para pakar tersebut, maka pada tahun 2004, pedoman KNEPK tersebut disempurnakan dan dilengkapi dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Pedoman ini diharapkan dapat benar-benar dimanfaatkan sebagai acuan baik komisi etik litkes institusi dalam melaksanakan tugasnya. Kami sadari bahwa pedoman ini tidak terlepas dari kekurangan dan kekeliruan, oleh sebab itu kami masih terbuka untuk menerima kritik dan saran perbaikan ataupun usulan penyusunan pedoman lain sesuai kebutuhan perkembangan etik litkes . Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada KNEPK yang telah bekerja keras untuk menyusun pedoman penyempurnaan ini. Ucapan yang sama kami tujukan pula kepada World Health Organization (WHO) yang terus membantu dalam pengembangan etik litkes di Indonesia. Jakarta, 24 September 2004 4, Kepala Badan Litbangkes - Mees @ Dr. Dini Latief, M.Sc KATA PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN (PADA EDISI CETAK PERTAMA TAHUN 2003) Tahun 2001 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan telah mengadakan suatu survei Mapping dari panitia/komisi etik penelitian yang terdapat di berbagai universitas/perguruan tinggi, rumah sakit pendidikan dan lembaga penelitian di Indonesia. Pada survei tersebut, ditemukan sejumlah 26 panitia/komite/komisi etik rumah sakit/kedokteran/kesehatan. Hanya 15 dari panitia/komisi institusional tersebut yang telah mempunyai pedoman operasional. Dan, dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan di 12 kota, ditemukan banyak permasalahan yang disebabkan, antara lain karena tidak adanya pedoman yang jelas. Lokakarya Etik Penelitian Kesehatan yang diadakan Badan Litbang Kesehatan dan WHO dalam tahun 2001 dan 2002, menyampaikan berbagai rekomendasi untuk pengembangan etik penelitian antara lain pembentukan komisi nasional dan pokok-pokok untuk pengembangan lebih lanjut etik penelitian di Indonesia. Menteri Kesehatan telah mengeluarkan keputusan Nomor 1334/MENKES/SK/X/2002, Tanggal 29 Oktober 2002 tentang Komisi Nasional tik Penelitian Kesehatan dan CKeputusan Nomor 187/MENKES/SK/II/2003, Tanggal 10 Februari 2003 tentang Keanggotaan Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Pedoman Nasional Etik xi Penelitian Kesehatan ini, merupakan pedoman nasional pertama yang dihasilkan oleh Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Pedoman nasional ini, perlu dipergunakan disamping Pedoman Etik Penelitian Kedokteran Indonesia yang telah diterbitkan pada tahun 1987, yang merupakan hasil lokakarya Pembentukan Panitia Etik Penelitian Kedokteran dan diselenggarakan tahun 1986 oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Konsorsium IImu-ilmu Kesehatan. Khusus, untuk uji klinik/clinical trial perlu diperhatikan pula Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) di Indonesia yang dikeluarkan Badan POM tahun 2001. Selain Deklarasi Helsinki (WMA 2000), pedoman ini banyak merujuk pada Operational Guidelines for Ethics Committees that Review Biomedical Research (WHO 2000) dan International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subjects (CIOMS 2002). Dengan adanya Pedoman Nasional ini, Komisi/Panitia/Komite Etika Penelitian Kesehatan diharapkan dapat berfungsi lebih baik. Dan, para peneliti yang mengikutsertakan manusia dapat melaksanakan penelitian sesuai dengan norma atau etika yang berlaku. Pedoman ini perlu. disempurnakan; disesuaikan mengikuti perkembangan dibidang penelitian kesehatan dan pemikiran etik di negara kita. Komentar dan masukan demi perbaikan, agar pedoman ini lebih sesuai dengan situasi di Indonesia, akan sangat kami hargai, dan akan dipertimbangkan dalam revisi pedoman ini untuk masa yang akan datang xii Akhir kata, kami ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan yang dalam waktu relatif singkat dapat menyusun Pedoman Nasional ini. Kepada World Health Organization (WHO) yang telah membantu pengembangan etik penelitian kesehatan di Indonesia kami juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih. Jakarta, 12 November 2003 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, SZ Dr. Sumarjati Arjoso, SKM. NIP. 140058825 xiii SUMMARY NATIONAL GUIDELINES FOR HEALTH RESEARCH ETHICS INTRODUCTION In the last decades fundamental changes have happened shaping the life of mankind. One of the changes is the evolving role of science and technology from a supporting element to become the base for all human development endeavors. Health development is now done through knowledge based health systems. Due to this development, research and utilization of research results have become even more important. In Indonesia an increasing number of health research could be observed. A part of the research is conducted in laboratories using in vitro models but for certain categories of research in vivo models are needed, using animal experimentation and/or involving human volunteers as research subjects. The involvement of human volunteers as research subjects and the use of experimental animals have caused various reactions in the community and have generated ethical, legal and social-cultural implications. To contribute to the safeguarding of the dignity, privacy, rights, safety and well being of all actual and potential human volunteers as research subjects and to ensure the welfare and humane care of the experimental animals, as mentioned in point 11 and 12 of the Helsinki Declaration, institutional health research ethics commissions should be established guided by the National Guidelines. xiv For the purpose of the National Guidelines, health research includes research on pharmaceuticals, medical devices, medical radiation and imaging, surgical procedures, medical records, and biological samples, as well as epidemiological, social, and psychological investigations. The ethical implications of health research were initially the personal responsibility of the scientist. The increasing number of research conducted by groups of scientists and institutions (multi-centered research), the increasing autonomy of research institutions and the expectations of sponsoring agencies have made the responsibility too much a burden to be carried by the scientist alone. Research has also been strongly affected by the globalization process and ethical, legal and social-cultural implications have become international issues. Every government, research institution, scientific journal, industry and sponsor have made ethical clearance compulsory for research involving human volunteers as research subjects and animal experimentations. Taking into account the present status and trends of development, it is essential that every institution in Indonesia conducting health research should have an Institutional Research Ethics Commission (IREC). Even though IRECs are set up by the institutions or by the government, it should always be kept in mind that research ethics are the responsibility of the scientist and the science community and not of the government. The National Health Research Ethics Commission (NHREC), set up by the Decree of the Minister of Health in 2002, has accessed the present state of development and has published the National Guidelines for Health Research Ethics. The National Guidelines should be used as reference by all institutions doing health research with the objective that health research xv ethics will be developed following a national standard and will become an integral part of health research in Indonesia. Il. REFERENCE MATERIAL International and national reference materials have been used to formulate the National Guidelines for Health Research Ethics, such as: 1. Nuremberg Code. The Nuremberg Code is an outcome of the Doctors’ Trial in 1947, as a part of the Nuremberg Military Tribunal to prosecute Nazi German war crimes. Unqualified personnel conducted atrocious experiments on unconsenting prisoners and detainee's during the Second World War. The Nuremberg code put emphasize on protection of the integrity of the research subjects and on their voluntary consent. 2. Universal Declaration of Human Rights (United Nations, 1948) To give the Declaration legal as well as morai force, the General Assembly adopted in 1966 the International Covenant on Civil and Political Rights. Article 7 of the Covenant states No one shall be subjected to torture or cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical experimentation. Through this statement, society expresses the fundamental human value that is held to govern all research involving human subjects — the protection of the rights and welfare of all human subjects of scientific experimentation. 3. The Declaration of Helsinki. Ethical Principles for Medical Research Involving Human Subjects. The Helsinki Declaration, adopted by the 18th World Medical Association (WMA), General assembly in June 1964 in Helsinki, has several times been amended. The 52nd WMA General Assembly in Edinburgh, Scotland, in October 2004 adopted the latest amendment. The Helsinki Declaration is accepted as the fundamental international document in the field of ethics in health research. It sets out ethical guidelines for physicians engaged in both clinical and non-clinical health research. The Helsinki Declaration is the key reference used in formulating the National Guidelines. 4, Operational Guidelines for Ethics Committees that Review Biomedical Research (WHO 2000) The document gives detailed guidelines for the establishment of Health Research Ethics Committees and contributes to the development of quality and consistency in the ethical review of health research. The document is used as the key reference to establish institutional Health Research Ethics Commissions in Indonesia and to guide their operating procedures. 5. International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subjects (CIOMS 2002) The CIOMS publication is the third improved edition and is designed to be of use, particularly to low-resource countries, in defining national policies on the ethics of biomedical research, applying ethical standards in local circumstances, and establishing or defining adequate mechanisms for ethical review of research involving human subjects. The translated and amended Guidelines as presented in the CIOMS xvii publication have been used to formulate chapter IV of the National Guidelines for Health Research Ethics. 6. Other national and international publications. Other national and international publications concerning health research ethics are used, such as the International Guidelines for Ethical Review of Epidemiological Studies (CIOMS,1991), Guidelines for Good Clinical Practice for Trials on Pharmaceutical Products (WHO, 1995), Directive on Clinical Trials as adopted by the Council of Ministers of the European Union and effective in 2004 and the Pedoman Cara Uji Klinik Yang Baik (Guidelines for Good Clinical Trials) published by the Indonesian Food and Drug Administration (2001). II. GENERAL ETHICAL PRINCIPLES The national guidelines for health research ethics are based on three internationally recognized basic ethical principles, namely respect for persons, beneficence and justice. The three principles, which in the abstract have equal moral force, guide the conscientious preparation of proposals for scientific research. The national guidelines are directed at the application of the three principles to research involving human volunteers as research subjects. The three basic principles are: 1. Respect for persons The basic ethical principle Respect for Persons incorporates two fundamental considerations, namely: xviii (1) Respect for autonomy, which requires that those who are capable of deliberation about their personal decisions should be treated with respect for their capacity of self-determination. (2) Protection of persons with impaired or diminished autonomy 2. Beneficence The basic ethical principle Beneficence refers to the ethical obligation to maximize benefits and to minimize harm. The risks of research should be reasonable in the light of the expected benefits. The research design should be sound and the investigators competent both to conduct the research and to safeguard the welfare of the research subjects. Beneficence proscribe the deliberate infliction of harm on persons; this aspect is sometimes expressed as a separate principle, nonmaleficence (do no harm) 3. Justice The basic ethical principle Justice refers to the ethical obligation to treat each person in accordance with what is morally right and proper, and to give each person what is due to him or her. In research ethics involving human volunteers as research subjects the principle refers primarily to distributive justice, which requires the equitable distribution of both the burden and the benefits of participation in research. xix IV. HEALTH RESEARCH ETHICS COMMISSION The increasing role of science and technology in health development is reflected in an increasing number of research activities. A part of the research can be conducted in laboratories using in vitro models but other kind of research needs in vivo models using animal experimentation and the involvement of human volunteers as research subjects. As a civilized nation we are obliged to respect and honor the human volunteers. Mechanisms, structures and procedure should be established to contribute to safeguarding the life, health, welfare, privacy, dignity, right and safety of the human volunteers. In every institute doing health research involving human volunteers as research subjects or/and animal experimentation, Health Research Ethics Commission (HREC) should be established to review research proposals and protocols to grant certificates of ethical approval. Depending on the situation and needs, HRECs can be established at institutional, local, regional and national level. To establish HRECs the following aspects needs to be considered: Status. " HRECs are established by the head of the institute following local regulation and procedures «The HREC is administratively responsible to the head of the institute but independent in performing its functions, free from any political, institutional, professional and market influences. Role and function: Advise the head of the institute on all matters concerning health research ethics Ensure the application of research ethics in the institute by developing policies and procedures and by providing independent, competent and timely review of ethics of research proposals and protocols. Membership requirements. Members are elected by the HREC meeting and officially installed by the head of the institute. The membership of HREC must be multidisciplinary and multi- sectorial, including relevant scientific expertise, balanced age and gender distribution, and laypersons representing the interests and the concerns of the community. To ensure the independence of HREC the head of the institute should not be a member of HREC and a balanced presentation of members from inside and outside the institution should be ensured. Ethical Review of Research Protocols. HREC meetings should meet quorum requirements. i.e. more than half the members present with balanced representation of HREC membership. Decisions by HREC should preferable be reached by consensus but where not possible by voting. xxi V. ETHICAL REVIEW PROCESS The guidelines for health research ethics are obtained from the CIOMS publication International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subjects (2002). Some commentaries on the guidelines have been adapted to the Indonesian law and regulations and have taken into account customs and social-cultural aspects of Indonesia. No changes were made on the headings of the 21 guidelines. The 21 guidelines are as follows: 15 Ethical justification and scientific validity of biomedical research involving human subjects Ethical review committees Ethical review of externally sponsored research Individual informed consent Obtaining informed consent: Essential information for prospective research subjects Obtaining informed consent: Obligations of sponsors and investigators Inducement to participate in research Benefits and risks of study participants Special limitations on risks when research involves individuals who are not capable of giving informed consent 10. Research in populations and communities with limited resources 11. Choice of controls in clinical trials 12. 13. 14. 15. 16. 20. 21. VI. Equitable distributions of benefits and risks Research involving vulnerable persons Research involving children Research involving individuals who by reason of behavioral disorders are not capable of giving adequate informed consent Women as research subjects . Pregnant women as research subjects . Safeguarding confidentiality . Rights of injured subjects to treatment and compensation Strengthening capacity for ethical and scientific review on biomedical research Ethical obligations of external sponsors to provide health-care services . ANIMAL EXPERIMENTATION A part of health research is conducted in laboratories using in vitro models. To be able to use the research results for the benefit of mankind further research is needed using living systems, such as cell and tissue cultures or experimental animals. Only after animal experiments have proven the safety and effectiveness of the new drug or intervention, research involving human volunteers as research subjects may be conducted. The use of experimental animals has provoked strong, even violent reactions, in the society. The opposing views are due to differences in culture, religion and the concept of life. The concern in the society now xxiii about animal experimentation is stronger than the concern of the involvement of human volunteers in health research. The NCHRE is convinced that presently and in the near future experiments on whole living organisms, such as experimental animals, will still be needed. NCHRE is of the opinion that mechanisms and procedures should be established to guarantee sound scientific and ethical research. Point 11 and 12 of the Helsinki Declaration are used as the key references for animal experimentation 11. Medical research involving human subjects must conform to generally accepted scientific principles, be based on a thorough knowledge of the scientific literature, other relevant sources of information, and on adequate laboratory and, where appropriate animal experimentation. 12. Appropriate caution must be exercised in the conduct of research, which may affect the environment, and the welfare of animals used for research must be respected. The concept of 3R was developed in 1980 to provide a framework for improving the conduct and ethical acceptability of experimental techniques on animals. The abbreviation 3R stands for Reduction, Refinement and Replacement. * Reduction. The number of animals used should be kept to the absolute minimum by refining the experimental design with if appropriate the use of statistics. = Refinement. Given that animals used in research may experience pain, suffering and lasting harm, the first step must be considered whether less sentient or xxiv non-sentient alternatives can be used. The experimental animal selected should be the lowest on the evolutionary scale. = Replacement. Experimental animals should where possible be replaced by mathematical and computer models, cell lines and tissue cultures. Mechanisms and procedures should be established in the institute to guarantee the fulfillment of the ethical requirements of animal experimentation, such as: 1, Every research using experimental animals should obtain an ethical approval following the same procedure as research involving human volunteers as research subjects. 2. The Institutional Health Research Ethics Commission should have at least one veterinary surgeon as a member. 3. The institute must employ a veterinary surgeon to ensure humane care of the animais VIL THE PHASES OF CLINICAL TRIALS OF DRUGS AND VACCINES The phases of clinical trials to develop new drugs and vaccines are presented mentioning the objective of each phase. A scientifically sound clinical trial is the first prerequisite for the protocol to be reviewed to obtain an ethical approval. XXV DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KETUA KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN MASA BAKTI 2007 - 2011 (EDISI CETAK KE IV TAHUN 2007) KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN (No. 103 1/MENKES/SK/VII/2005) SAMBUTAN MENTERI KESEHATAN RI (EDISI CETAK KE Il TAHUN 2004) KATA PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN (EDISI CETAK KE I] TAHUN 2004 DAN EDISI CETAK KE Ill TAHUN 2005) KATA PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN (EDISI CETAK KE I TAHUN 2003) SUMMARY DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN Il. BAHAN REFERENSI DASAR Il. PRINSIP ETIK UMUM IV. KOMISI ETIK PENELITIAN KESEHATAN (KEPK) 1. Kedudukan 2. Peran dan Fungsi KEPK Xxxvi vii xi xiv XXVi DAFTAR ISI 3. Keanggotaan KEPK 4. Penilaian Etik Protokol Penelitian V. PROSES PENILAIAN ETIK Butir Pedoman 1 Pembenaran etik dan keabsahan ilmiah penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia Butir Pedoman 2 Komisi etik penelitian Butir Pedoman 3 Penilaian etik penelitian dengan sponsor eksternal Butir Pedoman 4 Persetujuan sesudah penjelasan (PSP) perseorangan (/ndividual Informed Consent) Butir Pedoman 5 Memperoleh PSP; informasi esensial untuk calon subyek penelitian Butir Pedoman 6 Memperoleh PSP: kewajiban sponsor dan peneliti Butir Pedoman 7 Perangsang (inducement) ikut serta dalam Penelitian Butir Pedoman 8 Manfaat dan risiko reikutsertaan dalam penelitian Butir Pedoman 9 Pembatasan khusus tentang risiko jika penelitian mengikutsertakan manusia yang tidak mampu memberi PSP Butir Pedoman 10 Penelitian pada penduduk dan masyarakat dengan sumber daya terbatas Butir Pedoman 11 Memilih pembanding (Control) pada uji klinik 21 23 26 27 28 31 35 we o 41 44 45 46 xxvii DAFTAR ISI Butir Pedoman 12 Distribusi beban dan manfaat yang adil/wajar pada pemilihan kelompok subyek penelitian Butir Pedoman 13 Penelitian dengan mengikutsertakan manusia yang rentan (Vulnerable) Butir Pedoman 14 Penelitian dengan mengikutsertakan anak- anak Butir Pedoman 15 Penelitian mengikutsertakan manusia yang karena gangguan jiwa atau perilaku tidak mampu memberi PSP yang memadai Butir Pedoman 16 Perempuan sebagai subyek penelitian Butir Pedoman 17 Perempuan hamil sebagai subyek penelitian Butir Pedoman 18 Perlindungan kerahasiaan Butir Pedoman 19 Hak subyek yang dirugikan (Injured) menerima pengobatan dan kompensasi Butir Pedoman 20 Peningkatan kemampuan untuk penilaian etik dan ilmiah serta pelaksanaan penelitian kesehatan Butir Pedoman 21 Kewajiban etis sponsor eksternal untuk menyediakan jasa pelayanan kesehatan VI. PENGGUNAAN HEWAN PERCOBAAN VII. TAHAP-TAHAP UJI KLINIK OBAT DAN VAKSIN xxviii 49 49 51 52 53 55 56 57 58 59 60 DAFTAR LAMPIRAN . SK Menteri Kesehatan RI No. 562/Menkes/SK/V/2007 Tentang Konisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan . SK Menteri Kesehatan RI No. 563/Menkes/SK/V/2002 Tentang Keanggotaan Konisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Masa Bakti 2007 - 2011 . SK Menteri Kesehatan RI No. 1334/Menkes/SK/X/2002 Tentang Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan . SK Menteri Kesehatan RI No. 187/Menkes/SK/III/2003 Tentang Keanggotaan Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan . Daftar Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan, Tahun 2003-2007 . WMA Declaration of Helsinki (World Medical Association 2004) . Directives for Human Experimentation Nuremberg Code (1947) Halaman 69 4 77 82 85 87 96 xxix Ge 1h ee i : —_— rt ==. ; = ore ie eee a - os So ¥, > / See moo a re x ee ck i ee ee RR ge a oe oy IL PENDAHULUAN Dalam beberapa dasawarsa terakhir, telah terjadi berbagai perubahan fundamental dalam kehidupan manusia, antara lain perubahan peran ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Iptek yang sebelumnya, merupakan sarana penunjang berubah peran dan memberi landasan pada keseluruhan upaya manusia. Dari sini berkembanglah konsep-konsep baru, seperti pembangunan berdasarkan pengetahuan (knowledge based development) dan diakui bahwa mutu pengelolaan pengetahuan strategik menentukan keberlangsungan hidup suatu upaya/organisasi. Ini dapat dilihat dari daya saing dan kemampuannya beradaptasi pada perubahan lingkungan. Berdasarkan konsep baru upaya kesehatan dilaksanakan dengan sistem kesehatan berdasarkan pengetahuan (knowledge based health systems). Akibat perubahan fundamental tersebut, maka pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek memegang peran, yang makin menentukan dalam penyusunan kebijakan dalam pembangunan kesehatan dan implementasinya. Di Indonesia sudah terlihat peningkatan jumlah dan juga mutu kegiatan penelitian kesehatan. Yang dimaksud dengan penelitian kesehatan adalah sama dengan biomedical research oleh WHO yang mencakup penelitian tentang farmasetik, peralatan kesehatan, radiasi medik dan imaging, prosedur bedah, catatan medik, sampel biologik, penelitian epidemiologi, ilmu sosial dan psikologi. Makin banyak ilmuwan dan lembaga ilmiah melaksanakan penelitian kesehatan. Hasil penelitian perlu dipublikasikan, supaya seluruh masyarakat ilmiah diinformasikan tentang penemuan pengetahuan baru dan ditantang untuk menguji ulang keabsahannya. Penelitian kesehatan di Indonesia dalam berbagai aspek tidak dapat dipisahkan lagi dari dunia internasional, misalkan aspek publikasi, kerja sama ilmiah dan sponsorship. Dengan demikian, meskipun tetap memperhatikan nilai-nilai budaya dan kebutuhan bangsa Indonesia, penelitian kesehatan di Indonesia sudah merupakan bagian integral penelitian kesehatan internasional. Sebagian penelitian kesehatan dapat diselesaikan di laboratorium dengan menggunakan model in-vitro. Tetapi, pada permasalahan tertentu dan juga sebelum hasil penelitian dapat dimanfaatkan guna meningkatkan derajat kesehatan manusia/masyarakat perlu digunakan model in-vivo dengan menggunakan hewan percobaan serta mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek perielitian. Penggunaan hewan percobaan dan pengikutsertaan relawan manusia sebagai subjek penelitian dalam penelitian kesehatan, telah membawa implikasi etik, hukum dan sosial (Ethical Legal and Social Implication, ELSI) dan menimbulkan beraneka ragam reaksi dalam masyarakat. Menghadapi keadaan tersebut, perlu tersedia mekanisme yang dapat menjamin bahwa penelitian kesehatan selalu akan menghormati dan melindungi kehidupan, kesehatan, keleluasaan pribadi (privacy), dan martabat (dignity) relawan manusia yang bersedia ikut serta sebagai subjek penelitian serta juga menjamin kesejahteraan dan penanganan manusiawi (Aumane care) hewan percobaan, sebagaimana yang disebut dalam butir 11 dan 12 Deklarasi Helsinki. Pada hakekatnya, masalah etik penelitian adalah tanggung jawab pribadi setiap peneliti. Tetapi dengan makin banyak penelitian dilaksanakan 2 berkelompok atau bersama oleh beberapa lembaga _ penelitian (multicentered) dan perkembangan lembaga-lembaga penelitian yang makin otonom, serta harapan para sponsor, maka tanggung jawab etik penelitian menjadi terlalu luas dan berat untuk dibebankan kepada perorangan/peneliti saja. Penelitian kesehatan Indonesia yang dipacu oleh proses globalisasi telah menjadi subsistem penelitian kesehatan internasional. Di seluruh dunia sekarang sudah merupakan kenyataan, bahwa setiap lembaga penelitian, setiap majalah ilmiah, setiap sponsor, dan setiap pemerintah mempersyaratkan persetujuan etik (ethical approval) untuk penelitian yang menggunakan hewan percobaan, atau mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek penelitian. Memperhatikan perkembangan tersebut, maka lembaga di Indonesia, yang sering/banyak melaksanakan penelitian kesehatan, mutlak perlu memiliki Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK). Meskipun Komisi Etik Penelitian kesehatan dibentuk oleh lembaga atau oleh pemerintah, prinsip bahwa masalah etik merupakan tanggung jawab ilmuwan dan masyarakat ilmiah selalu perlu dipegang teguh. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, bekerja sama dengan WHO, telah melakukan pengkajian dengan pemetaan KEPK di Indonesia. Hasil pemetaan dilaporkan dalam buku Situation Analysis and Mapping of Health Research Ethics Committees in Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2002. Pemetaan dilakukan dengan mengirimkan kuestioner ke 180 lembaga di 16 provinsi yang kemudian dilengkapi dengan pelaksanaan focus group discussions di 12 kota. Dari 75 (41.67%) jawaban yang diterima kembali tersusun peta distribusi KEPK sebagai berikut. JUMLAH KOMISI ETIK PENELITIAN KESEHATAN PER PROVINSI No PROVINSI JUMLAH KEPK 1 | Sumatera Utara 1 2__| Sumatera Barat 1 3. | Sumatera Selatan 2 4 | DKI Jakarta 8 5 | Jawa Barat 1 6 | Jawa Tengah 2 7 ‘| DI Yogyakarta 3 : ‘| 8 | Jawa Timur S 9 | Bali 1 10 | Sulawesi Selatan 1 11. | Papua 1 | TOTAL | 26 Ke-26 Komisi Etik berbeda dalam komposisi keanggotaan dan tata cara kerjanya. Tetapi, keberadaannya harus dihargai sebagai modal awal yang sangat berharga untuk mengembangkan lebih lanjut etik penelitian kesehatan di Indonesia. Tentang masalah etik pada penelitian yang menggunakan hewan percobaan belum dimiliki informasi. Namun demikian, banyak lembaga yang melaksanakan penelitian kesehatan di Indonesia masih kurang sadar tentang pentingnya etik penelitian kesehatan. Juga terdapat kekurangpahaman tentang cara pembentukan komisi etik di lembaga serta proses pemberian persetujuan etik. Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan telah membentuk dan mengukuhkan Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK) yang sesuai tugasnya akan bekerja sama dengan lembaga-lembaga penelitian kesehatan yang mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek penelitian dan/atau menggunakan hewan percobaan. Kerja sama akan dilakukan dalam jaringan komunikasi nasional yang bertujuan secara_ kolektif melaksanakan pembinaan guna meningkatkan mutu etik penelitian kesehatan di Indonesia. Terbentuknya KEPK di setiap lembaga penelitian kesehatan perlu dilengkapi dengan pedoman operasional/prosedur pemberian persetujuan etik, Sesuai dengan tugas yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1334/Menkes/SK/X/2002, Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan telah melakukan kajian yang mendalam tentang berbagai aspek etik penelitian kesehatan dimana manusia dan hewan menjadi subjeknya. Hasil kajian tersebut, menghasilkan buku Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan, yang diharapkan menjadi rujukan bagi semua komisi/komite/panitia etik penelitian kesehatan yang terdapat di universitas/perguruan tinggi, rumah sakit/fasilitas kesehatan, dan lembaga penelitian di seluruh Indonesia. Dengan demikian diharapkan terjaminnya etik penelitian kesehatan yang memenuhi standar di Indonesia. Buku pedoman ini, mencakup etik penelitian kesehatan secara umum, sehingga masih perlu dilengkapi dengan buku-buku pedoman tentang permasalahan etik, atau bidang khusus penelitian kesehatan. Misalnya tentang epidemiologi, ilmu sosial, perilaku, teknologi kion dan s stem cells. Disadari, bahwa ilmu kesehatan dewasa ini berkembang secara eksponensial dan tidak hanya menghasilkan banyak pengetahuan ilmiah baru tetapi juga melahirkan konsep-konsep baru yang menyebabkan pergeseran-pergeseran paradigma. Oleh karena itu, buku Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan harus secara berkala dilengkapi dan disempurnakan mengikuti perkembangan ilmu kesehatan dengan implikasi etik risetnya. II. BAHAN REFERENSI DASAR Untuk penyusunan buku Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan, KNEPK telah menggunakan sebagai referensi beberapa dokumen internasional yang sudah dimanfaatkan secara luas, sebagai instrumen internasional untuk mengembangkan etik penelitian kesehatan. Dokumen-dokumen tersebut tidak akan dikutip atau diterjemahkan secara keseluruh-an, tetapi dipilih bagian-bagian yang relevan dengan keadaan dan kebutuh-an Indonesia. Bagian-bagian terpilih pada pemanfaatan lebih lanjut perlu dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia, serta disesuaikan dengan kebiasaan, tradisi, sistem nilai, dan budaya bangsa Indonesia. Untuk memperluas wawasan dan memperoleh pengertian yang lebih lengkap dan komprehensif, sangat dianjurkan untuk membaca keseluruhan dokumen referensi internasional tersebut. Dokumen-dokumen internasional yang dimanfaatkan oleh KNEPK sebagai bahan referensi adalah sebagai berikut. 1. Nuremberg Code (1947) Nuremberg Code adalah instrumen internasional pertama mengenai etik penelitian kesehatan dan berasal dari keputusan Pengadilan para Dokter (the Doctor’s Trial) di kota Nuremberg tahun 1947. The Doctor's Trial adalah bagian dari Nuremberg Military Tribunal yang mengadili kejahatan perang yang dilakukan rezim Nazi Jerman. Para dokter yang diadili disalahkan melaksanakan penelitian kesehatan tanpa tujuan ilmiah yang rasional. Penelitian dilakukan secara paksa pada tawanan kamp konsentrasi oleh tenaga kerja yang tidak memenuhi persyaratan. Nuremberg Code meletakkan dasar perdana untuk pengembangan etik penelitian kesehatan. Code disusun untuk melindungi integritas subjek penelitian, menentukan persyaratan- persyaratan untuk melaksanakan penelitian kesehatan secara etis dan secara khusus memberi tekanan pada persetujuan sukarela (voluntary consent) oleh manusia yang diikutsertakan sebagai subjek penelitian. 2. Universal Declaration of Human Rights (United Nations, 1948) The General Assembly of the United Nations pada tahun 1948 mengadopsi the Universal Declaration of Human Rights. Guna mem- beri kekuatan hukum dan moral pada Deklarasi tersebut pada tahun 1966 the General Assembly menetapkan the International Convenant on Civil and Political Rights, yang dalam Artikelnya ke-7 tertulis No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In partcular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation. Artikel ke-7 ini menegaskan perlindungan hak asasi manusia dan kesejahteraan setiap relawan manusia yang ikut serta sebagai subjek dalam penelitian kesehatan. 1, The Declaration of Helsinki. Ethical Principles for Medical Research Involving Human Subjects (World Medical Assembly, 2000) Deklarasi Helsinki disepakati oleh World Medical Association di kota Helsinki tahun 1964, dan merupakan dokumen fundamental internasional di bidang etik penelitian kesehatan. Hingga sekarang, Deklarasi Helsinki telah lima kali mengalami tambahan amandemen mengikuti perkembangan di dunia ilmu kesehatan. Amandemen terakhir, ditambahkan di General Assembly WMA di Edinburgh, Scotland, Oktober 2000. Deklarasi Helsinki diakui sebagai dokumen utama yang fundamental di bidang etik penelitian kesehatan. Dokumen tersebut telah mempengaruhi perumusan _legislasi internasional, regional, dan nasional. Deklarasi Helsinki memberi pedoman kepada dokter yang melakukan penelitian kesehatan klinik dan non-klinik. Karena kedudukan yang demikian penting maka Deklarasi Helsinki akan dilampirkan secara lengkap (lampiran IV). 2. Operational Guidelines for Ethics Committees that Review Biomedical Research (WHO 2000) Dokumen membahas secara rinci tujuan dan cara pembentukan komisi etik penelitian serta pengadaan sistem penilaian etik. Selain itu juga dibahas masalah keanggotaan dan prosedur kerja, termasuk aplikasi protokol penelitian dan proses pengambilan keputusan. Dokumen tersebut merupakan pedoman kunci untuk membentuk KEPK dan menentukan prosedur kerjanya. Dokumen ini telah diterjemahkan dan diadaptasi untuk Indonesia oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes. 10 3. International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subjects (CIOMS 2002)! Council of International Organizations of Medical Sciences (CIOMS) adalah organisasi internasional non-pemerintah yang berafiliasi resmi dengan WHO. Dokumen tersebut adalah dokumen mutakhir hasil penyempurnaan keempat yang paling lengkap tentang etik penelitian kesehatan yang mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek penelitian. Pedoman CIOMS memberi perhatian khusus pada penerapan Deklarasi Helsinki di negara-negara sedang berkembang untuk digunakan bagi perumusan kebijakan penerapan standar etik penelitian kesehatan sesuai keadaan setempat. KNEPK memakai dokumen tersebut, sebagai bahan referensi utama, dan sangat menganjurkan untuk membaca keseluruhan buku CIOMS tersebut. 4, Selain lima dokumen tersebut, masih terdapat banyak dokumen lain tentang etik penelitian kesehatan berkaitan dengan permasalahan khusus atau bidang khusus penelitian kesehatan. Misalnya International Guidelines for Ethical Review of Epidemiological Studies (CIOMS 1991), Guidelines for Good Clinical Practice for Trials on Pharmaceutical Products (WHO, 1995), Ethical Guidelines in HIV Preventive Vaccine Research (UNAIDS, 2000) dan Directive on Clinical Trials yang diadopt oleh Council of Ministers of the European Union yang akan diberlakukan mulai tahun 2004. Dokumen nasional yang patut dibaca dan dimanfaatkan adalah buku * Dokumen dapat diturunkan tanpa biaya dari website CIOMS (www.cioms.ch) Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) di Indonesia diterbitkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan tahun 2001 dan Pedoman Etik Penelitian Kedokteran Indonesia yang telah diterbitkan oleh FK- UI pada tahun 1987. III. PRINSIP ETIK UMUM Masalah di negara sedang berkembang yang sekarang sudah makin sedikit dipertentangkan adalah sampai seberapa jauh prinsip etik dianggap universal atau pluralistik, berkaitan dengan budaya setempat (culturally relative). Sebenarnya, tantangan yang sekarang dihadapi etik penelitian Kesehatan universal adalah penerapan prinsip-prinsip etik penelitian kesehatan universal di dunia multikultural yang menggunakan beraneka- ragam sistem pelayanan kesehatan. KNEPK berpendirian bahwa penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian tidak boleh melanggar standar etik universal. Tetapi, pada aspek tertentu (seperti otonomi perorangan dan Persetujuan Sesudah Penjelasan (PSP, Informed Consent) harus memperhitungkan nilai-nilai budaya setempat. Semua penelitian kesehatan yang mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek penelitian wajib didasarkan pada tiga prinsip etik umum, yaitu menghormati harkat martabat manusia (respect for persons), berbuat baik (benificence)’, tidak merugikan (nonmaleficence) dan keadilan (justice). Secara universal, ketiga prinsip tersebut telah disepakati dan diakui sebagai prinsip dasar etik penelitian yang memiliki kekuatan moral. Sehingga suatu penelitian dapat dipertanggungjawabkan baik menurut pandangan etik maupun hukum. Buku Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan bertujuan untuk mengaplikasikan ketiga prinsip etik umum tersebut agar dapat dipahami oleh para peneliti dalam upaya mematuhi 2 Dalam bahasa Latin bene artinya baik dan facere artinya membuat 12 norma etik penelitian kesehatan di Indonesia yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian. Ketiga prinsip etik umum tersebut adalah sebagai berikut. 1. Prinsip menghormati harkat martabat manusia Prinsip ini merupakan bentuk penghormatan terhadap harkat martabat manusia sebagai pribadi (persona) yang memiliki kebebasan berkehendak atau memilih dan sekaligus bertanggungjawab secara pribadi terhadap keputusannya sendiri. Secara mendasar prinsip ini bertujuan: a. menghormati otonomi, yang mempersyaratkan bahwa manusia yang mampu menalar pilihan pribadinya harus diperlakukan dengan menghormati kemampuannya untuk mengambil keputusan mandiri (self-determination), dan b. melindungi manusia yang otonominya terganggu atau kurang, mempersyaratkan bahwa manusia yang _ berketergantungan (dependent) atau rentan (vulnerable) perlu diberikan perlindungan terhadap kerugian atau penyalahgunaan (harm and abuse). 2. Prinsip etik berbuat baik (beneficence) Prinsip etik berbuat baik menyangkut kewajiban membantu orang lain dilakukan dengan mengupayakan manfaat maksimal dengan kerugian minimal. Diikutsertakannya subyek manusia dalam penelitian kesehatan dimaksudkan untuk membantu tercapainya tujuan penelitian yang dilakukan. Prinsip etik berbuat baik, mempersyaratkan bahwa: a. risiko penelitian harus wajar (reasonable) dibanding manfaat yang diharapkan, b. desain penelitian harus memenuhi persyaratan ilmiah (scientifically sound), ¢. para peneliti mampu melaksanakan penelitian dan sekaligus mampu menjaga kesejahteraan subjek penelitian, dan d. diikuti prinsip do no harm (non maleficence-tidak merugikan), yang menentang dengan sengaja merugikan subjek penelitian. Prinsip tidak merugikan, menyatakan bahwa jika tidak dapat melakukan hal- hal yang bermanfaat, maka setidak-tidaknya jangan merugikan orang lain. Prinsip tidak merugikan bertujuan agar subyek penelitian tidak diperlakukan sebagai sarana dan memberikan perlindungan terhadap tindakan penyalahgunaan. 3. Prinsip etik keadilan (justice) Prinsip etik keadilan mengacu pada kewajiban etik untuk memperlakukan setiap orang (sebagai pribadi otonom) sama dengan moral yang benar dan layak dalam memperoleh haknya. Prinsip etik keadilan terutama menyangkut keadilan distributif (distributive justice) yang mempersyaratkan pembagian seimbang (equitable), dalam hal beban dan manfaat yang diperoleh subyek dari keikutsertaan dalam penelitian. Ini dilakukan dengan memperhatikan, distribusi usia dan gender, status ekonomi, budaya dan konsiderasi etnik. Perbedaan dalam distribusi beban dan manfaat hanya dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan, jika didasarkan pada perbedaan yang relevan secara moral antara orang-orang yang 14 diikutsertakan. Salah satu perbedaan perlakuan tersebut adalah kerentanan (vulnerability). Kerentanan adalah ketidakmampuan untuk melindungi kepentingan sendiri dan kesulitan memberi PSP, kurangnya kemampuan menentukan pilihan untuk memperoleh pelayanan kesehatan atau keperluan lain yang mahal, atau karena tergolong yang muda atau berkedudukan rendah pada hirarki kelompoknya. Untuk itu, diperlukan ketentuan khusus untuk melindungi hak dan kesejahteraan subjek yang rentan. Sponsor dan peneliti pada umumnya tidak bertanggung jawab atas perlakuan yang kurang adil di tempat penelitian dilaksanakan. Kegiatan yang dapat memperburuk keadaan, menambah kekurangadilan, atau membantu terciptanya ketidakseimbangan baru harus dihindarkan. Sponsor dan peneliti juga tidak boleh mengambil keuntungan/kesempatan dari ketidakmampuan negara-negara atau daerah penghasilan rendah atau masyarakat yang rentan untuk kepentingan sendiri dengan melaksanakan penelitian yang lebih murah. Penelitian obat/produk baru tanpa mengikutsertakan negara sedang berkembang akan mengakibatkan tidak diketahuinya profil keamanan dan efektivitas obat/produk tersebut di berbagai populasi/kelompok etnik di negara sedang berkembang. Penyalahgunaan keadaan tertentu dari negara berkembang tempat penelitian dilakukan, semata-mata untuk menghindari sistem pengaturan yang rumit di negara industri guna menghasilkan produk yang menguntungkan di pasar negara industri, tidaklah etis. Pada umumnya, proyek penelitian harus menguntungkan negara- negara dengan penghasilan rendah, atau paling sedikit tidak memperburuk 15 keadaannya. Penelitian harus memperhatikan kebutuhan dan prioritas kesehatan masyarakat, serta setiap produk yang dihasilkan harus dapat tersedia secara wajar guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat tempat penelitian dilaksanakan sedapat mungkin memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih efektif dan melindungi kesehatannya sendiri. Keadilan mempersyaratkan bahwa penelitian harus peka terhadap keadaan kesehatan dan kebutuhan subjek yang rentan. Risiko untuk subjek yang rentan paling mudah dapat dipertanggungjawabkan, jika tindakan atau prosedur membawa kemungkinan manfaat langsung untuk kesehatannya. Jika tidak ada keuntungan langsung untuk subjek maka penelitian masih dapat dibenarkan melihat manfaat yang akan diterima oleh masyarakat dari mana subjek berasal. IV. KOMISI ETIK PENELITIAN KESEHATAN (KEPK) Peran ilmu pengetahuan yang makin menentukan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan bangsa Indonesia telah tampak dalam peningkatan jumlah dan juga mutu penelitian kesehatan di Indonesia. Sebagian penelitian kesehatan dapat diselesaikan di laboratorium dengan menggunakan model in-vitro, tetapi sering juga diperlukan model in-vivo dengan menggunakan hewan percobaan dan/atau mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek penelitian. Sebagai bangsa yang beradab, kesediaan dan pengorbanan relawan manusia wajib dihargai dan dihormati. Dalam hal ini perlu dikembangkan mekanisme, struktur, dan prosedur yang selalu melindungi kehidupan, kesehatan, kesejahteraan (welfare), keleluasaan pribadi (privacy), dan martabat (dignity) relawan manusia. Untuk keperluan tersebut perlu dibentuk Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) di setiap lembaga yang banyak/sering melaksanakan penelitian kesehatan, dengan mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian atau menggunakan hewan percobaan. KEPK sesudah melakukan penilaian protokol penelitian dengan hasil yang memuaskan atau memberikan persetujuan etik (ethical approval). Penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian atau menggunakan hewan percobaan, yang dilaksanakan tanpa persetujuan etik adalah pelanggaran berat etik penelitian. KEPK dapat dibentuk di tingkat lembaga, lokal, regional, nasional, dan internasional. Melihat luasnya negara Indonesia dengan demikian banyak lembaga penelitian kesehatan, maka kurang layak untuk diadakan sentralisasi pengelolaan dan perlu diadakan desentralisasi. Keadaan di 17 daerah juga beranekaragam dan dengan demikian KEPK sebaiknya dibentuk di tingkat lembaga. Di wilayah di mana terdapat lembaga penelitian yang baik/kuat, dikelilingi lembaga-lembaga yang masih dalam tahap pengembangan kemampuannya dengan jumlah penelitian yang masih terbatas, maka demi efisiensi KEPK lembaga yang kuat atas permintaan, dapat berfungsi sebagai KEPK regional. Untuk penelitian kerja sama dengan luar negeri kadang-kadang dipersyaratkan persetujuan etik tingkat nasional. Melihat tugas pokok dan kedudukan KNEPK yang hanya pada keadaan khusus memberi persetujuan etik, maka sewajarnya KEPK Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI berfungsi sebagai KEPK tingkat Nasional. Menteri Kesehatan RI dengan Surat Keputusan No.1334/Menkes/ SK/X/2002 tanggal 29 Oktober 2002, telah memberi dasar hukum untuk membentuk Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK). KNEPK. telah menyusun Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan dan mengembangkan jaringan komunikasi nasional, supaya etik penelitian kesehatan di Indonesia dapat ditegakkan sebagai hasil upaya bersama. Pada pembentukan KEPK di lembaga-lembaga penelitian kesehatan perlu diperhatikan beberapa aspek umum sebagai berikut. Kedudukan KEPK KEPK sebagai bagian dari organisasi lembaga yang melaksanakan penelitian kesehatan secara administratif bertanggungjawab kepada pimpinan lembaga KEPK harus dibentuk mengikuti peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dan sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip masyarakat yang dilayaninya Lembaga harus menyediakan segala bentuk dukungan yang diperlukan KEPK untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik . KEPK melaksanakan fungsinya secara independen yaitu bebas dari pengaruh manapun, termasuk tekanan politik, lembaga, profesi, industri, atau pasar Untuk pembentukan KEPK, pimpinan lembaga menentukan beberapa orang sebagai formatur yang bersama pimpinan lembaga menentukan keanggotaan, KEPK pada sidang pertama memilih ketua, wakil ketua dan sekretaris. Selanjutnya KEPK sebagai badan independen memilih anggota baru untuk kemudian diangkat/dikukuhkan oleh pimpinan lembaga Peran dan fungsi KEPK Menyampaikan atas permintaan atau atas prakarsa sendiri nasehat dan pandangannya mengenai permasalahan ctik penelitian kesehatan kepada pimpinan lembaga. . Menjamin bahwa penelitian kesehatan yang dilaksanakan oleh, di, atau bersama lembaga memenuhi kriteria etik penelitian. 20 . Menjamin bahwa relawan manusia yang diikutsertakan sebagai subjek penelitian dihormati dan dilindungi martabat (dignity), keleluasaan pribadi (privacy), hak-hak, kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraannya. . Menjamin bahwa keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan subjek penelitian tidak pernah akan dikalahkan (override) oleh upaya pencapaian tujuan penelitian bagaimanapun pentingnya. Menjamin kesejahteraan dan penanganan manusiawi hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian kesehatan. . Menegaskan bahwa etik penelitian akan dilaksanakan atas dasar tiga prinsip etik umum, yaitu menghormati harkat martabat manusia, berbuat baik, dan keadilan. Dalam pelaksanaan peran dan fungsinya KEPK memakai sebagai dasar Deklarasi Helsinki dan buku Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan. KEPK melaksanakan fungsinya dengan memberi persetujuan etik (ethical approval) sesudah melakukan penilaian protokol penelitian yang diketahui pimpinan lembaga. . KEPK tidak berwenang memberi sanksi, tetapi dapat mengusulkan pemberian sanksi kepada pimpinan lembaga. KEPK berhak menarik kembali/membatalkan persetujuan etik yang telah diberikan kalau di kemudian hari ditemukan pelanggaran selama pelaksanaan penelitian. Pada prinsipnya KEPK menganggap bahwa pemberian sanksi kurang pantas dan lebih mengutamakan mengembangkan suasana keterbukaan dan saling percaya (mutual trust) untuk melakukan pembinaan. . KEPK bukan komisi penguji atau penilai ilmiah (akademis), tetapi merupakan komisi penilai dan pengambil keputusan tentang kelayakan etis suatu penelitian kesehatan guna mendukung terlaksananya penelitian kesehatan bermutu. Keanggotaan KEPK awam yang dapat menyampaikan pandangan dan keprihatinan masyarakat. Multidisiplin berarti, bahwa terdapat anggota dari berbagai disiplin ilmu, selain Anggota baru dipilih oleh sidang KEPK dan dikukuhkan oleh pimpinan lembaga. . Harus tersedia prosedur tertulis mengenai identifikasi dan pemilihan anggota KEPK, masa bakti keanggotaan, kebijakan tentang pemilihan ulang, serta prosedur diskualifikasi, pengunduran diri, dan penggantian. Supaya KEPK dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, maka keanggotaan KEPK mutlak multidisiplin dan multisektoral, dengan distribusi kepakaran yang relevan, distribusi umur dan gender yang seimbang, serta dilengkapi orang (-orang) yang terhimpun pada ilmu kesehatan, seperti ilmu hukum, sosiologi, pendidikan dan filsafat etika. |. Lembaga juga memerlukan KEPK yang menjamin etik penelitian pada penggunaan hewan percobaan. Kalau lembaga memutuskan, bahwa KEPK melaksanakan kedua fungsi, yaitu etik tentang pengikutsertaan manusia dan penggunaan hewan percobaan, maka paling sedikit harus ada satu dokter hewan sebagai anggota KEPK. Komposisi keanggotaan dan jumlah anggota ditentukan oleh sidang KEPK. KEPK tidak merupakan forum perwakilan dan demi efisiensi 21 kerja jumlah anggota perlu dibatasi, jumlah optimal diperkirakan 5 - 10 anggota. Jika diperlukan pada sidang penilaian etik protokol penelitian KEPK dapat mengundang konsultan bebas guna melengkapi kepakaran etiknya, . Untuk menjamin kebebasan KEPK agar tidak dipengaruhi atau ditekan, sebaiknya pimpinan lembaga tidak menjadi anggota KEPK, dan terdapat cukup banyak anggota KEPK yang berasal dari luar lembaga. . Setiap KEPK wajib memiliki buku pedoman yang terjangkau oleh yang memerlukannya. KEPK dapat menggunakan sepenuhnya Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan, tetapi jika dianggap perlu dapat mengadakan penyesuaian dengan keadaan dan keperluan setempat. Jika diadakan penyesuaian maka KEPK harus menerbitkan buku pedomannya sendiri. Perlu diadakan sistem rotasi keanggotaan sehingga terjamin kontinuitas dan pengembangan/pemeliharaan kepakaran di KEPK dan KEPK secara berkala diperkaya dengan pemikiran dan pendekatan segar/baru Anggota terpilih harus menyetujui nama dan afiliasinya diumumkan serta bersedia menandatangani perjanjian kerahasiaan yang mencakup kerahasiaan tentang pembahasan pada sidang, aplikasi dan informasi tentang peneliti. Perjanjian kerahasian tersebut juga harus ditandatangani oleh anggota sekretariat KEPK. . Pendidikan awal dan berkelanjutan (initial and continued education) untuk anggota KEPK perlu diupayakan dengan dukungan lembaga 4, Penilaian etik protokol penelitian a. Penilaian protokol penelitian dilakukan oleh sidang KEPK yang sah dan dilaksanakan secara kompeten, rahasia, tepat waktu dan bebas dari segala pengaruh atau tekanan politik, lembaga, profesi, industri atau pasar. b. Anggota KEPK dapat menerima imbalan untuk jasa penilaian protokol penelitian. Tetapi, penerimaan imbalan tidak boleh berkaitan dengan pengambilan keputusan dalam sidang KEPK. Imbalan yang diminta untuk anggota KEPK maupun lembaganya tidak boleh sedemikian besar, sehingga menghambat pelaksanaan penelitian. c. Sidang KEPK adalah sah jika tercapai kuorum, yaitu kehadiran lebih dari setengah jumlah anggota dengan tetap memperhatikan distribusi yang wajar antar anggota. d. Sidang KEPK diadakan sesuai kebutuhan, tetapi paling sedikit diadakan setiap 3 bulan. e. Keputusan sidang KEPK diambil atas dasar konsensus atau pemungutan suara. f. Jika seorang anggota KEPK memiliki keterkaitan dengan penelitian yang dinilai sehingga mungkin terjadi pertentangan kepentingan (conflict of interest), maka dia harus melaporkan hal tersebut kepada ketua sebelum penilaian dimulai. Dia boleh hadir, namun tidak ikut serta dalam pembahasan dan pengambilan keputusan. 23 g. 24 Persetujuan etik diberikan sesudah protokol penelitian dibahas, dinilai, dan disetujui oleh sidang KEPK yang sah. Seluruh proses penilaian serta keputusan sidang KEPK harus didokumentasi. Anggota KEPK perlu diberi cukup waktu untuk mempelajari protokol penelitian yang akan dinilai. KEPK hanya melakukan penilaian etik pada protokol penelitian yang diketahui/disetujui oleh pimpinan lembaga. Hasil sidang KEPK disampaikan dengan surat kepada peneliti dan pemimpin lembaga. Pengiriman protokol penelitian secara resmi oleh pimpinan lembaga merupakan jaminan, bahwa tim peneliti memiliki kemampuan untuk melaksanakan penelitian dipandang dari latar belakang pendidikan dan pengalaman, serta tersedianya dukungan sarana yang diperlukan. Protokol harus dilengkapi surat persetujuan dari komisi ilmiah lembaga yang menjamin bahwa masalah penelitian aktual dan relevan dan didukung oleh tinjauan kepustakaan yang lengkap dan mutakhir, serta desain penelitian yang memenuhi persyaratan. Jika lembaga belum memiliki komisi ilmiah, maka tugas tersebut menjadi tanggung jawab komisi etik. Dalam protokol harus dijelaskan tata cara mendapat PSP dari calon subjek penelitian dan dilengkapi format yang akan ditandatangani oleh subjek penelitian. Format protokol penelitian harus dilengkapi cukup informasi tentang cara pengisiannya dan dokumen-dokumen yang perlu dilampirkan. Protokol hanya akan dinilai, kalau menggunakan format yang sudah disediakan, dan dilengkapi semua lampiran dalam jumlah kopi yang ditentukan. Protokol penelitian perlu dilengkapi dengan daftar riwayat hidup para peneliti. 25 V. PROSES PENILAIAN ETIK Lembaga-lembaga penelitian di Indonesia yang melaksanakan penelitian kesehatan dan juga para ilmuwannya, sudah mengenal dan terbiasa dengan proses penilaian ilmiah (scientific review). Penilaian ilmiah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah yang universal dengan cara dan metode yang sudah diakui keabsahannya oleh masyarakat ilmiah. Penemuan masalah umum dengan latar belakang, perumusan masalah ilmiah, tujuan penelitian, penyusunan hipotesis, perencanaan dan pelaksanaan eksperimen dengan metode standar, pengumpulan, dan pengelolaan data, sampai pada kesimpulan yang memecahkan masalah ilmiah. Ini adalah rangkaian kegiatan yang pada umumnya sudah dikenal dan tidak menimbulkan banyak kesulitan. Berlainan halnya dengan proses penilaian etik penelitian, yang sering masih belum cukup dikenal. Dalam ilmu pengetahuan, kita biasanya dihadapkan keadaan hitam-putih atau benar-salah, tetapi pada etik penelitian ditemukan suatu skala antara hitam dan putih dengan segala pertimbangannya. Pada penilaian etik penelitian tidak dapat digunakan cara yang absolut, antara benar dan salah tetapi ditemukan skala antara yang lebih baik, wajar atau pantas; dengan yang kurang baik, atau tidak dapat diterima. Penilaian etik penelitian tidak mungkin dan tidak layak dibakukan metode dan tata cara pelaksanaannya dengan pendekatan uniform (blanket approach). Setiap protokol penelitian yang dinilai harus diperlakukan sebagai karya yang unik. 26 Dengan demikian, buku Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan, selain menjelaskan prinsip etik umum (Bab III), akan menyampaikan juga sejumlah butir pedoman untuk dimanfaatkan pada penilaian etik penelitian kesehatan. Butir-butir pedoman secara selektif diterjemahkan, dipersingkat dan dilengkapi sesuai kebutuhan Indonesia dari buku Jnternational Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subjects (CIOMS, 2002). Sebaiknya seluruh buku referensi tersebut dibaca supaya mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh dan lengkap. Butir Pedoman 1 Pembenaran etik dan keabsahan ilmiah penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia Penelitian kesehatan yang mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek penelitian dapat secara etis dibenarkan karena terdapat kemungkinan ditemukan cara-cara baru yang akan menguntungkan kesehatan masyarakat. Penelitian tersebut hanya dapat dibenarkan secara etis jika dilaksanakan dengan: a. menghormati dan melindungi subjek penelitian; b. adil terhadap subjek penelitian; dan c. penelitian secara moral dapat diterima oleh masyarakat lokasi penelitian. Penelitian yang secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan tidak etis untuk dilaksanakan, karena memaparkan subjek penelitian pada risiko tanpa kemungkinan memperoleh manfaat. Peneliti dan sponsor harus 27 menjamin bahwa penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian sesuai prinsip-prinsip ilmiah yang diterima secara umum dan didasarkan pada pengetahuan yang memadai dari tinjauan kepustakaan ilmiah mutakhir. Penjelasan Ciri-ciri esensial penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian yang secara etis dapat dibenarkan, adalah: a, penelitian merupakan sarana untuk menghasilkan informasi yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain; . desain penelitian memenuhi persyaratan ilmiah; metode yang digunakan harus sesuai dengan tujuan penelitian dan bidang ilmu pengetahuan; dan |. peneliti dan semua tenaga pendukung yang ikut melaksanakan penelitian harus kompeten dilihat dari latar belakang pendidikan dan pengala-mannya. Informasi tersebut harus disampaikan dalam protokol penelitian yang diajukan kepada komisi ilmiah dan KEPK untuk penilaian dan persetujuan. Butir Pedoman 2 Komisi etik penelitian Semua protokol penelitian yang mengikutsertakan manusia harus diajukan untuk dinilai kebaikan (merit) ilmiahnya dan kepantasan etiknya oleh komisi ilmiah dan KEPK. Kedua komisi harus independen dari tim 28 penelitian. Keuntungan finansial atau imbalan dalam bentuk lain yang diterima dari penelitian tidak boleh mempengaruhi hasil penilaian. Peneliti sudah harus mendapatkan persetujuan etik sebelum memulai penelitian. KEPK harus mengadakan peninjauan lanjutan selama penelitian berjalan, termasuk pemantauan kemajuan. Penjelasan Uraian lebih rinci telah disampaikan di bab IV tentang Komisi Etik Penelitian Kesehatan. Butir Pedoman 3 Penilaian ctik penelitian dengan sponsor eksternal Organisasi sponsor eksternal dan peneliti asing perorangan harus mengajukan protokol penelitian untuk penilaian ilmiah dan etik di negara asalnya. Peninjauan harus dilakukan dengan standar etik yang sama ketat seperti digunakan untuk penelitian yang dilaksanakan di negara tersebut. Persetujuan ilmiah dan etik dari negara asalnya perlu dilampirkan pada protokol penelitian yang diajukan kepada komisi ilmiah dan KEPK di Indonesia. Pejabat kesehatan Indonesia, dan juga KEPK nasional, wilayah atau lembaga, harus menjamin bahwa penelitian yang diusulkan adalah sesuai dengan kebutuhan dan prioritas kesehatan Indonesia, memenuhi standar etik yang dipersyaratkan, dan tidak bertentangan dengan norma yang, berlaku di dalam masyarakat. 29 30 Penjelasan fy Yang dimaksud dengan penelitian dengan sponsor eksternal adalah penelitian yang dilakukan di negara tuan rumah (host country) tetapi disponsori, dibiayai, dan kadang-kadang sebagian atau seluruhnya dilaksanakan oleh organisasi internasional/nasional atau perusahan farmasi dengan kerja sama/persetujuan dari penguasa terkait, lembaga dan personel negara tuan rumah. Komisi etik penelitian di negara sponsor atau di organisasi internasional bertanggungjawab, bahwa penelitian memenuhi persyaratan ilmiah dan etik negara asalnya/organisasi, serta ditambah pembenaran yang kuat untuk melaksanakan penelitian di Indonesia. Negara sponsor atau organisasi internasional harus melakukan penilaian etik sesuai prosedur penilaian etiknya yang independen dengan standar etik yang lazim digunakannya. KEPK di Indonesia mengemban tugas khusus, yaitu menjamin bahwa tujuan penelitian adalah sesuai kebutuhan dan prioritas kesehatan Indonesia dan menjamin bahwa penelitian dilaksanakan sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, khususnya penduduk setempat. . KEPK di Indonesia lebih kompeten untuk menilai protokol penelitian secara rinci, karena lebih memahami nilai dan norma budaya penduduk setempat KEPK di Indonesia juga lebih kompeten untuk memantau kepatuhan selama penelitian berlangsung. Butir Pedoman 4 Persetujuan sesudah penjelasan (PSP) perorangan (Individual Informed Consent) Pada semua penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian, peneliti harus memperoleh PSP sukarela dari calon subjek penelitian. Jika subjek penelitian tidak mampu memberi PSP maka persetujuan harus diperoleh dari seorang yang menurut hukum yang berlaku berhak mewakilinya. Tidak diperlukannya PSP (waiver) hanya dibenarkan pada suatu keadaan khusus, dan merupakan suatu perkecualian yang harus disetujui lebih dahulu oleh KEPK. Penjelasan PSP perorangan untuk menjadi subjek penelitian adalah keputusan yang diambil oleh manusia yang kompeten, sesudah menerima dan memahami informasi yang diperlukan, serta mengambil keputusan tanpa dipaksa, dipengaruhi berlebihan, didorong, dibujuki, atau diintimidasi. PSP didasarkan pada prinsip, bahwa manusia yang kompeten, harus bebas memilih ikut serta atau tidak ikut serta. Maka dengan demikian, hal ini melindungi kebebasan memilih dan menghormati otonomi perorangan. Proses memperoleh PSP terdiri atas memberikan informasi, mengulangi penjelasan, menjawab secara jujur semua pertanyaan dan menjamin bahwa calon subjek penelitian memahami setiap tahap penelitian. Proses yang dilaksanakan dengan baik, membuktikan bahwa peneliti menghormati martabat dan otonomi calon subjek 3L 32 penelitian. Setiap calon subjek penelitian diberi waktu yang cukup untuk mengambil keputusan dan untuk berkonsultasi dengan keluarga atau orang lain. . Pemberian informasi untuk mendapatkan PSP tidak boleh merupakan ritual pembacaan dokumen. Informasi harus diberikan dalam bahasa yang dapat dimengerti dan sesuai dengan tingkat pendidikan calon subjek penelitian. Selalu perlu diperhatikan kedewasaan, kecerdasan, tingkat pendidikan, dan agama atau sistem kepercayaan subjek. Keberhasilan seluruh proses ditentukan oleh kemampuan dan kesediaan peneliti untuk berkomunikasi penuh kesabaran dan kepekaan. . Biasanya PSP diberikan secara tertulis dan calon subjek penelitian diminta menandatangani format PSP yang ikut ditandatangani oleh seorang saksi. Jika calon subjek penelitian tidak mampu melakukannya maka PSP ditandatangani oleh orang yang berhak mewakilinya menurut hukum yang berlaku. Pemberian PSP secara lisan harus disetujui lebih dahulu oleh KEPK dan pemberian PSP lisan harus ditandatangani oleh saksi. . KEPK dapat membuat perkecualian dan menyetujui bahwa seluruh atau sebagian PSP tidak diperlukan (waiver). Jika, risiko keikutsertaannya minimal, yaitu risiko yang tidak lebih dari pemeriksaan rutin medik dan psikologik, ataa memperoleh PSP dari setiap subjek menyebabkan penelitian kurang layak dilaksanakan. Perkecualian, juga dapat diberikan kalau dokumen penandatanganan merupakan ancaman terhadap kerahasiaan perorangan. Peneliti tidak boleh mulai melaksanakan penelitian pada seseorang subjek penelitian sebelum mendapat PSP dari subjek yang bersangkutan. Pada penelitian dengan risiko minimal yang permintaan PSP setiap individu akan membuat penelitian tidak layak dilaksanakan (seperti pemanfaatan data dari catatan medik penderita), komisi etik dapat memberi perkecualian pada sebagian atau keseluruhan proses permintaan PSP. PSP perlu diperbaharui, kalau terjadi perubahan pada keadaan dan prosedur penelitian, misalkan diperolehnya informasi baru yang berasal dari penelitian itu sendiri atau dari sumber informasi lain yang mempengaruhi keseimbangan, antara risiko dan manfaat. Pembaharuan PSP juga perlu dilakukan secara berkala dan terencana pada penelitian jangka panjang. Di Indonesia sering ditemukan keadaan di mana peneliti baru dapat masuk suatu masyarakat dan menghubungi calon-calon subjek penelitian sesudah mendapat restu/izin dari pemimpin masyarakat/ adat setempat. Kebiasaan tersebut harus dihormati tetapi izin pemimpin masyarakat/adat setempat tidak dapat mengganti PSP perorangan dari calon subjek penelitian. Perkecualian dalam hal ini dapat diadakan dengan persetujuan KEPK. . Untuk penelitian kerja sama dengan luar negeri, jika perlu harus dialokasikan anggaran khusus supaya PSP dapat diperoleh menurut standar yang ditetapkan di Indonesia, dalam bahasa lokal dan sesuai dengan budaya setempat. 33 34 11. Catatan medik (medical records) dan bahan biologik yang tersimpan pada pelayanan klinik, hanya dapat digunakan untuk penelitian tanpa PSP dari penderita, kalan KEPK memutuskan bahwa: a. penelitian hanya memberi risiko minimal serta hak dan kepentingan penderita tidak dilanggar; b. keleluasaan pribadi, kerahasiaan dan anonimitas penderita terjamin; c. penelitian akan menjawab pertanyaan penting; d. meminta PSP setiap penderita tidak layak dilakukan; dan e. penderita berhak mengetahui bahwa catatan medik dan spesimen biologiknya akan digunakan untuk penelitian. 12. Seorang peneliti mungkin ingin menggunakan catatan medik atau bahan biologik yang dikumpulkan dan digunakan peneliti lain di lembaga atau negara lain. Permasalahan yang mungkin akan timbul adalah catatan medik dan bahan biologik memuat informasi yang dapat mengidentifikasi subjek penelitian, sehingga kerahasiaan dapat mengancam. Pemanfaatannya lagi catatan medik atau bahan biologik, pada umumnya ditentukan oleh cara pengisian dokumen asli PSP. Karena itu, sebaiknya jika diantisipasi kemungkinan penggunaan lebih lanjut di kemudian hari, hal tersebut harus tertulis dalam PSP. Yang perlu dibahas dengan subjek penelitian adalah: a. kemungkinan pemanfaatan lagi catatan medik dan bahan biologik dan apakah pemanfaatan tersebut terbatas pada penelitian sejenis b. keadaan yang mewajibkan peneliti meminta otorisasi tambahan langsung dari subjek penelitian; c. peneliti akan memusnakan/menghilangkan segala sesuatu yang mungkin dapat mengidentifikasi subjek penelitian; dan d. subjek berhak untuk meminta pemusnaan atau dianonimkan catatan medik atau bahan biologiknya yang dianggapnya sangat sensitif, seperti foto, videotapes atau audiotapes. Butir Pedoman 5 Memperoleh PSP : informasi esensial untuk calon subjek penelitian Sebelum meminta seorang ikut serta sebagai subjek penelitian, peneliti harus memberikan, dalam bahasa atau bentuk komunikasi lain yang dapat dipahami oleh calon subjek penelitian, informasi yang mencakup hal- hal sebagai berikut. 1. Bahwa dia diundang untuk ikut serta dalam penelitian, dengan alasan mengapa dia dianggap cocok menjadi subjek penelitian, dan bahwa keikutsertaannya adalah sukarela. 2. Dia bebas untuk menolak ikut serta dan dia bebas setiap saat menarik diri dari penelitian tanpa hukuman atau kehilangan keuntungan yang sebenarnya merupakan haknya. 3. Tujuan penelitian, prosedur yang dilakukan oleh peneliti dan calon subjek penelitian, penjelasan perbedaan penelitian dengan pelayanan medik rutin. 35 36 Pada uji coba dengan pembanding (controlled trials) diberi penjelasan tentang ciri-ciri penelitian, seperti pengacakan (randomization) dan ketersamaran ganda (double-blinding). Subjek tidak akan diberitahu tentang pengobatan yang diterimanya sampai penelitian berakhir dan ketersamaran (blinding) sudah dihapus. Kurun waktu keikutsertaannya, termasuk jumlah dan lamanya kedatangannya ke pusat penelitian serta kemungkinan penelitian atau keikutsertaannya dihentikan lebih awal. Pemberian uang atau barang lain sebagai imbalan untuk keikutsertaannya dengan dijelaskan jumlah dan bentuk imbalan tersebut. Sesudah penelitian selesai, subjek akan diberitahukan secara umum hasil penelitian. Setiap subjek perorangan akan diberitahukan, tentang setiap penemuan yang berkaitan dengan status kesehatan pribadinya. Subjek atas permintaan berhak melihat data tentang dirinya, meskipun data tidak memiliki kegunaan klinis, kecuali kalau komisi etik telah mengizinkan non-disclosure data sementara atau permanen. Pada keadaan itu, subjek diberitahukan tentang xon-disclosure dan alasannya. Risiko, rasa nyeri, ketidaknyamanan (discomfort), dan ketidaksenangan (inconvenience) yang diduga mungkin akan dialami subjek penelitian, termasuk risiko pada kesehatan dan kesejahteraan suami/isteri/mitranya. . Manfaat langsung, jika ada, yang diharapkan untuk subjek dari keikutsertaan subjek dalam penelitian. 12. 13. 15. 16. 18. . Manfaat yang diharapkan untuk masyarakat setempat atau masyarakat luas, atau sumbangan kepada ilmu pengetahuan. Apakah, kapan, dan bagaimana produk atau tindakan yang oleh penelitian terbukti aman dan efektif, akan tersedia untuk subjek, sesudah selesai ikut serta dalam penelitian, dan apakah sekiranya harus membayar. Tindakan atau cara pengobatan lain yang disediakan. . Ketetapan yang akan diambil untuk menjamin keleluasaan pribadi subjek dihormati serta kerahasiaan catatan yang dapat mengidentifikasi subjek. Batas-batas, secara hukum atau cara lain, kemampuan peneliti untuk mengamankan kerahasiaan dan akibat yang mungkin terjadi, kalau terjadi pelanggaran kerahasiaan. Kebijakan mengenai pemanfaatan hasil uji genetik dan informasi genetik keluarga, tindakan pencegahan yang ada, guna mencegah pengungkapan hasil tes genetik subjek kepada keluarga atau pihak lain (seperti perusahaan asuransi atau majikannya), tanpa persetujuan subjek. . Sponsor penelitian, afiliasi kelembagaan para peneliti, serta bentuk dan sumber pembiayaan penelitian. Kemungkinan penggunaan untuk penelitian, langsung atau tidak langsung, catatan medik dan bahan biologik yang diambil sebagai bagian pelayanan klinik. 37 19. 20. 21, 22. 23. 24. 25. 38 Apakah direncanakan pemusnahan bahan biologik pada akhir penelitian, kalau tidak dimusnahkan perlu dijelaskan penyimpanannya (di mana, caranya, untuk berapa lama, dan disposisi akhir) dan kemungkinan penggunaannya di kemudian hari. Subjek berhak mengambil keputusan tentang penggunaannya di kemudian hari, menolak penyimpanan, dan meminta pemusnaan. Apakah akan dihasilkan produk komersial dari bahan biologiknya, apakah subjek akan memperoleh keuntungan berupa uang atau dalam bentuk lain dari pengembangan produk tersebut. Apakah peneliti hanya berperan sebagai peneliti atau juga sebagai dokternya. Sampai seberapa jauh peneliti bertanggungjawab memberikan pelayanan medik kepada subjek. Pengobatan bebas biaya akan diberikan untuk kerugian (injury) atau komplikasi akibat penelitian, bentuk dan lamanya pelayanan tersebut, nama organisasi atau orang yang akan memberi pelayanan medik, apakah terdapat sesuatu ketidakpastian tentang pembiayaan pelayanan medik tersebut. Dengan cara apa dan oleh organisasi mana subjek penelitian atau keluarganya akan menerima kompensasi, jika terjadi cacat atau kematian sebagai akibat kerugian tersebut. Kalau tidak terdapat rencana pemberian kompensasi, maka hal tersebut harus dijelaskan. Bahwa komisi etik telah memberi persetujuan etik pada protokol penelitian. Butir Pedoman 6 Memperoleh PSP: kewajiban sponsor dan peneliti Sponsor dan peneliti berkewajiban untuk: a. tidak melakukan penipuan (deception), tidak memberi pengaruh berlebihan atau melakukan intimidasi; b. hanya meminta PSP setelah dia yakin, bahwa subjek cukup memahami semua fakta dan akibat pengikutsertaannya, dan telah diberi cukup kesempatan untuk mempertimbangkan keputusan keikutsertaannya; c, sebagai aturan umum, dari setiap subjek diperoleh format PSP yang ditandatangani sebagai tanda bukti. Peneliti harus memiliki alasan kuat untuk membuat perkecualian dari aturan umum tersebut dan perkecualian harus disetujui lebih dahulu oleh KEPK; d. memperbaharui PSP setiap subjek, kalau terjadi perubahan berarti pada keadaan dan prosedur penelitian, atau kalau tersedia informasi baru yang dapat mempengaruhi kesediaan subjek untuk terus ikut serta; dan e. memperbaharui PSP untuk setiap subjek secara berkala pada penelitian jangka panjang, pada jangka waktu yang telah direncanakan, meskipun tidak terjadi perubahan pada desain atau tujuan penelitian. Penjelasan 1. Orang yang meminta PSP harus memahami penelitian dan mampu menjawab semua pertanyaan yang mungkin akan diajukan. Peneliti, sebaiknya siap di tempat jika diperlukan untuk 39 40 membantu menjawab pertanyaan. Pembatasan bertanya, akan mengurangi keabsahan PSP. . Pada jenis penelitian tertentu peneliti dengan sengaja tidak memberi informasi karena perlu dirahasiakan supaya penelitian dapat mencapai tujuannya. Tindakan tersebut dengan penjelasan harus disampaikan terlebih dahulu kepada KEPK untuk mendapat persetujuan. Intimidasi dalam bentuk apapun menyebabkan PSP menjadi tidak sah. Dokter-peneliti harus sadar tentang kedudukannya yang amat berpengaruh dalam hubungan dokter-penderita. Oleh karena itu dokter-peneliti harus yakin bahwa keikutsertaan penderita murni atas keinginannya sendiri. Peneliti harus menjelaskan secara objektif, lengkap, dan rinci tentang ciri-ciri tindakan percobaan, seperti rasa nyeri, ketidaknyamanan, risiko yang diketahui, dan kemungkinan bahaya. Perlu juga dijelaskan, apakah terdapat risiko untuk suami/isteri atau mitranya. . Pada penelitian yang berkaitan dengan keadaan darurat, sering tidak mungkin diperoleh PSP sebelumnya. Keadaan darurat harus dijelaskan dalam protokol, ditambahkan dengan tindakan yang akan diambil kalau PSP sudah mungkin dimintakan, paling sedikit dari keluarga terdekat. Butir Pedoman 7 Perangsang (inducement) untuk ikut serta dalam penelitian Subjek dapat diberi kompensasi untuk kehilangan penghasilannya, biaya perjalanan dan pengeluaran lain berkaitan dengan keikutsertaannya dalam penelitian. Namun, tidak boleh digunakan sebagai imbalan untuk besarnya risiko yang harus ditanggung oleh subjek. Dia juga dapat menerima pelayanan medik bebas biaya. Subjek, khusus untuk yang tidak mendapat manfaat langsung, dapat diberikan kompensasi untuk kekurangsenangan (inconvenience) dan waktu yang telah diberikan. Tetapi, bayaran atau pelayanan medik tidak boleh demikian besar sehingga dapat mempengaruhi keputusan subjek untuk ikut serta berlawanan dengan kemauan pribadi yang sebenarnya (undue inducement). Semua bayaran dan pelayanan medik yang diberikan pada subjek harus disetujui terlebih dahulu oleh KEPK. Penjelasan 1, Pemberian imbalan berupa uang atau dalam bentuk lain harus dinilai dengan latar belakang tradisi dan budaya penduduk setempat untuk menghindari pengaruh yang berlebihan (undue inducement). 2. Penjaga/pengantar dari subjek yang dimintakan PSP yang kurang kompeten, tidak diberi imbalan kecuali biaya perjalanan dan pengeluaran yang berkaitan. 3. Subjek yang menarik diri dari penelitian karena alasan berkaitan dengan penelitian, misalkan efek samping obat yang diteliti yang 41 tidak dapat diterima atau alasan kesehatan, harus diberi bayaran atau imbalan penuh, seperti yang seharusnya diterimanya pada akhir penelitian. Pada penghentian ikut serta oleh sebab lain, subjek diberi imbalan sesuai proporsi keikutsertaannya. 4. Peneliti yang mengeluarkan subjek karena ketidakpatuhan (non- compliance) dapat menahan sebagian atau — seluruh pembayarannya. Butir Pedoman 8 Manfaat dan risiko keikutsertaan dalam penelitian Pada semua penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian, peneliti harus menjamin bahwa manfaat dan tisiko keikutsertaan seimbang secara wajar dan diupayakan supaya risiko sekecil mungkin. 42 a. Tindakan atau prosedur yang mungkin memberi manfaat langsung kepada subjek (diagnostik, terapi atau pencegahan) harus dibenarkan karena diharapkan bahwa manfaat untuk subjek akan paling sedikit sama dibanding setiap alternatif lain yang tersedia. Risiko tindakan dan prosedur yang bermanfaat harus dibenarkan berhubungan dengan manfaat yang diharapkan untuk perorangan subjek. b. Risiko tindakan yang tidak akan memberi manfaat langsung kepada subjek (diagnostik, terapi atau pencegahan) dapat dipertanggungjawabkan berkaitan dengan manfaat yang diharapkan untuk masyarakat (generalizable knowledge). Risiko tindakan tersebut harus wajar dibandingkan pentingnya pengetahuan yang akan diperoleh. Penjelasan 1s Deklarasi Helsinki dalam beberapa paragraf, membahas kesejahteraan subjek penelitian dan penghindaran risiko. Deklarasi Helsinki menegaskan, bahwa kesejahteraan subjek penelitian harus diutamakan dari pada kepentingan ilmu pengetahuan dan masyarakat (butir 5). Uji klinik, harus didahului oleh penelitian laboratorium dan jika layak percobaan hewan untuk menunjukkan kemungkinan keberhasilan yang wajar tanpa risiko yang tidak pantas (butir 11). Setiap penelitian harus didahului pengkajian cermat tentang risiko dan beban yang dapat diprakirakan dibandingkan dengan manfaat yang diharapkan untuk subjek dan orang lain (butirl6). Dokter-peneliti harus yakin, bahwa risiko yang berkaitan telah cukup dikaji dan dapat ditangani secara memuaskan (butir 17), risiko serta beban untuk subjek harus diperkecil’ dan wajar berkaitan dengan pentingnya tujuan penelitian atau pengetahuan yang akan diperoleh (butir 18). Pada penelitian uji coba yang dilaksanakan dengan pengacakan (randomized controlled trial) kelompok pembanding/kontrol menerima tindakan dengan mutu yang dianggap lebih rendah, atau tidak menerima tindakan apapun. Supaya risiko untuk kelompok pembanding dijaga tetap wajar, maka sebelum penelitian dimulai perlu ditentukan kriteria untuk jika perlu menghentikan penelitian sebelum waktunya (stopping rules). 43 Butir Pedoman 9 Pembatasan khusus risiko jika penelitian mengikutsertakan manusia yang tidak mampu memberi PSP Jika terdapat pembenaran etik dan ilmiah untuk melaksanakan penelitian dengan mengikutsertakan manusia yang tidak mampu memberi PSP, maka risiko tindakan penelitian, yang tidak memberi manfaat langsung kepada subjek, tidak boleh lebih besar dari risiko pemeriksaan rutin medik atau psikologik. Kelebihan risiko, sedikit atau kecil, mungkin masih dapat diperkenankan kalau dikalahkan oleh rasional ilmiah atau medik dan telah mendapat persetujuan dari KEPK. Penjelasan. Kalau risiko ikut serta lebih besar dari pemeriksaan rutin medik atau psikologik maka KEPK harus mengkaji apakah: 1. penelitian menyangkut penyakit yang diderita calon subjek atau menyangkut keadaan yang rentan untuknya; 2. bahwa risiko hanya sedikit lebih besar dari pemeriksaan rutin medik atau psikologik; 3. tujuan penelitian cukup penting untuk mempertanggungjawabkan pemaparan subjek pada risiko yang lebih besar; dan 4. tindakan setaraf dengan tindakan klinik yang telah diterima atau akan diterima oleh subjek. 44 Butir Pedoman 10 Penelitian pada penduduk dan masyarakat dengan sumber daya terbatas Sebelum melaksanakan penelitian pada penduduk atau masyarakat dengan sumber daya terbatas, sponsor dan peneliti harus melakukan segala upaya untuk menjamin bahwa: a. penelitian memperhatikan kebutuhan dan prioritas kesehatan penduduk atau masyarakat di tempat penelitian akan dilaksanakan; dan b. Setiap tindakan, produk, atau pengetahuan yang dihasilkan akan disediakan secara wajar untuk kebaikan penduduk atau masyarakat tersebut. Penjelasan 1. Butir pedoman ini adalah tentang negara atau masyarakat dengan sumber daya yang sedemikan terbatas, sehingga rentan untuk dieksploitasi oleh sponsor atau peneliti yang berasal dari negara dan masyarakat yang relatif lebih makmur. 2. Kalau pengetahuan/produk yang dihasilkan penelitian tidak mampu dibeli oleh pemerintah atau masyarakat, tetapi terutama menguntungkan penduduk yang mampu membelinya, maka penelitian dapat disebut eksploitatif dan tidak etis dilaksanakan. 3. Kalau seluruh penelitian sudah selesai dan obat yang diteliti terbukti bermanfaat, sponsor perlu terus berusaha menyediakan obat untuk subyek, sampai obat memperoleh izin pemasaran dari badan pemerintah yang berwewenang. 45 4. Kalau terdapat alasan kuat untuk meragukan, bahwa produk akan disediakan secara wajar untuk penduduk, maka pelaksanaan penelitian pada penduduk dan di negara tersebut tidak etis. Butir Pedoman 11 Memilih pembanding (contro/) pada uji Klinik. Sebagai peraturan umum, subjek penelitian di kelompok pembanding di uji klinik suatu diagnostik, terapi, atau tindakan pencegahan, harus menerima suatu perlakuan mapan yang telah terbukti efektif (established effective intervention). Pada keadaan tertentu, secara etis dapat diterima penggunaan pembanding alternatif (alternative comparator) seperti plasebo atau “tidak-diobati”. Plasebo dapat digunakan: c. jika tidak ada tindakan mapan yang efektif (Deklarasi Helsinki butir 29); d. jika subjek penelitian tidak diberikan tindakan mapan yang efektif, subjek paling banyak dipapar pada ketidaknyamanan sementara, atau penundaan hilangnya gejala; dan e. jika penggunaan tindakan mapan yang efektif sebagai pembanding tidak akan dapat memberi hasil yang dapat dipercaya secara ilmiah dan penggunaan plasebo tidak akan menambah risiko kerugian yang berat atau menetap pada subjek. Penjelasan 1s Pembagian subjek penelitian secara acak (random) dalam kelompok eksperimen dan kelompok pembanding selain lebih unggul secara ilmiah, juga lebih adil karena risiko dan manfaat keikutsertaan diprakirakan terbagi rata. Penggunaan plasebo tidak dapat dibenarkan untuk penyakit/kondisi yang telah ada obat standarnya. Penggunaan plasebo secara etis, dapat diterima kalau penderita hanya mengalami kelainan/penyakit yang tidak membahayakan dan diberikan untuk kurun waktu relatif singkat. Dimana oleh sebab ekonomi atau logistik tidak tersedia tindakan mapan yang efektif dan diperkirakan juga tidak akan tersedia dalam waktu akan datang, maka dapat dilakukan uji klinik dengan pembanding bukan tindakan mapan yang efektif. Ada pihak yang berpendapat, bahwa penggunan plasebo juga dibenarkan, kalau pemberian tindakan mapan yang efektif pada kelompok pembanding tidak memadai untuk memperoleh hasil yang secara ilmiah dapat dipercaya. Tetapi, pihak lain tegas menolak penggunaan pembanding selain tindakan mapan yang efektif, karena kemungkinan terjadi eksploitasi penduduk yang miskin dan yang kurang beruntung. Alasan penolakan adalah: a. penggunaan plasebo dapat memaparkan subjek pada risiko kerugian (harm) serius yang tidak hilang, sedangkan risiko 47 tersebut dapat dihindari dengan menggunakan_tindakan/ produk mapan yang efektif; tidak semua pakar ilmiah sepakat mengenai keadaan di mana penggunaan tindakan/produk mapan yang efektif sebagai pembanding tidak memberi hasil yang secara ilmiah dapat dipercaya; dan alasan ekonomi tidak tersedianya tindakan mapan yang efektif tidak dapat membenarkan penelitian dengan plasebo di negara dengan sumber daya terbatas, kalau pelaksanaan uji klinik sama pada penduduk yang dapat menjangkau tindakan efektif di luar uji klinik dianggap tidak etis. 6. Di negara di mana tindakan mapan yang efektif, tidak tersedia 48 penggunaan plasebo secara etis adalah kontroversial karena: a. sponsor penelitian mungkin menggunakan negara atau masyarakat miskin sebagai lahan uji untuk penelitian yang tidak dapat atau sulit dilakukan di negara dimana tindakan mapan yang efektif tersedia. Selain itu, jika tindakan terbukti aman dan efektif mungkin sekali tindakan tidak akan dipasarkan di negara tempat penelitian; dan subjek penelitian mungkin menderita penyakit berat yang mengancam hidupnya dan tindakan mapan yang efektif tidak terjangkau. Dokter harus membagi penderita dalam kelompok eksperimen dan kelompok pembanding, yang akan diberikan plasebo dan dengan demikian timbul pertentangan etik untuk dokter yang sebenarnya harus memberi loyalitas sepenuhnya (undivided loyalty) pada setiap pasiennya. Butir Pedoman 12 Distribusi beban dan manfaat yang adil/wajar pada pemilihan kelompok subjek penelitian Kelompok atau masyarakat yang diundang ikut serta menjadi subjek penelitian harus dipilih dengan cara sedemikian rupa sehingga beban dan manfaat penelitian dibagi secara patut/wajar. Mengeluarkan kelompok atau masyarakat yang mungkin akan memperoleh manfaat dari keikutsertaan harus dapat dibenarkan. Penjelasan 1, Dimasa yang silam, dengan alasan yang pada waktu itu dianggap benar terjadi bahwa kelompok-kelompok manusia tertentu dilarang ikut serta dalam penelitian sehingga menyebabkan ketidakadilan kelas yang berat. KEPK harus menjaga bahwa larangan ikut serta seperti itu tidak akan terjadi lagi. 2. Sebaliknya KEPK harus melindungi kelompok-kelompok manusia yang sudah terlalu sering diikutsertakan (overused). Butir Pedoman 13 Penelitian dengan mengikutsertakan manusia yang rentan (vulnerable). Diperlukan pembenaran khusus untuk meminta manusia yang rentan ikut serta sebagai subjek penelitian. Jika mereka dipilih maka sarana untuk melindungi hak dan kesejahteraannya harus digunakan secara ketat. 49 Penjelasan 5. Manusia yang rentan adalah manusia yang secara relatif atau absolut tidak mampu melindungi kepentingan sendiri. Mereka mungkin kurang tenaga, inteligensi, pendidikan, sumber daya, kekuatan, dan sifat-sifat Jain yang diperlukan untuk melindungi kepentingan sendiri. 6. KEPK dapat menerima pembenaran etik pelaksanaan penelitian yang mengikutsertakan subjek yang rentan, bila: e. penelitian tidak dapat dilaksanakan dengan sama baik pada subjek yang tidak rentan; f. menghasilkan pengetahuan yang akan meningkatkan mutu diagnostik, pencegahan dan pengobatan untuk masalah kesehatan khas atau unik di kelompok populasi yang rentan; g. risiko untuk subjek penelitian tidak melebihi risiko pemeriksaan rutin kesehatan atau psikologik; dan h. jika calon subjek penelitian tidak mampu atau tidak sanggup memberi PSP, persetujuannya akan dilengkapi izin penanggung jawabnya (guardian) secara sosial atau wakil yang sah. 5. Yang termasuk kelompok rentan ialah mereka yang mengharap perlakuan khusus jika ikut serta atau takut menerima hukuman jika menolak ikut serta. Misalkan, mahasiswa kedokteran dan keperawatan, pekerja rumah sakit dan laboratorium, pegawai pabrik farmasi, tentara dan polisi. 6. Manusia usia lanjut pada umumnya dianggap rentan. Dengan bertambah usia bertambah juga sifat-sifat yang membuat mereka rentan, misalkan penempatan di panti werda atau mulai timbulnya gejala-gejala demensia. 50 7. Kelompok masyarakat yang sering tergolong rentan adalah penduduk panti-panti, penerima tunjangan atau bantuan sosial, orang miskin, tunakarya, kelompok minoritas etnik atau ras, tunawisma, pengembara, pengungsi, displaced persons, narapidana, penderita dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, serta masyarakat yang tidak kenal konsep kesehatan modern. Butir Pedoman 14 Penelitian dengan mengikutsertakan anak-anak Sebelum memulai penelitian dengan mengikutsertakan anak-anak, peneliti harus memastikan bahwa: c. penelitian tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan hasil yang sama baik pada orang dewasa, d. tujuan penelitian adalah untuk memperoleh pengetahuan sesuai kebutuhan kesehatan anak; orang tua atau wakil sah secara hukum telah memberikan izin untuk setiap anak; e. persetujuan (assent) setiap anak telah diperoleh dengan memperhatikan kemampuan anaknya; f. dan penolakan anak untuk ikut serta atau terus ikut serta dalam penelitian harus dihormati. 51 Penjelasan 1. Pengikutsertaan anak-anak sebagai subjek penelitian sangat diperlukan pada penelitian obat dan vaksin untuk penyakit anak-anak dan keadaan yang rawan untuk anak-anak (misalnya uji vaksin). 2. Banyak obat yang digunakan anak-anak belum pernah diuji khasiat dan keamanannya pada subjek anak-anak, sehingga mereka tidak mendapat keuntungan sepenuhnya dari pengetahuan baru dan anak-anak juga terpapar pada risiko yang tidak diketahui. 3. Persetujuan (assent) anak sedapat mungkin harus diperoleh dan dihormati dengan memperhatikan batas kemampuan anak sesuai umurnya untuk mengambil keputusan. Jika anak dengan tegas menolak ikut serta, sebaiknya mereka tidak dikutsertakan meskipun sudah diberi izin oleh orang tuanya. 4. Orang tua atau wali harus diperbolehkan dalam batas kewajaran mengamati jalannya penelitian yang mengikutsertakan anaknya sebagai subjek supaya dapat menjaga kepentingan anaknya dan jika perlu menarik anak keluar dari penelitian. Butir Pedoman 15 Penelitian mengikutsertakan manusia yang karena gangguan jiwa atau perilaku tidak mampu memberi PSP yang memadai Sebelum memulai penelitian dengan mengikutsertakan manusia yang karena gangguan jiwa atau perilaku tidak mampu memberi PSP secara memadai, peneliti harus menjamin bahwa: 52 a, penelitian tidak dapat dilakukan sama baik pada manusia yang kemampuan untuk memberi PSP tidak terganggu/tanpa gangguan jiwa; b. tujuan penelitian adalah untuk memperoleh pengetahuan sesuai kebutuhan kesehatan khas manusia dengan gangguan jiwa atau perilaku; dan c. pada kasus di mana calon subjek penelitian tidak mampu memberi PSP, persetujuan diperoleh dari anggota keluarga yang bertanggungjawab atau wakil yang diberi kekuasaan menurut hukum yang berlaku. Butir Pedoman 16 Perempuan sebagai subjek penelitian Peneliti, sponsor, dan KEPK tidak boleh melarang perempuan usia subur ikut serta dalam penelitian kesehatan. Kemungkinan menjadi hamil selama penelitian tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk menghalangi atau membatasi keikutsertaannya. Tetapi, suatu penjelasan mendalam tentang risiko untuk perempuan hamil dan janinnya merupakan prasyarat bagi kemampuan perempuan untuk mengambil keputusan rasional ikut serta dalam penelitian klinik. Dalam diskusi tersebut, jika keikutserartaannya dalam penelitian mungkin membahayakan janin dan/atau perempuan jika menjadi hamil, maka peneliti dan sponsor harus menjamin uji kehamilan bagi calon subjek penelitian dan mengharuskan subjek menggunakan metode kontraseptif yang efektif sebelum penelitian dimulai. Kalau memperoleh metode kontraseptif tersebut tidak mungkin, karena alasan hukum atau agama, peneliti tidak boleh mengikutsertakan perempuan yang dapat menjadi hamil selama penelitian yang mungkin berbahaya. 53 Penjelasan ly 54 Perempuan dalam kebanyakan masyarakat telah mengalami diskriminasi dengan tidak diizinkannya ikut serta sebagai subjek penelitian, Akibatnya, adalah bahwa hanya relatif sedikit diketahui tentang keamanan dan khasiat kebanyakan obat, vaksin atau alat (devices) untuk perempuan. Ketidaktahuan tersebut membahayakan dan menimbulkan ketidakadilan karena kaum perempuan tidak memperoleh manfaat sepenuhnya dari pengetahuan baru. Kebijakan umum untuk tidak mengizinkan perempuan ikut serta menjadi subjek penelitian disebabkan karena secara biologik ia dapat menjadi hamil. Hal ini adalah tidak adil dan menyebabkan bahwa kaum perempuan tidak dapat menikmati pengetahuan yang diperoleh dengan penelitian. Diskriminasi perempuan yang tidak diizinkan ikut serta dalam penelitian adalah suatu penghinaan terhadap hak perempuan untuk menentukan nasib sendiri (sel/-determination). Dalam proses meminta PSP pada perempuan harus diperhatikan kedudukan perempuan yang rentan dalam masyarakat tertentu. Hal ini disebabkan karena perempuan sudah terbiasa tunduk pada kekuasaan, tidak berani bertanya, dan sabar menerima rasa nyeri dan penderitaan Persetujuan keikutsertaan harus diperoleh dari perempuan calon subjek penelitian sendiri. Bahwa perempuan ingin membicarakan pengambilan keputusannya dengan suami adalah suatu yang baik, wajar, dan terpuji, tetapi, izin suami tidak dapat menggantikan persetujuan perempuan. Butir Pedoman 17 Perempuan hamil sebagai subjek penelitian Perempuan hamil harus dianggap berhak untuk ikut serta dalam penelitian kesehatan. Peneliti dan KEPK harus menjamin bahwa calon subjek penelitian yang hamil menerima penjelasan yang memadai tentang risiko dan manfaat untuk dirinya sendiri, kehamilannya, janinnya, keturunan berikutnya dan kesuburannya. Penelitian pada perempuan hamil hanya boleh dilakukan jika penelitian sesuai dengan kebutuhan kesehatan khas perempuan hamil atau janinnya, atau dengan kebutuhan kesehatan perempuan hamil pada umumnya dan jika pantas didukung oleh bukti-bukti yang dapat dipercaya dari percobaan hewan, khususnya mengenai risiko teratogenisitas dan mutagenisitas. Penjelasan 1. Penelitian mengikutsertakan perempuan hamil mengandung risiko dan manfaat untuk perempuan hamil dan janinnya. Pengambilan keputusan tentang diterimanya risiko untuk janin harus diambil oleh perempuan hamil sebagai bagian PSP. 2. Jika akan diberi imbalan pada subjek penelitian, harus dijaga jangan sampai besarnya imbalan dapat mempengaruhi secara kurang wajar pengambilan keputusan perempuan hamil untuk ikut serta dalam penelitian. 3. Jika terdapat kekhawatiran realistis tentang kemungkinan terjadinya kelainan pada fetus maka di Indonesia yang secara hukum tidak 55 mengizinkan abortus jika fetus abnormal, sebaiknya perempuan hamil tidak diikutsertakan sebagai subjek penelitian. 4. Pada protokol penelitian harus tercantum rencana pemantauan kehamilan, persalinan, dan kesehatan ibu dan anak jangka pendek dan panjang. Butir Pedoman 18 Perlindungan kerahasiaan Peneliti harus menjamin penjagaan kerahasiaan data penelitian subjek. Subjek harus diberitahukan batas-batas, secara hukum atau cara lain, kemampuan peneliti untuk melindungi kerahasian, dan akibat yang mungkin terjadi pada pelanggaran kerahasiaan. Penjelasan 1. Seorang peneliti tidak akan memberi informasi yang dapat mengidentifikasi penderita kepada siapapun, kecuali kalau disetujui oleh penderita yang bersangkutan, dan pemberian informasi telah mendapat persetujuan KEPK. 2. Dalam penelitian yang akan melakukan uji genetik yang memiliki nilai prediktif klinik harus diambil tindakan pengamanan kerahasiaan khusus. Hasil uji genetik tidak boleh diberitahukan kepada siapapun, termasuk keluarganya, kecuali kalau disetujui oleh yang bersangkutan. 56 Butir Pedoman 19 Hak subjek yang dirugikan (injured) menerima pengobatan dan kompensasi Peneliti harus menjamin, bahwa subjek penelitian yang mengalami kerugian akibat keikutsertaannya berhak mendapat pengobatan bebas biaya dan bantuan keuangan atau bantuan lain yang memberi kompensasi secara wajar untuk setiap perusakan (impairment), cacat atau handicap. Jika terjadi kematian, akibat keikutsertaan dalam penelitian tanggungannya berhak menerima kompensasi. Penjelasan 1. KEPK harus berusaha menentukan sebelumnya kerugian yang berhak atau tidak berhak menerima pelayanan kesehatan bebas biaya pada perusakan, cacat atau handicap yang terjadi akibat keikutsertaannya dalam penelitian. Informasi tersebut harus merupakan bagian dari penjelasan yang diberikan pada proses memperoleh PSP. Subjek tidak boleh diminta melepaskan haknya untuk memperoleh kompensasi. Sebelum penelitian dimulai harus ada persetujuan dengan sponsor penelitian (misalkan perusahaan farmasi), tentang pemberian kompensasi jika terjadi perusakan, cacat atau handicap, dan juga jika terjadi kematian akibat keikutsertaan dalam penelitian. aT Butir Pedoman 20 Peningkatan kemampuan untuk penilaian etik dan ilmiah serta pelaksanaan penelitian kesehatan Banyak negara belum memiliki kemampuan untuk menilai atau menjamin mutu ilmiah dan mutu etik penelitian kesehatan yang diusulkan atau dilaksanakan di wilayah kewenangannya. Untuk penelitian kolaboratif yang disponsori pihak luar negeri, sponsor, dan peneliti berkewajiban etis bahwa projek penelitian kesehatan yang menjadi tanggung jawabnya di negara seperti tersebut di atas memberi sumbangan efektif kepada peningkatan kemampuan nasional, atau lokal untuk merancang dan melaksanakan penelitian kesehatan, mengadakan penilaian ilmiah dan etik serta pemantauan penelitian tersebut. Peningkatan kemampuan dapat mencakup antara lain kegiatan sebagai berikut: c, mengadakan dan memperkuat KEPK/proses penilaian etik yang bebas dan kompeten; d. meningkatkan kemampuan meneliti; e. mengembangkan teknologi yang sesuai dengan pelayanan kesehatan dan penelitian kesehatan; f. mengadakan latihan untuk tenaga penelitian dan pelayanan kesehatan; dan g. memberi penyuluhan kepada masyarakat yang warganya akan diundang ikut serta sebagai subjek penelitian. Penjelasan 1. Sponsor luar negeri diharap menggunakan tenaga setempat dan jika perlu melatih tenaga setempat untuk menjadi peneliti, pembantu peneliti, 58 atau pengelola. Juga diharap disediakan anggaran yang memadai untuk upaya peningkatan kemampuan. 2. Untuk mencegah timbul pertentangan kepentingan (conflict of interest) dan juga untuk melindungi kebebasan KEPK, sebaiknya bantuan keuangan tidak diberikan secara langsung kepada KEPK. Butir Pedoman 21 Kewajiban etis sponsor eksternal untuk menyediakan jasa pelayanan Kesehatan Sponsor eksternal secara etis berkewajiban untuk menjamin tersedianya: a, jasa pelayanan kesehatan yang esensial untuk pelaksanaan penelitian secara aman; b. pengobatan subjek yang mengalami kerugian sebagai akibat tindakan penelitian; dan c. jasa sebagai bagian yang perlu dari komitmen sponsor untuk menyediakan secara wajar kepada penduduk atau masyarakat yang bersangkutan hasil penelitian, seperti tindakan yang bermanfaat atau produk. Penjelasan 1. Meskipun sponsor tidak berkewajiban memberi pelayanan kesehatan selain yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, pemberian pelayanan kesehatan yang lebih luas merupakan tindakan terpuji. 2. Subjek atau calon subjek yang menderita penyakit yang tidak ada hubungan dengan penelitian harus oleh peneliti dirujuk ke tempat pengobatan. 59 VI. PENGGUNAAN HEWAN PERCOBAAN Sebagian penelitian kesehatan dapat diselesaikan di laboratorium dengan menggunakan model in-vitro. Tetapi, jika hasil penelitian hendak dimanfaatkan untuk kepentingan manusia masih diperlukan penelitian lanjutan pada sistem biologik yang hidup. Sistem biologik hidup yang digunakan antara lain adalah biakan sel/jaringan dan hewan percobaan. Kalau pada penelitian dengan menggunakan hewan percobaan telah terbukti, bahwa obat atau tindakan aman dan efektif baru penelitian dapat dilanjutkan pada relawan manusia sebagai subjek penelitian kesehatan. Dewasa ini, di dunia terdapat pertentangan pendapat dan pandangan tentang pembenaran menggunakan hewan percobaan. Pertentangan tersebut berawal dari perbedaan budaya, agama dan pandangan tentang kehidupan. Pendapat dan pandangan tersebut, diutarakan dengan berbagai cara, antara lain unjuk rasa dengan tindakan kekerasan, seperti merusak dan membakar ‘laboratorium. Keganjilan adalah, bahwa dewasa ini penggunaan hewan percobaan mendapat lebih banyak perhatian dan menyebabkan lebih banyak pertentangan dari pada pengikutsertaan manusia sebagai subjek penelitian kesehatan. KNEPK berpendapat, bahwa dewasa ini dan juga pada masa yang akan datang dapat diperkirakan bahwa penggunaan hewan percobaan pada penelitian kesehatan masih dibutuhkan karena masih tetap diperlukan pengujian pada mahluk hidup yang utuh (whole living organism). Diketahui dan disadari bahwa pada penelitian hewan akan menderita dan sering harus dikorbankan tetapi hal itu secara moral kurang bermakna melihat manfaat 60 yang demikian besar untuk umat manusia. Namun KEPK_harus mengembangkan prosedur dan mekanisme yang menjamin bahwa percobaan hewan dilakukan dengan prosedur yang secara ilmiah dan etis dapat dipertanggungjawabkan. Deklarasi Helsinki yang dipakai sebagai referensi utama untuk etik penelitian kesehatan menyebut pada dua butir penggunaan hewan percobaan, yaitu pada butir 11 dan 12. g. Butir 11 Penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian harus memenuhi prinsip-prinsip ilmiah yang sudah diterima secara umum. Ini didasarkan pada pengetahuan yang seksama dari kepustakaan ilmiah dan sumber informasi lain, percobaan di laboratorium yang memadai, dan jika layak percobaan hewan. h. Butir 12 Keberhati-hatian (caution) yang wajar harus diterapkan pada penelitian yang dapat mempengaruhi lingkungan, dan kesejahteraan hewan yang digunakan dalam penelitian harus dihormati. Di banyak negara, sudah diambil kebijakan untuk dalam waktu sesingkat mungkin secara terencana dan bertahap menghentikan penggunaan hewan percobaan. Beberapa negara sudah melarang penggunaan hewan tertentu, seperti kera, anjing, kucing dan kuda. Di Inggris (UK) dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, jumlah hewan percobaan yang digunakan berkurang sebanyak 50%. Di perusahaan farmasi besar di dunia dalam dasawarsa terakhir jumlah hewan yang digunakan berkurang 90%. European Union telah mendirikan kompleks laboratorium 61 besar di Ispra (Itali), yaitu ECVAM (European Centre for the Validation of Alternative Methods) yang mengembangkan, menguji dan memantapkan metode yang mengganti penggunaan hewan percobaan. Perlu dijaga bersama bahwa Indonesia tidak menjadi tempat pelarian dari luar negeri untuk penelitian dengan menggunakan hewan percobaan karena di negara asalnya sudah tidak mungkin atau sulit sekali dilaksanakan, terutama perlu diperhatikan penggunaan primata. Dalam upaya meningkatkan mutu etik pada penggunaan hewan percobaan sejak tahun 1980 digunakan konsep 3R, yaitu singkatan dari Reduction, Refinement. Replacement. Konsep 3R adalah sarana untuk menghilangkan segi-segi yang tidak manusiawi (inhumane) pada penggunaan hewan percobaan dan telah memberi dasar untuk perumusan peraturan perundangan-undangan di beberapa wilayah dan negara di dunia, misalkan di European Union. Konsep 3R menyediakan kerangka kerja untuk meningkatkan mutu pelaksanaan percobaan hewan dan pembenaran etiknya. Hewan yang digunakan dalam penelitian kesehatan menderita rasa nyeri, mengalami kerugian yang menetap atau harus dikorbankan. Langkah pertama adalah memilih hewan yang kurang rasa atau tidak rasa (sentient, non-sentient) sebagai tindakan replacement. Perkembangan biologi molekuler membuka kemungkinan baru untuk tidak lagi menggunakan hewan percobaan dengan memanfaatkan biakan sel/jaringan dan stem cells. Melengkapi tindakan replacement harus diupayakan tindakan refinement untuk mengurangi atau menghilangkan sejauh mungkin rasa nyeri yang diderita hewan percobaan. Selain itu, perlu dilakukan reduction supaya jumlah hewan yang digunakan 62 sesedikit mungkin. Hal ini antara lain, dapat dicapai dengan meningkatkan mutu desain eksperimen dengan memanfaatkan ilmu statistik. Penggunaan hewan percobaan dalam jumlah besar tidak dapat diterima lagi, misalkan uji toksisitas LD50 sudah praktis ditinggalkan di seluruh dunia. Supaya penggunaan hewan percobaan pada penelitian kesehatan secara etis selalu dapat dipertanggungjawabkan maka perlu diikuti penga- turan sebagai berikut. 1 Setiap penelitian kesehatan yang menggunakan hewan percobaan harus mengajukan protokolnya kepada KEPK untuk dinilai dan diberi persetujuan etik. Protokoi penelitian diajukan ke KEPK dengan surat pengantar dari pimpinan lembaga. Pada penilaian protokol penelitian KEPK akan menggunakan konsep 3R sebagai pedoman dan landasan berpikir. Pada protokol penelitian harus dilampirkan persetujuan dari komisi ilmiah yang menyatakan bahwa penelitian sudah memenuhi semua persyaratan ilmiah. Prosedur dan tata cara penilaian protokol penelitian yang menggunakan hewan percobaan pada sidang KEPK sama seperti penilaian protokol penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian. Untuk dapat melakukan penilaian protokol penelitian yang menggunakan hewan percobaan dengan baik paling sedikit satu anggota KEPK harus dokter hewan. Salah satu prinsip etik adalah keseimbangan yang wajar antara risiko dan manfaat. Sebagai contoh adalah larangan total menggunakan hewan 63 12. 14. percobaan untuk uji-coba kosmetika, karena manfaat untuk umat manusia tidak seimbang dengan penderitaan hewan. Hewan percobaan harus dipilih mengutamakan hewan dengan sensitivitas neurofisiologik yang paling rendah (non-sentient organism) dan hewan yang paling rendah pada skala evolusi. Harus diupayakan semaksimal mungkin untuk mengurangi rasa nyeri, ketidaknyamanan dan kesusahan (distress) bagi hewan percobaan. Tindakan yang direncanakan untuk meringankan atau menghilangkan penderitaan hewan percobaan harus disebut khusus dan rinci pada protokol penelitian. . Desain penelitian harus dibuat seramping mungkin, kalau perlu dengan konsultasi pakar desain percobaan/ahli statistik, supaya jumlah hewan yang digunakan sesedikit mungkin. .Di lembaga harus ditugaskan seorang dokter hewan yang bertanggungjawab tentang penanganan dan pemeliharaan hewan percobaan. Pembelian, transpor, pemeliharaan, pakan, air, kandang, sanitasi, suhu, kelembaban harus memenuhi persyaratan dan dipantau selama penelitian berlangsung. . Penanganan hewan percobaan selama penelitian dan pengorbanan pada akhir penelitian harus dilakukan secara manusiawi (humane). Cara mematikan hewan percobaan dan membuang bangkai harus dijelaskan pada protokol penelitian. Peneliti dan tenaga penunjang harus memiliki kemampuan yang memadai tentang pemeliharaan dan penanganan hewan percobaan yang manusiawi. Untuk itu perlu diadakan secara berkala dan terencana pendidikan dan latihan untuk para peneliti dan tenaga penunjang. 15, Format proposal harus memuat cukup penjelasan supaya dapat diisi dengan baik. 65 vil. TAHAP-TAHAP UJI KLINIK OBAT DAN VAKSIN PENGEMBANGAN OBAT Tahap I Tahap I adalah penggunaan perdana suatu obat pada manusia. Biasanya diteliti pada relawan manusia sehat dengan memperhatikan gejala keracunan pada jumlah obat tertentu. Penelitian dilanjutkan dengan pencarian dosis (dose-ranging) yang aman pada penderita dan pada kasus tertentu bukti awal efektivitas. Tahap I Tahap II terdiri atas uji klinik dengan pembanding (controlled clinical trials)) untuk membuktikan efektivitas dan keamanan relatif. Biasanya dilakukan pada jumlah terbatas penderita yang dipantau secara seksama. Tahap U1 Tahap III dilaksanakan sesudah terdapat kemungkinan layak efektivitas obat dan bertujuan mengumpulkan bukti-bukti tambahan tentang efektivitas untuk indikasi spesifik dan menentukan secara tepat, efek samping obat (drug-related adverse effects). Tahap III mencakup penelitian dengan atau tanpa pembanding. Tahap II dan III harus dilaksanakan mengikuti paragraf 28-32 Deklarasi Helsinki yang menyangkut penelitian bersama pelayanan medik. 66 Tahap IV Tahap IV dilaksanakan setelah diberi izin distribusi dan pemasaran oleh badan pemerintah yang berwewenang. Uji klinik dapat mencakup penelitian mencari efek farmakologi spesifik dan menentukan insiden terjadi efek samping, dan menetapkan efek pemberian obat jangka panjang. Tahap IV juga dirancang untuk mengevaluasi obat pada populasi yang belum diteliti secara memadai sebelum obat dipasarkan (seperti anak-anak atau manusia usia lanjut) atau menentukan indikasi klinik baru. Penelitian semacam ini harus dibedakan dari penelitian pemasaran tanpa menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, penelitian promosi penjualan, dan survailans rutin pasca-jual untuk menemukan reaksi berlawanan obat yang tidak perlu dinilai komisi etik. PENGEMBANGAN VAKSIN Tahap I Tahap I adalah penggunaan perdana calon vaksin pada populasi manusia untuk penentuan awal keamanan dan efek biologik, termasuk imunogenisitas. Tahap I dapat mencakup penelitian tentang dosis dan cara pemberian (route of administration) dan biasanya mengikutsertakan kurang dari 100 relawan. Tahap II Tahap II adalah penelitian awal pengujian efektivitas pada jumlah relawan terbatas (biasanya antara 200 dan 300). Yang diperhatikan pada tahap II adalah imunogenisitas. 67 Tahap II Tahap III adalah pengkajian lebih lengkap tentang keamanan dan efektivitas pencegahan penyakit, mengikutsertakan jumlah relawan yang lebih besar dalam penelitian dengan pembanding yang memadai dan dilaksanakan bersama oleh beberapa pusat penelitian. 68 LAMPIRAN - SK Menteri Kesehatan RI No. 562/Menkes/SK/V/2007 Tentang Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan SK Menteri Kesehatan RI No. 563/Menkes/SK/V/2002 Tentang Keanggotaan Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Masa Bakti 2007 - 2011 SK Menteri Kesehatan RI No. 1334/Menkes/SK/X/2002 Tentang Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan SK Menteri Kesehatan RI No. 187/Menkes/SK/III/2003 Tentang Keanggotaan Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan . Daftar Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan, Tahun 2003-2006 . WMA Declaration of Helsinki (World Medical Association 2004) Directives for Human Experimentation Nuremberg Code (1947) Fin rr ae fem et eee eee i ek OS Fd ee es LC, Pe Age Se 1d Fe ic += a or 7 . BS nt ee 8 oe rs . 7 Sees p+ @ eect ife tener Nata es * a See eee a 7 er ae - - et a : . a7 a ae / ; - SS, el || la - : Pa - _ wa a - noice 5 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : Mengingat : NOMOR : 562/MENKES/SK/V/2007 TENTANG KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, |. bahwa penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan merupakan bagian penting dari pembangunan kesehatan yang hasilnya dapat dimanfaatkan sebesar- besarnya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat; . bahwa pelaksanaan —penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subyek —wajib menghormati hak-hak asasi manusianya; bahwa pelaksanaan penelitian kesehatan yang menggunakan hewan percobaan wajib dihormati hak asasinya dan diperlakukan secara manusiawi (humane); . bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b dan c tersebut di atas, dipandang periu membentuk suatu Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) 69 Memperhatikan : Menetapkan : 70 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONEUIA ssebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tehun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548); 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886); 4 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3609); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1179A/Menkes/ SK/X/1999 tentang Kebijakan Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 7, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/ X\/2005 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan; Declaration of Helsinki, Ethical Principles for Medical Research Involving Human Subjects, World Medical Association; MEMUTUSKAN: KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN. MENTER! KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Pasal 1 (1) Untuk melakukan pembinaan dan pengaturan penegakan etik penelitian kesehatan dibentuk Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan yang disingkat KNEPK. (2) Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (*) adalah suatu lembaga independen, (3) Untuk mendukung kegiatan KNEPK diperbantukan sekretariat yang merupakan unit non struktural yang berkedudukan di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Pasal 2 Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. mempunyai tugas : a. Membina pelaksanaan penegakan etik penelitian kesehatan. b. Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian kesehatan melalvi peningkatan mutu sumber daya manusia. c. Menyusun pedoman-pedoman nasional di bidang etik penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia dan menggunakan hewan percobaan. d. Mengembangkan jaringan kerjasama nasional dan internasional etik penelitian kesehatan. @, Mengadakan diskusi dan konsultasi tentang berbagai pandangan dan sikap tentang masalah etik penelitian kesehatan. f. Memberikan pertimbangan atas penelitian yang aspek etiknya perlu ditinjau secara khusus. g. Menyampaikan laporan tahunan kegiatan KNEPK kepada Menteri Kesehatan. Pasal3 (1) Keanggotaan Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) bersifat multidisiplin dan multisektoral. 7 72 (2) Jumlah anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan sebanyak- banyaknya 25 (dua puluh lima) orang. (3) Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan diangkat untuk masa bakti 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali. (4) Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan dapat diganti dalam masa bakti keanggotaannya apabila meninggal dunia atau karena sesuatu hal tidak dapat melaksanakan tugas. Pasal 4 (1) Anggota KNEPK dipilih, diangkat, dan diberhentikan oleh Rapat Kerja KNEPK. (2) KNEPK mengajukan anggota yang terpilih sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Kesehatan melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan untuk dikukuhkan. Pasal5 (1) Susunan organisasi Komisi Nasional Etik Penelitian terdiri dari: a. Ketua, para Wakil Ketua, dan Sekretaris dipilih oleh Rapat Kerja KNEPK. b. Anggota. (2) Tata kerja dan tata cara pemilinan Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris ditetapkan oleh Rapat Kerja KNEPK. Pasal6 Sekretariat KNEPK dipimpin oleh Sekretaris Eksekutif dan ditetapkan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Pasal7 Segala pembiayaan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan dibebankan pada Anggaran Belanja Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan sumber lainnya yang tidak mengikat. Pasal 8 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1334/Menkes/SK/X/2002 tentang Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal9 Keputusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Mei 2007 73 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 563/MENKES/SK/V/2007 TENTANG KEANGGOTAAN KOMIS! NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN MASA BAKTI 2007 - 2011 Menimbang Mengingat 14 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, a.bahwa dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut Keputusan Menteri Kesehatan tentang Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Nomor 562/MENKES/SK/V/2007, dipandang perlu mengukuhkan Keanggotaan Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan (KNEPK); bahwa dalam rapat kerja KNEPK di Jakarta tanggal 30 Januari 2007 telah ditetapbkan anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan masa bakti Tahun 2007 - 2011; bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, perlu menetapkan Keanggotaan Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Masa Bakti Tahun 2007 - 2011 dengan Keputusan Menteri Kesehatan; Ss 9 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan* limu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4219); Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3609); Rp - Menetapkan : Kesatu : Kedua MENTERI KESEHATAN ‘REPUBLIK INDONESIA 4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1179A/Menkes/SK/ X/1999 tentang Kebijakan Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/ XW/2005 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan; MEMUTUSKAN: KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG KEANGGOTAAN KOMIS! NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN MASA BAKTI 2007 — 2011. Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan masa bakti Tahun 2007 - 2011 sebagaimana dimaksud Diktum Kesatu sebagai berikut: 1. Prof. Dr. dr. A.A. Loedin Prof. dr. Does Sampoerno, MPH Prof. Dr. drh. Dondin Sayuthi Prof. Dr. dr. | Gde Putu Surya, SpOG (K) Prof, dr. Irawan Yusuf, Ph.D Drs. Irnwan Yulianto, MPH Dr. Kusmaryanto Dra. Junaiti Sahar, SKp. M App.Sc., Ph.D Prof. Dr. Kees Bertens 10. Dra. Linda Sitanggang, Ph.D 11. Mely G. Tan, Ph.D 12. Dr. dr. Mochammad Istiadjid Eddy Santoso, SpS., SpBS 13. Parni Hadi Coe SS SS Sp 75 Ketiga Keempat : 76 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 14, dr. Pratiwi Pujilestari Sudarmono, Ph.D 15. Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudy 16. Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain Hamid, MS, Sp.FK 17. Prof. Dr. dr. H Rusdi Ismail, Sp.A (K) 18. Sandjaja, MPH., Dr.PH 19. Prof. dr. H.M. Sambas Wiradisuria, Sp.A(K) 20. Prof. dr. Siti Fatimah-Muis, M.Sc., Sp.GM 21. Prof. dr. R. Sjamsuhidajat, Sp.B. KBD 22. Prof. Dr. dr. Soenarto Sastrowijoto, Sp. THT 23. dr. Suriadi Gunawan, DPH 24. Prof. Dr. dr. Suryani As'ad, Sp.GK 25. Prof. Dr. Veronica Komalawati, SH, MH Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan sebagaimana dimaksud Diktum Kedua, dalam melaksanakan tugasnya berpedoman pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 562/MENKES/SK/V/2007 tentang Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Mei 2007 Lampiran 3 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR; 1334/MENKES/SK/X/2002 TENTANG KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. 7 bahwa penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan merupakan bagian penting dari pembangunan kesehatan yang hasilnya dapat dimanfaatkan sebesar- besarnya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat; . bahwa pelaksanaan penelitian yang menggunakan manusia sebagai objek penelitian wajib menghormati hak-hak azasi manusia dan sesuai dengan etika penelitian; bahwa sehubungan dengan huruf a dan b tersebut di atas dipandang perlu membentuk suatu Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan yang ditetapkan dengan Keputusan Manteri Kesehatan; Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); . Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); . Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hakazasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886); 7 Menetapkan: 4 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3609); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1179A/Menkes/ SK/X/1999 tentang Kebijakan Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1277/Menkes/ SK/X/2001 tentang Organisasi dan tata Kerja Departemen Kesehatan; KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN Pasal 1 (1) Untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan etik penelitian dan pengembangan kesehatan dibentuk Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan yang selanjutnya disebut Komisi Nasional Etik. (2) Komisi Nasional Etik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah suatu lembaga non structural dan berkedudukan di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Pasal 2 Komisi Nasional Etik mempunyai tugas : a. Membina pelaksanaan penegakan etik penelitian dan pengembangan kesehatan sesuai etik yang berlaku; B . Menyusun pedoman-pedoman nasional di bidang etik penelitian Kesehatan; . Memberikan pertimbangan atau sebagai saksi ahli dalam pemeriksaan penelitian kesehatan apabila diperlukan; |. Memberikan persetujuan etik/ethical clearance terhadap penelitian yang aspek etiknya perlu ditinjau secara khusus; . Mengembangkan jaringan komunikasi nasional etik penelitian kesehatan; Melindungi hak-hak dan keselamatan objek penelitian; . Melaksanakan monitoring pelaksanaan etik penelitian di tingkat institusi; . Menyampaikan laporan tahunan kepada Menteri Kesehatan. Pasal 3 (1) Keanggotaan Komisi Nasional Etik sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat 1) terdiri dari unsure-unsur: - Peneliti - Dokter - Abli Hukum - Ahli lainnya - Wakil masyarakat awam (2) Jumlah anggota Komisi Nasional Etik sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang (3) Anggota Komisi Nasional Etik diangkat untuk masa bakti 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali; (4) Anggota Komisi Nasional Etik dapat diganti dalam masa bakti keanggotaannya apabila meninggal dunia atau karena sesuatu hal tidak dapat melaksanakan tugas. i) Pasal 4 (1) Anggota Komisi Nasional Etik diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kesehatan atas usul Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; (2) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dalam mengusulkan keanggotaan Komisi Nasional Etik berkonsuitasi dengan organisasi profesi Pasal 5 (1) Susunan organisasi Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan terdir dari: a. Ketua dan Wakil ketua, yang dipilih diantara anggota Komisi Nasional Etik; b. Sekretaris, dijabat oleh staf senior Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; c. Anggota. (2) Tata kerja dan tata cara pemilihan Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris ditetapkan oleh Ketua Komisi Nasional Etik. Pasal 6 Kepada Komisi Nasional Etik diperbantukan sebuah Sekretariat yang ditetapkan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Pasal 7 Segala pembiayaan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Komisi Nasional Etik dibebankan pada Anggaran Belanja Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan sumber lainnya yang tidak mengikat. 80 Pasal 8 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada Tanggal : 29 Oktober 2002 MENTERI KESEHATAN, Dr. ACHMAD SUJUDI Disalin oleh Burman Sesuai dengan aslinya Lampiran 4 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR; 187/MENKES/SK/I1/2003 TENTANG KEANGGOTAAN KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Membaca Menimbang : Mengingat : 82 Surat Kepala badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nomor: PR.04.02.2.4.423 tanggal 7 Februari 2003 perihal Keanggotaan Komisi Nasionai Etik Penelitian Kesehatan. a. bahwa dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1334/MENKES/SK/X/2002 tentang Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan, dipandang perlu menetapkan pengangkatan Keanggotaan Komis Nasional Etik Penelitian Kesehatan b. bahwa mereka yang tercantum dalam keputusan ini dianggap memenuhi syarat-syarat untuk diangkat sebagai Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan untuk masa bakti tahun 2003 s/d 2007 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); 2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Tambahan Lembaran Negara Nomor 4219); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3609); Menetapkan: Keanggotaan Pertama : . Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1179A/Menkes/SK/ X/1999 tentang Kebijakan Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; . Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1277/Menkes/SK/ X1/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan; KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN M SS ae Ds 10. 11, 12, 13; 14. 15, 16. i. 18. 19, 20. lengangkat : Prof. DR.Dr. A.A. Loedin Prof. Dr. Asri Rasad, Ph.D Prof. DR. Does Sampoerno, MPH Prof. Dr. H.R. Hariadi, Sp.OG Dr. Irawan Yusuf, Ph.D Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara Prof. Dr. Jusuf Hanafiah, Sp.OG Prof. DR. Kees Bertens Dr. Liliana Kurniawan, M.Sc. DTMH Mely G. Tan, Ph.D Dr. Pratiwi Pujilestari Sudarmono, Ph.D DR. Dr. Rianto Setiabudy Prof. Dr. R. Sjamsuhidayat, Sp.B. KBD Prof. Dr. H.M. Sambas Wiradisuria, Sp.AK Dr. Samsi Jacobalis, Sp.B Dr. Suriadi Gunawan, DPH Dra. Sri Sugati Sjamsuhidajat, Apt, MM., Ph.D Prof. Dr. Siti Fatimah-Muis, M.Sc., Sp.GM Prof. Dr. Soenarto Sastrowijoto, Sp. THT DR. Veronica Komalawati, SH.MH Menjadi anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan 83 Kedua : Ketiga: 84 Pelaksanaan lebih lanjut Keputusan ini diserahkan kepada Anggota Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan dengan berpedoman pada Kep Menkes No. 1334/MENKES/SK/X/2002 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan perbaikan. Ditetapkan di Jakarta Pada Tanggal :10 Februari 2003 MENTERI KESEHATAN, Dr. ACHMAD SUJUDI Lampiran 5 DAFTAR PIMPINAN DAN ANGGOTA KOMISI NASIONAL ETIK PENELITIAN KESEHATAN 2003 — 2007 NO. NAMA AFILIASI Ii Prof. dr. Asri Rasad, Ph.D | Universitas YARSI Ketua 2; Dra. Sri Sugati Komisi Etik Badan Penelitian dan Sjamsuhidajat, Apt, MM., | Pengembangan Kesehatan Ph.D Wakil Ketua a: Prof. dr. Mohamad Jusuf | Fakultas Kedokteran Universitas Hanafiah, Sp.OG (K) Sumatera Utara (USU) Wakil Ketua 4, dr, Irawan Yusuf, Ph.D Fakultas Kedokteran Universitas Wakil Ketua Hasanuddin 5. dr. Liliana ~Kurniawan, | Komisi Etik Badan Penelitian dan MSc. DTMH, APU Pengembangan Kesehatan Sekretaris (Teknis) 6. Prof. Dr.dr. A.A. Loedin Komisi Etik Lembaga Biologi Molekuler Eijkman A Prof. dr. Does Sampoerno, | Fakultas Kesehatan Masyarakat MPH Universitas Indonesia 8. Prof. dr. H.R. Hariadi, | Fakultas Kedokteran Universitas Sp.0G Airlangga 9. Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara | Dept. Budidaya Tanaman Fakultas Pertanian, Kampus IPB Dermaga, Bogor 10. | Prof. Dr. Kees Bertens Pusat Pengembangan Etika, Universitas Atmajaya 11. | Mely G. Tan, Ph.D Komite Nasional Anti Kekerasan terhadap __Perempuan___ (Komnas 85 NO. NAMA AFILIASI Perempuan) 12. | dr. Pratiwi —Pujilestari | Bagian Mikrobiologi Fakultas Sudarmono, Ph.D Kedokteran Universitas Indonesia 13. | Dr. dr. Rianto Setiabudy Bagian Farmakologi Fakultas | | Kedokteran Universitas Indonesia i 14. | Prof. dr. R. Sjamsuhidajat, | Komisi Etik Fakultas Kedokteran | Sp.B. KBD Universitas Indonesia 15. | Prof. dr. H.M. Sambas | Bagian Ilmu Kesehatan Anak Wiradisuria, Sp.AK Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran 16. | dr. Samsi Jacobalis, Sp.B | Fakultas Kedokteran Universitas. Tarumanegara 17, | dr. Suriadi Gunawan, DPH | Komisi Etik Badan Penelitian dan’ Pengembangan Kesehatan 18. | Prof. dr. Siti Fatimah-Muis, | Bagian iimu Gizi Fakultas M.Sc, Sp.GM. Kedokteran, Universitas Diponegoro 19. | Prof. Dr. dr. Soenarto | Pusat Bioetika dan Humaniora Sastrowijoto, Sp. THT Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada 20. | Dr. Veronica Komalawati, | Fakultas Hukum Universitas S.H., MH Padjajaran 86 Lampiran 6 WMA DECLARATION OF HELSINKI Adopted by the 18th WMA General Assembly, Helsinki, Finland. June 1964. anu amended by the 29th WMA General Assembly, Tokyo, Japan. October 1975 35th WMA General Assembly, Venice, Italy, October 1983 41st WMA General Assembly, Hong Kong, September 1989 48th WMA General Assembly, Somerset West, Republic of South Africa, October 1996 and the 52nd WMA General Assembly, Edinburgh, Scotland. October 2000 Nate of Clarification on Paragraph 29 added by the WMA General Assembly, Washington 2002 Note of Clarification on Paragraph 30 added by the WMA General Assembly. Tokvo 2004 A. INTRODUCTION 1, The World Medical Association has developed the Declaration of Helsinki as a statement of ethical principles to provide guidance to physicians and other participants in medical research involving human subjects. Medical research involving human subjects includes research on identifiable human material or identifiable data. 2. It is the duty of the physician to promote and safeguard the health of the people. The physician's knowledge and conscience are dedicated to the fulfillment of this duty. 3. The Declaration of Geneva of the World Medical Association binds the physician with the words, "The health of my patient will be my 87 88 first consideration." and the International Code of Medical Ethics declares that, "A physician shall act only in the patient's interest when providing medical care which might have the effect of weakening the physical and mental condition of the patient." Medical progress is based on research which ultimately must rest in part on experimentation involving human subjects. In medical research on human subjects, considerations related to the well-being of the human subject should take precedence over the interests of science and society. . The primary purpose of medical research involving human subjects is to improve prophylactic. diagnostic and therapeutic procedures and the understanding of the aetiology and pathogenesis of disease. Even the best proven prophylactic, diagnostic, and therapeutic methods must continuously be challenged through research for their effectiveness, efficiency. accessibility and quality. In current medical practice and in medical research, most prophylactic, diagnostic and therapeutic procedures involve risks and burdens. Medical research is subject to ethical standards that promote respect for all human beings and protect their health and rights. Some research populations are vulnerable and need special protection. The particular needs of the economically and medically disadvantaged must be recognized. Special attention is also required for those who cannot give or refuse consent for themselves, for those who may be subject to giving consent under duress, for those who will not benefit personally from the research and for those for whom the research is combined with care. 9. Research Investigators should be aware of the ethical, legal and regulatory requirements for research on human subjects in their own countries as well as applicable international requirements. No national ethical. legal or regulatory requirement should be allowed to reduce or eliminate any of the protections for human subjects set forth in this Declaration. B. BASIC PRINCIPLES FOR ALL MEDICAL RESEARCH 10. It is the duty of the physician in medical research to protect the life. health, privacy. and dignity of the human subject. . Medical research involving human subjects must conform to generally accepted scientific principles. be based on a thorough knowledge of the scientific literature. other relevant sources of information, and on adequate laboratory and, where appropriate, animal experimentation. 12. Appropriate caution must be exercised in the conduct of research which may affect the environment, and the welfare of animals used for research must be respected. 13. The design and performance of each experimental procedure involving human subjects should be clearly formulated in an experimental protocol. This protocol should be submitted for consideration, comment, guidance, and where appropriate, approval to a specially appointed ethical review committee, which must be independent of the investigator, the sponsor or any other kind of undue influence. This independent committee should be in conformity with the laws and regulations of the country in which the research experiment is performed. The committee has the right to monitor ongoing trials. The researcher has the obligation to provide 89 90 14. monitoring information to the committee. especially any serious adverse events. The researcher should also submit to the committee, for review, information regarding funding. sponsors, institutional affiliations, other potential conflicts of interest and incentives for subjects. The research protocol should always contain a statement of the ethical considerations involved and should indicate that there is compliance with the principles enunciated in this Declaration. . Medical research involving human subjects should be conducted only by scientifically qualified persons and under the supervision of a clinically competent medical person. The responsibility for the human subject must always rest with a medically qualified person and never rest on the subject of the research, even though the subject has given consent. . Every medical research project involving human subjects should be preceded by careful assessment of predictable risks and burdens in comparison with foreseeable benefits to the subject or to others. This does not preclude the participation of healthy volunteers in medical research. The design of all studies should be publicly available. . Physicians should abstain from engaging in research projects involving human subjects unless they are confident that the risks involved have been adequately assessed and can be satisfactorily managed. Physicians should cease any investigation if the risks are found to outweigh the potential benefits or if there is conclusive proof of positive and beneficial results. . Medical research involving human subjects should only be conducted if the importance of the objective outweighs the inherent 19s 20. 2 gah risks and burdens to the subject. This is especially important when the human subjects are healthy volunteers. Medical research is only justified if there is a reasonable likelihood that the populations in which the research is carried out stand to benefit from the results of the research. The subjects must be volunteers and informed participants in the research project. . The right of research subjects to safeguard their integrity must always be respected. Every precaution should be taken to respect the privacy of the subject, the confidentiality of the patient's information and to minimize the impact of the study on the subject's physical and mental integrity and on the personality of the subject. . In any research on human beings, each potential subject must be adequately informed of the aims, methods, sources of funding, any possible conflicts of interest, institutional affiliations of the researcher, the anticipated benefits and potential risks of the study and the discomfort it may entail. The subject should be informed of the right to abstain from participation in the study or to withdraw consent to participate at any time without reprisal. After ensuring that the subject has understood the information, the physician should then obtain the subject's freely-given informed consent, preferably in writing. If the consent cannot be obtained in writing. the non-written consent must be formally documented and witnessed. When obtaining informed consent for the research project the physician should be particularly cautious if the subject is in a dependent relationship with the physician or may consent under duress. In that case the informed consent should be obtained by a 91 92 26. 27. . When a subject deemed legal well-informed physician who is not engaged in the investigation and who is completely independent of this relationship. . For a research subject who is legally incompetent, physically or mentally incapable of giving consent or is a legally incompetent minor, the investigator must obtain informed consent from the legally authorized representative in accordance with applicable law. These groups should not be included in research unless the research is necessary to promote the health of the population represented and this research cannot instead be performed on legally competent persons. incompetent, such as a minor child. is able to give assent to decisions about participation in research, the investigator must obtain that assent in addition to the consent of the legally authorized representative. Research on individuals from whom it is not possible to obtain consent, including proxy or advance consent, should be done only if the physical/mental condition that prevents obtaining informed consent is a necessary characteristic of the research population. The specific reasons for involving research subjects with a condition that renders them unable to give informed consent should be stated in the experimental protocol for consideration and approval of the review committee. The protocol should state that consent to remain in the research should be obtained as soon as possible from the individual or a legally authorized surrogate. Both authors and publishers have ethical obligations. In publication of the results of research, the investigators are obliged to preserve the accuracy of the results. Negative as well as positive results should be published or otherwise publicly available. Sources of 28. 29. The benefits 30. 3 . The phy: funding. institutional affiliations and any possible conflicts of interest. should be declared in the publication. Reports of experimentation not in accordance with the principles laid down in this Declaration should not be accepted for publication. . ADDITIONAL PRINCIPLES FOR MEDICAL RESEARCH COMBINED WITH MEDICAL CARE The physician may combine medical research with medical care. only to the extent that the research is justified by its potential prophylactic, diagnostic or therapeutic value. When medical research is combined with medical care, additional standards apply to protect the patients who are research subjects. risks, burdens and effectiveness of a new method should be tested against those of the best current prophylactic, diagnostic. and therapeutic methods. This does not exclude the use of placebo. or no treatment, in studies where no proven prophylactic. diagnostic or therapeutic method exists. See footnote At the conclusion of the study, every patient entered into the study should be assured of access to the best proven prophylactic, diagnostic and therapeutic methods identified by the study. See footnote an should fully inform the patient which aspects of the care are related to the research. The refusal of a patient to participate in a study must never interfere with the patient-physician relationship. . In the treatment of a patient, where proven prophylactic, diagnostic and therapeutic methods do not exist or have been ineffective. the physician, with informed consent from the patient, must be free to 93 use unproven or new prophylactic, diagnostic and therapeutic measures, if in the physician's judgement it offers hope of saving life, re-establishing health or alleviating suffering. Where possible, these measures should be made the object of research. designed to evaluate their safety and efficacy. In all cases, new information should be recorded and. where appropriate, published. The other relevant guidelines of this Declaration should be followed. Note of clarification on paragraph 29 of the WMA Declaration of Helsinki The WMA hereby reaffirms its position that extreme care must be taken in making use of a placebo-controlled trial and that in general this methodology should only be used in the absence of existing proven therapy. However, a placebo-controlled trial may be ethically acceptable, even if proven therapy is available. under the following circumstances: - Where for compelling and scientifically sound methodological reasons its use is necessary to determine the efficacy or safety of a prophylactic. diagnostic or therapeutic method: or - Where a prophylactic, diagnostic or therapeutic method is being investigated for a minor condition and the patients who receive placebo will not be subject to any additional risk of serious or irreversible harm. All other provisions of the Declaration of Helsinki must be adhered to, especially the need for appropriate ethical and scientific review. 94

Anda mungkin juga menyukai