Anda di halaman 1dari 10

MIGRASI MAGMA

1. Pendahuluan
Pada bab ini akan dibahas tentang bagaimana dan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi pergerakan magma dari sumber menuju permukaan bumi. Pergerakan magma ini
terjadi akibat arus konveksi yang terjadi dalam mantle, berlangsung dengan pelan, dalam volume
yang cukup besar, dan bergerak melalui rekahan-rekahan batuan yang cukup besar. Bentuk-bentuk
pergerakan magma dapat berupa diapire dan dike. Densitas dan suhu struktur kerak dan mantel
mengontrol lokasi dimana diapire dan dike memberi kemungkinan paling besar untuk
mendominasi gerakan magma. Parameter densitas juga menentukan kisaran kedalaman dimana
magma terakumulasi dalam suatu reservoir sebelum akhirnya keluar ke permukaan atau
membentuk intrusi dangkal.

2. Pembentukan Diapire
Diapire berasal dari tubuh batuan yang meleleh menjadi magma dengan volume 2 25%
dari volume total batuan yang meleleh (host rock), kemudian mengalir menuju permukaan karena
adanya gaya buoyancy yang lebih besar dibandingkan gaya buoyancy batuan di sekitarnya.
Pergerakan diapire ini akan menyebabkan deformasi pada batuan yang dilewatinya. Tingkat
deformasi ini berlangsung dari deformasi yang ringan hingga berat yang dipengaruhi oleh suhu dan
tekanan batuan asal. Jika suhu dan tekanan pada batuan yang meleleh kecil, maka magma yang
dihasilkan memiliki volume yang sedikit dan kekentalannya cukup tinggi sehingga akan
menghasilkan deformasi yang cukup ringan. Berlaku kebalikannya, jika suhu dan tekanan pada
batuan yang meleleh besar, maka magma yang dihasilkan memiliki volume yang banyak dan
kekentalannya cukup rendah sehingga akan menghasilkan deformasi yang cukup besar.
Diberikan dua kasus munculnya diapire : pergerakan ke atas dari mantel plume yang akan
membentuk mayor hotspot seperti yang terdapat di rangkaian gunungapi Hawaii, dan munculnya
tubuh diapire yang lebih kecil di atas zona subduksi di batas continental atau di busur kepulauan.
Pertama kita harus menentukan gaya buoyancy yang bekerja pada diapire yang dipengaruhi oleh
radius R, dan gaya tarik (drag force = D) yang merupakan hasil deformasi batuan mantle plastis di
sekitarnya.
Kecepatan diapire dapat dihitung dengan persamaan :
U = D/F
D = 4RU
F = (4/3)R3g
Sehingga U = (R2g)/(3)
Dimana U = kecepatan diapire (m/s)
R = kedalaman host rock (m)
g = percepatan gravitasi (m/s2)
= perbedaan densitas (kg/m3), dimana = T
= viskositas host rock (Ns/m2 atau Pa.s)
Untuk diapire yang muncul sebagai hotspot, R diasumsikan 400 km. Densitas mantel =
3300 kg m-3, koefisien ekspansi volume batuan = 3 x 10-5 K-1, dan perbedaan temperature antara
plume dengan batuan sekitarnya T = 200 K, sehingga perbedaan densitas = T = ~20 kg m -3,
viskositas mantel = 1021 Pa.s maka kecepatan diapire U = ~0,3 meter per tahun. Untuk diapire di
zona subduksi, R diasumsikan 5 km. Hal ini dikontrol dengan baik oleh kontras densitas yang lebih
besar daripada contoh sebelumnya jika komposisinya dipengaruhi oleh sedimen hidrat dasar laut,
di mana bernilai sekitar 100 kg m-3. Dalam kasus ini, kecepatan diapire U sebesar 0.25 milimeter
per tahun, lebih dari 1000 kali lebih lambat daripada mantel plume.

3. Perubahan Diapire Menjadi Dike


Di lingkungan benua, diapire berhenti naik ketika mencapai dasar kerak benua. Hal ini
karena gaya buoyant menjadi netral. Kandungan silika yang lebih tinggi pada batuan kerak
menyebabkan densitasnya lebih rendah daripada mantle plume meskipun temperaturenya lebih
tinggi. Dalam kasus seperti ini, dimana densitas tubuh batuan lebih rendah daripada batuan di
bawahnya namun lebih tinggi daripada batuan di atasnya, maka gaya buoyancynya dikatakan netral
atau telah mencapai neutral buoyancy level. Ketika diapire berhenti, panas dapat ditransfer secara
konduksi ke batuan kerak di atasnya dan karena temperatur solidus lebih rendah dibandingkan
dengan material plume, batuan kerak meleleh membentuk riolit, dan riolit yang meleleh ini dapat
naik membentuk diapire menuju kerak yang lebih dangkal.
Dalam kasus lain, berhentinya diapire dapat disebabkan oleh strain akibat mantel plume itu
sendiri pada batuan di sekeliling plume. Nilai strain ini merupakan pengukuran dari laju deformasi
host rock, dan diperoleh dari kecepatan plume dengan diameternya. Persamaan 3.1 menunjukkan
bahwa diapire yang lebih besar naik lebih cepat daripada yang lebih kecil. Dengan demikian, jika
parameter lain tetap, strain berbanding lurus dengan diameter. Menggunakan nilai-nilai dari bab
sebelumnya, strain akibat mantel plume akan bernilai sekitar 1,25 10-14 s-1, sedangkan pada
diapire yang ada di zona subduksi sekitar 1,7 10-15 s-1. Nilai ini kira-kira sepuluh kali dan dua kali
lebih besar daripada rata-rata strain di tempat lain di mantel di mana konveksi terjadi tanpa
pelelehan.
Cara dimana batuan terdeformasi atau dengan kata lain reologinya, tergantung pada
komposisi, temperature, dan strain. Jika temperature hot rock konstan dan strain meningkat,
responsnya berubah dengan cepat dari liquid yang sangat kental (plastic solid) menjadi solid yang
elastic dan rapuh. Strain konstan dan menurunnya temperature juga akan menimbulkan perubahan
dari plastis menjadi elastic dan mendorong terbentuknya rekahan. Diapire selalu bergerak dari
lingkungan panas menuju lingkungan yang lebih dingin, dan rekahan akan mulai terbentuk ketika
respons batas reologi antara plastis dan elastis berpotongan, dan hal ini kemungkinan besar terjadi
pada temperature yang lebih tinggi dan kedalaman yang lebih dalam, untuk diapire yang lebih
besar dan lebih cepat. Sulit untuk memprediksi dengan tepat kondisi di mana terjadi transisi dari
elastic menjadi plastis karena sulit untuk membuat tiruan kondisi mantel di laboratorium. Jika
diasumsikan menunggu satu tahun atau kira-kira 3x107 s, untuk melakukan eksperimen di mana
sampel batuan terdeformasi 100% atau dengan kata lain ditekan hingga ketebalannya menjadi
setengahnya dalam peralatan laboratorium bertekanan tinggi dan bertemperatur tinggi, rata-rata
strain bernilai ~3 x 10-8 s-1 (30 juta kali lebih cepat daripada di mantel). Ekstrapolasi untuk
perbedaan skala waktu yang sangat besar ini akan menyebabkan ketidakakuratan.
Mantel plume yang mencapai dasar kerak dapat menimbulkan rekahan. Terdapat dua faktor
yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama perubahan komposisi di mana sacara umum densitas
kerak menjadi lebih kecil daripada mantel termasuk material panas dalam plume. Maka gaya apung
plume menghilang dan plume berhenti. Material di bawahnya tetap naik dan plume menyebar ke
samping di sepanjang batas yang meningkatkan tingkat strain rata-rata. Temperatur batuan kerak
juga lebih dingin daripada batuan mantel, sehingga lebih mendekati temperature transisi plastis-
elastisnya. Maka temperature batuan yang lebih rendah dan kenaikan strain akan membentuk
rekahan sehingga plume dapat mencapai dasar kerak. Perlu diingat bahwa kenaikan strain pada
batuan di dalam plume bagian atas berlangsung seperti pada batuan kerak, maka proses
penggabungan lapisan yang mneleleh menjadi dike dapat terjadi di dalam plume itu sendiri.

4. Penyebaran Dike
Dimanapun perubahan dari deformasi plastis ke rekahan rapuh batuan terjadi, rekahan
mulai timbul dari banyak penyebab yang dapat mengkonsentrasikan tekanan. Jika terbentuk
rekahan pada kerak di atas daerah yang mengandung magma, liquid akan mulai mengalir ke dalam
rekahan untuk mengisi ruang dalam rekahan tersebut. Sifat utama rekahan adalah meruncing di
ujung yang dapat berkembang menjadi unfractured rock yang dibatasi oleh kecepatan gelombang
suara dalam batuan (gelombang deformasi material ketika dia menjalar). Kecepatan gelombang
suara batuan lebih kecil daripada kecepatan gelombang suara sebenarnya, tetapi masih dalam orde
km/s. bagaimanapun, ada batas kecepatan di mana magma dapat mengalir melalui celah sempit
rekahan. Kecepatan ini dikontrol oleh lebar rekahan dan viskositas magma. Kecepatan mengalir
magma dapat mencapai seribu kali labih kecil daripada kecepatan suara dalam batuan. Kecepatan
aliran magma yang melalui urat sempit ini menentukan kecepatan dike yang mengalir ke atas.
Orientasi tekanan sangat dipengaruhi oleh besarnya tekanan pada batuan yang retak.
Namun, karena fluida tidak dapat menahan differential stress, aliran fluida akan menghilangkan
perbedaan tekanan sehingga tekanan di sekitar fluida akan sama besar di segala arah. Batuan kerak
yang temperaturnya lebih dingin akan dengan mudah melawan deformasi jangka peendek dan juga
dapat menjaga non zero stress difference. Pada dasarnya, tekanan pada tubuh batuan merupakan
gaya kompresi vertical yang menggambarkan berat batuan di atasnya. Gaya horizontal berbeda
dengan gaya vertikalnya di mana nilainya 30% lebih kecil daripada gaya vertical. Usaha yang
bekerja untuk mendeformasi batuan akan diminimalkan jika rekahan terbuka dalam bentuk bidang
dengan sudut yang hampir sama dan gaya kompresi berarah horizontal menyebabkan
terbentuknya rekahan berarah vertical. Magma akan mengisi rekahan tersebut sehingga dalam
bentuk dike. Pada kedalaman yang dangkal di kerak, kehadiran lapisan batuan densitas rendah
dapat menyebabkan gaya kompresi berarah vertical dan menghasilkan rekahan berarah horizontal.
Magma yang mengisi rekahan horizontal ini disebut dengan sill.
Beberapa literature tentang penyebaran dike membahas dua kasus yang paling utama,
tentang kondisi yang memungkinkan rekahan mulai terbentuk dan kondisi yang menyebabkan dike
berhenti menyebar/ membentuk dike baru. Properti batuan mengontrol sangat berperan dalam
mengontrol proses-proses tersebut, dimana properti batuan ini disebut dengan kekasaran rekahan
dan ini adalah ukuran dari intensitas maksimum tekanan yang dialami oleh dike terutama pada
puncaknya.
Puluhan juta Pa m1/2 tampak seperti angka yang mengesankan, namun ukuran kekerasan
rekahan (fracture toughness) dapat dimasukkan ke dalam konteks dengan mempertimbangkan
intensitas tekanan (stress intensity) pada ujung dike pada suatu internal excess pressure. pelelehan
diasumsikan terjadi pada jarak vertikal H = 3 km. Hal ini akan menyebabkan sedikit pelelehan yang
cukup untuk membentuk suatu jaringan pipa/saluran yang saling berhubungan sehingga
memungkinkan lelehan masuk ke rekahan. Effective excess pressure (P) didefinisikan sebagai
tekanan yang lebih besar dari beban batuan litostatik lokal.
5. Perangkap Dike
1. Perangkap Stress
Setelah magma pada dike melewati gaya apung netral kemudian gaya apung tersebut lama
kelamaan menjadi negatif, stress pada ujung atas dike akan menurun seiring dengan dike yang
semakin tumbuh ke atas.Berdasarkan persamaan (3.3) tanda berubah menjadi negatif. Rincian
cukup rumit karena, sekarang m yang tidak konstan sepanjang tanggul, eqn 3.3 harus diganti
dalam bentuk persamaan integral yang menambah kontribusi ke stress di ujung dari setiap segmen
vertikal kecil dike menggunakan nilai lokal m. Akhirnya intensitas tegangan pada ujung menjadi
lebih kecil dari fracturetoughness dan pertumbuhan ke atas akan berhenti.

Seiring dengan menigkatnya jarak dari puncak dike maka magnitude akan semakin
membesar dan kemudian gaya apung menjadi negatif yang dapat diilustrasikan dengan memisalkan
suatu nilai untuk m pada persamaan (3.3) yang bernilai negatif yaitu ketika magma lebih padat
daripada host rock dengan menetapkan nilai P sebesar 4.4 Mpa. Mulanya, seiring pertambahan H,
suku pertama dari persamaa (3.3) akan jauh lebih besar dari suku kedua dan stress intensity pada
puncak dike juga meningkat. namun, ketika dike terus tumbuh, suku kedua dari persamaan
tersebut akan meningkat jauh lebih besar dibandingkan suku pertama dan stress intensity dari
maksimum kemudian menurun.
2. Perangkap Densitas
Densitas kerak menurun ketika semakin mendekati permukaan. Di beberapa tempat,
terutama di continental area, kerak terdiri terutama dari batuan sedimen, sedangkan pada daerah
lain, terutama di dasar laut akan terbentuk dari batuan vulkanik. Deposit sedimen oleh akumulasi
material klastik, kemudian terpadatkan menjadi batu oleh berat akumulasi material di atasnya.
Batuan vulkanik yang meletus baik sebagai fragmental piroklastik atau lava yang mengandung
gelembung gas, dan terpadatkan sehingga membentuk batuan vulkanik. Efek dari proses
pemadatan akan menghasilkan profil densitas seperti ditunjukkan pada Gambar. 3.3. Gambar 3.3a
profil densitas pada kerak samudera dan Gambar. 3.3b profil densitas pada kerak benua.
Angka-angka ini juga memprediksi kisaran kedalaman di mana pada satu daerah terdiri dari
dua macam densitas magma, magma D dengan kepadatan 3000 kg m-3 dan L merupakan magma
dengan densitas yang lebih kecil, sekitar 2700 kg m-3. Kedua magma diproduksi ketika partial
melting dimulai di suatu tempat di mantel. Magma D memiliki daya apung netral pada dasar kerak
samudera (Gambar 3.3a) dan benua (Gambar 3.3b), karena inilah pada kedalaman tersebut
densitas batuan sekitar akan menurun dan menjadi lebih rendah dari densitas magma.Jika gaya
apung lokal adalah satu-satunya faktor yang mengontrol maka magma akan terus terjebak di dasar
kerak.

Bagaimanapun, situasi yag terjadi tidak sesederhana demikian. Magma terbentuk dari
pelelehan pada mantle dengan gaya buoyancy relative yang bekerja di sekitarnya dan gaya
buoyancy positif pada mantle dapat mengimbangi gaya buoyancy negative yang menghambat
pergerakan magma ke permukaaan. Hal tersebut dapat dihitung dengan menganggap magma akan
muncul dari pelelehan sebagian sumber ke batuan-batuan di atasnya hingga tekanan yang
mendesak oleh berat kolom liquid magma adalah sama dengan tekanan yang mendesak sumber
batuan yang tidak meleleh. Untuk sumber yang berada dalam mantle, tekanan sebagai fungsi
kedalaman z sama dengan tekanan P sebagai fungsi berat dari batuan di atasnya dan ini dapat
ditentukan dengan mengalikan kedalaman z, rerata densitas dari batuan-batuan di atasnya dan
percepatan gravitasi g.

Figure 3.4 menunjukkan kondisi umum dari model 2 layer kerak dan mantle sederhana.
Ketebalan dan densitas rerata kerak disimbolkan zcrust dan crust ; densitas rerata mantle mantle dan
kedalaman sumber magma zsource di bawah dasar kerak. Tekanan pada kedalaman sumber magma
ditulis dalam bentuk persamaan [(crust . g . zcrust) + (mantle . g . zsource)]. Jika densitas magma magma,
maka tekanan pada dasar kolom magma dengan tinggi zmagma adalah (magma . g . zmagma). Dengan
menyelesaikan dua persamaan di atas akan diperoleh persamaan untuk menentukan zmagma, yaitu :
zmagma = [(crust . zcrust) + (mantle . zsource)] / magma (3.4)
Dengan mengurangkan zmagma dari total kedalaman sumber (zcrust + zsource) diperoleh nilai
kedalaman bawah permukaan puncak dike.
Tabel 3.1 menunjukkan hasil perhitungan profil densitas pada figure 3.3. Untuk kasus pada
kepulauan tengah samudra, dike yang mengandung densitas magma D dapat mencapai di atas level
buoyancy netral di dasar kerak, tetapi tetap terperangkap di bawah permukaan untuk seluruh
sumber meleleh pada kedalaman 21,4 km. Semakin dalam sumber, memungkinkan magma
mencapai permukaan dalam bentuk erupsi.
6. Akibat Perangkap Dike
Jika kondisi yang mengontrol berkembangnya dike tidak dapat lagi memungkinkan dike
tersebut bergerak ke atas, maka memungkinkan dike akan berkembang ke arah lateral untuk
menampung lebih banyak magma. Hal tersebut mudah dibuktikan dengan mempertimbangkan
tekanan yang bekerja di sekitar dike dapat dengan mudah membuat dike berkembang ke arah
lateral pada kedalaman dimana gaya buoyancynya sudah mencapai titik netral, dan ini merupakan
alasan dasar mengapa reservoir-reservoir magma berada pada kerak. Figure 3.5 di bawah ini
menggambarkan tipe-tipe sistem geologi dimana jebakan-jebakan dike mempengaruhi proses-
proses akumulasi magma secara lateral atau magma tersebut dapat terus mengalir sampai
permukaan.
Untuk kasus giant dike swarm yang merupakan akumulasi sejumlah besar magma berarah
lateral, secara teoritis kita dapat menghitung luas areanya dengan mempertimbangkan parameter-
parameter seperti tekanan litostatik local (Pd), tinggi kolom magma (zmagma), Poissons ratio (v),
dan modulus geser (), sehingga dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut :
W = [(1 v)/] zmagma {Pd + [zmagma . g . (magma crust)/]} (3.5)
Pd = m g H (3.6)
Tabel 3.2 menunjukkan rerata luas area dike yang mengandung magma seperti telah dituliskan
pada Tabel 3.1.
7. Kesimpulan
Saat sel konveksi baru terbentuk di mantel, maka akan bergerak ke atas membentuk mantel
plume, mengalami proses partial melting seiring penurunan tekanan dan menghasilkan tubuh
lelehan densitas rendah yang bercampur dengan padatan dari sisa diapire yang muncul di
sekeliling batuan matel. Batuan ini, meskipun berbentuk padat tetapi memiliki sifat fluida yang
sangat kental dalam waktu yang lama dan memiliki tingkat deformasi yang lambat.
Dengan cara yang sama, sedimen-sedimen basah dan batuan dasar samudra menunjam masuk
di zona subduksi, menciptakan area partial melting densitas rendah yang menghasilkan diapire.
Diapire pada zona subduksi memiliki ukuran yang jauh lebih kecil daripada diapire mantle
plume.
Pergerakan diapire melambat ketika mencapai kedalaman yang lebih dangkal karena penurunan
temperature membuat host rock semakin kental. Diapire berhenti bergerak ketika diapire
berhenti naik, dimana kondisi yang paling sering terjadi adalah ketika diapire mencapai dasar
kerak yang densitasnya lebih rendah daripada densitas mantel.
Kecepatan dan ukuran/dimensi diapire mengontrol tingkat strain host rock yang dilalui diapire.
Jika tingkat strain terlalu tinggi, respons perubahan host rock dari viscous ke elastic dan
kemudian hancur memungkinkan dike mulai terbentuk. Proses ini cenderung terjadi pada
kedalaman yang lebih dalam untuk diapire mantel plume yang besar dibandingkan diapire yang
lebih kecil, yaitu diapire pada zona subduksi.
Tingkat pelelehan menentukan banyaknya daerah partial melting yang meleleh menjadi dike
yang dipengaruhi juga oleh viskositas magma. Kemampuan dike untuk mulai terbentuk dan
akhir pembentukannya dikontrol oleh kekasaran rekahan semu (apparent fracture roughness)
dari host rock yang tergantung pada strain batuan, beban kompresi dari batuan di atasnya, serta
kehadiran gas yang dikeluarkan dari magma dan terakumulasi di puncak rekahan.
Dike dapat terperangkap atau dengan kata lain berhenti tumbuh ketika tekanan di puncak dike
menjadi lebih kecil daripada kekasaran rekahan lokalnya. Jika dike berhenti dengan cara seperti
ini dan masih ada suplai magma dari daerah sumber, maka akan muncul dike baru.
Ukuran dan bentuk dike yang terbentuk dari sumber magma dikontrol oleh distribusi tekanan
dan kekuatan batuan yang dilewatinya. Di lingkungan samudra, hal ini termasuk di gunungapi
mid-oceanic ridge (MOR) dan rangkaian gunungapi perisai di atas mantel plume yang jauh dari
MOR. Di lingkungan benua, dike dapat terperangkap dalam bentuk kumpulan dike yang sangat
luas atau keluar dalam bentuk flood basalt.

Anda mungkin juga menyukai