FARMAKOTERAPI HIPERTENSI
Disusun oleh:
Kelompok VIII
NAMA NPM
Nanda Hidayati 260112160515
Esni 260112160537
Ainun Mardhiah Nasution 260112160559
Rani Sri Augusti 260112160581
Desi Rohadatus Aisy 260112160603
1
Tabel 2. Data provinsi dengan kejadian hipertensi tertinggi di Indonesia
Jumlah % Absolut
No Provinsi
Penduduk Hipertensi Hipertensi
1 Bangka Belitung 1.380.762 30,9 426.655 jiwa
2 Kalimantan Selatan 3.913.908 30,8 1.205.483 jiwa
3 Kalimantan Timur 4.115.741 29,6 1.218.259 jiwa
4 Jawa Barat 46.300.543 29,4 13.612.359 jiwa
5 Gorontalo 1.134.498 29,4 33.542 jiwa
(Pusdatin, 2014).
Umumnya kejadian hipertensi lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan
pada wanita, namun pada usia pertengahan kejadian hipertensi pada wanita
semakin meningkat hingga pada usia tua kejadiannya lebih tinggi daripada pria.
Hipertensi pada orang kulit hitam biasanya lebih tinggi daripada yang berkulit
putih hingga lebih dari dua kali lipat. Obesitas dan diabetes melitus juga
dihubungkan dengan hipertensi. Begitu pula dengan pola hidup seperti
pendidikan, penghasilan, atau pekerjaan yang stres juga dilihat walau tanpa hasil
yang jelas (Tambayong, 2000).
Kebanyakan kasus hipertensi yang terjadi adalah hipertensi primer (lebih
dari 90%). Hipertensi primer dikaitkan dengan faktor genetik (riwayat penyakit
keluarga), lingkungan (seperti stres, konsumsi alkohol), kelainan hormon,
kelainan ginjal atau jaringan autoregulatori untuk ekskresi natrium, volume
plasma, dan konstriksi arteriolar, kurangnya sintesis zat vasodilatasi, gangguan
sistem saraf (sistem saraf pusat, serabut saraf otonom, adrenergik reseptor atau
baroreseptor), serta asupan natrium yang tinggi (Dipiro et al, 2015).
Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh penyakit ginjal kronis atau
penyakit renovaskular, hipertiroidisme, sindrom Cushing, kehamilan, obstructive
sleep apnea, aldosteronisme, feokromositoma, koarktasio aorta,
hiperparatiroidisme. Beberapa obat juga dapat meningkatkan tekanan darah
seperti kortikosteroid, estrogen, obat antiinflamasi non-steroid (NSAIDs),
amfetamin, sibutramine, cyclosporine,tacrolimus, dan erythropoietin. Penyebab
utama kematian pada penderita hipertensi adalah gangguan pada serebrovaskular,
kardiovaskular dan gagal ginjal (Dipiro et al, 2015).
2
Hipertensi terjadi melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh
angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting
dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang
diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin yang diproduksi oleh ginjal
akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki
peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama (Nuraini,
2015).
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan
rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada
ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH,
sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga
menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah. Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan
total periferal resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel
tersebut yang tidak terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi
(Nuraini, 2015).
3
marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata
berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat dapat
mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke atau
gagal ginjal. Namun deteksi dini dan parawatan hipertensi dapat menurunkan
jumlah morbiditas dan mortalitas (Julius, 2008).
Pasien dengan hipertensi primer tanpa gejala biasanya awalnya
asimptomatik. Selain itu, pasien dengan hipertensi sekunder biasanya mengeluh
mengenai simptom yang dari situ bisa dicari penyebabnya. Pasien dengan
pheochromocytoma bisa mempunyai riwayat sakit kepala paroksimal, berkeringat,
takikardi, palpitasi, pusing orthostatik, atau sinkop. Pada aldosteronisme primer,
simtom hipokalemik kejang otot dan merasa lemah bisa muncul. Pasien dengan
hipertensi sekunder karena sindroma Cushing bisa mengeluh beratnya bertambah,
poliuria, edema, menstruasi tidak teratur, sering muncul jerawat, atau otot yang
lemah (Dipiro et al., 2015).
Sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah mengalami hipertensi
bertahun-tahun atau setelah terjadi komplikasi berupa:
a. Nyeri kepala, kadang-kadang disertai mual dan muntah
b. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi
c. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat
d. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus
e. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler
(Corwin, 2000).
IV. DIAGNOSIS
Hipertensi primer hanya dapat ditandai dengan peningkatan tekanan darah.
Hipertensi sekunder ditunjukkan dengan adanya peningkatan tekanan darah,
disfungsi ginjal, dan hipertensi yang resisten terhadap terapi. Peningkatan tekanan
darah harus diukur beberapa kali dengan posisi yang berbeda (duduk dan
berbaring). Tekanan darah pada anak-anak berbeda dengan pada orang dewasa,
sehingga batas hipertensi juga berbeda (Tambayong, 2000).
4
Tabel 3. Klasifikasi hipertensi pada bayi, anak dan remaja
Tekanan Darah
Usia Hipertensi (mHg)
Normal (mmHg)
Bayi 80/40 90/60
Anak (7-11 tahun) 100/60 120/80
Remaja (12-17 tahun) 115/70 130/80
(Tambayong, 2000).
VI. PENANGANAN
6.1 Terapi Non Farmakologi
Menurut Dipiro et al., (2015), terapi non farmakologi meliputi:
a. Modifikasi gaya hidup, seperti:
Penurunan berat badan jika kelebihan berat badan.
Penerapan perencanaan makan Dietary Approaches to Stop Hypertension
(DASH).
Diet asupan sodium idealnya untuk 1,5 g / hari (3,8 g / hari natrium
klorida).
Aktivitas fisik secara teratur aerobi.
Berhenti merokok.
5
b. Modifikasi gaya hidup saja sudah cukup untuk sebagian besar pasien
dengan prehipertensi tetapi tidak memadai untuk pasien dengan
hipertensi dan risiko kardiovaskular dan hipertensi.
6
a. Diuretik, terutama jenis tiazid
Diuretik bekerja meningkatkan eksresi natrium, air dan klorida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler, akibatnya terjadi penurunan
curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik
juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya.
Terdiri dari golongan 3 golongan yaitu :
Diuretik Tiazid : hidroklortiazid, klortalidon, indamapid, metaplazon
Diuretik Kuat : furosemid, torsemid, bumetanid
Diuretik Hewat Kalium : amilorid, spironolakton, triamteren
b. blocker
Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian blocker
dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor 1 antara lain: (1) penurunan
frekuensi denyut jantung dan konntraktilitas miokard sehingga menurunkan
curah jantung (2) hambatan sekresi renin di sel jukstaglomeruler ginjal dengan
akibat penurunan produksi angiotensin II (3) efek sentral yang mempengaruhi
aktivitas saraf simpatik, perubahan pada baroreseptor, perubahan aktivitas
neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis prostasiklin (Gunawan
dkk, 2007).
7
secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya
aldosteron akan menyebabkan eksresi air dan natrium dan retensi kalium
(Gunawan dkk, 2007).
f. -Blockerf
Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah selektif blockers 1-reseptor yang
menghambat penyerapan katekolamin dalam sel otot polos pembuluh darah
perifer, yang mengakibatkan vasodilatasi. blocker ini paling efektif jika
diberikan dengan diuretik untuk mempertahankan khasiat antihipertensi dan
meminimalkan potensi edema (Dipiro et al., 2009).
8
g. Agonis -2 Sentral
Clonidine, guanabenz, guanfacine, dan metildopa menurunkan tekanan
darah terutama dengan merangsang reseptor 2-adrenergik di otak, yang dapat
menurunkan denyut jantung, curah jantung, resistensi perifer total, aktivitas
renin plasma, dan refleks baroreseptor. Efek samping yang dapat ditimbulkan
seperti depresi, hipotensi ortostatik, pusing, dan efek antikolinergik (Dipiro et
al., 2009).
h. Inhibitor Adrenergik
Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mengosongkan norepinefrin
dari ujung saraf simpatetik dan memblok perjalanan norepinefrin ke granul
penyimpanannya. Reserpin juga mengosongkan katekolamin dari otak dan
miokardium, mengakibatkan sedasi, depresi, dan berkurangnya curah jantung
(Dipiro et al., 2015).
i. Vasodilator
Efek antihipertensi hydralazine dan minoxidil disebabkan oleh relaksasi otot
polos. Obat ini mengurangi tekanan darah arteri, obat ini juga mengurangi
impedansi untuk kontraktilitas miokard. Obat golongan ini menyebabkan
pengurangan pada tekanan perfusi yang mengaktifkan refleks baroreseptor.
Aktivasi hasil baroreseptor menyebabkan peningkatan kompensasi dalam aliran
simpatis, yang menyebabkan peningkatan denyut jantung, curah jantung, dan
pelepasan renin. Akibatnya tachyphylaxis dapat terjadi, sehingga obat ini dapat
digunakan bersama dengan obat golongan -blocker (Dipiro et al., 2015).
9
(Mikrozide, Hidrodiuril)
Polythiazide (Renese) 2-4 1
Indapamide (Lozol) 1,25-2,5 1
Metalazone (Mykrox) 0,5-1,0 1
Metalazone (Zaroxolyn) 2,5-5 1
10
Enalapril (Vasotec) 5-40 1-2
Fosinopril (Monopril) 10-40 1
Lisinopril (Prinivil, 10-40 1
Zestril)
Moexipril (Univasc) 7.5-30 1
Perindopril (Aceon) 4-8 1
Quinapril (Accupril) 10-80 1
Ramipril (Altace) 2.5-20 1
Trandolapril (Mavik) 1-4 1
11
Prazosin (Minipress) 2-20 2-3
Terazosin (Hytrin) 1-20 1-2
Pemberian antihipertensi pada lanjut usia harus hati-hati karena pada lanjut
usia terdapat:
Penurunan refleks baroreseptor sehingga meningkatkan risiko hipotensi
ortostatik.
Gangguan autoregulasi otak sehingga iskemia serebral mudah terjadi dengan
hanya sedikit penurunan tekanan darah sistemik.
Penurunan fungsi ginjal dan hati sehingga terjadi akumulasi obat.
12
Pengurangan volume intravaskular sehingga sensitif terhadap deplesi cairan.
Sensitivitas terhadap hipokalemi sehingga mudah terjadi aritmia dan
kelemahan otot.
13
(Dipiro et al, 2008).
Beberapa obat golongan antihipertensi menurut penelitian yang dilakukan
oleh JNC-7 menyarankan bahwa terapi untuk hipertensi pada lansia dapat
menggunakan diuretic thiazide sebagai pengobatan awal ataupun
mengkombinasikannya dengan golongan antihipertensi lainnya. Pengobatan
diureticthiazide memberikan efek reabsorbsi kalsium sehingga dapat mencegah
terbentuknya batu ginjal dan memberikan proteksi pada tulang. Namun
diureticthiazide memiliki efek samping dalam metabolisme tubuh. Beberapa
penelitian tetap menyarankan pengobatan diuretic thiazide adalah golongan
antihipertensi yang paling unggul digunakan dalam mengatasi hipertensi pada
lansia (Lionakis et al, 2012).
Secara umum pengobatan hipertensi pada lansia juga dapat menggunakan
kalsium bloker dan dapat ditoleransi secara baik dan memiliki prognosis yang
lebih baik pula. Beberapa penelitian menyarankan kombinasi dari dua golongan
14
obat antihipertensi baik digunakan untuk menangani pasien lansia yang hipertensi
dengan tekanan darah awal yang tinggi ataupun dengan risiko kardiovaskuler
yang tinggi karena dapat meningkatkan efikasi, mengurangi efek samping, dan
memberikan efek proteksi pada organ yang berisiko untuk rusak (Lionakis et al,
2012).
Karena pada lanjut usia sering ditemukan penyakit lain dan pemberian
lebih dari satu jenis obat, maka perlu diperhatikan adanya interaksi obat antara
antihipertensi dengan obat lainnya. Obat yang potensial memberikan efek
antihipertensi misalnya : obat anti psikotik tcrutama fenotiazin, antidepresan
khususnya trisiklik, L-dopa, benzodiapezin, baklofen dan alkohol. Obat yang
memberikan efek antagonis antihipertensi adalah: kortikosteroid dan obat
antiinflamasi nonsteroid. Interaksi yang menyebabkan toksisitas adalah: (a)
tiazid: teofilin meningkatkan risiko hipokalemia, lithium risiko toksisitas
meningkat, karbamazepin risiko hiponatremia menurun; (b) Penyekat beta:
verapamil menyebabkan bradikardia, asistole, hipotensi, gagal jantung;
digoksin memperberat bradikardia, obat hipoglikemik oral meningkatkan efek
hipoglikemia, menutupi tanda peringatan hipoglikemia (Kuswardhany,2006).
15
dilakukan, terutama pada pasien dengan diabetes atau gangguan fungsi
ginjal.
4. Kepatuhan pasien dengan regimen terapi harus dilihat secara teratur.Mereka
harus ditanyai secara periodik mengenai perubahan terhadap kesehatan
mereka, level energi, fungsi fisik, dan kepuasan dengan perawatan.Pasien
harus dimonitor secara rutin untuk menurunkan efek samping obat.
16
2. Asam urat 7,2 2,5-5,7 Mg/dL
3. Hemoglobin 14,5 12 Mg/dL
4. HbA1c 8,2 <6,5 %
5. Glukosa sewaktu 276 <140 Mg/dL
(GDS)
17
3. Ketepatan Pemilihan Obat
Insaar (losartan) yang termasuk pada golongan ARB (Angiotensin Reseptor
Blocker) dikombinasikan dengan letonal (Spirolacton) golongan antagonis
aldosterone (tipe diuretic), pemilihan terapi ini sudah sesuai dengan algoritma
terapi hipertensi pada JNC VIII. Pada algoritma terapi JNC VIII pasien usia 60
tahun dengan komplikasi DM (Diabetes MIlitus) dapat diberikan terapi
kombinasi golongan Thiazid, diuretic, ACE inhibitor, ARB, CCB sebagai
awalan secara titrasi. Jika dosis tunggal sudah dimaksimalkan dan belum dapat
menstabilkan tekanan darah, maka dapat diberika terapi kombinasi golongan
Thiazid,type- diuretic, ACE inhibitor, ARB, CCB. Dalam hal ini pasien Ny. I
dokter memberikan terapi kombinasi untuk penyakit hipertensi adalah sudah
tepat. Kontrol tekanan darah pasien hingga mencapai kestabilan tekanan darah
<140/90 mmHg.
Untuk pengobatan Diabetes militus Tipe 2, dengan hasil pemeriksaan
glukosa darah sewaktu pasien 267 mg/dL. Diberikan obat kombinasi
Glucovance dan trajenta untuk menurukan dan mengontrol glukosa darah
pasien.
Amitriptilin, untuk mengobati ketegangan kepala akibat hipertensi (tension
headache). Berdasarkan literature amitriptilin merupakakan antidpressan yang
biasa digunakan untuk mengatasi depressi dan kecemasan. Namun selain
indikasi tersebut amitrpitilin juga memiliki fungsi lain (unlabled use) yakni
untuk mengatasi tension headache dan diabetic neuropathy.
4. Interaksi Obat
Terdapat interaksi obat, yang tergolong interaksi Signifikan sehingga perlu
dimonitoring dan interaksi minor. Solusi untuk interaksi obat-obat diatas adalah
dengan memberikan jadwal pemberian penggunaan obat sehingga obat-obat
yang menimbulkan interaksi tidak digunakan secara bersamaan.
No. Nama Obat Keterangan Kategori
1 Amitriptilin dan Letonal akan meningatkan Signifikan monitor
Letonal kadar level amitriptilin ketat
melalui efflux transporter
(MDR1) P glikoprotein
18
2 Insaar dan Insaar dan spinolacton Signifikan monitor
Spironolactone keduanya akan ketat
meningkatkan kadar serum
kalium. Berpotensi
interaksi berbahaya dan
penggunaannya harus
dimonitoring ketat
3 Glucovance dan Meningkatkan resiko Signifikan monitori
Trajenta hipoglikemik ketat
4 Amitriptilin dan Amitriptilin meningkatkan Minor
Glucovance efek metformin melalui
sinergisme
farmakodinamik
19
Pantau kepatuhan pasien minum obat.
7. Edukasi
Obat diminum teratur sesuai dengan aturan. Jangan dihentikan walaupun
sudah terasa sembuh.
Konsultasi kan ke dokter anda.
Jika pasien lupa minum obat, segera minum obat setelah ingat. Jika
terlewat beberapa jam dan telah mendekati waktu minum obat
berikutnya, jangan minum obat dengan dosis ganda.
Minum obat pada waktu yang sama setiap hari Jangan mengurangi atau
menambah dosis obat
Kontrol berat badan, jaga pola makan, diet rendah lemak dan garam,
kontrol tekanan darah secara teratur
Biasakan hidup sehat dengan berolahraga ringan, berhenti merokok,
mengurangi alkohol dan stress.
8. Evaluasi
Keberhasilan terapi: kondisi stabil (TD, Kadar Gula darah), gejala atau
keluhan berkurang dan pasien dapat beraktivitas seperti biasa.
Evaluasi jangka pendek pada terapi hipertensi dapat dilihat dari respon
pengobatan non farmakologi (modification lifestyle) dan terapi obat
berdasarkan pengukuran tekanan darah secara rutin dan kadar gula
darah.
Pasien dengan penyakit komplikasi harus dimonitor dalam penggunaan
obat nya serta pada pasien memiliki sindrom geriatri dengan penurunan
fungsi organ.
20
DAFTAR PUSTAKA
21
Tersedia di: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3364500/
[Diakses tanggal 15 September 2016].
Nuraini, Bianti. 2015. Risk Factors of Hypertension. J Majority. Vol. 4, No. 5.
Patel,Aneet dan Stewart, Fendley. 2015. On Hypertension in the Elderly: An
Epidemiologic Shift - See more at: https://www.acc.org/latest-in-
cardiology/articles/2015/02/19/14/55/on-hypertension-in-the-elderly#-
sthash.iGAgZRaK.dpuf (diakses 02 maret 2017).
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (Pusdatin). 2014. Mencegah
dan Mengontrol Hipertensi agar Terhindar dari Kerusakan Organ
Jantung, Otak dan Ginjal. Dapat diakses pada :
https://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infod
atin/hipertensi.pdf (diakses tanggal 1 Maret 2017).
Setiawan, F. 2016. Hipertensi. Tersedia di: http://karyatulisilmiah.com/hipertensi/
(Diakses tanggal 14 September 2016).
Tambayong, Jang. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC, Jakarta.
22