Anda di halaman 1dari 110

SKRIPSI

OPTIMALISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG


DENGAN METODE KALENDERING

Oleh :
SIGIT NURDYANSYAH PUTRA
F24104026

2008
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Sigit Nurdyansyah Putra. F24104026. Optimalisasi Formula dan Proses
Pembuatan Mi Jagung dengan Metode Kalendering. Di bawah bimbingan: Dr. Ir.
Dahrul Syah, M.Sc dan Ir. Subarna, M.Si.

RINGKASAN

Mi berbahan tepung jagung merupakan produk pangan baru yang


dikembangkan dalam rangka diversifikasi pangan. Kegiatan penelitian
sebelumnya telah menghasilkan beberapa formulasi dan desain proses produksi
mi jagung yang optimum, baik mi basah maupun mi instan. Namun demikian,
hasil penelitian tersebut masih terbatas pada skala laboratorium. Optimalisasi
formula dan proses dilakukan untuk menentukan tahapan proses dan kondisinya
dalam proses pembuatan mi jagung dengan metode kalendering pada skala
1kg/batch.
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, meliputi penentuan jumlah
air yang ditambahkan ke dalam adonan dan penentuan parameter proses. Jumlah
air yang ditambahkan ke dalam adonan yaitu 30, 40, 50 dan 60%. Parameter
proses meliputi jumlah bagian adonan yang dikukus dan tidak dikukus yaitu
100:0, 90:10, 80:20, 70:30; penentuan waktu pengukusan adonan pada suhu 90oC
dengan variasi waktu 10, 15, 20, dan 30 menit; penggilingan adonan dengan
variasi tanpa grinding, grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan grinding
dengan die berdiameter 0,30 cm; penentuan jarak roller pada proses reduksi
ukuran; penentuan waktu pengukusan mi pada suhu 95oC dengan variasi waktu
10, 15, 20, dan 30 menit; serta penentuan waktu optimum pengovenan dengan
suhu 60oC variasi waktu 35, 40, dan 45 menit, suhu 70oC variasi waktu 30, 35,
dan 45 menit, serta suhu 80oC variasi waktu 25, 30, dan 35 menit. Berdasarkan
hasil penelitian, dilakukan penyusunan SOP (Standard Operating Procedure)
pembuatan mi jagung.
Jumlah air sebesar 50% menghasilkan adonan agak lengket pada roller
mesin sheeting, lembaran cukup plastis namun waktu pembentukan lembaran
lama. 70% adonan yang dikukus menghasilkan adonan tidak lengket pada roller
mesin sheeting namun waktu pembentukan lembaran lama dan pencampuran
adonan dengan tepung kering belum merata. Pengukusan dilakukan pada suhu
90oC selama 15 menit menggunakan steam blancher. Formulasi terpilih terdiri
dari tepung jagung pregelatinisasi (70%), tepung jagung kering (30%), air (50%),
garam (1%), dan guar gum (1%) (persentase dari berat total tepung jagung).
Adonan yang dikukus dicampurkan dengan bagian tepung jagung kering
secara manual menggunakan tangan. Penggilingan dilakukan menggunakan
grinding dengan die berdiameter 0,30 cm sebanyak 2x menghasilkan adonan yang
paling mudah ditangani saat sheeting dengan kualitas mi paling bagus.
Adonan yang telah digiling dilewatkan di antara dua roller yang
mengubah adonan menjadi lembaran. Sheeting dilakukan sebanyak 8x dengan
jarak roller 0,3 cm; 0,26 cm; 0,22 cm; 0,20 cm, 0,18 cm, 0,16 cm, 0,14 cm dan
0,12 cm. Saat ketebalan lembaran 0,26 cm dilakukan dusting menggunakan
tepung jagung (12 gram untuk 1 kg bahan baku) agar adonan tidak lengket pada
roller saat jaraknya direduksi. Lembaran dengan ketebalan 0.12 cm selanjutnya
dicetak menjadi untaian mi menggunakan roller pencetak (slitter). Pengukusan mi
pada suhu 95oC selama 20 menit menghasilkan mi dengan elongasi tertinggi
secara manul dan tingkat kematangan yang cukup matang.
Berdasarkan pengukuran didapatkan nilai persen elongasi setelah
pencelupan berturut-turut untuk penggilingan menggunakan grinding dengan die
berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm sebesar 232,44% dan 268,34%; dan nilai persen
elongasi setelah perendaman berturut-turut sebesar 207,62% dan 219,96%.
Cooking loss mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan
die berdiameter 0,30 cm (8,21%) menunjukkan nilai yang lebih kecil
dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60
cm (12,91%). Kekerasan mi basah matang hasil penggilingan menggunakan
grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (2418,65 gf) menunjukkan nilai yang
lebih besar dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die
berdiameter 0,60 cm (2377,73 gf). Sedangkan nilai kelengketan mi basah matang
hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm
(-627,42 gf) menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingkan penggilingan
menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (-1234 gf). Nilai
kekenyalan mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan
die berdiameter 0,30 cm (0,2591 gs) menunjukkan nilai yang lebih kecil
dibandingkan penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60
cm (0,5215 gs).
Mi basah matang hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die
berdiameter 0,30 cm dikeringkan dan harus mampu menurunkan kadar air mi
sehingga memenuhi SNI 01-2974-1996 dengan kandungan air harus di bawah
13%. Waktu pengovenan yang optimum untuk suhu 60oC, 70oC, dan 80oC
masing-masing adalah 40, 30, dan 25 menit.
Nilai persen elongasi mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan
80oC berturut-turut sebesar 193,14%, 166,99%, dan 162,63%. Cooking loss mi
hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut adalah 10,89%,
11,42%, dan 9,99%. Kekerasan mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan
80oC berturut-turut adalah 3135,18 gf, 2408,4 gf, dan 2408,83 gf. Sedangkan
kelengketan mi hasil pengovenan pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut
adalah -1057,2 gf, -977,46 gf, dan -775,18 gf. Kekenyalan mi hasil pengovenan
pada suhu 60oC, 70oC, dan 80oC berturut-turut adalah 0,3405 gs, 0,4151 gs,
0,3245 gs. Waktu rehidrasi mi kering untuk ketiga suhu pengovenan sama yaitu 4
menit.
Uji organoleptik terhadap mi kering yang dioven suhu 60oC, 70oC, dan
o
80 C menunjukkan bahwa kekerasan dan kekenyalan perabaan tangan ketiga
sampel tidak berbeda nyata. Untuk atribut kekerasan dan kekenyalan tekstur gigit
menunjukkan terjadi perbedaan yang nyata antar sampel. Untuk kekerasan tekstur
gigit, rataan tertinggi dimiliki oleh perlakuan pengovenan pada suhu 60oC
sedangkan kekenyalan tekstur gigit dimiliki oleh perlakuan pengovenan pada suhu
80oC. Berdasarkan pengukuran secara objektif menggunakan Tekstur Analyzer
nilai kekerasan mi kering hasil pengovenan suhu 60oC adalah 3135,18 gf
(kekerasan paling tinggi), dan nilai kekenyalan mi kering hasil pengovenan suhu
80oC adalah 0,3245 gs (kekenyalan paling rendah). Hal ini menunjukkan bahwa
konsumen lebih menyukai mi yang kurang kenyal dan lebih keras.Secara overall
menunjukkan bahwa ketiga sampel tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini
menunjukkan bahwa secara overall konsumen menyukai semua sampel tersebut.
OPTIMALISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG
DENGAN METODE KALENDERING

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
SIGIT NURDYANSYAH PUTRA
F24104026

2008
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

OPTIMALISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG


DENGAN METODE KALENDERING

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
SIGIT NURDYANSYAH PUTRA
F24104026
Dilahirkan pada tanggal 31 Juli 1986
Di Ngawi

Tanggal lulus: 21 Agustus 2008

Menyetujui,
Bogor, 12 September 2008

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ir. Subarna, M.Si


Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


Ketua Departemen
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Sigit Nurdyansyah Putra


yang dilahirkan pada tanggal 31 Juli 1986 di Ngawi dan
merupakan putra kedua dari pasangan Djono dan Siti
Amini. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN
Kasreman III (1992-1998), pendidikan menengah pertama
di SLTPN 2 Ngawi (1998-2001), dan pendidikan lanjutan
di SMUN 2 Ngawi (2001-2004).
Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Insitut
Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur USMI (Ujian Saringan Masuk
IPB). Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah aktif dalam beberapa
kegiatan akademik diantaranya finalis Indofood Riset Nugraha 2007, dan PKMK
yang didanai DIKTI tahun 2008. Dalam kegiatan non akademik, penulis pernah
aktif diantaranya BIRENA DKM Al-Hurriyyah, DKM Musholla Ash-Shaff
Asrama C3, FORCES, FBI-FATETA, Masa Perkenalan Fakultas 2006,
PARCIVA-F 2005 (Pasar Amal Ramadhan Civitas Akademika Fateta), Lepas
Landas Sarjana 2006, dan SNQS (Seminar Nasional Quran dan Sains), Halal
Expo 2008, pembicara pada rubrik HALAL ZONE di radio ALVO-FM. Selain itu
penulis juga aktif mengajar di lembaga bimbel dan privat MSC-Education sebagai
pengasuh mata kuliah KIMIA TPB. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan
penelitian yang berjudul Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung
dengan Metode Kalendering.
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat, karunia, serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang
berjudul Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung Metode
Kalendering. Salawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik
secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama
kepada:
1. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku Dosen Pembimbing I yang selalu sabar
dan bijaksana dalam membimbing dan mendukung penulis.
2. Ir. Subarna, MSi. selaku Dosen Pembimbing II atas segala bantuan,
perhatian, masukan dan bimbingannya kepada penulis.
3. Ir. Tjahja Muhandri, Msi. atas bimbingan, dukungan, dan segala masukan
yang diberikan kepada penulis.
4. Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc. atas bimbingan, dukungan, dan segala
masukan yang diberikan kepada penulis.
5. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah
memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.
6. Bapak, Ibu, Mas Hendry, Mba Titis, dan anggota keluarga lainnya atas
doa, kasih sayang, nasehat, dorongan, dan motivasi yang diberikan kepada
penulis.
7. Shoft_Shine atas semangat, dukungan, nasehat yang akan penulis ingat
selalu.
8. Kak Aminullah dan Kak Angga selaku partner penelitian atas bantuan
ilmu, tenaga, dan waktu.
9. Rekan-rekan sebimbingan: Shofia, Gina, dan Rizqi atas dukungan,
bantuan, dan perhatiannya kepada penulis.
10. Kak Angel dan kak Gilang ITP 40 yang telah membantu penulis di awal-
awal penelitian.
11. Teman-teman ETOS 41: Slamet, Aang, Agus, Malik, Eko, Aris, Defa,
Novita, Umul, Giyarti, Risma, Ana atas persahabatan, dukungan, dan
kemurahan hati kalian selama ini.
12. Keluarga Besar ETOS Bogor: Ust. Arif Hartoyo, Ust. Karantiano, Ust.
Asep Nurhalim, Mas Budi, Mas Supri, Mas Nurmaulana, Mas Andri, Mas
Febri, Mba Nisa, Deden, Bams, TJ, Yuda, Deni, Saiful, Rinto, Salman,
Deni, Wahyu, Dedi, AW, Eful, Iful, Dodik, dll . Kalian membuat hari
hariku penuh dengan keceriaan dan canda tawa.
13. Teman-teman di Al-Inayah: Mas Krist, Mas Bambang, Mas Habro, Mas
Yose, Mas Rio, Taqi, Rangga, Ahmad, Syaiful, Toni, Wely, Gina, Dika,
Eko, Yaya, Roby, Fuad, Anas, Hanif, Yudi, Syahroni, Triyadi, Fakih,
Rudi, Triono, Kamal, Omen, Hans atas kebersamaan, dukungan, dan
nasehat-nasehatnya yang sangat berharga bagi penulis.
14. Sahabat-sahabat ITP 41 atas dukungan, kebersamaan, dan persahabatan
yang penuh warna.
15. Pak Junaedi, Pak Deni, Pak Wahid, Pak Rozak, Teh Ida, Bu Antin, Bu
Rubiyah, Pak Yahya, Mas Edi, Pak Iyas, Pak Nur, dan semua laboran di
laboratorium ITP lainnya atas bantuan dan kerjasamanya.
16. Terakhir kepada semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah banyak mendukung penulis selama ini. Terima kasih banyak.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi


ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, 12 September 2008

Penulis
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ketahanan pangan


yang kurang stabil. Ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras begitu
tinggi, sehingga ketika kebutuhan beras dalam negeri tidak tercukupi, bangsa
Indonesia harus mengimpor bahan pangan dari luar. Untuk mengatasi masalah
tersebut, diperlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dan
bahan pangan lainnya dengan mencari alternatif bahan pangan lainnya yang dapat
tumbuh di Indonesia. Kegiatan tersebut dikenal dengan usaha diversifikasi
pangan.
Bagi masyarakat di Indonesia, produk mi baik berupa mi basah, mi kering,
maupun mi instan, kini sudah menjadi bahan makanan utama kedua setelah beras.
Namun berbeda dengan beras, 100% bahan dasar pembuatan mi, yaitu berupa biji
gandum harus diimpor dari luar negeri karena sampai saat ini Indonesia belum
memiliki usaha pertanian gandum secara komersial. Biji gandum impor tersebut
kemudian diolah di penggilingan gandum di dalam negeri untuk menghasilkan
tepung terigu. Tepung terigu inilah yang kemudian dijadikan bahan baku dalam
pembuatan mi.
Upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap biji gandum impor kini
sudah mulai dirintis, diantaranya dengan percobaan penanaman gandum di
sejumlah daerah termasuk upaya mencari varietas-varietas tanaman gandum yang
sesuai dengan kondisi iklim di Indonesia. Namun, upaya tersebut sejauh ini belum
membuahkan hasil yang cukup memadai dalam rangka menanggulangi
ketergantungan terhadap biji gandum impor. Oleh karena itu, pencarian berbagai
bahan pangan lain sebagai pengganti tepung terigu terus dilakukan.
Salah satu alternatif substitusi tepung terigu terutama dalam pembuatan mi
adalah dengan pemanfaatan jagung. Jagung merupakan salah satu komoditas yang
memiliki kandungan nilai gizi yang cukup memadai dan di beberapa daerah di
Indonesia sudah digunakan sebagai makanan pokok. Menurut data Badan Pusat
Statistik, produksi jagung secara nasional mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Pada tahun 2006, produksi jagung nasional mencapai 11,6 juta ton.
Sementara itu, produksi jagung secara nasional untuk tahun 2007 diperkirakan
mencapai 13,3 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2007).
Pemilihan jagung sebagai bahan baku dalam penelitian ini sejalan dengan
program pemerintah dalam mendukung upaya diversifikasi pangan dan
pemantapan ketahanan pangan nasional 2005-2010. Arah pengembangan dan
sasaran komoditas pangan untuk jagung adalah menuju swasembada pada tahun
2007 dan daya saing ekspor pada tahun 2008. Untuk mewujudkan arah
pengembangan di atas, perlu dilakukan upaya peningkatan kapasitas produksi
jagung dan peningkatan nilai tambah jagung yang tidak hanya terbatas pada
penggunaannya sebagai makanan pokok saja. Salah satu rencana peningkatan nilai
tambah jagung adalah dengan pengembangan industri berbasis jagung untuk
konsumsi dalam negeri (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).
Dalam upaya diversifikasi pangan, mi dapat dikategorikan sebagai salah
satu komoditi pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan pangan
pokok. Berdasarkan hasil kajian preferensi konsumen terhadap produk pangan
non beras, mi merupakan produk pangan yang paling sering dikonsumsi oleh
sebagian besar konsumen baik sebagai makanan sarapan maupun sebagai selingan
(Juniawati, 2003). Hal ini dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan industri
berbasis jagung dengan meningkatkan nilai tambah jagung sebagai bahan baku
pembuatan mi. Selanjutnya Juniawati (2003) menyatakan bahwa semua responden
menyukai produk-produk yang berasal dari jagung.
Mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan
lainnya. Menurut Juniawati (2003), mi jagung mengandung nilai gizi sekitar 360
kalori atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori),
singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori). Selain itu, warna kuning mi
jagung merupakan warna alami dari pigmen kuning pada jagung, yaitu -karoten,
lutein, dan zeaxanthin.
Optimalisasi formula dan proses dilakukan untuk menentukan tahapan
proses dan kondisinya dalam proses pembuatan mi jagung dengan metode
kalendering pada skala 1kg/batch. Penelitian ini merupakan upaya untuk
mengaplikasikan pembuatan mi jagung dalam skala industri kecil.
B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan tahapan proses dan kondisi


yang optimal dalam proses pembuatan mi jagung metode kalendering pada skala
produksi 1kg/batch.

C. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini yaitu menghasilkan formula dan desain proses
produksi mi jagung yang sesuai untuk diaplikasikan ke skala komersial, yaitu
skala industri kecil.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG
Jenis Jagung
Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman bijibijian
dari keluarga rumputrumputan (Graminae). Jagung diklasifikasikan ke dalam
divisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, Ordo Poales, Famili Poaceae, dan
Genus Zea. Menurut sejarahnya, tanaman jagung berasal dari Amerika dan
merupakan tanaman sereal yang paling penting di benua tersebut (Anonima,
2007). Berdasarkan bentuk bijinya (kernel), ada 6 tipe utama jagung, yaitu dent,
flint, flour, sweet, pop, dan pod corns (Darrah et al., 2003).

Gambar 1. Beberapa tipe jagung berdasarkan bentuk kernelnya (kiri ke kanan:


flint, dent, dan yellow flour (Anonimc, 2005).

Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya corneous, horny endosperm


pada bagian sisi dan belakang kernel, serta pada bagian tengah inti jagung
menjulur hingga mahkota endospermanya lunak dan bertepung. Jagung jenis flint
memiliki bentuk yang tebal, keras, dengan lapisan horny endosperm disekeliling
granula tengah, kecil, dan halus. Jagung jenis flour merupakan salah satu jagung
yang sangat tua dimana hampir seluruh endospermanya berisi pati yang lunak dan
mudah dibuat tepung (Darrah et al., 2003). Jagung jenis sweet diyakini sebagai
jenis jagung mutasi yang mengandung sedikit pati dengan endosperma berwarna
bening. Jagung ini biasanya dikonsumsi sebagai campuran sayuran. Jagung jenis
pop memiliki kernel kecil dan keras seperti jenis flint dengan kandungan pati yang
lebih sedikit. Sedangkan jagung jenis pod merupakan jagung hias dengan kernel
tertutup dan pada umumnya jagung jenis ini tidak ditanam secara komersial
(Johnson, 1991).
Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), jagung yang banyak ditanam di
Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint), seperti
jagung Arjuna (mutiara), jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer-2 (setengah
mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lain-lain. Selain jagung tipe mutiara
dan setengah mutiara, di Indonesia juga terdapat jagung tipe berondong (pop
corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn).

Morfologi dan Anatomi Biji Jagung


Biji jagung merupakan biji serealia yang paling besar dengan berat
masingmasing 250300 mg. Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada
tongkol jagung. Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung
selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap.
Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, ungu, sampai hitam
(Effendi dan Sulistiati, 1991).
Biji jagung dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu kulit (pericarp),
endosperma, lembaga (germ), dan tudung pangkal (tip cap). Menurut Watson
(2003), pericarp merupakan lapisan pembungkus biji jagung yang tersusun dari
jaringan yang tebal. Ketebalan pericarp bervariasi dari 62-160 m tergantung
genotipnya. Pericarp terdiri dari beberapa bagian, yaitu epidermis (lapisan paling
luar), mesokarp (lapisan paling tebal), cross cells, tube cells, dan tegmen (seed
coat).
Endosperma merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu 82-84%
dari berat biji. Endosperma juga mengandung sekitar 86-89% pati sebagai
cadangan energi. Lapisan terluar dari endosperma adalah aleuron yang
menyelubungi bagian starchy endosperm dan lembaga. Pada biji jagung jenis dent
dan flint terdapat 1-3 lapis sel di bawah aleuron yang disebut subaleuron atau
peripheral endosperm. Lapisan ini mengandung sangat sedikit granula pati yang
dikelilingi oleh matriks protein yang sangat tebal. Bagian starchy endosperm
terdiri dari endosperma keras (horny endosperm) dan endosperma lunak (floury
endosperm). Bagian endosperma keras mengandung matriks protein yang lebih
tebal dan lebih kuat dibandingkan endosperma lunak. Sedangkan endosperma
lunak mengandung pati lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat
seperti pada bagian yang keras (Watson, 2003).

Gambar 2. Struktur biji jagung (Johnson, 1991).

Jagung normal mengandung 10-12% lembaga dari berat biji. Lembaga


tersusun dari dua bagian, yaitu embrio dan skutelum. Embrio mencakup 1,1% dari
berat biji jagung (sekitar 10% bagian lembaga) dan mengandung 30,8% protein.
Sedangkan skutelum merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan selama
perkecambahan biji. Skutelum terdiri dari beberapa jaringan, yaitu epithelium,
parenkim, epidermis, dan provaskular. Jaringan parenkim terdiri dari sel yang
mengandung nukleus, sitoplasma, beberapa granula pati, dan oil bodies yang
mencakup 83% dari total lemak dalam biji jagung (Watson, 2003). Adapun bagian
terkecil pada biji jagung adalah tip cap atau tudung pangkal yang merupakan
bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung.
Menurut Lawton dan Wilson (2003), kadar protein pada biji jagung
bervariasi dari 6-18%. Protein tersebut meliputi albumin, globulin, prolamin
(zein), dan glutelin. Albumin dan globulin terkonsentrasi pada sel aleuron,
pericarp, dan lembaga. Sedangkan prolamin dan globulin banyak ditemukan pada
endosperma.
Tabel 1. Distribusi protein di dalam endosperma jagung
Kandungan pada jagung
Protein
Normal (%) Opaque-2 (%) Floury-2 (%)
Albumin 4,7 20,2 5,6
Globulin 3,5 3,4
Prolamin 45,8 14,6 32,3
Glutelin 38,0 53,2 44,3
Residu 9,0 12,0 14,5
Sumber: Lawton dan Wilson (2003)

Protein terbanyak dalam jagung adalah zein (prolamin) dan glutelin. Zein
merupakan protein yang larut dalam 70% etanol dan terdiri dari beberapa
komponen, yaitu , , , dan -zein. -zein merupakan prolamin terbanyak dalam
biji jagung (70% dari total zein). Bila dibandingkan dengan -zein, -zein
mengandung sejumlah besar asam amino sistein dan metionin tetapi kekurangan
asam amino glutamin, leusin, dan prolin. -zein merupakan prolamin terbanyak
kedua dalam biji jagung (20% dari total zein). Seperti halnya -zein dan -zein, -
zein juga kekurangan asam amino lisin dan triptofan tetapi kaya akan asam amino
prolin dan sistein. Sedangkan -zein kaya akan asam amino metionin (Lawton dan
Wilson, 2003). Adapun glutelin yang larut dalam asam atau basa memiliki jumlah
asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein,
tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1996).
Jagung Pioneer-21
Jagung Varietas P-21 (Pioneer-21) memiliki umur panen 100 hari. Tepung
jagung yang dihasilkan memiliki kandungan lemak yang rendah yaitu 1,73 %.
Kandungan lemak yang rendah disebabkan adanya proses degerminasi
(pemisahan lembaga) pada saat proses penepungan. Lembaga merupakan bagian
biji jagung yang kaya akan lemak sehingga akan menyebabkan tepung jagung
cepat menjadi tengik bila tidak dipisahkan.
Tabel 2. Komposisi kimia tepung jagung P-21 (Etikawati, 2008)
Kadar Komponen (%)
Kadar air 5.46
Protein 6.32
Lemak 1.73
Abu 0.31
Karbohidrat 86.18

Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi
terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa
mempunyai struktur lurus dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin
mempunyai cabang dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa (Winarno, 2004).
Kandungan total pati, amilosa, dan amilopektin dari tepung jagung varietas P-21
ditunjukkan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Kadar pati, amilosa, dan amilopektin tepung jagung P-21 (Etikawati,
2008)
Komponen Kadar (%)
Amilosa 23.04
Amilopektin 43.52
Total pati 66.56

Tepung jagung P-21 memiliki derajat Hue 82.65 yang berarti tepung ini
memiliki warna yellow red (Etikawati, 2008). Warna kuning pada tepung jagung
disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat pada biji jagung. Xantofil
termasuk dalam pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil. Warna kuning
tepung jagung tentunya akan berpengaruh terhadap mi yang dihasilkan. Lebih
lanjut warna kuning pada tepung jagung juga menunjukkan karakteristik khas dari
mi yang dihasilkan. Fadlillah (2005) menyatakan bahwa mi jagung yang berwarna
kuning merupakan keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu karena tidak
memerlukan lagi bahan tambahan pewarna untuk menghasilkan mi yang berwarna
kuning.

B. PATI JAGUNG
Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena, merupakan
produk olahan jagung yang diperoleh dari hasil penggilingan basah (wet milling)
dengan cara memisahkan komponen-komponen non-pati seperti serat kasar,
lemak, dan protein. Pati jagung merupakan salah satu jenis bahan pengikat.
Menurut Tanikawa dan Motohiro (1995), bahan pengikat berfungsi untuk
menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang,
meningkatkan elastisitas produk, membentuk tekstur yang padat, dan menarik air
dari adonan. Pati jagung juga berfungsi sebagai bahan pengisi. Bahan-bahan yang
termasuk ke dalam bahan pengisi diantaranya adalah gum, pati, dekstrin, turun-
turunan dari protein, dan bahan-bahan lainnya yang dapat menstabilkan,
memekatkan atau mengentalkan makanan yang dicampur dengan air untuk
membentuk kekentalan tertentu.
Karakteristik fungsional pati untuk aplikasi bahan pangan sangat
ditentukan oleh karakteristik kimianya. Pati merupakan homopolimer glukosa
dengan ikatan -glikosidik yang tersusun dari amilosa dan amilopektin. Pada
umumnya, pati mengandung 2530% amilosa dan 7075% amilopektin. Menurut
Hoseney (1998), amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan -(1,4)
dari struktur cincin piranosa, yang membentuk rantai lurus terdiri dari 500-2000
unit glukosa. Umumnya amilosa dikatakan sebagai bentuk linier dari pati. Berat
molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang
digunakan, biasanya sekitar 250.000 (untuk 1500 unit anhidroglukosa).
Amilopektin seperti halnya amilosa juga mempunyai ikatan -(1,4) pada rantai
lurusnya, serta ikatan -(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan
tersebut berjumlah sekitar 45% dari seluruh ikatan yang ada pada amilopektin.
Bobot molekul amilopektin berkisar antara 1075x108 (Fennema, 1996).
Mauro et al. (2003) mengatakan bahwa pati jagung terdiri dari 73%
amilopektin dan 27% amilosa. Namun demikian, terdapat varietas jagung yang
tersusun seluruhnya (100%) dari amilopektin yaitu jenis waxy/glutinous corn.
Sebaliknya, terdapat pula varietas jagung yang mengandung amilosa dalam
jumlah yang tinggi (50-75%). Varietas tersebut dinamakan high-amylose corn.

Gambar 3. Struktur amilosa dan amilopektin (Waigh et al., 2000).

Secara alami, bentuk asli pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering
disebut granula. Secara mikroskopik, campuran molekul dalam granula pati
berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang
berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat
mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum. Letak hilum dalam granula
pati ada yang di tengah dan ada yang di tepi. Granula pati dari golongan tanaman
Graminae (beras, jagung, dan gandum) mempunyai hilum yang terletak di tengah.
Sedangkan granula pati pada kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi.
Tabel 4. Karakteristik granula pati
Jenis pati Ukuran granula (m) Bentuk granula
Padi 3-8 Poligonal
Gandum 20-35 Lentikular atau bulat
Jagung 15 Polihedral atau bulat
Sorgum 25 Bulat
Rye 28 Lentikular atau bulat
Barley 20-25 Bulat atau elips
Sumber: Hoseney (1998)

Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak


berbau, dan tidak berasa. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan
(Tabel 4). Pati jagung biasa dan pati jagung berlilin (waxy/glutinous corn)
memiliki diameter berkisar antara 230 m. Jagung yang tinggi amilosa (high-
amylose corn) memiliki diameter berkisar antara 2-24 m. Sedangkan pati pada
kentang, tapioka, dan gandum masing-masing memiliki diameter berkisar antara
5-100 m, 4-35 m, dan 2-55 m (Fennema, 1996). Menurut Boyer dan Shannon
(2003), granula pati memiliki struktur kristalin yang terdiri dari unit kristal dan
unit amorf. Daerah kristalin pada kebanyakan pati tersusun atas fraksi
amilopektin. Sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat pada daerah amorf.

C. GELATINISASI PATI
Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi
Granula pati bersifat tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang
dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-
balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak
bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Fennema, 1996).
Gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan serangkaian
kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan
dalam air.
Perubahan-perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi yaitu granula
pati akan kehilangan sifat birefringence, yaitu sifat yang dapat merefleksikan atau
memantulkan cahaya terpolarisasi sehingga akan tampak seperti susunan kristal
gelap terang (biru-kuning) di bawah mikroskop (Hoseney, 1998). Selain itu,
granula pati juga akan mengalami hidrasi dan mengembang, molekul amilosa
larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan berkurang yang diikuti dengan
semakin kuatnya ikatan antar granula, kekentalan (viskositas) semakin meningkat,
dan kejernihan pasta juga akan meningkat. Terjadinya peningkatan viskositas
disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum
suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat
bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 2004).

Granula pati tersusun dari amilosa


(berpilin) dan amilopektin (bercabang)

Masuknya air merusak kristalinitas


amilosa dan merusak helix. Granula
membengkak

Adanya panas dan air menyebabkan


pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi
keluar dari granula

Granula mengandung amilopektin, rusak


dan terperangkap dalam matriks amilosa
membentuk gel

Gambar 4. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1990)

Menurut Swinkels (1995), pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi


dalam tiga tahap, yaitu: (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang
akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-
balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen
antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena
menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence-nya, dan (3)
granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar
dari granula. Mekanisme gelatinisasi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 4.
Suhu Gelatinisasi
Menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi adalah suhu dimana sifat
birefringence dan pola difraksi sinar-X granula pati mulai hilang. Suhu
gelatinisasi diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati dalam
air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat kristalnya.
Pengukuran suhu gelatinisasi dapat dilakukan dengan menggunakan Brabender
Visco-amylograph dan Differential Scanning Calorimetry.
Suhu gelatinisasi tiap-tiap pati berbeda dan merupakan suatu kisaran. Hal
ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan
energi yang diperlukan untuk mengembang. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati
Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC)
Beras 65-73
Ubi jalar 82-83
Tapioka 59-70
Jagung 61-72
Gandum 53-64
Sumber: Fennema (1996)

Suhu gelatinisasi dipengaruhi pula oleh ukuran amilosa dan amilopektin


serta keadaan media pemanasan. Wirakartakusumah (1991) menyatakan keadaan
media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah rasio air/pati,
laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen lain dalam media pemanasnya.
Selain itu, suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh associative force dalam granula
pati. Semakin tinggi suhu gelatinisasi suatu jenis pati menunjukkan semakin
tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut.

D. RETROGRADASI
Retrogradasi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena
rekristalisasi pati yang tergelatinisasi. Beberapa perubahan sifat reologi yang
terjadi karena proses retrogradasi antara lain adalah meningkatnya kekerasan atau
kerapuhan. Selama penyimpanan, retrogradasi dapat terlihat dari hilangnya sifat
pengikatan air dan terbentuknya kembali fraksi kristalin. Berbeda dengan fraksi
kristalin pada pati yang utamanya tersusun oleh amilopektin, penyusun utama
struktur kristalin pati teretrogradasi adalah amilosa.
Lebih lanjut, Swinkle (1995) menyebutkan beberapa fenomena yang
terjadi akibat retrogradasi. Fenomena-fenomena tersebut antara lain: 1)
meningkatnya viskositas, 2) terbentuknya lapisan tak larut pada pasta panas, 3)
terbentuknya endapan partikel pati yang tidak larut, 4) terbentuknya gel, dan 5)
keluarnya air dari pasta (sineresis).
Retrogradasi adalah peristiwa yang komplek dan tergantung dari banyak
faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi peristiwa retrogradasi adalah tipe
pati, konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu penyimpanan, pH,
prosedur pendinginan, dan keberadaan komponen lain (Swinkle, 1995). Peristiwa
retrogradasi lebih mudah terjadi pada suhu rendah dengan konsentrasi pati tinggi.
Kecepatan retrogradasi optimum pada pH 5-7 dan menurun pada pH dibawah atau
diatas rentang pH tersebut. Retrogradasi tidak terjadi pada pH diatas 10 dan
sangat lambat pada pH dibawah 2.
Fraksi pati yang berperan pada peristiwa retrogradasi adalah fraksi
amilosa. Fraksi amilosa yang terlarut dapat berikatan satu sama lain membentuk
agregrat yang tidak larut air. Dalam larutan (konsentrasi pati rendah), agregat
amilosa akan membentuk endapan. Tetapi pada dispersi yang lebih terkonsentrasi
(konsentrasi pati lebih tinggi), agregrat amilosa akan memerangkap air dan
membentuk gel. Ukuran fraksi amilosa juga berperan penting terhadap laju
retrogradasi. Retrogradasi akan optimum pada fraksi amilosa pada derajat
polimerisasi 100-200 unit glukosa. Fraksi amilopektin kurang berperan dalam
peristiwa retrogradasi. Amilopektin bisa mengalami retrogradasi pada kondisi
ekstrim, misalnya pada konsentrasi pati tinggi, atau pada suhu pembekuan.
Peristiwa staling pada roti adalah salah satu contoh retrogradasi yang disebabkan
oleh amilopektin.
Jenis pati juga berpengaruh terhadap laju retrogradasi. Pati serealia lebih
cepat mengalami retrogradasi dibandingkan pati kentang atau tapioca. Menurut
Swinkle (1995) hal ini disebabkan tingginya kadar amilosa pati serealia, ukuran
molekul amilosa kecil (DP 200-1200), dan tingginya kandungan lemak. Tingginya
kandungan lemak dapat mendorong terjadinya retrogradasi.
E. MI
Mi Basah
Menurut Astawan (2005), mi basah adalah jenis mi yang mengalami
pemasakan setelah tahap pemotongan. Sedangkan menurut Dewan Standarisasi
Nasional (1992), definisi mi basah adalah produk pangan yang terbuat dari tepung
terigu dengan atau tanpa penambahan bahan lain dan bahan tambahan pangan
yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Mi basah memiliki
kadar air maksimal 35% (b/b).
Berdasarkan bahan baku yang digunakan, ada dua macam mi yaitu mi
yang berbasis protein dan mi yang berbasis pati. Bahan baku mi berbasis protein
berasal dari gandum. Sedangkan bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal
dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorgum (Fuglie dan Hermann, 2001).
Berdasarkan bentuk produk mi yang ada di pasaran, mi dapat
diklasifikasikan menjadi mi basah mentah yaitu mi yang diproses tanpa
pemasakan dan pengeringan, mi basah matang yaitu mi basah yang mengalami
pemasakan dan tanpa pengeringan, serta mi kering yaitu mi yang mengalami
pengeringan (Anonimb, 2007).
Kualitas mi basah menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 4. Produk mi
umumnya digunakan sebagai sumber energi karena kandungan karbohidratnya
relatif tinggi.
Tabel 6. Syarat Mutu Mi Basah (SNI 01-2987-1992)
No. Kriteria uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan :
1.1. bau Normal
1.2. rasa Normal
1.3. warna Normal
2. Kadar air % b/b 20 35
3. Kadar abu (dihitung atas dasar % b/b Maks. 3
bahan kering)
4. Kadar protein ((N x 6,25) % b/b Min. 3
dihitung atas dasar bahan
kering)
5. Bahan tambahan pangan
5.1 boraks dan asam borat Tidak boleh ada
5.2 pewarna Sesuai SNI-022-M
dan peraturan
MenKes No.
722/MenKes/Per/IX/
88
5.3 formalin Tidak boleh ada
6 Cemaran logam
6.1 timbal (Pb) Maks. 1,0
6.2 tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10,0
6.3 seng (Zn) Maks. 40,0
6.4 raksa (Hg) Maks 0,05
7. Arsen (As) mg/kg Maks 0,05
8. Cemaran mikroba :
8.1 angka lempeng total Koloni/g Maks 1,0 x 106
8.2 E. Coli APM/g Maks. 10
8.3 kapang Koloni/g Maks 1,0 x 104

Mi Kering
Menurut SNI 01-2974-1996, mi kering didefinisikan sebagai produk
makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan
makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi.
Mi dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87%, artinya
kandungan airnya harus di bawah 13%. Karakteristik yang disukai dari mi kering
adalah memiliki penampakan putih, hanya sedikit yang terpecah-pecah selama
pemasakan, memiliki permukaan yang lembut, dan tidak ditumbuhi mikroba (Oh
et al., 1995). Syarat mutu mi kering dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 7. Syarat Mutu Mi Kering (SNI 01-2974-1996)
Persyaratan Persyaratan
No Jenis Uji Satuan
Mutu I Mutu II
Keadaan:
1.1 Bau Normal Normal
1. -
1.2 Warna Normal Normal
1.3 Rasa Normal Normal
2. Air % b/b Maks. 8 Maks. 10
4. Protein (N x 6,25) % b/b Min. 11 Min. 8
Bahan Tambahan
Makanan:
5. 5.1 Boraks Tidak boleh ada
5.2 Pewarna sesuai dengan
Tambahan SNI 01-0222-1995
Cemaran Logam:
6.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1,0 Maks. 1,0
6. 6.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10,0 Maks. 10,0
6.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0
6.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,05 Maks. 0,05
7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5 Maks. 0,5
Cemaran
mikroba:
8.1 Angka
8. koloni/g Maks. 1,0 x 106 Maks. 1,0 x 106
lempeng total
8.2 E. coli APM/g Maks. 10 Maks. 10
8.3 Kapang koloni/g Maks. 1,0 x 104 Maks. 1,0 x 104

Produk mi kering maupun mi basah pada dasarnya memiliki komposisi


yang hampir sama. Adapun yang membedakan keduanya adalah kadar air, kadar
protein, dan tahapan proses pembuatan. Untuk mendapatkan mi kering, mi mentah
dikeringkan dengan cara penjemuran atau di angin-anginkan atau juga
dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC. Mi kering mempunyai daya simpan
yang lebih lama tergantung dari kadar air dan cara penyimpanannya. Selama
kemasannya masih tertutup rapat, mi kering dapat disimpan selama 6-12 bulan.
Proses pengolahan mi kering sebenarnya hampir sama dengan mi instan.
Pada mi kering terjadi proses pengeringan untuk mengurangi kadar air mi hingga
10-12 persen. Sedangkan proses pengolahan mi instan umumnya dengan digoreng
dan dilengkapi oleh bahan tambahan seperti bumbu, cabe, kecap, minyak, dan
sayuran kering sehingga mudah dihidangkan dengan segera (Intan, 1997).

Mi Jagung
Mi jagung merupakan mi dengan bahan baku utama pati atau tepung
jagung. Proses pembuatan mi jagung dengan pembentukan lembaran terdiri dari
beberapa tahap yaitu pencampuran bahan, pengukusan adonan, sheeting, slitting,
pengukusan mi. Proses pengolahan mi basah jagung berbeda dengan proses
pengolahan mi basah terigu karena setelah pencampuran bahan baku dilakukan
pengukusan adonan. Pengukusan dilakukan agar adonan dapat dibentuk dan
dicetak menjadi mi. Pada terigu, yang berperan penting dalam pembentukan
adonan adalah protein, sedangkan pada jagung yang berpengaruh terhadap adonan
adalah patinya.
Pembuatan mi jagung dengan teknik calendering diawali dengan
pencampuran tepung jagung dengan larutan garam (1% garam dilarutkan dalam
air) dan guar gum 1%.
Tabel 8. Pengaruh penambahan beberapa bahan tambahan makanan (BTM)
terhadap cooking loss dan kelengketan (Fadlillah, 2005)
No. BTM Kelengketan Cooking loss Keterangan
1. Guar Gum ++ ++++ Konsentrasi 1%
2. K2CO3 dan +++++ ++++++++ Warna berubah menjadi
Na2CO3 gelap
3. RESL/ ++++ +++++ Konsentrasi 1%
Alginat
4. Tawas ++++ ++++++++ Konsentrasi 1%
(Alum)
5. CMC ++++ +++++ Konsentrasi 1%
6. Tawas- ++++ ++++++ Masing-masing
alginat konsentrasi 1%
Keterangan:
Kelengketan : + (tingkat kelengketan, makin banyak makin lengket)
Cooking loss : + (tingkat kekeruhan air, makin banyak berarti makin keruh, pati
yang larut makin tinggi)
CMC, guar gum, dan alginat dapat berfungsi sebagai pengikat komponen-
komponen adonan, sehingga ketika mi dimasak komponen-komponen tersebut
tidak lepas. Penambahan guar gum dengan konsentrasi 1% memiliki pengaruh
yang paling besar dalam mengurangi kelengketan dan cooking loss. Penambahan
RSEL (alginat), CMC, tawas dan (K2CO3 dan Na2CO3) tidak telalu
mempengaruhi kelengketan dan cooking loss (Fadlillah (2005).
Tabel 9. Pengaruh jumlah air yang ditambahkan terhadap karakteristik adonan
(Kurniawati, 2006)
Jumlah air yang Hasil pengamatan
ditambahkan
30% Adonan cukup basah dan bisa dikukus
33% Adonan masih terlalu basah, perlu dikepal saat dikukus
35% Adonan terlalu basah dan tidak dapat dikukus

Penambahan jumlah air 30% dari berat tepung jagung menghasilkan


adonan cukup basah dan mudah dikukus. Penambahan air > 30% menyebabkan
adonan terlalu basah dan tidak dapat dikukus.
Tabel 10. Kriteria pengukuran proses pembuatan mi secara visual
Proses Kriteria Pengukuran
Mixing Adonan seragam; mampu menyerap air secara optimal
Lembaran mi mudah dibentuk; permukaannya halus; tidak
Sheeting
bergaris-garis; dan tidak ada noda
Ukurannya seragam dan sesuai; tersisir dengan baik; bentuknya
Slitting
bagus
Steaming Memiliki derajat gelatinisasi yang baik; tidak lengket
Waktu pemasakan singkat; rendah cooking loss (kehilangan
Cooking
padatan akibat pemasakan); teksturnya bagus
Sumber: Hou dan Kruk (1998)

Campuran ini kemudian dikukus pada kisaran suhu 90oC-100oC.


Pengukusan menyebabkan adonan mengalami gelatinisasi, sehingga
menyebabkan terbentuknya massa yang elastis dan kohesif setelah pengulenan.
Tahap selanjutnya adalah pressing untuk pembentukan lembaran.
Pengepresan lembaran dilakukan bertahap dengan melewatkan adonan di antara
roll pengepres sehingga didapatkan ketebalan 2 mm. Lembaran ini kemudian
dipotong menjadi untaian mi. Agar untaian mi tidak mudah patah, maka jumlah
pati yang dipregelatinisasi harus cukup karena pati inilah yang berfungsi sebagai
pengikat (Soraya, 2006). Selanjutnya, untaian mi dimatangkan dengan
pengukusan pada kisaran suhu 90oC-100oC.
Berikut ini beberapa hasil penelitian mi jagung yang telah dilakukan:
Tabel 11. Hasil-hasil Penelitian Mi Jagung
No. Produk Bahan Baku Proses Parameter Mutu Referensi
1. Mi Tepung jagung Tepung jagung + air + garam + Analisis fisik Merdiyanti, A. 2008. Paket
jagung (70%), pati jagung baking powder Cooking loss: 17,82% Teknologi Pembuatan Mi
kering (30%), air (30%), (CMC); 20,72% (guar gum) Kering dengan
garam (1%), guar Pencampuran Daya serap air: 285,71% Memanfaatkan Bahan Baku
gum (1%), baking (CMC); 202,42% (guar Tepung Jagung. Skripsi.
powder (0,3%) Pengukusan (15 menit) gum) Departemen Ilmu dan
Kekerasan: 1153,65 gf Teknologi Pangan, Fakultas
Pembentukan lembaran (CMC); 1469,20 gf (guar Teknologi Pertanian, Institut
pencetakan, dan pemotongan gum) Pertanian Bogor, Bogor.
Kelengketan: -469,75 gf
Pengukusan (10 menit) (guar gum); -295,95 gf
(CMC)
Pengeringan (55-60oC, 1jam) Analisis kimia
Mi yang terbuat dari tepung
mie jagung kering penggilingan kering:
Kadar air: 7,80%
Kadar abu: 1,50%
Kadar protein: 6,93%
Kadar lemak 0,19%
Kadar karbohidrat: 84,17%
Mi yang terbuat dari tepung
penggilingan basah:
Kadar air: 4,66%
Kadar abu: 1,27%
Kadar protein: 6,13%
Kadar lemak 1,83%
Kadar karbohidrat: 86,11%
2. Mie Tepung jagung Tepung jagung + air + garam Analisis fisik Rianto, B. F. 2006. Desain
jagung varietas srikandi + baking powder Suhu adonan setelah proses pembuatan dan
basah (100 g), air (30 ml), pengukusan: 73,45 oC formulasi mie basah
garam (1%), baking Pencampuran Derajat gelatinisasi: 65,75% berbahan baku tepung
powder (0,3%) Persen elongasi: 19,78% jagung. Skripsi. Departemen
Pengukusan adonan (7 menit) KPAP: 17,60% Ilmu dan teknologi Pangan,
Kekerasan: 1089,63 gf FATETA, IPB, Bogor.
Pressing, slitting, cutting Kelengketan: -288,66 gf

Mi basah mentah Analisis kimia

Kadar air: 196% (bk)
Perebusan (2 menit)
Kadar abu: 0,41%

Mi basah matang Kadar protein: 6,45%
Kadar lemak: 8,20%
Kadar karbohidrat: 85,0%

3. Mie Tepung jagung 70% tepung jagung basah + Analisis fisik Soraya, A. 2006.
jagung varietas srikandi garam + baking powder Warna mi jagung basah Perancangan proses dan
o
basah kuning kering panen Hue: 92,8 (kuning) formulasi mie jagung basah
(HQPM) (100 g), Pengukusan adonan (5 menit) Persen elongasi: 14,7% berbahan dasar High Quality
garam (0,6%), Resistensi terhadap tarikan: Protein Maize varietas
baking powder Pencampuran dengan 30% 9,9 gf srikandi kuning kering
(0,2%), guar gum tepung jagung kering Kekerasan: 736,49 gf panen. Skripsi. Departemen
(0,6%). Kelengketan: 558,48 gf Ilmu dan teknologi Pangan,
@ KPAP: 10,10% FATETA, IPB, Bogor.
@ Analisis kimia
Kadar air: 62,03% (bb)
Pressing, slitting, cutting Kadar abu: 0,82%
Kadar protein: 7,63%
Perebusan (1,5 menit) Kadar lemak: 7,05%
Kadar karbohidrat: 59,18%
Perendaman dalam
air dingin (10 detik)

Mi basah matang
4. Mie Maizena (90 g), bagian maizena + CGM + Analisis fisik Kurniawati, R. D. 2006.
jagung Corn Gluten Meal CMC/guar gum + air + garam Persen elongasi: 15,86% Penentuan desain proses dan
basah (CGM) (10 g), air + baking powder Resistensi terhadap tarikan: formulasi optimal
(30 ml), CMC (1%), 15,73 gf pembuatan mie jagung
garam (1%), baking Pencampuran sampai homogen Kekerasan: 964,89 gf basah berbahan dasar pati
powder (0,3%), pati Kelengketan: -251,2 gf jagung dan Corn Gluten
kacang hijau (5%), Pengukusan adonan (3 menit) KPAP terendah diperoleh Meal (CGM). . Skripsi.
guar gum (1%) pada pengunaan guar gum Departemen Ilmu dan
Penambahan dengan sisa dengan konsentrasi: 1% teknologi Pangan, FATETA,
bagian maizena IPB, Bogor.
Analisis kimia
Pencampuran sampai homogen Kadar air: 63,71% (bb)

Kadar abu: 0,41%
Pressing, slitting, cutting
Kadar protein: 7,14%

Kadar lemak: 4,49%
Perebusan (2,5 menit)
Kadar karbohidrat: 87,99%
@
@

Perendaman dalam air dingin
(15 detik)

Penirisan

Penambahan minyak (2%)

Mi jagung basah matang
5. Mie Maizena (90%), Maizena + gluten terigu Analisis fisik Fadlillah, H. N. 2005.
jagung gluten terigu : CGM + CGM + air + garam + Persen elongasi: 150.63% Verifikasi formulasi mie
instan (10%; 9:1), air (35% baking powder + CMC Kekerasan: 53.33 Kgf jagung instan dalam rangka
total adonan), garam penggandaan skala. Skripsi.
(1%), baking Pencampuran Departemen Ilmu dan
powder (0,3%), teknologi Pangan, FATETA,
CMC (1%) Pengukusan I (10 menit) IPB, Bogor.

Pengadukan sampai
adonan kalis

Pressing, slitting, cutting

Pengukusan II (10 menit)

@
@

Pengeringan dengan oven
(60-70 oC) selama 2 jam

Mi jagung instan
6. Mie Pati jagung (90%), bagian pati jagung Analisis fisik Budiyah. 2004. Pemanfaatan
jagung Corn Gluten Meal + air + CGM Ketebalan mi: 0,43-0,47 mm pati dan protein jagung
instan (CGM) (10%), air KPAP: 24,39% (CGM) dalam pembuatan
(35%), CMC (1%), Pencampuran Daya serap air: 75% mie jagung instan. Skripsi.
garam (1%), baking Waktu rehidrasi: 4 menit Departemen Ilmu dan
powder (0,3%) Pengukusan I (7 menit) teknologi Pangan, FATETA,
Analisis kimia IPB, Bogor.
Penambahan dengan sisa Kadar air: 7,95% (bb)
bagian pati jagung + garam + Kadar abu: 1,26%
CMC + baking powder
Kadar protein: 3,43%

Kadar lemak: 2,52%
Pencampuran sampai kalis
Kadar karbohidrat: 84,84%
Pressing, slitting, cutting Nilai energi: 376 kalori

Pengukusan II (10 menit)

Pengeringan dengan oven
(60-70 oC) selama 2 jam

Mi jagung instan
7. Mie Tepung jagung : air Tepung jagung + air + garam Analisis fisik Juniawati. 2003. Optimasi
jagung (1:1), baking + baking powder Warna mi jagung oHue: 54- proses pengolahan mie
instan powder (0.3%), 90 (yellow red) jagung instan berdasarkan
garam Pencampuran Tingkat gelatinisasi: 80,77% kajian preferensi konsumen.
KPAP: 8,47% Skripsi. Departemen Ilmu
Pengukusan I (15 menit) Daya serap air: 91,97% dan teknologi Pangan,
Waktu rehidrasi: 7 menit FATETA, IPB, Bogor.
Pressing, slitting, cutting
Analisis kimia
Pengukusan II (15 menit) Kadar air: 11,67% (bb)

Kadar abu: 1,20%
Pengeringan dengan oven
Kadar protein: 6,16%
(60-70 oC) selama 1-2 jam
Kadar lemak: 2,27%

Mi jagung instan Kadar karbohidrat: 78,69%
Kadar pati: 65,92%
Kadar serat makanan: 6,80%
Nilai energi: 360 kkal/100 g
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat


Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil
kering varietas pioner 21 (P-21). Bahan-bahan tambahan yang digunakan
antara lain air, garam, dan guar gum.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pembuat mi,
horizontal dough mixer, grinder daging dengan die berdiameter 8 cm (die
pertama memiliki 75 lubang dengan diameter masing-masing lubang 0,60
cm, die kedua memiliki 128 lubang dengan diameter masing-masing lubang
0,30 cm), steam blancher, alat penggilingan jagung (hammer mill dan disc
mill), oven, timbangan, alat-alat untuk analisis seperti Texture Analyzer,
oven, tanur, neraca analitik, dan alat-alat gelas serta peralatan masak
lainnya.

B. Metoda Penelitian
1. Pembuatan Tepung Jagung
Proses pembuatan tepung jagung diawali dengan penggilingan
menggunakan hammer mill yang menghasilkan grits, lembaga, kulit dan
tip cap. Kemudian hasil penggilingan direndam dalam air untuk
memisahkan bagian endosperm jagung dengan lembaga, kulit dan tip
cap. Bagian yang tenggelam adalah endosperm yang dipakai pada
penggilingan berikutnya, sedangkan bagian yang mengapung adalah
lembaga, kulit dan tip cap yang dipisahkan dengan saringan yang
selanjutnya akan dibuang. Endosperm yang sudah dipisahkan ditiriskan,
kemudian digiling menggunakan disc mill, yang bertujuan untuk
memperhalus ukuran grits menjadi tepung. Untuk menghasilkan tepung
jagung yang halus dan homogen, maka dilakukan pengayakan
menggunakan vibrating screen dengan ukuran mesh 100.
Jagung kering pipil

Penggilingan I (hammer mill)

Grits, lembaga,
tip cap, dan kulit

Pemisahan endosperm dari Lembaga, kulit


lembaga, kulit dan tip cap dan tip cap

Grits jagung

Penirisan dan pengeringan

Penggilingan II (discmill)

Tepung kasar

Pengayakan 100mesh
(vibrating screen)

Tepung jagung
100mesh

Gambar 5. Pembuatan Tepung Jagung

2. Penentuan Jumlah Air


Formula yang digunakan terdiri dari 1 kg tepung jagung, 10 gram
garam dan 10 gram guar gum. Sedangkan jumlah air yang ditambahkan
yaitu 30, 40, 50, dan 60% (dihitung dari berat tepung jagung). 1 kg
tepung jagung dicampur dengan 10 gram guar gum diaduk menggunakan
hand mixer 5 menit, kemudian dicampurkan dengan larutan garam
(dibuat dengan cara melarutkan 10 gram garam dalam air) dan diaduk
menggunakan hand mixer 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada
suhu 90oC selama 15 menit, kemudian dilakukan sheeting untuk
membentuk lembaran. Pengamatan dilakukan terhadap sifat adonan saat
sheeting.

3. Penentuan Parameter Proses


a. Jumlah bagian adonan yang dikukus
Adonan dibuat dari 1 kg tepung jagung dengan perbandingan
adonan yang dikukus dan tidak dikukus yaitu 100:0, 90:10, 80:20, dan
70:30; 10 gram guar gum, dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan
dalam 500 mL air). Bagian tepung yang tidak dikukus dicampur dengan
guar gum, kemudian diaduk menggunakan hand mixer 5 menit.,
Kemudian dicampurkan dengan larutan garam dan diaduk menggunakan
hand mixer 5 menit. Setelah itu adonan dikukus pada suhu 90oC
selama 15 menit. Adonan yang telah dikukus dicampurkan dengan
bagian tepung yang tidak dikukus dan diaduk secara manual
menggunakan tangan kemudian dilakukan sheeting untuk membentuk
lembaran. Pengamatan sifat adonan dilakukan pada saat sheeting.
b. Penentuan suhu dan waktu pengukusan adonan
Adonan dibuat dari 700 gram tepung jagung, 10 gram guar gum,
dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air).
Tepung jagung dicampur dengan guar gum kemudian diaduk
menggunakan hand mixer 5 menit. Kemudian dicampurkan dengan
larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Setelah
itu adonan dikukus pada suhu 90oC dengan variasi waktu 10, 15, 20,
dan 30 menit. Adonan yang telah dikukus dicampurkan dengan 300
gram tepung jagung kering dan diaduk menggunakan tangan kemudian
dilakukan sheeting untuk membentuk lembaran. Pengamatan sifat
adonan dilakukan pada saat sheeting.
c. Penggilingan adonan
Adonan dibuat dari 700 gram tepung jagung,10 gram guar gum,
dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air).
Tepung jagung dicampur dengan guar gum kemudian diaduk
menggunakan hand mixer 5 menit. Kemudian dicampurkan dengan
larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Setelah
itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit. Adonan yang telah
dikukus dicampurkan dengan 300 gram tepung jagung kering dan
diaduk menggunakan tangan. Penggilingan adonan dilakukan dengan
tiga variasi yaitu tanpa grinding, grinding dengan diameter die 0,60 cm,
dan grinding dengan diameter die 0,30 cm. Adonan dilakukan sheeting
untuk membentuk lembaran, dilanjutkan dengan slitting untuk
membentuk untaian mi. Kemudian mi dimatangkan dengan pengukusan
pada suhu 95oC selama 20 menit.
Selanjutnya dilakukan pengamatan parameter fisik mi basah jagung
yang dihasilkan dari tahapan-tahapan yang telah dioptimasi. Parameter
yang diukur meliputi cooking loss, persen elongasi dan tekstur
(kekerasan, kelengketan dan kekenyalan) secara objektif menggunakan
Tekstur Analyzer.
d. Penentuan jarak roller pada proses reduksi ukuran
Adonan dibuat dari 700 gram tepung jagung, 10 gram guar gum,
dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air).
Tepung jagung dicampur dengan guar gum kemudian diaduk
menggunakan hand mixer 5 menit. Kemudian dicampurkan dengan
larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Setelah
itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit. Adonan yang telah
dikukus dicampurkan dengan 300 gram tepung jagung kering dan
diaduk menggunakan tangan kemudian digiling sebanyak 2x dengan
grinder berdiameter die 0,30 cm. Kemudian adonan dilakukan sheeting
untuk membentuk lembaran. Jarak antar roller diukur menggunakan
batang kayu yang dimasukkan ke dalam roller dengan ketebalan yang
pas dengan jarak tersebut. Batang kayu ini kemudian diukur
ketebalannya menggunakan penggaris. Sheeting dilakukan dengan
variasi jarak awal roller yaitu 0,5 cm (biasa digunakan untuk mi terigu),
dan 0,3 cm selain itu dilakukan variasi terhadap perpindahan jarak roller
yaitu 1 satuan , 0,5 satuan dan perpaduan diantara keduanya. Kemudian
dilanjutkan dengan slitting saat ketebalan lembaran 0,12 cm untuk
membentuk untaian mi. Penentuan jarak roller berdasarkan pengamatan
kemudahan penanganan adonan saat sheeting dan slitting.
e. Penentuan waktu pengukusan mi
Adonan dibuat dari 700 gram tepung jagung, 10 gram guar gum,
dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air).
Tepung jagung dicampur dengan guar gum kemudian diaduk
menggunakan hand mixer 5 menit. Kemudian dicampurkan dengan
larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Setelah
itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit. Adonan yang telah
dikukus dicampurkan dengan 300 gram tepung jagung kering dan
diaduk menggunakan tangan kemudian digiling sebanyak 2x dengan
grinder berdiameter die 0,30 cm. Kemudian adonan dilakukan sheeting
mulai jarak roller 0,3 cm sampai 0,12 cm, dilanjutkan dengan slitting
pada saat ketebalan lembaran mi 0,12 cm.
Setelah itu, untaian mi dimatangkan dengan cara pengukusan pada
suhu 95oC dengan variasi waktu 10, 15, 20, dan 30 menit. Waktu
pengukusan mi paling optimal yaitu waktu yang menghasilkan tingkat
elongasi paling tinggi dengan tingkat kematangan yang cukup. Elongasi
diukur secara manul dengan cara sebagai berikut: untaian mi dengan
panjang 10 cm diletakkan menempel pada penggaris dimulai dari ujung
skala 0 cm sampai skala 10 cm. Kemudian ditarik perlahan sampai
putus. Jarak terakhir yang ditempuh oleh untaian mi sampai putus
ditulis sebagai elongasi secara manual. Sedangkan kematangan dilihat
dari pemerataan tingkat kematangan mi sampai lapisan yang paling
dalam, ditandai dengan tidak adanya warna khas tepung mentah pada
lapisan mi paling tengah.
f. Penentuan waktu optimum pengovenan
Adonan dibuat dari 700 gram tepung jagung, 10 gram guar gum,
dan larutan garam (10 gram garam dilarutkan dalam 500 mL air).
Tepung jagung dicampur dengan guar gum kemudian diaduk
menggunakan hand mixer 5 menit. Kemudian dicampurkan dengan
larutan garam dan diaduk menggunakan hand mixer 5 menit. Setelah
itu adonan dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit. Adonan yang telah
dikukus dicampurkan dengan 300 gram tepung jagung kering dan
diaduk menggunakan tangan kemudian digiling sebanyak 2x dengan
grinder berdiameter die 0,30 cm. Kemudian adonan dilakukan sheeting
untuk membentuk lembaran, dilanjutkan dengan slitting saat ketebalan
mi 0,12 cm.
Untaian mi dimatangkan dengan pengukusan pada suhu 95oC
selama 20 menit. Mi kemudian dikeringkan dengan variasi suhu 60, 70,
dan 80oC. Pengovenan suhu 60oC dilakukan dengan waktu 35, 40, dan
45 menit; suhu 70oC dengan waktu 30, 35, dan 40 menit; dan suhu 80oC
dengan waktu 25, 30 dan 35 menit. Setelah dioven, mi diukur kadar
ainya. Pengamatan didasarkan pada nilai kadar air, untuk kemudian
ditentukan waktu paling optimum. Kadar air harus > 13% (SNI 01-2974-
1996).
Pengamatan parameter fisik dilakukan terhadap mi kering jagung
yang dihasilkan dari pengovenan suhu 60oC selama 40 menit, suhu 70oC
selama 30 menit, dan suhu 80oC selama 25 menit . Parameter yang
diukur meliputi cooking loss, waktu rehidrasi, persen elongasi dan
tekstur (kekerasan, kelengketan dan kekenyalan) secara objektif
menggunakan Tekstur Analyzer.
Kemudian dilanjutkan dengan uji organoleptik terhadap atribut
tekstur (kekerasan dan kekenyalan) dengan perabaan tangan dan tekstur
(kekerasan dan kekenyalan) gigit serta overall (penampakan
keseluruhan) mi kering jagung yang dihasilkan dari pengovenan suhu
60oC selama 40 menit, suhu 70oC selama 30 menit, dan suhu 80oC
selama 25 menit.
C. Metode Analisis
Analisis Sifat Fisik
1. Texture Profile Analysis (TPA) menggunakan alat Texture Analyzer
TAXT-2
Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm.
Pengaturan TAXT2 yang digunakan tertera pada Tabel 9.

Tabel 12. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA (Texture Profile
Analysis)
Parameter Setting
Pre test speed 2,.0 mm/s
Test speed 0,1 mm/s
Post test speed 2,0 mm/s
Rupture test speed 1,0 mm
Distance 75%
Force 100 g
Time 5 sec
Count 2

Seuntai sampel yang telah direhidrasi dengan panjang yang


melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh
probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya
untuk mendeformasi dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan
absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, dan nilai kelengketan ditunjukkan
dengan absolute (-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram force
(gf). Sedangkan kekenyalan diperoleh dari rasio antara dua area kompresi.
Gambar 6. Kurva profil tekstur mi

2. Persen Elongasi Menggunakan Texture Analyzer


Elongasi menunjukkan persen pertambahan panjang maksimum mi
yang mengalami tarikan sebelum putus.
Sampel dililitkan pada probe dengan jarak antar lilitan sampel
sebesar 2 cm dan kecepatan probe 0.3 cm/s. Persen elongasi dihitung
dengan rumus : 2cm

a
b

b= x 100%

a : distance = waktu putus sampel (s) x 0,3 cm/s


b : persen elongasi
3. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)/Cooking
Loss ( metode Oh et al., 1985)
Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam
150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan (4 menit untuk
mi jagung), mi ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan kembali
selama 5 menit. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu
100C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung
dengan rumus berikut:
berat sampel setelah di ker ingkan
KPAP = 1 100%
berat awal (1 kadar air contoh)

4. Waktu Rehidrasi
Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam 150 ml air. kemudian
dihitung waktunya pada saat mi telah terhidrasi sempurna (tidak ada spot
putih di tengah untaian mi). Waktu rehidrasi adalah waktu yang
dibutuhkan bahan untuk kembali menyerap air sehingga diperoleh
tekstur yang homogen.

5. Pengukuran Derajat Gelatinisasi (Birch et al., 1999)


Penentuan derajat gelatinisasi diawali dengan pembuatan kurva
standar yang menggambarkan hubungan antara derajat gelatinisasi dan
absorbansi. Sampel yang digunakan untuk pembuatan kurva standar
adalah sampel yang tergelatinisasi 0100%. Sampel yang tergelatinisasi
100% diperoleh dengan merebus 1 gram tepung jagung dalam 100 ml air
hingga menjadi bening. Sedangkan sampel yang tidak tergelatinisasi
merupakan suspensi tepung dalam air. Lalu dibuat campuran dari kedua
sampel tersebut untuk memperoleh sampel dengan derajat gelatinisasi
pati 20%, 40%, 60%, dan 80%. Perbandingan antara pati yang
tergelatinisasi 100% dan pati yang tidak tergelatinisasi adalah 20:80
untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 20%, 40:60 untuk sampel
dengan derajat gelatinisasi 40%, 60:40 untuk sampel dengan derajat
gelatinisasi 60%, dan 80:20 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi
80%.
Tahap berikutnya adalah pembacaan absorbansi masingmasing
sampel. Sampel ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam
gelas piala 100 ml lalu ditambahkan 47,5 ml akuades. Campuran ini
kemudian diaduk menggunakan stirer selama satu menit dan
ditambahkan 2,5 ml KOH 0,2 N dan diaduk kembali menggunakan stirer
selama lima menit. Campuran ini kemudian dipipet sebanyak 10 ml dan
disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm.
Supernatan yang diperoleh dipipet dan dimasukkan ke dalam dua
tabung reaksi A dan B masingmasing sebanyak 0,5 ml. Kemudian
ditambahkan 0,5 ml HCl 0,5 N ke dalam kedua tabung reaksi. Sebanyak
0,1 ml iodin ditambahkan ke dalam tabung reaksi B. Lalu ke dalam
kedua tabung reaksi ditambahkan akuades masingmasing sebanyak 9
ml untuk tabung A dan 8,9 ml untuk tabung B. Kedua tabung ini
kemudian dikocok dan dibaca absorbansinya menggunakan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 625 nm. Larutan pada
tabung A merupakan blanko pembacaan larutan pada tabung B.
Kurva standar dibuat dengan memplotkan derajat gelatinisasi pada
sumbu X dan absorbansi pada sumbu Y. Kemudian dihitung persamaan
linear yang menggambarkan hubungan antar keduanya. Persamaan linear
yang diperoleh berupa :
Y = a + bX
Di mana Y merupakan absorbansi dan X merupakan derajat gelatinisasi,
sedangkan a dan b merupakan konstanta.
Absorbansi sampel diukur dengan metode yang sama seperti di
atas. Derajat gelatinisasinya dihitung menggunakan persamaan linear
yang diperoleh dari kurva standar.
Analisis Sifat Kimia
1. Analisis kadar air, metode oven (AOAC, 1995)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit,
didinginkan dalam desikator selama 10 menit kemudian ditimbang.
Sejumlah sampel (sekitar lima gram) dimasukkan ke dalam cawan yang
telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam
oven bersuhu 1000C selama kurang lebih enam jam atau sampai beratnya
konstan. Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator
selama 10 menit dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan
rumus:
Kadar air (% b.b) = c ( a - b ) x 100%
c
Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g)
b = berat cawan (g)
c = berat sampel awal (g)

Uji Organoleptik (Meilgaard, 1999)


Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji rating dengan 30
orang panelis. Uji ini dapat digunakan untuk membedakan seluruh atribut
antara produk satu dengan produk lainnya yang ada di pasaran.
Sampel disiapkan dengan cara merebus mi selama 4 menit,
kemudian ditiriskan selama 2 menit. Selanjutnya diambil 6 untai mi
dengan panjang yang sama dan diletakkan diatas piring kertas yang
sebelumnya telah diberi kode berdasarkan perlakuan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembuatan Tepung Jagung

Jagung pipil yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung pipil
kering varietas Pioneer 21 yang didapatkan dari sentra pertanian jagung
Ponorogo, Jawa Timur. Proses pembuatan tepung jagung diawali dengan
penggilingan menggunakan hammer mill yang menghasilkan grits jagung.
Grits jagung yang dihasilkan dari penggilingan pertama masih bercampur
dengan kotoran, kulit, tepung kasar dan komponen lain yang tidak diinginkan.
Proses yang dilakukan untuk memisahkan grits dari semua campuran
tersebut yaitu dengan mencuci dan merendam dalam air. Selain untuk
memisahkan bagian endosperm (grits jagung) dengan lembaga, kulit dan tip
cap dan memisahkan biji jagung dari kotoran yang dapat menjadi sumber
kontaminasi, proses pencucian dan perendaman ini juga bertujuan untuk
memperlunak jaringan jagung yang masih keras sehingga ketika digiling
dengan disc mill lebih mudah.
Pencucian membersihkan grits dari kotoran yang menjadi kontaminan,
sedangkan perendaman membuat kulit dan lembaga terangkat ke permukaan
air. Hal ini disebabkan dalam lembaga terdapat banyak kandungan lemak yang
mempunyai massa jenis yang lebih kecil dibandingkan dengan air. Proses
pengadukan dilakukan selama pencucian agar bahan campuran yang akan
dibuang tidak terendap dalam tumpukan grits. Kemudian grits ditiriskan
selama 2 jam.
Endosperm yang sudah dipisahkan kemudian digiling menggunakan
disc mill yang bertujuan untuk memperhalus ukuran grits menjadi tepung.
Tepung yang dihasilkan masih berupa tepung kasar yang belum terpisahkan
berdasarkan ukurannya. Untuk menghasilkan tepung jagung yang halus dan
homogen, maka dilakukan pengayakan menggunakan vibrating screen dengan
ukuran mesh 100. Tepung ukuran 100 mesh kemudian dioven 60o C selama 2
jam. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan sebagian besar air pada
tepung sehingga tepung jagung lebih tahan lama ketika penyimpanan.
Jagung kering pipil
(10 kg)

Grits, lembaga, tip


cap,kulit yang
Penggilingan I (hammer mill)
terbuang
(0.23 kg/2,3%)

Grits, Lembaga,
tip cap, dan kulit
(9,77 kg/97,7%)

Pemisahan endosperm dari Lembaga, tip cap,


lembaga, kulit dan tip cap kulit
(3,47 kg/34,7%)

Grits jagung
(6,3 kg/63%)

Grits jagung yang


Penggilingan II (discmill) terbuang
(0.9 kg/9%)

Tepung kasar
(5,4 kg/54%)

Tepung jagung tidak


Pengayakan 100 mesh lolos 100 mesh
(vibrating screen) (2,486 kg/24,86%)

Tepung jagung lolos


100 mesh
(2,914 kg/29,14%)

Gambar 7. Diagram Alir Kesetimbangan Massa Proses Penepungan Jagung


Sebanyak 10 kg jagung pipil varietas Pioneer-21 melalui proses
penepungan menghasilkan 2,914 kg tepung jagung lolos ayakan 100 mesh.
Hal ini menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan 29,14% dari
keseluruhan bahan baku. Kemudian tepung jagung ini dikemas dalam wadah
plastik ukuran 500 gram dan disimpan di freezer sebelum digunakan untuk
proses pembuatan mi jagung.
Pembuatan tepung jagung dengan metode penggilingan kering
didasarkan pada penelitian Juniawati (2003). Pada metode ini, penggilingan
jagung dilakukan sebanyak dua tahap. Penggilingan tahap pertama
menggunakan hammer mill yang dilanjutkan dengan perendaman dan
pencucian untuk memisahkan bagian endosperma (grits) jagung dengan kulit,
lembaga, dan tip cap. Perendaman juga bertujuan untuk melunakkan
endosperma jagung agar mudah dihancurkan saat proses penggilingan kedua.
Penggilingan tahap kedua bertujuan untuk menghaluskan grits jagung
menjadi tepung dengan menggunakan disc mill. Grits jagung terlebih dahulu
dikeringkan sehingga diperoleh kadar air + 17%. Jika kadar air terlalu tinggi,
maka bahan akan menempel pada disc mill sehingga dapat menimbulkan
kemacetan pada alat. Sedangkan jika kadar air terlalu rendah, endosperma
akan kembali menjadi keras dan sulit untuk ditepungkan. Untuk memperoleh
tepung jagung dengan ukuran partikel yang seragam, dapat dilakukan
pengayakan menggunakan saringan berukuran 100 mesh. Menurut Suprapto
dan Marzuki (2005), penggilingan kering (dry process) umumnya banyak
dilakukan dalam skala besar.
Pada prinsipnya, penggilingan biji jagung menjadi tepung merupakan
proses untuk memisahkan endosperma dari bagian biji yang lain seperti
lembaga, kulit (pericarp), dan tip cap (Hoseney, 1998). Endosperma
merupakan bagian terbesar dari biji jagung yang paling tinggi kandungan
karbohidratnya (pati). Bagian inilah yang kemudian dibuat menjadi tepung
jagung. Sedangkan kulit dan tip cap harus dipisahkan karena dapat membuat
tepung jagung memiliki tekstur yang kasar. Begitu pula dengan lembaga yang
harus dipisahkan karena kandungan lemaknya yang tinggi dapat membuat
tepung jagung cepat tengik akibat oksidasi lemak.
B. Penentuan Jumlah Air

Dalam pembuatan mi jagung ini formula yang digunakan terdiri dari


1 kg tepung jagung, 10 gram garam dan 10 gram guar gum. Sedangkan jumlah
air yang ditambahkan yaitu 30, 40, 50, dan 60% (dihitung dari berat tepung
jagung). 1 kg tepung jagung dicampur dengan 10 gram guar gum diaduk
menggunakan hand mixer selama 5 menit, kemudian dicampurkan dengan
larutan garam (dibuat dengan cara melarutkan 10 gram garam dalam air) dan
diaduk menggunakan hand mixer selama 5 menit. Setelah itu adonan
dikukus pada suhu 90oC selama 15 menit, kemudian dilakukan sheeting untuk
membentuk lembaran.
Tabel 13. Sifat adonan pada penambahan jumlah air yang berbeda

Jumlah Sifat adonan mi


air (%) (secara visual)
30 Adonan tidak lengket pada roller mesin sheeting, namun
lembaran yang dihasilkan rapuh dan waktu pembentukan
lembaran lama
40 Adonan tidak lengket pada roller mesin sheeting, namun
lembaran yang dihasilkan rapuh dan waktu pembentukan
lembaran lama
50 Adonan agak lengket pada roller mesin sheeting, lembaran
yang dihasilkan cukup plastis namun waktu pembentukan
lembaran lama
60 Adonan lengket pada roller mesin sheeting, lembaran yang
dihasilkan elastis dan waktu pembentukan lembaran lama

Pada penambahan air sebanyak 30% dan 40%, adonan tidak lengket
pada mesin sheeting, namun lembaran yang dihasilkan rapuh dan waktu
pembentukan lama. Hal ini menyebabkan karakteristik lembaran adonan kasar
dan mudah sobek. Pada penambahan air sebanyak 60%, adonan lengket pada
mesin sheeting, dan waktu pembentukan lama. Hal ini menyebabkan
karakteristik lembaran adonan elastis dan tidak bisa ditipiskan. Sedangkan
pada penambahan air sebanyak 50%, adonan agak lengket pada mesin
sheeting, lembaran yang dihasilkan cukup plastis namun waktu pembentukan
lama.
Penambahan air selama proses mengakibatkan partikel pati
membengkak dan kehilangan kekompakan ikatan yaitu sebagian dari amilosa
berdifusi keluar disebabkan oleh pengaruh panas (Janssen, 1993). Jumlah air <
50% menyebabkan proses pregelatinisasi adonan kurang sempurna, sedangkan
jumlah air > 50% menyebabkan adonan menjadi lengket.
Air berfungsi sebagai pengikat garam dan membantu proses
gelatinisasi saat adonan dikukus. Dengan adanya air, maka unsur kimia dalam
bahan akan bereaksi dan dengan proses pengadukan akan tercampur sehingga
menjadi homogen (Buckle et al., 1998). Jumlah air sangat menentukan
kelengketan mi. Bila air yang ditambahkan terlalu sedikit, maka proses
gelatinisasi kurang sempurna sehingga pati tergelatinisasi yang dihasilkan
sedikit dan belum dapat mengikat adonan secara baik. Namun bila
penambahan air terlalu banyak maka adonan terlalu matang. Adonan yang
terlalu matang menyebabkan untaian mi yang dihasilkan menjadi lengket
akibat banyaknya padatan yang berdifusi keluar dari pati (Susilawati, 2007).
Berdasarkan pengamatan sifat adonan saat sheeting, jumlah air yang
dipilih dan digunakan untuk proses pembuatan mi jagung selanjutnya adalah
50%.

C. Penentuan Parameter Proses Pembuatan Mi Jagung

Kualitas mi sangat ditentukan oleh kondisi proses pembuatannya. Oleh


karena itu, penentuan parameter-paramater pada tiap tahap proses yang
dianggap kritis harus dilakukan untuk memperbaiki proses pada skala besar.
Parameter proses tersebut diantaranya jumlah bagian adonan yang dikukus,
penentuan waktu pengukusan adonan, penggilingan adonan, penentuan jarak
roller pada proses reduksi ukuran, penentuan waktu pengukusan mi, serta
penentuan waktu optimum pengovenan.

1. Jumlah Bagian Adonan yang Dikukus


Protein total endosperm dalam jagung sebagian besar terdiri atas
zein yang untuk membentuk massa yang elastic-cohesive memerlukan
proses pregelatinisasi sehingga terbentuk pati tergelatinisasi yang berperan
sebagai zat pengikat dalam proses pembentukan lembaran adonan.
Sedangkan protein total endosperm dalam gandum sebagian besar terdiri
atas gliadin dan glutelin yang merupakan jenis protein yang mempunyai
sifat mampu membentuk massa yang elastic-cohesive dengan penambahan
air dan pengadukan tanpa pemanasan. Proses pregelatinisasi ini harus
dilakukan secara tepat dari segi jumlah bagian adonan yang dikukus, suhu
pengukusan, serta waktu pengukusan.
Pengukusan adonan dilakukan pada suhu 90oC selama 15 menit.
Pengurangan waktu pengukusan menyebabkan lembaran yang dihasilkan
rapuh dan mudah sobek. Proses pregelatinisasi yang tepat akan
menghasilkan gelatinisasi yang cukup dengan pati tergelatinisasi menjadi
zat pengikat antar granula pati di dalam adonan (Susilawati, 2007). Pada
pati yang mengalami pregelatinasi masih terlihat adanya granula yang
masih utuh (Anwar, et al., 2006).
Tabel 14. Sifat adonan pada berbagai jumlah bagian adonan yang dikukus
Bagian adonan Sifat adonan
(kukus:tidak) (secara visual)
100:0 Adonan terlalu lengket pada roller mesin sheeting
dan waktu pembentukan lembaran lama
90:10 Adonan terlalu lengket pada roller mesin sheeting,
waktu pembentukan lembaran lama dan pencampuran
adonan dengan tepung kering cukup merata
80:20 Adonan masih agak lengket pada roller mesin
sheeting, waktu pembentukan lembaran lama dan
pencampuran adonan dengan tepung kering belum
merata
70:30 Adonan tidak lengket pada roller mesin sheeting
namun waktu pembentukan lembaran lama dan
pencampuran adonan dengan tepung kering belum
merata

Tepung jagung yang dikukus 100% dan 90%, menghasilkan


karakteristik adonan mi yang relatif sama, yaitu adonan yang terlalu
lengket pada roller mesin sheeting, sehingga mengakibatkan permukaan
lembaran elastis sehingga sulit untuk ditipiskan. Hal ini dikarenakan
jumlah pati tergelatinisasi terlalu banyak sehingga adonan menjadi lengket
akibat banyaknya padatan yang berdifusi keluar dari pati.
Tepung jagung yang dikukus 80% masih menghasilkan adonan
yang agak lengket pada roller mesin sheeting. Sedangkan untuk tepung
jagung yang dikukus 70%, menghasilkan adonan yang tidak lengket pada
roller mesin sheeting. Lembaran bersifat plastis sehingga bisa ditipiskan.
Berdasarkan pengamatan sifat adonan, perbandingan adonan yang dikukus
dengan yang tidak dikukus, yang dipilih dan digunakan untuk proses
pembuatan mi jagung selanjutnya adalah adonan dengan perbandingan
70:30.
Faktor yang mempengaruhi karakteristik adonan adalah jumlah
fraksi air bebas atau fraksi cair yang terkandung dalam adonan. Tepung
jagung yang dikukus 70% mempunyai kandungan fraksi air bebas yang
pas sehingga menghasilkan karakteristik adonan yang tepat. Efisiensi
waktu pembuatan adonan dengan pengukusan 100% tidak bisa dilakukan
karena jumlah fraksi bebas dalam adonan yang dikukus 100% tidak pas
sehingga karakteristik adonan yang dihasilkan tidak tepat.
Selain itu, faktor yang berpengaruh terhadap karakteristik adonan
adalah tingkat gelatinisasi pati. Jumlah pati tergelatinisasi yang kurang
menyebabkan pengikatan terhadap adonan kurang. Hal ini menyebabkan
mi rapuh dan mudah patah. Namun bila jumlah pati tergelatinisasi berlebih
maka adonan yang dihasilkan menjadi lengket akibat banyaknya padatan
yang berdifusi keluar dari pati (Susilawati, 2007).

2. Penentuan Suhu dan Waktu Pengukusan Adonan


Faktor penting lainnya yang harus diperhatikan selama pengukusan
adalah suhu dan waktu proses. Kedua parameter ini akan mempengaruhi
jumlah pati yang tergelatinisasi dalam adonan. Pada penelitian ini, proses
pengukusan adonan dilakukan menggunakan steam blancher. Boiler
(sumber uap panas) dinyalakan terlebih dahulu, kemudian kran steam
blancher dibuka sampai suhu pengukusan tercapai. Setelah suhu tercapai,
adonan yang akan dikukus ditaburkan merata di atas kain saring dengan
ketebalan 0,5 cm, kemudian kain saring tersebut diletakkan dalam tray
steam blancher. Tray dimasukkan ke dalam steam blancher, dan
pengukusan dilakukan selama 15 menit.
Gambar 8. Proses pengukusan adonan menggunakan steam blancher
Tabel 15. Pengaruh suhu pengukusan terhadap sifat adonan
Suhu pengukusan Sifat adonan
(secara visual)
< 90oC Lembaran adonan yang dihasilkan rapuh dan
mudah sekali sobek
90oC Lembaran plastis sehingga dapat direduksi
ukurannya
>90oC Lembaran adonan terlalu lengket pada roller
sehingga tidak bisa ditipiskan

Selama proses pengukusan, suhu pengukusan harus dipertahankan


tetap. Suhu pengukusan yang lebih rendah dari 90oC menyebabkan
pregelatinisasi kurang terpenuhi, sehingga lembaran adonan yang
dihasilkan rapuh dan mudah sekali sobek. Pengukusan pada suhu 90oC
menghasilkan lembaran yang plastis sehingga dapat direduksi ukurannya.
Sedangkan suhu pengukusan yang lebih tinggi dari 90oC menyebabkan
pregelatinisasi terlampaui, sehingga lembaran adonan terlalu lengket pada
roller sehingga tidak bisa ditipiskan.
Tabel 16. Penentuan waktu optimum pengukusan adonan pada suhu 90oC
Waktu Sifat adonan
(menit) (secara visual)
10 Pada saat sheeting lembaran yang sudah terbentuk terlipat
kembali sehingga terbentuk permukaan yang baru dan
menyebabkan permukaan lembaran tidak rata dan mudah
sobek
15 Lembaran plastis sehingga dapat direduksi ukurannya
20 Adonan lengket pada roller mesin sheeting, lembaran elastis
sehingga tidak bisa ditipiskan, permukaan lembaran kasar
dengan warna pucat (terlalu matang)
30 Adonan sangat lengket dan lolos dari pisau trap sehingga
melapisi roller saat sheeting, lembaran terlalu elastis sehingga
tidak bisa ditipiskan, permukaan lembaran kasar dengan
warna pucat (terlalu matang)

Pengukusan dengan suhu 90oC selama 10 menit menghasilkan


lembaran yang terlipat kembali sehingga terbentuk permukaan yang baru
dan menyebabkan permukaan lembaran tidak rata dan mudah sobek. Hal
ini dikarenakan jumlah pati yang tergelatinisasi akibat pengukusan selama
10 menit kurang sehingga menyebabkan pengikatan terhadap adonan juga
berkurang. Waktu pengukusan 15 menit menghasilkan adonan dengan
karakteristik lembaran adonan mudah dibentuk, lembaran plastis sehingga
dapat direduksi ukurannya.
Waktu pengukusan 20 menit menghasilkan adonan yang lengket
pada roller mesin sheeting, lembaran elastis sehingga tidak bisa ditipiskan,
permukaan lembaran kasar dengan warna pucat (terlalu matang). Hal yang
sama dialami adonan yang dikukus selama 30 menit, namun adonannya
lebih lengket dibandingkan pengukusan selama 20 menit. Hal ini
dikarenakan jumlah pati yang tergelatinisasi akibat pengukusan selama 20
dan 30 menit berlebih sehingga adonan yang dihasilkan menjadi lengket
akibat banyaknya padatan yang berdifusi keluar dari pati
Pengukusan pada suhu yang lebih tinggi dari 90oC dengan waktu
kurang dari 15 menit tidak bisa menghasilkan lembaran yang mempunyai
karakteristik yang sama dengan pengukusan pada suhu 90oC selama 15
menit. Berdasarkan pengamatan saat sheeting waktu pengukusan adonan
yang dipilih dan digunakan untuk proses pembuatan mi jagung selanjutnya
adalah pengukusan menggunakan steam blancher pada suhu 90oC selama
15 menit.
Penyerapan air selama proses pengukusan mengakibatkan partikel
pati membengkak dan kehilangan kekompakan ikatan yaitu sebagian dari
amilosa berdifusi keluar disebabkan oleh pengaruh panas (Janssen, 1993).
Gelatinisasi pada tingkat tertentu menghasilkan adonan yang kohesif,
namun jika gelatinisasi berlebih membuat adonan menjadi lengket.
Proses pengukusan adonan tersebut bertujuan untuk pregelatinisasi
tepung jagung. Tepung yang tergelatinisasi tersebut akan berperan sebagai
bahan pengikat dalam proses pembentukan lembaran dan untaian mi. Pada
proses gelatinisasi, ikatan hidrogen yang mengatur integritas struktur
granula pati akan melemah. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan
menyerap molekul air sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Ketika
granula mengembang, amilosa akan keluar dari granula. Granula hanya
mengandung amilopektin, rusak, dan terperangkap dalam matriks amilosa
membentuk gel (Harper, 1990).
Namun demikian, pengukusan adonan ini hanya bertujuan agar
tepung mengalami gelatinisasi sebagian (pregelatinisasi). Proses
gelatinisasi yang kurang menyebabkan pati tergelatinisasi yang dihasilkan
sedikit dan belum dapat mengikat adonan secara baik. Hal ini
menyebabkan mi rapuh dan mudah patah. Namun bila proses gelatinisasi
berlebih maka adonan yang dihasilkan terlalu matang. Gelatinisasi yang
berlebih menyebabkan adonan menjadi lengket akibat banyaknya padatan
yang berdifusi keluar dari pati (Susilawati, 2007).

3. Penggilingan Adonan
Setelah pengukusan, adonan dicampurkan dengan bagian tepung
jagung kering yang tidak dikukus. Pencampuran dilakukan secara manual
menggunakan tangan. Pencampuran yang kurang sempurna antara adonan
dengan tepung jagung yang tidak dikukus, kesulitan penanganan adonan,
kesulitan saat pembentukan lembaran adonan dan waktu yang lama untuk
pembentukan lembaran mendasari optimasi proses sesudah pengukusan.
Optimasi proses dilakukan dengan menambahkan tahapan proses baru,
yaitu penggilingan.
Penggilingan dapat meningkatkan derajat gelatinisasi (lampiran 5).
Hal ini menyebabkan lebih banyak amilosa yang keluar dari granula pati
dan berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan. Selain itu,
penggilingan juga menyebabkan kompresi terhadap adonan meningkat.
Kompresi menyebabkan adonan lebih kompak dan mudah dibentuk
menjadi lembaran (Susilawati, 2007).
Tabel 17. Pengaruh perlakuan penggilingan terhadap sifat adonan
Perlakuan Sifat adonan
penggilingan (secara visual)
Tanpa grinding Adonan susah ditangani, lembaran adonan
susah dibentuk dan rapuh, bagian tepung
dikukus dengan yang tidak dikukus belum
tercampur merata, waktu pembentukan
lembaran relatif lama
Grinding dengan Penanganan adonan lebih mudah, lembaran
diameter die 0,60 cm mudah dibentuk karena saat keluar dari
grinder adonan sudah berbentuk silinder pejal,
bagian tepung dikukus dengan yang tidak
dikukus tercampur cukup merata, waktu
pembentukan lembaran lebih singkat
Grinding dengan Penanganan adonan lebih mudah, lembaran
diameter die 0,30 cm mudah dibentuk karena saat keluar dari
grinder adonan sudah berbentuk silinder pejal,
bagian tepung dikukus dengan yang tidak
dikukus tercampur cukup merata, waktu
pembentukan lembaran lebih singkat

Tanpa grinding, adonan susah ditangani, lembaran adonan susah


dibentuk dan rapuh, bagian tepung dikukus dengan yang tidak dikukus
belum tercampur merata, waktu pembentukan lembaran relatif lama.
Sedangkan penggilingan menggunakan grinding baik dengan diameter die
0,60 cm ataupun 0,30 cm memberikan pengaruh yang relatif sama
terhadap sifat adonan. Penanganan adonan menjadi lebih mudah, lembaran
mudah dibentuk karena saat keluar dari grinder adonan sudah berbentuk
silinder pejal, bagian tepung dikukus dengan yang tidak dikukus tercampur
cukup merata, waktu pembentukan lembaran lebih singkat.
a) b)
Gambar 9. a) Grinder
b) Dari kiri ke kanan: die grinder d = 0,60 cm, d = 0,30 cm

Kerja ulir pada mesin grinder menghasilkan akumulasi tekanan,


bahan dipaksakan keluar melalui die yang kecil ukurannya (Hariyadi,
2000). Perbandingan kompresi antara dua die plate adalah sebagai berikut:

P1:P2 = :

= n2 x A2 : n1 x A1
2
= 128 x1/4 (0,3) : 75 x 1/4 (0,6)2
= 11,52 : 27
P1:P2 = 3 : 7
Keterangan: P1: kompresi die 0,6 cm
P2: kompresi die 0,3 cm
n : jumlah lubang
A : luas permukaan lubang die (1/4 d2)
Gaya yang dihasilkan dari mesin grinder sama untuk semua diameter die.
Die dengan diameter 0,6 cm memiliki lubang sebanyak 75, sedangkan die
dengan diameter 0,3 memiliki lubang sebanyak 128. Rasio kompresi
antara die berdiameter 0,6 cm dan 0,3 cm adalah 3:7.
Tabel 18. Pengaruh jumlah grinding terhadap sifat adonan
Jumlah Sifat adonan
grinding (secara visual)
1x Adonan yang dikukus dengan tepung jagung kering belum
tercampur merata, setelah disheeting tampak warna
lembaran kurang seragam, ada yang didominasi warna
tepung dikukus dan ada yang didominasi warna tepung
kering
2x Adonan yang dikukus dengan tepung jagung kering
tercampur cukup merata
>2x Terjadi penurunan suhu adonan yang cukup drastis,
sehingga susah untuk dibentuk lembaran (adonan
mengeras)

Grinding sebanyak 1x, membuat adonan yang dikukus dengan


tepung jagung kering belum tercampur merata, setelah disheeting tampak
warna lembaran kurang seragam, ada yang didominasi warna tepung
dikukus dan ada yang didominasi warna tepung kering. Jumlah grinding
sebanyak 2x, membuat adonan yang dikukus dengan tepung jagung kering
tercampur cukup merata. Sedangkan jumlah grinding lebih dari 2x
menyebabkan penurunan suhu adonan yang cukup drastis. Adonan yang
terlanjur dingin susah untuk dibentuk lembaran (adonan mengeras).

Gambar 10. Adonan saat keluar dari grinder


Kompresi yang dihasilkan dari penggilingan menggunakan
grinding mampu meningkatkan sifat kohesif adonan. Sifat ini
memudahkan penanganan adonan saat sheeting. Peningkatan sifat kohesif
sebanding dengan besarnya kompresi yang diberikan saat penggilingan.
Derajat gelatinisasi adonan setelah dikukus sebesar 34,08%.
Setelah penggilingan pertama, derajat gelatinisasi adonan tersebut
meningkat menjadi 37,39% (die 0,60 cm) dan 39,28% (die 0,30 cm),
setelah penggilingan kedua adonan mempunyai derajat gelatinisasi sebesar
37,86% (die 0,60 cm) dan 39,75% (die 0,30 cm). Sedangkan setelah mi
dimatangkan dengan pengukusan suhu 95oC selama 20 menit mempunyai
derajat gelatinisasi sebesar 87,53% (die 0,60 cm) dan 88,00% (die 0,30
cm) (lampiran 5).
Formula dan tahapan proses yang telah dioptimalisasi
menghasilkan mi jagung basah. Dilakukan analisis fisik terhadap mi
jagung basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die
berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm. Mi basah yang dibuat tanpa grinding
tidak dianalisis, hal ini dikarenakan sifat lembaran yang susah dibentuk
sehingga mi yang dihasilkan tidak optimal (mi rapuh dan warna tidak
seragam akibat pencampuran tidak sempurna). Parameter fisik yang diukur
meliputi cooking loss, persen elongasi, dan tekstur (kekerasan, kelengketan
dan kekenyalan).

a. Cooking Loss
Cooking loss menunjukkan banyaknya padatan dalam mi yang
keluar ke dalam air selama proses pemasakan. Hal ini terjadi karena
lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mi. Pati yang terlepas tersuspensi
dalam air rebusan dan menyebabkan kekeruhan. Fraksi pati yang keluar
selain menyebabkan kuah mi menjadi keruh, juga menjadikan kuah mi
lebih kental. Cooking loss merupakan salah satu parameter mutu yang
penting karena berkaitan dengan kualitas mi setelah dimasak.
Hou dan Kruk (1998) menyatakan cooking loss merupakan
parameter terpenting untuk produkproduk mi basah yang diperdagangkan
dalam bentuk matang. Nilai cooking loss yang diinginkan adalah yang
relatif kecil Semakin rendah nilai cooking loss menunjukkan bahwa mi
tersebut memiliki tekstur yang baik dan homogen.

14 12,91 0,83815
Cooking loss (%) 12

10
8,21 0,69356
8

0
0,60 0,30
Diameter die (cm)

Gambar 11. Perbandingan cooking loss mi basah hasil penggilingan


menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm

Tingginya cooking loss dapat menyebabkan tekstur mi menjadi


lemah dan kurang licin. Cooking loss yang tinggi disebabkan oleh kurang
optimumnya matriks pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak
tergelatinisasi (Kurniawati, 2006).
Seperti dapat dilihat pada Gambar 11, mi basah hasil penggilingan
menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (12,91%)
memiliki nilai cooking loss yang lebih tinggi dibandingkan mi basah hasil
penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm
(8,21%).
Penggilingan menggunakan grinding dengan diameter die yang
lebih kecil mampu menurunkan nilai cooking loss. Kompresi yang
dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,30 lebih besar
dibandingkan die berdiameter 0,60 (rasio kompresi die berdiameter 0,60
dan 0,30 adalah 3:7). Kompresi yang lebih besar meningkatkan
kekompakan dan ikatan antar partikel, sehingga cooking loss akan
berkurang.
b. Persen Elongasi
Persen elongasi menunjukkan pertambahan panjang maksimum mi
yang mengalami tarikan sebelum putus. Elongasi dinyatakan dalam satuan
persen (%). Elongasi diukur setelah mi basah dicelup air panas sebanyak
3x (elongasi pencelupan) dan setelah direndam dalam air panas selama 2
menit (elongasi perendaman).

300 268,34 32,56476


250 232,44 21,85390
Persen elongasi (%)

207,62 17,56408 219,96 15,59867


200

150

100

50

0
0,60 0,30
Diameter die (cm)

Elongasi pencelupan Elongasi perendaman

Gambar 12. Perbandingan persen elongasi mi basah hasil penggilingan


menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm

Seperti dapat dilihat pada Gambar 12, mi basah hasil penggilingan


menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (232,44%)
memiliki persen elongasi setelah pencelupan yang lebih kecil
dibandingkan mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding dengan
die berdiameter 0,30 cm (268,34%). Demikian juga untuk persen elongasi
setelah perendaman, mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding
dengan die berdiameter 0,60 cm (207,62%) menunjukkan nilai yang lebih
kecil dibandingkan mi basah hasil penggilingan menggunakan grinding
dengan die berdiameter 0,30 cm (219,96%).
Kompresi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter
0,30 lebih besar dibandingkan die berdiameter 0,60 (rasio kompresi die
berdiameter 0,60 dan 0,30 adalah 3:7). Kompresi yang lebih besar
menyebabkan sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung kering
semakin meningkat. Hal ini menyebabkan elongasi mi yang dihasilkan
dari grinding dengan die berdiameter 0,30 lebih besar dibandingkan mi
yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,60.

c. Kekerasan dan kelengketan


Kekerasan dan kelengketan mi jagung diukur secara instrumental
menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Satuan yang digunakan
untuk menyatakan kekerasan dan kelengketan adalah gram force (gf).
Kekerasan didefinisikan sebagai absolute (+) peak yaitu gaya maksimal,
yang menggambarkan gaya probe untuk menekan mi. Semakin tinggi peak
(puncak kurva) yang ditunjukkan oleh kurva, berarti kekerasan mi akan
semakin meningkat. Kelengketan didefinisikan sebagai absolute (-) peak
yang menggambarkan besarnya usaha untuk menarik probe lepas dari
sampel. Semakin besar luas area negatif yang ditunjukkan oleh kurva,
maka nilai kelengketan mi semakin tinggi.

3000
2418,65 153,9247
2377,73 278,4694
Kekerasan&kelengketan (gf)

2500
2000
1500
1000
500
0
-500 0,60 0,30
-1000 -627,42 67,13576
-1500 -1234,00 90,80208
Diameter die (cm)

Kekerasan Kelengketan

Gambar 13. Perbandingan kekerasan dan kelengketan mi basah hasil


penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan
0,30 cm

Seperti dapat dilihat pada Gambar 13, mi basah hasil penggilingan


menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (2377,73 gf)
menunjukkan nilai kekerasan yang lebih kecil daripada mi basah hasil
penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm
(2418,65 gf). Sedangkan untuk nilai kelengketan, mi basah hasil
penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (-
1234,00 gf) menunjukkan nilai yang lebih besar daripada mi basah hasil
penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm (-
627,42 gf).
Penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter lebih
kecil menyebabkan peningkatan kekerasan dan penurunan kelengketan.
Kompresi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter 0,30 lebih
besar dibandingkan die berdiameter 0,60 (rasio kompresi die berdiameter
0,60 dan 0,30 adalah 3:7). Kompresi yang lebih besar menyebabkan
peningkatan sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung kering
sehingga kekerasan meningkat.

d. Kekenyalan
Kekenyalan (cohesiveness) merupakan kemampuan suatu bahan
untuk kembali ke bentuk semula jika diberi gaya kemudian gaya tersebut
dilepas kembali. Pada produk mi, kekenyalan beserta kekerasan dan
kelengketan merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang
sangat penting. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekenyalan
adalah gram second (gs). Seperti halnya kekerasan dan kelengketan,
kekenyalan juga diukur menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2.
Kekenyalan diperoleh dari rasio antara dua area kompresi. Alat ini
mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai bahan padat (mi)
mengalami perubahan bentuk (deformasi).
0.6
0,5215 0,0331822
0.5

Kekenyalan (gs)
0.4

0.3 0,2591 0,0171912

0.2

0.1

0
0,60 0,30
Diameter die (cm)

Gambar 14. Perbandingan kekenyalan mi basah hasil penggilingan


menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm dan 0,30 cm

Seperti dapat dilihat pada Gambar 14, mi basah hasil penggilingan


menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,60 cm (0,5215 gs)
menunjukkan nilai kekenyalan yang lebih tinggi daripada mi basah hasil
penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30 cm
(0,2591 gs). Penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter
lebih kecil menyebabkan penurunan kekenyalan.
Kompresi yang dihasilkan dari grinding dengan die berdiameter
0,30 lebih besar dibandingkan die berdiameter 0,60 (rasio kompresi die
berdiameter 0,60 dan 0,30 adalah 3:7). Kompresi yang lebih besar
menyebabkan peningkatan sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan
tepung kering sehingga elongasi meningkat. Peningkatan elongasi
menyebabkan meningkatnya kekenyalan. Namun pada pada penelitian ini,
meningkatnya kompresi tidak diikuti dengan meningkatnya kekenyalan.
Hal ini mungkin dikarenakan meningkatnya kekerasan akibat kompresi
yang lebih besar, sehingga kekenyalan cenderung berkurang.

4. Penentuan Jarak Roller pada Proses Reduksi Ukuran


Adonan yang telah digiling dilewatkan di antara dua roll pada
mesin sheeting yang mengubah adonan tersebut menjadi lembaran.
Adonan yang sudah berbentuk lembaran (masih agak tebal) dilewatkan
lagi di antara dua roller pada mesin sheeting yang telah diatur jaraknya
sampai menghasilkan ketebalan tertentu.
Tabel 19. Pengaruh jarak awal roller dan skala perpindahan terhadap sifat
adonan
Jarak Skala perpindahan Sifat adonan
awal (secara visual)
0,50 cm 1 satuan skala Lembaran adonan awal terlalu tebal,
skala perpindahan kurang bertahap
sehingga lembaran lengket dan terlipat
kembali, reduksi ukuran membutuhkan
waktu yang cukup lama
0,5 satuan skala Lembaran adonan awal terlalu tebal,
skala perpindahan kurang bertahap dan
reduksi awal terlalu rapat sehingga
lembaran lengket dan terlipat kembali,
reduksi ukuran membutuhkan waktu
yang cukup lama
perpaduan keduanya Lembaran adonan awal terlalu tebal,
skala perpindahan bertahap sehingga
lembaran tidak terlipat kembali namun
masih lengket, reduksi ukuran
membutuhkan waktu yang cukup lama
0,30 cm 1 satuan skala Lembaran awal ketebalannya pas, skala
perpindahan kurang bertahap sehingga
lembaran lengket dan terlipat kembali,
reduksi ukuran membutuhkan waktu
yang lebih singkat
0,5 satuan skala Lembaran awal ketebalannya pas, skala
perpindahan kurang bertahap sehingga
lembaran lengket dan terlipat kembali,
reduksi ukuran membutuhkan waktu
yang lebih singkat
perpaduan keduanya Lembaran awal ketebalannya pas, skala
perpindahan bertahap sehingga
lembaran mudah direduksi dan hasilnya
tidak terlipat kembali namun masih
lengket, reduksi ukuran membutuhkan
waktu yang lebih singkat
perpaduan keduanya Lembaran awal ketebalannya pas, skala
dengan perlakuan perpindahan bertahap sehingga
dusting lembaran mudah direduksi dan hasilnya
tidak terlipat kembali dan tidak lengket
lengket, reduksi ukuran membutuhkan
waktu yang lebih singkat
Jarak awal 0,50 cm (skala yang tertera pada roller 1,8) biasa
digunakan pada proses pembuatan mi terigu. Sheeting dengan jarak awal
0,50 cm menghasilkan lembaran adonan awal yang terlalu tebal, sehingga
reduksi ukuran sampai menghasilkan lembaran yang siap dislitting
membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan sheeting dengan jarak awal
0,30 cm (skala yang tertera pada roller 1,0) menghasilkan lembaran awal
yang ketebalannya pas, reduksi ukuran sampai menghasilkan lembaran
yang siap dislitting membutuhkan waktu yang lebih singkat.
Skala perpindahan roller juga perlu diatur, karena berpengaruh
terhadap tingkat kemudahan reduksi ukuran dan penanganan lembaran
adonan. Skala perpindahan 1 satuan ( 0,04 cm) terus-menerus sampai
ketebalan lembaran siap dislitting menyebabkan lembaran lengket dan
terlipat kembali. Hal ini terjadi pula pada skala perpindahan 0,5 satuan (
0,02 cm) yang terus-menerus. Sedangkan skala perpindahan yang
dilakukan perpaduan antara keduanya menghasilkan lembaran yang mudah
direduksi dan hasilnya tidak terlipat kembali. Skala perpindahan dimulai
dari skala 1 satuan, dimulai jarak roller 0,3 cm (skala yang tertera pada
roller 0,8); 0,26 cm; 0,22 cm. Pada jarak 0,22 cm, lembaran mulai lengket.
Oleh karena itu dilakukan dusting (pelapisan) menggunakan tepung
jagung. Dusting dilakukan terhadap kedua sisi lembaran, dengan
menaburkan tepung jagung secara bertahap ke permukaan lembaran,
kemudian diratakan dengan telapak tangan. Setelah selesai sisi yang
pertama, lembaran dibalik kemudian dilakukan proses yang sama pada sisi
lembaran yang kedua. Pelapisan menggunakan 12 gram tepung jagung
untuk 1 kg bahan baku.
Kemudian sheeting dilanjutkan dengan skala perpindahan 0,5
satuan, dimulai jarak roller 0,20 cm; 0,18 cm; 0,16 cm; 0,14 cm; dan 0,12
cm. Total sheeting dilakukan sebanyak 8 kali. Ukuran roller dikurangi
secara gradual menyebabkan lembaran yang terbentuk memiliki tekstur
yang halus dan tidak mudah robek.
Selain jarak antar roller, faktor yang mempengaruhi proses
pembentukan lembaran adalah suhu adonan. Untuk pembuatan mi jagung,
adonan yang dilewatkan pada roller sheeting harus dalam keadaan masih
panas. Jika adonan yang digunakan sudah dingin, maka proses
pembentukan lembaran adonan lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini
dikarenakan adonan yang sudah dingin akan mengeras sehingga tidak bisa
ditipiskan.

Gambar 15. Proses pembentukan lembaran adonan

Saat proses pembentukan lembaran, lembaran adonan ditarik ke


satu arah sehingga serat-seratnya sejajar. Menurut Astawan (2005), serat
yang halus dan searah menghasilkan mi yang halus, kenyal, dan cukup
elastis. Mikrostruktur adonan selama pengepresan menyebabkan partikel
endosperma bercampur menyusun matriks dari protein sehingga menjadi
lebih homogen (Kruger, 1996).

Gambar 16. Dari kiri ke kanan: slitter untuk mencetak untaian mi dan
slitter yang dilengkapi dengan lempengan pemotong
Gambar 17. Proses pencetakan untaian mi

Lembaran adonan dengan ketebalan 0.12 cm selanjutnya dicetak


menjadi untaian mi menggunakan roller pencetak mi (slitter) (Gambar
16). Seperti halnya roller pressing, slitter juga terdiri dari dua rol logam
tetapi sekeliling permukaannya telah dibentuk sedemikian rupa sehingga
dapat menjadi cetakan untuk membuat mi. Pada tiap cetakan tersebut
terdapat semacam sisir untuk melepaskan untaian mi dari slitter. Selain itu,
bagian bawah slitter juga dilengkapi dengan lempengan berbentuk siku
yang berfungsi untuk menekan untaian mi yang telah dicetak. Keseluruhan
proses ini menghasilkan mi mentah.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam proses pencetakan untaian
mi adalah jarak antar roller, dan ketajaman sisir pemotong. Jarak antar
roller pada slitter harus disesuaikan dengan jarak roller terakhir saat
pembentukan lembaran (0.12 cm). Hal ini dimaksudkan agar lembaran
tidak terlipat kembali, dan ketebalan lembaran dan untaian mi yang
dihasilkan sama. Ketajaman sisir sangat menentukan mutu untaian mi
yang tercetak. Jika sisir kurang tajam, untaian mi yang tercetak tidak rapi,
permukaannya kasar/bergerigi, ketebalan mi tidak sama, atau bahkan mi
menempel di slitter. Hasil cetakan mi yang kurang rapi berpengaruh
terhadap cooking quality dari mi tersebut karena dapat meningkatkan
cooking loss saat pemasakan.
Keseluruhan proses di atas, mulai dari pembentukan lembaran,
pencetakan, hingga pemotongan untaian mi biasanya dilakukan dalam satu
alat. Mesin mi yang digunakan pada penelitian ini dilengkapi dengan
konveyor berjalan dan memiliki kapasitas produksi sekitar 1-1,5 kilogram.
5. Penentuan Waktu Pengukusan Mi
Untuk menghasilkan mi basah matang, untaian mi yang tercetak
perlu dikukus terlebih dahulu. Pengukusan untaian mi ini bertujuan untuk
menyempurnakan gelatinisasi pati sehingga mi tidak hancur ketika
dimasak.
Seperti halnya pada pengukusan adonan, pengukusan mi ini juga
dilakukan dengan cara pemberian uap. Uap panas dialirkan dari steam
generator atau boiler melalui pipa-pipa menuju steam blancher. Steam
blancher yang digunakan dilengkapi dengan tray-tray untuk menempatkan
mi yang akan dikukus. Proses pengukusan kedua dilakukan pada suhu
95oC dengan variasi waktu 10, 15, 20, dan 30 menit.
Tabel 20. Pengaruh waktu pengukusan mi (95oC) terhadap elongasi mi
Waktu Elongasi mi Tingkat kematangan mi
pengukusan (%)
(menit)
10 136,7 Belum matang
15 148,0 Cukup matang
20 153,5 Matang
30 147,3 Sangat matang (mi mengembang)

Pada pengukusan selama 10 dan 15 menit, mi yang dihasilkan


mempunyai elongasi berturut-turut sebesar 136,7% dan 148,0%, dengan
kondisi mi yang belum cukup matang. Hal ini terlihat masih adanya bagian
dalam mi yang berwarna tepung mentah. Sedangkan pengukusan selama
20 dan 30 menit menghasikan mi dengan elongasi berturut-turut sebesar
153,5% dan 147,3%, dengan kondisi mi yang matang. Namun, mi hasil
pengukusan 20 menit memiliki elongasi yang lebih tinggi dibandingkan mi
hasil pengukusan 30 menit. Demikian pula untuk tingkat kematangan, mi
hasil pengukusan 30 menit terlalu matang, sehingga mi terlihat
mengembang dan berwarna pucat.
Berdasarkan pengamatan elongasi dan tingkat kematangan mi,
waktu pengukusan mi selama 20 menit dipilih sebagai waktu optimum dan
digunakan dalam proses pembuatan mi jagung. Kecukupan proses
penyerapan air saat pengukusan sangat menentukan elongasi mi. Air akan
berdifusi ke dalam granula pati dan menyebabkan pengembangan granula.
Menurut Astawan (2005), proses gelatinisasi ini dapat
menyebabkan pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang
memberikan kelembutan pada mi, meningkatkan daya cerna pati dan
mempengaruhi daya rehidrasi mi, serta terjadi perubahan pati beta menjadi
pati alfa yang lebih mudah dimasak sehingga struktur alfa ini harus
dipertahankan dalam mi kering dengan cara dehidrasi (pengeringan)
sampai kadar air sekitar 11-12%. Selain itu, proses ini menghasilkan mi
yang solid dengan tekstur yang lebih lembut, kenyal, basah, lunak, dan
warnanya menjadi lebih kuning( Merdiyanti, 2008).

6. Penentuan Waktu Optimum Pengovenan


Prinsip utama pengeringan adalah pengeluaran air dari bahan
akibat proses pindah panas yang berhubungan dengan adanya perbedaan
suhu antara permukaan produk dengan permukaan air pada beberapa
lokasi dalam produk. Ukuran bahan yang dikeringkan dapat
mempengaruhi kecepatan waktu pengeringan. Semakin kecil ukuran
bahan, semakin cepat waktu pengeringannya. Hal ini disebabkan bahan
yang berukuran kecil memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga
memudahkan proses penguapan air dari bahan (Wirakartakusumah et al.,
1992).
Pada penelitian ini, metode pengeringan yang digunakan adalah
pengeringan menggunakan panas (oven). Pengovenan dilakukan dengan 3
variasi suhu yaitu: 60, 70 dan 80oC. Variasi suhu dilakukan untuk
menyesuaikan dengan ketersediaan oven yang dimiliki oleh industri.
Waktu pengovenan optimum adalah waktu yang menghasilkan mi kering
yang memenuhi SNI 01-2974-1996 tentang mi kering dengan padatan
minimal 87%, artinya kandungan airnya harus di bawah 13%.
16
13.76
14
10.76 11.49 11.34
12

Kadar air (%)


9.82 9.9
10 8.54 8.17 8.23
8
6
4
2
0
25 30 35 40 45
Waktu (menit)

Suhu 60 derajat celsius Suhu 70 derajat celsius


Suhu 80 derajat celsius

Gambar 18. Grafik hubungan waktu (menit) dengan kadar air (%) pada
suhu 60oC, 70oC, dan 80oC
Seperti dapat dilihat pada Gambar 18 dapat diketahui bahwa waktu
optimum pengovenan yang menghasilkan kadar air sesuai SNI pada suhu
60oC adalah 40 menit dengan kadar air 11,34%; suhu 70oC adalah 30
menit dengan kadar air 11,49%; dan suhu 80oC adalah 25 menit dengan
kadar air 10,76%. Pada industri hal ini dapat diaplikasikan dengan
penggunaan variasi waktu optimum tersebut tergantung suhu oven yang
dimiliki oleh industri.
Menurut Hou dan Kruk (1998), proses pengeringan mi dapat
dilakukan dengan menggunakan udara panas (oven), penggorengan (deep
frying), atau pengeringan vakum (vacuum drying). Pengeringan dengan
udara panas dari oven yang terlalu cepat dapat menyebabkan mi kering
menjadi rapuh. Oleh karena itu, perlu dilakukan kontrol terhadap
temperatur dan kelembaban relatif pada oven pengering.
Mi kering yang diperoleh dengan cara pengeringan memiliki
kandungan lemak yang rendah dan umur simpannya juga lebih lama
karena tidak berhubungan dengan ketengikan akibat adanya sedikit lemak
dalam produk. Selain umur simpannya lebih lama, beberapa keuntungan
dari proses pengeringan antara lain volume bahan menjadi lebih kecil
sehingga memudahkan dan menghemat ruang pengangkutan dan
pengemasan, serta produk menjadi lebih ringan sehingga biaya
pengangkutan menjadi lebih kecil. Namun ada pula kerugian dari proses
pengeringan, diantaranya perubahan sifat asal dari produk seperti bentuk
dan penampakannya, serta sifat fisik dan kimianya yang pada akhirnya
dapat menurunkan mutu produk (Wirakartakusumah et al., 1992).
Mi kering diperoleh dari mi basah yang telah dikeringkan
menggunakan oven. Pengeringan dianggap cukup jika mi mudah
dipatahkan dan tidak menempel lagi pada tray. Menurut Hou dan Kruk
(1998), pengeringan dengan udara panas dari oven yang terlalu cepat dapat
menyebabkan mi kering menjadi rapuh. Oleh karena itu, perlu dilakukan
kontrol terhadap temperatur dan kelembaban relatif pada oven pengering.
Lama waktu pengeringan juga menentukan karakteristik produk akhir
yang dihasilkan. Jika waktu pengeringan terlalu lama, mi kering menjadi
rapuh. Pengeringan harus mampu menurunkan kadar air mi menjadi <
13%.
Selanjutnya, dilakukan analisis fisik terhadap mi jagung kering
hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30
cm.. Parameter fisik yang diukur meliputi cooking loss, waktu rehidrasi,
persen elongasi, dan tekstur (kekerasan, kelengketan dan kekenyalan).

a. Cooking Loss
Seperti dapat dilihat pada Gambar 19, cooking loss terendah
diperoleh dari pengeringan dengan suhu 80oC yaitu sebesar 9,99%.
Pengeringan dengan suhu 60oC menghasilkan mi kering dengan cooking
loss sebesar 10,89%, sedangkan pengeringan dengan suhu 70oC
menghasilkan mi kering dengan cooking loss sebesar 11,42%. Proses
penetrasi panas pada suhu rendah lebih cepat dengan waktu yang lebih
lama menyebabkan meningkatnya kekompakan dan ikatan antar partikel,
sehingga nilai cooking loss akan berkurang. Namun ketika suhunya 80oC
nilai cooking loss menurun lagi.

12

Cooking loss (%) 11.5 11,42 1,24780

11 10,85 0,78549

10.5

10 9,99 1,45887

9.5

9
60 70 80
Suhu pengovenan (derajat Celcius)

Gambar 19. Perbandingan cooking loss mi kering pada suhu pengovenan


yang berbeda

Hou dan Kruk (1998) menyatakan cooking loss merupakan


parameter terpenting untuk produkproduk mi basah yang diperdagangkan
dalam bentuk matang. Nilai cooking loss yang diinginkan adalah yang
relatif kecil. Semakin rendah nilai cooking loss menunjukkan bahwa mi
tersebut memiliki tekstur yang baik dan homogen.
Tingginya cooking loss dapat menyebabkan tekstur mi menjadi
lemah dan kurang licin. Cooking loss yang tinggi disebabkan oleh kurang
optimumnya matriks pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak
tergelatinisasi (Kurniawati, 2006).

b. Waktu Rehidrasi
Waktu rehidrasi adalah waktu yang diperlukan oleh suatu produk
untuk menyerap air kembali setelah mengalami proses pengeringan. Mi
yang direhidrasi selama 2 menit masih agak keras serta terlihat ada spot di
bagian tengah. Hal yang sama didapatkan pada rehidrasi selama 3 menit.
Waktu rehidrasi selama 4 menit menghasilkan mi yang lunak, lembut, dan
tidak ada spot di bagian tengah mi. Sedangkan waktu rehidrasi selama 5
menit menghasilkan mi yang lembek, dan menjadi patah-patah.
Waktu rehidrasi selama 4 menit merupakan waktu rehidrasi mi
jagung kering yang paling optimum. Waktu rehidrasi mi ini sudah
memenuhi persyaratan SII yang menyatakan bahwa waktu masak mi
instan/kering adalah selama 4 menit.
Tabel 21. Penentuan waktu rehidrasi yang optimum
Waktu rehidrasi Sifat mi setelah rehidrasi
(menit)
2 Mi masih agak keras serta terlihat ada spot di
3 bagian tengah mi
4 Mi lunak, lembut, dan tidak ada spot di bagian
tengah mi
5 Mi lembek, dan menjadi patah-patah

Pada saat proses perebusan terjadi pengembangan pati karena


molekul-molekul air yang masuk. Semakin cepat penetrasi air yang masuk,
maka waktu rehidrasi dipersingkat.

c. Persen Elongasi
Persen elongasi menunjukkan pertambahan panjang maksimum mi
yang mengalami tarikan sebelum putus. Elongasi dinyatakan dalam satuan
persen (%). Elongasi diukur setelah mi kering direbus dalam air panas
selama 4 menit.
Seperti dapat dilihat pada Gambar 20, persen elongasi tertinggi
diperoleh dari pengeringan dengan suhu 60oC yaitu sebesar 193,14%.
Pengeringan dengan suhu 70oC menghasilkan mi kering dengan elongasi
166,99%, sedangkan pengeringan dengan suhu 80oC menghasilkan mi
kering dengan elongasi 162,63%. Penetrasi panas pada suhu yang rendah
berlangsung dalam waktu yang lebih lama, menyebabkan meningkatnya
sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering
sehingga elongasi semakin meningkat.
200
195 193,14 13,50782
190

Persen elongasi (%)


185
180
175
170 166,99 19,42538
165 162,63 31,61255
160
155
150
145
60 70 80
Suhu pengovenan (derajat Celcius)

Gambar 20. Perbandingan persen elongasi mi kering pada suhu


pengovenan yang berbeda

d. Kekerasan dan Kelengketan


Kekerasan dan kelengketan mi jagung diukur secara instrumental
menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2. Satuan yang digunakan
untuk menyatakan kekerasan dan kelengketan adalah gram force (gf).
Kekerasan didefinisikan sebagai absolute (+) peak yaitu gaya maksimal,
yang menggambarkan gaya probe untuk menekan mi. Semakin tinggi peak
(puncak kurva) yang ditunjukkan oleh kurva, berarti kekerasan mi akan
semakin meningkat. Kelengketan didefinisikan sebagai absolute (-) peak
yang menggambarkan besarnya usaha untuk menarik probe lepas dari
sampel. Semakin besar luas area negatif yang ditunjukkan oleh kurva,
maka nilai kelengketan mi semakin tinggi.
3500
3135,18 623,49625
3000

Kekerasan&kelengketan (gf)
2500 2408,40 957,4573 2408,83 242,8322
2000
1500
1000
500
0
-500 60 70 80
-1000
-1500 -1057,20 153,04740 -977,46 329,70257 -775,18 137,01540
Suhu pengovenan (derajat Celcius)

Kekerasan Kelengketan

Gambar 21. Perbandingan kekerasan dan kelengketan mi kering pada


suhu pengovenan yang berbeda

Seperti dapat dilihat pada Gambar 21, kekerasan tertinggi diperoleh


dari pengeringan dengan suhu 60oC yaitu sebesar 3135,18 gf. Pengeringan
dengan suhu 70oC menghasilkan mi kering dengan kekerasan sebesar
2408,40 gf, pegeringan dengan suhu 80oC menghasilkan mi kering dengan
kekerasan sebesar 2408,83 gf. Sedangkan nilai kelengketan terendah
dihasilkan dari pengeringan dengan suhu 80oC (-775,18 gf), sedangkan
pengeringan dengan suhu 60oC dan 70oC menghasilkan mi dengan
kelengketan masing-masing sebesar -1057,2 gf dan -977,46 gf.
Pengovenan dengan suhu 60oC menghasilkan mi dengan kekerasan
tertinggi. Penetrasi panas pada suhu yang rendah berlangsung dalam waktu
yang lebih lama, menyebabkan meningkatnya sifat kohesif antara pati
tergelatinisasi dengan tepung jagung kering sehingga kekerasan dan
kelengketan meningkat.

e. Kekenyalan
Seperti dapat dilihat pada Gambar 22, kekenyalan tertinggi
diperoleh pada mi jagung hasil pengovenan pada suhu 70oC (0,415 gs).
Pengovenan pada suhu 60oC dan 80oC menghasilkan mi dengan
kekenyalan masing-masing sebesar 0,3405 gs dan 0,3245 gs.
Secara umum, pengovenan dengan suhu tinggi menghasilkan
kekenyalan yang lebih rendah. Penetrasi panas pada suhu yang tinggi
berlangsung dalam waktu yang lebih singkat, menyebabkan penurunan
sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung kering sehingga
elongasi menurun. Penurunan elongasi menyebabkan menurunnya
kekenyalan.

0.45
0,4151 0,0532079
0.4
0,3405 0,0295739
0.35 0,3245 0,0655804
Kekenyalan (gs)

0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
60 70 80
Suhu pengovenan (derajat Celcius)

Gambar 22. Perbandingan kekenyalan mi kering pada suhu pengovenan


yang berbeda

D. Uji Organoleptik

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji rating hedonik dengan


menggunakan 30 orang panelis tidak terlatih. Nilai 5 diberikan untuk sampel
yang sangat disukai dan nilai 1 untuk sampel yang sangat tidak disukai.
Penilaian panelis kemudian diolah dengan program SPSS 13.0.
Pengujian dilakukan untuk mengetahui perlakuan terbaik dan
pengaruhnya terhadap kekerasan dan kelengketan (tekstur perabaan dengan
tangan dan tekstur gigit) serta penampakan keseluruhan (overall). Perlakuan
yang dilakukan adalah variasi suhu pengovenan yaitu pada suhu 60, 70, dan
80oC.
Tabel 22. Data hasil uji organoleptik mi kering jagung
Parameter Suhu Rata-rata
70oC 60oC
80oC
Kekerasan perabaan tangan p > 0,05 3,15
Kekerasan tekstur gigit 3,50 b 3,03 a 3,20 ab 3,24
Kekenyalan perabaan tangan p > 0,05 3,13
a a b
Kekenyalan tekstur gigit 3,10 3,10 3,50 3,23
Overall p > 0,05 3,53
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada p 0.05

1) Kekerasan
Setiap makanan mempunyai sifat tekstur tersendiri tergantung
keadaan fisik, ukuran, dan bentuknya. Penilaian terhadap tekstur dapat
berupa kekerasan, elastisitas, kerenyahan, kelengketan, dan sebagainya.
Tekstur merupakan penentu terbesar mutu rasa.
Hasil analisis ragam kekerasan dengan perabaan tangan (lampiran
11) menunjukkan bahwa kekerasan ketiga sampel tersebut tidak berbeda
nyata. Nilai rataan kesukaan panelis untuk atribut kekerasan dengan
perabaan tangan adalah 3,15 (netral).

Kekerasan tekstur gigit

3.6 3.5
3.5
3.4
Tingkat kesukaan

3.3
3.2
3.2
3.1 3.03
3
2.9
2.8
2.7
F1 F2 F3
F1: mi kering pengovenan 60oC
F2: mi kering pengovenan 70oC
F3: mi kering pengovenan 80oC

Gambar 23. Hasil analisis organoleptik terhadap atribut kekerasan tekstur


gigit
Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan kekerasan gigit
(lampiran 12) menunjukkan bahwa terjadi perbedaan kekerasan yang nyata
antar sampel. Rataan nilai kesukaan panelis terhadap atribut kekerasan
tekstur gigit berkisar antara 3,03 (netral) sampai 3,53 (netral). Kekerasan
mi kering hasil pengovenan suhu 70oC dan 80oC berada pada subset yang
sama. Nilai rataan tertinggi dimiliki oleh perlakuan pengovenan pada suhu
60oC yaitu 3,50 (netral).
Berdasarkan pengukuran secara objektif menggunakan Tekstur
Analyzer nilai kekerasan mi kering hasil pengovenan suhu 60oC adalah
3135,18 gf. Nilai ini merupakan kekerasan yang paling tinggi diantara
ketiga sampel. Kekerasan mi kering hasil pengovenan pada suhu 70oC dan
80oC masing-masing sebesar 2408,4 gf dan 2408,83 gf. Hal ini
menunjukkan bahwa konsumen lebih menyukai mi yang lebih keras.

2) Kekenyalan
Selain kekerasan, atribut tekstur lain yang diukur adalah
kekenyalan. Kekenyalan merupakan salah satu parameter organoleptik
yang sangat penting.

Kekenyalan tekstur gigit

3.6
3.5
3.5
Tingkat kesukaan

3.4

3.3
3.2
3.1 3.1
3.1

2.9
F1 F2 F3
F1: mi kering pengovenan 60oC
F2: mi kering pengovenan 70oC
F3: mi kering pengovenan 80oC
Gambar 24. Hasil analisis organoleptik terhadap atribut kekenyalan
tekstur gigit
Hasil analisis ragam kekenyalan menggunakan tangan (lampiran
11) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tersebut tidak berbeda nyata.
Sedangkan hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan kekenyalan gigit
(lampiran 12) menunjukkan bahwa terjadi perbedaan kekenyalan yang
nyata antar sampel. Rataan nilai kesukaan panelis terhadap atribut
kekenyalan tekstur gigit berkisar antara 3,1 (netral) sampai 3,5 (netral).
Kekenyalan mi kering hasil pengovenan suhu 60oC dan 70oC berada pada
subset yang sama. Nilai rataan tertinggi dimiliki oleh perlakuan
pengovenan pada suhu 80oC.
Berdasarkan pengukuran secara objektif menggunakan Tekstur
Analyzer nilai kekenyalan mi kering hasil pengovenan suhu 80oC adalah
0,3245 gs. Nilai ini merupakan kekenyalan yang paling rendah diantara
ketiga sampel. Kekenyalan mi kering hasil pengovenan pada suhu 60oC
dan 70oC masing-masing sebesar 0,3405 gs dan 0,415 gs. Hal ini
menunjukkan bahwa konsumen lebih menyukai mi yang kurang kenyal.

3) Overall
Penilaian secara overall meliputi atribut warna dan ukuran mi.
Warna merupakan karakteristik yang menentukan penerimaan atau
penolakan konsumen terhadap suatu produk. Penilaian mutu bahan
makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor antara
lain citarasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya, tetapi sebelum faktor-faktor
lain dipertimbangkan secara visual faktor warna kadang-kadang sangat
menentukan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat
baik tidak akan dimakan bila memiliki warna yang tidak sedap dipandang
atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya.
Hasil analisis ragam (lampiran 13) menunjukkan bahwa atribut
overall ketiga sampel tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan
bahwa secara overall konsumen menyukai semua sampel tersebut. Nilai
rataan kesukaan panelis untuk atribut overall adalah 3,53 (netral).
E. Penyusunan SOP (Standard Operating Procedure) Pembuatan Mi

Jagung

Proses pembuatan mi jagung berbeda dengan pembuatan mi terigu.


Pada pembuatan mi jagung dilakukan proses pregelatinisasi untuk membentuk
pati tergelatinisasi yang berperan sebagai zat pengikat dalam proses
pembentukan lembaran adonan.
Penambahan air yang tidak tepat, serta gelatinisasi yang tidak pas
menyebabkan mi yang dihasilkan memilki kualitas yang rendah. Oleh karena
itu perlu disusun sebuah prosedur tertulis agar proses pembuatan mi berjalan
sesuai dengan standar dan tidak melenceng. Solusinya adalah dengan
menyusun suatu dokumen yang disebut SOP (Standard Operating Prosedur).
SOP merupakan dokumen tingkat kedua dalam struktur dokumentasi
setelah manual mutu (quality manual). Menurut Priyadi (1996), prosedur
adalah cara tertulis yang ditentukan untuk melaksanakan suatu kegiatan oleh
bagian atau personel, dalam hal ini adalah kegiatan produksi. Penggunaan
SOP bertujuan untuk mengatur aliran kegiatan tertentu oleh bagian atau
personil. SOP bermanfaat sebagai standarisasi dalam melaksanakan kegiatan
produksi, mengurangi kesalahan dan kelalaian serta meningkatkan
akuntabilitas.
Berikut SOP (Standard Operating Procedure) pembuatan mi jagung:
1. Timbang bahan-bahan sebagai berikut (untuk 1 kg adonan):
a. Tepung jagung 1kg, pisahkan dalam dua wadah (700 gram : 300 gram)
b. Air 500 mL
c. Garam 10 gram
d. Guar gum 10 gram
2. Buatlah larutan garam dengan cara melarutkan 10 gram garam kedalam
500 mL air.
3. Aduk 700 gram tepung jagung dengan 10 gram guar gum menggunakan
hand mixer selama 5 menit (guar gum dimasukkan secara bertahap ke
dalam tepung jagung). Setelah itu masukkan larutan garam yang telah
dibuat tadi secara bertahap, (penuangan air dilakukan sebanyak 5 kali),
setelah larutan garam dituangkan aduk adonan menggunakan hand mixer
selama 1 menit, kemudian tuangkan larutan garam dan diaduk kembali
begitu seterusnya hingga larutan garam habis.
4. Nyalakan terlebih dahulu steam blancher, buka tutup kran dan tunggu
sampai suhu 90oC tercapai.
5. Adonan yang telah diaduk ditaburkan di atas kain saring yang telah
diletakkan dalam tray steam blancher secara merata dengan ketebalan
0,5 cm.
6. Setelah itu, masukkan tray ke dalam steam blancher yang telah diatur
suhunya sebesar 90oC. Pengukusan dilakukan selama 15 menit.
7. Setelah 15 menit, keluarkan tray dari steam blancher dan angkat kain
saring yang berisi adonan. Pindahkan adonan ke wadah baskom.
8. Aduk secara manual tepung yang telah dikukus dengan 300 gram tepung
jagung kering.
9. Masukkan ke mesin grinding dengan die berdiameter 0,30 cm, dalam
kondisi panas. Pemasukan dilakukan sebanyak 2x agar tepung yang telah
dikukus dengan tepung kering tercampur secara merata. Adonan yang
keluar dari mesin grinding berbentuk silinder pejal.
10. Segera setelah keluar dari mesin penggilingan, adonan dilewatkan alat
pembentuk lembaran (sheeter). Adonan dilewatkan sebanyak 8x, dengan
mengubah ketebalan roller secara bertahap, dimulai dari ukuran roller 0,3
cm; 0,26 cm; 0,22 cm; 0,20 cm, 0,18 cm, 0,16 cm, 0,14 cm dan 0,12 cm.
Saat ketebalan lembaran 0,26 cm dilakukan dusting (pelapisan)
menggunakan tepung jagung (12 gram untuk 1 kg bahan baku) agar
adonan tidak lengket pada roller saat jaraknya direduksi. Proses pelapisan
ini dilakukan terhadap kedua sisi lembaran, dengan menaburkan tepung
jagung secara bertahap ke permukaan lembaran, kemudian diratakan
dengan telapak tangan. Setelah selesai sisi yang pertama, lembaran dibalik
kemudian dilakukan proses yang sama pada sisi lembaran yang kedua.
Saat proses pengepresan ini, lembaran adonan ditarik ke satu arah
sehingga serat-seratnya sejajar.
11. Lembaran adonan yang telah dilewatkan sebanyak 8x dengan ketebalan
0.12 cm selanjutnya dicetak menjadi untaian mi menggunakan roller
pencetak mi (slitter).
12. Untaian mi yang sudah jadi disusun di atas tray untuk kemudian dikukus
menggunakan steam blancher pada suhu 95oC selama 20 menit.
13. Setelah 20 menit, keluarkan tray dari dalam steam blancher. Mi yang
dihasilkan sampai pada tahapan ini adalah mi basah.
14. Untuk membuat mi kering, mi basah tersebut dimasukkan ke dalam oven
pengering.
15. Diamkan selama 5 menit, kemudian mi siap untuk dikemas.
Tabel 23. Trouble shooting selama proses pembuatan mi jagung
Tahap Langkah kerja Masalah yang mungkin dihadapi Solusi
(berdasarkan SOP)
Penimbangan No.1 - -
Pembuatan larutan garam No.2 - -
Pengadukan adonan No.3 Distribusi air dalam adonan tidak Pencampuran air harus dilakukan
merata secara bertahap
Persiapan alat pengukus No.4 dan 5 - -
Pengukusan adonan No.6, 7 dan 8 Setelah tutup steam blancher dibuka, Suhu pengukusan akan tercapai
suhu pengukusan yang terlihat pada kembali 3 menit setelah tutup
termometer kurang dari 90oC steam blancher ditutup kembali
(suplai uap tidak perlu dinaikkan,
karena akan menyebabkan kenaikan
suhu proses yang akan
mempengaruhi kualitas adonan saat
sheeting)
Penggilingan No.9 - -
Sheeting No.10 Adonan lengket pada roller mesin Proses pengukusan harus tepat baik
sheeting, adonan terlalu rapuh dan waktu maupun suhu, yaitu suhu
mudah sobek 90oC selama 15 menit
Slitting No.11 Untaian mi bergerigi, ketebalan mi Sisir pemotong harus tajam, jarak
tidak sama roller saat slitting harus sama
dengan jarak roller terakhir sheeting
Pengukusan mi No.12 Ketidakseragaman suhu Pengukusan harus dilakukan pada
suhu 95oC selama 20 menit
Pengovenan No.13 - -
Pengemasan No.14 - -
Tepung jagung
(700 g)
Guar Gum
(10 g)
Mixing 5 menit
Larutan garam
(10 g garam + 500 mL air)
Mixing 5 menit

Adonan
(1,207 kg)

Pengukusan I
( 90oC 15 menit)

Adonan pre-gelatinisasi
(1,472 kg)
(1,286
Tepung jagung
(300 g)
Grinding 2x

Adonan
pre-gelatinisasi + tepung jagung
(1,461 kg)

Sheeting 8x

Lembaran mi
(1,446 kg)

Slitting

@
@

Untaian mi
(1,446 kg)

Pengukusan II
( 95oC 20 menit)

Mi basah
(1,731 kg)

Oven

Mi kering
(0,971 kg)

Gambar 25. Diagram alir kesetimbangan massa proses pembuatan mi jagung


kering
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Tepung jagung yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari


hasil penggilingan kering. Proses pembuatan mi kering dari tepung jagung
terdiri atas tahapan pencampuran bahan, pengukusan adonan, penggilingan
adonan, pencetakan (sheeting, dan slitting), pengukusan mi, serta pengovenan.
Jumlah air sebesar 50% menghasilkan adonan agak lengket pada roller
mesin sheeting, lembaran yang dihasilkan cukup plastis namun waktu
pembentukan lembaran lama. Bagian adonan yang dikukus sebesar 70%
menghasilkan adonan tidak lengket pada roller mesin sheeting namun waktu
pembentukan lembaran lama dan pencampuran adonan dengan tepung kering
belum merata. Pengukusan dilakukan pada suhu 90oC selama 15 menit
menggunakan steam blancher. Formulasi terpilih terdiri dari tepung jagung
pregelatinisasi (70%), tepung jagung kering (30%), air (50%), garam (1%),
dan guar gum (1%) (persentase dari berat total tepung jagung). Pencampuran
antara tepung jagung pregelatinisasi dan tepung jagung kering dilakukan
dengan penggilingan menggunakan grinding berdiameter die 0,30 cm.
Sheeting dilakukan sebanyak 8x dengan jarak roller 0,3 cm; 0,26 cm;
0,22 cm; 0,20 cm, 0,18 cm, 0,16 cm, 0,14 cm dan 0,12 cm. Saat ketebalan
lembaran 0,26 cm dilakukan dusting menggunakan 12 gram tepung jagung.
Slitting dilakukan saat ketebalan lembaran 0.12 cm. Pengukusan mi
dilakukan pada suhu 95oC selama 20 menit menghasilkan mi dengan elongasi
tertinggi secara visual dan tingkat kematangan yang cukup. Mi basah ini
memiliki nilai cooking loss sebesar 8,21%, elongasi setelah pencelupan
268,34%, elongasi setelah perendaman 219,96%, kekerasan 2418,65 gf,
kelengketan -627,42 gf dan kekenyalan sebesar 0,2591 gs.
Mi kering diperoleh dari mi basah yang mengalami proses pengeringan
menggunakan oven. Pengeringan harus mampu menurunkan kadar air mi
sehingga memenuhi SNI 01-2974-1996 tentang mi kering dengan kandungan
air harus di bawah 13%. Waktu pengovenan yang optimum untuk suhu 60oC,
70oC, dan 80oC masing-masing adalah 40, 30, dan 25 menit. Waktu rehidrasi
mi kering untuk ketiga suhu pengovenan sama yaitu 4 menit.
Dari uji orgenoleptik terhadap mi kering yang dioven suhu 60oC, 70oC,
dan 80oC menunjukkan bahwa kekerasan dan kekenyalan dengan perabaan
tangan ketiga sampel tidak berbeda nyata. Untuk atribut kekerasan dan
kekenyalan tekstur gigit menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata
antar sampel. Untuk kekerasan tekstur gigit, rataan tertinggi dimiliki oleh
perlakuan pengovenan pada suhu 60oC sedangkan untuk kekenyalan tekstur
gigit dimiliki oleh perlakuan pengovenan pada suhu 80oC. Berdasarkan
pengukuran secara objektif menggunakan Tekstur Analyzer nilai kekerasan mi
kering hasil pengovenan suhu 60oC adalah 3135,18 gf (kekerasan paling
tinggi), dan nilai kekenyalan mi kering hasil pengovenan suhu 80oC adalah
0,3245 gs (kekenyalan paling rendah). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen
lebih menyukai mi yang kurang kenyal dan lebih keras.
Sedangkan secara overall menunjukkan bahwa ketiga sampel tersebut
tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa secara overall konsumen
menyukai semua sampel tersebut. Nilai rataan kesukaan panelis untuk atribut
overall adalah 3,53 (netral).

B. Saran

Mi jagung memiliki prospek yang cukup cerah untuk dikembangkan


dalam skala industri. Namun, proses pembuatan mi jagung masih menghadapi
beberapa kendala, diantaranya pada saat pencampuran tepung jagung yang
dikukus dengan tepung jagung kering masih dilakukan secara manual
disebabkan karena keterbatasan alat. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu
dibuat desain alat pencampur yang bisa memecah tepung jagung yang dikukus
dan mencampurnya dengan tepung jagung kering dalam waktu yang cukup
singkat.
DAFTAR PUSTAKA

Anonima. 2007. Jagung. http://id.wikipedia.org/wiki/Jagung. [12 Juni 2008].

Anonimb. 2007. Expert in Food Product Development. http://www.intota.com/


viewbio.asp?bioID=603568&perID=108041&strQuery=pilot+plant+scale%
2Dup. [7 Mei 2008].

Anonimc. 2005. Whats New in Version 7 (The Highlights). http://www.stat-ease.


com. [21 Mei 2008].

Anwar, E., Yusmarlina, D., Rahmat, H., dan Kosasih. 2006. Fosforilasi
Pregelatinasi Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) sebagai Matriks Tablet
Lepas Terkendali Teofilin. Majalah Farmasi Indonesia, 17(1), 37 44.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis, 16th ed. AOAC International,


Gaithersbug, Maryland.

Astawan, M. 2005. Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah


Pengembangan Agribisnis. http://www.litbang.deptan.go.id/special/
komoditas/b1pascapanen. [12 Juni 2008].

Badan Pusat Statistik. 2007. Harvested Area, Yield Rate, and Production of Maize
by Province (2007). http://www.bps.go.id/sector/agri/pangan/table4.shtml.
[12 Juni 2008].

Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2987-


1992. Syarat Mutu Mi Basah. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 1996. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2974-


1996. Syarat Mutu Mi Kering. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

Budiyah. 2004. Pemanfaatan Pati dan Protein Jagung (CGM) dalam Pembuatan
Mi Jagung Instan. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Birch, G. G., Brennan, J. G., Priestly, R. J., dan Sodah, A. G. 1999. The
Molecular Basis of Starch Technology in New Food Product. Di dalam :
Molecular Structure and Function of Food Carbohydrate. Birch,G. G. dan
Green, L. F. (eds). Applied Science Publishers Ltd, London.

Buckle, K. A., Edward R. A., Fleet G. H, Wooton M. 1998. Ilmu Pangan


(Penerjemah: Purnomo H dan Adiono). UI Press, Jakarta.
Darrah, L. L., M. D. McMullen, dan M. S. Zuber. 2003. Breeding, Genetics, and
Seed Corn Production. Di dalam: White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.).
Corn: Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of
Cereal Chemistry Inc., St. Paul, Minnesota, USA.

Effendi, S. dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta.

Etikawati, E. C. 2008. Pengaruh Perlakuan Passing, Konsentrasi Na2CO3, dan


Kadar Air Terhadap Mutu Fisik Mi Basah Jagung yang Dibuat
Menggunakan Ekstruder Ulir Pemasak. Skripsi. Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Fadlillah, H. N. 2005. Verifikasi Formulasi Mi Jagung Instan dalam Rangka


Penggandaan Skala. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc., Basel.

Fuglie, K. O. dan Hermann M. 2001. Sweetpotato Post-Harvest Research and


Development in China. International Potato Center, Bogor.

Harper, J. M. 1990. Extrusion of Foods vol I. CRC Press, Boca Roton, Florida.

Hariyadi, P. 2000. Produk Ekstrudat, Flakes dan Tepung Kedelai. Fakultas


Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Hoseney, R. C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2nd edition.


American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul, Minnesota.

Hou, G. dan M. Kruk. 1998. Asian Noodle Technology.


http://www.secure.aibonline.org /catalog/example/V20Iss12.pdf. [28 Juni
2008].

Intan, A. D. 1997. Mempelajari Proses Produksi Mi Kering dan Mi Instan di PT


Asia Inti Selera, Cimanggis-Bogor. Laporan Praktek Lapang. Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Janssen, L.P.B.M. 1993. Influence of Process on Raw Material Properties. In


Extrusion Cooking. Encyclopaedia of Food Science, Food Technology and
Nutrition. Edited by Macrae, R., Robinson, R.K. and Sadler, M.J. Academic
Press Ltd. London.

Johnson, L. A. 1991. Corn: Production, Procesing, and Utilization. Di dalam:


Lorenz, K. J. dan K. Kulp (eds.). Handbook of Cereal Science and
Technology. Marcell Dekker Inc., New York.
Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mi Jagung Instan Berdasarkan
Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kruger, J. E. 1996. Cereal Processing Technology. Owes G (ed.). 2001.


Woodhead Publishing Limited, England.

Kurniawati, R. D. 2006. Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal


Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten
Meal (CGM). Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Laztity, R. 1996. The Chemistry of Cereal Protein, 2nd edition. CRC Press Inc.,
Boca Raton, Florida.

Merdiyanti, A. 2008. Paket Teknologi Pembuatan Mi Kering dengan


Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Meilgaard, M., G. V. Civille, dan B. T, Carr. 1999. Sensory Evaluation


Techniques 3rd edition. CRC Press, New York.

Oh, N. H., P. A. Seib, dan D. S. Chung. 1995. Noodles III. Effect of processing
variables on the quality characteristic of dry noodles. Cereal Chem. 62(6):
437-440.

Priyadi, G. 1996. Menerapkan SNI Seri 9000: ISO 9000 (Series) Produk
Manufakturing. Buni Aksara, Jakarta.

Rianto, B. F. 2006. Desain Proses Pembuatan dan Formulasi Mi Basah Berbahan


Baku Tepung Jagung. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soraya, A. 2006. Perancangan Proses dan Formulasi Mi Jagung Basah Berbahan


Dasar High Quality Protein Maize Varietas Srikandi Kuning Kering Panen.
Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Swinkels, J. J. M. 1995. Source of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam:


Beynum V. dan J. A. Roels (eds). Starch Conversion Tehnology. Marcel
Dekker Inc., New York, Basel.

Suprapto dan H. A. R. Marzuki. 2005. Bertanam Jagung (edisi revisi). Cetakan


ke-14. Penebar Swadaya, Jakarta.
Susilawati, I. 2007. Mutu Fisik dan Oganoleptik Mi Basah Jagung dengan Teknik
Ekstrusi. Skripsi. Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tanikawa, E. T. dan A. Motohiro. 1995. Marine Products in Japan. Kosersha


Koseikaku Co. Ltd., Tokyo.

Waigh, T.A., Kato, K.L., Donald, A.M., Gidley, M.J., Clarke, C.J., and Riekel, C.
2000. Side-Chain Liquid Crystalline Model for Starch. Starch 52, 450460.

Watson, S. A. 2003. Description, Development, Structure, and Composition of the


Corn Kernel. Di dalam: White, P. J. dan L. A. Johnson (eds.). Corn:
Chemistry and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal
Chemistry Inc., St. Paul, Minnesota, USA.

Winarno, F. G. 2004. Teknologi Pengolahan Jagung. Di dalam: Badan Penelitian


dan Pengembangan Pertanian (ed.). Jagung. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Wirakartakusumah, M. A. 1991. Kinetics of Starch Gelatinization and Water


Absorption in Rice. PhD Disertation, University of Wisconsin, Madison.

Wirakartakusumah, M. A., Subarna, M. Arpah, D. Syah, dan S. I. Budiawati.


1992. Peralatan dan unit proses industri pangan. DEPDIKBUD, Dirjen
Dikti, PAU, IPB, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peralatan penepungan jagung
No. Peralatan Spesifikasi Gambar
1. Multi mill Manufactured by Gansms Limited
Bombay 55
Engineers to the chemical and
pharmaceutical industry
RPM 750 3000
3 H. P 3 440 V
SR. NO. 1452
Ayakan 20 mesh
Kapasitas : 300 kg/jam
Lampiran 1. Lanjutan
No. Peralatan Spesifikasi Gambar
2. Disc mill Ayakan: 60 mesh
Kapasitas : 6.25 kg/jam

Spesifikasi motor listrik:


TECO 3 Phase Induction
Code AEE AO
4 Pole, INS 1
1425 RPM
BS 4999 & 5000
Cont. Rating 198
BRG No. 62066303
SER No. IF 3074
50 Hz, 220 Volt, 8077 A
TECO ELEC & MACH PTE, LTD
Made in Singapore
Lampiran 1. Lanjutan
No. Peralatan Spesifikasi Gambar
3. Vibrating Screen Kotobuki Vibrating Screen
Type : TM 70 25
Date : Nov. 1981
MFG No. 8111922
TOKUJU KOSAKUSHO CO. LTD
TOKYO, JAPAN
Lampiran 1. Lanjutan
No. Peralatan Spesifikasi Gambar
4. Tray dryer PILOT PLANT
Engineering and Equipment GmbH
6072 Dreieich West Germany
H. ORTH GmbH
Masch. Bau u. Verfahrenstechnik, D-6700
Ludwigshafen
Baujahr : 1981
Fabr. Nr. : 2193 / 1
Type : ITHU
Nenntemperatur : 1200C
Frischluftwechsel/min: 4.94 m3
Nutzraum : 2.64 m3
Gesamtdampfraum : 2.88 m3 Stromart
: 3 PH ~
Spannung : 220 / 380 V
Ukuran : 179 x 205 x 155 cm
Jumlah tray : 20 buah (75 x 98 cm)
Sistem pemanas: berasal dari uap panas
yang disuplai dari boiler
Spesifikasi boiler:
Model no: VS 300/80
Power input: 80 KW
Electrical supply: 122 Amps/PH
380 V
3 phase
Test pressure: 1125 kPa
Design pressure: 750 kPa
Lampiran 2. Peralatan produksi mi jagung
No. Peralatan Spesifikasi Gambar
1. Steam Blancher Dimensi:130 x 70 cm
Ukuran tray: 60 x 60 cm
Sistem pemanasan: berasal dari uap panas
yang disuplai dari boiler
Spesifikasi boiler:
Model no: VS 300/80
Power input: 80 KW
Electrical supply: 122 Amps/PH
380 V
3 phase
Test pressure: 1125 kPa
Design pressure: 750 kPa
2. Grinder Alexanderwerk
Masch. Typ : U.G. II
Masch. Nr : 23515
Mot. Nr : 444170 B 35
3,2/4,3 A
1,3/1,8 kW
148/299 U/min
50 P.s.
116 rpm
Dimensi screw: d = 3,5 cm
Lampiran 2. Lanjutan
No. Peralatan Spesifikasi Gambar
3. Mesin mi 124 rpm
Konveyor berjalan ukuran: 100 x 30 cm
Kapasitas : 1-1.5 kg

Spesifikasi motor listrik:


SINGLE PHASE AC MOTOR
Type JY2B-4 HP
1420 RPM CONT CLASS E
110/220 V
11/5,5 A
50 Hz
No. 040113
Made in China
4. Tray dryer Sama dengan spesifikasi tray dryer pada
lampiran1
Lampiran 3. Data elongasi mi jagung secara manual
Waktu steam Elongasi mi secara visual
(menit) Ulangan I (%) Ulangan II (%) Rata-rata
1 2 3 1 2 3 (%)
10 137,0 136,0 137,0 135,0 139,0 136,0 136,7
15 148,0 146,0 147,0 152,0 148,0 147,0 148,0
20 154,0 153,0 153,0 156,0 149,0 156,0 153,5
30 148,0 148,0 144,0 152,0 146,0 146,0 147,3

Lampiran 4. Data kurva standar derajat gelatinisasi


Derajat gelatinisasi Absorbansi
(%)
0 0,004
20 0,011
40 0,018
60 0,026
80 0,045
100 0,056

a = 2,3810.10-4
b = 5,2857.10-4
r = 0,9812
y = 2,3810.10-4 + 5,2857.10-4 x
y : absorbansi
x : derajat gelatinisasi

Lampiran 5. Data derajat gelatinisasi adonan


Perlakuan Pelewatan Derajat Gelatinisasi (%) Rata-rata
U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 (%)
Tanpa penggilingan 0 33,60 35,50 33,60 33,60 34,08
Grinder die 0,60 cm 1 39,28 39,28 33,60 37,39 37,39
2 39,28 33,60 37,39 41,17 37,86
Grinder die 0,30 cm 1 39,28 37,39 41,17 39,28 39,28
2 41,17 39,28 41,17 37,39 39,75
Pengukusan mi - 86,58 88,47 88,47 86,58 87,53
(die 0,60 cm)
Pengukusan mi - 88,47 86,58 86,58 90,36 88,00
(die 0,30 cm)
Lampiran 6. Data cooking loss mi basah jagung
Diameter die Cooking loss (%) Rata-rata SD
(cm) U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 (%)
0,60 13,89 12,15 12,27 13,31 12,91 0,83815
0,30 7,91 7,42 8,48 9,02 8,21 0,69356

Lampiran 7. Data elongasi, kekerasan, kelengketan dan kekenyalan mi basah


jagung
Daimeter Ulangan Elongasi (%) Kekerasan Kelengketan Kekenyalan
die (cm) Pencelupan Perendaman (gf) (gf) (gs)
U1.1 256,56 189,36 2638,7 -1263,57 0,4789
U1.2 243,35 202,38 2219,5 -1165,58 0,5252
0,60 U2.1 207,23 231,38 2585,4 -1349,41 0,5219
U2.2 222,62 207,36 2067,3 -1157,45 0,5599
Rata-rata 232,44 207,62 2377,73 -1234,00 0,5215
SD 21,85390 17,56408 278,4694 90,80208 0,331822
U1.1 252,13 205,26 2419,2 -660,56 0,2730
U1.2 231,11 207,75 2345,3 -627,89 0,2677
0,30 U2.1 302,32 232,19 2632,6 -687,61 0,2612
U2.2 287,78 234,63 2277,5 -533,61 0,2343
Rata-rata 268,34 219,96 2418,65 -627,42 0,2591
SD 32,56476 15,59867 153,9247 67,13576 0,0171912

Lampiran 8. Data kadar air mi jagung setelah pengovenan


Suhu Waktu Ulangan Kadar air
pengovenan (menit) (%)
U1.1 11,77
U1.2 11,91
35 U2.1 15,75
U2.2 15,61
Rata-rata 13,76
U1.1 10,39
U1.2 10,65
60oC 40 U2.1 12,29
U2.2 12,03
Rata-rata 11,34
U1.1 10,49
U1.2 9,95
45 U2.1 9,33
U2.2 9,81
Rata-rata 9,90
U1.1 10,30
U1.2 10,45
30 U2.1 12,58
U2.2 12,62
Rata-rata 11,49
U1.1 9,01
U1.2 9,05
70oC 35 U2.1 10,66
U2.2 10,57
Rata-rata 9,82
U1.1 8,34
U1.2 8,54
40 U2.1 8,02
U2.2 8,02
Rata-rata 8,23
U1.1 10,57
U1.2 10,28
25 U2.1 11,03
U2.2 11,16
Rata-rata 10,76
U1.1 8,09
U1.2 8,10
80oC 30 U2.1 8,98
U2.2 8,98
Rata-rata 8,54
U1.1 7,92
U1.2 7,79
35 U2.1 8,48
U2.2 8,50
Rata-rata 8,17

Lampiran 9. Data cooking loss mi kering jagung


Suhu Cooking loss (%) Rata-rata SD
pengovenan U1.1 U1.2 U2.1 U2.2 (%)
60oC 11,66 9,78 11,07 10,89 10,85 0,78549
70oC 11,54 10,23 13,11 10,80 11,42 1,24780
80oC 8,08 9,84 11,55 10,52 9,99 1,45887
Lampiran 10. Data elongasi, kekerasan, kelengketan dan kekenyalan mi kering
jagung
Suhu Ulangan Elongasi Kekerasan Kelengketan Kekenyalan
pengovenan (%) (gf) (gf) (gs)
U1.1 203,16 2653,3 -1011,13 0,3811
U1.2 195,38 2540,2 -863,44 0,3399
60oC U2.1 200,56 3662,6 -1207,51 0,3297
U2.2 173,47 3684,6 -1146,71 0,3112
Rata-rata 193,14 3135,18 -1057,20 0,3405
SD 13,50782 623,49625 153,04740 0,0295739
U1.1 187,45 1688,3 -825,05 0,4887
U1.2 140,61 1477,8 -590,47 0,3996
70oC U2.1 170,18 3193,7 -1308,97 0,4099
U2.2 169,70 3273,8 -1185,36 0,3621
Rata-rata 166,99 2408,40 -977,46 0,4151
SD 19,42538 957,4573 329,70257 0,0532079
U1.1 140,61 2406,5 -976,35 0,4057
U1.2 207,75 2177,7 -747,37 0,3432
80oC U2.1 161,33 2306,2 -683,58 0,2964
U2.2 140,82 2744,9 -693,41 0,2526
Rata-rata 162,63 2408,83 -775,18 0,3245
SD 31,61255 242,8322 137,01540 0,0655804
Lampiran 11. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Perbedaan Suhu Pengovenan Mi
Jagung terhadap Tekstur dengan Perabaan Tangan

a. Kekerasan
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Kekerasan


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 918.822(a) 32 28.713 47.341 .000
Panelis 19.156 29 .661 1.089 .382
Sampel 3.489 2 1.744 2.876 .064
Error 35.178 58 .607
Total 954.000 90
a R Squared = .963 (Adjusted R Squared = .943)

b. Kekenyalan
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Kekenyalan


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 917.133(a) 32 28.660 61.872 .000
Panelis 33.067 29 1.140 2.462 .002
Sampel .467 2 .233 .504 .607
Error 26.867 58 .463
Total 944.000 90
a R Squared = .972 (Adjusted R Squared = .956)
Lampiran 12. Hasil Analisis Ragam dan Uji Lanjut Duncan Pengaruh Perbedaan
Suhu Pengovenan Mi Jagung terhadap Tekstur Gigit

a. Kekerasan
Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Kekerasan


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 977.356(a) 32 30.542 78.229 .000
Panelis 26.622 29 .918 2.351 .003
Sampel 3.356 2 1.678 4.297 .018
Error 22.644 58 .390
Total 1000.000 90
a R Squared = .977 (Adjusted R Squared = .965)

Uji Lanjut Duncan

Kekerasan
a,b
Duncan
Subset
Sampel N 1 2
B 30 3.03
C 30 3.20 3.20
A 30 3.50
Sig. .306 .068
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .390.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
b Alpha = .05.
Lampiran 12. Lanjutan
b. Kekenyalan
Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Kekenyalan


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 984.200(a) 32 30.756 61.940 .000
Panelis 40.100 29 1.383 2.785 .000
Sampel 3.200 2 1.600 3.222 .047
Error 28.800 58 .497
Total 1013.000 90
a R Squared = .972 (Adjusted R Squared = .956)

Uji Lanjut Duncan


Kekenyalan
a,b
Duncan
Subset
Sampel N 1 2
A 30 3.10
B 30 3.10
C 30 3.50
Sig. 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .497.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
b Alpha = .05.
Lampiran 13. Hasil Analisis Ragam Pengaruh Perbedaan Suhu Pengovenan Mi
Jagung terhadap Penerimaan Overall

Univariate Analysis of Variance


Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Overall


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 1136.733(a) 32 35.523 65.895 .000
Panelis 13.067 29 .451 .836 .696
Sampel .067 2 .033 .062 .940
Error 31.267 58 .539
Total 1168.000 90
a R Squared = .973 (Adjusted R Squared = .958)
Lampiran 14. Kuisioner Uji Organoleptik

Evaluasi Sensori Mi Jagung


Nama :
Tanggal :

Tingkat Penilaian:
5. Sangat suka
4. Suka
3. Netral
2. Tidak suka
1. Sangat tidak suka

a. Tekstur menggunakan tangan


1. Kekerasan dan kekenyalan
Instruksi:
Ambil 1 untai mi, kemudian tekan dengan jari tangan sampai gepeng. Berikan
penilaian terhadap kekerasan dan kekenyalan sampel mi (diurut dari sampel
kiri ke kanan tanpa membandingkan dengan sampel yang lain).

Kode Sampel
Kekerasan
Kekenyalan

b. Tekstur gigit
1. Kekerasan
Instruksi:
Ambil 1 untai mi, kemudian gigit sampai putus. Berikan penilaian terhadap
kekerasan sampel mi (diurut dari sampel kiri ke kanan tanpa
membandingkan dengan sampel yang lain).

Kode Sampel
Kekerasan

2. Kekenyalan
Instruksi:
Ambil 1 untai mi, kemudian dikunyah. Berikan penilaian terhadap
kekenyalan/ kemembalan sampel mi (diurut dari sampel kiri ke kanan tanpa
membandingkan dengan sampel yang lain).
Kode Sampel
Kekenyalan

c. Overall (penampakan keseluruhan: warna, ukuran  diurut dari sampel kiri ke


kanan tanpa membandingkan dengan sampel yang lain)
Kode Sampel
Penilaian
Lampiran 15. Hasil Pengujian Hedonik Rating Mi Jagung
No Nama Tekstur tangan Tekstur gigit Overall

Kekerasan Kekenyalan Kekerasan Kekenyalan


618 471 218 618 471 218 618 471 218 618 471 218 618 471 218
1 Hamigia 4 3 3 3 3 4 3 4 4 3 4 4 3 5 4
2 Ririn 4 3 2 3 3 2 4 4 2 2 4 4 3 4 4
3 Agnani 4 4 4 4 4 5 4 2 4 4 2 4 4 2 5
4 Sri Rini 4 3 3 4 3 3 4 3 3 4 3 3 4 3 3
5 Anto 3 4 3 4 4 3 3 3 3 3 4 4 4 3 4
6 Eka F 3 2 3 3 2 3 3 3 3 3 3 4 3 2 4
7 Stella 4 3 2 3 3 2 3 2 2 2 2 3 3 4 2
8 Anggun 3 2 4 2 4 4 2 2 4 2 2 3 4 4 4
9 Dyah A 4 4 2 4 4 4 4 2 3 2 3 2 4 4 2
10 Ary I 4 2 3 4 3 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4
11 Silvana 3 2 4 4 3 4 4 3 4 3 3 4 3 3 4
12 Endro 4 3 2 3 4 3 3 3 3 3 2 2 3 3 4
13 Ami 2 2 4 2 2 4 3 3 4 3 4 4 3 3 4
14 Dedeh 4 4 4 3 3 2 3 3 2 3 3 2 4 4 4
15 Rian 4 2 4 4 2 4 4 3 3 4 3 3 4 4 4
16 Iqbal 2 2 3 2 3 2 3 2 2 2 3 4 3 3 3
17 Sukma 3 3 2 3 3 2 4 4 3 4 3 3 4 3 2
18 Arif M 2 3 4 2 2 3 3 2 3 3 4 4 3 4 3
19 Qia 4 4 3 2 2 3 4 3 3 3 2 3 4 3 3
20 Chie2 4 3 4 2 3 4 4 3 3 4 3 5 3 3 4
21 Catur P 4 2 3 2 4 4 3 2 3 2 3 4 4 2 4
22 Citra 3 3 4 3 3 4 2 3 4 2 2 4 3 3 4
23 Sabrina 4 4 2 3 4 3 4 4 4 3 3 3 4 3 3
24 Mike 4 3 2 3 2 3 4 2 3 3 4 4 4 4 3
25 Novia 2 2 2 2 3 2 4 4 4 2 2 2 4 4 4
26 Jamal 3 4 3 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 5 4
27 Inke 2 3 3 2 3 2 3 2 2 4 2 2 2 4 3
28 Indi 4 3 2 4 3 2 4 3 2 4 3 2 4 3 3
29 Yoga 4 4 4 4 4 4 4 5 4 4 5 4 4 4 4
30 Akhsay 4 4 3 4 5 4 4 4 4 5 4 5 4 5 3
Jumlah 103 90 91 91 95 97 105 91 96 93 93 104 107 105 106
Rataan 3,43 3,0 3,03 3,03 3,16 3,23 3,5 3,03 3,2 3,1 3,1 3,47 3,57 3,5 3,53

Keterangan Kode :
618: Pengovenan 60oC
471: Pengovenan 70oC
218: Pengovenan 80o
Lampiran 16. Gambar Mi Basah Jagung Lampiran 17. Gambar Mi Kering Jagung

(a) Mi basah die d = 0,30 cm (b) Mi basah die d = 0,60 cm

Anda mungkin juga menyukai