Oleh :
SIGIT NURDYANSYAH PUTRA
F24104026
2008
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Sigit Nurdyansyah Putra. F24104026. Optimalisasi Formula dan Proses
Pembuatan Mi Jagung dengan Metode Kalendering. Di bawah bimbingan: Dr. Ir.
Dahrul Syah, M.Sc dan Ir. Subarna, M.Si.
RINGKASAN
SKRIPSI
Oleh :
SIGIT NURDYANSYAH PUTRA
F24104026
2008
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
SKRIPSI
Oleh :
SIGIT NURDYANSYAH PUTRA
F24104026
Dilahirkan pada tanggal 31 Juli 1986
Di Ngawi
Menyetujui,
Bogor, 12 September 2008
Puji dan Syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat, karunia, serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang
berjudul Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung Metode
Kalendering. Salawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik
secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama
kepada:
1. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku Dosen Pembimbing I yang selalu sabar
dan bijaksana dalam membimbing dan mendukung penulis.
2. Ir. Subarna, MSi. selaku Dosen Pembimbing II atas segala bantuan,
perhatian, masukan dan bimbingannya kepada penulis.
3. Ir. Tjahja Muhandri, Msi. atas bimbingan, dukungan, dan segala masukan
yang diberikan kepada penulis.
4. Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc. atas bimbingan, dukungan, dan segala
masukan yang diberikan kepada penulis.
5. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah
memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.
6. Bapak, Ibu, Mas Hendry, Mba Titis, dan anggota keluarga lainnya atas
doa, kasih sayang, nasehat, dorongan, dan motivasi yang diberikan kepada
penulis.
7. Shoft_Shine atas semangat, dukungan, nasehat yang akan penulis ingat
selalu.
8. Kak Aminullah dan Kak Angga selaku partner penelitian atas bantuan
ilmu, tenaga, dan waktu.
9. Rekan-rekan sebimbingan: Shofia, Gina, dan Rizqi atas dukungan,
bantuan, dan perhatiannya kepada penulis.
10. Kak Angel dan kak Gilang ITP 40 yang telah membantu penulis di awal-
awal penelitian.
11. Teman-teman ETOS 41: Slamet, Aang, Agus, Malik, Eko, Aris, Defa,
Novita, Umul, Giyarti, Risma, Ana atas persahabatan, dukungan, dan
kemurahan hati kalian selama ini.
12. Keluarga Besar ETOS Bogor: Ust. Arif Hartoyo, Ust. Karantiano, Ust.
Asep Nurhalim, Mas Budi, Mas Supri, Mas Nurmaulana, Mas Andri, Mas
Febri, Mba Nisa, Deden, Bams, TJ, Yuda, Deni, Saiful, Rinto, Salman,
Deni, Wahyu, Dedi, AW, Eful, Iful, Dodik, dll . Kalian membuat hari
hariku penuh dengan keceriaan dan canda tawa.
13. Teman-teman di Al-Inayah: Mas Krist, Mas Bambang, Mas Habro, Mas
Yose, Mas Rio, Taqi, Rangga, Ahmad, Syaiful, Toni, Wely, Gina, Dika,
Eko, Yaya, Roby, Fuad, Anas, Hanif, Yudi, Syahroni, Triyadi, Fakih,
Rudi, Triono, Kamal, Omen, Hans atas kebersamaan, dukungan, dan
nasehat-nasehatnya yang sangat berharga bagi penulis.
14. Sahabat-sahabat ITP 41 atas dukungan, kebersamaan, dan persahabatan
yang penuh warna.
15. Pak Junaedi, Pak Deni, Pak Wahid, Pak Rozak, Teh Ida, Bu Antin, Bu
Rubiyah, Pak Yahya, Mas Edi, Pak Iyas, Pak Nur, dan semua laboran di
laboratorium ITP lainnya atas bantuan dan kerjasamanya.
16. Terakhir kepada semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah banyak mendukung penulis selama ini. Terima kasih banyak.
Penulis
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
C. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini yaitu menghasilkan formula dan desain proses
produksi mi jagung yang sesuai untuk diaplikasikan ke skala komersial, yaitu
skala industri kecil.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG
Jenis Jagung
Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman bijibijian
dari keluarga rumputrumputan (Graminae). Jagung diklasifikasikan ke dalam
divisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, Ordo Poales, Famili Poaceae, dan
Genus Zea. Menurut sejarahnya, tanaman jagung berasal dari Amerika dan
merupakan tanaman sereal yang paling penting di benua tersebut (Anonima,
2007). Berdasarkan bentuk bijinya (kernel), ada 6 tipe utama jagung, yaitu dent,
flint, flour, sweet, pop, dan pod corns (Darrah et al., 2003).
Protein terbanyak dalam jagung adalah zein (prolamin) dan glutelin. Zein
merupakan protein yang larut dalam 70% etanol dan terdiri dari beberapa
komponen, yaitu , , , dan -zein. -zein merupakan prolamin terbanyak dalam
biji jagung (70% dari total zein). Bila dibandingkan dengan -zein, -zein
mengandung sejumlah besar asam amino sistein dan metionin tetapi kekurangan
asam amino glutamin, leusin, dan prolin. -zein merupakan prolamin terbanyak
kedua dalam biji jagung (20% dari total zein). Seperti halnya -zein dan -zein, -
zein juga kekurangan asam amino lisin dan triptofan tetapi kaya akan asam amino
prolin dan sistein. Sedangkan -zein kaya akan asam amino metionin (Lawton dan
Wilson, 2003). Adapun glutelin yang larut dalam asam atau basa memiliki jumlah
asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein,
tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1996).
Jagung Pioneer-21
Jagung Varietas P-21 (Pioneer-21) memiliki umur panen 100 hari. Tepung
jagung yang dihasilkan memiliki kandungan lemak yang rendah yaitu 1,73 %.
Kandungan lemak yang rendah disebabkan adanya proses degerminasi
(pemisahan lembaga) pada saat proses penepungan. Lembaga merupakan bagian
biji jagung yang kaya akan lemak sehingga akan menyebabkan tepung jagung
cepat menjadi tengik bila tidak dipisahkan.
Tabel 2. Komposisi kimia tepung jagung P-21 (Etikawati, 2008)
Kadar Komponen (%)
Kadar air 5.46
Protein 6.32
Lemak 1.73
Abu 0.31
Karbohidrat 86.18
Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi
terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa
mempunyai struktur lurus dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin
mempunyai cabang dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa (Winarno, 2004).
Kandungan total pati, amilosa, dan amilopektin dari tepung jagung varietas P-21
ditunjukkan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Kadar pati, amilosa, dan amilopektin tepung jagung P-21 (Etikawati,
2008)
Komponen Kadar (%)
Amilosa 23.04
Amilopektin 43.52
Total pati 66.56
Tepung jagung P-21 memiliki derajat Hue 82.65 yang berarti tepung ini
memiliki warna yellow red (Etikawati, 2008). Warna kuning pada tepung jagung
disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat pada biji jagung. Xantofil
termasuk dalam pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil. Warna kuning
tepung jagung tentunya akan berpengaruh terhadap mi yang dihasilkan. Lebih
lanjut warna kuning pada tepung jagung juga menunjukkan karakteristik khas dari
mi yang dihasilkan. Fadlillah (2005) menyatakan bahwa mi jagung yang berwarna
kuning merupakan keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu karena tidak
memerlukan lagi bahan tambahan pewarna untuk menghasilkan mi yang berwarna
kuning.
B. PATI JAGUNG
Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena, merupakan
produk olahan jagung yang diperoleh dari hasil penggilingan basah (wet milling)
dengan cara memisahkan komponen-komponen non-pati seperti serat kasar,
lemak, dan protein. Pati jagung merupakan salah satu jenis bahan pengikat.
Menurut Tanikawa dan Motohiro (1995), bahan pengikat berfungsi untuk
menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang,
meningkatkan elastisitas produk, membentuk tekstur yang padat, dan menarik air
dari adonan. Pati jagung juga berfungsi sebagai bahan pengisi. Bahan-bahan yang
termasuk ke dalam bahan pengisi diantaranya adalah gum, pati, dekstrin, turun-
turunan dari protein, dan bahan-bahan lainnya yang dapat menstabilkan,
memekatkan atau mengentalkan makanan yang dicampur dengan air untuk
membentuk kekentalan tertentu.
Karakteristik fungsional pati untuk aplikasi bahan pangan sangat
ditentukan oleh karakteristik kimianya. Pati merupakan homopolimer glukosa
dengan ikatan -glikosidik yang tersusun dari amilosa dan amilopektin. Pada
umumnya, pati mengandung 2530% amilosa dan 7075% amilopektin. Menurut
Hoseney (1998), amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan -(1,4)
dari struktur cincin piranosa, yang membentuk rantai lurus terdiri dari 500-2000
unit glukosa. Umumnya amilosa dikatakan sebagai bentuk linier dari pati. Berat
molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang
digunakan, biasanya sekitar 250.000 (untuk 1500 unit anhidroglukosa).
Amilopektin seperti halnya amilosa juga mempunyai ikatan -(1,4) pada rantai
lurusnya, serta ikatan -(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan
tersebut berjumlah sekitar 45% dari seluruh ikatan yang ada pada amilopektin.
Bobot molekul amilopektin berkisar antara 1075x108 (Fennema, 1996).
Mauro et al. (2003) mengatakan bahwa pati jagung terdiri dari 73%
amilopektin dan 27% amilosa. Namun demikian, terdapat varietas jagung yang
tersusun seluruhnya (100%) dari amilopektin yaitu jenis waxy/glutinous corn.
Sebaliknya, terdapat pula varietas jagung yang mengandung amilosa dalam
jumlah yang tinggi (50-75%). Varietas tersebut dinamakan high-amylose corn.
Secara alami, bentuk asli pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering
disebut granula. Secara mikroskopik, campuran molekul dalam granula pati
berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang
berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat
mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum. Letak hilum dalam granula
pati ada yang di tengah dan ada yang di tepi. Granula pati dari golongan tanaman
Graminae (beras, jagung, dan gandum) mempunyai hilum yang terletak di tengah.
Sedangkan granula pati pada kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi.
Tabel 4. Karakteristik granula pati
Jenis pati Ukuran granula (m) Bentuk granula
Padi 3-8 Poligonal
Gandum 20-35 Lentikular atau bulat
Jagung 15 Polihedral atau bulat
Sorgum 25 Bulat
Rye 28 Lentikular atau bulat
Barley 20-25 Bulat atau elips
Sumber: Hoseney (1998)
C. GELATINISASI PATI
Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi
Granula pati bersifat tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang
dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-
balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak
bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Fennema, 1996).
Gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan serangkaian
kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan
dalam air.
Perubahan-perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi yaitu granula
pati akan kehilangan sifat birefringence, yaitu sifat yang dapat merefleksikan atau
memantulkan cahaya terpolarisasi sehingga akan tampak seperti susunan kristal
gelap terang (biru-kuning) di bawah mikroskop (Hoseney, 1998). Selain itu,
granula pati juga akan mengalami hidrasi dan mengembang, molekul amilosa
larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati akan berkurang yang diikuti dengan
semakin kuatnya ikatan antar granula, kekentalan (viskositas) semakin meningkat,
dan kejernihan pasta juga akan meningkat. Terjadinya peningkatan viskositas
disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum
suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat
bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 2004).
D. RETROGRADASI
Retrogradasi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena
rekristalisasi pati yang tergelatinisasi. Beberapa perubahan sifat reologi yang
terjadi karena proses retrogradasi antara lain adalah meningkatnya kekerasan atau
kerapuhan. Selama penyimpanan, retrogradasi dapat terlihat dari hilangnya sifat
pengikatan air dan terbentuknya kembali fraksi kristalin. Berbeda dengan fraksi
kristalin pada pati yang utamanya tersusun oleh amilopektin, penyusun utama
struktur kristalin pati teretrogradasi adalah amilosa.
Lebih lanjut, Swinkle (1995) menyebutkan beberapa fenomena yang
terjadi akibat retrogradasi. Fenomena-fenomena tersebut antara lain: 1)
meningkatnya viskositas, 2) terbentuknya lapisan tak larut pada pasta panas, 3)
terbentuknya endapan partikel pati yang tidak larut, 4) terbentuknya gel, dan 5)
keluarnya air dari pasta (sineresis).
Retrogradasi adalah peristiwa yang komplek dan tergantung dari banyak
faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi peristiwa retrogradasi adalah tipe
pati, konsentrasi pati, prosedur pemasakan, suhu, waktu penyimpanan, pH,
prosedur pendinginan, dan keberadaan komponen lain (Swinkle, 1995). Peristiwa
retrogradasi lebih mudah terjadi pada suhu rendah dengan konsentrasi pati tinggi.
Kecepatan retrogradasi optimum pada pH 5-7 dan menurun pada pH dibawah atau
diatas rentang pH tersebut. Retrogradasi tidak terjadi pada pH diatas 10 dan
sangat lambat pada pH dibawah 2.
Fraksi pati yang berperan pada peristiwa retrogradasi adalah fraksi
amilosa. Fraksi amilosa yang terlarut dapat berikatan satu sama lain membentuk
agregrat yang tidak larut air. Dalam larutan (konsentrasi pati rendah), agregat
amilosa akan membentuk endapan. Tetapi pada dispersi yang lebih terkonsentrasi
(konsentrasi pati lebih tinggi), agregrat amilosa akan memerangkap air dan
membentuk gel. Ukuran fraksi amilosa juga berperan penting terhadap laju
retrogradasi. Retrogradasi akan optimum pada fraksi amilosa pada derajat
polimerisasi 100-200 unit glukosa. Fraksi amilopektin kurang berperan dalam
peristiwa retrogradasi. Amilopektin bisa mengalami retrogradasi pada kondisi
ekstrim, misalnya pada konsentrasi pati tinggi, atau pada suhu pembekuan.
Peristiwa staling pada roti adalah salah satu contoh retrogradasi yang disebabkan
oleh amilopektin.
Jenis pati juga berpengaruh terhadap laju retrogradasi. Pati serealia lebih
cepat mengalami retrogradasi dibandingkan pati kentang atau tapioca. Menurut
Swinkle (1995) hal ini disebabkan tingginya kadar amilosa pati serealia, ukuran
molekul amilosa kecil (DP 200-1200), dan tingginya kandungan lemak. Tingginya
kandungan lemak dapat mendorong terjadinya retrogradasi.
E. MI
Mi Basah
Menurut Astawan (2005), mi basah adalah jenis mi yang mengalami
pemasakan setelah tahap pemotongan. Sedangkan menurut Dewan Standarisasi
Nasional (1992), definisi mi basah adalah produk pangan yang terbuat dari tepung
terigu dengan atau tanpa penambahan bahan lain dan bahan tambahan pangan
yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Mi basah memiliki
kadar air maksimal 35% (b/b).
Berdasarkan bahan baku yang digunakan, ada dua macam mi yaitu mi
yang berbasis protein dan mi yang berbasis pati. Bahan baku mi berbasis protein
berasal dari gandum. Sedangkan bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal
dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorgum (Fuglie dan Hermann, 2001).
Berdasarkan bentuk produk mi yang ada di pasaran, mi dapat
diklasifikasikan menjadi mi basah mentah yaitu mi yang diproses tanpa
pemasakan dan pengeringan, mi basah matang yaitu mi basah yang mengalami
pemasakan dan tanpa pengeringan, serta mi kering yaitu mi yang mengalami
pengeringan (Anonimb, 2007).
Kualitas mi basah menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 4. Produk mi
umumnya digunakan sebagai sumber energi karena kandungan karbohidratnya
relatif tinggi.
Tabel 6. Syarat Mutu Mi Basah (SNI 01-2987-1992)
No. Kriteria uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan :
1.1. bau Normal
1.2. rasa Normal
1.3. warna Normal
2. Kadar air % b/b 20 35
3. Kadar abu (dihitung atas dasar % b/b Maks. 3
bahan kering)
4. Kadar protein ((N x 6,25) % b/b Min. 3
dihitung atas dasar bahan
kering)
5. Bahan tambahan pangan
5.1 boraks dan asam borat Tidak boleh ada
5.2 pewarna Sesuai SNI-022-M
dan peraturan
MenKes No.
722/MenKes/Per/IX/
88
5.3 formalin Tidak boleh ada
6 Cemaran logam
6.1 timbal (Pb) Maks. 1,0
6.2 tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10,0
6.3 seng (Zn) Maks. 40,0
6.4 raksa (Hg) Maks 0,05
7. Arsen (As) mg/kg Maks 0,05
8. Cemaran mikroba :
8.1 angka lempeng total Koloni/g Maks 1,0 x 106
8.2 E. Coli APM/g Maks. 10
8.3 kapang Koloni/g Maks 1,0 x 104
Mi Kering
Menurut SNI 01-2974-1996, mi kering didefinisikan sebagai produk
makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan
makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi.
Mi dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87%, artinya
kandungan airnya harus di bawah 13%. Karakteristik yang disukai dari mi kering
adalah memiliki penampakan putih, hanya sedikit yang terpecah-pecah selama
pemasakan, memiliki permukaan yang lembut, dan tidak ditumbuhi mikroba (Oh
et al., 1995). Syarat mutu mi kering dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 7. Syarat Mutu Mi Kering (SNI 01-2974-1996)
Persyaratan Persyaratan
No Jenis Uji Satuan
Mutu I Mutu II
Keadaan:
1.1 Bau Normal Normal
1. -
1.2 Warna Normal Normal
1.3 Rasa Normal Normal
2. Air % b/b Maks. 8 Maks. 10
4. Protein (N x 6,25) % b/b Min. 11 Min. 8
Bahan Tambahan
Makanan:
5. 5.1 Boraks Tidak boleh ada
5.2 Pewarna sesuai dengan
Tambahan SNI 01-0222-1995
Cemaran Logam:
6.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1,0 Maks. 1,0
6. 6.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10,0 Maks. 10,0
6.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0
6.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,05 Maks. 0,05
7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5 Maks. 0,5
Cemaran
mikroba:
8.1 Angka
8. koloni/g Maks. 1,0 x 106 Maks. 1,0 x 106
lempeng total
8.2 E. coli APM/g Maks. 10 Maks. 10
8.3 Kapang koloni/g Maks. 1,0 x 104 Maks. 1,0 x 104
Mi Jagung
Mi jagung merupakan mi dengan bahan baku utama pati atau tepung
jagung. Proses pembuatan mi jagung dengan pembentukan lembaran terdiri dari
beberapa tahap yaitu pencampuran bahan, pengukusan adonan, sheeting, slitting,
pengukusan mi. Proses pengolahan mi basah jagung berbeda dengan proses
pengolahan mi basah terigu karena setelah pencampuran bahan baku dilakukan
pengukusan adonan. Pengukusan dilakukan agar adonan dapat dibentuk dan
dicetak menjadi mi. Pada terigu, yang berperan penting dalam pembentukan
adonan adalah protein, sedangkan pada jagung yang berpengaruh terhadap adonan
adalah patinya.
Pembuatan mi jagung dengan teknik calendering diawali dengan
pencampuran tepung jagung dengan larutan garam (1% garam dilarutkan dalam
air) dan guar gum 1%.
Tabel 8. Pengaruh penambahan beberapa bahan tambahan makanan (BTM)
terhadap cooking loss dan kelengketan (Fadlillah, 2005)
No. BTM Kelengketan Cooking loss Keterangan
1. Guar Gum ++ ++++ Konsentrasi 1%
2. K2CO3 dan +++++ ++++++++ Warna berubah menjadi
Na2CO3 gelap
3. RESL/ ++++ +++++ Konsentrasi 1%
Alginat
4. Tawas ++++ ++++++++ Konsentrasi 1%
(Alum)
5. CMC ++++ +++++ Konsentrasi 1%
6. Tawas- ++++ ++++++ Masing-masing
alginat konsentrasi 1%
Keterangan:
Kelengketan : + (tingkat kelengketan, makin banyak makin lengket)
Cooking loss : + (tingkat kekeruhan air, makin banyak berarti makin keruh, pati
yang larut makin tinggi)
CMC, guar gum, dan alginat dapat berfungsi sebagai pengikat komponen-
komponen adonan, sehingga ketika mi dimasak komponen-komponen tersebut
tidak lepas. Penambahan guar gum dengan konsentrasi 1% memiliki pengaruh
yang paling besar dalam mengurangi kelengketan dan cooking loss. Penambahan
RSEL (alginat), CMC, tawas dan (K2CO3 dan Na2CO3) tidak telalu
mempengaruhi kelengketan dan cooking loss (Fadlillah (2005).
Tabel 9. Pengaruh jumlah air yang ditambahkan terhadap karakteristik adonan
(Kurniawati, 2006)
Jumlah air yang Hasil pengamatan
ditambahkan
30% Adonan cukup basah dan bisa dikukus
33% Adonan masih terlalu basah, perlu dikepal saat dikukus
35% Adonan terlalu basah dan tidak dapat dikukus
3. Mie Tepung jagung 70% tepung jagung basah + Analisis fisik Soraya, A. 2006.
jagung varietas srikandi garam + baking powder Warna mi jagung basah Perancangan proses dan
o
basah kuning kering panen Hue: 92,8 (kuning) formulasi mie jagung basah
(HQPM) (100 g), Pengukusan adonan (5 menit) Persen elongasi: 14,7% berbahan dasar High Quality
garam (0,6%), Resistensi terhadap tarikan: Protein Maize varietas
baking powder Pencampuran dengan 30% 9,9 gf srikandi kuning kering
(0,2%), guar gum tepung jagung kering Kekerasan: 736,49 gf panen. Skripsi. Departemen
(0,6%). Kelengketan: 558,48 gf Ilmu dan teknologi Pangan,
@ KPAP: 10,10% FATETA, IPB, Bogor.
@ Analisis kimia
Kadar air: 62,03% (bb)
Pressing, slitting, cutting Kadar abu: 0,82%
Kadar protein: 7,63%
Perebusan (1,5 menit) Kadar lemak: 7,05%
Kadar karbohidrat: 59,18%
Perendaman dalam
air dingin (10 detik)
Mi basah matang
4. Mie Maizena (90 g), bagian maizena + CGM + Analisis fisik Kurniawati, R. D. 2006.
jagung Corn Gluten Meal CMC/guar gum + air + garam Persen elongasi: 15,86% Penentuan desain proses dan
basah (CGM) (10 g), air + baking powder Resistensi terhadap tarikan: formulasi optimal
(30 ml), CMC (1%), 15,73 gf pembuatan mie jagung
garam (1%), baking Pencampuran sampai homogen Kekerasan: 964,89 gf basah berbahan dasar pati
powder (0,3%), pati Kelengketan: -251,2 gf jagung dan Corn Gluten
kacang hijau (5%), Pengukusan adonan (3 menit) KPAP terendah diperoleh Meal (CGM). . Skripsi.
guar gum (1%) pada pengunaan guar gum Departemen Ilmu dan
Penambahan dengan sisa dengan konsentrasi: 1% teknologi Pangan, FATETA,
bagian maizena IPB, Bogor.
Analisis kimia
Pencampuran sampai homogen Kadar air: 63,71% (bb)
Kadar abu: 0,41%
Pressing, slitting, cutting
Kadar protein: 7,14%
Kadar lemak: 4,49%
Perebusan (2,5 menit)
Kadar karbohidrat: 87,99%
@
@
Perendaman dalam air dingin
(15 detik)
Penirisan
Penambahan minyak (2%)
Mi jagung basah matang
5. Mie Maizena (90%), Maizena + gluten terigu Analisis fisik Fadlillah, H. N. 2005.
jagung gluten terigu : CGM + CGM + air + garam + Persen elongasi: 150.63% Verifikasi formulasi mie
instan (10%; 9:1), air (35% baking powder + CMC Kekerasan: 53.33 Kgf jagung instan dalam rangka
total adonan), garam penggandaan skala. Skripsi.
(1%), baking Pencampuran Departemen Ilmu dan
powder (0,3%), teknologi Pangan, FATETA,
CMC (1%) Pengukusan I (10 menit) IPB, Bogor.
Pengadukan sampai
adonan kalis
Pressing, slitting, cutting
Pengukusan II (10 menit)
@
@
Pengeringan dengan oven
(60-70 oC) selama 2 jam
Mi jagung instan
6. Mie Pati jagung (90%), bagian pati jagung Analisis fisik Budiyah. 2004. Pemanfaatan
jagung Corn Gluten Meal + air + CGM Ketebalan mi: 0,43-0,47 mm pati dan protein jagung
instan (CGM) (10%), air KPAP: 24,39% (CGM) dalam pembuatan
(35%), CMC (1%), Pencampuran Daya serap air: 75% mie jagung instan. Skripsi.
garam (1%), baking Waktu rehidrasi: 4 menit Departemen Ilmu dan
powder (0,3%) Pengukusan I (7 menit) teknologi Pangan, FATETA,
Analisis kimia IPB, Bogor.
Penambahan dengan sisa Kadar air: 7,95% (bb)
bagian pati jagung + garam + Kadar abu: 1,26%
CMC + baking powder
Kadar protein: 3,43%
Kadar lemak: 2,52%
Pencampuran sampai kalis
Kadar karbohidrat: 84,84%
Pressing, slitting, cutting Nilai energi: 376 kalori
Pengukusan II (10 menit)
Pengeringan dengan oven
(60-70 oC) selama 2 jam
Mi jagung instan
7. Mie Tepung jagung : air Tepung jagung + air + garam Analisis fisik Juniawati. 2003. Optimasi
jagung (1:1), baking + baking powder Warna mi jagung oHue: 54- proses pengolahan mie
instan powder (0.3%), 90 (yellow red) jagung instan berdasarkan
garam Pencampuran Tingkat gelatinisasi: 80,77% kajian preferensi konsumen.
KPAP: 8,47% Skripsi. Departemen Ilmu
Pengukusan I (15 menit) Daya serap air: 91,97% dan teknologi Pangan,
Waktu rehidrasi: 7 menit FATETA, IPB, Bogor.
Pressing, slitting, cutting
Analisis kimia
Pengukusan II (15 menit) Kadar air: 11,67% (bb)
Kadar abu: 1,20%
Pengeringan dengan oven
Kadar protein: 6,16%
(60-70 oC) selama 1-2 jam
Kadar lemak: 2,27%
Mi jagung instan Kadar karbohidrat: 78,69%
Kadar pati: 65,92%
Kadar serat makanan: 6,80%
Nilai energi: 360 kkal/100 g
III. METODOLOGI PENELITIAN
B. Metoda Penelitian
1. Pembuatan Tepung Jagung
Proses pembuatan tepung jagung diawali dengan penggilingan
menggunakan hammer mill yang menghasilkan grits, lembaga, kulit dan
tip cap. Kemudian hasil penggilingan direndam dalam air untuk
memisahkan bagian endosperm jagung dengan lembaga, kulit dan tip
cap. Bagian yang tenggelam adalah endosperm yang dipakai pada
penggilingan berikutnya, sedangkan bagian yang mengapung adalah
lembaga, kulit dan tip cap yang dipisahkan dengan saringan yang
selanjutnya akan dibuang. Endosperm yang sudah dipisahkan ditiriskan,
kemudian digiling menggunakan disc mill, yang bertujuan untuk
memperhalus ukuran grits menjadi tepung. Untuk menghasilkan tepung
jagung yang halus dan homogen, maka dilakukan pengayakan
menggunakan vibrating screen dengan ukuran mesh 100.
Jagung kering pipil
Grits, lembaga,
tip cap, dan kulit
Grits jagung
Penggilingan II (discmill)
Tepung kasar
Pengayakan 100mesh
(vibrating screen)
Tepung jagung
100mesh
Tabel 12. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA (Texture Profile
Analysis)
Parameter Setting
Pre test speed 2,.0 mm/s
Test speed 0,1 mm/s
Post test speed 2,0 mm/s
Rupture test speed 1,0 mm
Distance 75%
Force 100 g
Time 5 sec
Count 2
a
b
b= x 100%
4. Waktu Rehidrasi
Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam 150 ml air. kemudian
dihitung waktunya pada saat mi telah terhidrasi sempurna (tidak ada spot
putih di tengah untaian mi). Waktu rehidrasi adalah waktu yang
dibutuhkan bahan untuk kembali menyerap air sehingga diperoleh
tekstur yang homogen.
Jagung pipil yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung pipil
kering varietas Pioneer 21 yang didapatkan dari sentra pertanian jagung
Ponorogo, Jawa Timur. Proses pembuatan tepung jagung diawali dengan
penggilingan menggunakan hammer mill yang menghasilkan grits jagung.
Grits jagung yang dihasilkan dari penggilingan pertama masih bercampur
dengan kotoran, kulit, tepung kasar dan komponen lain yang tidak diinginkan.
Proses yang dilakukan untuk memisahkan grits dari semua campuran
tersebut yaitu dengan mencuci dan merendam dalam air. Selain untuk
memisahkan bagian endosperm (grits jagung) dengan lembaga, kulit dan tip
cap dan memisahkan biji jagung dari kotoran yang dapat menjadi sumber
kontaminasi, proses pencucian dan perendaman ini juga bertujuan untuk
memperlunak jaringan jagung yang masih keras sehingga ketika digiling
dengan disc mill lebih mudah.
Pencucian membersihkan grits dari kotoran yang menjadi kontaminan,
sedangkan perendaman membuat kulit dan lembaga terangkat ke permukaan
air. Hal ini disebabkan dalam lembaga terdapat banyak kandungan lemak yang
mempunyai massa jenis yang lebih kecil dibandingkan dengan air. Proses
pengadukan dilakukan selama pencucian agar bahan campuran yang akan
dibuang tidak terendap dalam tumpukan grits. Kemudian grits ditiriskan
selama 2 jam.
Endosperm yang sudah dipisahkan kemudian digiling menggunakan
disc mill yang bertujuan untuk memperhalus ukuran grits menjadi tepung.
Tepung yang dihasilkan masih berupa tepung kasar yang belum terpisahkan
berdasarkan ukurannya. Untuk menghasilkan tepung jagung yang halus dan
homogen, maka dilakukan pengayakan menggunakan vibrating screen dengan
ukuran mesh 100. Tepung ukuran 100 mesh kemudian dioven 60o C selama 2
jam. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan sebagian besar air pada
tepung sehingga tepung jagung lebih tahan lama ketika penyimpanan.
Jagung kering pipil
(10 kg)
Grits, Lembaga,
tip cap, dan kulit
(9,77 kg/97,7%)
Grits jagung
(6,3 kg/63%)
Tepung kasar
(5,4 kg/54%)
Pada penambahan air sebanyak 30% dan 40%, adonan tidak lengket
pada mesin sheeting, namun lembaran yang dihasilkan rapuh dan waktu
pembentukan lama. Hal ini menyebabkan karakteristik lembaran adonan kasar
dan mudah sobek. Pada penambahan air sebanyak 60%, adonan lengket pada
mesin sheeting, dan waktu pembentukan lama. Hal ini menyebabkan
karakteristik lembaran adonan elastis dan tidak bisa ditipiskan. Sedangkan
pada penambahan air sebanyak 50%, adonan agak lengket pada mesin
sheeting, lembaran yang dihasilkan cukup plastis namun waktu pembentukan
lama.
Penambahan air selama proses mengakibatkan partikel pati
membengkak dan kehilangan kekompakan ikatan yaitu sebagian dari amilosa
berdifusi keluar disebabkan oleh pengaruh panas (Janssen, 1993). Jumlah air <
50% menyebabkan proses pregelatinisasi adonan kurang sempurna, sedangkan
jumlah air > 50% menyebabkan adonan menjadi lengket.
Air berfungsi sebagai pengikat garam dan membantu proses
gelatinisasi saat adonan dikukus. Dengan adanya air, maka unsur kimia dalam
bahan akan bereaksi dan dengan proses pengadukan akan tercampur sehingga
menjadi homogen (Buckle et al., 1998). Jumlah air sangat menentukan
kelengketan mi. Bila air yang ditambahkan terlalu sedikit, maka proses
gelatinisasi kurang sempurna sehingga pati tergelatinisasi yang dihasilkan
sedikit dan belum dapat mengikat adonan secara baik. Namun bila
penambahan air terlalu banyak maka adonan terlalu matang. Adonan yang
terlalu matang menyebabkan untaian mi yang dihasilkan menjadi lengket
akibat banyaknya padatan yang berdifusi keluar dari pati (Susilawati, 2007).
Berdasarkan pengamatan sifat adonan saat sheeting, jumlah air yang
dipilih dan digunakan untuk proses pembuatan mi jagung selanjutnya adalah
50%.
3. Penggilingan Adonan
Setelah pengukusan, adonan dicampurkan dengan bagian tepung
jagung kering yang tidak dikukus. Pencampuran dilakukan secara manual
menggunakan tangan. Pencampuran yang kurang sempurna antara adonan
dengan tepung jagung yang tidak dikukus, kesulitan penanganan adonan,
kesulitan saat pembentukan lembaran adonan dan waktu yang lama untuk
pembentukan lembaran mendasari optimasi proses sesudah pengukusan.
Optimasi proses dilakukan dengan menambahkan tahapan proses baru,
yaitu penggilingan.
Penggilingan dapat meningkatkan derajat gelatinisasi (lampiran 5).
Hal ini menyebabkan lebih banyak amilosa yang keluar dari granula pati
dan berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan. Selain itu,
penggilingan juga menyebabkan kompresi terhadap adonan meningkat.
Kompresi menyebabkan adonan lebih kompak dan mudah dibentuk
menjadi lembaran (Susilawati, 2007).
Tabel 17. Pengaruh perlakuan penggilingan terhadap sifat adonan
Perlakuan Sifat adonan
penggilingan (secara visual)
Tanpa grinding Adonan susah ditangani, lembaran adonan
susah dibentuk dan rapuh, bagian tepung
dikukus dengan yang tidak dikukus belum
tercampur merata, waktu pembentukan
lembaran relatif lama
Grinding dengan Penanganan adonan lebih mudah, lembaran
diameter die 0,60 cm mudah dibentuk karena saat keluar dari
grinder adonan sudah berbentuk silinder pejal,
bagian tepung dikukus dengan yang tidak
dikukus tercampur cukup merata, waktu
pembentukan lembaran lebih singkat
Grinding dengan Penanganan adonan lebih mudah, lembaran
diameter die 0,30 cm mudah dibentuk karena saat keluar dari
grinder adonan sudah berbentuk silinder pejal,
bagian tepung dikukus dengan yang tidak
dikukus tercampur cukup merata, waktu
pembentukan lembaran lebih singkat
P1:P2 = :
= n2 x A2 : n1 x A1
2
= 128 x1/4 (0,3) : 75 x 1/4 (0,6)2
= 11,52 : 27
P1:P2 = 3 : 7
Keterangan: P1: kompresi die 0,6 cm
P2: kompresi die 0,3 cm
n : jumlah lubang
A : luas permukaan lubang die (1/4 d2)
Gaya yang dihasilkan dari mesin grinder sama untuk semua diameter die.
Die dengan diameter 0,6 cm memiliki lubang sebanyak 75, sedangkan die
dengan diameter 0,3 memiliki lubang sebanyak 128. Rasio kompresi
antara die berdiameter 0,6 cm dan 0,3 cm adalah 3:7.
Tabel 18. Pengaruh jumlah grinding terhadap sifat adonan
Jumlah Sifat adonan
grinding (secara visual)
1x Adonan yang dikukus dengan tepung jagung kering belum
tercampur merata, setelah disheeting tampak warna
lembaran kurang seragam, ada yang didominasi warna
tepung dikukus dan ada yang didominasi warna tepung
kering
2x Adonan yang dikukus dengan tepung jagung kering
tercampur cukup merata
>2x Terjadi penurunan suhu adonan yang cukup drastis,
sehingga susah untuk dibentuk lembaran (adonan
mengeras)
a. Cooking Loss
Cooking loss menunjukkan banyaknya padatan dalam mi yang
keluar ke dalam air selama proses pemasakan. Hal ini terjadi karena
lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mi. Pati yang terlepas tersuspensi
dalam air rebusan dan menyebabkan kekeruhan. Fraksi pati yang keluar
selain menyebabkan kuah mi menjadi keruh, juga menjadikan kuah mi
lebih kental. Cooking loss merupakan salah satu parameter mutu yang
penting karena berkaitan dengan kualitas mi setelah dimasak.
Hou dan Kruk (1998) menyatakan cooking loss merupakan
parameter terpenting untuk produkproduk mi basah yang diperdagangkan
dalam bentuk matang. Nilai cooking loss yang diinginkan adalah yang
relatif kecil Semakin rendah nilai cooking loss menunjukkan bahwa mi
tersebut memiliki tekstur yang baik dan homogen.
14 12,91 0,83815
Cooking loss (%) 12
10
8,21 0,69356
8
0
0,60 0,30
Diameter die (cm)
150
100
50
0
0,60 0,30
Diameter die (cm)
3000
2418,65 153,9247
2377,73 278,4694
Kekerasan&kelengketan (gf)
2500
2000
1500
1000
500
0
-500 0,60 0,30
-1000 -627,42 67,13576
-1500 -1234,00 90,80208
Diameter die (cm)
Kekerasan Kelengketan
d. Kekenyalan
Kekenyalan (cohesiveness) merupakan kemampuan suatu bahan
untuk kembali ke bentuk semula jika diberi gaya kemudian gaya tersebut
dilepas kembali. Pada produk mi, kekenyalan beserta kekerasan dan
kelengketan merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang
sangat penting. Satuan yang digunakan untuk menyatakan kekenyalan
adalah gram second (gs). Seperti halnya kekerasan dan kelengketan,
kekenyalan juga diukur menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2.
Kekenyalan diperoleh dari rasio antara dua area kompresi. Alat ini
mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai bahan padat (mi)
mengalami perubahan bentuk (deformasi).
0.6
0,5215 0,0331822
0.5
Kekenyalan (gs)
0.4
0.2
0.1
0
0,60 0,30
Diameter die (cm)
Gambar 16. Dari kiri ke kanan: slitter untuk mencetak untaian mi dan
slitter yang dilengkapi dengan lempengan pemotong
Gambar 17. Proses pencetakan untaian mi
Gambar 18. Grafik hubungan waktu (menit) dengan kadar air (%) pada
suhu 60oC, 70oC, dan 80oC
Seperti dapat dilihat pada Gambar 18 dapat diketahui bahwa waktu
optimum pengovenan yang menghasilkan kadar air sesuai SNI pada suhu
60oC adalah 40 menit dengan kadar air 11,34%; suhu 70oC adalah 30
menit dengan kadar air 11,49%; dan suhu 80oC adalah 25 menit dengan
kadar air 10,76%. Pada industri hal ini dapat diaplikasikan dengan
penggunaan variasi waktu optimum tersebut tergantung suhu oven yang
dimiliki oleh industri.
Menurut Hou dan Kruk (1998), proses pengeringan mi dapat
dilakukan dengan menggunakan udara panas (oven), penggorengan (deep
frying), atau pengeringan vakum (vacuum drying). Pengeringan dengan
udara panas dari oven yang terlalu cepat dapat menyebabkan mi kering
menjadi rapuh. Oleh karena itu, perlu dilakukan kontrol terhadap
temperatur dan kelembaban relatif pada oven pengering.
Mi kering yang diperoleh dengan cara pengeringan memiliki
kandungan lemak yang rendah dan umur simpannya juga lebih lama
karena tidak berhubungan dengan ketengikan akibat adanya sedikit lemak
dalam produk. Selain umur simpannya lebih lama, beberapa keuntungan
dari proses pengeringan antara lain volume bahan menjadi lebih kecil
sehingga memudahkan dan menghemat ruang pengangkutan dan
pengemasan, serta produk menjadi lebih ringan sehingga biaya
pengangkutan menjadi lebih kecil. Namun ada pula kerugian dari proses
pengeringan, diantaranya perubahan sifat asal dari produk seperti bentuk
dan penampakannya, serta sifat fisik dan kimianya yang pada akhirnya
dapat menurunkan mutu produk (Wirakartakusumah et al., 1992).
Mi kering diperoleh dari mi basah yang telah dikeringkan
menggunakan oven. Pengeringan dianggap cukup jika mi mudah
dipatahkan dan tidak menempel lagi pada tray. Menurut Hou dan Kruk
(1998), pengeringan dengan udara panas dari oven yang terlalu cepat dapat
menyebabkan mi kering menjadi rapuh. Oleh karena itu, perlu dilakukan
kontrol terhadap temperatur dan kelembaban relatif pada oven pengering.
Lama waktu pengeringan juga menentukan karakteristik produk akhir
yang dihasilkan. Jika waktu pengeringan terlalu lama, mi kering menjadi
rapuh. Pengeringan harus mampu menurunkan kadar air mi menjadi <
13%.
Selanjutnya, dilakukan analisis fisik terhadap mi jagung kering
hasil penggilingan menggunakan grinding dengan die berdiameter 0,30
cm.. Parameter fisik yang diukur meliputi cooking loss, waktu rehidrasi,
persen elongasi, dan tekstur (kekerasan, kelengketan dan kekenyalan).
a. Cooking Loss
Seperti dapat dilihat pada Gambar 19, cooking loss terendah
diperoleh dari pengeringan dengan suhu 80oC yaitu sebesar 9,99%.
Pengeringan dengan suhu 60oC menghasilkan mi kering dengan cooking
loss sebesar 10,89%, sedangkan pengeringan dengan suhu 70oC
menghasilkan mi kering dengan cooking loss sebesar 11,42%. Proses
penetrasi panas pada suhu rendah lebih cepat dengan waktu yang lebih
lama menyebabkan meningkatnya kekompakan dan ikatan antar partikel,
sehingga nilai cooking loss akan berkurang. Namun ketika suhunya 80oC
nilai cooking loss menurun lagi.
12
11 10,85 0,78549
10.5
10 9,99 1,45887
9.5
9
60 70 80
Suhu pengovenan (derajat Celcius)
b. Waktu Rehidrasi
Waktu rehidrasi adalah waktu yang diperlukan oleh suatu produk
untuk menyerap air kembali setelah mengalami proses pengeringan. Mi
yang direhidrasi selama 2 menit masih agak keras serta terlihat ada spot di
bagian tengah. Hal yang sama didapatkan pada rehidrasi selama 3 menit.
Waktu rehidrasi selama 4 menit menghasilkan mi yang lunak, lembut, dan
tidak ada spot di bagian tengah mi. Sedangkan waktu rehidrasi selama 5
menit menghasilkan mi yang lembek, dan menjadi patah-patah.
Waktu rehidrasi selama 4 menit merupakan waktu rehidrasi mi
jagung kering yang paling optimum. Waktu rehidrasi mi ini sudah
memenuhi persyaratan SII yang menyatakan bahwa waktu masak mi
instan/kering adalah selama 4 menit.
Tabel 21. Penentuan waktu rehidrasi yang optimum
Waktu rehidrasi Sifat mi setelah rehidrasi
(menit)
2 Mi masih agak keras serta terlihat ada spot di
3 bagian tengah mi
4 Mi lunak, lembut, dan tidak ada spot di bagian
tengah mi
5 Mi lembek, dan menjadi patah-patah
c. Persen Elongasi
Persen elongasi menunjukkan pertambahan panjang maksimum mi
yang mengalami tarikan sebelum putus. Elongasi dinyatakan dalam satuan
persen (%). Elongasi diukur setelah mi kering direbus dalam air panas
selama 4 menit.
Seperti dapat dilihat pada Gambar 20, persen elongasi tertinggi
diperoleh dari pengeringan dengan suhu 60oC yaitu sebesar 193,14%.
Pengeringan dengan suhu 70oC menghasilkan mi kering dengan elongasi
166,99%, sedangkan pengeringan dengan suhu 80oC menghasilkan mi
kering dengan elongasi 162,63%. Penetrasi panas pada suhu yang rendah
berlangsung dalam waktu yang lebih lama, menyebabkan meningkatnya
sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung jagung kering
sehingga elongasi semakin meningkat.
200
195 193,14 13,50782
190
Kekerasan&kelengketan (gf)
2500 2408,40 957,4573 2408,83 242,8322
2000
1500
1000
500
0
-500 60 70 80
-1000
-1500 -1057,20 153,04740 -977,46 329,70257 -775,18 137,01540
Suhu pengovenan (derajat Celcius)
Kekerasan Kelengketan
e. Kekenyalan
Seperti dapat dilihat pada Gambar 22, kekenyalan tertinggi
diperoleh pada mi jagung hasil pengovenan pada suhu 70oC (0,415 gs).
Pengovenan pada suhu 60oC dan 80oC menghasilkan mi dengan
kekenyalan masing-masing sebesar 0,3405 gs dan 0,3245 gs.
Secara umum, pengovenan dengan suhu tinggi menghasilkan
kekenyalan yang lebih rendah. Penetrasi panas pada suhu yang tinggi
berlangsung dalam waktu yang lebih singkat, menyebabkan penurunan
sifat kohesif antara pati tergelatinisasi dengan tepung kering sehingga
elongasi menurun. Penurunan elongasi menyebabkan menurunnya
kekenyalan.
0.45
0,4151 0,0532079
0.4
0,3405 0,0295739
0.35 0,3245 0,0655804
Kekenyalan (gs)
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
60 70 80
Suhu pengovenan (derajat Celcius)
D. Uji Organoleptik
1) Kekerasan
Setiap makanan mempunyai sifat tekstur tersendiri tergantung
keadaan fisik, ukuran, dan bentuknya. Penilaian terhadap tekstur dapat
berupa kekerasan, elastisitas, kerenyahan, kelengketan, dan sebagainya.
Tekstur merupakan penentu terbesar mutu rasa.
Hasil analisis ragam kekerasan dengan perabaan tangan (lampiran
11) menunjukkan bahwa kekerasan ketiga sampel tersebut tidak berbeda
nyata. Nilai rataan kesukaan panelis untuk atribut kekerasan dengan
perabaan tangan adalah 3,15 (netral).
3.6 3.5
3.5
3.4
Tingkat kesukaan
3.3
3.2
3.2
3.1 3.03
3
2.9
2.8
2.7
F1 F2 F3
F1: mi kering pengovenan 60oC
F2: mi kering pengovenan 70oC
F3: mi kering pengovenan 80oC
2) Kekenyalan
Selain kekerasan, atribut tekstur lain yang diukur adalah
kekenyalan. Kekenyalan merupakan salah satu parameter organoleptik
yang sangat penting.
3.6
3.5
3.5
Tingkat kesukaan
3.4
3.3
3.2
3.1 3.1
3.1
2.9
F1 F2 F3
F1: mi kering pengovenan 60oC
F2: mi kering pengovenan 70oC
F3: mi kering pengovenan 80oC
Gambar 24. Hasil analisis organoleptik terhadap atribut kekenyalan
tekstur gigit
Hasil analisis ragam kekenyalan menggunakan tangan (lampiran
11) menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tersebut tidak berbeda nyata.
Sedangkan hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan kekenyalan gigit
(lampiran 12) menunjukkan bahwa terjadi perbedaan kekenyalan yang
nyata antar sampel. Rataan nilai kesukaan panelis terhadap atribut
kekenyalan tekstur gigit berkisar antara 3,1 (netral) sampai 3,5 (netral).
Kekenyalan mi kering hasil pengovenan suhu 60oC dan 70oC berada pada
subset yang sama. Nilai rataan tertinggi dimiliki oleh perlakuan
pengovenan pada suhu 80oC.
Berdasarkan pengukuran secara objektif menggunakan Tekstur
Analyzer nilai kekenyalan mi kering hasil pengovenan suhu 80oC adalah
0,3245 gs. Nilai ini merupakan kekenyalan yang paling rendah diantara
ketiga sampel. Kekenyalan mi kering hasil pengovenan pada suhu 60oC
dan 70oC masing-masing sebesar 0,3405 gs dan 0,415 gs. Hal ini
menunjukkan bahwa konsumen lebih menyukai mi yang kurang kenyal.
3) Overall
Penilaian secara overall meliputi atribut warna dan ukuran mi.
Warna merupakan karakteristik yang menentukan penerimaan atau
penolakan konsumen terhadap suatu produk. Penilaian mutu bahan
makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor antara
lain citarasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya, tetapi sebelum faktor-faktor
lain dipertimbangkan secara visual faktor warna kadang-kadang sangat
menentukan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat
baik tidak akan dimakan bila memiliki warna yang tidak sedap dipandang
atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya.
Hasil analisis ragam (lampiran 13) menunjukkan bahwa atribut
overall ketiga sampel tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan
bahwa secara overall konsumen menyukai semua sampel tersebut. Nilai
rataan kesukaan panelis untuk atribut overall adalah 3,53 (netral).
E. Penyusunan SOP (Standard Operating Procedure) Pembuatan Mi
Jagung
Adonan
(1,207 kg)
Pengukusan I
( 90oC 15 menit)
Adonan pre-gelatinisasi
(1,472 kg)
(1,286
Tepung jagung
(300 g)
Grinding 2x
Adonan
pre-gelatinisasi + tepung jagung
(1,461 kg)
Sheeting 8x
Lembaran mi
(1,446 kg)
Slitting
@
@
Untaian mi
(1,446 kg)
Pengukusan II
( 95oC 20 menit)
Mi basah
(1,731 kg)
Oven
Mi kering
(0,971 kg)
A. Kesimpulan
B. Saran
Anwar, E., Yusmarlina, D., Rahmat, H., dan Kosasih. 2006. Fosforilasi
Pregelatinasi Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) sebagai Matriks Tablet
Lepas Terkendali Teofilin. Majalah Farmasi Indonesia, 17(1), 37 44.
Badan Pusat Statistik. 2007. Harvested Area, Yield Rate, and Production of Maize
by Province (2007). http://www.bps.go.id/sector/agri/pangan/table4.shtml.
[12 Juni 2008].
Budiyah. 2004. Pemanfaatan Pati dan Protein Jagung (CGM) dalam Pembuatan
Mi Jagung Instan. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Birch, G. G., Brennan, J. G., Priestly, R. J., dan Sodah, A. G. 1999. The
Molecular Basis of Starch Technology in New Food Product. Di dalam :
Molecular Structure and Function of Food Carbohydrate. Birch,G. G. dan
Green, L. F. (eds). Applied Science Publishers Ltd, London.
Effendi, S. dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta.
Harper, J. M. 1990. Extrusion of Foods vol I. CRC Press, Boca Roton, Florida.
Laztity, R. 1996. The Chemistry of Cereal Protein, 2nd edition. CRC Press Inc.,
Boca Raton, Florida.
Oh, N. H., P. A. Seib, dan D. S. Chung. 1995. Noodles III. Effect of processing
variables on the quality characteristic of dry noodles. Cereal Chem. 62(6):
437-440.
Priyadi, G. 1996. Menerapkan SNI Seri 9000: ISO 9000 (Series) Produk
Manufakturing. Buni Aksara, Jakarta.
Waigh, T.A., Kato, K.L., Donald, A.M., Gidley, M.J., Clarke, C.J., and Riekel, C.
2000. Side-Chain Liquid Crystalline Model for Starch. Starch 52, 450460.
a = 2,3810.10-4
b = 5,2857.10-4
r = 0,9812
y = 2,3810.10-4 + 5,2857.10-4 x
y : absorbansi
x : derajat gelatinisasi
a. Kekerasan
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
b. Kekenyalan
Univariate Analysis of Variance
Tests of Between-Subjects Effects
a. Kekerasan
Univariate Analysis of Variance
Kekerasan
a,b
Duncan
Subset
Sampel N 1 2
B 30 3.03
C 30 3.20 3.20
A 30 3.50
Sig. .306 .068
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = .390.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
b Alpha = .05.
Lampiran 12. Lanjutan
b. Kekenyalan
Univariate Analysis of Variance
Tingkat Penilaian:
5. Sangat suka
4. Suka
3. Netral
2. Tidak suka
1. Sangat tidak suka
Kode Sampel
Kekerasan
Kekenyalan
b. Tekstur gigit
1. Kekerasan
Instruksi:
Ambil 1 untai mi, kemudian gigit sampai putus. Berikan penilaian terhadap
kekerasan sampel mi (diurut dari sampel kiri ke kanan tanpa
membandingkan dengan sampel yang lain).
Kode Sampel
Kekerasan
2. Kekenyalan
Instruksi:
Ambil 1 untai mi, kemudian dikunyah. Berikan penilaian terhadap
kekenyalan/ kemembalan sampel mi (diurut dari sampel kiri ke kanan tanpa
membandingkan dengan sampel yang lain).
Kode Sampel
Kekenyalan
Keterangan Kode :
618: Pengovenan 60oC
471: Pengovenan 70oC
218: Pengovenan 80o
Lampiran 16. Gambar Mi Basah Jagung Lampiran 17. Gambar Mi Kering Jagung