1. Latar Belakang
Hukum Acara Perdata merupakan salah satu hukum formil. Yaitu hukum
yang mengatur mengenai bagaimana cara melindungi serta ditaatinya hukum
perdata. Pengertian Hukum Acara Perdata menurut Wirjono Prodjodikoro
(1978 : 13), menyebutkan Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-
peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di
muka Pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak, satu ama
lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.1
2. Rumusan Masalah
__________________________________________________________________
1 Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 797.
2 Subekti. Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1977, hlm. 122.
1
3. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
Dalam penetapan putusan, terdapat suatu asas yang sangat penting untuk
selalu diikuti dalam bagaimana membuat putusan. Asas tersebut adalah Suatu
Putusan Haruslah Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci. Menurut asas
ini, putusan yang dijatuhkan haruslah berdasarkan pertimbangan yang jelas dan
cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan itu dikategorikan putuan yang
tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd (insufficient
judgement). Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik
tolak dari ketentuan :
- hukum kebiasaan,
- yurisprudensi, atau
- doktrin hukum.
2
Untuk memenuhi kewajiban itu, Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
memerintahkan hakim dalam kedudukannya sebagai penegak hukum dan
keadilan, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup di dalam masyarakat. Menurut penjelasan pasal ini, hakim berperan dan
bertindak sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di
kalangan masyarakat.
__________________________________________________________________
3 Tanggal 20-8-1988, Varia Peradilan, Tahun IV, No. 45, Januari 1989, hlm. 19.
4 Tanggal 10-12-1985, jo. PT Semarang No. 192/1969, 7-1-1975, jo. PN Kebumen No. 114/1959.
3
Tahun 2009 (dahulu Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970). Demikian penegasan
yang terkandung dalam putusan MA No. 3538 K/Pdt/1984.5
__________________________________________________________________
5 Tanggal 3-2-1986, jo. PT Palu No. 26/1984, 25-7-1984, jo. PN Palu No. 90/1983, 3-4-1984.
6 Tanggal 24-10-1985, jo. PT Kupang No. 32/1983, jo. PN Ruting No. 64/1983, 15-5-1982.
4
Surat bukti P1 dibantah oleh tergugat, oleh karena itu alat bukti tersebut
tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian;
Juga surat bukti P1 terebut dimuat tanpa persetujuan istri tergugat;
Selain itu, menurut ketiga orang saksi yang diajukan penggugat
menerangkan, tanda tangan mereka tidak tercantum di dalamnya.
Dalam mengadili gugatan, berlaku asas yaitu Wajib Mengadili Seluruh Bagian
Gugatan. Asas ini digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2)
RBG, dan Pasal 50 Rv. Putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa
dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya
memeriksa dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan
__________________________________________________________________
7 Tanggal 22-7-1970, Rangkuman Yurisprudeni (RY) MA Indonesia, II, Hukum Perdata dan Acara
Perdata, Proyek Yurisprudensi MA, 1977, hlm. 327.
5
selebihnya. Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang
digariskan undang-undang. Sebagai contoh kasus, Putusan MA No. 109
K/Sip/1960.9 Dalam perkara ini gugatan yang diajukan meliputi dalil pokok :
Pengadilan tingkat pertama, menolak gugatan (2) dan (3), tetapi tidak
mengadili dan memutus tuntutan gugatan (1). Menurut tingkat kasasi, cara
mengadili yang demikian, melanggar kewajiban hukum yang dibebankan
kepada hakim untuk mengadili segala gugatan. MA menyatakan,, meskipun
tuntutan gugatan (2) dan (3) ditolak, tuntutan (1) harus diputus dan diadili. Jika
kedua belah pihak terbukti ahli waris dan pewaris, harus dikabulkan sepanjang
gugatan itu. Sebaliknya jika tidak terbukti, gugatan itu pun harus ditolak.
__________________________________________________________________
6
mengajukan gugatan rekonvensi maka gugatan itu harus diselesaikan dan
diputus sekaligus bersama-sama dengan gugatan konvensi. Akan tetapi ditinjau
dari segi asas, putusan dalam kasus tersebut juga melanggar prinsip yang
digariskan Pasal 178 ayat (2) HIR, yakni pengadilan melanggar kewajiban
memeriksa dan memutus seluruh gugatan.
Akan tetapi, tidak selamanya kelalaian atas kewajiban itu yang digariskan
Pasal 178 ayat (2) HIR mengakibatkan putusan batal. Adakalanya secara
kausalistik, cukup diperbaiki. Sebagai contoh, Putusan MA No. 1911
K/Pdt/1984.11 Dalam kasus ini, PT lalai atau tidak mempertimbangkan dan
memutus gugatan rekonvensi. Padahal PN sendiri telah memeriksa dan
memutus gugatan tersebut. Dalam tingkat kasasi, kekeliruan itu dibenarkan,
namun dinyatakan tidak membatalkan putusan, tetapi cukup diperbaiki dalam
tingkat kasasi dengan amar menolak gugatan rekonvensi. Sebenarnya sesuai
dengan tata tertib beracara, semestinya MA dalam tingkat kasasi membatalkan
putusan PT, dan berbarengan dengan itu memerintahkan PT memutus gugatan
rekonvensi dimaksud. Akan tetapi, sistem yang demikian dianggap
menyangkut pencantuman amar gugatan rekonvensi, sehingga kekeliruan itu
cukup diperbaiki saja oleh tingkat kasasi.
__________________________________________________________________
11 Tanggal 30-12-1983, jo. PT Ujung Pandang No. 454/1983, 29-3-1984, jo. PN Pare-Pare No.
3/1982, 10-2-1982
7
keahliwarisan penggugat. Padahal hal itu diminta dalam gugatan. Atas
kelalaian itu MA dalam tingkat kasasi menyatakan judex facti tidak
melaksanakan ketentuan yang mengharuskan untuk memberi putusan
mengenai seluruh petitum, sehingga cukup alasan membatalkan keputusan
tersebut.
Oleh karena itu, hakim yang melanggar prinsip ultra petitum, sama dengan
pelanggaran terhadap prinsip the rule of law:
karena tindakan itu tidak sesuai dengan hukum, padahal sesuai dengan
prinsip the rule of law, semua tindakan hakim mesti sesuai dengan
hukum (accordance with the law),
__________________________________________________________________
13 Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 801.
Disadur dari Frances Russel dan Christine Loche, English Law and Languange, Cassel, London,
1992, hlm. 30.
8
tindakan hakim yang mengabulkan melebihi dari yang dituntut, nyata-
nyata melampaui batas wewenang yang diberikan pasal 178 ayat (3)
HIR kepadanya, padahal sesuai dengan prinsip the rule of law, siapapun
tidak boleh melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya
(beyond the powers of his authority).
Akan tetapi, sebaliknya dalam hal petitum primair dan subsidair masing-
masing dirinci satu per satu, tindakan hakim yang mengabulkan sebagian
petitum primair dan sebagian lagi petitum subsidair, dianggap tindakan yang
melampaui batas wewenang, oleh karena itu tidak dapat dibenarkan. Demikian
__________________________________________________________________
9
penegasan Putusan MA No. 882 K/Sip/197417 Dalam hal gugatan
mencantumkan petitum primair dan subsidair, pengadilan hanya dibenarkan
memilih salah satu diantaranya, apakah mengabulkan petitum primair atau
subsidair. Hakim tidak dibenarkan menggunakan kebebasan cara mengadili
dengan jalan mengabulkan petitum primair atau mengambil sebagian dari
petitum subsidair.
__________________________________________________________________
10
KESIMPULAN
11
DAFTAR PUSTAKA
12