Anda di halaman 1dari 31

I

TEKNIK ANESTESI TIVA

1.1 Anestesi Intravena

Anestesi intravena (TIVA) merupakan teknik anastesi umum dengan hanya


menggunakan obat-obat anastesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan untuk
ketiga trias anastesi yaitu hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot..Kebanyakan obat-obat anastesi
intravena hanya mencakup 2 komponen anastesi, akan tetapi ketamin mempunyai ketiga trias
anastesi sehingga ketamin dianggap juga sebagai agent anastesi yang lengkap.

1.2Kelebihan TIVA

1. Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam dosis yang lebih akurat
dalam pemakaiannya.
2. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien
3. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat serta mesin anestesi khusus.
1.3 Indikasi Pemberian TIVA

TIVA dalam prakteknya sehari-hari digunakan sebagai :


1. Obat induksi anastesi umum
2. Obat tunggal untuk anastesi pembedahan singkat
3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
4. Obat tambahan anastesi regional
5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP
1.4 Cara pemberian TIVA

1. Suntikan tunggal, untuk operasi singkat


Contoh : cabut gigi
2. Suntikan berulang sesuai dengan kebutuhan
Contoh : kuretase
3. Diteteskan lewat infuse dengan tujuan menambah kekuatan anestesi

1
1.5 Jenis-jenis Anastesi Intravena

1. GOLONGAN BARBITURAT
Pentothal/ Thiopenthal Sodium/ Penthio Barbital/ Thiopenton
Obat ini tersedia dalam bentuk serbuk higroskopis, bersifat basa, berbau belerang,
larut dalam air dan alcohol.Penggunaannya sebagai obat induksi, suplementasi dari
anastesi regional, antikonvulsan, pengurangan dari peningkatan TIK, proteksi
serebral.Metabolismenya di hepar dan di ekskresi lewat ginjal.
Onset : 20-30 detik
Durasi : 20-30 menit
Dosis :
Induksi iv : 305 mg/Kg BB, anak 5-6 mg/Kg BB, bayi 7-8 mg/kg BB
Suplementasi anastesi : iv 0,5-1 mg/kg BB
Induksi rectal : 25 mg/ kg BB
Antikonvulsan : iv 1-4 mg/kg BB
Efek samping obat:
Sistem kardiovaskuler
- Depresi otot jantung
- Vasodilatasi perifer
- Turunnya curah jantung
Sistem pernapasan, menyebabkan depresi saluran pernapasan konsentrasi
otak mencapai puncak apnea
Dapat menembus barier plasenta dan sedikit terdapat dalam ASI
Sedikit mengurangi aliran darah ke hepar
Meningkatkan sekresi ADH (efek hilang setelah pemberian dihentikan)
Pemulihan kesadaran pada orang tua lebih lama dibandingkan pada dewasa
muda
Menyebabkan mual, muntah, dan salivasi
Menyebabkan trombophlebitis, nekrosis, dan gangren

2
Kontraindikasi :

Alergi barbiturat
Status ashmatikus
Porphyria
Pericarditis constriktiva
Tidak adanya vena yang digunakan untuk menyuntik
Syok
Anak usia < 4 th (depresi saluran pernapasan)

2. GOLONGAN BENZODIAZEPIN
Obat ini dapat dipakai sebagai trasqualiser, hipnotik, maupun sedative.Selain itu obat
ini mempunyai efek antikonvulsi dan efek amnesia.
Obat-obat pada golongan ini sering digunakan sebagai :
a. Obat induksi
b. Hipnotik pada balance anastesi
c. Untuk tindakan kardioversi
d. Antikonvulsi
e. Sebagai sedasi pada anastesi regional, local atau tindakan diagnostic
f. Mengurangi halusinasi pada pemakaian ketamin
g. Untuk premedikasi

a. Diazepam
Karena tidak larut air, maka obat ini dilarutkan dalam pelarut organic (propilen
glikol dan sodium benzoate).Karena itu obat ini bersifat asam dan menimbulkan
rasa sakit ketika disuntikan, trombhosis, phlebitis apabila disuntikan pada vena
kecil.Obat ini dimetabolisme di hepar dan diekskresikan melalui ginjal.
Obat ini dapat menurunkan tekanan darah arteri.Karena itu, obat ini digunakan
untuk induksi dan supplement pada pasien dengan gangguan jantung berat.

3
Diazepam biasanya digunakan sebagai obat premedikasi, amnesia, sedative, obat
induksi, relaksan otot rangka, antikonvulsan, pengobatan penarikan alcohol akut
dan serangan panic.
Awitan aksi : iv< 2 menit, rectal < 10 menit,
oral 15 menit-1 jam
Lama aksi : iv 15 menit- 1 jam, PO 2-6 jam
Dosis :
Premedikasi : iv/im/po/rectal 2-10 mg
Sedasi : 0,04-0,2 mg/kg BB
Induksi : iv 0,3-0,6 mg/kg
Antikonvulsan : iv 0,05-0,2 mg/kg BB setiap 5-10 menit dosis maksimal 30
mg, PO/rectal 2-10 mg 2-4 kali sehari
Efek samping obat :
Menyebabkan bradikardi dan hipotensi
Depresi pernapasan
Mengantuk, ataksia, kebingungan, depresi,
Inkontinensia
Ruam kulit
DVT, phlebitis pada tempat suntikan

b. Midazolam
Obat ini mempunyai efek ansiolitik, sedative, anti konvulsif, dan anteretrogad
amnesia. Durasi kerjanya lebih pendek dan kekuatannya 1,5-3x diazepam.
Obat ini menembus plasenta, akan tetapi tidak didapatkan nilai APGAR kurang
dari 7 pada neonatus.
Dosis :
Premedikasi : im 2,5-10 mg, Po 20-40 mg
Sedasi : iv 0,5-5 mg
Induksi : iv 50-350 g/kg
Efek samping obat :

4
Takikardi, episode vasovagal, komplek ventrikuler premature, hipotensi
Bronkospasme, laringospasme, apnea, hipoventilasi
Euphoria, agitasi, hiperaktivitas
Salvasi, muntah, rasa asam
Ruam, pruritus, hangat atau dingin pada tempat suntikan

3. PROPOFOL
Merupakan cairan emulsi isotonic yang berwarna putih.Emulsi ini terdiri dari gliserol,
phospatid dari telur, sodium hidroksida, minyak kedelai dan air. Obat ini sangat larut
dalam lemak sehingga dapat dengan mudah menembus blood brain barier dan
didistribusikan di otak. Propofol dimetabolisme di hepar dan ekskresikan lewat ginjal.
Penggunaanya untuk obat induksi, pemeliharaan anastesi, pengobatan mual muntah
dari kemoterapi

Dosis :

Sedasi : bolus, iv, 5-50 mg


Induksi : iv 2-2,5 mg/kg
Pemeliharaan : bolus iv 25-50 mg, infuse 100-200 g/kg/menit, antiemetic iv
10 mg
Pada ibu hamil, propofol dapat menembus plasenta dan menyebabakan depresi janin.
Pada sistem kardiovaskuler, obat ini dapat menurunkan tekanan darah dan sedikit
menurunkan nadi. Obat ini tidak memiliki efek vagolitik, sehingga pemberiannya bisa
menyebabkan asystole. Oleh karena itu, sebelum diberikan propofol seharusnya
pasien diberikan obat-obatan antikolinergik. Pada pasien epilepsi, obat ini dapat
menyebabkan kejang.

4. KETAMIN
Obat ini mempunyai efek trias anastesi sekaligus. Pemberiannya menyebabkan pasien
mengalami katalepsi, analgesic kuat, dan amnesia, akan tetapi efek sedasinya ringan.
Pemberian ketamin dapat menyebakan mimpi buruk.

5
Dosis
Sedasi dan analgesia : iv 0,5-1 mg/kg BB, im/rectal 2,5-5 mg/kg BB, Po 5-6
mg/kg BB
Induksi : iv 1-2,5 mg/kg BB, im/ rectal 5-10 mg/kg BB
Ketamin meningkatkan aliran darah ke otak, kerana itu pemberian ketamin berbahaya
bagi orang-orang dengan tekanan intracranial yang tinggi. Pada kardiovaskuler,
ketamin meningkatkan tekanan darah, laju jantung dan curah jantung.Dosis tinggi
menyebabkan depresi napas.

Kontraindikasi :
Hipertensi tak terkontrol
Hipertroid
Eklampsia/ pre eklampsia
Gagal jantung
Unstable angina
Infark miokard
Aneurisma intracranial, thoraks dan abdomen
TIK tinggi
Perdarahan intraserebral
TIO tinggi
Trauma mata terbuka

5. OPIOID
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dalam dosis
tinggi.Opioid tidak mengganggu kardiovaskulet, sehingga banyak digunakan untuk
induks pada pasien jantung.
a. Morfin
Penggunaanya untuk premedikasi, analgesic, anastesi, pengobatan nyeri yang
berjaitan dengan iskemia miokard, dan dipsnea yang berkaitan dengan kegagalan
ventrikel kiri dan edema paru.
Dosis :
6
Analgesic : iv 2,5-15 mg, im 2,5-20 mg, Po 10-30 mg, rectal 10-20 mg
setiap 4 jam
Induksi : iv 1 mg/kg
Awitan aksi : iv< 1 menit, im 1-5 menit

Lama aksi : 2-7 jam

Efek samping obat :

Hipotensi, hipertensi, bradikardia, aritmia


Bronkospasme, laringospasme
Penglihatan kabur, sinkop, euphoria, disforia
Retensi urin, spasme ureter
Spasme traktus biliaris, konstipasi, anoreksia, mual, muntah, penundaan
pengosongan lambung
Miosis

b. Petidin
Penggunaannya untuk nyeri sedang sampai berat, sebagai suplemen sedasi
sebelum pembedahan, nyeri pada infark miokardium walaupun tidak seefektif
morfin sulfat, untuk menghilangkan ansietas pada pasien dengan dispnea karena
acute pulmonary edema dan acute left ventricular failure.

Dosis

Oral/ IM,/SK :
Dewasa :
Dosis lazim 50150 mg setiap 3-4 jam jika perlu,
Injeksi intravena lambat : dewasa 1535 mg/jam.
Anak-anak oral/IM/SK : 1.11.8 mg/kg setiap 34 jam jika perlu.
Untuk sebelum pembedahan : dosis dewasa 50 100 mg IM/SK

Petidin dimetabolisme terutama di hati


7
Kontraindikasi

Pasien yang menggunakan trisiklik antidepresan dan MAOi. 14 hari


sebelumnya (menyebabkan koma, depresi pernapasan yang parah,
sianosis, hipotensi, hipereksitabilitas, hipertensi, sakit kepala, kejang)
Hipersensitivitas.
Pasien dengan gagal ginjal lanjut

Efek samping obat

Depresi pernapasan,
Sistem saraf : sakit kepala, gangguan penglihatan, vertigo, depresi, rasa
mengantuk, koma, eforia, disforia, lemah, agitasi, ketegangan, kejang,
Pencernaan : mual, muntah, konstipasi,
Kardiovaskular : aritmia, hipotensi postural,
Reproduksi, ekskresi &endokrin : retensi urin, oliguria.
Efek kolinergik : bradikardia, mulut kering, palpitasi, takikardia, tremor
otot, pergerakan yg tidak terkoordinasi, delirium atau disorintasi,
halusinasi.
Lain-lain : berkeringat, muka merah, pruritus, urtikaria, ruam kulit

Peringatan !!!

Hati-hati pada pasien dengan disfungsi hati & ginjal krn akan memperlama
kerja & efek kumulasi opiod, pasien usia lanjut, pada depresi sistem saraf
pusat yg parah, anoreksia, hiperkapnia, depresi pernapasan, aritmia, kejang,
cedera kepala, tumor otak, asma bronchial
c. Fentanil
Digunakan sebagai analgesic dan anastesia

Dosis :

Analgesik : iv/im 25-100 g


8
Induksi : iv 5-40 g/ kg BB
Suplemen anastesi : iv 2-20 g/kg BB
Anastetik tunggal : iv 50-150 g/ kg BB
Awitan aksi : iv dalam 30 detik, im < 8 menit

Lama aksi : iv 30-60 menit, im 1-2 jam

Efek samping obat :

Bradikardi, hipotensi
Depresi saluran pernapasan, apnea
Pusing, penglihatan kabur, kejang
Mual, muntah, pengosongan lambung terlambat
Miosis
Berikut contoh penggunaan teknik TIVA :

I. PROPOFOLTIVA:

1. Premed : Pethidine 25 mg/lV atau Fentanyl 5O ug/lV


2. Induksi
Dewasa = dosis 1.5 - 2.5 mg/kg BB/IV
Anak = dosis lebih fanggi
Manula = dosis diturunkan s/d 25 - 50%
3. Maintenance:
Dosis 6-12 mg/kg BB/lv > Rata-rata = 8 mg/kg BB/jam atau Dosis 100 - 300 u/kg
BB/mnt/IV (kombinasi dengan short acting opioid) Dosis sedasi = 25-100 ug/kg/mnt
(rata-rata = 100 m/jam) dosis Px tertentu dapat ditambahkan opioid atau midazolam

II. PENTHOTAL TIVA.

1. Premed:
Pethidine : 25 mg/IV (dosis 0.5 mg/kg BB/IV)
Fentanyl: 1 - 2 u/kg BB/TV
9
2. Induksi:
Dosis Penthotal =3-5 mg/kg BB/IV
Maintanance : 1 mg/kgBB D.

III KETAMIN TIVA

Efek ketamin pada Air Way:

1. Kekakuan otot dan gerakan tidak beraturan (bila terjadi pada otot rahang >
gangguan pada Air Way / Obstruksi)
2. Hipersalivasi
3. Mual / Muntah
4. Pemberian cepat > henti napas
Pada induksi dengan ketamin reflex muntah masih (+) ~> hati-hati waktu itubasi

Premed:

,- SA (untuk melawan Hipersekresi)

- Benzodiasephine (untuk melawan Emergency Delirium )


Induksi:

- Ketamin (Dosis 1-2 mg/kg BB/IV)1 pelan (> 60 dtk)


Maintenance:

- Bolus = Ketamin dengan dosis % doss induksi. Diberikan tiap : 7 -10 menit

- Drips Ketamin dengan dosis : 2-4 mg/kg BB/jam

- Stiringe Pump Ketamin : 2-4 mg/kg BB/Jam

10
II

ASMA

1. Definisi Asma:

Menurut GINA ( Global Initiative for Asthma), Asma adalah gangguan inflamasi
kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan epioden
wheezing berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya malam hari atau
dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang
luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversible baik secara spontan
maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperaktivitas saluran
respiratorik terhadap berbagai rangsangan.1

Asma adalah penyakit saluran napas kronik akibat terjadinya peningkatan kepekaan
saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Pada penderita yang peka hal ini menyebabkan
munculnya serangan batuk, mengi, keluarnya dahak, sesak napas, dan rasa tidak enak di
dada terutama pada malam atau pagi hari. Asma merupaka suatu penyakit yang dicirikan
oleh hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Hal
tersebut menyebabkan penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan reversible
akibat bronkospasme.2

2. Patofisiologi Asma

Patofisiologi asma melibatkan pelepasa mediator ke jalan napas dan mungkin juga
karena adanya aktivitas yang berlebihan yang melibatkan sistem saraf parasimpatis.
Substansi yang terhirup dapat menimbulkan bronkospasme melalui respon imun spesifik dan
non spesifik oleh daya degranulasi sel mast bronkial. Pada asma alergi yang klasik antigen
berikatan dengan IgE di permukaan sel mast dan menyebabkan degranulasi,
bronkokonstriksi merupakan hasil dari pelepasan histamine, bradikinin, leukotrien, platelet
activating factor, prostaglandin (PG), PGES, PGF2 alfa, dan PGD2, dan faktor netrofil
eosinofil kemotaktik. Sedikitnya ada 2 jenis T-helper (Th), limfosit subtype CD4+ telah
dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL-3
dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor ( GM-CSF), Th 1 terutama
memproduksi IL-2, IF- dan TNF-. Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang
11
terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh
Th2 tersebut bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat maupun
cell mediated. Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh
antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris yaitu proses yang melibatkan molekul
MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+. 3

Pada asma baik dengan atau tanpa mekanisme alergi memiliki kelabilan bronkus
abnormal yang memudahkan penyempitan saluran napas oleh banyak faktor, saluran napas
ini seakan-seakan merupakan persarafan -adrenergik yang tidak kompeten dan banyak
bukti memberikan paling tidak secara fungsional terdapat hambatan parsial pada reseptor -
adrenergik pada penderita asma yang khas ini. Penyebab utama saluran respiratorik adalah
kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi.
Yang termasuk agonis adalah histamine, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari
sel mast, neuropeptida dari saraf aferen setempat dan asetilkolin dari saraf post ganglionik.
Kontrasksi otot polos saluran respiratorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas
akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling, hyperplasia dan hipertrofi
kronis otot polos, vaskulaer dan sel-sel sekretori serta deposisi matrik pada dinding saluran
respiratorik. Selain itu hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi secret
yang banyak, kental dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma
yang keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan debris seluler. 4

Sistem saraf parasimpatis memainkan peranan penting dalam menjaga tonus normal
bronkial. Aktifasi reflex vagal terjadi pada bronkokontriksi yang dimediasi oleh peningkatan
siklik guanosin monofosfat intraseluler (cGMP).5

Selama serangan terjadi bonkokonstriksi, edema mukosa, dan sekresi yang akan
meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan napas yang lebih rendah. Tahanan
jalan napas kembali normal pertama kali pada jalan napas yang lebih besar (bronki utama,
lobar, segmental dan sub segmental), kemudian baru perifer. Laju ekspirasi menurun
melampaui FVC tetapi pada pemulihan serangan laju rata-rata ekspirasi menurun hanya pada
volume paru rendah.

Volume residu (RV), TLC, FRC semua menurun. PaCO2 normal atau tinggi
menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan kerja napas lagi dan hal ini sering
merupakan tanda adanya gagal napas (impending). Pulsus paradoksus dan gambaran EKG
renggangan ventrikel kanan (perubahan ST, deviasi aksis ke kanan, dan RBBB)
menunjukkan obstruksi jalan napas berat.

Berat ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2
agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat,
kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk

12
uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat ringannya asma yang sangat
penting dalam penatalaksanaanya. Asma diklasifikasikan atas asma saat serangan (akut) atau
tanpa serangan.

3. Pembagian ASMA

A. Asma di Luar Serangan

Pada orang dewasa asma diluar serangan terdiri dari:

1. Intermiten

2. Persisten ringan

3. Persisten sedang

4. Persisten berat

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Fungsi Paru

Intermiten, Gejala <1x/minggu 2 kali sebulan VEP1 atau


APE80%
Mingguan Tanpa gejala diluar
serangan

Serangan singkat

Fungsi paru asimptomatik


dan normal diluar serangan

Persisten Gejala > 1x/minggu tapi >2 kali seminggu VEP1 atau APE
Ringan, <1x/hari 80% normal

Mingguan Serangan dapat


mengganggu aktivitas tidur

Persisten Gejala harian >sekali seminggu VEP1 atau APE


Sedang, >60% tetapi
Menggunakan obat setiap 80% normal
Harian hari

Serangan mengganggu
aktivitas dan tidur

Serangan 2x/minggu, bisa

13
berhari-hari

Persisten Gejala terus menerus Sering VEP1 atau APE


Berat, <80% normal
Aktivitas fisik terbatas
Kontinu
Sering serangan

B. Asma Saat Serangan

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan
sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringan serangan. GINA membuat
pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji faal paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan.
Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma
serangan berat. Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma
(aspek akut). 3

14
III

PENANGANAN ANESTESI PADA PASIEN ASMA

A. Evaluasi Perioperatif

Evaluasi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat penting untuk
mencegah ataupun mengendalikan serangan asma, baik intraoperatif maupun postoperatif. Maka
diperlukan evaluasi yang meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium,
pemeriksaan faal paru, analisan gas darah, dan foto rontgen thorax.4

1. Riwayat penyakit

Meliputi lama penyakitnya, frekuensi serangan, lama serangan atau berat serangan,
faktor-faktor yang mempengaruhi serangan, riwayat penggunaan obat-obatan dan
hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan, obat, minuman),
riwayat serangan terakhir, beratnya dan pengobatannya. 1 Bila baru-baru ini menderita
infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan maka operasi elektifnya sebaiknya
ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan napas.6

2. Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan naps yang terjadi.
Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi memanjang.
Palpasi didapatkan takikardi, perkusi didapatkan hipersonor, auskultasi didapatkan
wheezing.7

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pada asma, eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil ini selain
untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid, dapat juga untuk membedakan
serangan asma dengan bronkitis kronis. Pada pemeriksaan sputum selain didapatkan
eosinofil, juga ditemukan adanya Kristal Charcot Leyden, spiral Churschman dan
mungkin juga miselium Aspergilus fumigates.7

4. Rontgen Thorax

Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut umumnya


dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau adanya komplikasi
asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia. Kadang

15
didapatkan gambaran air trapping, diafragma mendatar karena adanya hiperinflasi,
jantung tampak mengecil dan lapang paru hiperlusen.7

5. Pemeriksaan Faal Paru (Spirometri)

Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran aliran
udara ekspirasi yaitu volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus puncak
ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil pengukuran
sebelumnya. Normalnya nilai volume ekspirasi paksa (FEV1) untuk laki-laki adalah lebih
dari 3 liter dan lebih dari 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus PEFR adalah lebih dari
200L/menit( pada laki-laki dewasa muda lebih dari 500 L/menit). Nilai PEFR kurang dari
200L/menit pada pria dan kurang dari 150L/menit menunjukkan gangguan efektivitas
batuk dan akan meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50%
menunjukkan asma sedang sampai berat. Bila nilai PEFR <120 l/menit atau FEV1 1 liter
menunjukkan obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting dilakukan karena sering terjadi
ketidaksesuaian gambaran klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang baru sembuh
dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak mengeluh, tetapi setelah
diperiksa ternyata obstruksi saluran napas. Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien-
pasien yang menderita penyakit paru-paru sedang sampai berat yang menjalani operasi
berdampak pada sistem respirasi. Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap
risiko komplikasi paru postoperative dan memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi dan
respon pengobatan.5

Keadaan klinik %FEV/FVC

Normal 80-100

Asma ringan 75-79

Asma sedang 50-74

Asma berat 35-49

Status asmatikus <35

6. Analisa Gas Darah

Pemeriksaan gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma
yang berat. Pada keadaan ini bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis
respiratorik. Kondisi yang berat akan meningkatkan risiko komplikasi paru-paru.1

7. Fisioterapi Dada

16
Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas. Indikasi
fisioterapi dada bisa akut atau bisa sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk dilakukan
fisioterapi adalah pada pasien-pasien dengan retensi sputum yang berlebihan atau
abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang batuknya sangat lemah.6

B. Pengelolaan Perioperatif

Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang menjalani


pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi yang reversible adalah
bronkospasme, sekresi yang terkumpul dan proses inflamasi jalan napas. Obstruksi yang tidak
reversible dengan pemberian bronkodilator misalnya adalah emfisema, tumor.6

Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat bronkodilator
yang berisi -adrenergik agonis, teofilin dan kortikosteroid. 5 Pada pasien dengan serangan asma
balans cairan dan elektrolit perlu dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.7

1. Manajemen Asma

Preparat yang digunakan untuk asma adalah sebagai berikut:

a. Simpatomimetik atau agen -agonis, menyebabkan bronkodilatasi melalui cAMP


yang memediasi relaksasi otot polos. Obat-obat ini juga menghambat histamine dan
neurotransmitter kolinergik.

1. Selektif -adrenergik, umumnya diberikan secara inhalasi dan sampai saat ini
merupakan preparat yang paling efektif. Misalnya Albuterol (Ventolin) 2 puffs
atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5ml/2ml salin setiap 4-6 jam.
Salmeterol 2 puffs dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5ml/2ml salin setiap 4-6
jam. Pasien-pasien yang menggunakan beta bloker hendaknya menggunakan yang
tidak menimbulkan spasme bronkus seperti atenolol, metoprolol atau esmolol.6

2. Campuran 1 dan 2 adrenergik termasuk epinefrin (Adrenalin), isoproterenol


dan isoetharin. Efek samping takikardi dan aritmogenik membahayakan pada
penderita penyakit jantung.

3. Terbutaline sulfat pemberiannya 0,25mg SC, dapat diulangi 15 menit, tetapi tidak
lebih dari 0,5mg dalam 4 jam.

b. Xantin (Teofilin)

1. Teofilin

Efek dari teofilin sama dengan golongan simpatomimetik, tapi cara kerjanya
berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling
memperkuat. Teofilin sebagai bronkodilator memiliki 2 mekanisme aksi utama,
17
yaitu dengan cara relaksasi otot polos dan menekan stimulant yang terdapat pada
jalan napas. Mekanisme aksi yang utama belum diketahui dengan pasti. Diduga
efek bronkodilatasi disebabkan adanya inhibisi 2 isoenzim yaitu fosfodiesterase
(PDE III) dan PDE IV. Sedangkan efek selain bronkodilatasi berhubungan dengan
aktivitas molecular yang lain. Teofilin juga dapat meningkatkan kontraksi otot
diafragma dengan cara peningkatan uptake Ca melalui adenosine-mediated
channel.

2. Aminofilin

Pada serangan asma akut reversible berat yang berhubungan dengan bronchitis
kronis dan emfisema digunakan aminofilin. Bentuk pemberian adalah injeksi iv
dengan kemasan 1 ampul dosis tunggal. Cara pemberiannya :

a) Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, berikan aminofilin dosis


awal 6mg/kgBB dalam Dextrosa atau NaCl sebanyak 20 ml dalam 20-30
menit

b) Bila pasien telah medapat aminofilin (< 4 jam), dosis diberikan separuhnya.

c) Bila mungkin kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20mcg/ml

d) Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam

c. Kortikosteroid

Sering digunakan pada pasien yang tidak respon terhadap terapi antagonis 2.
Terutama bentuk parenteral yang digunakan untuk terapi serangan asma berat.
Mekanisme kerja obat ini melalui pengurangan edema mukosa, stabilisasi membrane sel
mast dan anti inflamasi.

Kortikosteroid yang diberikan jangka panjang dapat menimbulkan efek samping


oleh karena itu dianjurkan pemberian melalui inhalasi digunakan dengan dosis maksimal
2000mcg, sangat efektif dalam mengendalikan gejala asma dan mengendalikan
eksaserbasi. Bila pemberian secara inhalasi belum bisa mengontrol asma maka dianjurkan
pemberian parenteral dengan Hidrokortison 12mg/kgBB atau 100mg IV/8jam dan
Metilprednisolon 40-80 mg IV / 4-6 jam atau 0,8mg/kgBB.

d. Sodium Cromolyn dan nedokromil adalah preparat inhalasi yang digunakan sebagai
profilaksis pada asma. Mekanisme kerja obat ini melalui stabilisasi membrane sel
mast dan anti inflamasi.

e. Mukolitik

2. Premedikasi8
18
a) Sedatif (Benzodiazepin) adalah efektif untuk anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma
berat dapat menyebabkan depresi napas. Sedasi ini penting diberikan pada pasien dengan
riwayat asma yang dipicu oleh emosional.

b) Narkotik / Opioid sebagai analgesic dan untuk sedative sebaiknya dipilih yang tidak
mempunyai efek pelepasan histamine misalnya fentanil dan sulfentanil10

c) Antikolinergik diberikan jika terdapat sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin


sebagai agen induksi. Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflex bronkospasme
oleh karena tindakan intubasi.

d) H2 bloker (cimetidin, ranitidine), secara teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor
H2 secara normal akan menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamine,
aktivitas H1 yang tanpa hambatan dengan blockade H2 dapat menimbulkan
bronkokonstriksi. 5

e) Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inhaler atau kortikosteroid
inhaler, obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi. Dianjurkan pemberian
kortikosteroid parenteral (Metilprednisolon 40-80mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi.
Bronkodilator harus diberikan sampai proses pembedahan selesai, pasien yang
mendapatkan terapi lama dengan glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk
mengkompensasi supresi adrenal. Hidrokortison 50-100mg sebelum operasi dan 100
mg/8 jam selama 1-3 hari pasca operasi.5,9

f) Pada penderita asma yang akan dilakukan intubasi dapat diberikan lidocain 1-
1,5mg/kgBB atau Fentanyl 2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap
ETT. Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halotan/enfluran pada stadium dalam
dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter. 9,10

5. Penanganan Anestesi Intraoperatif

Pemahaman terhadap suatu masalah patofisiologi yang mendasar lebih penting daripada
pilihan anestesi khusus atau obat. Pilihan teknik bisa regional anastesi saja, dengan pasien tetap
sadar, mampu mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan kombinasi
general anestesi dengan regional anestesi, karena pertimbangan untuk mengendalikan nyeri
postoperative.

A. Regional Anestesi

Spinal atau epidural anestesi adalah pilihan pada pembedahan ekstremitas bawah.
Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot tambahan
(intercostal untuk inspirasi dan otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal anestesi dapat
memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunan FRC, mengurangi kemampuan
untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu gangguan respirasi atau bahkan
19
terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat memperburuk
bronkokonstriksi karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas bawah (T1-4) dan
menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi teknik epidural dan
anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah
hipoksemia dan atelektasis. Pada prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya
dilakukan dengan general anestesi. Faktor faktor penting yang menghalangi
keberhasilan penggunaan anestesi regional seperti pasien tidak tahan berbaring lama di
meja operasi dalam waktu lama, batuk spontandan tidak terkendali dapat membahayakan
yaitu pada tahap kritis pembedahan.

B. General Anestesi

Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama instrumentasi
jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama anestesi dangkal dapat
menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan pelepasan
histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium, morfin, meperidin) harus dicegah atau
diberikan dengan sangat lambat jika digunakan. Tujuan dari anestesi umum adalah
smooth induction dan kedalaman anestesi disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan agen
anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum intubasi dan
stimulasi pembedahan.

1. Agen Inhalasi

Agen inhalasi anestesi seperti halotan akan menyebabkan bronkodilatasi dan dapat
digunakan untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halotan bepengaruh pada
diameter airway dengan cara memblok reflek airway dan efek langsung relaksasi otot
polos jalan napas. Namun hati-hati dalam penggunaan pada pasien dengan gangguan
jantung karena efek depresi miokardial dan efek aritmianya. Isofluran dan desfluran
dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan derajat yang setara tetapi harus
dinaikkan secara lambat karena sifatnya iritasi ringan dijalan napas. Sevofluran tidak
terlalu berbau (tidak menusuk) dan memiliki efek bronkodilator serta sifatnya tidak
iritasi dijalan napas.

2. Obat-obat induksi Intravena

Untuk induksi intravena dapat digunakan obat-obatan yang mempunyai onset


kerja cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton, propofol,
dan ketamin. Thiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-
kadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan
bronkokonstriksi melalui reseptor 2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan
20
mekanisme umpan balik negative dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut
akibat stimulasi yang harus berlanjut. Oleh karena itu blok reseptor 2 dapat
menghambat ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas vagal
(biasanya karena iritan)10. Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk mencegah
dan mereverse bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural dan
melalui penekanan langsung aktivitas otot polos saluran napas. Dari suatu hasil
penelitian, walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk bronkokonstriksi,
ketamin dikatakan lebih poten daripada propofol4. Propofol dengan dosis 2,5
mg/kgBB dapat menurunkan insidensi wheezing setelah intubasi dibanding dengan
penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan dengan
benzodiazepine, propofol lebih menguntungkan karena faktor onset yang cepat dan
akhir yang cepat pula.4 Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek analgesic
untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin diberikan dengan pelan-pelan,
ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi saliva dan trakeobronkial. Efek
ini dapat dicegah dengan menggunakan antisialogog seperti atropine ataupun
gycopyrolate.12Refleks bronkospasme dapat dicegah sebelum intubasi dengan
pemberian tambahan tiopenton 1-2mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3 MAC
agen volatile selama 5 menit atau diberikan lidokain intravena atau intratrakeal 1-
2mg/kgBB. Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri dapat memicu bronkospasme jika
dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat juga dengan antikolinergik (atropine 2 mg atau
glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi.

3. Muscle Relaxant

Faktor lain yang peru dipertimbangkan dalam penggunaan muscle relaxan adalah
perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran ACH
endogen, inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan sekresi jalan
napas dan dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah dengan
penggunaan antagonis muscarinik seperti atropine 1 mg atau glycopyrolate 0,5mg
untuk meminimalkan efek samping muskarinik. Alternatif lain dapat digunakan
muscle relaxn shortacting. Meskipun suksinilkolin dapat menyebabkan pelepasan
histamine tetapi secara umum dapat digunakan dengan aman pada kebanyakan pasien
asma.

C. Terapi Bronkospasme Intraoperatif

Bronkospasme pada intraoperatif ditunjukkan dengan wheezing, munculnya


penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan dari gelombang
dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesinya. Jika tidak hilang
21
maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan pipa endotrakeal akibat kekakuan, balon
yang keras, intubasi endobronkial, tarikan aktif karena anestesi dangkal, edem pulmo atau
emboli dan pneumotoraks semua dapat menyebabkan bronkospasme.2 Bronkospasme
harus ditangani dengan suatu beta adrenergic agonist baik secara aerosol atau inhaler
kedalam jalur inspirasi dari sirkuit napas.2Teknik pemberian ini adalah secara matered
dose inhaler, berikan 5-10 puffs obat tersebut kedalam jalan napas bagian bawah. Asma
sedang sampai berat perlu diterapi dengan aminofilin intravena, terbutalin (0,25mg) atau
keduanya. Pasien yang tidak menerima aminofilin preoperative perlu diberikan
aminofilin bolus 5-6 mg/kgBB intravena lebih dari 20 menit, diberikan pemeliharan 0,5-
0,9 mg/kgBB. Pasien asma dengan serangan asma berat sebaiknya diberikan ventilasi
bantuan untuk mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal, kecepatan ventilasi
yang rendah(6-10 napas/menit) ,volume tidal yang rendah dan waktu ekshalasi yang
panjang.9

Penurunan diameter saluran napasyang disebabkan bronkokonstriksi yang berat


dapat mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan ventilasi pada
beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan perfusi yang lebih rendah dapat
menyebabkan hipoksemia arterial. Vasodilatasi pulmoner akibat pemberian beberapa
bronkodilator dapat memperberat rasio ventilasi dan perfusi yang lebih rendah dapat
menyebabkan hipoksemia arterial. Oleh karena itu pada pasien-pasien yang teranestesi,
yang penting adalah meningkatkan konsentrasi gas oksigen inspirasi menjadi 100% pada
saat terjadi bronkospasme. Hal ini tidak hanya meminimalkan derajat hipoksia arterial
tetapi juga menjaga tekanan parsial oksigen dalam alveoli. 10

Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi pelemas
otot nondepolarisasi perlu direverse dengan anticholine esterase yang tidak memacu
terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan antikolinergik dengan dosis sesuai.
Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum pulihnya reflex jalan napas normal untuk
mencegah bronkospasme atau setelah pasien asma sadar penuh. Lidocain bolus 1,5-2
mg/kgBB diberikan intravena atau dengan kontinyu dosis 1-2mg/menit dapat menekan
reflex jalan napas. 5

6.Penanganan Postoperatif

Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian bronkodilator dilanjutkan lagi sesegera
mungkin pada pasca pembedahan. Pemberian bronkodilator melalui nebulator atau sungkup
muka sampai pasien mampu menggunakan MDI sendiri dengan benar. 6,11
22
Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI bila memenuhi criteria berikut:6

1. Frekuensi napas <25 kali /menit

2. Mampu menahan napas selama 5 detik atau lebih

3. Kapasitas vital > 15 ml/kg

4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi

5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai

6. PEFR 150L/menit untuk wanita dan >200L/menit untuk pria

Pada akhir pembedahan pasien harus bebas wheezing, reversal pemblok neuromuscular
nondepolarisasi dengan antikolinesterase tidak menimbulkan bronkospasme jika diberikan dosis
antikolinergik yang tepat. Pasien yang teridentifikasi risiko tinggi perlu dimasukkan ke unit
monitoring post operatif, dimana fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri
posoperatif adalah hal yang penting untuk menurunkan bronkospasme. 12Masalah berikut yang
terjadi pasca bedah adalah penurunan volume paru akibat anestesi dan pembedahan. Secara
fisiologi hal tersebut oleh karena terjadi penurunan ventilasi alveolar dan FRC. Penurunan
ventilasi alveolar disebabkan penurunan volume semenit oleh peningkatan dead space.
Penurunan volume semenit pasca bedah disebabkan pengaruh anestesi, narkotik, sedasi, pelemas
otot, atau penyakit neuromuscular, atau myasthenia gravis, GBS, lesi medulla spinalis servikal,
cederan pada nervus phrenicus. Peningkatan dead space terjadi pada emboli paru, penurunan
curah jantung, bronkospasme. Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru,
dan pneumonia.

Adapun kriteria untuk perawatan ICU:

1. Pasien yang memerlukan Ventilatory Support

2. FEV atau PEV<50%

3. PCO2>50 mmHg

4. PO2<50mmHg

5. Pasien nampak bingung dan lemah

6. Pasien yang membutuhkan monitoring terapi cairan dan farmakologis

7. Pasien dengan trauma mayor, multitrauma dan luka bakar apalagi disertai instabilitas
hemodinamik

8. Pasien trauma mayor yang dilakukan prosedur Damage Control Surgery

23
9. Pasien yang mengalami pembedahan mayor.

IV

DATA PASIEN

2.1 Identitas

Nama :Ny.Siti Aminah


24
Umur : 26 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat :Jalan Taman Sari, Dringu

Pekerjaan : Swasta (karyawan Eratex)

Tanggal MRS : 4 Juni 2013

2.2 Anamnesa

- Keluhan utama:

Tidak ada( pasien kontrol ke poli ortopedi dan direncanakan untuk lepas wire )

- Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien mengatakan direncanakan lepas wire setelah dipasang wire 1 bulan yang lalu,
tidak ada pusing, tidak ada mual dan muntah, tidak ada batuk.

- Riwayat Penyakit Dahulu:

- Pasien dipasang wire 1 bulan lalu pada jari ke empat tngan kanan

- Tidak ada riwayat Diabetes Melitus

- Tidak ada riwayat Hipertensi

- Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil, kambuh bila terkena debu, asap, atau pada
saat dingin. Sekarang sudah jarang sekali kambuh setelah mengkonsumsi obat teosal,
dextran forte

- Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama

25
- Riwayat Alergi:

Pasien memiliki riwayat alergi terhadap obat Paramex , setiap minum paramex mata bisa
bengkak.

2.3 Pemeriksaan Status Anastesi Pre Operasi

Sujective

Keadaan Umum : Baik

Riwayat Alergi : (+), analgetik

Riwayat Asma : (+)

Riwayat DM : (-)

Riwayat Hipertensi : (-)

Makan/Minum : (+)

Mual/muntah : (-)

BAK : Spontan

Objective

Airway : Jalan Napas Bebas, Malampati 1

Breathing :

RR : 20 x/menit

Ronki : (-)

Wheezing : (-)

Circulation:

Tensi : 120/80 mmhg

26
Nadi : 86 x/menit

Perfusi : akral merah, hangat

Disability :

Grimace : (-)

GCS : 456

Exposure

Status Generalis

Kepala : bentuk simetris


Mata : Konjunctiva Anemi (-) sclera Icterus (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Jantung : Gerakan dada simetri
Paru : retraksi (-), Gerakan dada simetris, sesak (-), Wh (-), Rh (-)
Abdomen : Distensi (-), Defans muskuler (-), nyeri tekan (-)
Extremitas : akral hangat + + Edema - -

+ + - -

Status lokalis :

Manus Dextra : digiti IV manus dextra ditutup kasa, nyeri (+), ROM terbatas,
riwayat pemasangan wire 1 bulan lalu
Assessment

Post op wire digiti IV manus dextra

Planning

- ASA 2 (riwayat Asma dan Alergi analgetik)


- Puasa 8 jam (dari jam 24.00, 4 Juni 2013)
27
- Lengkapi Informed Consent
- Infus RL 20 tetes/menit

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Haemoglobin 14,6 L: 13-18, P: 12-16 g/dl

Leukosit 10.700 4000-11000 cmm

Hematokrit 42 L: 40-54, P: 35-47

Trombosit 165.000 150000-450000 cmm

Diff Count -/-/7/60/31/2 0-2/0-1/1-2/45-70/35-50/0-2

LED/BBS 34/58 L: 5-10, P: 10-20 /jam

3.5 Physical Status

ASA 2 yaitu pasien dengan gangguan sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsional (pasien riwayat asma dan alergi analgetik)

3.6 Monitoring Pasien pre op

Terapi Cairan pertama tanggal 4 Juni 2013


Pasien diberikan Inf. RL 500 cc dengan maintenance 20 tpm

Pasien mulai dipuasakan saat pertama kali menerima cairan pukul 24.00 tanggal 4 Juni
2013.
Direncanakan dilakukan operasi aff wire pada tanggal 5 Juni 2013 pagi.

3.7 Anasthaesi pada Tindakan Aff Wire pada pasien Asma

28
Pasien masuk OK untuk dilakukan aff wire pada tanggal 5 Juni 2013 Pukul 8:30 WIB dengan
General Anastesi Teknik TIVA ( Total Intravenous Anastetic ). Pasien masuk dengan masih
menerima antibiotik profilaksis Novalmycin 2 gram drip dalam NaCL 100cc.

Obat Premedikasi

Dexametason : 1x 5mg i.v

Sediaan 5 mg/ml

Ondancetron : 1 x 4mg i.v

Dosis : 0,01 mg/kgBB (4-8 mg IV), sediaan : 4 mg/2ml

Fentanyl : 1x 0,05mg i.v

Sediaan: 0,05 mg / 2ml

Obat Induksi :

- Propofol 100mg i.v, Dosis 1,5-2,5mg/kgBB i.v


Oksigen : 4 lpm dengan face mask

Planning Post operasi


- Analgesik Post operasi : Injeksi Ketorolac 3 x 30 mg i.v

- Infus RL 20 tpm

-Makan minum bebas

Monitoring 5 Juni 2013, pukul 14.30 WIB

S: Pasien tidak ada keluhan, sesak (-), pusing (-), mual (-), muntah (-).

O: GCS: 456

Tekanan darah : 110/70mmHg

Nadi : 96 kali/menit
29
RR : 24 kali /menit

Suhu : 36,30C

Status lokalis : digiti IV manus dextra dibebat kasa, nyeri sedikit.

A: Post Aff Wire digiti IV manus dextra

P: RL 20 tpm

Ketorolac 3x30mg iv

Makan dan minum bebas

Daftar Pustaka

1. Karnen B, 1999 : Asma Bronkial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, hal :21-39

2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan Asma di Indonesia, Penerbit FKUI, Jakarta.

3. Lenfant C, Khaltaev N. GINA. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.

30
4. Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Johnson M, Vignola AM. Asma. From
Bronchoconstriction to airway remodeling. Am J Respir Crit Care Med, 2000;161:1720-
45

5. Morgan GE, 2006: Anestesi for Patients with Respiratory Disease in Clinical
Anaesthesiologist 3rd edition, page : 571-576

6. Indro Mulyono,2000: Pengelolaan Perioperatif pada penderita gangguan Pernapasan


dalam PIB X IDSAI di Bandung, hal: 111-133.

7. Oberoi G, Philip G, 2000: Management of some medical emergency situation, Mc


GrawHill, page :315-318

8. Kevin C and Kenneth E. Shepherd, 2002: Specific concoderation with Pulmonary disease
in clinical anaesthesia procedure of the Massachusetts General Hospital, 6 th edition
Lipincott William & Willkins page : 33-41

9. Mark R. Ezekeil. Pulomnary Disease, Hand Book of Anaesthesiology, Current Clinical


Strategies, 2004-2005 , page: 34-35

10. Gall TJ, 2002, Reactive airway Disease : Anaesthetic Perspective, IARS 2002 Review
Course Lecture, USA

11. William R. Solomon, 2002: Patologi, Konsep Klinis Proses-proses penyakit, hal : 171-
186

12. Epstein L, 1999: Specific Consideration with Pulmonary Disease in Clinical Anaesthesia
Procedure od Massachusetts General Hospital, 6th ed. Lippincot William & Wilkins,
page: 6,33-41,259-261

13. Anaesthesiology. 2012. Unair

14. Wim de Jong. Buku Ajae Imu Bedah ed. 3. 2010. EGC : Jakarta

31

Anda mungkin juga menyukai