Anda di halaman 1dari 16

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PROVINSI PAPUA

TAHUN 2015

1. Gambaran Umum IPM Provinsi Papua


a. Perkembangan IPM Provinsi Papua
Wujud kualitas manusia dapat dilihat dari kondisi pencapaian Indeks
Pembangunan Manusia. IPM yang tinggi menjadi indikasi bahwa pilihan
atas kehidupan yang lebih luas yaitu harapan hidup, harapan lama
sekolah, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran per kapita semakin
membaik. Indikator tersebut yang diukur secara nyata dengan
standarisasi tertentu agar memiliki keterbandingan dari waktu ke waktu
maupun antarwilayah.
Secara umum, grafik perkembangan IPM menunjukkan bahwa ada
pertumbuhan kualitas SDM di Papua sejak tahun 2010 hingga tahun 2015
yang terus mengalami kemajuan. IPM Papua meningkat dari 54,45 pada
tahun 2010 menjadi sebesar 57,25 di tahun 2015 (meningkat sekitar 2,8
point). Selama periode tersebut, IPM di provinsi paling timur Indonesia ini
memiliki rata-rata tumbuh sebesar 1,01 persen tiap tahunnya. Meskipun
nominal IPM Papua terus meningkat setiap tahunnya, namun
pertumbuhannya selama periode 2010-2015 terus melambat. Pada
periode 2010-2011, IPM Papua tumbuh 1,04 persen dan sempat
mengalami pertumbuhan 1,25 persen pada periode 2013- 2012. Namun
kemudian pertumbuhannya terus melambat hingga pada periode 2014-
2015, IPM Papua hanya tumbuh 0,88 persen. Dengan nilai IPM yang masih
berada di bawah 60, maka capaian pembangunan manusia Papua masih
berstatus rendah.
Gambar 1
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Tahun 2010-2015

58 1.5
1.25
57
0.98
56 1.04 0.89 0.88 1.0
55
54 0.5
53
52 0.0
2010 2011 2012 2013 2014 2015
IPM Pertumbuhan

Apabila tanpa melihat besaran angka IPM maupun urutan secara


nasional, harus diakui bahwa upaya pembangunan manusia dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup penduduk di Provinsi Papua selama 5 tahun
terakhir mengalami kemajuan. Gambar 1 menunjukkan selama periode
2010 hingga 2015. Hal ini menunjukkan, akselerasi pembangunan yang
sudah konsisten. Namun jika ditelisik lebih jauh, hasil yang dicapai dalam
upaya pembangunan kualitas hidup masih cenderung menguntungkan
wilayah tertentu.

Upaya membangun tidak terhenti walaupun mengalami sejumlah


tantangan seperti gejolak dan stabilitas keamanan, dampak badai krisis
ekonomi nasional maupun internasional yang lalu serta kenaikan harga
BBM. Dampak langsung kenaikan harga BBM pada waktu lalu terhadap
konsumsi dan daya beli masyarakat di wilayah pegunungan telah
memperlambat progres hasil pembangunan. Demikian juga, tidak mudah
untuk melakukan treatment pembangunan di Papua yang secara
geografis sangat berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia. Di sisi lain
Papua memang kaya akan resources namun masih kesulitan dalam
pemerataan hasil-hasil pembangunan. Hal ini kemudian secara nyata
masih mempengaruhi indikator capaian kinerja pemerintah dalam hal
pembangunan manusia di Papua.
3
b. Papua dibanding Provinsi lain di Indonesia
Dengan menganalisis pembangunan antar-wilayah, dapat diketahui
tingkat pencapaian pembangunan setiap daerah. Kondisi georgrafis
Indonesia yang merupakan negara kepulauan tertentu dapat menjadi
pendukung sekaligus penghambat kinerja dan akselerasi pembangunan
antar-wilayah, terutama dalam hal pemerataan.
Pada tahun 2015, dari 34 provinsi di Indonesia, Papua merupakan
satu-satunya provinsi dengan capaian IPM yang masih berstatus rendah
(IPM kurang dari 60). Sementara itu, pembangunan manusia di 25 provinsi
memiliki status sedang (IPM berkisar antara 60-70) dan delapan provinsi
menyandang status tinggi (IPM berkisar antara 70-80). DKI Jakarta
sebagai pusat ekonomi dan pusat pemerintahan Indonesia memiliki IPM
tertinggi yang mencapai 78,99. Pada periode 2014 hingga 2015, Provinsi
Nusa Tenggara Barat tercatat sebagai provinsi dengan kemajuan
pembangunan manusia paling cepat, yaitu 1,36 persen. Sementara itu,
kemajuan pembangunan manusia di Kalimantan Utara (0,18 persen)
tercatat paling lambat di Indonesia selama tahun 2014-2015. Untuk
Papua, meskipun menjadi satu-satunya provinsi dengan klasifikasi IPM
rendah, namun pertumbuhannya sebesar 0,88 persen menempati
peringkat ke-21 dari 34 provinsi.
Dapat kita lihat bahwa Provinsi Papua yang berada pada wilayah
Indonesia Timur masih tertinggal jika dibandingkan dengan daerah
lainnya di Indonesia, dimana sebagian besar wilayahnya merupakan
daerah sulit. Landscape alamnya yang sangat unik dengan medan yang
sulit menjadikan pembangunan merupakan suatu harga yang sangat
mahal., Terdapat beberapa hal yang dinilai menjadi faktor penghambat
proses pembangunan, yaitu antara lain:
1) Aksestabilitas dan transportasi. Transportasi udara adalah tulang
punggung pembangunan di Papua dalam hal memobilisasi barang
maupun orang. Kondisi geografis Papua yang cukup sulit dijangkau
terutama di wilayah pegunungan menjadikan transportasi udara
menjadi satu-satunya pilihan bagi pemerintah dan masyarakat.
3
2) Faktor geografis, kondisi alam yang ekstrim serta medan yang sulit
menjadi salah satu penyebab lambatnya membuka keterisolasian di
Provinsi Papua. Membangun jalan di wilayah Pegunungan jauh lebih
sulit serta membutuhkan anggaran yang lebih besar dibandingkan
daerah pesisir. Sementara anggaran yang disediakan terbatas.
Inilah salah satu tantangan dalam membuka keterisolasian di
Papua.

3) Adanya gerakan separatis mempengaruhi faktor keamanan di


wilayah Papua. Secara umum program pengentasan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan, terus dilakukan pemerintah untuk
mensejajarkan warga Papua, sama seperti warga negara Indonesia
yang berada di wilayah-wilayah lain Indonesia. Meski demikian,
gerakan separatisme yang bertujuan untuk memerdekakan Papua
terpisah dari NKRI tersebut diyakini sebagai salah satu penghambat
pembangunan di Papua. Keberadaan kelompok separatis tersebut
sedikit banyak telah mengganggu kelancaran pembangunan di
wilayah Papua, sehingga proses percepatan pembangunan dan
peningkatan taraf kesejahteraan hidup rakyat Papua menjadi
berjalan lamban.
Sungguh suatu hal yang ironis, mengingat Provinsi Papua adalah
provinsi dengan kekayaan natural resources yang, melimpah, namun
fakta tersebut sepertinya belum mampu mengangkat taraf hidup
masyarakat serta pemerataan pembangunan. Jika membandingkan angka
IPM di antara 34 provinsi di Indonesia, Provinsi Papua sepertinya masih
terus menempati urutan terakhir dengan satu-satunya angka IPM yang
berada pada status rendah. Padahal era otonomi khusus yang sudah
dimulai dari tahun 2001, yang sudah berjalan selama 15 tahun, memiliki
biaya pembangunan yang tidak sedikit.

2. Pencapaian Indikator-indikator Utama IPM Provinsi Papua


3
a. Angka Harapan Hidup (AHH)
Salah satu komponen dalam penyusunan angka IPM adalah AHH
(Angka Harapan Hidup) yang merepresentasikan dimensi umur panjang
dan hidup sehat terus meningkat setiap tahunnya. Semakin tinggi AHH,
memberikan indikasi semakin tinggi kualitas fisik penduduk suatu daerah.

Gambar 2
Perkembangan Angka Harapan Hidup Provinsi Papua
65.5 0.5
0.38 65.09
65.0 64.76 64.84 0.4
64.60
64.46
64.5 64.31 0.25 0.3
0.22
0.23
64.0 0.12 0.2
63.5 0.1
63.0 0.0
2010 2011 2012 2013 2014 2015
AHH Pertumbuhan

AHH penduduk Provinsi Papua pada tahun 2010 adalah sebesar


64,31 tahun, dan pada tahun 2015 AHH Papua naik menjadi 65,09 tahun,
yang artinya secara rata-rata penduduk Provinsi Papua diharapkan dapat
hidup hingga usia 65 tahun. Dengan demikian, selama periode lima tahun
terakhir, Papua telah berhasil meningkatkan AHH sebesar 0,78 tahun,
dimana pertumbuhan rata-rata AHH pertahunnya sebesar 0,24 persen.
Pertumbuhan AHH meskipun terus meningkat, namun mengalami pasang
surut, dimana pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2014-2015 yaitu
sebesar 0,38 persen dan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2013-
2014 yaitu sebesar 0,12 persen. Secara lengkap dapat dilihat pada
Gambar 2 yang menunjukkan adanya peningkatan AHH penduduk
Provinsi Papua dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2015.
3
Gambar 3. Pencapaian Angka Harapan Hidup Provinsi Papua
Tahun 2015

Max 85.00

Pencapaian 65.09

Min 20.00

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Untuk dapat melihat sejauh mana capaian AHH penduduk Provinsi


Papua terhadap standar global menurut UNDP, dapat dilihat pada
Gambar 3. UNDP mematok Standar global untuk angka harapan hidup
penduduk adalah 85 tahun. Artinya, UNDP memasang target kualitas fisik
penduduk sehingga rata-rata dapat bertahan hidup sampai usia 85 tahun.
Dengan AHH penduduk Provinsi Papua tahun 2015 sebesar 65,09 berarti
nilai indeks pencapaian terhadap standar global adalah sebesar 76,57
persen.

b. Harapan Lama Sekolah (HLS)


Unsur utama IPM lainnya adalah indikator pendidikan yang terdiri
dari HLS (Harapan Lama Sekolah) dan RLS (Rata-rata Lama Sekolah). HLS
menunjukkan lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan
dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa mendatang. HLS dikaji
untuk mengetahui kondisi pembangunan sistem pendidikan di berbagai
jenjang yang ditunjukkan dalam bentuk lamanya pendidikan (dalam
tahun) yang diharapkan dapat dicapai oleh setiap anak.
3
Gambar 4
Perkembangan Harapan Lama Sekolah Provinsi Papua
10.5 5.11 6.0
9.94 9.95
10.0 9.58 5.0
3.77
9.5 4.05 9.11 4.0
8.92
9.0 8.57 2.19 3.0
8.5 2.0
8.0 0.09 1.0
7.5 0.0
2010 2011 2012 2013 2014 2015
HLS Pertumbuhan

Selama periode 2010 hingga 2015, HLS di Papua telah meningkat


sebesar 1,38 tahun dan secara rata-rata tumbuh 3,04 persen per tahun.
Pada tahun 2015, HLS di Papua adalah sebesar 9,95 tahun. Ini berarti
anak-anak usia 7 tahun memiliki peluang untuk menamatkan pendidikan
mereka hingga lulus SMP.

Gambar 5
Pencapaian Harapan Lama Sekolah Provinsi Papua Tahun 2015

Max 18.00

Pencapaian 9.95

0.00
Min

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Meningkatnya HLS dapat dijadikan sinyal positif semakin banyaknya


penduduk Papua yang bersekolah. Namun, perlu diingat bahwa
pertumbuhan HLS selama 3 tahun terakhir terus mengalami kemerosotan,
yaitu pada tahun 2012-2013 pertumbuhan dari 5,11 persen, menurun
3
menjadi 3,77 persen pada tahun 2013-2014 dan akhirnya pada tahun
2014-2015 hanya meningkat 0,09 persen.

Untuk melihat capaian HLS Provinsi Papua terhadap standar yang


ditetapkan UNDP dapat dilihat pada Gambar 5. UNDP mematok Standar
global untuk angka harapan hidup penduduk adalah 18 tahun. Artinya,
UNDP memasang target lamanya sekolah yang diharapkan akan
dirasakan oleh anak pada umur 7 tahun di masa mendatang sebesar 18
tahun. Dengan HLS penduduk Provinsi Papua tahun 2015 sebesar 9,95
berarti nilai indeks pencapaian terhadap standar global adalah sebesar
55,27 persen.

c. Rata-Rata Lama Sekolah (RLS)


Unsur kedua indikator pendidikan dalam penghitungan IPM adalah
rata-rata lama sekolah. Jika HLS (Harapan Lama Sekolah) merupakan
lamanya (dalam tahun) pendidikan yang diharapkan dapat ditempuh oleh
penduduk usia 7 tahun ke atas, maka RLS (Rata-rata Lama Sekolah)
mendeskripsikan lamanya sekolah yang telah dijalani penduduk usia 25
tahun ke atas. RLS digunakan untuk mengidentifikasi jenjang kelulusan
pendidikan penduduk suatu daerah.

Gambar 6
Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah Provinsi Papua
6.2 5.0
3.91 5.99
6.0 4.0
2.34 5.73 5.74 5.76
5.8 3.0
5.59 5.60
5.6 2.0
5.4 0.27 0.31 1.0
5.2 0.11 0.0
1 2 3 4 5 2015
RLS Pertumbuhan
3
Selama periode 2010 hingga 2015, RLS di Papua telah meningkat
0,4 tahun. Pada tahun 2015, RLS di Papua sebesar 5,99 tahun atau secara
rata-rata penduduk Papua usia 25 tahun ke atas telah mengenyam
pendidikan hingga kelas 5 SD. Meskipun RLS Papua masih rendah, yaitu
belum sampai pada pendidikan dasar 9 tahun, namun angkanya terus
meningkat dimana secara rata-rata tumbuh 1,39 persen setiap tahunnya
selama periode 2010 hingga 2015. Dalam Gambar 6 dapat dilihat bahwa
pada tahun 2014-2015 pertumbuhan RLS di Papua cukup tinggi dibanding
periode-periode sebelumnya, yaitu mencapai 3,91 persen. Pertumbuhan
positif ini merupakan modal penting dalam membangun kualitas
masyarakat Papua yang lebih baik.
Untuk dapat melihat sejauh mana capaian angka RLS terhadap
standar global yang telah ditetapkan oleh UNDP dapat dilihat pada
Gambar 7. Standar global yang ditetapkan oleh UNDP untuk RLS adalah
15 tahun atau setara dengan tingkat diploma 3 pada jenjang perguruan
tinggi. Pada tahun 2015, pencapaian angka RLS Provinsi Papua sebesar
5,99 berarti nilai indeks terhadap standar global UNDP adalah sebesar
39,92 persen.

Gambar 7
Pencapaian Rata-rata Lama Sekolah Provinsi Papua Tahun 2015

Max 15.00

Pencapaian 5.99

0.00
Min

0 5 10 15

d. Pengeluaran per Kapita Disesuaikan


3
Unsur ketiga dalam IPM adalah indikator standar hidup layak yang
diwakili oleh Pengeluaran per Kapita penduduk per tahun yang
Disesuaikan. Pada tahun 2015 pengeluaran per kapita disesuaikan untuk
penduduk Provinsi Papua agar dapat memenuhi standar hidup yang layak
adalah sebesar Rp 6,47 juta per tahun. Selama lima tahun terakhir,
pengeluaran per kapita disesuaikan masyarakat rata-rata meningkat
sebesar 0,69 persen atau senilai Rp43,60 ribu setiap tahunnya. Nilai
perkembangan Pengeluaran per Kapita Disesuaikan 5 tahun terakhir
dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8
Pengeluaran per Kapita Disesuaikan Provinsi Papua (000)
6500 6,469 1.0
0.82
6,416
0.85 0.72 0.72 6,394 0.8
6400 6,349
6,303 0.6
6300 6,251 0.34
0.4
6200 0.2
6100 0.0
1 2 3 4 5 2015
Pengeluaran/kapita Pertumbuhan

Berbeda dengan indikator lain yang mematok pada standar global


UNDP, maka untuk dapat melihat sejauh mana capaian pengeluaran per
kapita mengikuti standar dari BPS, yang secara lengkap dapat dilihat
pada Gambar 9. BPS mematok standar hidup layak sebesar Rp 26,57 juta
per tahun. Dengan capaian Pengeluaran per Kapita Disesuaikan pada
penduduk Provinsi Papua tahun 2015 sebesar Rp 6,47 juta, berarti dari
segi kemampuan daya beli, secara rata-rata penduduk Provinsi Papua
hanya mampu untuk mencukupi 24,15 persen kebutuhan hidup layak.
3
Gambar 9
Pencapaian Pengeluaran per Kapita DIsesuaikan
Provinsi Papua Tahun 2015

Max 26,572,352

Pencapaian 6,416,104

Min 1,007,436

3. Pencapaian Pembangunan Manusia di Tingkat Kabupaten/Kota


Proses pembangunan di Provinsi Papua terus bergerak maju, baik
itu pembangunan ekonomi maupun pembangunan infrastruktur. Dana
pembangunan otonomi khusus yang cukup besar telah menjadikan harga
pembangunan di Papua cukup mahal. Sejumlah realisasi pembangunan di
daerah masih berorientasi pada pembangunan fisik dengan harapan agar
kedepannya dapat mendorong tumbuhnya kualitas sumber daya manusia.
Hal ini kemudian menyebabkan lambatnya daya saing dan kompetisi SDM
serta menimbulkan kesenjangan kualitas SDM antar-daerah.
Untuk mendukung pembangunan di daerah, diperlukan semangat
membangun antara pemerintah dan masyarakat serta kemitraan yang
saling memahami kebutuhan serta perannya satu sama lain. Optimalisasi
pembangunan tidak lepas dari peran dan dukungan masyarakat. Tanpa
melihat perbedaan atau diskriminasi, pembangunan pada dasarnya
bersifat universal yaitu untuk semua, yang beriorientasi pada
pembangunan kualitas manusia sehingga memungkinkan untuk
terbukanya akses bagi setiap orang. Yaitu kebebasan akses terhadap
pilihan-pilihan untuk menjalani kehidupan yang berkualitas dan lebih baik.
Gambar 10
IPM Menurut Kabupaten/Kota dan Status Pembangunan Manusia
Provinsi Papua
Tahun 2015
3
Kenyataannya ialah bahwa akses terhadap kebebasan pilihan bagi
penduduk kabupaten/kota di Provinsi Papua masih banyak yang rendah.
Hal ini diketahui dari potret indeks pembangunan manusia tahun 2015 di
mana masih terdapat 18 dari 29 kabupaten/kota yang pembangunan
manusianya rendah (IPM<60). Rendahnya kualitas pembangunan
manusia tersebut merupakan wujud kombinasi rendahnya dimensi umur
panjang dan kesehatan, pengetahuan, dan standar hidup layak.
Pada tahun 2015 Pembangunan manusia di Kabupaten Jayapura
yang pada tahun 2014 masih berstatus sedang, pada tahun 2015 menjadi
berstatus tinggi. Kenaikan status pembangunan manusia juga terjadi di
Kabupaten Supiori, yang di tahun 2014 masih berstatus rendah, pada
tahun 2015 menjadi berstatus sedang. Secara keseluruhan, terdapat
empat kabupaten/kota dengan IPM berstatus tinggi yaitu Kota Jayapura,
Mimika, Biak Numfor dan Kabupaten Jayapura. Adapun yang berstatus
sedang terdapat 7 kabupaten/kota yaitu Merauke, Nabire, Yapen Waropen,
3
Keerom, Waropen, Sarmi dan Supiori, dan sisanya yaitu 18
kabupaten/kota berstatus rendah. Secara umum capaian kondisi IPM
masing-masing kabupaten dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 11
IPM Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2015

78.05
70.89
70.85
70.04
67.75
66.49
65.28
63.43
62.35
60.99
60.09
59.02
56.11
54.20
54.18
52.78
48.29
48.28
46.63
46.62
46.38
44.87
44.35
44.32
44.18
43.55
40.91
39.41

25.47

Capaian nilai terendah IPM tahun 2015 di Provinsi Papua terdapat di


Kabupaten Nduga dengan nilai IPM hanya sebesar 25,47 yang merupakan
IPM terendah diantara kabupaten/kota lain di Indonesia, dimana peluang
hidup di Nduga hanya mencapai usia 53,6 tahun, peluang anak usia 7
tahun bersekolah hanya sampai kelas 2 SD, penduduk usia 25 tahun
keatas secara rata-rata tidak tamat kelas 1 SD dan pengeluaran per
kapitanya hanya mencapai Rp 3,63 juta per tahun. Sebaliknya, capaian
IPM tertinggi berada di Kota Jayapura yang merupakan ibukota Provinsi
Papua yaitu sebesar 78,05, dimana peluang hidup penduduknya
mencapai usia 69,97 tahun, peluang anak usia 7 tahun bersekolah hingga
sampai semester 4 perguruan tinggi, penduduk usia 25 tahun keatas
secara rata-rata tamat kelas 2 SMA dan pengeluaran per kapitanya hanya
mencapai Rp 14,25 juta per tahun.
3
Apabila dilihat dari masing-masing indikator utamanya, AHH
tertinggi dicapai oleh Mimika (71,89), yang diikuti oleh Kota Jayapura
(69,97) dan Yapen Waropen (68,67). Sebaliknya, AHH terendah dicapai
oleh Nduga (53,60), yang berada diatasnya yaitu Asmat (55,60) dan
Mamberamo Raya (56,57). Untuk pertumbuhan AHH pada periode 2014-
2015 tertinggi dicapai oleh Boven Digoel dengan peningkatan 1,04
persen, dan terendah dicapai oleh Nduga yang tidak mengalami
petumbuhan AHH atau mengalami stagnan. Secara umum, capaian AHH
untuk masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat pada Gambar 12.

Kemudian dari sisi pendidikan, yaitu capaian HLS tertinggi dicapai


oleh Kota Jayapura (14,16), yang disusul oleh Kabupaten Jayapura (13,79)
dan Biak Numfor (13,44). Sedang HLS terendah masih dipegang oleh
Nduga (2,17), lalu diatasnya yaitu Puncak (4,47) dan Peg. Bintang (4,85).
Dari sudut pertumbuhannya, Pegunungan Bintang memiliki peningkatan
tertinggi pada 2014-2015 yaitu sebesar 9,97 persen dan terendah
pertumbuhannya ada pada Mamberamo Tengah yang hanya meningkat
0,07 persen.
3
Indikator pendidikan lainnya yaitu RLS di Provinsi Papua pada tahun
2015 dicapai oleh Kota Jayapura (11,11), kemudian diikuti oleh Biak
Numfor (9,83) dan Kabupaten Jayapura (9,48). Sedang RLS terendah
masih berada di Kabupaten Nduga (0,64), dan diatasnya ada Puncak
(1,61) serta Peg. Bintang (2,06). Kabupaten Puncak melakukan
pencapaian pertumbuhan RLS tertinggi yaitu sebesar 12,56 persen,
sebaliknya Supiori hanya tumbuh sebesar 0,08 persen.
Indikator terakhir adalah standar hidup layak yang ditandai dengan
pengeluaran per kapita yang disesuaikan. Kota Jayapura kembali berada
di puncak dengan capaian sebesar Rp 14,17 juta, disusul oleh Mimika
(10,87 juta) dan Merauke (9,88 juta). Sebaliknya Nduga berada pada
capaian terendah pada tahun 2015 yaitu sebesar 3,06 juta dan Lanny
Jaya (3,90 juta) serta Mamberamo Tengah (3,98 juta) berada diatasnya.
Puncak kembali mencapai pertumbuhan tertinggi pada sektor ini, yaitu
dengan pertumbuhan sebesar 2,15 persen pada periode 2014-2015, dan
3
Kabupaten Jayapura mencapai pertumbuhan terendah di Provinsi Papua
yaitu sebesar 0,26 persen.
Jika dilihat secara keseluruhan, maka Kabupaten Puncak mencapai
pertumbuhan IPM yang tertinggi di Provinsi Papua yaitu sebesar 3,59
persen pada periode 2014-2015, disusul oleh Pegunungan Bintang (3,12)
dan Lanny Jaya (2,08). Sedangkan pertumbuhan IPM terendah dicapai
oleh Kota Jayapura (0,24), Yalimo (0,25) dan Deiyai (0,34).

Anda mungkin juga menyukai