Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
oleh
2. Epidemiologi
Berdasarkan case report United Nations Programme on HIV/AIDS
(UNAIDS) tahun 2011 jumlh orang yang terjangkit HIV di dunia sampai akhir
tahun 2010 terdapat 34 juta orang, du pertuganya tinggal di Afrika kawasana
selatan Sahara, di kawasan itu kasus infeksi baru mencapai 70 %. Di Afrika
Selatan 5,6 juta orang terinfeksi HIV, di Eropa Tengah dan Barat jumlah kasus
infeksi baru HIV/AIDS sekitar 840 ribu, di Jerman secara kumulasi ada 73 ribu
orang, kawasan Asia Pasifik merupakan urutan kedua terbesar di dunia setelah
Afrika Selatan dimana terdapat 5 juta penderita HIV/AIDS. Menurut World
Health Organization (WHO) dilaporkan bahwa pada tahun 2011 teradapat 3,5 juta
orang di Asia Tenggara hidup dengan HIV/AIDS. Beberapa negara seperyi
Myanmar, Nepal, dan Thailand meununjukkan penurunan infeksi baru HIV. Hal
ini dihubungkan salah satunya dengan diterapkannya program pencegahan
HIV/AIDS melalui program Condom use 100 persen (CUP) ( WHO, 2011).
Berdasarkan data statisti kasus HIV/AIDS di Indonesia oleh Ditjen PP & PL
Kemenkes RI sampai bulan September 2014 diketahui sebanyak 22.869 orang
terinfeksi virus HIV dan sebanyak 1.876 orang dengan AIDS. Secara kumulatif
laporan HIV & AIDS sejak bulan April 1987 sampai dengan bulan Sepember
2014 adalah sebanyak 150.296 orang dengan HIV dan sebanyak 55.799 orang
AIDS dengan angka kematian sebanyak 9.796 orang. Kasus HIV AIDS ini lebih
umum menyerang pada kaum laki-laki yaitu sebanyak 30.001 orang (Ditjen
PP&PL Kemenkes RI, 2014).
3. Etiologi
Terdapat dua virus utama pada infeksi HIV yang mempunyai sedikit
perbedaan pada pathogenesis,manifestasi infeksi, perawatan dan prognosis
yaitu HIV-1 yang sejauh ini paling umum di dunia dan HIV-2 yang menyebar
terutama di Afrika Barat (Scully, 2004). Transmisi horizontal HIV terjadi
melalui kontak seksual yang intim atau pajanan parenteral dengan darah atau
cairan tubuh lain yang mengandung HIV. Transmisi perinatal (vertikal) terjadi
ketika ibu hamil yang terinfeksi HIV meneruskan infeksi kepada bayinya.
Tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa kontak secara sepintas antara
orang yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi dapat menyebarkan virus
tersebut (Corwin, 2000). Transmisi HIV yang paling lazim di seluruh dunia
adalah melalui hubungan seksual. Infeksi menular seksual laninnya (terutama
yang menyebabkan ulkus genital) akan meningkatkan risiko penularan HIV.
Jalur penularan HIV sangat beragam (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012).
HIV terdapat dalam sebagian cairan tubuh, yaitu darah, air mani, cairan
vagina, dan air susu ibu (ASI). HIV menular melalui:
1) Berhubungan seks yang memungkinkan darah, air mani, atau cairan
vagina dari orang terinfeksi HIV masuk ke aliran darah orang yang belum
terinfeksi (yaitu hubungan seks yang dilakukan tanpa kondom melalui
vagina atau dubur; juga melalui mulut, walau dengan kemungkinan lebih
kecil).
2) Memakai jarum suntik secara bergantian dengan orang lain yang terinfeksi
HIV.
3) Menerima transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV.
4) Dari ibu terinfeksi HIV ke bayi dalam kandungan, waktu melahirkan, dan
jika menyusui sendiri.
Biasakan mempunyai sikat gigi dan pisau cukur sendiri, karena selain untuk
kebersihan pribadi, jika terdapat darah akan ada risiko penularan virus lain
yang menular melalui darah (misalnya hepatitis), bukan hanya HIV. HIV tidak
menular melalui:
1) Bersalaman, berpelukan
2) Batuk, bersin
3) Memakai peralatan rumah tangga seperti alat makan, telepon, kamar
mandi, WC, kamar tidur, dll
4) Gigitan nyamuk
5) Bekerja, bersekolah, berkendaraan bersama
6) Memakai fasilitas umum misalnya kolam renang, WC umum, sauna, dll
HIV tidak menular melalui udara. Virus ini juga cepat mati jika berada di
luar tubuh. Virus ini dapat dibunuh jika cairan tubuh yang mengandungnya
dibersihkan dengan cairan pemutih (bleach) seperti bayclin atau chlorox, atau
dengan sabun dan air. HIV tidak dapat diserap oleh kulit yang tidak luka
(Murni dkk, 2009).
4. Klasifikasi
1) Klasifikasi laboratorium (Limfosit CD4+)
CDC mengkategorikan dewasa dan dewasa muda terinfeksi HIV
berdasarkan hitung limfosit CD4+ dan kategori klinis, yaitu :
Tabel 1. Sistem Klasifikasi untuk Infeksi HIV dan definisi Kasus Surveilans AIDS
yang diperluas bagi pasien Remaja dan Dewasa
CD4+ Kategori Klinis
A B C
Total % (Asimtomatik) (Simtomatik, bukan (Indikator AIDS)
kondisi A atau C)
500 29% A.1 B.1 C.1
200-499 14-28% A.2 B.2 C.2
< 200 < 14 % A.3 B.3 C.3
6. Manifestasi Klinis
WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit klinis
dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor dan minor.
Seseorang yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala minor bisa di
diagnosis HIV meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau tes laboratorium lain.
Berikut ini adalah tanda dan gejala mayor dan minor untuk mendiagnosis HIV
berdasarkan klasifikasi WHO.
1) Gejala mayor:
a) Gagal tumbuh atau penurunan berat badan
b) Diare kronis
c) Demam memanjang tanpa sebab
d) Tuberkulosis
2) Gejala minor:
a) Limfadenopati generalisata
b) Kandidiasis oral
c) Batuk menetap
d) Distres pernapasan/pneumonia
e) Infeksi berulang
f) Infeksi kulit generalisata (Direktorat Jenderal PP & PL, 2012).
Tabel 3. Tabel tanda dan gejala HIV AIDS
Sistem Tubuh Manifestasi Klinis
Keadaan Umum Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan
dasar
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur
oral > 37,5C) yang lebih dari satu bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih
dari satu bulan
Limfadenopati meluas
Infeksi Jamur Kandidiasis oral*
Dermatitis seboroik*
Kandidiasis vagina berulang
Infeksi Virus Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari
satu dermatom)*
Herpes genital (berulang)
Moluskum kontagiosum
Kondiloma
Sistem Respiratory Batuk lebih dari satu bulan
Sesak nafas
Tuberkulosis
Pneumonia berulang
Sinusitis kronis atau berulang
Sistem Gastrointestinal Hilanya selera makan
Mual ,muntah
Kandidiasis oral yang dapat menyebar pada
esophagus dan lambung
Diare kronis
Penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan
sebelumnya, hilangnya massa otot
Kelemahan karena hipermetabolisme tubuh.
Sistem Integumen PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan
kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital
(genital warts), folikulitis dan psoriasis.
Sistem Neurologi Ensefalopati HIV (kompleks dimensia AIDS)
berupa sindrom klinis yang ditandai penurunan
progesif pada fungsi kognitif, perilaku dan motorik.
Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat,
sakit kepala, kesulitan konsentrasi, konfusi
progesif, pelambatan psikomotorik, apatis dan
ataksi. Stadium lanjut mencakup gangguan kognitif
global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan
afektif, seperti pandangan yang kosong,
hiperrefleksi paraparesis spatik, psikosis,
halusinasi, tremor, inkontinensia, serangan kejang,
mutisme.
Meningitis kriptokokus, yaitu infeksi jamur
Cryptococcus neoform dengan gejala demam, sakit
kepala, malaise, kaku kuduk, mual, vomitus,
perubahan status mental, dan kejang.
Leukoensefalopati multifokal progresiva (PML)
merupakan kelainan sistem saraf pusat dengan
demielinisasi yang disebabkan virus J.C
manifestasi klinis dimulai dengan konfusi mental
dan mengalami perkembangan cepat yang pada
akhirnya mencakup gejala kebutaan, afasia, paresis
.
Mielopati vaskuler merupakan kelainan degeneratif
yang mengenai kolumna lateralis dan posterior
medulla spinalis sehingga terjadi paraparesis
spastik progresiva,ataksia serta inkontinensia.
Neuropati perifer yang berhubungan dengan HIV
diperkirakan merupakan kelainan demielisasi
dengan disertai rasa nyeri serta matirasa pada
ekstrimitas, kelemahan, penurunan reflkes tendon
yang dalam, hipotensi ortostatik.
7. Pencegahan
Pencegahan HIV dianjurkan melalui pendekatan ABCD yaitu:
1) A atau Adstinence yaitu menunda kegiatan seksual, tidak melakukan
kegiatan seksua sebelum menikah;
2) B atau Be faithful yaitu saling setia pada pasangannya setelah menikah;
3) C atau Condom yaitu menggunakan kondom bagi orang yang melakukan
perilaku seks berisiko;
4) D atau Drugs yaitu tidak menggunakan napza suntik agar tidak
menggunakan jarum suntik bergantian dan secara bersama-sama.
Upaya pencegahan juga dilakukan dengan cara memberikan KIE
(Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai HIV/AIDS kepada
masyarakat agar tidak melakukan perilaku berisiko, khususnya pada remaja.
Ada lima tingkat pencegahan (Five level prevention) menurut Level & Clark
yaitu:
1) Promosi Kesehatan (health promotion)
2) Perlindungan khusus (spesific protection)
3) Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt
treatment)
4) Pemabatasan cacat (disability limitation)
5) Rehabilitasi (rehabilitation)
Adapun upaya pencegahan yang dapat dilakukan kepada remaja maupun
para pengguna NAPZA, antara lain:
1) Pencegahan pada remaja
a. Merubaha perilaku dan sikap adalah lebih mudah jika dimulai
sebelum pola dibentuk;
b. Sumber kekuatan pencegahan berada didalam dirinya sendiri;
c. Dapat dilakukan KIE dalam bentuk kelompok-kelompok.
2) Pencegahan pada pengguna NAPZA suntik:
a. Program penjangkauan masyarakat berbasis komunitas sebaya
b. Meningkatkan akses untuk alat suntik yang steril dan kondom;
c. Meningkatkan akses untuk perawatan ketergantungan obat
(Brown, 2001).
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Uji Imunologi
Uji imunologi bertujuan untuk menemukan adanya respon antibodi
terhadap HIV dan juga digunakan sebagai test skrining.
a. Test ELISA
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA), merupakan uji
penapisan infeksi HIV yaitu suatu tes untuk mendeteksi adanya antibody
yang dibentuk oleh tubuh terhadap virus HIV. Dalam hal ini antigen mula-
mula diikat benda padat kemudian ditambah antibody yang akan dicari.
Setelah itu ditambahkan lagi antigen yang bertanda enzim, seperti
peroksidase dan fosfatase. Akhirnya ditambahkan substrat kromogenik yang
bila bereaksi dengan enzim dapat menimbulkan perubahan warna.
Perubahan warna yang terjadi seuai dengan jumlah enzim yang diikat dan
sesuai pula dengan kadar antibody yang dicari. 2 ELISA memiliki sensitifitas
yang tinggi, yaitu > 99,5%. Metode ELISA dibagi 2 jenis tehnik yaitu tehnik
kompetitif dan non kompetitif. Tehnik non kompetitif ini dibagi menjadi dua
yaitu sandwich dan indirek. Metode kompetitif mempunyai prinsip sampel
ditambahkan antigen yang berlabel dan tidak berlabel dan terjadi kompetisi
membentuk kompleks yang terbatas dengan antibody spesifik pada fase
padat. Prinsip dasar dari sandwichassay adalah sampel yang mengandung
antigen direaksikan dengan antibody spesifik pertama yang terikat dengan
fase padat. Selanjutnya ditambahkan antibody spesifik kedua yang berlabel
enzim dan ditambahkan substrat dari enzim tersebut.. Antibody biasanya
diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah
tubuh terpapar virus HIV,sehingga kita menganjurkan agar pemeriksaan
ELISA dilakukan setelah setelah minggu ke 12 setelah seseorang dicurigai
terpapar ( beresiko) untuk tertular virus HIV,misalnya aktivitas seksual
berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA
dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau urine.
b. Radioimmunoassay (RIA)
Prinsip dasar dari RIA adalah reaksi suatu antibody dalam konsentrasi
yang terbatas dengan berbagai konsentrasi antigen. Bagian dari antigen yang
bebas dan yang terikat yang timbul sebagai akibat dari penggunaan antobody
dalam kadar yang terbatas ditentukan dengan menggunakan antigen yang
diberi label radio isotop. Pada prinsip kompetitif bahan yang mengandung
antigen yang berlabel dan antigen yang terdapat di dalam sampel akan diberi
label radio isotop sehingga terjadi kompetisi antara antigen yang akan
ditentukan kadarnya dan antigen yang diberi label dalam proses pengikatan
antibody spesifik tersebut sampai terjadi keseimbangan. Sisa antigen yang
diberi label dan tidak terikat dengan antibody dipisahkan oleh proses
pencucian. Setelah itu dilakukan penambahan konyugate, sehingga terjadi
pembentukan kompleks imun dengan conjugate.
c. Imunokromatografi/ Rapid Test
a) Reaksi langsung (Double AntibodySandwich)
Metode ini biasanya dipakai untuk mengukur susbtrat vang besar dan
memiliki lebih dari satu epitop. Suatu substrat yang spesifik terhadap
antibody dimobilisasi pada suatu membran. Reagen pelacak yaitu suatu
antibody diikatkan pada partikel lateks atau metal koloid (konyugat),
diendapkan (tetapi tetap, tidak terikat) pada bantalan konyugat
(conyugate pad). Bila sampel ditambahkan pada bantalan sampel, maka
sampel tersebut secara cepat akan membasahi dan melewati bantalan
konyugat serta melarutkan konyugat. Selanjutnya reagen akan bergerak
mengikuti aliran dari sampel sepanjang strip membran, sampai mencapai
daerah dimana reagen akan terikat. Pada garis ini, kompleks antigen
antibody akan terperangkap dan akan terbentuk warna dengan derajat
vang sesuai dengan kadar yang terdapat di dalam sampel. Pada metode
ini, kadar substrat di dalam sample tidak boleh berlebih, tetapi harus lebih
sedikit daripada kadar antibody pengikat (capture Ab) yang terdapat
dalarn capture ilne sehingga mikrosfere tidak diikat pada garis pengikat
(capture line) dan mengalir terus ke garis kedua dari antibody yang
dimobilisasi yaitu garis control (control line).
b) Reaksi kompetitif (Competitive inhibition)
Sering dipakai untuk melacak molekul yang kecil dengan epitop
tunggal yang tak dapat mengikat dua antibody sekaligus. Reagen
pelacaknya adalah analit yang terikat pada partikel lateks atau suatu
colloidal metal. Apabila sampel dan reagen melewati zona dimana
reagen pengikat dimobilisasi, sebagian dari substrat dan reagen
palacak akan terikat pada garis capture line. Makin banyak substrat
yang terdapat di dalam sampel, makin efektif daya kompetisinya
dengan reagen pelacak.
Prosedur pemeriksaan untuk HIV menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut
dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan
pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%),
sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan
spesifisitas tinggi (99%). Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam
waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa
jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil
negatif, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat
perilaku yang berisiko.
Tabel 5. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1
d. Wastern Blot
Pemeriksaan Western Blot merupakan uji konfirmasi dari hasil reaktif ELISA
atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Cara kerja test
Western Blot yaitu dengan meletakkan HIV murni pada polyacrylamide gel yang
diberi arus elektroforesis sehingga terurai menurut berat protein yang berbeda-
beda, kemudian dipindahkan ke nitrocellulose. Nitrocellulose ini diinkubasikan
dengan serum penderita. Antibody HIV dideteksi dengan memberikan antlbody
anti-human yang sudah dikonjugasi dengan enzim yang menghasilkan wama bila
diberi suatu substrat. Test ini dilakukan bersama dengan suatu bahan dengan
profil berat molekul standar, kontrol positif dan negatif. Gambaran band dari
bermacam-macam protein envelope dan core dapat mengidentifikasi macam
antigen HIV. Antibody terhadap protein core HIV (gag) misalnya p24 dan protein
precursor (P25) timbul pada stadium awal kemudian menurun pada saat
penderita mengalami deteriorasi. Antibody terhadap envelope (env) penghasil gen
(GP160) dan precursor-nya (GP120) dan protein transmembran (GP4l) selalu
ditemukan pada penderita AIDS pada stadium apa saja. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa bila serum mengandung antibody HIV yang lengkap maka
Western blot akan memberi gambaran profil berbagai macam band protein dari
HIV antigen cetakannya.
e. Indirect Fluorescent Antibody (IFA)
IFA juga merupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Uji ini sederhana
untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal
dari uji Western blot.
2) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk
menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA atau RNA HIV-1 dan test untuk
komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24), dan PCR
test.
a. Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam
plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan
menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse
transcriptase virus atau untuk antigen spesifik virus
b. Nucleic Acid Amplification Test (NAAT HIV-1)
Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk
diagnosis pada window periode dan pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena
asam nuklet virus mungkin berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam
sampel. Pengujian RNA dan DNA virus dengan amplifikasi PCR, menggunakan
metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV-1.
c. Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibody p24 atau
dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada
umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA
atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan
peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibody
anti-p24.
d. PCR Test
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah uji yang memeriksa langsung
keberadaan virus HIV pada plasma,darah,cairan cerebral,cairan cervical, sel-sel,
dan cairan semen. Metode Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction
(RT PCR) ini yang paling sensitive. PCR adalah suatu teknologi yang
menghasilkan turunan / kopi yang berlipat ganda dari sekuen nukleotida dari
organism target, yang dapat mendeteksi target organism dalam jumlah yang
sangat rendah dengan spesifitas yang tinggi. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat
yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan
memerlukan alat yang canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya dilakukan jika
uji antibodi diatas tidak memberikan hasil yang pasti.
b. Pemeriksaan lainnya
a) Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau
adanya komplikasi lain
b) Tes Fungsi Pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial
c) Skan Gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.
d) Biopsis
Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi
e) Brankoskopi / pencucian trakeobronkial
Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan
paru-paru
f) Tes Antibodi
Jika seseorang terinfeksi HIV, maka sistem imun akan bereaksi dengan
memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam
3 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 12 bulan. Hal ini
menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak
memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif,
kemampuan mendeteksi antibody HIV dalam darah memungkinkan
skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostik.
9. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV, dilakukan serangkaian layanan yang
meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imunologis, dan penilaian
virologi. Hal tersebut untuk menentukan apakah pasien sudah memenuhi
syarat untuk terapi antiretroviral, menilai status supresi imun pasien,
menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi, dan
menentukan paduan obat ARV yang sesuai (Direktotat Jenderal PP & PL,
2011).
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang
dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur
hidupnya. Untuk ODHA yanng akan memulai terapi ARV dalam keadaan
jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm 3 maka dianjrkan untuk memberikan
Kontrimoksasol (1x960 mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi
ARV. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kepatuhan pasien untuk minum
obat, dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara
Kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV
mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol
(Direktotat Jenderal PP & PL, 2011).
Untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan
penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Berikut adalah rekomendasi cara
memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis.
2. Tersedia pemeriksaan CD4
a. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 < 350
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya
b. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu
hamil, dan ko infeksi hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4
3. Limfosit total <1000 -1200/ dapat diganti dengan CD4 dan dijumpai
tanda-tanda HIV. Hal ini pada pasien tanpa gejala (stadium 1 menurut
WHO) hendaknya jangan dilakukan pengobatan karena belum adanya
petunjuk mengenai tingkatan penyakit.
4. Pengobatan juga dianjurkan untuk pasien stadium III yang lanjut
termasuk kambuh luka pada mulut yang sukar sembuh dan infeksi pada
mulut yang berulang dengan tidak memperhatikan hasil pemeriksaan
CD4 dan limfosit total (Nursalam, 2007).
Tabel 5. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa
Sumber: Direktotat Jenderal PP & PL, 2011
Obat ARV bekerja untuk menghambat replikasi virus dalam tubuh pasien.
Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV sebelum pasien jatuh sakit
atau munculnya IO yang pertama. Tujuan pemberian terapi ARV adalah untuk
menurunkan HIV RNA menjadi dibawah 5000 copies/ dan peningkatan CD4
diatas 500 cell/l. Pemberian terapi ini akan memperlambat perkembangan
HIV dan mencegah IO.
Rekomendasi WHO dalam pemberian ARV adalah kombinasi 3 obat ARV
yaitu sebagai berikut.
1. Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI), menghambat proses
perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat
bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk zidovudine (ADX atau
AZT), lamivudine (3TC), didanosine (ddl), zalcitabine (ddC), stavudine
(d4T), dan abacavir (ABC).
2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), bekerja dengan
menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA dengan cara mengikat
reverse transcriptase sehingga tidak berfungsi.
3. Protease inhibitor (PI), menghalangi kerja enzim protease yang berfungsi
memotong DNA yang dibentuk oleh virus dengan ukuran yang benar untuk
memproduksi virus baru, contoh obat golongan ini adalah indinavir (IDV),
nelvinavir (NFV), squinavir (SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV),
dan loponavir/ritonavir (LPV/r).
4. Fusion inhibitor, mencegah masuknya HIV ke target sel dengan cara
berikatan dengan amplop protein disekitar virus, yang termasuk golongan
ini adalah enfuvirtide (T-20).
Tabel 6. Penggunaan NRTI dan NNRTI
b. Non Farmakologi
Selain melalui pengobatan orang dengan HIV/AIDS juga perlu didukung
pada pola nutrisi dan olahraganya (Nursalam, 2007).
1. Pemberian Nutrisi
Pasien dengan HIV/AIDS (ODHA) sangat membutuhkan beberapa unsur
vitamin dan mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari apa yang
biasanya diperoleh dalam makanan sehari-hari. Sebagian besar ODHA akan
mengalami defisiensi vitamin sehingga memerlukan makanan tambahan
(New Mexico AIDS Infonet, 2004 & Falma Foundation, 2004). Dalam
beberapa hal, HIV sendiri akan perkembangan lebih cepat pada ODHA yang
mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Kondisi tersebut sangat
berbahaya bagi ODHA yang mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
Vitamin dan mineral juga berfungsi untuk meningkatkan kemampuan tubuh
dalam melawan berkembangnya HIV dalam tubuh (Yayasan Kerti Praja, 2002
& William, 2004). HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan
penyerapan nutrient. Hal ini berhubungan dengan menurunnya atau habisnya
cadangan vitamin dan mineral dalam tubuh. Defisiensi vitamin dan mineral
pada ODHA dimulai sejak masih stadium dini. Walaupun jumlah makanan
ODHA sudah cukup dan berimbang seperti orang sehat, tetapi akan tetap terjadi
defisiensi vitamin dan mineral (Anya, 2002). Berdasarkan beberapa hal
tersebut, selain mengkonsumsi jumlah yang tinggi, para ODHA juga harus
mengkonsumsi suplementasi atau nutrisi tambahan. Pemberian nutrisi
tambahan bertujuan agar beban ODHA tidak bertambah akibat defisiensi
vitamin dan mineral.
2. Aktivitas dan Olahraga
Hampir semua organ berespon terhadap stres olahraga pada keadaan akut.
Olahraga yang dilakukan secara teratur menimbulkan adaptasi organ tubuh
yang berefek menyehatkan. Olah raga yang dilakukan secara teratur
menghasilkan perubahan pada jaringan, sel, dan protein pada sistem imun.
B. Clinical Pathway
(Terlampir)
C. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
1) Data Demografi
Nama, umur tempat tanggal lahir, jenis kelamin, ras, status perkawinan,
alamat, pekerjaan, status imigrasi, perilaku berisiko. Nama anggota
keluarga yang dapat dihubungi.
2) Riwayat sosial
a. Orientasi sexual pria,wanita, dan gay
b. Aktivitas seksual yang tidak aman seperti berganti pasangan tanpa
pengaman
c. Riwayat pekerjaan
d. Riwayat travelling
e. Gangguan mental
3) Riwayat kesehatan
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan
imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens.
Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum
berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang
berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia
aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan
penyakit seperti ini harus dianggap sebagai faktor penunjang saat
mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes
dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :
a. Kerusakan respon imun seluler (LimfositT )
Terapiradiasi,defisiensinutrisi,penuaan,aplasiatimik,limpoma,kortikost
eroid,globulin anti limfosit,disfungsitimikcongenital.
b. Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)
Limfositikleukemiakronis,mieloma,hipogamaglobulemiacongenital,pr
oteinlisingenteropati (peradangan usus).
4) Pola Kesehatan
a. Persepsi tentang kesehatan dan penanganan kesehatan
Persepsi terhadap penyakit, penggunaan alkohol dan obat-obatan
b. Nutrisi dan metabolisme
Kehilangan BB, anorexia, mual, muntah, lesi pada mulut, ulser pada
rongga mulut, sulit menelan, kram abdomen
c. Eliminasi
Diare persisten, nyeri saat BAK
d. Aktifitas dan olah raga
Kelelahan kronik, kelemahan otot, kesulitan berjalan, batuk, sesak
nafas, kemampuan melakukan ADL.
e. Tidur dan istirahat
Insomnia
f. Gangguan kognitif dan persepsi
Sakit kepala, nyeri dada, kehilangan memori, demensia, parestesis
g. Seksualitas
Riwayat berperilaku seks berisiko tinggi menurunnya libido,
penggunaan pil pencegah kehamilan, dan hepers genetalia.
5) Pemeriksaan Fisik
a. B1 Breathing
Inspeksi
a) Sekret di lubang hidung yang mengganggu pernafasan
b) Sesak nafas (dispneu, takipneu), pernafasan cuping hidung
c) Batuk produktif dan batuk non produktif dengan SaO2 < 80%
(PCP)
d) Retraksi interkostalis
Palpasi
Terdapat pembesaran kelenjar limfe
Perkusi
Terdengar hipersonor
Auskultasi
Terdapat suara nafas tambahan atau ronchi
b. B2 Blood
Inspeksi
a) Anemis
b) Perdarahan yang lama
c) Terdapat luka yang sulit kering dan ruang pada kulit
Palpasi
a) Takikardi/bradikardi
b) CRT mungkin akan > 2 detik atau bisa dalam kondisi normal
Auskultasi
Suara jantung biasanya terdengar normal namun biasa terdengar suara
jantung S3 dan S4 bila sudah terjadi kardiomiopati.
c. B3 Bowel
a) Lesi pada mulut: kapossi sarcoma
b) Candida mulut: plag putih yang melapisi
c) Rongga mulut dan lidah: kandidiasis
d) Lesi putih pada lidah (hairy leukoplakia)
e) Ginggivitis
f) Muntah
g) Diare
h) Inkontinen alvi
i) Hepatosplenomegali
d. B4 Brain
Ataxia, tremor, sakit kepala (toxoplasmosis), kurang kordinasi (ADC),
kehilangansensori, apasia, kehilangan konsentrasi (ADC), kehilangan
memori (ADC=AIDS Dementia Complex), apatis, depresi, penurunan
kesadaran, kejang (Toxoplasmosis), paralysis, dan koma
e. B5 Bone
Muscle Wasting
f. B6 Bladder
Inspeksi
Perubahan warna dan karakteristik urin
Palpasi
Nyeri tekan daerah suprapubik
Tabel 6. Pengelompokan Masalah Keperawatan Pasien HIV/AIDS
(Menurut Teori Adaptasi)
Masalah Fisik Masalah Psikis Masalah Sosial Masalah
Ketergantungan
1. Sistem 1. Integritas Perasaan Perasaan
Pernapasan : Ego: minder dan tak membutuhkan
Dyspnea, TBC, Perasaan tak berguna di pertolongan orang
Pneumonia berdaya atau masyarakat lain
2. Sistem putus asa Interaksi sosial:
Pencernaan:Nau 2. Faktor stress: perasaan
sea-Vomiting, baru/lama terisolasi atau
Diare, 3. Respon ditolak
Dysphagia, BB psikologis:
turun 10% denial,
selama 3 bulan marah,
3. Sistem cemas,
Persarafan: iritable
letargi,nyeri
sendi,
encelopathy.
4. Sistem
Integumen:
Edema yang
disebabkan
Kapsosis
Sacroma, Lesi
di kulit atau
mukosa, dan
alergi
5. Lain-lain :
Demam, resiko
menularkan
2. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
sekret (00031/hal. 406)
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi
(00032/hal. 243)
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan (00002/hal. 177)
4. Diare berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal: kuman pathogen
usus atau infeksi HIV (00013/hal. 216)
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
(00027/hal. 193)
6. Hipertemia berhubungan dengan peningkatan metabolism tubuh
(00007/hal. 457)
7. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis:infeksi (00132/hal.
469)
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi: lesi,
ruam di kulit (00046/hal. 425)
9. Keletihan berhubungan dengan kelesuan fisiologis:penyakit (00090/hal.
239)
10. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan (00092/hal. 241)
11. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan (00146/hal.
343)
12. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan gangguan citra tubuh
(00120/hal.291)
13. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit: ruam dan lesi pada
kulit (00118/hal. 293)
14. Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan gangguan konsep diri
(00052/hal. 321)
15. Distress spiritual berhubungan dengan ancaman kematian (00066/hal.
397)
16. Risiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi (00004/hal. 405)
17. Resiko cedera berhubungan dengan difungsi imun (00035/hal. 412)
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Perencanaan
No
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1 Ketidakefektifan NOC: Airway Management
bersihan jalan napas 1. Respiratory status: 1. Melakukan evaluasi awal untuk melihat
1. Kaji jumlah/kedalaman
ventilation
berhubungan dengan 2. Respiratory status: airway pernapasan dan pergerakan dada. kemajuan dari hasil intervensi yang telah
penumpukan secret patency dilakukan.
Setelah diberikan asuhan
2. Auskultasi daerah paru-paru, catat 2. Penurunan aliran udara timbul pada
keperawatan selama 1 x 24 jam
area menurun/tidak adanya aliran area yang konsolidasi dengan cairan. Suara
diharapkan jalan nafas pasien
udara serta catat adanya suara napas napas bronkial normal diatas bronkus dapat
kembali efektif
tambahan seperti ronchi, crackles dan juga crackles, ronkhi, dan wheezes
Dengan kriteria hasil:
wheezing. terdengar pada saat inspirasi dan atau
Secara verbal tidak ada ekspirasi sebagai respon dari akumulasi
keluhan sesak cairan, sekresi kental, dan spasme/obstruksi
Suara napas normal (tidak ada saluran napas.
suara nafas tambahan seperti 3. Diafragma yang lebih rendah akan
3. Elevasi kepala, sering ubah
ronchi) membantu dalam meningkatkan ekspansi
posisi.
Tidak ada penumpukan dada, pengisian udara, mobilisasi dan
sputum pengeluaran sekret.
Batuk (-) 4. Napas dalam akan memfasilitasi
Frekuensi pernapasan dalam 4. Bantu pasien dalam melakukan pengembangan maksimum paru-
batas normal sesuai usia (16- latihan napas dalam. paru/saluran udara kecil. Batuk merupakan
antara 36,5 37,20C 4. Anjurkan keluarga untuk memberikan 4. Dapat mencegah terjadinya dehidrasi
minum yang banyak, kurang lebih 1500
2000 cc
5. Kolaborasi dengan dokter dalam 5. Dapat menurunkan suhu tubuh pasien
pemberian obat penurun panas
(antipiretik) seperti paracetamol.
6 Keletihan berhubungan Setelah diberikan tindakan 1. Bantu pasien melakukan personal 1. Menjaga kebersihan tubuh pasien agar
dengan anemia, status keperawatan selama 1 x 24 jam higiene meminimalkan infeksi
penyakit, malnutrisi, diharapkan keletihan dapat 2. Ajarkan keluarga untuk 2. Memandirikan keluarga pasien
peningkatan kelelahan teratasi melakukan personal higiene
fisik Dengan kriteria hasil: 3. Motivasi pasien untuk melakukan 3. Mendorong pasien untuk melatih tubuh
Pasien dapat melakukan aktivitas sesuai kemampuan pasien. pasien
aktivitas dengan optimal
Perawat/keluarga dapat
membantu pasien dalam
melakukan aktivitas dan
pemenuhan ADL pasien
7 Intoleransi aktivitas Setelah diberikan tindakan 1. Mengkaji frekuensi nadi pasien, 1. Dilakukan agar perawat mengetahui tingkat
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 24 jam peningkatan tekanan darah, ada atau kelemahan pasien, serta bisa mengambil
kelemahan umum, diharapkan pasien dapat tidaknya nyeri dada, kelelahan berat, tindakan yang tepat untuk menangani
ketidakseimbangan beraktivitas secara normal. keringat, kondisi pasien pusing atau masalah pasien
antara suplai dan Dengan kriteria : pingsan.
kebutuhan oksigen ke Menunjukkan peningkatan 2. Mengkaji kesiapan pasien beraktivitas 2. Untuk menyeimbang-kan kondisi pasien
jaringan. yang dapat diukur dalam serta perawatan diri antara istirahat dan aktivitas
toleransi aktivitas 3. Membantu pasien melakukan aktivitas 3. Untuk melatih jantung secara perlahan,
Tekanan darah pasien normal secara bertahap meningkatkan konsumsi oksigen saat
8 Ketidakseimbangan Setelah diberikan askep selama 2 1. Kaji integritas mukosa oral dan 1. Berguna dalam mendefinisikan derajat/
nutrisi : kurang dari x 24 jam diharapkan pasien dapat timbang berat badan. Catat derajat luasnyamasalah dan pilihan intervensi yang
kebutuhan tubuh mempertahankan status nutrisi kekurangan berat badan dan tonus otot. tepat
berhubungan dengan adekuat dengan kriteria hasil : 2. Pastikan pola diet biasa pasien yang 2. Membantu dalam mengidentifikasi
ketidakmampuan Berat badan pasien disukai/ tidak disukai kebutuhan/ kekuatan khusus. Pertimbangan
menelan makanan, mengalami peningkatan keinginan individu dapat memperbaiki
ketidakmampuan untuk Mukosa bibir lembab dan 3. Dorong pasien makan sedikit dan masukan diet
mencerna makanan, tidak pucat sering dengan makanan tinggi protein 3. Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa
ketidakmampuan untuk Tonus otot meningkat dan karbohidrat kelemahan yang tak perlu/ kebutuhan energy
mengabsorpsi nutrien dari makan makanan yang banyak dan
Hasil pemeriksaan albumin
4. Pantau masukan/pengeluaran secara menurunkan iritasi gaster
dan protein dalam batas
periodic 4. Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi
normal (Albumin 3,40 4,80
5. Dorong dan berikan periode istirahat dan dukungan cairan
g/dL dan protein 6,40 8,30
sering 5. Membantu menghemat energy khususnya
d/dL )
6. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium bila kebutuhan metabolic meningkat saat
(protein dan albumin) demam
6. Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan
7. Berikan suplemen tambahan/ menunjukkan kebutuhan intervensi/
multivitamin perubahan program terapi
7. Memberikan nutrisi tambahan bagi tubuh
9 Nyeri akut Setelah diberikan tindakan 1. Kaji nyeri (skala, intensitas, waktu, 1. Untuk mengetahi tingkat nyeri
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 24 jam kualitas)
agen cedera fisik (lesi diharapkan nyeri yang dirasakan 2. Ajarkan tehnik relaksasi 2. Teknik relaksasi dapat mengurangi rasa
pada mulut, berkurang nyeri
esophagus, dan Dengan kriteria 3. Kolaborasi pemberian analgesik 3. Dapat mengurangi rasa nyeri
lambung) Menyatakan nyeri yang
dirasakan hilang
Skala nyeri < 7
teknik untuk mencegah 3. Pertahankan seprei bersih , kering dan 3. Friksi kulit disebabkan oleh kain yang
kerusakan kulit / menigkatkan tidak berkerut. berkerut dan basah yang menyebabkan iritasi
D. Discharge Planning
Discharge planning pada pasien dengan HIV/AIDS adalah:
1. Mengajarkan pada pasien dan keluarga untuksegera menghubungi tim
kesehatan atau segera menuju ke pelayanan kesehatan apabila terjadi
tanda tanda dan gejala infeksi.
2. Mengajarkan pada pasien dan keluarga untuk mengamati respon
terhadap pengobatan dan memberitahu dokter tentang adanya efek
samping.
3. Memberitahukan pada pasien dan keluarga tentang penjadwalan
pemeriksaan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA