Al-
Maidah: 60 dan 103). Zakat bukanlah semata-mata urusan yang bersifat karitatif (kedermawanan), tetapi juga
otoritatif (perlu ada kekuatan memaksa) (Hafidhuddin 2006, 165). Hal ini karena zakat memiliki posisi dan
kedudukan yang sangat strategis dalam membangun kesejahteraan, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan
ekonomi masyarakat, jika pengumpulan dan penyalurannya dikelola secara amanah, transparan dan profesional.
Namun, dalam praktiknya, pengelolaan zakat di Indonesia belum mampu mewujudkan peran strategis tersebut.
Kondisi seperti ini terutama terjadi sebelum tahun 1990-an, ketika belum ada kemauan politik dari pemerintah untuk
mengatur pengelolaan zakat secara lebih optimal. Regulasi zakat pertama di Indonesia adalah Surat Edaran
Kementerian Agama No.A/VII/17367 tahun 1951 yang melanjutkan ketentuan ordonansi Belanda bahwa negara tidak
mencampuri urusan pemungutan dan pembagian zakat, tetapi hanya melakukan pengawasan.
Upaya untuk memperkuat zakat dalam tatanan negara selanjutnya pada tahun 1964 Kementerian Agama menyusun
RUU pelaksanaan zakat dan RPerpu pengumpulan dan pembagian zakat dan pembentukan baitul mal. Namun, baik
RUU dan RPerpu ini belum sempat diajukan ke DPR dan Presiden. Kemudian tahun 1967, Menteri Agama
mengirimkan RUU zakat ke DPR-GR dengan Surat Nomor MA/095/1967, yang mana dalam surat tersebut
ditekankan bahwa pembayaran zakat adalah sebuah keniscayaan dalam masyarakat muslim, sehingga minimal
negara mempunyai kewajiban moril untuk mengaturnya. Selain kepada DPR-GR Menteri Agama juga mengirim surat
kepada Menteri Keuangan dan Menteri Sosial untuk mendapatkan usul dan tanggapan, terkait Depkeu yang
berpengalaman dalam pengumpulan dana masyarakat dan Depsos yang berpengalaman dalam distribusi dana sosial
ke masyarakat. Tanggapan yang diberikan Depkeu menyarankan zakat diatur dalam Peraturan Menteri Agama (Andi
Berdasarkan saran tersebut, Menteri Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun 1968 tentang
Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No.5 tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Mal
yang berfungsi sebagai pengumpul zakat untuk kemudian disetor kepada BAZ. Namun, atas seruan dan dorongan
Presiden berturut-turut pada peringatan Isra Miraj dan Idul Fitri 1968 keluarlah Instruksi Menteri Agama No.1
tahun 1969 tentang Penundaan PMA No.4 dan 5 tahun 1968 (Andi Lolo 1991, 270).
Praktis setelah itu, pengaturan dan pengelolaan zakat di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang signifikan,
kecuali beberapa instruksi dan himbauan tentang infaq dan sedekah. Hal ini menjadikan zakat relatif tidak
memberikan kontribusi positif dan konstruktif dalam menghadapi realitas problem sosial ekonomi masyarakat dan
negara. Sebelum tahun 1990, dunia perzakatan di Indonesia memiliki beberapa karakteristik, antara lain zakat
umumnya diberikan langsung oleh muzakki kepada mustahik, jika pun melalui petugas zakat hanya terbatas pada
zakat fitrah yang bertugas temporer, kemudian zakat yang diberikan pada umumnya hanya bersifat konsumtif dan
harta objek zakat terbatas pada harta yang secara eksplisit dikemukan dalam Al-Quran dan Hadist (Hafidhuddin
2006, 209).
Melalui perjuangan para ulama, cendekiawan dan profesional, pada tahun 1990-an mulai terlihat perubahan sikap
politik pemerintah terhadap zakat. Di satu sisi, usaha untuk merintis pendirian lembaga zakat formal terus
berlangsung, sehingga akhirnya berdiri lembaga zakat formal pertama, yaitu BAZIZ DKI pada tahun 1969. Kemudian
pada tahun 1991, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan shadaqah. Dan
diikuti dengan Instruksi Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq
dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil
Seiring dengan keluarnya berbagai instruksi dan keputusan menteri dan perkembangan BAZIS DKI tersebut, maka
mendorong pertumbuhan BAZIS maupun lembaga amil zakat yang dikelola masyarakat di daerah-daerah lain.
Beberapa yang menonjol antara lain YDSF yang berdiri tahun 1989 dan Dompet Dhuafa Republika yang berdiri tahun
1993. Dompet Dhuafa kemudian membidani lahirnya Forum Zakat (FoZ) sebagai asosiasi organisasi pengelola zakat,
dengan konsorsium bersama 11 lembaga zakat pada tanggal 7 Juli 1997. Melalui FoZ ini aspirasi dalam perjuangan
Puncaknya adalah ketika pada tahun 1999, pemerintah bersama DPR menyetujui lahirnya Undang-Undang Nomor
38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. UU Pengelolaan Zakat ini kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan
Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No.38 tahun 1999 dan Keputusan Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Sebelumnya
pada tahun 1997 juga keluar Keputusan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 1998, yang memberi wewenang kepada
masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin untuk melakukan pengumpulan
institusionalisasi pengelolaan zakat dalam wilayah formal kenegaraan, meskipun masih sangat terbatas. Lembaga-
lembaga pengelola zakat mulai berkembang, termasuk pendirian lembaga zakat yang dikelola oleh pemerintah, yaitu
BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan lembaga zakat yang dikelola masyarakat dengan manajemen yang lebih
Substansi utama UU Pengelolaan zakat adalah pengaturan harta obyek zakat dan pendayagunaan, serta pengaturan
organisasi pengelola zakat. Dalam UU tersebut organisasi pengelola zakat dibedakan menjadi dua, yaitu Badan Amil
Zakat yang dikelola oleh pemerintah dan Lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh masyarakat. Kedua organisasi
pengelola zakat tersebut pada dasarnya merupakan pengganti peran otoritatif pemerintah dalam pengelolaan zakat.
Meskipun demikian, kedua organisasi ini memiliki kelemahan mendasar karena sebagai otoritas pengelola zakat, UU
tidak memberikan kekuatan memaksa organisasi pengelola zakat kepada para muzakki. Oleh karena itu, hingga kini
Namun, setidaknya dengan UU Zakat tersebut telah mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang
amanah, kuat dan dipercaya masyarakat. Tentu saja hal ini meningkatkan pengelolaan zakat sehingga peran zakat
menjadi lebih optimal. Lembaga-lembaga zakat telah mampu mengelola dana hingga puluhan milyar rupiah, dengan
Kelembagaan zakat di Indonesia diatur dalam Bab III UU Nomor 38 Tahun 1999, meliputi badan amil zakat dan
lembaga amil zakat. Badan amil zakat (BAZ) merupakan organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah,
dari level pemerintah pusat sampai kecamatan. Badan amil zakat pada semua tingkatan tersebut mempunyai
hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif dan informatif. Pengurus BAZ yang meliputi unsur
pertimbangan, pengawas dan pelaksana dapat berasal dari unsur pemerintah maupun masyarakat. Sedangkan
lembaga amil zakat (LAZ) merupakan organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat, yang dikukuhkan,
dibina dan dilindungi pemerintah. Baik BAZ maupun LAZ bertugas untuk mengumpulkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat sesuai ketentuan agama. Selain zakat, BAZ dan LAZ dapat mengelola dana infaq, sedekah,
wasiat, waris dan kafarat. Dalam menjalankan tugasnya, BAZ dan LAZ bertanggungjawab pada pemerintah sesuai
tingkatannya. Khusus BAZNAS atau Bazda berkewajiban menyampaikan laporan keuangan tahunan pada DPR atau
DPRD.
Pengaturan teknis kelembagaan, susunan organisasi dan tata kerja organisasi pengelola zakat diatur dalam
Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No.38 tahun 1999 dan Keputusan
Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999, persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh
lembaga zakat, yaitu berbadan hukum, memiliki data muzakki dan mustahik, memiliki program kerja yang jelas,
memiliki pembukuan yang baik, dan melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit.
Meskipun demikian, pengaturan kelembagaan zakat ini lebih bersifat kelembagaan internal berupa bentuk dan
administrasi lembaga, manajemen dan sanksi bagi lembaga zakat yang lalai. UU Zakat lebih bersifat mengatur
organisasi pengelola zakat, bukan pengaturan zakat secara umum dan menyeluruh. Sehingga kelembagaan zakat
dalam lingkup kebijakan ekonomi publik belum terbentuk. Mekanisme sistem zakat masih sepenuhnya di bawah
Departemen Agama. Padahal, mempertimbangkan fungsi sosial ekonominya zakat hendaknya juga berada di bawah