Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia merupakan Negara yang kaya dengan keragaman budaya dan sumber daya
alami. Dari segi sumberdaya alami banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan
mendapatkan tempat dipasar internasionl sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi
sebagai contoh : java coffe lada, gaya coffe, toraja coffee, tembakau deli, muntok white
paper. Keterkanalan produk tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan hukum yang
bisauntuk melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan curang dalam perdagangan.
Mengenai upaya perlindunganproduk lokalberupa indikasi geografis di Indonesia, pemerintah
telah mengeluarkan hukum berupa peraturan pemerintah ( pp) nomor 51 tahun 2007 tentang
perlindungan indikasi geografis yang mengatur mekanisme pendaftarannya di ditjen hak
kekayan intelektual departemen hukum dan ham.

Menyadari sedikitnya jumlah permohonan, ditjen hak kekayaan intelektual kini


mencoba melakukan terobosan dengan cara mendattangu dan melakukan sosialisasi kepada
mansyarakat di sentra-sentra yang berpotensi memiliki komoditas perkebunan dan pertanian
untuk didaftarkan. Pendaftaran produk itu akan memberikan nilai tambah dan keuntungan
kepada para stake holde yang terlibat seperti petani dan eksportie. Selain itu pendaftaran
produk juga merupakan bagian dari strategi marketing, sehingga produknya bias lebjh mahal
dari produk sejenis . sertifikasi indikasi geografis bertujuan untuk meningkatkan daya saing
produk pertanian yang dihasilkan suatu daerah dan tidak dimiliki daerah lain. Namun, sampai
saat ini amanat perlindungan indikasi geografis baru direalisasikan atas produk kopi arabika
kintamani bali, suatu tindakan lamban apabila dibandingkan dengan Negara-negara lainnya.
Hal ini terjadi karena produk tersebut beum terdaftar dalam perlindungan indikasi geografis
di Indonesia dan tidak memiliki perlindungan hukum di Negara-negara tersebut, sehingga
produk produk tersebut perlu didaftarkan dalamperlindungan hukum indikasi geografis.

Indikasi geografis merupakan suatu bentuk perlindunngan hukum terhadap nama asal
barang. Inti perlindungan hukum ini ialah bahwa pihak yang tidak berhak, tidak di
perbolehkan menggunakan indikasi geografis bila penggunaan tersebut cenderung dapat
meniou masyarakat konsumen tentang daerah asal produk, disamping itu indikasi geografis
dapat dipakai sebagainilai tambah dalam komersialisasi produk.

1
Masyarakat dan perusahaan sering ingin menggunakan nama geografis untuk
menunjukkan asal dari barang atau jasa yang mereka tawarkan kepada masyarakat, misalkan
Kopi Toraja, Bika Ambon dll. Lalu apakah indikasi geografis itu ? Indikasi geografis adalah
suatu tanda yang menunjukkan daerah asal barang yang dikaitkan dengan kualitas, reputasi
atau karakteristik lain yang sesuai dengan asal geografis barang tersebut. Agar dapat
dilindungi oleh undang-undang, indikasi geografis harus didaftarkan terlebih dahulu di kator
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Indonesia (Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar,
Lindsey T dkk, 2006).

Indonesia merupakan Negara yang kaya dengan keragaman budaya dan sumber daya
alami. Dari segi sumberdaya alami banyak produk daerah yangtelah lama dikenal dan
mendapatkan tempat dipasar internasionl sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi
sebagai contoh : java coffe lada, gaya coffe, toraja coffee, tembakau deli, muntok white
paper. Keterkanalan produk tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan hukum yang
bisauntuk melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan curang dalam perdagangan.
Mengenai upaya perlindunganproduk lokalberupa indikasi geografis di Indonesia, pemerintah
telah mengeluarkan hukum berupa peraturan pemerintah ( pp) nomor 51 tahun 2007 tentang
perlindungan indikasi geografis yang mengatur mekanisme pendaftarannya di ditjen hak
kekayan intelektual departemen hukum dan ham. Menyadari sedikitnya jumlah permohonan,
ditjen hak kekayaan intelektual kini mnecoba melakukan terobosan dengan cara mendattangu
dan melakukan sosialisasi kepada mansyarakat di sentra-sentra yang berpotensi memiliki
komoditas perkebunan dan pertanian untuk didaftarkan. Pendaftaran produk itu akan
memberikan nilai tambah dan keuntungan kepada para stake holde yang terlibat seperti petani
dan eksportie.

Selain itu pendaftaran produk juga merupakan bagian dari strategi marketing,
sehingga produknya bias lebjh mahal dari produk sejenis . sertifikasi indikasi geografis
bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk pertanian yang dihasilkan suatu daerah dan
tidak dimiliki daerah lain. Namun, sampai saat ini amanat perlindungan indikasi geografis
baru direalisasikan atas produk kopi arabika kintamani bali, suatu tindkan lamban apabila
dibandingkan dengan Negara-negara lainnya. Hal ini terjadi karena produk tersebut beum
terdaftar dalam perlindungan indikasi geografis di Indonesia dan tidak memiliki perlindungan
hukum di Negara-negara tersebut, sehingga produk produk tersebut perlu didaftarkan dalam
perlindungan hukum indikasi geografis.

2
Indikasi geografis merupakan suatu bentuk perlindunngan hukum terhadap nama asal
barang. Inti perlindungan hukum ini ialah bahwa pihak yang tidak berhak, tidak di
perbolehkan menggunakan indikasi geografis bila penggunaan tersebut cenderung dapat
meniou masyarakat konsumen tentang daerah asal produk, disamping itu indikasi geografis
dapat dipakai sebagainilai tambah dalam komersialisasi produk.

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN INDIKASI GEOGRAFIS


Untuk pertama kalinya perundang-undangan merek di Indonesia mengatur tentang
indikasi geografis dan indikasi asal. Pengaturan mengenai IG dan indikasiasal ini sebagai
konsekuensi ditandatanganinya Agreement on Trade Related AspectsOf Intelectual Property
Rights, Including Trade in Counterfiet Goods ( TRIPs).
Belakangan ini, masyarakat dan perusahaan sering ingin menggunakan nama
geografis untuk menunjukkan asal dari barang atau jasa yang mereka tawarkankepada
masyarakat, misalkan Kopi Toraja, Bika Ambon dll. Makna dari IG adalah suatu tanda yang
menunjukkan daerah asal barang yang dikaitkan dengan kualitas,
reputasi atau karakteristik lain yang sesuai dengan asal geografis barang tersebut.Agar dapat
dilindungi oleh Undang-Undang, IG harus didaftarkan terlebih dahulu dikantor Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) Indonesia.
Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang digunakan terhadap barang yangmemiliki
asal geografis tertentu dan juga memiliki kualitas atau reputasi yangditimbulkan oleh tempat
asal tersebut. Berbeda dengan perlindungan IG bersifat kolektif, yaitu merupakan
perlindungan yang dberikan terhadap suatu produk yang dihasilkan oleh suatu wilayah
tertentu.
Sedangkan pengertian Indikasi Geografis menurut UU No 15 tahun 2001 tentang
Merek pasal 56 : Indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan
daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam,
faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas
tertentu pada barang yang dihasilkan.
Indikasi Geografis mendapatkan perlindungan setelah terdaftar atas dasar permohonan
yang diajukan oleh :

1. Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang


bersangkutan, yang terdiri atas :
3
Pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam.
Produsen barang hasil pertanian

Pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil indrustri ; atau

Pedagang yang menjual barang tersebut

2. Lembaga yang diberikan kewenangan untuk itu ; atau


3. Kelompok konsumen barang tersebut.

Pasal 56 ayat (7) UU Merek No. 15 Tahun 2001, menyebutkan bahwa indikasi
geografis yang terdaftar akan mendapat perlindungan hukum yang berlangsung selama
ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas indikasi
geografis tersebut masih ada. Pasal 56 ayat (4) UU Merek No. 15 Tahun 2001
menyebutkan bahwa permohonan pendaftaran indikasi geografis ditolak oleh Direktorat
Jenderal apabila tanda tersebut;

a. Bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum atau dapat


memperdayakan atau menyesatkan masyarakat mengenai sifat, cirri, kualitas, asal,
sumber, proses pembuatan dan/atau kegunaanya.

b. Tidak memenuhi syarat untuk didaftar sebagai IG.

Hal ini adalah sesuatu yang telah dikedepankan dan diusulkan dalam Trade Releted
Aspect Intellectual Property Right (TRIPs). Seperti diketahui dalam Trade Releted Aspect
Intellectual Property Right (TRIPs) ada ketentuan yang jelas mengenai IG.

Pasal 1 ayat (1) PP No 51 tahun 2007 tentang IG menyebutkan: IG adalah suatu tanda
yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena factor lingkungan geografis
termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut,
memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Pengaturan IG dalam
instrumen hukum internasional sangat penting untuk menjadi guidelnes bagi hukum
nasional dalam mengatur mengenai perlindungan IG ini.

Sebagai norma ia bersifat mengikat bagi tiap-tiap individu untuk tunduk dan
mengikuti segala kaidah yang terkandung didalamnya.58 Ketentuan mengenai IG diatur

4
dalam berbagai perjanjian internasional seperti Konvensi Paris, Perjanjian Madrid,
Perjanjian Lisabon, TRIPs dan sebagainya. Menurut I Wayan Parthiana, kehadiran
perjanjian internasional akan membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan
kewajiban yang diatur dalam hukum internasional.

Dengan demikian perlindungan atas indikasi geografis pada dasarnya telah


diperkenalkan dalam beberapa konvensi internasional sebagai aturan yang universal yang
bertujuan memberikan perlindungan dari praktek perdagangan curang.

Konvensi-konvnsi tersebut adalah :

1. The Paris Convention.

Konvensi Paris adalah perjanjian internasional yang meletakkan dasar dari prinsip
protection against unfair competition yang diatur dalam ketentuan Pasal 10bis yang kemudian
dipakai sebagai dasar dari pengaturan TRIPS tentang perlindungan IG pada Pasal 22 ayat (2)

2. The Madrid Agreement.

Perjanjian Madrid 14 April 1891 (The Madrid Agreement of False or Deceptive Indication
of Source on Goods) yang tidak hanya menyelaraskan dengan ketentuan konvensi Paris Pasal
10 tentang adanya keterangan palsu dari asal barang (false indication of source) tetapi juga
memperluas aturan tentang indikasi yang menyesatkan/memperdaya yang kemudian
dituangkan dalam ketentuan Pasal 1

(1) yang berbunyi

All goods bearing a false or deceptive indication by which one of the countries to which
this agreement applies, or a place situated therein, is directly or indirectly indicated as being
the country ar place of origin shall be seize on importation into any of the said countries

3. The GATT 1947

Pasal IX konsep perlindungan IG dapat terlihat pada Pasal IX: 6 yang berbunyi :

The contracting parties shall cooperate each other with a view to preventing the use of
trade names in such manners as to misrepresent the true origin of a product, to determent of

5
such distinctive regional or geographical names of products of territory of a contracting party
as are propected by its legislation. Each contracting party shall acoord full and sympathetic
consideration to such requests or representations as may be made by any other contracting
party regarding the application of the undertaking set forth in preceding sentence to names of
products which have been communicate to it by the other contracting party

Kalaupun ketentuan Pasal IX: 6 GATT 1947 tidak di berlakukan sebagai ketentuan hukum
yang mengikat dan ditetapkan sebagai syarat wajib yang diberlakukan, tetapi ketentuan
tersebut lebih cenderung ditetapkan sebagai kerjasama antar negara anggota untuk menangkal
terjadinya penyesatan. Juga kewajiban antar negara anggota untuk melaksanakan kerjasama
dalam merumuskan kertentuan hukum dalam peraturan hukumnya masing-masing terhadap
perlindungan nama geografis. Berkembangnya GATT membuat negara-negara internasional
membuat suatu organisasi perdagangan internasional yang sekarang ini lebih dikenal dengan
WTO (World Trade Organization).

Berdasarkan hal tersebut di atas konsekuensi keikutsertaan Indonesia menjadi anggota


GATT/WTO adalah memposisikan Indonesia menjadi suatu negara yang siap melakukan
persaingan pada era global.

4. Lisbon Agreement

Istilah Appellation of Origin yang tercetus dalam Lisbon Agreement for Protection of
Appellation of Origin and their International Registration tahun 1958 ditenggarai sebagai
perjanjian internasional yang memberikan perlindungan lebih luas terhadap perlindungan
nama geografis (geographical names) dari perjanjianperjanjian internasional sebelumnya.

Dalam Pasal 2 (1) perjanjian ini dikatakan :

.appelation of origin means the geographical name of a country, region or locality,


which serves to designate a product originating therein, the quality and characteristics of
which are due exclusively or essentially to the geographical environment, including natural
and human factors.

Perlindungan dalam perjanjian ini yang ditetapkan dalam Pasal 3 melingkupi

6
Protection shall be ensuresd against any unsurpation or imitation, even if the true origin
of product is indicated or if the appelation is used in translated form or accompanied by terms
such as kind, type, make, imitation or the like.

Sehingga berdasarkan bunyi dari ketentuan tersebut disimpulkan terjadinya perluasan


terhadap perlindungan yang menyangkut tidak hanya asal barang tetapi juga terhadap
keterangan-keterangan yang menyesatkan seperti: jenis, tipe, dibuat berdasarkan, imitasi dari
atau menyerupai yang dapat menyesatkan konsumen dan hal ini dikatagorikan sebagai
pelanggaran kalaupun asal barang dicantumkan. Ketentuan ini juga diadopsi dalam Peraturan
Pemerintah No. 51Tahun 2007 tentang IG.

5. WIPO

Pada tahun 1974 dan 1975 WIPO berinisiatif menyelenggarakan persidangan untuk
dibentuknya suatu perjanjian internasional baru tentang perlindungan IG yang kemudian
menjadi langkah nyata dengan merevisi ketentuan yang terkait dengan indikasi geografis
dalam Konvensi Paris yang kemudian menjadi suatu perjanjian internasional yang baru.
Sebagai bagian dalam taraf negoisasi dalam rangka merivisi Konvensi Paris pada tahun 1980
dan awal tahun 1990, para negara anggota mempertimbangkan untuk mengadopsi ketentuan
tambahan (additional articles) quater addressing geographical indications.

Sebagai catatan berdasarkan laporan WIPO international bureau pendekatan yang


dipandang dalam perlindungan indikasi geografis berdasar pada empat katagori pertimbangan
hukum yaitu : (1) unfair competition and passing of, (2) collective and certification mark, (3)
protected appellations of origin and registered geographical indications dan (4)
administratives schemes for protection.

6. TRIPS

Persetujuan TRIPs ini merupakan bagian dari persetujuan pembentukan badan/organisasi


perdagangan dunia yang merupakan salah satu hasil perundingan putaran Uruguay yang
berbicara mengenai HAKI sebagai bagian dari aspek-aspek perdagangan termasuk
didalamnya perdagangan dari barang tiruan. Indonesia adalah salah satu negara yang pada
tanggal 15 April 1994 turut menandatangani persetujuan ini dan persetujuan ini disahkan
dengan dibentuknya Undang-undang No. 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement

7
Establising The World Trade Organization. Trips merupakan perjanjian multilateral yang
paling lengkap mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual termasuk didalamnya pengaturan
tentang Indikasi geografis yaitu dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 24. Pasal 22.1 memuat
definisi tentang IG, yaitu , Indikasi geografis berdasarkan persetujuan ini adalah, tanda yang
mengindentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah didalam
wilayah tersebut sebagai asal baran, dimana reputasi, kualitas dan karakteristik barang yang
bersangkutan sangat ditentukan oleh faktor geografis tersebut.

Pasal 22 memuat ketentuan tentang sarana hukum bagi perlindungan semua produk IG
dimana dapat disimpulkan bahwa indikasi geografis dilindungi sebagai upaya agar tidak
terjadinya penyesatan publik dan mencegah persaingan curang Indikasi Geografis merupakan
suatu tanda yang digunakan pada barang barang yang memiliki keaslian geografis yang
spesifik dan memiliki kualitas atau reputasi berdasar tempat asalnya itu. Pada umumnya, IG
merupakan nama tempat dari asal barang-barang tersebut. Produk-produk pertanian biasanya
memiliki kualitas yang terbentuk dari tempat produksinya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor
lokal yang spesifik, seperti iklim dan tanah. Berfung-sinya suatu tanda sebagai indikasi
geografis merupakan masalah hukum nasional dan persepsi konsumen. Perlindungan IG
secara umum telah diatur dalam Pasal 22, 23 dan 24 tentang TRIP (Trade Related Aspect of
Intellectual Property Rights Agreement). Pada Pasal 10 Paris Convention yang menegaskan
larangan untuk memperdagangkan barang yang menggunakan indikasi geografis sebagai
objek hak kekayaan intelektual yang tidak sesuai dengan asal dari daerah atau wilayah
geografis tersebut. Indikasi Geografis di Indonesia memuat perlindungan masyarakat dan
tertuang dalam undang-undang Perlindungan IG terhadap suatu produk kepada masyarakat,
bukan kepada individu atau perusahaan tertentu. Secara nasional

perlindungan IG diatur dalam UU Merek No.15 Tahun 2001, dan setelah mengalami
beberapa perubahan dan penyempurnaan maka pada tanggal 4 September 2007 keluarlah PP
No.51 Tahun 2007 tentang perlindungan IG. IG terdaftar mendapat perlindungan hukum yang
berlangsung selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan
atas IG tersebut masih ada. Menurut ketentuan TRIPs yang mengatur masalah HaKI secara
global, HaKI dapat dikelompokkan menjadi delapan bagian yang masing-masing terdiri dari
:copyright and related rights, trademark, geographical indications, industrial design, patents,
layout design of integrated circuits, protections of undisclosed information dan control of anti
competitive Practise in contractual licences.

8
Tuntutan adanya perlindungan terhadap IG dalam sistem hukum hak kekayaan intelektual
adalahsuatu upaya untuk melindungi produk-produk masyarakat local dalam negeri. Suatu
merek yang dipakai oleh pelaku bisnis untuk memperkenalkan produk, biasanya
menggunakan nama tempat atau lokasi geografis yang menjelaskan dari mana barang tersebut
berasal. Namun demikian, di Indonesia belum memiliki instrumen yang mengatur IG sebagai
komponen HaKI. 66 Akibatnya, banyak produk-produk lokal dalam negeri yang dieksploitasi
secara komersial pihak-pihak asing tanpa perlindungan pemerintah. Demikian disampaikan
oleh Maria Alfons dalam disertasinya yang berjudul Implementasi Perlindungan IG atas
Produk-Produk Masyarakat Lokal dalam Perspektif Hak

Kekayaan Intelektual. Menurut Alfons, sebagai anggota WTO dan telah meratifikasi
GATT (termasuk TRIPs), harusnya sudah membuat UU di bidang HAKI yang membawa
implikasi bagi kepentingan negara dan kemudian dapat diterapkan, termasuk perlindungan
terhadap IG.6

Alfons mengemukakan, dalam faktor substansi hukum, indikasi geografi tidak


dicantumkan dalam ketentuan umum Undang-Undang Merek dan Peratura Pemerintah No. 5
Tahun 2007. Hal ini menunjukkan bahwa substansi hukum di bidang indikasi geografis
sangatlah tidak memadai. Selain itu, faktor struktur juga sangat berpengaruh terhadap
pendaftaran IG oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena para pejabat yang terkait di
bidang tersebut belum melakukan sosialisasi yang opimal dan ini berakibat pada faktor kultur
yaitu masyarakat tidak melakukan pendaftaran terhadap IG karena mereka tidak tahu konsep
indikasi geografis tersebut.

Upaya pemerintah mendorong masyarakat untuk melakukan pendaftaran IG atas produk-


produk lokal untuk memperoleh perlindungan hukum dilakukan dengan berbagai cara yaitu:
Ditjen Dikti harus dapat menjalankan tugasnya dalam mengelola HAKI khususnya membantu
masyarakat untuk mendatangkan IG sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangan yang
diberikan pemerintah.

Dokumentasi merupakan suatu sarana yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam
mempertahankan permasalahan apabila terjadi suatu tuntutan yang dilakukan dari pihak asing
yang memanfaatkan produk-produk masyarakat lokal. Sosialisasi peraturan perundang-
undangan kepada masyarakat, baik itu warga masyarakat biasa maupun aparatur pemerintah
sangatlah penting. Tujuannya adalah agar peraturan yang ditetapkan diketahui, dipahami dan

9
dilaksanakan oleh masyarakat. Pada dasarnya bahwa banyaknya produk masyrakat lokal
diambil oleh pihak luar dan dikomersialisasi untuk mendapatkan keuntungan, oleh karenanya
produkproduk lokal sangatlah perlu dilindungi dengan IG untuk mencegah pengambilan yang
dilakukan pihak luar. Tentunya dengan melindungi produk-produk masyarakat lokal tersebut
masyarakat harus melakukan pendaftaran kemudian mempunyai hak milik atasnya,
setidaknya dapat diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat di daerahnya karena
mempunyai nilai ekonomis. Realisasi pengaturan dan implementasi IG, oleh karenanya harus
segera dilaksanakan. Lembaga yang diberikan tugas dan kewenangan atas IG hendaknya
lebih efektif membantu masyarakat dalam melakukan pendaftaran atas IG untuk melindungi
produk lokal yang kita miliki, kemudian mendokumentasikannya agar tidak dimanfaatklan
oleh pihak luar. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus dapat membangun budaya
masyarakat khususnya pelaku bisnis di tiga lokasi penelitian agar melakukan pendaftaran IG
untuk melindungi produk lokalnya. Salah satunya dengan cara memperbanyak sosialisasi
kepada masyarakat guna membangun kesadaran hukum masyarakat untuk memahami dan
mematuhi hukum yang berlaku.

B. DASAR HUKUM INDIKASI GEOGRAFIS.

Di Indonesia saat ini, dasar hukum IG mengacu pada: Undang-Undang Merek No. 15
Tahun 2001, Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Peraturan
Pemerintah No.51 tahun 2007 Tentang IG.Pasal 56 UU Merek menyatakan IG dilindungi
sebagai suatu tanda yangmenunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor
lingkungan geografisnyatermasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua
faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Selanjutnyadalam pasal yang sama dinyatakan bahwa IG mendapat perlindungan setelah
terdaftaratas dasar permohonan yang diajukan oleh lembaga yang mewakili masyarakat yang
menghasilkan barang, lembaga yang diberi kewenangan atau kelompok konsumen.Ketentuan
mengenai tata cara pendaftaran IG diatur dalam PeraturanPemerintah (PP) Nomor 51 Tahun
2007, tentang IG. UU Merek juga mengatur sanksipidana terhadap pelanggaran perlindungan
IG, sebagaimana terdapat pada Pasal 92,93, dan 94, dengan ancaman penjara paling lama satu
sampai lima tahun dan dendapaling banyak Rp. 200.000.000,00 sampai Rp800.000.000,00.
Ancaman lainnya adalah berupa sanksi dministrasi yang juga diatur dalam UU Perkebunan.
Perlindungan IG diakui dan dilindungi secara internasional.

10
Negara- negara Eropa dan Asia Tenggara mengakui dan melindungi IG dengan
pemahaman yang sama seperti kita memahami IG. Sementara Amerika dan Australia
mengakui IG seperti halnya mereka mengakui dan melindungi merek.Manfaat IG
didaftarkan, perlindungan IG memiliki berbagai manfaat, baik bagi produsen maupun bagi
konsumen. Bagi produsen, manfaat keberadaan IG dari sisi ekonomi antara lain: Mencegah
beralihnya kepemilikan hak pemanfaatan kekhasan produk dari masyarakat setempat kepada
pihak lain, Memaksimalkan nilai tambah produk bagi masyarakat setempat, memberikan
perlindungan dari pemalsuan produk, meningkatkan pemasaran produk khas, Meningkatkan
penyediaan lapangan kerja, penunjang pengembangan agrowisata, Menjamin keberlanjutan
usaha, Memperkuat ekonomi wilayah, Mempercepat perkembangan wilayah, Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, Kenapa Kopi Gayo, dianggap sebagai IG, karena memiliki ciri
khas, secara umum banyak potensi alam yang dapat dikategorikan sebagai IG di Aceh yang
tentunya telah memiliki ciri khas dan karakteristik, namun untuk dapat dikategorikan sebagai
IG haruslah dilakukan penelitian terlebih dahulu. Apa-apa saja produk hasil
pertanian/perkebunan IG dari Aceh, IG hasil perkebunan/pertanian antara lain; nilam, kopi
gayo, pisang siem, emping, jagung, tebu, pala dan cengkeh, hasil pertanian/perkebunan
memiliki ciri-ciri dan kualitas yang berbeda dari yang lain.

C. PERLINDUNGAN INDIKASI GEOGRAFIS DI INDONESIA.

Indikasi Geografis di Indonesia memuat perlindungan kolektif dan tertuang dalam


Undang-Undang hak eksklusif Perlindungan IG terhadap suatu produk kepada masyarakat,
bukan kepada individu atau perusahaan tertentu. Secara nasional perlindungan IG diatur
dalam UU Merek Nomor 15 Tahun 2001, dan setelah mengalami beberapa perubahan dan
penyempurnaan maka pada tanggal 4 September 2007 keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor
51 Tahun 2007 Tentang Perlindungan IG. Semenjak ditetapkannya Undang-Undang No. 7
Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia,
secara otomatis undang-undang tersebut mengesahkan pula ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam TRIPs. Konsekuensinya, ketentuan undang-undang dibidang Hak Kekayaan
Intelektual juga harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam persetujuan
TRIPs, hal-hal baru yang diatur dalam TRIPs harus dimasukkan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan dibidang Hak Kekayaan Intelektual. Salah satunya menyangkut
masalah perlindungan indikasi geografis. Ketentuan tersebut diatur dalam UU Merek melalui
revisi Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 Tentang Merek dengan Undang-Undang No. 15

11
Tahun 2001. Di Indonesia, tatanan peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual
yang mengatur IG terdapat dalam UU Merek No. 15 Tahun 2001.

Undang-Undang ini adalah hasil akhir dari perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun
1997 juncto UU Merek No. 12 Tahun 1992. Pertama-tama, IG hanya diatur dalam peraturan
sisipan. Kemudian, UU Merek No. 12 Tahun 1992 membentuk bab tersendiri untuknya, yakni
Bab VII Bagian I tentang Indikasi Geografis dan Bab VII Bagian II tentang Indikasi Asal.
Dengan cara pengaturan terakhir ini, IG dianggap sebagai bagian dari Merek atau Merek
dengan karakter khusus. Hal ini mengandungrisiko, bahwa cakupan IG ditafsirkan lebih
sempit dari Merek, padahal belum tentu tepat.

Respon dari petani setempat dengan adanya pendaftaran IG, pada umumnya
masyarakat hanya mengetahui bahwa kopi yang mereka tanam dan hasilkan dikenal oleh
masyarakat luas.

Dalam UU Merek No. 15 Tahun 2001, yang kini efektif berlaku, terdapat juga
ketentuan baru diluar Bab IG, yang memperluas cakupan merek dan menyiratkan pengakuan
atas keberadaan IG. Ketentuan ini adalah Pasal 6 (1) c Undang-Undang No. 15 Tahun 2001,
yang menetapkan bahwa permohonan pendaftaran merek harus ditolak jika merek tersebut
memiliki persamaan esensial atau persamaan pada pokoknya, atau persamaan secara
keseluruhan, dengan IG yang telah dikenal. Sebagai bagian dari Merek, prinsip-prinsip
perlindungan Merek juga berlaku bagi Indonesia.

Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa UU Merek No. 15 Tahun 2001
menetukan adanya kaidah penunjuk. Pertama, dalam Pasal 56 ayat (3), ditentukan bahwa
Pasal 21, 22, 23, 24 dan 25 yang mengatur pengumuman permohonan pendaftaran Merek
harus juga diaplikasikan secara mutatis mutandis kepada permohonan pendaftaran IG. Kedua,
berdasarkan Pasal 60 ayat (6), sistem banding atas keputusan Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual selaku pihak yang berwenang mendaftarkan IG, harus sesuai dengan
sistem banding yang terdapat dalam sistem pendaftaran Merek yang diatur dalam Pasal 32, 33
dan 34 UU Merek No. 15 Tahun 2001. Ketiga, dalam penegakan hukum, Pasal 57 dan 58
Undang- Undang tersebut menentukan adanya hak untuk memperkarakan pemakaian illegal
dan memproses upaya hukum untuk menahan agar kerugian tida k terus bertambah. Subtansi
hukum di bidang indikasi geografis, sangat penting dalam menentukan perlindungan hukum
terhadap produk-produk yang terlindungi indikasi geografis tersebut. Pentingnya subtansi

12
hukum dirumuskan Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage sebagai
aturan main bersama (role of the game) yang menempatkan hukum sebagai unsur utama
dalam integrasi sistem. Hal ini juga didukung oleh Steemen yang membenarkan bahwa apa
yang secara formal membentuk sebuah masyarakat adalah penerimaan umum terhadap aturan
main yang normatif. Pola normatif inilah yang mestinya dipandang sebagai unsur paling teras
dari sebuah struktur yang terintegrasi. Dalam kerangka Bredemeter ini, hukum difungsikan
untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dimasyarakat.

Dari uraian tersebut, tampak bahwa beberapa bagian dan tahap dari system
perlindungan Merek adalah sama persis dengan bagian dan tahap sistem perlindungan
Indikasi Geografis. Meskipun demikian, terdapat sebuah ketentuan dalam UU Merek No. 15
Tahun 2001 yang cenderung melemahkan kemungkinan suatu IG untuk dilindungi sebagai
Merek terdaftar. Ketentuan ini adalah Pasal 5 (d) UU Merek No. 15 Tahun 2001, yang
menetapkan empat elemen yang menjadi dasar penolakan registrasi Merek. Keempat elemen
itu adalah sebagai berikut :

a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama,


kesusilaan atau ketertiban umum;

b. Tidak memiliki daya pembeda;

c. Telah menjadi milik umum; atau

d. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan
pendaftarannya. Berkaitan dengan perlindungan IG, elemen yang terpenting adalah elemen
kelima, yang menyatakan bahwa suatu merek tidak bisa didaftarkan jika Merek itu
mengandung informasi atau terkait dengan barang atau jasa yang tengah dimohonkan
perlindungan. Menurut tafsir yuridis, pengertian mengandung informasi bermakna bahwa
Merek itu hanya tampil semata-mata sebagai informasi, yang dalam kaitannya dengan IG,
hanya merupakan informasi tempat asal suatu barang atau jasa. Keberadaan Pasal 5 (d) ini
menjadi pokok contradiction in terminis atau kontradiksi di dalam sistem, karena
kemungkinan perlindungan yang ditawarkan oleh undang-undang tersebut ternyata
dilemahkan atau dilawan oleh sala satu ketentuan dalam undang-undang itu sendiri. Pada
umumnya, IG terdiri dari nama produk yang diikuti dengan nama daerah atau tempat asal
produk, tetapi ada pula yang mengaitkan nama produk dengan nam tertentu yang bukan nama

13
daerah. Contohnya, Lada Putih Muntok (Muntok adala nama pelabuhan di daerah Bangka).
Indikasi Geografis secara internasiona disepakati dalam Agreement on Trade Related Aspect
of Intelectual Property Right (TRIPs). Pasal 22 TRIPs menyebutkan bahwa

Geographical Indications are, ....., Indications which identify a good a originating in the
territory of a member, or a region or locality in that territority, where a given quality,
reputation or other characteristic of th good is essentially attributable to its geographical
origin.

Sebagai pengikut TRIPs Indonesia menurutkan lagi aturan internasional ini k dalam UU
Merek No. 15 Tahun 2001. Dalam Pasal 56 dijelaskan tentang Indikas Gografis, bahwa IG
dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena
faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, factor manusia atau kombinasi dari kedua
faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan Tanda
yang dilindungi sebagai IG adalah suatu identitas yang menunjukkan suatu barang berasal
dari tempat atau daerah tertentu. Dan tempat atau daerah itu menunjukkan kualitas dan
karakteristik suatu produk. Misalnya, merek kopi Toraja

A. PENTINGNYA PENDAFTARAN INDIKASI GEOGRAFIS (IG) .

Pemohon mengajukan permohonan ke Direktorat Merek Direktorat Jendral Hak


Kekayaan Intelektual (HKI) yang kemudian akan dilakukan pemeriksaan formalitas (14 hari)
dilakukan pemeriksaan substantif (2 tahun)-Disetujui didaftar (10 hari) Pengumuman (3
bulan).

Adapun perlindungan Indikasi Geografis bertujuan sebagai perlindungan terhadap


produk, mutu dari produk, nilai tambah dari suatu produk dan juga sebagai pengembangan
pedesaan. (Dr. Surip Mawardi). Karena Indikasi Geografis (IG) merupakan salah satu
komponen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang penting dalam kegiatan perdagangan,
khususnya memberikan perlindungan terhadap komoditas perdagangan yang terkait erat
dengan nama daerah atau tempat asal produk barang. Maka bisa di bayangkan betapa besar
nilai ekonomi kekayaan Indikasi Geografis ini, misalkan dari satu contoh produk indikasi
geografis Kopi Arabika Kintamani, tentu sangat besar sekali potensi ekonominya bagi
komunitas masyarakat Kintamani Bali. Secara tidak langsung, pendaftaran Indikasi Geografis

14
akan memacu pertumbuhan ekonomi pedesaan sebagaimana pendapat Dr. Surip Mawardi,
Ketua Tim Ahli Indikasi Geografis (TAIG) Indonesia.

Dengan adanya produk IG, dengan sendirinya reputasi suatu kawasan IG akan ikut
terangkat, di sisi lain IG juga dapat melestarikan keindahan alam, pengetahuan tradisional,
serta sumberdaya hayati, dan ini akan berdampak pada pengembangan agrowisata, dengan
IG juga akan merangsang timbulnya kegiatan-kegiatan lain yang terkait seperti pengolahan
lanjutan suatu produk. Semua kegiatan ekonomi akibat adanya IG tersebut, secara otomatis
ikut mengangkat perekonomian kawasan perlindungan IG itu sendiri.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang
yang karena factor lingkungan geografis termasuk factor alam, manusia atau kombinasi dari
kedua factor tersebut. Sertifikasi indikasi geografis bertujuan untuk mengingkatkan daya
saing produk pertanian. Yakni dengan menjual keunikan dari citra rasa produk pertanian yang
dihasilkan suatu daerah dan tidak dimiliki oleh daerah lain. Jika di perhatikan Indonesia
sangat kaya akan kekayaan alam berupa hasil-hasil pertanian, barang-barang kerajinan tangan
dan hasil industrinya, sanagt banyak sekali potensi indikasi geografis yang perlu segera di
daftarkan kekantor hak kekayaan intelektual ( HKI ) Indonesia.oleh karena itu, bagi setiap
Negara yang berpotensi memiliki produk-produk indikasi geografis diharapkan membangun
siistem hukum yang jelas untuk dapat memberikan perlindungan hukum sekaligus mencegah
praktek-praktek penggunaan indikasi geografis secara tanpa hak.

15
DAFTAR PUSTAKA

PP NO 51 TAHUN 2007

PP NO 31 TAHUN 2009

BUKU

Usman, Rahmadi. 2003. Hukum Hak Atas Kekyaan Intelektual, Perlindungan Dan Dimensi
Hukumnya Di Indonesia. Bandung:Alumni

Isnaini, Yusran. 2010. Buku Pintar Haki Tanya Jawab Seputar Haki. Bogor, Ghalia Indonesia

INTERNET

http://serba-makalah.blogspot.co.id/2016/12/makalah-indikasi-geografis.html

Chapter II Repository Usu Keberadaan Barang Berpotensi Untuk Dilindungi Indikasi


Geografis Sesuai Dengan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku Di Aceh.

16

Anda mungkin juga menyukai