IV
A. Tujuan Instruksional
1. Umum :Pada akhir pertemuan, diskusi, mahasiswa diharapkan
dapat memahami dan penatalaksanaan pada penderita
trauma saraf perifer secara efektif dan efisien dalam
rangga peningkatan pelayanan kesehatan dan
pencegahan
2. Khusus : Memahami penyebab trauma saraf perifer, klasifikasi,
diagnosis, dengan gejala klinis penatalaksanaannya dan
prognosisnya sederhana maupun sementara.
2.4. Trauma saraf medianus pada lesi ini dapar terjadi karena
fraktur suprakondilaris humeris atau fraktur ujung radius
distalis pada daerah pergelangan tangan dan dapat juga
disertai cidera pada saraf uinaris. Pada lesi bawah, pasien
mengeluh paresis untuk melakukan abduksi ibu jari dan anestesi
pada ketiga jari sisi radial. Pada kasus lama otot-otot tenar
mengalami atrofi. Pada lesi atas keluhan dan klinisnya hampir
sama dengan lesi bawah hanya ada tambahan pada otot-otot
fleksor ibu jari, jari ke-2 dan jari ke-3 mengalami paralisis
bersama dengan otot pronator lengan bawah, sehingga jari kedua
menjadi lurus yang disebut pointing sign.
2.5. Trauma saraf skiatik sering diakibatkan oleh dislokasi posterior
kaput femoris atau trauma suntikan pada pantat. Pada lesi
iatrogenik dapat disebabkan operas! pergantian sendi
panggul (total hip arthroplasty). Penderita mengalami paralisis
pada otot- otot betis, sensasi di bawah lutut hilang kecuali pada
sisi medial. Penderita berjalan dengan mengangkat kaki tinggi-tinggi
dan semua gejata ini menunjukkan lesi komplit saraf tersebut.
2.6. Trauma saraf peroneus komonis yang terletak di subkutaneus di
daerah kaput fibularis sehingga rawan terhadap trauma bahkan
akibat bandage atau gip yang menekan erat, fraktur di sekitar lutut
atau akibat operasi koreksi pada deformitas valgus. Penderita akan
mengeluh kaki terkulai (droop foot) dan tidak dapat melakukan
dorsi-fleksi maupun eversi. Penderita berjalan dengan mengangkat
kaki setinggi-tingginya pada sisi tesi tersebut yang disebut high
stepping gait. Lesi pada saraf peroneus profundus
dapat disebabkan karena sindrom kompartemen anterior
sehingga penderita mengeluh nyeri dan kelemahan untuk
melakukan dorsi fleksi serta hilangnya rasa di daerah kulit
arrtara jari pertama dan kedua. Lesi saraf peroneal superfisialis
dapat disebabkan oleh sindrom kompartemen lateralis dengan
keluhan nyeri sisi lateral tungkai bawah dan paresthesi kaki.
Penderita mengalami kelemahan untuk melakukan eversi kaki dan
anestesi pada daerah dorsum kaki.
TERMINOLOGI / SINERAI
1. Aksonotmesis yaitu akson saraf perifer mengalami kerusakan.
2. Claw hand yaitu deformitas yang berupa hiperekstensi sendi MCP
disertai fleksi sendi IP akibat paresis saraf ulnaris atau saraf medianus
3. Foot Drop yaitu kaki terkulai karena tidak dapat melakukan ekstensi dan
eversi
4. High stepping gait yaitu kaki penderita mengangkat tinggi-tinggi karena
foot drop.
5. Iskhemi adalah kondisi saraf perifer mengalami anoksia pada endoneural
yang bersifat sementara.
6. Neuroma adalah kumparan jaringan fibrosis pada ujung-ujung saraf
perifer yang terpiftus
7. Neuropraksia adalah kondisi saraf perifer yang mengalami
keregangan dengan terjadinya kehilangan konduksi terutama saraf
motorik.
8. Neurotmesis yaitu akson dan pembungkus saraf perifer putus, rusak
atau sobek.
9. Sindrom Homer adaiah gejala ptosis pada ipsilateral, mtosis
dan anhidrosis akibat trauma pada ganglion simpatetik servikalis superior
10. Tes Fromen adalah tes untuk mengetahui lesi saraf ulnaris dengan
menyuruh penderita menjepit kertas antara ibu jari (adduksi) terhadap jari
kedua dan tes dilakukan pada kedua sisi.
11. Wrist droop yaitu tangan yang terkulai karena parafisis otot-otot
ekstensor.
SOAL-SOAL
1. Sebutkan klasifikasi trauma saraf perifer dan penyebabnya!
2. Bagaimana membuat diagnosis saraf perifer dan apa objektifnya?
3. Bagaimana penatalaksanaan trauma saraf perifer dan prognosis?
4. Jelaskan trauma pleksus brakhialis pada persalinan dan keceiakaan lalu
lintas!
5. Mengapa terjadi drop hand dan c/aw hand?
6. Apa kegunaan tes Fromen dan Jelaskan!
7. Mengapa terjadi drop foot?
KEPUSTAKAAN
1. Apley, AG and Solomon, M. (1993). System of Orthopaedics and
Fractures, Seventh edit. Butterworth - Heinemann Ltd. Oxford.
2. Armis (1994). Trauma Sistem Muskuloskeletal. Sub Bagian Orthopaedi
FK-UGM YOGYAKARTA
3. Armis (2002). Principles of the Fracture Care. First Edit MEDIKA Faculty of
Medicine Gadjah Mada University Yogyakarta
4. Armis (2002). Sardjito Scoring System of Open Lower Leg Fractures.
JBJS 84B Suppelement 3.
5. Armis dan Handoyo (1996). Ketepatan MESS (Mangled Extremity
Severity Score) pada Penentuan Amputasi Dini Fraktur Terbuka Tibia
Tipe III sesuai Klasifikasi Gustilo. BIK 28 (3): 127-130.
6. Armis, Triyono S. dan Kendarto D. (1995). Infeksi Pasca Debridemen
Sebelum dan Sesudah Golden Period pada Fraktur Terbuka Derajat IIIA
dan IIIB. BIK 27 (3): 123-127.
7. Bernstein, J (2003). Muscutoskeletal Medicine. American Academy of
Orthopaedic Surgeons. Rosemont.
8. Berquist, TH (1986). Imaging of Orthopaedic Trauma and Surgery.
WD Saunder Comp., Philadelphia.
9. Brinker, MR ( 2001 ). Review of Orthopaedic Trauma. WB, Saunders
Company, Philadelphia.
10. Freuler, F., Weidner, U., and Bianchini, D. (1979). Casf Mameaf for Adults
and Children. Springer-Verlag, Berlin.
11. Gustilo, RBM Merkow, RL, and Templeman, D. (1990). Currenct Concept
Review: The Management of Open Fractures. JBJS. 72A (2): 299 - 304.
12. Me Rae.R ( 1999 ). Pocketbook of Orthopaedics and Fractures. Churchill
Livingstone, Edinburg.
13. Paton, DF. (1992). Fractures and Orthopaedics. Second Edit. Churchill
Livingstone, Edinburg.
14. Rang, M. (1983). Childrens Fractures. Second Edit. JB. Lippincott Comp.
London.
15. Ruedi,TP and Murphy,WM ( 2000 ). AO Principles of Fracture
Management. Thieme, Stuttgart.
16. Thompson, JC (2002). Netter's Concise Atlas of Orthopaedic
Anatomy.
First Edit. Icon Learning System LLC, USA.