Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya

bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang

terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara

paroksismal akibat berbagai etiologi. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis

dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung

secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran,

disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan

disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).1,2

Epilepsi merupakan suatu bangkitan kejang berulang disebabkan aktivitas

listrik abnormal di otak yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain

kesulitan belajar, gangguan,tumbuh-kembang, dan menentukan kualitas hidup

anak.1 Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi

yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan

kelompok umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000

kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan

diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak.3

Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya

sekali saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan

occasional provokes seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia.2

1
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN Tanggal/ Jam Masuk : 28-11-2016/ ( 21.00 )


Nama : An. FR
Umur : 5 tahun 6 bulan
Jenis Kelamin : laki-laki

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
Dirasakan sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang terjadi 2 kali
masing-masing pukul 17.30 dan pukul 19.30 dengan lama kejang 30 menit
1 jam. Gejala dirasakan saat anak sedang bermain, tiba-tiba anak kejang
dan tidak sadarkan diri, kemudian anak sadar kembali dan beraktivitas
seperti semula dan kejang kembali beberapa jam kemudian sampai di
larikan ke rumah sakit. Demam (-), pilek (-), batuk (-), sesak (-), buang air
besar lancar, buang air kecil lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu


Terdapat riwayat serupa, pasien baru keluar rumah sakit seminggu yang lalu
dengan keluhan yang sama.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga memiliki keluhan serupa.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Pasien lahir dengan normal dan cukup bulan, lahir di rumah dengan berat
badan lahir 3000 gram, saat lahir leher bayi terlilit tali pusat, tidak langsung
menangis, menangis setelah 5 menit dan ibu mengalami Kala II lama saat
persalinan.

ANAMNESIS MAKANAN

2
Anak mengkonsumsi ASI sejak lahir hingga umur 1 tahun, dan susu formula
dari umur 1 tahun hingga 3 tahun. Sudah diberi makan bubur susu sejak
umur 6 bulan, dan sekarang sudah mengkonsumsi nasi.

Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar lengkap.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Kondisi Umum : Sakit Sedang BB : 14 kg
Tingkat Kesadaran : Compos mentis TB : 108 cm
Status Gizi :
Tanda-Tanda Vital
Denyut Nadi : 114 x/menit
Suhu : 36,8 C
Pernapasan : 28 x/menit
Kulit
Sianosis (-), ikterik (-), turgor < 2 detik
Kepala
- Normocephal,
- Konjungtiva anemis (-/-),
- Sklera ikterik (-/-),
- Sianosis (-),
- Tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Leher
- Pembesaran Tiroid (-)
- Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : Simetris bilateral, tidak ada retraksi dinding dada
Palpasi : Fokal Fremitus simetris kanan dan kiri, krepitasi tidak ada, nyeri
tekan tidak ada.
Perkusi : Sonor di kedua paru
Auskultasi : Bronkovesikuler +/+, tidak ada rhonki dan wheezing
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V midclacicular sinistra
Perkusi : Pekak, cardiomegaly (-)

3
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, massa tidak ada
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-), organomegali (-)
Genitalia
Tidak ditemukan kelainan
Anggota Gerak
Ekstremitas atas dan ektremitas bawah akral hangat dan tidak ada oedema
Punggung
Kifosis (-), Lordosis (-), scoliosis (-)
Otot Otot
Tonus otot baik
Refleks
Fisiologis (+), patologis (-)
Pemeriksaan Tambahan (-)
IV. Diagnosis
Susp. Epilepsy

V. Terapi
O2 Sungkup 8 liter/menit
IVFD RL 20 tetes/menit
Diazepam rectal 10mg
VI. ANJURAN
DR, EEG, CT Scan kepala, MRI
VII. FOLLOW UP
Tanggal 29 November 2016
S : Pingsan (-), kejang (-), demam (+)
O : TANDA VITAL
- Nadi : 100 kali/menit (lembut)
- Suhu : 38 C
- Respirasi : 24 kali/menit

4
PEMERIKSAAN FISIK
- Kepala Leher : Konjugtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), bibir
sianosis (-/-), tonsil T1/T1 hiperemis (-)
- Thoraks : Ekspansi simetris pulmo kanan dan kiri,
bronkovesikuler, rhonki (-), wheezing (-).
- Abdomen : Masa (-), peristaltik (+) normal, nyeri tekan (-),
organomegali (-).
- Ekstremitas : Lengkap, cicatrix (-), edem (-)
- Refleks : Fisiologis (+), patologis (-)
- Tonus otot : Eutrofi
A: Susp. Epilepsi
P: IVFD RL 20 tetes/menit
Cefotaxim 3 x 230 mg iv
Cloramphenicol 3 x 230 mg iv
Dexamethasone 2 x 4 mg iv
ibuprofen syr 3x1cth
Asam valproat syr 3x1cth
Pro: Darah Rutin, Widal, DDR

Tanggal 30 November 2016


S : Pingsan (-), kejang (-), demam (+)
O : TANDA VITAL
- Nadi : 105 kali/menit (lembut)
- Suhu : 37,7 C
- Respirasi : 20 kali/menit
PEMERIKSAAN FISIK
- Kepala Leher : Konjugtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), bibir
sianosis (-/-), tonsil T1/T1 hiperemis (-)
- Thoraks : Ekspansi simetris pulmo kanan dan kiri,
bronkovesikuler, rhonki (-), wheezing (-).
- Abdomen : Masa (-), peristaltik (+) normal, nyeri tekan (-),
organomegali (-).
- Ekstremitas : Lengkap, cicatrix (-), edem (-)
- Refleks : Fisiologis (+), patologis (-)
- Tonus otot : Eutrofi
Hasil Lab darah rutin:
- Leukosit : 10.900
- Eritrosit : 4.250.000
- Hb : 8,7
- Hematokrit : 27,6%

5
- Trombosit : 443.000
- LED : 3/6
Hasil Lab widal:
- Salmonela thyphi O : 1/80
- Salmonela thyphi H : negative
- Salmonela parathyphi AO : 1/80
- Salmonela parathyphi AH : negative
- Salmonela parathyphi BO : 1/80
- Salmonela parathyphi BH : negative
- Salmonela parathyphi CO : negative
- Salmonela parathyphi CH : negative
Hasil lab DDR : (-)
A: Susp. Epilepsi
P: Terapi lanjut.

Tanggal 1 Desember 2016


S : Pingsan (-), kejang (-), demam (-).
O : TANDA VITAL
- Nadi : 88 kali/menit (lembut)
- Suhu : 36,7 C
- Respirasi : 20 kali/menit
PEMERIKSAAN FISIK
- Kepala Leher : Konjugtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), bibir
sianosis (-/-), tonsil T1/T1 hiperemis (-)
- Thoraks : Ekspansi simetris pulmo kanan dan kiri,
bronkovesikuler, rhonki (-), wheezing (-).
- Abdomen : Masa (-), peristaltik (+) normal, nyeri tekan (-),
organomegali (-).
- Ekstremitas : Lengkap, cicatrix (-), edem (-)
- Refleks : Fisiologis (+), patologis (-)
- Tonus otot : Eutrofi
A: Susp. Epilepsi
P: Terapi lanjut.
Pro: konsul hasil CT-Scan

Tanggal 2 Desember 2016


S : Pingsan (-), kejang (-), demam (-).

6
O : TANDA VITAL
- Nadi : 80 kali/menit (lembut)
- Suhu : 36,4 C
- Respirasi : 20 kali/menit
PEMERIKSAAN FISIK
- Kepala Leher : Konjugtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), bibir
sianosis (-/-), tonsil T1/T1 hiperemis (-)
- Thoraks : Ekspansi simetris pulmo kanan dan kiri,
bronkovesikuler, rhonki (-), wheezing (-).
- Abdomen : Masa (-), peristaltik (+) normal, nyeri tekan (-),
organomegali (-).
- Ekstremitas : Lengkap, cicatrix (-), edem (-)
- Refleks : Fisiologis (+), patologis (-)
- Tonus otot : Eutrofi

Hasil baca CT-Scan : CT-Scan kepala dalam batas normal

A: Susp. Epilepsi
P: IVFD RL 20 tetes/menit
Asam valproat syr 3x1cth

Tanggal 3 Desember 2016


S : Pingsan (-), kejang (-), demam (-).
O : TANDA VITAL
- Nadi : 80 kali/menit (lembut)
- Suhu : 36,3 C
- Respirasi : 20 kali/menit

PEMERIKSAAN FISIK
- Kepala Leher : Konjugtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), bibir
sianosis (-/-), tonsil T1/T1 hiperemis (-)
- Thoraks : Ekspansi simetris pulmo kanan dan kiri,
bronkovesikuler, rhonki (-), wheezing (-).
- Abdomen : Masa (-), peristaltik (+) normal, nyeri tekan (-),
organomegali (-).
- Ekstremitas : Lengkap, cicatrix (-), edem (-)
- Refleks : Fisiologis (+), patologis (-)
- Tonus otot : Eutrofi
A: Susp. Epilepsi
P: Asam valproat syr 3x1cth

7
8
DISKUSI

Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik

berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis,

biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau

kelainan yang dapat menganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya

bangkitan kejang. 3

Bila ditinjau dari faktor etiologis, maka epilepsi dibagi menjadi 2 kelompok : 3

1. Epilepsi idiopatik

Sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan biasanya

pasien tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dan tidak bodoh. Sebagian

dari jenis idiopatik disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik. Kata

idiopatik diperuntukkan bagi pasien epilepsi yang menunjukkan bangkitan

kejang umum sejak dari permulaan serangan. Umumnya faktor genetik lebih

berperan pada epilepsi idiopatik .

2. Epilepsi simtomatik

Hal ini dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan

intrakranial dan ekstrakranial. Penyebab intrakranial, misalnya anomali

kongenital, trauma otak, neoplasma otak, iskemia , ensefalopati, atak, abses

otak, jaringan parut. Penyebab yang bermula ekstrakranial dan kemudian

menganggu fungsi otak, misalnya: gagal jantung, gangguan pernafasan,

gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan

9
keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguan hidrasi (dehidrasi, hidrasi

lebih). Kelainan struktural tidak cukup untuk menimbulkan bangkitan epilepsi,

harus dilacak faktor-faktor yang ikut berperan dalam mencetuskan bangkitan

epilepsi, contohnya, yang mungkin berbeda pada tiap pasien adalah stress,

demam, lapar, hipoglikemia, kurang tidur, alkalosis oleh hiperventilasi,

gangguan emosional.

Etiologi epilepsi pada anak diatas dapat berkaitan dengan epilepsi

simtomatik yang mana faktor risiko epilepsi pada anak yaitu adanya riwayat

asfiksia saat anak lahir yang dapat menyebabkan iskemi otak dan proses kelahiran

dengan Kala II lama yang dapat berisiko terjadinya trauma kepala.

Konsep terjadinya epilepsi telah dikemukakan bahwa pada fokus epilepsi

di korteks serebri terjadi letupan yang timbul kadang-kadang, secara tiba-tiba,

berlebihan dan cepat; letupan ini menjadi bangkitan umum bila neuron normal

disekitarnya terkena pengaruh letupan tersebut. Konsep ini masih tetap dianut

dengan beberapa perubahan kecil. Adanya letupan depolarisasi abnormal yang

menjadi dasar diagnosis diferensial epilepsi memang dapat dibuktikan. 3

Beberapa faktor yang ikut berperan, misalnya : 3

Gangguan pada membran sel neuron


Potensial sel membran neuron bergantung pada permeabilitas sel

tersebut terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel

sekali terhadap ion kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium,

sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi dan konsentrasi

10
ion natrium yang rendah di dalam sel pada keadaan normal. Bila

keseimbangan terganggu, sifat semipermeabel berubah, sehingga ion

natrium dan kalium dapat berdifusi melalui membran dan mengakibatkan

perubahan kadar ion dan perubahan kadar potensial yang menyertainya.

Semua konvulsi, apapun pencetus atau penyebabnya, disertai

berkurangnya ion kalium dan meningkatnya konsentrasi ion natrium di

dalam sel.
Gangguan pada mekanisme inhibisi presinap dan pascasinap
Transmiter eksitasi (asetilkolin, asam glutamat) mengakibatkan

depolarisasi, zat transmiter inhibisi (GABA, glisin) menyebabkan

hiperpolarisasi neuron penerimanya. Pada keadaan normal didapatkan

keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan keseimbangan ini

dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Gangguan sintesis

GABA menyebabkan eksitasi lebih unggul dan dapat menimbulkan

bangkitan epilepsi.
Sel Glia
Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstrasel

disekitar neuron dan terminal presinap. Pada keadaan cedera, fungsi glia

yang mengatur konsentrasi ion kalium ekstrasel dapat terganggu dan

mengakibatkan meningkatnya eksitabilitas sel neuron disekitarnya. Rasio

yang tinggi antara kadar ion kalium ekstrasel dibanding intrasel dapat

mendepolarisasi membran neuron. Astroglia berfungsi membuang ion

kalium yang berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron.

Bila sekelompok sel neuron tercetus maka didapatkan 3 kemungkinan : 3

11
1. Aktivitas ini tidak menjalar ke sekitarnya melainkan

terlokalisasi pada kelompok neuron tersebut, kemudian berhenti

2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, tetapi tidak melibatkan seluruh otak

kemudian menjumpai tahanan dan berhenti

3. Aktivitas menjalar ke seluruh hemisfer otak kemudian berhenti

Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan bangkitan epilepsi parsial, sedangkan

pada keadaan 3 didapatkan kejang umum. Jenis bangkitan epilepsi bergantung

kepada letak serta fungsi sel neuron yang berlepas muatan listrik berlebih serta

penjalarannya. Kontraksi otot somatik terjadi bila lepas muatan melibatkan daerah

motor di lobus frontalis. Gangguan sensori akan terjadi bila struktur di lobus

parietalis dan oksipitalis terlibat. Kesadaran menghilang bila lepas muatan

melibatkan batang otak dan talamus.3

Tabel 1. Klasifikasi kejang epiletik menurut ILAE, 19814

Kejang Parsial

Parsial sederhana (kesadaran tidak terganggu)


- Motor
- Sensorik
- Automatic
- Psikis
Parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran
- Kesadaran terganggu saat awal awitan
Kejang parsial dengan generalisasi sekunder
- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik umum
- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik umum
Kejang Umum
Absan (tipikal atipikal)
Kejang umum tonik-klonik
Kejang tonik
Kejang klonik

12
Kejang mioklonik
Kejang atonik
Kejang yang tidak dapat diklsifikasikan
(International League Againts Epilepsi, 1981) 3

1. Kejang Parsial
Kejang parsial timbul akibat abnormalitas aktivitas elektrik otak

yang terjadi pada salah satu hemisfer otak atau salah satu bagian dari

hemisfer otak.
- Kejang parsial sederhana tidak disertai penurunan kesadaran

Adalah kejang dengan onset lokal pada 1 bagian tubuh tanpa

terganggunya kesadaran.

- Kejang parsial kompleks disertai dengan penurunan kesadaran

Epilepsi parsial kompleks disebut sebagai epilepsi lobus temporal

karena adanya fokus dilobus temporal atau sistim limbik dan sebagai

epilepsi psikomotor karena manifestasi psikis dan motor yang

ditunjukkan.

2. Kejang Umum
Kejang umum timbul akibat abnormalitas aktivitas elektrik neuron

yang terjadi pada seluruh hemisfer otak secara simultan


- Absens
Ciri khas serangan absens adalah durasi singkat, onset dan

terminasi mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai

gerakan klonik pada mata, dagu dan bibir.


- Mioklonik

13
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat

umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satau atau lebih

ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.


- Klonik
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi

kejang kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak.


- Tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas

menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata

dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh.

Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak

dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak

sensitif, pupil dilatasi.


- Tonik Klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat

kemudian diikuti oleh gerakan klonik.


- Atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya

kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau

menyeluruh sehingga pasien terjatuh.


3. Kejang Tidak Dapat Diklasifikasi
Sebagian besar serangan yang terjadi pada bayi baru lahir termasuk

golongan ini.

Berdasarkan alloanamnesis dapat dilihat bahwa anak menunjukkan gejala

kejang tipe atonik. Hal ini ditunjukkan dengan gejala anak yang tiba-tiba seperti

tidak memiliki kekuatan dan langsung terjatuh. Kondisi kejang tipe atonik

diperkirakan adanya induksi listrik berlebih pada daerah motorik negatif yang

mengakibatkan penghambatan motorik dan adanya induksi berlebih listrik dari

14
daerah korteks sensorimotor primer, jalur talamokortikal dan jalur batang otak

yang mengaktifasi formasi retikuler pontomedulari yang berperan pada

keseimbangan dan gerakan tubuh. 5

Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung

terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung

oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan

alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan,

karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan

sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali

bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang

dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman

elektroensefalografi (EEG). 6

- Elektroensefalografi (EEG) 3
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua penderita epilepsi.

EEG dapat mengkonfirmasi aktivitas epilepsi bahkan dapat menunjang

diagnosis klinis dengan baik, tetapi tidak dapat menegakkan diagnosis secara

pasti. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukan kemungkinan adanya

lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG

menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetika atau metabolik.


Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila :
Asimetris irama dan voltage gelombang pada daerah yang

sama dikedua hemisfer otak


Irama gelombang tidak teratur
Irama gelombang lebih lambat dibandingkan seharusnya

15
Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak

yang normal, seperti gelombang tajam paku (spike), paku-

ombak, paku majemuk.

Pemeriksaan EEG berfungsi dalam mengklisifikasikan tipe kejang dan

menentukan terapi yang tepat. EEG harus diulangi apabila kejang sering dan

berat walaupun sedang dalam pengobatan, apabila terjadi perubahan pola

kejang yang berarti atau apabila timbul defisit neurologi yang progresif.

- Pencitraan 6
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic

Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya

kelainan struktural diotak.

Indikasi CT Scan kepala adalah:

- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada

kelainan struktural di otak.

- Perubahan serangan kejang.

- Ada defisit neurologis fokal.

- Serangan kejang parsial.

- Untuk persiapan operasi epilepsi.

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi

namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan

otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik

16
dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak,

sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa

yang mungkin dilakukan terapi pembedahan.

Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan mengatasi kejang dengn obat

Antiepilepsi

Table 2. Pilihan OAE berdasarkan tipe serangan epilepsi 7

Monoterapi
Tipe Kejang Terpai Tambahan
Pilihan I Pilihan II
Parsial/fokal Karbamazepin Asam valproat Leviracetam, Topiramate

Fenitoin Fenobarbital Lamotrigine, Tiagabine

Oxcarbamazepine Primidone Zonisamide, Felbamate,

gabapentin
Tonik-klonik umum Asam valproat Fenitonin Topiramate, lamotrigine,

Fenobarbital felbamate, zonisamide

Karbamazepine

Clonazepam

Primidone
Tonik, klonik,atonik Asam valproate Fenobarbital Leviracetam,

Clonazepam lamotrigine, topiramate,

felbamate, zonisamide
Absan Ethosuximid Felbamate, lamotrigine,

Asam valproate acetazolamide

17
Mioklonik Asam valproate Fenobarbital Lepiracetam,

Klonazepam Lamotrigine, Topiramat,

Felbamte, Zonisamide

Penggolongan obat antiepilepsi 8

(1) Hidantoin

Fenitoin

Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien


dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah. Mekanisme aksi fenitoin adalah
dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan influk
(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat
terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis awal
penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6
jam . Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi
pada SSP.

(2) Barbiturat

Fenobarbital

Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan


konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai
efek langsung terhadap reseptor GABA, aktivasi reseptor barbiturat akan
meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan
post-sinap klorida. Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada
penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah
kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-
anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan
kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson syndrome.

(3) Deoksibarbiturat

Primidon

18
Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori . Efek anti
kejang primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Efek
samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan
keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi.

(4) Iminostilben

Karbamazepin

Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik.


Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk (pemasukan)
ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial
aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron . Dosis pada anak dengan usia
kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal
200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak
usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari . Efek samping yang
sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan penglihatan
(penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat
berdiri tegak) dan Hyponatremia.

(5) Asam valproat

Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi


nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Dosis penggunaan asam valproat 10-15
mg/kg/hari (11). Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan
(>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek
samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan
tubuh, tremor. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan.
Efek samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik.

(6) Benzodiazepin

Benzodiazepin merupakan agonis GABA, sehingga aktivasi reseptor


benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor GABA. Dosis

19
benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3
mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40 mg/hari. Efek
samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas,
kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi,
dan mual.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Neligan,Aidan.The prognosis of epilepsy.UCL Institut of Neurology.2011


2. Octaviana,F. Epilepsy in medicinus scientific journal of pharmaceutical

development and medical application.Vol.21 Nov-Des 2008


3. Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Buku Ajar Neurologi

Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 1999.


4. Swaiman KF, Ashwal S. Pediatric neurology principles and practice. Edisi

ke-4, St. Louis:mousby. 2006.


5. P.G. Vining. Tonic and atonic seizures: Medical therapy and ketogenic diet.

International League Against Epilepsy. USA: Johns Hopkins Medical

Institutions. 2009.
6. Harsono. Epilepsi, edisi kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

2007.
7. Suwarba, I Gusti. Insiden dan karakteristik klinis epilepsi pada anak. Sari

pediatric.Vol.13. Jakarta: EGC. 2011.


8. McNemara, J.O. Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, vol 1. Jakarta: EGC.

2008.

21

Anda mungkin juga menyukai