Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT


TERPADU

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 13
1. Hajar Alviyyah Rohmaningsih
145080100111010
2. Ulfatul Rosidah 145080101111014
3. Devi Renita Listyaningrum
145080101111074
4. Reza Adhitama Nugraha Hasan
145080107111002
5. Kurnia Rifki Firdaus 145080107111008

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA


PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun sampaikan kepada Allah SWT, karena atas izinnya
Laporan Praktikum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu telah
diselesaikan sesuai pada waktunya. Terimakasih juga penyusun sampaikan kepada
Dosen Pengampu Pengolahan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu Manajemen
Sumberdaya Perairan 2016, Bapak Arief Darmawan yang senantiasa tak pernah
lelah memberi bimbingan dan arahan kepada penyusun agar laporan yang
dikerjakan benar dan sesuai dengan semestinya. Laporan ini sengaja kami buat
untuk memenuhi kewajiban kami setelah mengikuti rangkaian kegiatan Praktikum
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu pada Jumat, 23 Desember 2016.
Dalam penyusunan laporan ini, penyusun tentunya tidak luput dari keslahan. Oleh
karenanya, pembaca diharap membantu penyusun dengan cara memberikan kritik,
evaluasi dan saran kepada penyusun guna membuat laporan ini menjadi lebih baik
lagi kedepannya. Demikian laporan ini kami buat, semoga bermanfaat bagi
pembacanya.

Malang, 5 Januari 2017


Hormat Kami,

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN...................................................................................1
BAB 2. DASAR TEORI.......................................................................................3
2.1 Diagram Alir Indikator Keruangan...............................................27
2.2 Diagram Alir Indikator Kesesuaian dengan Perundangan.........28
2.3 Diagram Alir Indikator Pemanfaatan Ruang...............................28
2.4 Diagram Alir Indikator Kependudukan, Sosial-ekonomi dan
Ketenagakerjaan.............................................................................29
BAB 3. HASIL PRAKTIKUM..........................................................................30
3.1 Tabel Penilaian Indikator Keruangan...........................................30
3.2 Tabel Penilaian Indikator Kesesuaian dengan Perundangan......30
3.3 Tabel Penilaian Indikator Pemanfaatan Ruang............................31
3.4 Tabel dan Diagram Penilaian Indikator Kependudukan, Sosial-
ekonomi dan Ketenagakerjaan......................................................34
BAB 4. PEMBAHASAN....................................................................................48
4.1 Indikator Keruangan.......................................................................48
4.2 Indikator Kesesuaian dengan Perundangan.................................48
4.3 Indikator Pemanfaatan Ruang.......................................................50
4.4 Indikator Kependudukan, Sosek dan Ketenagakerjaan..............51
BAB 5. KESIMPULAN.....................................................................................56
BAB 6. SARAN..................................................................................................57
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................58
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan laut (Integrated coastal
management) berdasarkan pada Chapter 17 Agenda 21, Deklarasi Johannesburg
2002,Plan of Implementation of the World Summit on Sustainable
Development, 2002, danBali Plan of Action 2005. Integrated coastal
management merupakan pedoman dalam pengaturan pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut dengan memperhatikan
lingkungan.
Integrated coastal management berisi prinsip-prinsip dalam pengelolaan
wilayah pesisir dan laut sebagaimana di atur dalam Agenda 21 Chapter 17
Program (a), Pemerintah Indonesia pada tahun 1995 telah menyusun Agenda 21-
Indonesia, dalam Bab 18 tentang Pengelolaan Terpadu Daerah Pesisir dan Laut.
Disebutkan bahwa orientasi pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir dan
laut menjadi prioritas pengembangan, khususnya yang mencakup aspek
keterpaduan dan kewenangan kelembagaannya, sehingga diharapkan sumberdaya
yang terdapat di kawasan ini dapat menjadi produk unggulan dalam pembangunan
bangsa Indonesia di abad mendatang. Perbedaan pemahaman pengaturan tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia memunculkan banyak konflik
diantara para pengguna wilayah tersebut dan daerah-daerah kabupaten / kota yang
berbatasan. Kemajemukan peraturan perundanganundangan sangat potensial
menimbulkan terjadinya konflik norma.
Dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (selanjutnya disebut PWP-PK) Pasal 1
Ayat (2), disebutkan bahwa: Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara
ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Selanjutnya, pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-
PK disebutkan bahwa: Ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah
administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut di ukur
dari garis pantai.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana cara melakukan analisis statistik dan keruangan untuk menilai
dokumen tata ruang wilayah pesisir Kabupaten Lamongan.
b. Bagaimana keadaan pengelolaan pesisir Kabupaten Lamongan jika
dibandingkan dengan dokumen rencana pengelolaannya.
c. Bagaimana keadaan tutupan lahan pada wilayah pesisir Kabupaten
Lamongan.
d. Bagaimana kesesuaian pola ruang wilayah pesisir Kabupaten Lamongan
dengan Undang-Undang.
e. Bagaimana keadaan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir Kabupaten
Lamongan
f. Bagaimana keadaan sektor kependudukan, sosial ekonomi dan ketenaga
kerjaan di wilayah pesisir Kabupaten Lamongan.

1.3 Tujuan
a. Untuk dapat melakukan beberapa analisis statistik dan keruangan untuk
penilaian dan evaluasi terhadap dokumen tata ruang dan pelaksanaannya
b. Untuk dapat merumuskan masukkan untuk perbaikan dokumen tata ruang.
c. Untuk mengetahui keadaan tutupan lahan di wilayah pesisir Kabupaten
Lamongan.
d. Untuk mengetahui kesesuaian pola ruang di wilayah pesisir Kabupaten
Lamongan dengan undang-undang yang berlaku.
e. Untuk mengetahui pemanfaatan ruang di wilayah pesisir Kabupaten
Lamongan.
f. Untuk mengetahui keadaan kependudukan, sosial-ekonomi dan ketenaga
kerjaan di wilayah pesisir Kabupaten Lamongan.
BAB 2. DASAR TEORI

Pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu sudah sejak lama menjadi
fokus banyak negara. Indonesia sendiri mengawalinya dengan menerapkan
undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau
kecil. Sebagaimana dahulunya Ketchum (1972) dalam Kay dan Alder (2005),
pernah merumuskan bahwa wilayah pesisir itu sebagai sabuk daratan yang
berbatasan dengan lautan dimana proses dan penggunaan lahan di darat secara
langsung dipengaruhi oleh proses lautan demikian pula sebaliknya. Pendapat ini
bermaksud menjelaskan tentang pengertian kunci yang ada di wilayah pesisir,
yaitu interaksi antara proses laut dan darat serta pemanfaatannya. Pendapat
tersebut ddidukung oleh organisasi dunia, FAO (1998) yang menyatakan bahwa
wilayah pesisir adalah antar muka atau transisi daerah darat dan laut. Wilayah
memiliki beragam fungsi dan bentuk, dinamis dan tidak memiliki definisi oleh
batas-batas ruang yang tegas. Tidak seperti daerah aliran sungai, tidak ada batas
alam yang jelas menggambarkan batas wilayah pesisir tersebut. Oleh sebab itu,
perlu dilakukan pengelolaan yang baik sesuai undang-undang yang berlaku di
suatu negara.
Menurut Undang-Undang No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang No 1 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pengertian pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan
laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kemudian secara lebih rinci dalam Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No 16 Tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil ditegaskan adanya dokumen Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K).
Sementara disisi lain terkait dengan penataan ruang, pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Oleh
sebab itu pada prakteknya perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil keberadaan dokumen RZWP-3K dan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) sangatlah berkaitan. Kedudukan RZWP-3K dan RTWR terkait
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 1.
RZWP-3K merupakan input pada RTRW sehingga kedua dokumen tersebut harus
sinkron. Kemudian untuk mengetahui bahwa kedua dokumen tersebut telah saling
sesuai perlu dilakukan telaah dan evaluasi.

Oleh karena itu kegiatan evaluasi pada Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau Pulau Kecil (RZWP-3K) tidak terlepas dari kegiatan pengelolaan
wilayah dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam siklus kebijakan pengelolaan
pesisir terpadu (Integrated Coastal Management/ICM) (Gambar 2). Untuk dapat
melakukan evaluasi dalam rangka mendapatkan masukkan (input) yang sangat
diperlukan untuk mendukung kegiatan revisi/perbaikan terhadap dokumen
rencana zonasi ataupun rencana tata ruang, maka perlu didukung dengan
ketersediaan data dan informasi terkait.
Gambar 2. Siklus Kebijakan Pengelolaan Pesisir Terpadu

Sumber: Ehler (2003)

Pada tahap evaluasi RZWP-3K dilakukan kajian dan penilaian terhadap


faktor-faktor internal maupun eksternal yang berpengaruh terhadap wilayah dan
juga mencari adanya korelasi, penyimpangan dan juga dampaknya khususnya
terhadap rencana zonasi yang bersangkutan dan lingkungan pada umumnya. Oleh
karena itu penilaian terhadap dokumen RZWP-3K juga pada sisi kelengkapan
materi dan proses penyusunannya dengan mengacu pada pedoman teknis
penyusunan RZWP-3K tersebut. Kemudian evaluasi kemampuan dokumen
RZWP-3K sebagai alat perencanaan utamanya dalam identifikasi dan pelaksanaan
program pembangunan yang erat sekali dengan penaataan ruang yang secara
keseluruhan ada didalam dokumen RTRW. Selain itu penilaiaan dokumen RZWP-
3K ini juga pada aspek akomodasi terhadap dinamika perkembangan ruang,
pertumbuhan ekonomi dan juga penduduk. Terakhir, evaluasi juga mencari
kesesuaian perwujudan struktur ruang serta pola ruang dimana dalam hal ini zona-
zona yang telah ditetapkan dalam dokumen RZWP-3K tersebut.

Dalam proses evaluasi diperlukan indikator yang jelas dan relevan untuk
dapat menilai sejauh mana implementasi dengan yang tercantum dalam dokumen
RZWP- 3K tersebut. Secara sederhana indikator-indikator itu dapat
dikelompokkan sesuai dengan temanya, diantaranya adalah indikator kesesuaian
dengan perundangan, indikator pemanfaatan sumberdaya alam, indikator
demografi/kependudukan, indikator sosial-ekonomi dan indikator ketenaga
kerjaan. Perlu diingat bahwa dokumen RZWP-3K dan RT/RW keduannya
merupakan dokumen perencanaan spasial. Oleh karena itu untuk indikator
keruangan yang digunakan melibatkan variabel luasan suatu ruang kemudian
dikaitkan dengan polanya. Menurut UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang, pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan fungsi budidaya.

Kemudian indikator pemanfaatan sumberdaya alam meliput aspek


penggunaan lahan yang ada sekarang dengan gambaran yang terdapat pada
rencana zonasi. Dalam indikator ini perubahan tutupan lahan/penutup lahan dan
ketidak sesuaian pemanfaatan ruang menjadi catatan tersendiri dan akan berkaitan
dengan indikator keruangan. Menurut Lo (1996), yang tercakup dalam penutup
lahan secara umum adalah tiga kelas data yaitu (1) struktur fisik yang dibangun
oleh manusia; (2) fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan
kehidupan binatang; (3) tipe pembangunan. Dalam hal ini pengamatan penutup
lahan digunakan untuk dapat menduga kegiatan manusia dan penggunaan lahan.
Dengan kaidah tersebut apabila didalam suatu pola ruang terdapat aktivitas lain
yang bukan seharusnya, maka dapat dikatakan terdapat penyimpangan.

Disisi lain, indikator demografi/kependudukan difokuskan pada prediksi


pertumbuhan penduduk untuk melihat apakah rencana zonasi tersebut relevan
dengan laju pertumbuhan penduduk di wilayah itu. Selain itu pada indikator
demografi/kependudukan juga dilakukan penilaian pada komposisi penduduk dan
juga mata pencaharian utama. Selanjutnya indikator sosial-ekonomi diharapkan
dapat memotret kondisi tingkat pendidikan dan pendapatan perkapita rumah
tangga penduduk. Menurut Ehler (2014), faktor ekonomi umumnya merupakan
pendorong penggunaan lingkungan pesisir dan laut oleh manusia. Ada manfaat
ekonomi langsung sebagaimana pengeluaran berkaitan dengan keberlangsungan
kehidupan dan mata pencaharian serta kekayaan di wilayah pesisir dan laut
tersebut.

Terakhir, indikator infrastruktur digunakan untuk mendapatkan gambaran


status pembangunan fisik yang ada diwilayah tersebut, khususnya terkait dengan
pelayanan dan aksesibilitas publik. Asumsinya adalah pada daerah dengan tingkat
pelayanan dan aksesibilitas publik yang tinggi, maka kondisi wilayah tersebut
sudah cukup maju dan dinamis secara infrastruktur. Keberadaan infrastruktur ini
akan berkaitan dengan penilaian struktur ruang dan pola ruang. Secara singkat
indikator- indikator yang dipakai tersebut diuraikan pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1.Indikator Yang Di Amati

Jenis Indikator Indikator-indikator

Bagian 1. Indikator Tutupan lahan 1.1 Penggunaan lahan/tutupan lahan

1.2 Pola ruang Bagian

Bagian 2. Indikator Kesesuaian 2.1 Batas Wilayah Perencanaan


Dengan Perundangan
2.2 Pembagian Kawasan

2.2.1 Kawasan Pemanfaatan Umum

2.2.2 Kawasan Konservasi

2.2.3 Kawasan Strategis Nasional


Tertentu

2.2.4 Alur laut

Bagian 3. Indikator Pemanfaatan 3.1 Lokasi pemanfaatan sumberdaya


Ruang (Sumberdaya Alam) alam

3.1.1 Lokasi perikanan berkelanjutan

3.1.2 Lokasi budidaya perairan

3.1.3 Lokasi pertambangan


3.1.4 Lokasi permukiman

3.1.5 Lokasi wisata

3.1.6 Lokasi fasilitas pariwisata

3.1.7 Lokasi industri

Bagian 4. Dinamika kependudukan, 4.1 Pertumbuhan penduduk


sosial-ekonomi dan ketenagakerjaan
4.1.1 Dinamika penduduk

4.1.2 Pertumbuhan ekonomi

4.1.3 Ketenaga kerjaan

Berdasarkan indikator-indikator pada Tabel 1, maka diperlukan kegiatan


pengumpulan data yang sesuai. Sementara itu untuk dapat melakukan evaluasi
dalam rangka mendapatkan masukkan (input) yang sangat diperlukan untuk
mendukung kegiatan revisi/perbaikan terhadap dokumen rencana zonasi ataupun
rencana tata ruang, maka perlu dilakukan beberapa langkah analisis. Evaluasi ini
meliputi: (1) indikator tutupan lahan (2) kesesuaian dengan peraturan perundang-
undangan, (3) pelaksanaan pemanfaatan ruang, (4) kependudukan, sosial-ekonomi
dan ketenagakerjaan, terakhir (5) penarikan kesimpulan. Untuk analisis kualitas
RZWP- 3K dilakukan beberapa analisis yaitu meliputi pola ruang, dinamika
penduduk, pertumbuhan ekonomi dan ketenaga kerjaan. Sementara itu evaluasi
kesesuaian dengan peraturan perundangan dilakukan dengan acuan pedoman
penyusunan dokumen RZWP-3K yang dikeluarkan Kementrian Kelautan dan
Perikanan. Terakhir, pelaksanaan pemanfaatan ruang dilihat dari kecocokan
pembagian zona-zona dalam dokumen RZWP-3K dengan relatitas dilapangan.

Bagian 1. Indikator Tutupan lahan


Sebagai mana diketahui bahwa pengamatan penutup lahan dapat
digunakan untuk menduga kegiatan manusia dan penggunaan lahan. Dengan
kaidah tersebut apabila didalam suatu pola ruang terdapat aktivitas lain yang
bukan seharusnya, maka dapat dikatakan terdapat penyimpangan. Kelas tutupan
lahan ini dibedakan berdasarkan skala, misalnya seperti yang terdapat pada Tabel
2.1a dan Tabel 2.1b.

Tabel 2.1a. Kelas penutup lahan skala 1:50.000 atau 1:25.000


No. Kelas penutup Deskripsi
lahan
1 Daerah Daerah dengan liputan vegetasi (minimal 4%)
bervegetasi sedikitnya selama 2 bulan, atau dengan liputan
Lichens/Mosses lebih dari 25% jika tidak
terdapat vegetasi lain.
1.1 Daerah pertanian Areal yang diusahakan untuk budi daya tanaman
pangan dan holtikultura. Vegetasi alamiah telah
dimodifikasi atau dihilangkan dan diganti
dengan tanaman anthropogenik dan memerlukan
campur tangan manusia untuk menunjang
kelangsungan hidupnya. Antar masa tanam, area
ini sering kali tanpa tutupan vegetasi. Seluruh
vegetasi yang ditanam dengan tujuan untuk
dipanen, termasuk dalam kelas ini.
1.1.1 Sawah irigasi Sawah yang diusakan dengan pengairan dari
irigasi.
1.1.2 Sawah tadah hujan Sawah yang diusahakan dengan pengairan dari
air hujan.
1.1.3 Sawah lebak Sawah yang diusahakan di lingkungan rawa-
rawa. Saat air di rawa menyusut, rawa
dimanfaatkan dengan cara ditanami padi.
1.1.4 Sawah pasang Sawah yang diusahakan di lingkungan yang
surut terpengaruh oleh air pasang dan surutnya air laut
atau sungai.
1.1.5 Polder Sawah yang terdapat delta sungai yang
pengairannya
dipengaruhi oleh air sungai.
1.1.6 Ladang Pertanian lahan kering yang ditanami tanaman
semusim, terpisah dengan halaman sekitar rumah
serta penggunaannya tidak berpindah-pindah.
Tanaman berupa selain padi, tidak memerlukan
pengairan secara ekstensif, vegetasinya bersifat
artifisial dan memerlukan campur tangan
manusia untuk menunjang kelangsungan
hidupnya.
1.1.7 Perkebunan Lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian
tanpa pergantian tanaman selama dua tahun.
1.1.8 Perkebunan Lahan yang ditanami tanaman keras lebih dari
campuran satu jenis atau tidak seragam yang menghasilkan
bunga, buah, serta getah dan cara pengambilan
hasilnya bukan dengan cara menebang pohon.
CATATAN : Perkebunan campuran di Indonesia
biasanya berasosiasi dengan permukiman
perdesaan atau pekarangan, dan diusahakan
secara tradisonal oleh penduduk.
1.1.9 Tanaman Lahan yang ditumbuhi oleh berbagai jenis
Campuran vegetasi.

Tabel 2.1b. Kelas penutup lahan skala 1:50.000 atau 1:25.000

1.2 Daerah bukan Areal yang tidak diusakan untuk budidaya


tanaman pangan dan holtikultura.
Pertanian

1.2.1 Hutan lahan Hutan yang tumbuh dan berkembang di habitat


kering lahan kering yang dapat berupa hutan dataran
rendah, perbukitan, pegunungan, atau hutan
tropis dataran tinggi.

1.2.1.1 Hutan lahan Hutan yang tumbuh berkembang pada habitat


kering lahan kering yang dapat berupa hutan dataran
rendah, perbukitan dan pegunungan atau hutan
primer
tropis dataran tinggi yang masih kompak dan
belum mengalami intervensi manusia atau
belum menampakkan bekas penebangan.

1.2.1.1.1 Hutan bambu Hutan yang tumbuh berkembang pada habitat


lahan kering yang belum mengalami intervensi
manusia dengan vegetasi dominan berupa pohon
bambu.

Hutan bambu Jika kerapatannya > 70%


rapat

Hutan bambu Jika kerapatannya 41% - 70%


sedang

Hutan bambu Jika kerapatannya 10% - 40 %


jarang

2.1.1.2 Hutan campuran Hutan yang tumbuh berkembang pada habitat


lahan kering yang belum mengalami intervensi
manusia dengan vegatasi yang beraneka ragam.

Hutan campuran. Jika kerapatannya > 70%


rapat

Hutan campuran Jika kerapatannya 41% - 70%


sedang

Hutan campuran Jika kerapatannya 10% - 40 %


jarang

Dst

1.2.2 Hutan lahan Hutan yang tumbuh berkembang pada habitat


basah lahan basah berupa rawa, termasuk rawa payau
dan rawa gambut. Wilayah lahan basah
berkarakteristik unik, yaitu; (1) dataran rendah
yang membentang sepanjang pesisir, (2)
wilayah berelevasi rendah, (3) tempat yang
dipengaruhi oleh pasang-surut untuk wilayah
dekat pantai, (4) wilayah dipengaruhi oleh
musim yang terletak jauh dari pantai, dan (5)
sebagian besar wilayah tertutup gambut.

1.2.3 Belukar Lahan kering yang ditumbuhi berbagai jenis


vegetasi alamiah heterogen dengan tingkat
kerapatan jarang hingga rapat dan didominasi
oleh vegetasi rendah (alamiah). CATATAN :
Semak belukar di Indonesia biasanya berupa
kawasan bekas hutan dan biasanya tidak
menampakkan lagi bekas atau bercak tebangan.

1.2.4 Semak Lahan kering yang ditumbuhi berbagai vegetasi


alamiah homogen dengan tingkat kerapatan
jarang hingga rapat didominasi vegetasi rendah
(alamiah). CATATAN : Semak belukar di
Indonesia biasanya berupa kawasan bekas hutan
dan biasanya tidak menampakkan lagi bekas
atau bercak tebangan.

1.2.5 Padang rumput Areal terbuka yang didominasi oleh beragam


jenis rumput heterogen. 1.2.6 Sabana Areal
terbuka yang didominasi oleh beragam jenis
rumput, dan pepohonan yang tumbuh secara
menyebar dan jarang.

1.2.7 Padang alang- Areal terbuka yang didominasi oleh rumput


alang jenis alang-alang.

1.2.8 Rumput rawa Rumput yang berhabitat di daerah yang


tergenang air tawar atau payau secara permanen.

2 Daerah tak Daerah dengan total liputan vegetasi kurang dari


bervegetasi 4% selama lebih dari 10 bulan, atau daerah
dengan liputan Lichens/Mosses kurang dari
25% (jika tidak terdapat vegetasi berkayu atau
herba).

2.1 Lahan terbuka Lahan tanpa tutupan lahan baik yang bersifat
alamiah, semialamiah, maupun artifisial.
Menurut karakteristik permukaannya, lahan
terbuka dapat dibedakan menjadi consolidated
dan unconsolidated surface.

Dst

Dengan menggunakan peta tutupan lahan, masing-masing kelas tutupan


lahan yang ada di suatu wilayah dapat ditunjukkan dan juga diketahui luasnya.
Dominasi tutupan lahan terbangun daripada tutupan lahan alami menunjukkan
aktivitas manusia yang intensif, sebaliknya bila tutupan lahan alami lebih
dominan menunjukkan kondisi sebaliknya misalnya seperti yang tampak pada
Tabel 2.1.c dimana tutupan lahan hutan kerapatan tinggi, sedang dan rendah yang
lebih dominan dibandingkan luas tutupan yang lainnya.

Tabel 2.1.c Tabel Jenis Tutupan Lahan dan Luasnya

Tutupan lahan Gosong Luas (ha) Persentase

Sungai 11.80 0.4%

Hutan Kerapatan Rendah 790.86 27.4%

Hutan Kerapatan Sedang 671.61 23.3%


Hutan Kerapatan Tinggi 606.78 21.0%

Jalan 2.55 0.1%

Kebun Campur 172.59 6.0%

Lahan Terbuka 17.94 0.6%

Pasir Pantai 10.65 0.4%

Permukiman 47.54 1.6%

Sawah Bera 12.90 0.4%

Sawah Bertanaman 158.35 5.5%

Semak Belukar 221.74 7.7%

Tambak 13.45 0.5%

Tegalan 141.96 4.9%

Tubuh Air 4.23 0.1%

Total 2,884.95 100.0%

Bagian 2. Kesesuaian Dengan Peraturan Perundangan

Berdasarkan pada Undang-Undang No 27 Tahun 2007 Tentang


Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang No 1 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No 16 Tahun 2008 Tentang
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Peraturan
Meteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No 30 Tahun 2010 Tentang
Rencanan Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan, Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesian No 34 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisisr dan Pulau-Pulau Kecil maka didalam dokumen
RZWP-3K harus memuat beberapa aspek seperti yang dicantumkan pada Tabel 3
berikut:

Tabel 3. Kesesuaian dengan perundangan

Aspek dalam Perundangan


No Aspek dalam Dokumen
RZWP-3K
Propinsi/Kabupaten/Kota
Sesuai Tidak sesuai
Batas wilayah perencanaan
1

- Propinsi (12 mil laut)

- Kabupaten/Kota ( 4 mil laut)


2 Pembagian kawasan:
A
Kawasan pemanfaatan umum

- Zona pariwisata

- Zona permukiman

- Zona pelabuhan

- Zona pertanian

- Zona hutan

- Zona pertambangan

- Zona perikanan tangkap

- Zona perikanan budidaya

- Zona industri

- Zona fasilitas umum

- Zona pemanfaatan air laut selain


energi
- Zona pemanfaatan lainnya
B
Kawasan konservasi

- Kawasan konservasi pesisir dan


pulau- pulau kecil

- Kawasan konservasi maritim

- Kawasan konservasi perairan

- Sempadan pantai
C
Kawasan strategis nasional tertentu

- Pengelolaan batas-batas maritim


kedaulatan negara

- Pertahanan dan keamanan negara

- Pengelolaan situs warisan dunia

- Kesejahteraan masyarakat

- Pelestarian lingkungan
D
Alur laut

- Alur pelayaran

- Pipa/kabel bawah laut

- Migrasi biota laut


Bagian 3. Indikator Pemanfaatan Ruang

Peta tutupan lahan dipadukan dengan Peta Rencana Zonasi ini akan
berkaitan erat dengan analisis pola ruang pada indikator pelaksanaan pemanfaatan
ruang. Apabila ditemukan ada suatu tutupan lahan tidak sesuai dengan pola
ruangnya, maka itu berarti terdapat ketidak sesuaian atau terjadi penyimpangan.
Besarnya penyimpangan ini akan dihitung dibagian analisis pola ruang

Analisis pola ruang dapat dimulai dengan menghitung persentase (%) luas
masing-masing jenis penyimpangan terhadap kawasan yang direncanakan dalam
dokumen atau peta tata ruang. Sebagai contohnya adalah bila wujud fisik saat ini
adalah A hektar, luasan kawasan menurut dokumen rencana zonasi ataupun
rencana tata ruang adalah x hektar (ha). Maka penyimpangan yang terjadi sebesar

Bila dalam peta zonasi ataupun tata ruang terdapat 3 kawasan yang menyimpang,
maka nilai penyimpangan seluruhnya adalah :

Hasil perhitungan nilai penyimpangan tersebut kemudian dapat dimasukkan


kedalam tabulasi seperti Tabel 4 berikut ini:

Tabel 4. Penilaian Pola Ruang

Indikator Sub Lokas Dari Tutupan Dari Luas %


indikator i Peta Penyimpanga Penyimpan
Peta
Rencana n gan
Lahan
Zonasi (ha)
Jenis Luas Luas
(ha) (ha)
2.1 Inkonsistensi fungsi
ruang
2.1.1 Kawasan 1.Zona....
konservasi 2.Zona...
2.1.2 Kawasan
permukiman
2.1.3 Kawasan 1. Zona...
perikanan
bahari
2.1.4 Kawasan
pelabuhan
2.1.5 Kawasan
wisata
2.1.6 Kawasan
industri
Total

Kemudian penilaian penyimpangan dapat dilakukan dengan


membandingkan hasil yang diperoleh dari survey dengan yang ada didalam
dokumen. Apabila penyimpangan tersebut tinggi, maka tingkat kesesuaiannya
rendah.

Bagian 4. Indikator Kependudukan, Sosial-ekonomi dan Ketenagaankerjaan


4.1 Perkembangan Jumlah Penduduk (Dinamika Penduduk)
Untuk melakukan prediksi terhadap perkembangan jumlah penduduk
dapat menggunakan metode regresi linier. Penggunaan metode ini berlandaskan
pada kecenderungan perkembangan penduduk dilokasi praktikum pada tahun-
tahun sebelumnya. Selain metode regresi linier juga ada metode geometrik.

a. Metode Regresi Linier Sederhana


Secara umum, model regresi linier sederhana dapat dituliskan sebagai
berikut
Y = a + bX
Di mana:
Y = variabel dependen b = koefisien slope
X = variabel independen
a\ = intersep
Prediksi jumlah penduduk dengan metode regresi linier sederhana
mengasumsikan bahwa pertumbuhan penduduk di suatu wilayah mengikuti tren
linier tertentu yaitu tren positif atau tren negatif. Apabila tren pertumbuhan positif,
maka semakin lama jumlah penduduk akan semakin besar. Sebaliknya, apabila
tren bersifat negatif maka menunjukkan bahwa semakin lama jumlah penduduk
akan semakin berkurang. Nilai tren ini ditunjukkan dengan nilai dari koefisien
slope (b). Jika slope bernilai positif, maka tren positif. Di sisi lain, apabila slope
bernilai negatif maka tren negatif. Dalam kaitannya dengan prediksi jumlah
penduduk, maka model regresi linier sederhana bisa ditulis kembali sebagai
berikut:
P t = a + bX t
Berdasarkan persamaan tersebut, prediksi jumlah penduduk periode ke-t
(Pt) dianggap sebagai variabel dependen, sedangkan variabel independen yang
digunakan adalah nilai koding tahun periode ke t (Xt).

Cara penentuan koding tahun atau Xt yaitu


- Jika banyaknya tahun yang diketahui ganjil maka Xt : ...,...,-2,-1,0,1,2,...,...
- Jika banyaknya tahun yang diketahui genap maka Xt :...,....,-1.5,-0.5,0.5,1.5,..
Adapun nilai intersep (a) dan slope (b) dihitung dengan rumus sebagai berikut
n

Xt . Pt n

b= t =1n Pt
a= t =1
X 2t n
t=1

Di mana:
n = banyaknya tahun pengamatan.
Contoh:
Diketahui data hipotetis jumlah penduduk di Kecamatan A adalah sebagai berikut.

Tabel 5. Jumlah Penduduk Kecamatan A (ribuan jiwa)


Tahun Jumlah Penduduk
2010 235
2011 270
2012 322
2013 356
2014 421
Tentukan prediksi jumlah penduduk Kecamatan A pada tahun 2016.
Pembahasan:

Tabel 6. Tabel Prediksi jumlah penduduk Kecamatan A pada tahun 2016


Tahun (t) Xt Pt Xt P t Xt2
2010 -2 235 235 (-2) (235) = -470 2 (-2) 2 = 4
2011 -1 270 -270 1
2012 0 322 0 0
2013 1 356 356 1
2014 2 421 842 4
2015 0 1604 458 10

Xt . Pt n

b= t =1n =
458
=45.8 Pt 1604
10 a= t =1 = =320.8
X 2
t n 5
t=1

Model prediksi : Pt = 320.8 45.8Xt


Nilai Xt yang bersesuaian untuk t=2016 adalah Xt=4, sehingga prediksi jumlah
penduduk Kecamatan A pada tahun 2016 adalah
Pt=2016 = 320.8 + 45.8(4) = 504
Dengan demikian, prediksi jumlah penduduk Kecamatan A pada tahun 2016
adalah sebesar 504 ribu jiwa.

b. Metode Geometrik

Prediksi jumlah penduduk dengan metode mengasumsikan bahwa jumlah


penduduk akan bertambah/berkurang pada suatu tingkat pertumbuhan (persentase)
yang tetap. Misalnya, jika Pt+1 dan Pt adalah jumlah penduduk dalam tahun yang
berurutan, maka penduduk akan bertambah atau berkurang pada tingkat
pertumbuhan yang tetap (yaitu sebesar Pt+1/Pt ) dari waktu ke waktu. Prediksi
dengan tingkat pertumbuhan yang tetap ini umumnya dapat diterapkan pada
wilayah, dimana pada tahun-tahun awal observasi pertambahan absolut
penduduknya sedikit dan menjadi semakin banyak pada tahun-tahun akhir. Model
geometrik memiliki persamaan umum
P t = P0 (1 + r )t

Di mana:
Pt = jumlah penduduk pada tahun ke t
P0 = jumlah penduduk pada tahun dasar
t = jangka waktu dari tahun dasar
r = laju/tingkat pertumbuhan penduduk

Berdasarkan prediksi jumlah penduduk pada tahun ke t tersebut kemudian


dapat dilakukan pendugaan pertumbuhan penduduk dari tahun dasar.
Pertumbuhan penduduk dari tahun dasar ke tahun t ini disebut juga dinamika
penduduk yang akan digunakan untuk evaluasi RZWP-3K. Dalam praktikum ini
digunakan 3 klasifikasi pertumbuhan penduduk, yaitu sebagai berikut:
a. Pertumbuhan penduduk termasuk cepat, bila pertumbuhan 2% lebih dari
jumlah penduduk tiap tahun.
b. Pertumbuhan penduduk termasuk sedang, bila pertumbuhan itu antara 1% - 2%.
c. Pertumbuhan penduduk termasuk lambat, bila pertumbuhan itu antara 1% atau
kurang

4.2 Pertumbuhan Ekonomi


Kondisi perekonomian di suatu wilayah dapat ditentukan berdasarkan teori
basis ekonomi. Teori basis ekonomi lebih didasarkan pada perkembangan peran
sektor ekonomi, baik di dalam wilayah maupun ke luar daerah, terhadap
pertumbuhan perekonomian wilayah / daerah tersebut. Untuk itu basis ekonomi
pada struktur perekonomian suatu wilayah / daerah dikelompokkan menjadi dua
sektor, yaitu:
1. Sektor Unggulan, yaitu sektor ekonomi yang mampu memenuhi
permintaan barang dan jasa di pasar domestik maupun luar
wilayah/daerah
2. Sektor Bukan Unggulan, yaitu sektor ekonomi yang hanya mampu
memenuhi permintaan barang dan jasa di pasar domestik atau di
wilayah/daerah

Untuk penentuan sektor unggulan dan bukan unggulan tersebut digunakan analisis
Location Quotient (LQ) dengan formulasi:
PDRBir /TPDRBr
LQr = PDRB /TPDRBn
Di mana:
LQr = Location quotient daerah r
PDRBir = PDRB sektor i di daerah r
PDRBr = PDRB total daerah r
PDRBin = PDRB sektor i tingkat nasional
PDRBn = PDRB total nasional
Keterangan:
- Jika LQr > 1 , sektor i pada daerah r merupakan sektor unggulan dengan
tingkat spesialisasi sektor tersebut di daerah r lebih besar dari nasional n
- Jika LQr = 1 , sektor i pada daerah r merupakan sektor bukan unggulan
dengan tingkat spesialisasi sektor tersebut di daerah r sama dengan dari
nasional n
- Jika LQr < 1 , sektor i pada daerah r merupakan sektor bukan unggulan
dengan tingkat spesialisasi sektor tersebut di daerah r lebih kecil dari
nasional n

Contoh:
Berikut ini adalah hasil analisis LQ untuk wilayah Kab. Malang tahun 2014
berdasarkan data PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (miliar rupiah).

Tabel 7. Tabel hasil analisis LQ untuk wilayah Kab. Malang tahun 2014
PDRB PDRB LQ
No Sektor ekonomi Keterangan
daerah nasional
1 Pertanian 12637.45 1446722.30 1.70 B
2 Pertambangan&Penggalian 978.93 1058750.20 0.18 NB
3 Industri Pengolahan 11560.51 2394004.90 0.94 NB
4 Listrik dan Air Bersih 414.62 81131.00 0.99 B
5 Bangunan 1361.50 1014540.80 0.26 NB
6 Perdagangan,Hotel&Restoan 15304.75 1473559.70 2.02 B
7 Pengangkutan dan 1877.49 745648.20 0.49 B
Komunikasi
8 Keuangan, Persewaan&Jasa
Perusahaan 2223.93 771961.50 0.56 B
9 Jasa-jasa 5708.52 1108610.30 1.00 B
PDRB total 51987.93 10094928.90 1.00

Selain itu, untuk mengetahui laju pertumbuhan ekonomi pada


masing-masing sektor, dapat dilakukan berdasarkan nilai PDRB setiap
sektor dengan rumus sebagai berikut
PDRB i ,t PDRBi ,t 1
gi ,t = x 100
PDRB i ,t 1

Di mana:
gi,t = laju pertumbuhan ekonomi sektor i pada periode ke t
(%)
PDRBi,t = nilai PDRB sektor i periode ke t
PDRBi,t-1 = nilai PDRB sektor i pada periode sebelumnya (t-1)

Contoh:

Tabel 8. Laju pertumbuhan ekonomi Kab. Malang tahun 2013-2014


PDRB (juta rupiah)
No Sektor ekonomi Laju (g)
2013 2014
1 Pertanian 11586574 1263744 9.07%
7
2 Pertambangan&Penggalian 906676 978929 7.97%
3 Industri Pengolahan 1030421 11560513 12.19%
9
4 Listrik dan Air Bersih 377377 414619.1 9.87%
5 Bangunan 1178950 1361498 15.48%
6 Perdagangan,Hotel&Restoan 1360056 1530475 12.53%
3 4
7 Pengangkutan dan Komunikasi 1685341 1877493 11.40%
8 Keuangan, Persewaan&Jasa 1993465 2223934 11.56%
Perusahaan

9 Jasa-jasa 5197567 5708523 9.83%


PDRB total 4683073 5198792 11.01%
7 6
4.3. Ketenagakerjaan
Tenaga kerja (man power) adalah besarnya bagian dari penduduk yang
dapat diikutsertakan dalam proses ekonomi. Sedangkan angkatan kerja merupakan
penduduk usia 15 tahun ke atas yang secara aktif melakukan kegiatan ekonomi.
Angkatan kerja terdiri atas penduduk yang bekerja, mempunyai pekerjaan tetapi
sementara tidak bekerja, dan tidak mempunyai pekerjaan sama sekali namun
mencari pekerjaan secara aktif. Mereka yang berumur 15 tahun atau tidak bekerja
atau tidak mencari pekerjaan karena sekolah, mengurus rumahtangga, atau secara
fisik dan mental tidak memungkinakan untuk bekerja tidak dimasukkan dalam
angkatan kerja. Ukuran angkatan kerja yang sering digunakan adalah tingkat
partisipasi angkatan kerja (TPAK). TPAK adalah angka yang menunjukkan
persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja. Rumus TPAK adalah

angkatan kerja
TPAK x 100
penduduk usia kerja

Angka TPAK dapat digunakan untuk mengetahui penduduk yang aktif


bekerja ataupun mencari pekerjaan. Bila angka TPAK kecil, maka hal ini
menunjukkan bahwa penduduk usia kerja banyak yang tergolong bukan angkatan
kerja, baik karena sedang sekolah, mengurus rumahtangga atau lainnya. Dengan
demikian, angka TPAK sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang masih
berselolah dan mengurus rumahtangga. Oleh karena itu, untuk wilayah yang
tergolong maju, nilai TPAK cukup tinggi pada kelompok umur dan tingkat
pendidikan tertentu, sehingga biasanya TPAK juga dihitung menurut kelompok
umur dan tingkat pendidikan.
Penduduk usia kerja dapat diidentifikasi dari piramida penduduk. Piramida
penduduk merupakan suatu grafik yang menggambarkan komposisi penduduk di
suatu wilayah berdasarkan umur dan jenis kelamin. Berdasarkan komposisi
penduduk menurut umur dan jenis kelamin, karakteristik penduduk suatu wilayah
dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu:
- Ekspansif jika sebagian besar penduduk berada dalam kelompok
umur muda.
- Konstruktif jika penduduk dalam kelompok umur termuda
jumlahnya sedikit
- Stasioner jika banyaknya penduduk dalam tiap kelompok umur
hampir sama, kecuali pada kelompok umur tertentu

Gambar 3. Macam-macam bentuk Piramida Penduduk (Richmond, 2008)

Secara khusus, apabila jumlah penduduk usia kerja/produktif (15-64


tahun) lebih banyak dibandingkan kelompok umur lainnya, maka dikatakan
bahwa wilayah tersebut mengalami bonus demografi. Bonus demografi
merupakan modal dalam pembangunan sektor sosial ekonomi karena
mengakibatkan angka ketergantungan (dependency rate) menjadi semakin kecil.
Angka ketergantungan dapat digunakan sebagai indikator yang secara kasar dapat
menunjukkan keadaan ekonomi suatu wilayah apakah tergolong maju atau
berkembang. Semakin tinggi persentase dependency rate menunjukkan semakin
tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk
membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.
Sedangkan persentase dependency ratio yang semakin rendah menunjukkan
semakin rendahnya beban yang ditanggung penduduk yang produktif untuk
membiayai penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Dependency
rate dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut
P65+
P014 + x 100
P1564
DR =
Di mana:
DR = dependency rate
P0-14 = jumlah penduduk usia muda (0-14 tahun)
P65+ = jumlah penduduk usia tua (65 tahun ke atas)
P15-64 = jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun)
Bagian 5. Pengambilan kesimpulan
Pada tahap akhir analisis adalah menghabungkan hasil-hasil analisis
tutupan lahan, pola ruang, dinamika penduduk, pertumbuhan ekonomi dan
ketenaga kerjaan digabungkan untuk mendapatkan suatu kesimpulan bahwa
dokumen perencanaan (RZWP-3K atau RTRW) tersebut relevan atau tidak.

Tabel 9. Penilaian Tutupan lahan (A)


Kriteria tutupan lahan Penilaian
Tutupan lahan alami tinggi (50 - 100 %) 1
Tutupan lahan alami sedang (25-50 %) 0
Tutupan lahan alami rendah (0 - 25 %) -1

Tabel 10. Penilaian Kesesuaian dengan Perundangan (B)


Kriteria kesesuaian dengan Penilaian
perundangan
Kesesuaian dengan 1
perundangan tinggi (50-100 %)
Kesesuaian dengan 0
perundangan sedang (25-50 %)
Kesesuaian dengan -1
perundangan rendah (0 - 25 %)

Tabel 11. Penilaian Pemanfaatan Ruang (C)


Kriteria penilaian pemanfaatan Penilaian
ruang
Penyimpangan pemanfaatan ruang -1
tinggi (50-100 %)
Penyimpangan pemanfaatan ruang 0
sedang (25-50 %)
Penyimpangan pemanfaatan ruang 1
rendah (0 - 25 %)

Tabel 12. Penilaian Pertumbuhan Penduduk (D)


Kriteria pertumbuhan penduduk Penilaian
Pertumbuhan lambat (<=1 %) -1
Pertumbuhan sedang (1 2 %) 0
Pertumbuhan cepat ( >= 2 %) 1

Tabel 13. Penilaian Pertumbuhan Ekonomi (E)


Kriteria pertumbuhan ekonomi Penilaian
LQr < 1 -1
LQr = 1 0
LQr > 1 1

Tabel 14. Penilaian Ketenagakerjaan (F)


Kriteria ketergantungan Penilaian
Tinggi -1
Sedang 0
Rendah 1

Relevansi (R) = A+B+C+D+E+F

Dimana:
Dokumen relevan bila R = 4 6
Dokumen tidak relevan bila R <= 3
Simpangan kecil jika nilai B + C = 2
Simpangan besar jika nilai B + C <=
Faktor eksternal tetap jika nilai E = 0
Faktor eksternal berubah jika nilai E = -1 atau E = 1
Berikut ini pembagian detil terkait relevan atau tidaknya dokumen yang sedang
dikaji:
a. Dokumen relevan, simpangan kecil, faktor eksternal tetap
b. Dokumen relevan, simpangan kecil, faktor eksternal berubah
c. Dokumen relevan, simpangan besar, faktor eksternal berubah
d. Dokumen relevan, simpangan besar, faktor eksternal tetap
e. Dokumen tidak relevan, simpangan kecil, faktor eksternal berubah
f. Dokumen tidak relevan, simpangan kecil, faktor eksternal tetap
g. Dokumen tidak relevan, simpangan besar, faktor eksternal berubah
h. Dokumen tidak relevan, simpangan besar, faktor eksternal tetap

2.1. Diagram Alir Indikator Keruangan

Buka peta tutupan lahan (format shapefile) wilayah yang dipergunakan


dalam praktikum ini menggunakan Quantum GIS atau ArcGIS

Apabila peta tutupan lahan dalam (format shapefile) tersebut masih dalam
sistem koordinat geografis, ubahlah ke dalam sistem proyeksi UTM sesuai
dengan zona-nya

Hitung luas masing-masing jenis tutupan lahan

Expor tabel atribut shapefile tersebut ke dalam file format MS Excel (*.xls
atau *.xlsx)

Dengan menggunakan MS Excel, buka tabel atribut hasil ekspor (langkah 4)


dan buatlah pivot table sehingga dapat memperoleh informasi secara urut
jenis tutupan lahan, luas dan persentasenya

Lakukan pengamatan pada hasil pivot tabel tersebut untuk melihat jenis
tutupan lahan yang dominan serta peresentasenya (%)

Hasil
2.2. Diagram Alir Indikator Kesesuaian dengan perundangan

Buka dokumen RZWP3-K wilayah Lamongan 2016

Telaah dokumen tersebut

Hasil

2.3. Diagram Alir Indikator Pemanfaatan Ruang


Buka peta tutupan lahan dan peta RZWP-3K dengan Quantum GIS atau
ArcGIS

Overlay peta tutupan lahan dan peta RZWP-3K/RTRW Untuk pengguna


Quantum GIS, download dan install plugins fTools Kemudian proses
overlay menggunakan menu Vector > Geoprocessing Tools > Union..
Input vector layer : di isi peta tutupan lahan
Union layer : di isi peta rencana zonasi/rencana tata ruang
Output shapefile : di arahkan ke folder/direktori kerja, kemudian diberi
nama filenya plrz_union.shp

Ekspor tabel peta hasil overlay tersebut ke format MS Excel

Dengan menggunakan MS Excel, buka tabel atribut hasil ekspor (langkah 3)


dan buatlah pivot table sehingga dapat memperoleh informasi secara urut
jenis tutupan lahan berikut jenis zonanya, luas dan persentasenya

Lakukan pengamatan pada hasil pivot tabel tersebut untuk melihat jenis
tutupan lahan yang berada pada zona yang tidak sesuai, hitung berapa
persentasenya

Mengisi penilaian pemanfaatan ruang, pada kolom yang ada di Tabel


Penilaian Pemanfaatan Ruang

Hasil
2.4. Diagram Alir Indikator Kependudukan, Sosial-ekonomi dan
Ketenagaankerjaan
2.4.1 Indikator Kependudukan
Menghitung prediksi jumlah penduduk Kabupaten Lamongan pada tahun
2016 dengan metode regresi linier sederhana

Menghitung laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Lamongan pada tahun


2016 dengan metode geometrik

Menduga klasifikasi pertumbuhan penduduk untuk menentukan dinamika


penduduk

Hasil

2.4.2 Indikator Sosial-ekonomi

Menentukan sektor unggulan dan bukan unggulan dengan analisis Location


Quotient (LQ)

Menentukan laju pertumbuhan ekonomi pada masing-masing sektor


berdasarkan nilai PDRB setiap sektor

Hasil

2.4.3 Indikator Ketenagakerjaan

Menentukan penduduk yang aktif bekerja atau mencari pekerjaan dengan


angka

Menentukan penduduk usia kerja dengan mengidentifikasi piramida


penduduk

Menentukan karakteristik penduduk Kabupaten Lamongan

BABKabupaten
Menentukan keadaan ekonomi 3 Lamongan dengan
mengidentifikasi presentase
HASIL PRAKTIKUMdependency rate (DR)

Hasil
BAB 3. HASIL PRAKTIKUM

3.1 Tabel Penilaian Indikator Keruangan


Berdasarkan praktikum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu
yang telah dilakukan oleh kelompok 13, maka didapatkan Penilaian Indikator
Keruangan sebagai berikut:

Tabel 15. Indikator Keruangan


Tutupan Lahan Luas (ha) Presentase
Hutan Mangrove Sekunder 1416500 3%
Hutan Tanaman Industri (HTI) 24752856 49%
Permukiman 12690618.27 25%
Pertanian Lahan Kering 9517418 19%
Pertanian Lahan Kering Bercampur dengan Semak 1018724 2%
Tambak 1010487 2%
Tubuh Air 486076 1%
Total 50892679.27 100%
Tutupan lahan alami : 4%
Penilaian : -1

3.2. Tabel Penilaian Indikator kesesuaian Perundangan


Berdasarkan praktikum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu
yang telah dilakukan oleh kelompok 13, maka didapatkan Penilaian Indikator
Kesesuaian Dengan Perundangan sebagai berikut:

Tabel 16. Indikator Kesesuaian Perundangan


No Aspek dalam Aspek dalam Dokumen RZWP-3K
Perundangan Propinsi/Kabupaten/Kota
Sesuai Tidak Sesuai
1 Batas wilayah perencanaan
- Propinsi (12 mil laut) v
- Kabupaten/Kota ( 4 mil V
laut)
2 Pembagian kawasan:
A Kawasan pemanfaatan
umum
- Zona pariwisata V
- Zona permukiman V
- Zona pelabuhan V
- Zona pertanian V
- Zona hutan v
- Zona pertambangan v
- Zona perikanan tangkap v
- Zona perikanan budidaya v
- Zona industri v
- Zona fasilitas umum v
- Zona pemanfaatan air laut v
selain energi
- Zona pemanfaatan v
lainnya
B Kawasan konservasi
- Kawasan konservasi v
pesisir dan pulau- pulau
kecil
- Kawasan konservasi v
maritim
- Kawasan konservasi v
perairan
- Sempadan pantai v
C Kawasan strategis
nasional tertentu
- Pengelolaan batas- v
batas maritim
kedaulatan negara
- Pertahanan dan keamanan v
negara
- Pengelolaan situs warisan v
dunia
- Kesejahteraan masyarakat v
- Pelestarian lingkungan v
D Alur laut
- Alur pelayaran v
- Pipa/kabel bawah laut v
- Migrasi biota laut v

Kesesuaian Dengan Undang-Undang : 46%


Penilaian :0

3.3 Indikator Pemanfaatan Ruang


NO INDIKATOR LUAS Km2
1 Pertanian lahan kering 9517418
2 Pertanian Lahan Kering 1018724
Bercampur dengan semak
3 Tambak 1010487
4 Tubuh Air 486076
5 Hutan Mangrove 1416500
Sekunder
6 Hutan Tanaman Industri 24752856
7 Pemukiman 12690618
Total 50892679
Penilaian Pola Ruang
Dalam proses evaluasi diperlukan indikator yang jelas dan relevan untuk
dapat menilai sejauh mana implementasi dengan yang tercantum dalam dokumen
RZWP-3K tersebut. Secara sederhana indikator-indikator itu dapat
dikelompokkan sesuai dengan temanya. Kemudian indikator pemanfaatan
sumberdaya alam meliputi aspek penggunaan lahan yang ada sekarang dengan
gambaran yang terdapat pada rencana zonasi. Dalam indikator ini perubahan
tutupann lahan dan ketidak sesuaian pemanfaatan ruang menjadi catatan tersendiri
dan akan berkaitan dengan indikator keruangan.
Analisi pola ruang dapat dimulai dengan menghitung persentase (%) luas
masing-masing jenis penyimpangan terhadap awasan yang direncanakan dalam
dokumen atau peta tata ruang. Sebagai contohnya adalah bila wujud fisik saat ini
adalah A hektar, luasan kawasan menurut dokumen rencana zonasi ataupun
rencana tata ruang adalah x hektar (ha). Maka penyimpangan yang terjadi sebesar

bila dalam peta zonasi ataupun tata ruang terdapat 3


kawasan yang menyimpangan maka nilai penyimpangan seluruhnya adalah
a+b+c/3.
Menurut Tisnaadmidjaja dalam Yusuf (1997), yang dimaksud dengan ruang
adalah wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang
merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya
dalam suatu kualitas kehidupan yang layak. Tata ruang adalah wujud struktur
ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan
sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Proses perencanaan tata ruang merupakan kegiatan penyusunan dan
penetapan rencana penggunaan tata ruang yang terdiri dari penyusunan struktur
dan pola ruang. Proses pemanfaatan ruang merupakan proses penyusunan dan
pelaksananaan program serta pembiayaan akibat penggunaan ruang yang telah
ditetapkan pada proses perencanaan tata ruang. Pengendalian tata ruang
merupakan proses pengendalian dan penertiban ruang akibat dari pemanfaatan
yang harus berdasarkan pada perencanaan tata ruang yang telah ditetapkan. Jika
ketiga proses tersebut berjalan secara sempurna maka kegiatan pembangunan
yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap
mempertimbangkan kesesuaian wilayah ruang dan kelestarian lingkungan hidup
akan dapat tercapai (Agus, 2012).

3.4. Indikator Kependudukan, Sosial-ekonomi, dan Ketenagakerjaan


3.4.1. Indikator Kependudukan
Data jumlah penduduk di Kabupaten Lamongan diketahui berdasarkan
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan tahun 2016 bahwa terdapat 27
kecamatan di Kabupaten Lamongan yang meliputi data jumlah penduduk tahun
2010 dan 2015 yang ditunjukkan pada Tabel 17.
Tabel 17. Jumlah Penduduk Kabupaten Lamongan tahun 2010 dan 2015
Jumlah Penduduk
Kecamatan
2010 2015
Sukorame 23.059 20.401
Bluluk 24.655 21.393
Ngimbang 49.279 46.386
Sambeng 52.861 50.384
Mantup 48.561 43.898
Kembangbahu 53.080 47.101
Sugio 69.571 60.567
Kedungpring 69.213 60.167
Modo 55.325 48.990
Babat 96.867 88.958
Pucuk 57.363 49.529
Sukodadi 61.168 55.538
Lamongan 72.034 66.549
Tikung 45.038 42.840
Sarirejo 26.406 24.314
Deket 48.647 43.608
Glagah 48.990 42.525
Karangbinangun 45.247 40.381
Turi 57.681 53.198
Kalitengah 38.994 35.429
Karanggeneng 51.004 44.735
Sekaran 61.547 49.099
Maduran 47.830 37.329
Laren 58.449 52.054
Solokuro 58.637 47.086
Paciran 100.710 96.017
Brondong 77.755 73.790

Langkah selanjutnya untuk dapat menentukan prediksi jumlah penduduk


tiap kecamatan yang ada di Kabupaten Lamongan pada tahun 2016 maka
diperlukan nilai jumlah dari penduduk tahun 2010 dan 2015, serta jumlah
pengaliannya dengan tujuan mencari nilai a dan b yang ditampilkan pada Tabel
18.
Tabel 18. Perhitungan nilai serta jumlah X tPt dan Xt2 pada tiap kecamatan di
Kabupaten Lamongan tahun 2010 dan 2015

No. Kecamatan Tahun(t) Xt Pt XtPt Xt2


2010 -5 23.059 -115.295 25
Sukorame
1. 2015 5 20.401 102.005 25
Total 0 43.460 -13.290 50
2010 -5 24.655 -123.275 25
Bluluk
2. 2015 5 21.393 106.965 25
Total 0 46.048 -16.310 50
2010 -5 49.279 -246.395 25
Ngimbang
3. 2015 5 46.386 231.930 25
Total 0 95.665 -14.465 50
2010 -5 52.861 -264.305 25
Sambeng
4. 2015 5 50.384 251.920 25
Total 0 103.245 -12.385 50
2010 -5 48.561 -242.805 25
Mantup
5. 2015 5 43.898 219.490 25
Total 0 92.459 -23.315 50
2010 -5 53.080 -265.400 25
Kembangbahu
6. 2015 5 47.101 235.505 25
Total 0 100.181 -29.895 50
2010 -5 69.571 -347.855 25
Sugio
7. 2015 5 60.567 302.835 25
Total 0 130.138 -45.020 50
8. Kedungpring 2010 -5 69.213 -346.065 25
2015 5 60.167 300.835 25
Total 0 129.380 -45.230 50
9. Modo 2010 -5 55.325 -276.625 25
2015 5 48.990 244.950 25
Total 0 104.315 -31.675 50
10. Babat 2010 -5 96.867 -484.335 25
2015 5 88.958 444.790 25
Total 0 185.825 -39.545 50
11. Pucuk 2010 -5 57.363 -286.815 25
2015 5 49.529 247.645 25
Total 0 106.892 -39.170 50
12. Sukodadi 2010 -5 61.168 -305.840 25
2015 5 55.538 277.690 25
Total 0 116.706 -28.150 50
13. Lamongan 2010 -5 72.034 -360.170 25
2015 5 66.549 332.745 25
Total 0 138.583 -27.425 50
14. Tikung 2010 -5 45.038 -225.190 25
2015 5 42.840 214.200 25
Total 0 87.878 -10.990 50
15. Sarirejo 2010 -5 26.406 -132.030 25
2015 5 24.314 121.570 25
Total 0 50.720 -10.460 50
16. Deket 2010 -5 48.647 -243.235 25
2015 5 43.608 218.040 25
Total 0 92.255 -25.195 50
17. Glagah 2010 -5 48.990 -244.950 25
2015 5 42.525 212.625 25
Total 0 91.515 -32.325 50
18. Karangbinangun 2010 -5 45.247 -226.235 25
2015 5 40.381 201.905 25
Total 0 85.628 -24.330 50
19. Turi 2010 -5 57.681 -288.405 25
2015 5 53.198 265.990 25
Total 0 110.879 -22.415 50
20. Kalitengah 2010 -5 38.994 -194.970 25
2015 5 35.429 177.145 25
Total 0 74.423 -17.825 50
21. Karanggeneng 2010 -5 51.004 -255.020 25
2015 5 44.735 223.675 25
Total 0 95.739 -31.345 50
22. Sekaran 2010 -5 61.547 -307.735 25
2015 5 49.099 245.495 25
Total 0 110.646 -62.240 50
23. Maduran 2010 -5 47.830 -239.150 25
2015 5 37.329 186.645 25
Total 0 85.159 -52.505 50
24. Laren 2010 -5 58.449 -292.245 25
2015 5 52.054 260.270 25
Total 0 110.503 -31.975 50
25. Solokuro 2010 -5 58.637 -293.185 25
2015 5 47.086 235.430 25
Total 0 105.723 -57.755 50
26. Paciran 2010 -5 100.710 -503.550 25
2015 5 96.017 480.085 25
Total 0 196.727 -23.465 50
27. Brondong 2010 -5 77.755 -388.775 25
2015 5 73.790 368.950 25
Total 0 151.545 -19.825 50

Agar dapat memasukkannya ke dalam model regresi linier, maka


diperlukan nilai a dan b yang didapat dari rumus :

dan

Adapun model regresi linier dari prediksi jumlah penduduk pada tahun
2016 yaitu:

Pt = a + b.Xt

Setelah mendapatkan hasil nilai maupun jumlah dari XtPt dan Xt2 pada tiap
kecamatan di Kabupaten Lamongan tahun 2010 dan 2015 maka dapat diprediksi
jumlah penduduk tiap kecamatan di Kabupaten Lamongan pada tahun 2016
dengan menggunakan rumus a dan b serta model regresi linier di atas. Perhitungan
prediksi jumlah penduduk tiap kecamatan di Kabupaten Lamongan pada tahun
2016 selengkapnya disajikan dalam Tabel 19.

Tabel 19. Prediksi jumlah penduduk tiap kecamatan di Kabupaten


Lamongan pada tahun 2016

No. Kecamatan a b P2016


1. Sukorame 21.730 -265,8 19.869,4
2. Bluluk 23.024 -326,2 20.740,6
3. Ngimbang 47.832,5 -289,3 45.807,4
4. Sambeng 51.622,5 -247,7 49.888,6
5. Mantup 46.229,5 -466,3 42.965,4
6. Kembangbahu 50.090,5 -597,9 45.905,2
7. Sugio 65.069 -900,4 58.766,2
8. Kedungpring 64.690 -904,6 58.357,8
9. Modo 52.157,5 -633,5 47.723
10. Babat 92.912,5 -790,9 87.376,2
11. Pucuk 53.446 -783,4 47.962,2
12. Sukodadi 58.353 -563 54.412
13. Lamongan 69.291,5 -548,5 65.452
14. Tikung 43.939 -219,8 42.400,4
15. Sarirejo 25.360 -209,2 23.895,6
16. Deket 46.127,5 -503,9 42.600,2
17. Glagah 45.757,5 -646,5 41.232
18. Karangbinangun 42.814 -486,6 39.407,8
19. Turi 55.439,5 -448,3 52.301,4
20. Kalitengah 37.211,5 -356,5 34.716
21. Karanggeneng 47.869,5 -626,9 43.481,2
22. Sekaran 55.323 -1.244,8 46.609,4
23. Maduran 42.579,5 -1.050,1 35.228,8
24. Laren 55.251,5 -639,5 50.775
25. Solokuro 52.861,5 -1.155,1 44.775,8
26. Paciran 98.363,5 -469,3 95.078,4
27. Brondong 75.772,5 -396,5 72.997

Selain menentukan prediksi jumlah penduduk tiap kecamatan di


Kabupaten Lamongan pada tahun 2016, dapat pula ditentukan laju pertumbuhan
penduduk pada tahun tersebut dengan menggunakan metode geometrik.
Penentuan klasifikasi pertumbuhan penduduk pada suatu daerah juga diperlukan
dalam rangka penentuan tingkat laju pertumbuhan penduduknya atau dinamika
penduduk di daerah tersebut tergolong klasifikasi cepat, sedang, atau lambat.
Adapun rumus metode geometrik untuk penentuan laju pertumbuhan penduduk
yaitu:

Dalam mengklasifikasikan pertumbuhan penduduk suatu daerah yaitu


dengan cara:

Pertumbuhan penduduk termasuk cepat, apabila pertumbuhan 2% lebih dari


jumlah penduduk tiap tahun.
Pertumbuhan penduduk termasuk sedang, apabila pertumbuhan di antara 1% -
2%
Pertumbuhan penduduk termasuk lambat, apabila pertumbuhan antara 1%
atau kurang.
Perhitungan prediksi laju pertumbuhan penduduk serta klasifikasinya pada
tiap Kecamatan di Kabupaten Lamongan tahun 2016 selengkapnya disajikan
dalam Tabel 20.
Tabel 20. Tabel prediksi laju dan klasifikasi pertumbuhan penduduk tiap
kecamatan di Kabupaten Lamongan pada tahun 2016
No. Kecamatan P2015 P2016 r Klasifikas
i
1. Sukorame 20.401 19.869 -2,61 Lambat
2. Bluluk 21.393 20.741 -3,05 Lambat
3. Ngimbang 46.386 45.807 -1,25 Lambat
4. Sambeng 50.384 49.889 -0,98 Lambat
5. Mantup 43.898 42.965 -2,12 Lambat
6. Kembangbahu 47.101 45.905 -2,54 Lambat
7. Sugio 60.567 58.766 -2,97 Lambat
8. Kedungpring 60.167 58.358 -3,01 Lambat
9. Modo 48.990 47.723 -2,59 Lambat
10. Babat 88.958 87.376 -1,78 Lambat
11. Pucuk 49.529 47.962 -3,16 Lambat
12. Sukodadi 55.538 54.412 -2,03 Lambat
13. Lamongan 66.549 65.452 -1,65 Lambat
14. Tikung 42.840 42.400 -1,03 Lambat
15. Sarirejo 24.314 23.896 -1,72 Lambat
16. Deket 43.608 42.600 -2,31 Lambat
17. Glagah 42.525 41.232 -3,04 Lambat
18. Karangbinangun 40.381 39.408 -2,41 Lambat
19. Turi 53.198 52.301 -1,69 Lambat
20. Kalitengah 35.429 34.716 -2,01 Lambat
21. Karanggeneng 44.735 43.481 -2,80 Lambat
22. Sekaran 49.099 46.609 -5,07 Lambat
23. Maduran 37.329 35.229 -5,63 Lambat
24. Laren 52.054 50.775 -2,46 Lambat
25. Solokuro 47.086 44.776 -4,91 Lambat
26. Paciran 96.017 95.078 -0,98 Lambat
27. Brondong 73.790 72.997 -1,07 Lambat

3.4.2. Indikator Sosial-ekonomi


Berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga
berlaku menurut lapangan usaha di Kabupaten Lamongan (miliar rupiah) yang
disajikan pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan tahun 2016 dan
Produk Domestik Bruto Indonesia Triwulanan 2012-2016 (miliar rupiah) disajikan
dalam Tabel 21. Indikator Sosial-ekonomi ditujukan untuk keperluan menganalisis
Location Quotient (LQ) sehingga dapat mengetahui sektor yang menjadi unggulan
atau basis (B) suatu daerah maupun yang sektor yang bukan menjadi unggulan
atau non basis (NB) dari suatu daerah.
Adapun rumus dari perhitungan LQ yaitu sebagai berikut:

Tabel 21. Hasil analisis LQ untuk wilayah Kabupaten Lamongan tahun 2015
(miliar rupiah)

PDRB PDRB
No. Sektor ekonomi LQ Keterangan
daerah nasional
1. Pertanian, 11.520,12 1.560.399,3 2,86 B
Kehutanan, dan
Perikanan
2. Pertambangan dan 392,90 879.399,6 0,17 NB
Penggalian
3. Industri 2.088,37 2.405.408,9 0,34 NB
Pengolahan
4. Pengadaan Listrik 15,17 131.264,2 0,04 NB
dan Gas
5. Pengadaan Air, 29,17 8.606,0 1,31 B
Pengelolaan
Sampah
6. Konstruksi 3.028,16 1.193.346,1 0,98 NB
7. Perdagangan Besar 5.404,69 1.534.067,3 1,37 B
dan Eceran,
Reparasi
8. Transportasi dan 219,63 578.963,9 0,15 NB
Pergudangan
9. Penyediaan 405,14 341.790,2 0,46 NB
Akomodasi dan
Makan Minum
10. Informasi dan 1.795,79 406.887,6 1,71 B
Komunikasi
11. Jasa Keuangan dan 596,17 464.734,6 0,50 NB
Asuransi
12. Real Estate 588,95 329.796,9 0,69 NB
13. Jasa Perusahaan 75,41 190.267,9 0,15 NB
14. Administrasi 1.158,18 450.733,1 1,00 B
Pemerintah,
Pertahanan dan
Keamanan
15. Jasa Pendidikan 744,19 388.682,6 0,74 NB
16. Jasa Kesehatan 234,36 123.410,3 0,74 NB
dan Kegiatan
Sosial
17. Jasa Lainnya 534,92 190.579,5 1,09 B
PDRB TOTAL 28.831,32 11.178.338 1,00

Selain menetukan sektor unggulan (basis) atau bukan unggulan (non basis)
dari Kabupaten Lamongan pada tahun 2015, juga diperlukan analisis terhadap laju
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lamongan pada tahun tersebut yang disajikan
pada Tabel 22 dengan menggunakan rumus:

Tabel 22. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lamongan tahun 2014-


2015

No PDRB (juta rupiah)


Sektor Ekonomi 2014 2015 Laju (g)
.
1. Pertanian, Kehutanan, 10.322.062,9 11.520.119,94 11,61%
dan Perikanan 8
2. Pertambangan dan 329.943,46 392.901,55 19,08%
Penggalian
3. Industri Pengolahan 1.835.943,16 2.088.372,45 13,75%
4. Pengadaan Listrik dan 13.756,46 15.167,62 10,26%
Gas
5. Pengadaan Air, 26.543,99 29.172,80 9,90%
Pengelolaan Sampah
6. Konstruksi 2.742.799,85 3.028.159,56 10,40%
7. Perdagangan Besar dan 4.820.593,73 5.404.688,73 12,12%
Eceran, Reparasi
8. Transportasi dan 191.634,50 219.628,03 14,61%
Pergudangan
9. Penyediaan Akomodasi 337.183,96 405.135,82 20,15%
dan Makan Minum
10. Informasi dan 1.621.389,09 1.795.792,30 10,76%
Komunikasi
11. Jasa Keuangan dan 530.657,83 596.170,24 12,35%
Asuransi
12. Real Estate 501.326,67 588.951,38 17,48%
13. Jasa Perusahaan 67.349,31 75.411,98 11,97%
14. Administrasi 1.049.706,65 1.158.179,87 10,33%
Pemerintah, Pertahanan
dan Keamanan
15. Jasa Pendidikan 664.421,99 744.189,54 12,01%
16. Jasa Kesehatan dan 205.988,20 234.356,58 13,77%
Kegiatan Sosial
17. Jasa Lainnya 462.752,88 534.923,52 15,60%
PDRB TOTAL 25.724.054,7 28.831.321,9 12,08%
2 0

3.4.3. Indikator Ketenagakerjaan


Dalam menganalisis indikator ketenagakerjaan, salah satu nilai yang dicari
adalah persentase tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). Tingkat partisipasi
angkatan kerja berasal dari persentase jumlah penduduk berumur 15 tahun keatas
yang aktif bekerja dibagi dengan jumlah penduduk yang berumur 15 tahun ke
atas. Data mengenai jumlah angkatan kerja dan bukan angkatan kerja di
Kabupaten Lamongan pada tahun 2015 selengkapnya disajikan dalam Tabel 23.

Tabel 23. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis


Kegiatan Utama Selama Seminggu yang Lalu di Kabupaten Lamongan
tahun 2015
No Jenis Kegiatan Seminggu yang Lalu Jumlah
.
1. Penduduk berumur 15 tahun ke atas 922.451
2. Angkatan Kerja 633.048
Bekerja 607.096
Pengangguran Terbuka 25.952
3. Bukan Angkatan Kerja 289.403
Sekolah 66.272
Mengurus Rumah Tangga 179.559
Lainnya 43.572
4. Pekerja Tidak Penuh 230.725
5. Setengah Penganggur 42.112
6. Paruh Waktu 188.613

Adapun rumus yang digunakan untuk mencari persentase tingkat


partisipasi angkatan kerja (TPAK) yaitu:

( Bekerja+ Pengangguran Terbuka)


TPAK = Penduduk berusia 15 tahunke atas x 100%

633.048
= 922.451 x 100%

= 68,63%

Langkah selanjutnya adalah dengan mengidentifikasi penduduk usia kerja


yang dapat dilihat dari piramida penduduk Kabupaten Lamongan pada tahun
2015. Piramida penduduk mampu menggambarkan grafik komposisi penduduk di
Kabupaten Lamongan berdasarkan umur dan jenis kelamin. Data jumlah
penduduk laki-laki serta perempuan dan kelompok umur di Kabupaten Lamongan
tahun 2015 disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24. Jumlah Penduduk Laki-Laki serta Perempuan dan Kelompok


Umur di Kabupaten Lamongan Tahun 2015
No. Usia Laki-laki Perempuan Sub Total
1. 0-4 40.313 37.720 78.033
2. 5-9 48.162 44.777 92.939
3. 10-14 51.440 48.189 99.629
4. 15-19 56.533 52.765 109.298
5. 20-24 56.086 52.691 108.777
6. 25-29 49.241 46.536 95.777
7. 30-34 52.758 52.218 104.976
8. 35-39 50.719 51.055 101.774
9. 40-44 52.928 53.902 106.830
10. 45-49 48.516 49.689 98.205
11. 50-54 44.396 47.158 91.554
12. 55-59 40.089 41.478 81.567
13. 60 81.445 91.452 172.897
TOTAL 672.626 669.630 1.246.109

Berdasarkan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin di


Kabupaten Lamongan tahun 2015 yang disajikan pada tabel 8, maka selanjutnya
dapat digambarkan karakteristik penduduk Kabupaten Lamongan menggunakan
piramida penduduk. Adapun piramida penduduk Kabupaten Lamongan tahun
2015 disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Piramida Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis


Kelamin di Kabupaten Lamongan tahun 2015

Laki-laki Perempuan

Dalam indikator kependudukan diperlukan pula analisis terhadap angka


ketergantungan (dependency rate) suatu wilayah sehingga dapat digunakan untuk
menunjukkan keadaan ekonomi Kabupaten Lamongan apakah tergolong maju
atau berkembang. Data yang diperlukan adalah jumlah penduduk Kabupaten
Lamongan tahun 2015 yang berusia muda (0-14 tahun), berusia tua (65 tahun ke
atas), dan berusia produktif (15-64 tahun) yang disajikan pada Tabel 8. Adapun
rumus yang digunakan untuk menghitung angka ketergantungan (dependency
rate) yaitu sebagai berikut:
DR =
(78.033+92.939+99.629)+172.897
109.298+108.777+ 95.777+104.976+101.774+ 106.830+98.205+91.554 +81.567

270.601+172.897
= 898.758 x100%

443.498
= 898.758 x100%

= 49,35%
BAB 4. PEMBAHASAN

4.1 Indikator Keruangan

Hasil yang didapatkan dari tabel 3.1 adalah presentase lahan tertinggi terletak
pada tutupan lahan hutan tanaman industri (HTI) yaitu 49% terendah pada tubuh
air 1%. Dari tabel tutupan lahan ,hutan mangrove sekunder dan tubuh air
termasuk tutupan lahan alami selain dua itu termasuk tutupan lahan buatan. Dari
hasil tabel diatas juga didapatkan jumlah presentase tutupan lahan alami diperoleh
sebesar 4 % sedangkan tutupan lahan buatan 96 %.
Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu
lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan
serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga
dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha
pemeliharaan kelestariannya. Pengembangan daerah yang optimal dan
berkelanjutan membutuhkan suatu pengelolaan keruangan wilayah pesisir yang
matang. Berkaitan dengan hal tersebut, maks kajian tentang model pengelolaan
dan arahan pemanfaatan wilayah pesisir yang berbasis digital dengan
menggunakan SIG merupakan suatu hal yang sangat penting dan perlu dikaji lebih
lanjut (Fauzi et al., 2009).
Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa nilai tutupan lahan alami
diperoleh sebesar 4% dan untuk kriteria penilaian tutupan lahan alami pada daerah
Lamongan termasuk golongan tutupan alami rendah (0-25%) yaitu dengan nilai -1
(minus satu). Nilai tutupan lahan buatan lebih tinggi daripada tutupan lahan alami.
Jadi dominasi tutupan lahan buatan daripada tutupan lahan alami menunjukkan
aktivitas manusia yang intensif.
4.2 Kesesuaian Dengan Perundangan
Hasil yang di dapat pada data tabel 3.2 dapat disimpulkan bahwa wilayah
kabupaten lamongan batas wilayah propinsi 12 mil dari laut tidak sesui dengan
aspek dalam Undang-undang yang ada , sedangkan pada batas wilayah
perenanaan kabupaten 4mil dari laut sudah sesuai dengan Undang-undang yang
ada. Bagian pada kawasan pemanfaatan umum ada beberapa aspek yang sesuai
dengan undang-undang yaitu zona pariwisata, zona permukiman, zona pelabuhan,
zona zona pertanian, zona hutan, zona perikanan tangkap, zona perikanan
budidaya dan zona industri, sedangakan zona pemanfaatan uum yang tidak sesuai
dengan undang-undang yang ada adalah zona pertambangan,zona fasilitas umum
dan zona pemanfaatan air laut selain energi. Pada zona pemanfaatan lainya ada
beberapa zona yang sesuai dengan undang-undang yang ada yaitu kawasan
konservasi, kawasan konsevasi pesisir dan pulau-pulau kecil dan kawasan
konservasi perairan, sedangkan yang tidak sesuai dengan undang-undang yang
ada yaitu kawasan konsevasi maritim. Selanjutnya data sempa dan pantai kawasan
stategis nasional tertentu, semua aspek yaitu, pengellaan batas-batas maritim,
pertahanan dan keamanan negara, pengelolahan situs warisan dunia, dan
kesejahteraan masyarakat tidak sesuai dengan undang-undang yang ada. Pada
pelestarian air laut, aspek alur pelayaran telah sesuai dengan undang-undang yang
ada, sedangan aspek pipa kabel bawah laut dan migrasi biota laut tidak sesuai
dengan undang undang yang ada. Selanjutnya, hasil dari indikator penilaian
kesesuai dengan perundangan, diperoleh hasil sebesar 46% dan termasuk kedalam
kriteria kesesuaian perundang-undangan sedang (25-50%) dengan penilaian 0.
Menurut Susanto (2009) dalam Rahmawati et.al (2010), Wilayah
Kabupaten Malang yang mempunyai batas fisik langsung dengan garis pantai
merupakan lokasi yang berpotensi dapat diandalkan dalam perekonomian wilayah
dalam hal pengembangan budidaya ikan dan pendapatan dalam sektor perikanan
laut, dimana saat ini juga didukung oleh keberadaan Pelabuhan Perikanan
Nusantara Brondong yang mempunyai skala pelayanan regional. Selain potensi
perairan laut terdapat beberapa wilayah Kabupaten Lamongan yang mempunyai
potensi perairan tambak, dengan potensi andalannya berupa produksi bandeng dan
udang. Sektor perikanan tangkap yang ada di Kabupaten Lamongan memiliki
potensi sumber daya manusia yang bekerja sebagai nelayan sebanyak 15.099
jiwa,dengan didukung jumlah armada tangkap 5.487 unit perahu. Pembagian
luasan lahan area budidaya perikanan menurut jenis budidayanya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Diposaptono et al. (2014), berdasarkan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 34/PERMEN-KP/2014 tentang Perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menawarkan upaya
pengelolaan sumber daya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui
penetapan alokasi ruang ke dalam zona-zona. Salah satu zona tersebut adalah zona
perikanan tangkap yang terdiri atas sub zona pelagis dan demersal.
Dari literatur pembanding yang digunakan, disimpulkanbahwa
perencanaan kawasan yang terdapat pada wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau
kecil kabupaten Lamongan oleh pemerintah daerah, sesuai dengan peraturan
undang-undang No 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisisr dan
Pulau-Pulau Kecil pada pasal 16 ayat 3. Dimana hasil praktikum yang diperoleh
dari peta pola ruang RZWP3K Kabupaten Lamongan termasuk dalam tiga
kawasan kewenangan kabupaten/kota. Pada pengolahan data RZWP-3K
kabupaten lamongan diketahui dari 26 kriteria yang diamati, 12 diantaranya sesuai
dengan undang-undang yang berlaku sedangkan 14 sisanya belum sesuai dengan
undang-undang. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten lamongan
harus membenahi 14 kriteria RZWP-3K tersebut agar sesuai dengan undang-
undang yang ada.

4.3 Tabel Penilaian Indikator Pemanfaatan Ruang


Pada praktikum Pengolahan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu materi
Indikator pemanfaatan ruang didapatkan hasil persentase tertinggi pada kawasan
konservasi didapatkan hasil sebanyak 2% penyimpangan. Pada kawasan
pemukiman, kawasan perikanan bahari, kawasan wisata, kawasan pelabuhan,
kawasan pertanian dan kawasan lainnya terdapatkan hasil persentasi
penyimpangan sebanyak 0%. Jumlah yang didapatkan hasil 0,317%.
Lokasi pemanfaatan sumberdaya alam yang dijadikan sebagai indikator,
sebagai berikut:
1. Lokasi Hutan Mangrove Sekunder
2. Lokasi Hutan Tanaman Industri (HTI)
3. Lokasi Permukiman
4. Lokasi Pertanian Lahan Kering
5. Lokasi Pertanian Lahan Kering Bercampur dengan Semak
6. Lokasi Tambak
7. Lokasi Tubuh Air

Menurut Lumanuh (2014), Pengatura pemanfaatan ruang merupakan salah


satu kewenangan pemerintah, mulai tingkat pusat sampai tingkat daerah. Oleh
karena itu, dalam proses pengaturan dan pemanfaatan ruang kota harus
dilaksanakan secara bersama-sama, terpadu dan meneluruh dalam upaya
pencapaian tujuan pembangunan. Pola pemanfaatan ruang fisik perairan
berdasarkan pola pemanfaaan yang ada saat ini kemudian disandingkan dengan
baku mutu yang ada.

4.4. Indikator Kependudukan, Sosial-ekonomi, dan Ketenagakerjaan


4.4.1. Indikator Kependudukan
Berdasarkan hasil yang didapatkan dari analisis indikator kependudukan
dengan cara menghitung prediksi dari jumlah penduduk Kabupaten Lamongan
pada tahun 2016 menurut data jumlah penduduk Kabupaten Lamongan tahun
2010 dan 2015 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan
tahun 2016 dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Lamongan
antara tahun 2010, 2015, dan 2016 mengalami penurunan. Hal tersebut sesuai
dengan hasil perhitungan metode regresi linier jumlah penduduk Kabupaten
Lamongan pada tahun 2016 yang mengikuti tren pertumbuhan negatif. Nilai tren
negatif ini ditunjukkan dengan nilai koefisien slope (b) yang bernilai negatif
sesuai dengan perhitungan yang ditunjukkan pada Tabel 3. Tren negatif yang
ditunjukkan pada indikator kependudukan Kabupaten Lamongan menunjukkan
bahwa semakin lama jumlah penduduk akan semakin berkurang.
Laju atau tingkat pertumbuhan penduduk Kabupaten Lamongan pada
tahun 2016 digunakan untuk memprediksi jumlah penduduk pada tahun 2016
kemudian dapat dilakukan pendugaan pertumbuhan penduduk dari tahun dasar.
Pertumbuhan penduduk Kabupaten Lamongan dari tahun dasar hingga tahun 2016
ini disebut dinamika penduduk yang akan digunakan untuk evaluasi RZWP-3K.
Dapat diketahui berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 4 bahwa
nilai r yang menjadi indikator laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Lamongan
pada tiap kecamatan menunjukkan nilai negatif. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa klasifikasi pertumbuhan penduduk Kabupaten Lamongan termasuk
pertumbuhan penduduk yang lambat dikarenakan nilai r yang kecil (1%).
Berdasarkan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (2015),
laju pertumbuhan penduduk merupakan perubahan jumlah penduduk di suatu
wilayah tertentu di setiap tahunnya. Gunanya adalah untuk memprediksi jumlah
penduduk suatu wilayah di masa yang akan datang. Laju pertumbuhan penduduk
itu sendiri adalah angka yang menunjukkan tingkat pertambahan penduduk per
tahun dalam jangka waktu tertentu. Angka dinyatakan sebagai presentase dari
penduduk dasar. Dapat dihitung menggunakan tiga metode, yaitu aritmatik,
geometrik dan eksponensial
Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Lamongan yang dinyatakan
lambat kemungkinan besar dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jumlah
kematian tiap tahun yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah kelahiran yang
ada pada wilayah tersebut pada segala umur. Dengan mengetahui nilai jumlah
penduduk Kabupaten Lamongan yang tergolong rendah tiap tahunnya maka dapat
dianalisis untuk keperluan pembuatan dokumen RZWP-3K. Apabila dihubungkan
dengan indikator keruangan dan pemanfaatan ruang seharusnya porsi lahan yang
digunakan untuk pemukiman penduduk tiap tahun nilainya kecil atau tetap. Laju
pertumbuhan penduduk pada daerah Lamongan tergolong kriteria penilaian
pertumbuhan penduduk lambat dengan nilai sebesar -1. Laju pertumbuhan
penduduk juga dapat digunakan untuk memprediksi jumlah penduduk suatu
wilayah di masa yang akan datang. Untuk penghitungan laju pertumbuhan
penduduk dapat dihitung menggunakan tiga metode, yaitu aritmatik, geometrik
dan eksponensial.

4.4.2. Indikator Sosial-ekonomi


Berdasarkan hasil perhitungan Location Quotient (LQ) Kabupaten
Lamongan pada tahun 2015 seperti yang disajikan dalam Tabel 5 menunjukkan
bahwa Kabupaten Lamongan memiliki beberapa sektor unggulan atau basis yang
sangat menunjang perekonomian penduduk Kabupaten Lamongan pada tahun
2015. Sektor-sektor unggulan tersebut antara lain: (1) pertanian, kehutanan, dan
perikanan (2) pengadaan air, pengelolaan sampah (3) perdagangan besar dan
eceran, reparasi (4) informasi dan komunikasi (5) administrasi pemerintah,
pertahanan dan keamanan (6) dan jasa lainnya. Sektor-sektor unggulan tersebut
ditunjukkan dengan nilai LQ pada masing-masing sektor yang bernilai tinggi
(LQ>1). Sedangkan sektor-sektor lain digolongkan menjadi sektor non basis atau
bukan unggulan karena nilai LQ pada sektor-sektor tersebut rendah (LQ<1).
Selain menganalisis sektor unggulan dan bukan unggulan yang ada di
Kabupaten Lamongan pada tahun 2015, juga dianalisis laju pertumbuhan ekonomi
pada masing-masing sektor yang didasarkan pada nilai Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) yang ada di Kabupaten Lamongan antara tahun 2014 dan 2015.
Dari perhitungan laju pertumbuhan ekonomi yang disajikan pada tabel 6
menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi tertinggi Kabupaten Lamongan
pada tahun tersebut yaitu terletak pada sektor penyediaan akomodasi dan makan
minum yang bernilai 20,15%. Akan tetapi laju pertumbuhan ekonomi keseluruhan
sektor yang ada di Kabupaten Lamongan menunjukkan tren pertumbuhan yang
cukup tinggi sehingga dapat diasumsikan bahwa keseluruhan sektor mampu
menunjang perekonomian daerah Kabupaten Lamongan.
Melihat data PDRB (harga konstan), penyumbang PDRB terbesar dari
tahun 2007-2011 disumbang oleh sektor pertanian dengan nilai rata-rata 51 persen
dari total PDRB Kabupaten Lamongan. Sektor pertanian merupakan sektor yang
paling dominan dalam struktur perekonomian Kabupaten Lamongan dan sektor
pertanian merupakan sektor basis utama pada Kabupaten ini. Namun terjadi
penurunan kontribusi pertumbuhan dari tahun 2007 hingga 2011 sebesar 4,91
persen dan laju pertumbuhan mengalami perlambatan pada tahun 2011 yang
tadinya laju pertumbuhan sebesar 4,63 persen menjadi 2,36 persen. Berdasarkan
pernyataan Supartoyo et al . (2013), pertumbuhan ekonomi dapat digunakan untuk
mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian. Pengukuran akan
kemajuan suatu perekonomian membutuhkan alat ukur yang tepat, alat ukur
pertumbuhan ekonomi antara lain Produk Domestik Bruto (PDB) atau di tingkat
regional disebut dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu jumlah
barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam jangka waktu
satu tahun dan dinyatakan dalam harga pasar. Pertumbuhan ekonomi secara klasik
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pertumbuhan output total dan pertumbuhan
penduduk. Pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh produktivtas sektor-
sektor dalam menggunakan faktor-faktor produksinya. Produktivitas dapat
ditingkatkan melalui berbagai sarana pendidikan, pelatihan dan manajemen yang
lebih baik (Sukirno, 2008).
Dapat diketahui bahwa pada tahun 2007-2011 sektor basis utama
Kabupaten Lamongan terletak pada sektor pertanian. Hal tersebut tidak jauh
berbeda pada tahun 2015 dimana nilai LQ terbesar dari daerah ini juga terdapat
pada sektor pertanian, kehutana, dan perikanan dengan nilai yang cukup besar
yaitu 2,86. Akan tetapi laju pertumbuhan ekonomi pada sektor tersebut terbilang
lambat dibandingkan sektor lainnya. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan
oleh menurunnya volume produksi pada sektor pertanian, kehutanan, dan
perikanan akibat luas tutupan lahan untuk sawah, hutan, maupun tambak yang
cukup tinggi dibandingkan sektor lain akan tetapi pada tiap tahunnya tidak terjadi
peningkatan luas tutupan lahan bagi sektor tersebut demi menunjang pendapatan
ekonomi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan di Kabupaten Lamongan tiap
tahunnya. Kriteria pertumbuhan ekonomi pada daerah Lamongan tergolong dalam
kriteria LQr = 1 dengan nilai 0. Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah dapat
digunakan untuk mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian yang
ada di daerah tersebut.

4.4.3. Indikator Ketenagakerjaan


Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten
Lamongan tahun 2016 yang disajikan pada Tabel 7 bahwa jumlah angkatan kerja
yang ada di Kabupaten Lamongan yang merupakan penduduk usia 15 tahun ke
atas dan secara aktif melakukan kegiatan ekonomi berjumlah 633.048 orang yang
meliputi 607.096 orang bekerja dan sisanya merupakan pengangguran terbuka
berjumlah 25.952 orang. Sedangkan mereka yang berumur 15 tahun atau tidak
bekerja atau tidak mencari pekerjaan karena sekolah, mengurus rumahtangga, atau
secara fisik dan mental tidak memungkinakan untuk bekerja tidak dimasukkan
dalam angkatan kerja. Adapun keseluruhan jumlah penduduk yang berusia 15
tahun ke atas di Kabupaten Lamongan berjumlah 922.451 orang sehingga
didapatkan nilai persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja (TPAK)
Kabupaten Lamongan sebesar 68,63%. Angka tersebut mengindikasikan bahwa
penduduk usia kerja yang tergolong bukan angkatan kerja hampir seimbang
nilainya dengan penduduk usia kerja yang bekerja aktif karena nilai TPAK yang
tidak terbilang tinggi ataupun rendah.
Penduduk usia kerja di Kabupaten Lamongan dapat pula diidentifikasi dari
piramida penduduk yang disajikan pada Gambar 4. Berdasarkan komposisi
penduduk menurut umur dan jenis kelamin, karakteristik penduduk Kabupaten
Lamongan dapat digolongkan sebagai piramida penduduk yang bersifat stasioner
karena jumlah penduduk dalam tiap kelompok umur hampir sama kecuali pada
kelompok umur tertentu yaitu kelompok umur 60 tahun disebabkan data yang
terbatas. Selain menganalisis piramida penduduk, juga dianalisa terkait dengan
bonus demografi yang merupakan modal dalam pembangunan sektor sosial
ekonomi yang ada di Kabupaten Lamongan. Berdasarkan perhitungan
Dependency Rate Kabupaten Lamongan, nilai yang didapatkan yaitu sebesar
49,35%. Dari nilai tersebut diketahui bahwa beban yang ditanggung penduduk
produktif untuk membiayai penduduk yang belum produktif dan tidak produktif
lagi di Kabupaten Lamongan tergolong rendah.
Menurut Rahayu dan Dewi (2013), tingginya penduduk di usia 15 19
tahun menunjukkan bahwa banyaknya usia produktif pada tahun tersebut. Remaja
yang belum menikah masih rendah akan pengetahuan mengenai kesehatan
reproduksi sehingga ada dua aspek yang perlu diperhatikan yaitu validitas
informasi yang diperoleh dan kuatnya peranan orang tua maupun guru (Howden
and Mayer, 2011). Penduduk usia reproduksi dalam demografi secara biologis
mempunyai potensi untuk hamil dan melahirkan (Sopari, 2013), dapat
ditunjukkan dengan meningkatnya usia 20 24 tahun. Kondisi angka yang besar
dalam kelompok usia ini dapat menimbulkan ledakan bayi (Howden and Mayer,
2011). Umur tersebut merupakan golongan umur yang rentan apabila tidak
diberikan pengawasan secara ketat akan menimbulkan kriminalitas, kejahatan dan
lain-lain. Dalam suatu piramida, peningkatan di usia 35 39 tahun menunjukkan
banyaknya usia dewasa yang paling produktif dari segi ekonomi. Peningkatan ini
dikenal dengan bonus demografi dimana akan adanya kemungkinan untuk
meningkatnya kadar perkembangan ekonomi dan taraf hidup daerah tersebut
(Mahadi, 2013).
Dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan angka Dependency Rate
Kabupaten Lamongan pada tahun 2008 dan tahun 2015. Terdapat peningkatan
nilai angka ketergantungan dari 37,1% pada tahun 2008 menjadi 49,35% pada
tahun 2015. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada tahun 2015 beban yang
ditanggung penduduk produktif untuk membiayai penduduk yang belum produktif
dan sudah tidak produktif lagi lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2008.
Keadaan tersebut harus segera ditangani oleh pemerintah daerah Kabupaten
Lamongan dengan upaya pembukaan lapangan kerja yang lebih luas sehingga
angka angkatan kerja tiap tahunnya dapat bertambah sehingga dapat
meningkatkan keadaan ekonomi Kabupaten Lamongan menjadi maju. Kriteria
ketenagakerjaan pada daerah Lamongan termasuk dalam kriteria ketergantungan
tinggi dengan nilai -1.
BAB 5. KESIMPULAN

Pada praktikum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu,


didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

Pada penilaian Indikator Keruangan, didapatkan nlai tertinggi sebesar


49% pada Hutan Tanaman Industri (HTI) dan terendah sebesar 1%
terdapat pada Hutan Mangrove Sekunder.
Pada Penilaian Indikator Kesesuaian dengan Perundang undangan,
hasil yang di peroleh dari Peta pola ruang RZWP3K terdapat beberapa
kawasan seperti : zona pariwisata, zona pemukiman, zona pelabuhan,
zona pertanian, zona hutan, zona perikanan tangkap, zona perikanan
budidaya, zona industri, kawasan konservasi, dan alur pelayaran
Pada Penilaian Indikator Pemanfaatan Ruang, didapatkan hasil nilai
luas penyimpangan yang beragam dari peta rencana zonasi. Nilai yang
tertinggi terdapat pada sub indikator industri dengan luas
penyimpangan 3517.39 ha dengan prosentase sebesar 54,9 %,
Sedangkan nilai terendah terdapat pada sub indikator tambak dan hasil
terendah 0.000000000000092% pada sub indikator wisata bahari.
Maka dari itu, total penyimpangan adalah sebesar 34.17 %.
Pada Penilaian Indikator Kependudukan, didapatkan hasil bahwa
jumlah penduduk Kabupaten Lamongan antara tahun 2010, 2015, dan
2016 mengalami penurunan, sedangkan Sosial Ekonomi didapatkan
hasil yang bahwa Kabupaten Lamongan memiliki beberapa sektor
unggulan atau basis yang sangat menunjang perekonomian penduduk
Kabupaten Lamongan pada tahun 2015, dan Ketenagakerjaan di
dapatkan hasil bahwa penduduk usia 15 tahun ke atas dapat melakukan
kegiatan ekonomi berjumlah 633.048 orang yang meliputi 607.096
orang bekerja dan sisanya merupakan pengangguran terbuka berjumlah
25.952 orang.
Pada tahap akhir analisis adalah menggabungkan hasil-hasil analisis
tutupan lahan, pola ruang, dinamika penduduk, pertumbuhan ekonomi
dan ketenagakerjaan digabungkan untuk mendapatkan suatu
kesimpulan bahwa dokumen perencanaan (RZWP-3K atau RTRW)
tersebut relevan atau tidak. Untuk mengetahuinya, maka disimpulkan
nilai dari semua indikator dimasukkan pada rumus :

Relevansi (R) =
A+B+C+D+E+F
Didapatkan hasil :

A. Tutupan lahan : -1
B. Kesesuaian dengan perundangan :1
C. Pemanfaatan ruang :0
D. Pertumbuhan penduduk : -1
E. Pertumbuhan ekonomi :0
F. Ketenaga kerjaan : -1

Relevansi (R) = (-1) +( 0) +( 0) +( -1) +( 0) +( -1)


Relevansi = -3

Dimana:
Dokumen relevan bila R = 4 6
Dokumen tidak relevan bila R <= 3
Simpangan kecil jika nilai B + C = 2
Simpangan besar jika nilai B + C <= 2
Faktor eksternal tetap jika nilai E = 0
Faktor eksternal berubah jika nilai E = -1 atau E = 1

Berikut ini pembagian detil terkait relevan atau tidaknya dokumen


yang sedang dikaji:
a. Dokumen relevan, simpangan kecil, faktor eksternal tetap
b. Dokumen relevan, simpangan kecil, faktor eksternal berubah
c. Dokumen relevan, simpangan besar, faktor eksternal berubah
d. Dokumen relevan, simpangan besar, faktor eksternal tetap
e. Dokumen tidak relevan, simpangan kecil, faktor eksternal berubah
f. Dokumen tidak relevan, simpangan kecil, faktor eksternal tetap
g. Dokumen tidak relevan, simpangan besar, faktor eksternal berubah
h. Dokumen tidak relevan, simpangan besar, faktor eksternal tetap

Sehingga dapat disimpulkan hasil yang didapatkan, yaitu dokumen


tidak relevan, simpangan besar, dan faktor eksternal tetap.
BAB 6. SARAN

Saran yang didapatkan pada praktikum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan


Laut Terpadu, adalah:

Sebaiknya data yang didapatkan untuk kepentingan praktikum adalah


beragam (tidak hanya Kabupaten Lamongan), karena dengan adanya
keberagaman data praktikum ini, mahasiswa dapat menganalisis lebih
jauh dan lebih kompleks terhadap penataan dan pengelolaan wilayah
pesisir dan laut.
Dalam praktikum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan laut Terpadu,
cakupan materi praktikum sudah jelas, sehingga untuk kedepannya,
mahasiswa mampu dalam analisis yang dilakukan untuk kepentingan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu.
Pada praktikum ini, untuk penggunaan aplikasi sudah sangat bagus,
karena aplikasi yang digunakan, yaitu QGIS untuk analisis spasial dan
Micrososft Excel untuk analisis statistika dapat diterima di perangkat
(Laptop) setiap mahasiswa, sehingga mahasiswa dapat mengikuti
materi yang diberikan.
Dalam hal kebutuhan sarana dan prasarana, diharapkan Pemerintah
Kabupaten Lamongan untuk lebih diperhatikan lagi, terutama dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu agar konsep
pengelolaan dan penataan pesisir kedepannya dapat terintegrasi dan
terpadu.
DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. 2012. Kajian tentang integrasi 'gis participatory-decision support' dalam


manajemen tata ruang suatu wilayah. Jurnal Informatika
Mulawarman. Vol 7 (1). Universitas Mulawarman. Samarinda.
Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. 2015. Kajian
Kependudukan
Diposaptono,s., Ramses dan N. Hendriart. 2014. Data, Informasi, Kriteria,
Pertimbangan, Penentuan Dan Delienasi Alokasi Ruang Untuk
Zona Perikanan Tangkap Pelagis. Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT). 2-9.
Fauzi, Y., B. Susilo dan Z. M. Mayasari. 2009. Analisis kesesuaian lahan wilayah
pesisir kota Bengkulu melalui perancangan model spasial dan
system informasi geografis (sig). Forum Geografi. 23(2): 101-111.
http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/YRDK/article/download/574/573 (03
Januari 2017, 09:30:05).
http://bk.menlh.go.id/files/UU_no_27_th_2007.pdf (03 Januari 2017, 10:08:33).
Howden, M. Lindsay., and Julie A. Meyer. (2011). Age and Sex Composition
2010: 2010 Census Briefs. Bureau: United States Departement of
Commerece
Mahadi, Syed Abdul Razak Sayed. 2013. Perubahan Struktur umur penduduk :
impak dan cabaran kepada pembangunan Negara. Malaysia:
Fakultas Sastra dan Sains Sosial
Rahayu, S. U dan S. Dewi. 2013. Hubungan antara perubahan komposisi
penduduk dan pembangunan daerah di Provinsi Bali. Jejak. 6 (2) :
138 151.
Rahmawati, Wenny. Suryono, Agus dan Siswidiyanto. 2010. Pengembangan
Pelabuhan Perikanan dalam Rencana Penyerapan Tenaga Kerja
Masyarakat Pesisir (Studi pada Kantor Pelabuhan Perikanan
Nusantara Brondong Kabupaten Lamongan). Jurnal Administrasi
Publik (JAP). Vol. 2(2): 363-373.
Sopari, Asep. 2013. Gender dan Kependudukan serta implikasinya dalam
pembangunan di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Sukirno, Sadono. 2008. Teori Pengantar Makro Ekonomi. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada
Supartoyo, Y.H., J. Tatuh dan R. H. E. Sendouw. 2013. The economic growth and
the regional characteristics : the case of Indonesia. Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan
Tisnaadmidjaja, D.A. 1997. Pranata Pembangunan. Universitas Parahiayang.
Bandung. Hal 6.

Anda mungkin juga menyukai