Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SISTEM PENGHANTARAN OBAT MELALUI


TRANSDERMAL

Kelompok 4

Disusun oleh:

Amaliyah Dina A (V100160041)

Rahayu Apriyanti (K11016R009)

PASCASARJANA FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2016

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2
I. Pendahuluan......................................................................................................3
A. Latar Belakang..............................................................................................3
B. Rumusan Masalah.........................................................................................4
C. Tujuan Pembuatan Makalah..........................................................................4
II. Pembahasan......................................................................................................5
A. Anatomi dan Fisiologi Kulit.........................................................................5
B. Proses Absorpsi Obat Melalui Kulit............................................................10
C. Faktor Fisiologi yang Mempengaruhi Absorpsi Melalui Kulit...................13
D. Faktor Fisikokimia yang Mempengaruhi Absorpsi Melalui Kulit..............18
III. Penutup........................................................................................................21
A. Kesimpulan.................................................................................................21
B. Saran............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................22

2
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Ketidakstabilan beberapa obat dalam saluran cerna atau akibat adanya
pengaruh enzim pencernaan yang mengganggu peruraian obat membuat
sebagian diantaranya tidak dapat dibuat dalam sediaan peroral. Salah satu
jenis sediaan yang dapat dimungkinkan dalam mengatasi permasalahan
tersebut yakni pembuatan obat dalam bentuk sediaan transdermal. Proses
penghantaran transdermal dimana obat digabung dengan suatu sistem
terapetik transdermal atau pets, tetapi obat dapat digabung dalam suatu
salap. Penggunaan transdermal biasanya untuk absorpsi obat sistemik
(Shargel, Wu-pong, & Yu B.C, 2005).
Penghantaran obat secara transdermal memberikan keuntungan yaitu
pelepasan kontinyu obat pada selang wakrtu tertentu, klirens presistemik
yang rendah dan kepatuhan pasien baik. Selain itu dengan pemberian
secara transdermal akan menghindari masalah terkait dengan absorpsi di
saluran cerna, mencegah efek lintas pertama (meminimalkan dosis obat
yang masuk), dapat menghantarkan obat dengan indeks terapi sempit.
Sistem pelepasan transdermal mudah digunakan untuk obat yang larut
lemak dengan dosis dan BM (bobot molekul) rendah (Agoes, 2008;
Shargel et al., 2005).
Penghantaran obat secara transdermal memiliki berbagai pemasalah
mulai dari keterbatasan permeabilitas obat pada kulit, kemungkinan
menimbulkan reaksi iritasi atau hipersensitifitas dan variasi permeabilitas
kulit. Dengan berbagai permasalah tersebut perlu diperhatikan beberapa
aspek mulai dari anatomi fisiologi kulit sampai pengaruh dari sifat
fisikokimia obat agar dapat terabsorpsi secara baik pada kulit. Sehingga,
dalam makalah ini akan dibahas topik yang terkait dengan sistem
penghantaran obat melalui rute pemberian secara transdermal.

3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari kulit?
2. Bagaimana proses absorpsi obat melalui kulit?
3. Apa saja faktor fisiologi yang mempengaruhi absorpsi melalui kulit?
4. Apa saja faktor fisikokimia yang mempengaruhi absorpsi melalui
kulit?

C. Tujuan Pembuatan Makalah


1. Mendapatkan informasi terkait bentuk anatomi dan fisiologi dari kulit.
2. Mendapatkan informasi tentang proses absorpsi obat melalui kulit.
3. Mengetahui faktor fisiologi yang mempengaruhi absorpsi melalui
kulit.
4. Mengetahui faktor fisikokimia yang mempengaruhi absorpsi melalui
kulit.

4
II. Pembahasan
A. Anatomi dan Fisiologi Kulit
1. Anatomi kulit
Kulit merupakan organ tubuh yang penting dan
merupakan permukaan luar organisme yang membatasi
lingkungan dalam tubuh dengan lingkungan luar. Kulit
tumbuh dari dua macam jaringan yaitu jaringan epitel
yang menumbuhkan lapisan epidermis dan jaringan
pengikat (penunjang) yang menumbuhkan lapisan
dermis (kulit dalam) (Ernest, 1999; Syaifuddin, 2011).
a. Lapisan Kulit
Lapisan kulit dibedakan menjadi dua lapisan utama
yaitu kulit ari (epidermis) dan kulit jangat (dermis / kutis).
Kedua lapisan ini berhubungan dengan lapisan yang ada
dibawahnya dengan perantara jaringan ikat bawah kulit
(hipodermis/subkutis). Dermis atau kulit mempunyai alat
tambahan atau pelengkap kulit (Syaifuddin, 2011).
Epidermis
Kulit ari atau epidermis adalah lapisan paling luar
yang terdiri dari lapisan epitel gepeng, unsur utamanya
adalah sel-sel tanduk (keratinosit) dan sel melanosit.
Lapisan epidermis tumbuh terus karena lapisan sel induk
yang berada bermitosis terus, lapisan paling luar
epidermis akan terkelupas atau gugur. Epidermis
tersusun oleh sel-sel epidermis terutama serat-serat
kolagen dan sedikit serat kolagen dan serat elastik. Kulit
ari (epidermis) terdiri dari beberapa lapis sel yaitu :
o Stratum korneum; Terdiri dari banyak lapisan sel
tanduk (keratinasi), gepeng, kering dan tidak berinti.
Sitoplasma diisi dengan serat keratin, makin keluar
letak sel, makin gepeng seperti sisik lalu terkelupas
dari tubuh, yang terkelupas diganti oleh sel lai. Zat
tanduk merupakan keratin lunak yang susunan

5
kimianya berada dalsm sel-sel keratin. Lapisan tanduk
hampir tidak mengandung air karena adanya
penguapan air, elastisnya kecil dan sangat efektif
untuk pencegahan penguapan air dari lapisan yang
lebih dalam.

Gambar 1. Penampang Skematik Stratum Korneum


o Stratum lusidum ; terdiri dari beberapa lapis sel yang
sangat gepeng dan bening. Sulit melihat membran
yang membatasi sel-sel itu sehingga lapisannya
secara keseluruhan tampak seperti kesatuan yang
bening. Lapisn ini ditemukan pada daerah tubuh yang
berkulit tebal.
o Stratum granulosum; terdiri dari 2-3 lapis sel poligonal
yang agak gepeng, inti ditengah, dan sitoplasma berisi
butiran granula keratohialin atau gabungan keratin
dengan hialin. Lapisan ini menghalangi masuknya
benda asing, kuman, dan bahan kimia kedalam tubuh.
o Stratum germinativum yang dapat dibagi lagi menjadi
stratum spinosum (lapisan berduri) dan stratum
malfighi. Batas germinatifum dengan dermis
dibawahnya berupa lapisan tipis jaringan pengikat
yang disebut lamina basalis. Pada stratum malfighi
diantara sel epidermis terdapat melanosit yaitu sel
yang berisi pigmen melanin yang berwarna coklat dan
sedikit kuning.
Dermis
Batas dermis (kulit jangat) sukar ditentukan karena
menyatu dengan lapisan subkutis (hipodermis).
Ketebalannya antara 0.5-3 mm. Dermis bersifat elastis
yang berguna untuk melindungi bagian yang lebih

6
dalam. Dermis terdiri dari jaringan kolagen 75%, elastin
4%, retikulin 0.4% dan serat elastin yang membalut
matrik polisakarida yang mengandung pembuluh darah,
limfatik, dan ujung syaraf. Dermis merupakan
penghalang yang signifikan untuk permeasi obat menuju
bagian dalm karena sifat vaskularnya. Pada perbatasan
epidermis dan dermis terdapat tonjolantonjolan kulit
kedalam kulit ari (epidermis) yang disebut papil kulit
jangat.

Lapisan dermis terdiri dari :


a. Lapisan papilla: mengandung lekuk-lekuk papilla
sehingga stratum Malfighi juga ikut berlekuk. Lapisan
ini memegang peranan penting dalam peremajaan dan
dan penggandaan unsur -unsur kulit
b. Lapisan retikulosa: mengandung jaringan pengikat
rapat dan serat kolagen. Lapisan ini terdiri dari
anyaman jaringan ikat yang lebih tebal. Dalam lapisan
ini ditemukan sel-sel fibrosa, sel histiosit, pembuluh
darah, pembuluh getah bening, saraf, kandung rambut
kelenjar sebasea, kelenjar keringat, sel lemak dan otot
penegak rambut.

Hipodermis
Lapisan bawah kulit terdiri dari jaringan pengikat
longgar. Komponennya serat longgar, elastis, dan sel
lemak. Pada lapisan adiposa terdapat susunan lapisan
subkutan yang menentukan motilitas diatasnya. Bila
terdapat lobules lemak yang merata di hipodermis
membentuk bantalan lemak yang disebut panikulus
adiposus. Pada daerah perut lapisan ini mencapai
ketebalan 3 cm. Dalam lapisan hypodermis terdapat
anyaman pembuluh darah arteri, pembuluh darah vena
dan anyaman syaraf yang berjalan sejajar dengan
permkaan dibawah dermis. Jaringan lemak (panikulus

7
adiposus ) ini berfungsi memberi perlindungan terhadap
dingin dan disamping itu dapat bermanfaat sebagai
cadangan energi (Ernest, 1999; Syaifuddin, 2011)

Gambar 2. Penampang Struktur Kulit


2. Fisiologi kulit
Jaras reseptor kulit berada didalam kulit. Jaras
viskeral berhubungan dengan persepsi keadaan intern.
Pada organ sensorik kulit terdapat empat jaras yaitu rasa
raba atau tekan, dingin, panas, dan rasa sakit. Kulit
mengandung berbagai ujung sensorik termasuk ujung
saraf telanjang atau tidak bermielin (selaput).
Kulit mempunyai banyak fungsi yang berguna
dalam menjaga homeostasis tubuh. Fungsi- fungsi
tersebut antara lain (Syaifuddin, 2011):
a. Fungsi termoregulasi
Panas tubuh dihasilkan dari aktivitas metabolik dan
pergerakan otot. Panas seperti ini harus dikeluarkan
atau suhu tubuh akan naik diatas batas normal. Pada
lingkungan suhu dingin paas harus dipertahankan atau
suhu tubuh akan turun dibawah batas normal.
Pengeluaran panas melalui kulit berlangsung
melalui proses evaporasi air (perubahan molekul air)
8
yang disekresi oleh kelenjar keringat dan juga melalui
proses perspirasi (sekresi keringat), difusi molekul air
melalui kulit. Dalam pengaturan suhu tubuh kulit
berperan mengeluarkan keringat dan kontraksi otot
dengan pembuluh darah kulit. Kulit kaya akan
pembuluh darah sehingga memungkinkan kulit
mendapat nutrisi yang cukup baik.
b. Fungsi proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap
gangguan fisis (misalnya gesekan, tarikan, gangguan
kimiawi) yang dapat menimbulkan iritasi ; gangguan
panas (misalnya radiasi, sinar ultraviolet dan infeksi
dari luar [bakteri dan jamur] ). Bantalan lemak
dibawah kulit berperan sebagai pelindung terhadap
gangguan fisis. Melanosit melindungi kulit dari sinar
matahari.
c. Fungsi absorpsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air dan
larut tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah
diserap. Begitu juga yang larut dalam lemak.
Permeabilitas kulit terhadap oksigen,
karbondioksidadan uap air memungkinkan kulit ikut
mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan
absorpsi kulit memengaruhi tebal atau tipisnya kulit,
hidrasi, kelembapan, dan metabolism. Penyerapan
terjadi melalui celah antar sel, menembus sel
epidermis dan saluran kelenjar.
d. Fungsi ekskresi
Kelenjar kulit mengeluarkan zat yang tidak berguna
(zat sisa metabolisme) dalam tubuh berupa Na Cl,
urea, asam urat dan ammonia. Lapisan sebum
berguna untuk melindungi kulit karena lapisan
sebelum mengandung minyak untuk melindungi kulit,
menahan air yang berlebihan sehingga kulit tidak

9
menjadi kering. Produksi kelenjar lemak dan keringat
menyebabkan keasaman pada kulit.
e. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung- ujung saraf sensorik di
dermis dan subkutis untuk merangsang panas yang
diterima oleh dermis dan subkutis. Sedangkan untuk
rangsangan dingin terjadi di dermis, sedangkan
tekanan dirasakan oleh epidermis serabut saraf
sensorik yang lebih banyak jumlahnya di daerah
erotik.

f. Fungsi pembentukan pigmen


Melanosirt membentuk warna kulit. Enzim
melanosum dibentuk alat golgi dengan bantuan
tiroksinasi yang meningkatkan metabolism sel, ion Cu,
dan oksigen.
g. Fungsi keratinasi
Sel basal akan berpindah ke atas dan berubah
bentuk menjadi sel spinosum. Makin ke atas sel ini
semakin gepeng dan bergranula menjadi sel
granulosum. Selanjutnya inti sel menghilang dan
keratinosit menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini
berlangsung terus menerus seumur hidup.
h. Fungsi pembentukan vitamin D
Pembentukan vitamin D berlangsung dengan
mengubah dihidroksi kolesterol dengan pertolongan
sinar matahari. Kebutuhan vitamin D tidak cukup
hanya dari proses tersebut, pemberian vitamin D
sistemik masih tetap diperlukan.

B. Proses Absorpsi Obat Melalui Kulit


Absorpsi perkutan melibatkan difusi pasif dari zat
melalui kulit. Molekul dapat menggunakan dua rute difusi
untuk menembus kulit normal, rute appendageal
(transapendageal) dan rute epidermal (Kumar, Agarwal,
Rana, Sharma, & Bhat, 2011).

10
Gambar 3.Rute Permeasi Obat
1. Rute Appendageal
Rute appendageal melalui kelenjar keringat dan
folikel rambut dengan kelenjar keringat. Rute ini
dianggap kurang penting karena area yang relatif kecil,
sekitar 0,1% dari luas kulit keseluruhan. Namun pada
rute ini dapat bermanfaat bagi obat dengan molekul
besarang bersifat polar atau elektrolit dengn konstanta
difusi kecil atau rendah (Agoes, 2008; Kumar et al.,
2011).

2. Rute Epidermal
Rute permeasi obat secara epidermal terbagi
menjadi dua rute yaitu rute transelular dan rute
intraselular

11
Gambar 4. Rute Epidermal
- Rute Transeluler
Pada jalur transelular pengangkutan molekul melewati
membran sel epitel. Rute ini termasuk dari transpor
pasif untuk molekul yang berukuran kecil, transpor aktif
untuk senyawa ionik dan polar, serta endositosis dan
transitosis makromolekul.
- Rute Interseluler
Pada jalur intersaluler pengangkutan molekul dilakukan
dengan melewati ruang sempit di sekitar atau antara
sel-sel.
Terdapat tiga variabel yang mempengaruhi kecepatan
permeasi obat melewati kulit yaitu konsentrasi obat dalam
pembawa, koefisien partisi obat, dan difusifitas obat dalam
stratum korneum. Partisi obat yang bersifat hidrofilik masuk
ke dalam jalur rute intranseluler, sedangkan obat dengan
sifat lipofilik akan melewati stratum korneum melalui rute
interselluler. Kebanyakan obat menembus stratum korneum
melalui kedua rute. Namun, jalur intersellular yang
memiliki karaketristik berliku-liku secara umum dianggap
dapat memberikan rute dan penghalang utama untuk
perembesan sebagian besar obat (Allen, Popovich, & Ansel,
2014).

12
Gambar 5. Urutan Permeasi Obat secara Transdermal

Proses perjalanan obat dari sediaan transdermal menuju sirkulasi


sistemik dimulai dari disolusi obat, tahapan difusi dan partisi,
pembentukan depot obat, metabolisme dan pengambilan melalui kapiler
dan vasklator (gambar 6) . Namun, absorpsi perkutan suatu obat secara
umum dihasilkan dari penetrasi obat langsung melalui stratum korneum.
Setelah melalui stratum korneum, molekul obat dapat melintasi jaringan
epidermal yang lebih dalam melalui difusi pasif dan memasuki dermis.
Jika obat mecapai pembuluh darah pada lapisan dermal obat dapat masuk
kedalam sirkulasi sistemik (Agoes, 2008; Allen et al., 2014)

Gambar 6. Urutan proses absorpsi obat secara sistemik dari sediaan


transdermal
1. Disolusi 2,4,6. Difusi 3,5. Partisi 7. Depot jaringan, 8. Metabolisme
dan 9,10. Sistem Kapiler

13
C. Faktor Fisiologi yang Mempengaruhi Absorpsi Melalui Kulit
Kulit merupakan pelindung utama antara tubuh dan lingkungan
dimana manusia itu tinggal. Kulit mempunyai fungsi utama dalam
mengatur senyawa yang keluar atau masuk ke dalam tubuh. Berbeda
dengan jaringan sel dalam tubuh seperti sel epitel di saluran pencernaan
dan sel yang berada pada paru-paru, jaringan sel pada kulit di desain untuk
membiarkan hanya sedikit partikel asing masuk dan mencegah hilangnya
air atau konstituen yang keluar dari tubuh (Barrier et al., 2012).
Selain sifat-sifat yang telah disebutkan di atas, kondisi fisiologis
pada kulit manusia juga dapat mempengaruhi proses absorpsi obat
melewati kulit, antara lain terbagi berdasarkan faktor-faktor brikut ini
(Agoes, 2008; Kesarwani et al., 2013):
Kondisi kulit
Pengaruh sifat asam dan basa pada pelarut yang
digunakan seperti kloroform, metanol akan merusak
sel-sel kulit sehingga dapat meningkatkan penetrasi.
Penyakit yang diderita umumnya dapat mengubah
kondisi kulit, kondisi ini juga mempengaruhi penetrasi
obat melewati kulit.
Usia kulit
Kulit yang mempunyai usia muda lebih permeabel
dibandingkan kulit dengan usia yang lebih tua. Kulit
Anak- anak lebih sensitif pada penyerapan racun.
Dengan demikian, usia kulit adalah salah satu faktor
yang mempengaruhi penetrasi obat.
Aliran darah
Perubahan sirkulasi periferal dapat mempengaruhi
absorpsi transdermal.
Perbedaan spesies
Ketebalan kulit, kepadatan dan keratinisasi kulit
bervariasi dari spesies satu dengan spesies yang lain
sehingga mempengaruhi penetrasi obat melewati kulit.
Lokasi aplikasi
Tempat pengaplikasian sediaan transdermal pada kulit perlu
memperhatikan permeabilitas tiap bagian permukaan kulit. Hal ini
14
dikrenakan stratum korneum yang terdapat pada permukaan kulit
bervariasi antara lain adanya perbedaan ketebalan, jumlah lapisan sel,
tuumpukan atau lapisan sel, jumlah lipid pada permukaan dan jumlah
relative berbagai lipid intraselular. Beberapa faktor tersebut perlu
dipertimbangkan saat akan melakukan pengembangan produk ditinjau
dari aspek fisiologis, kosmetik atau alasan lain yang mengharuskan
pembatasan penggunaan pada lokasi yang relatif permeabel.
Metabolisme kutanous
Satu-satunya mekanisme transportasi melalui kulit yaitu dengan
difusi pasif. Bagian kulit yang mengalami metabolisme paling aktiif
yaitu pada epidermis. Proses metabolisme pada kulit yang mengalami
metabolisme meliputi reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis dan
konyugasi. Keberadaan enzim bakteri pada permukan kulit merupakan
salah satu alur inaktivasi obat yang diberikan secara topikal. Kulit
akan memetabolisme steroid, hormon, karsinogen kimia
dan beberapa obat. Jadi metabolisme kulit menentukan
efektifitas obat meresap melalui kulit.
Hidrasi kulit
Sediaan transdermal memiliki bagian penutup belakang pets
yang dapat menyebabkan peningkatan hidrasi pada kulit dan
penumpukan cairan antaran sediaan transdermal dan kulit karena
terjadinya sifat oklusif. Adanya penumpukan cairan ini akan
meningkatkan pertumbuhan mikroba sehingga terjadi peningkatan
biotransformasi obat pada permukaan kulit. Hidrasi pada stratum
korneum dapat meningkat, memperlambat atau bahkan sama sekali
tidak mempengaruhi efek permeasi. Namun pada obat-obat tertentu
(asam salisilat, kortikosteroid, kafein dan ibu profen) dengan
peningkatan hidrasi kecepatan permeasi obat juga mengalami
peningkatan.
Pemilihan obat
Obat yang dibuat dalam bentuk sediaan transdermal harus
mempunyai kelarutan dengan air lebih besar dari 1 mg/ml, dengan
minyak lebih besar dari 1 mg/ml, bobot molekulnya kurang dari 1000,
dan dosisnya kurang dari 10 mg/ml. Kriteria pemilihan obat lainnya
antara lain :

15
1. Waktu Paruh
Salah satu pertimbangan pemilihan obat secara transdermal
didasarkan pada obat yang mencapai kesetimbangan secara tepat
dalam dosis rendah.
2. Toksisitas obat pada kulit
Obat yang diberikan secara transdermal memiliki waktu kontak
yang cukup lama dengan kulit. Oleh karena itu, sangat mungkin
apabila terjadi iritasi atau reaki imunitas. Selain dari krakteristik
fisikokimia dari bahan aktif obat, bahan eksipien (tambahan)
dapat menyebabkan kulitt terkelupas dan menimbulkan iritasi
Dewasa ini hanya beberapa obat daja yang dapat dihantarkan secara
transdermal, hal ini dikarenakan permebilitas obat tidak cukup baik
melewati kulit, toleransi obat tidak cukup oleh kulit, dan kebutuhan
penggunaan klinik. Kriteria penting dalam proses seleksi obat tersebut
akan dijelaskan sebagai berikut:
3. Permeabilitas kulit yang cukup
Obat dengan bobot molekul rendah
Obat dengan suhu lebur rendah
Obat dengan kelarutan moderat dalam minyak dan air
Obat poten
4. Penerimaan kulit yang cukup baik
Obat tidak mengiritasi
Obat tidak menimbulkan sensitisasi
Obat tidak dimetabolisme di kulit
5. Kebutuhan klinik yang cukup
Kebutuhan untuk memperlama pemberian
Kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan pasien
Kebutuhan untuk mengurangi efek samping pada jaringan
bukan sasaran.
Peningkat permeasi
Impermeabilitas kulit mendorong pengembangan sejumlah
strategi untuk meningkatkan permeasi melalui dua pendekatan antara
lain sebagai berikut:
1. Pendekatan dengan bahan kimia
Pendekatan kimia terbagi menjadi tiga cara antara lain :
a. Cara yang menyebabkan bahan aktif berada dalam keadaan
aktivitas termodinamika tinggi. Proses ini terjadi kehilangan
pelarut karena evaporasi atau difusi kedalam kulit. Selain itu
matrik polimer dalpat mengambil air dari kulit yang dapat
mengganggu sifat kelarutan polimer.

16
b. Penggunaan pelarut yang berpermeasi ke dalam kulit dan
berperilaku sebagai pembawa bahan aktif. Misal, beberapa
pets tipe reservoir pelaru didalamnya dapat berkodifusi
dengan bahan aktif sehingga akan memfasilitasi lewatnya obat
melalui stratum korneum.
c. Komponen formulasi berpermeasi ke dalam inter seluler lipid.
Hal ini akan mennimbulkan daerah imana difusi berlangsung
lebih cepat dan permeasi melalui stratum korneum akan
ditingkatkan
2. Pendekatan dengan fisika.
Pendekatan fisika contohnya adalah iontophoresis. Iontophoresis
adalah pemberian obat melalui kulit yang didorong oleh aliran
listrik dan memiliki tiga komponen dasar antara lain:
a. Sumber aliran listrik yang biasanya terdiri dari sebuah baterai
dan kontrol elektronik.
b. Sistem reservoir aktif yang mengandung bahan aktif dalam
bentuk ionik.
c. Sistem reservoir kembalian yang mengandung suatu elektrolit
dan berfungsi untuk mengembalikan aliran listrik

Gambar 7. Sistem Iontophoresis


Apabila sistem reservoir aktif dan reservoir kembalian
diletakkan di kulit, sumber arus menyebabkan aliran
elektrolit mengalir menuju reservoir aktif dan ditransformasi
menjadi aliran ionik dan sebaliknya.
Adhesif
Sediaan transdermal yang akan digunakan untuk jangka waktu
lama memerlukan adhesi untuk melekatkan sediaan ke kulit dengan
persyaratan sebagai berikut :
1. Biokompaktiilitas yang baik.
2. Menunjukkan adhesi yang baik terhadap kulit yang berminyak,
basah, mengkerut dan lembab.

17
3. Menunjukkan permeabilitas baik terhadap kelembaban untuk
mencegah oklusi berlebihan terhadap obat.
Model fisik penghalang terhadap permeasi obat
Pada model fisik sebagai model transdermal, terdapat 4 macam
penghalang terhadap permeasi obat, antara lain segai berikut:
1. Matrik polimer
2. Membran polimer
3. Lapisan adhesif
4. Stratum korneum
Drama imunologi sediaan transdermal
Permeasi obat secara transdermal berkaitan dengan eksposur
obat sebagai antigen terhadap sistem imunlogi kulit sehingga
mengakibatkan asosiasi dengan antigen sel dan akhirnya
berlangungnya ekspansi klonal antara antigen dan limfosit T reaktif.
Sesudah limfosit T diaktvasi terjadi peningkatan permeabilitas lokal
diikuti dengan keluaran antigen melalui limfosit dan makrofag dari
dermis dan kulit. Respon imun ini menghasilkan reaksi yang serius
misalnya terjadinya alergi kontak dermatitis dan menetralisasi
aktivitas obat shingga tidak memberikan efek terapi.

D. Faktor Fisikokimia yang Mempengaruhi Absorpsi Melalui Kulit


Beberapa parameter fisikokimia obat dapat mempengaruhi
permeasi obat melewati kulit. Faktor fsikokimia yang mengontrol difusi
pasif sebuah substansi dari zat pembawa dan melewati kulit ditentukan
oleh bentuk molekuler substansi, zat pembawa dan kulit. Perubahan sifat
zat pembawa dapat terjadi setelah sediaan diaplikasikan ke kulit. Hal ini
terjadi karena adanya penguapan zat yang memiliki sifat volatil (mudah
menguap) sehingga akan mempengruhi permeasi dari obat melewati kulit.
Selain itu adanya lapisan stratum korneum kulit menjadi penghalang
terhadap leawatnya sebagian besar bahan kimia (obat). Hanya sedikit obat
yang dapat menembus (permeasi) lapisan tanduk ini pada jumlah dosis
yang cukup untuk memberikan efek terapi (Agoes, 2008; Nalenz, 2006).
Faktor-faktor fisiko-kimia yang mempengaruhi absorpi obat
melewati kulit antara lain sebagai berikut :
1. Berat molekul

18
Obat dengan berat molekul antara 100- 800, memiliki kelarutan
dalam lemak dan air dapat melintasi kulit. Berat molekul obat yang
ideal untuk penghantaran transdermal yaitu 400 atau kurang (Allen et
al., 2014).
2. Kelarutan
Obat harus memiliki gaya tarik fisiko-kimia yang lebih besar
terhadap kulit dibandingkan terhadap pembawa. Sehingga obat akan
terlepas dari pembawa menuju kulit. Beberapa kelarutan obat baik
dalam lipid maupun air dianggap penting untuk absorpsi perkutan.
Pada prinsipnya kelarutan dalam air menentukan konsentrasi yang ada
pada daerah absorpsi. Secara umum, obat dalam bentuk tidak
terionisasi berpenetrasi ke dalam kulit lebih baik (Allen et al., 2014).
3. Konsentrasi obat
Konsentrasi obat merupakan faktor penting, umumnya jumlah
obat yang terabsorpsi secara perkutan pada setiap unit luas permukaan
tiap interval waktu meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi
obat dalam sistem penghantaran transdermal (Allen et al., 2014).
4. Suhu dan pH
Kecepatan penetrasi suatu bahan bisa berlipat ganda akibat
variasi suhu. Ketika koefisien difusi menurun karena turunnya suhu.
Pembawa oklusif meningkatkan suhu kulit beberapa derajat. Hanya
molekul tak terion yang dapat melewati lipid.
Asam- asam lemah dan basa lemah berdisosiasi ke dalam tingkat
yang bebrbeda tergantung pada pH dan nilai pKa/pKb sehingga
jumlah dari obat tak terionkan sangat menentukan gradien membran
yang efektif dan fraksi ini bergantung pada pH (Kesarwani et al.,
2013).
5. Koefisien difusi
Penetrasi suatu obat tergantung koefisien difusi obat. Pada suhu
konstan, koefisien difusi suatu obat tergantung pada sifat obat,
medium difusi dan interaksi antara keduanya. Difusitas obat
merupakan parameter penting untuk permeabilitas polimer. Membran
yang mengontrol difusi, disyratkan menunjukkan kecepatan transport
yang cukup memadai, sedangkan polimer dan atau gel polimer untuk
adhesive hruslah sangat permeable agar akses terhadap kulit baik.
Peran difusitas dalam sistem penghantaran obat transdermal penting,

19
karena difusifitas obat sama dengan partisi obat diantara elemen
struktural dari sistem (Agoes, 2008; Kesarwani et al., 2013).

6. Ukuran dan bentuk molekul


Absorpsi obat berbanding terbalik dengan ukuran molekul.
Molekul kecil lebih cepat berpenetrasi dibandingkan dengan
berukuran besar (Kesarwani et al., 2013).

III. Penutup
A. Kesimpulan
Sistem penghantaran obat secara transdermal merupakan salah satu
metode yang dapat dipilih untuk obat yang mengalami gangguan dari
enzim dalam saluran pencernaan atau obat mengalami ketidakstabilan bila
dibuat dalam bentuk sediaan lain dengan ketentuan bahwa obat memiliki

20
bobot molekul kecil. Proses penghantaran obat perlu memperhatikan
struktur anatomi dan fisiologi kulit untuk mengngubah permeabilitas kulit
agar obat dapat menembus kulit dengan baik. Obat dalam sediaan
transdermal terabsorpsi ke dalam kulit melalui difusi pasif melewati kulit
baik melalui rute appendageal ataupun rute epidermal. Absorpsi obat
melewati kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor fisiologi dan fisiko-kimia.
Faktor fisiologi terdiri dari kondisi kulit, usia kulit, aliran darah,
perbedaan spesies, lokasi aplikasi, metabolisme kutanous, dan faktor
lainnya. Sedangkan faktor fisikokimia yang mempengaruhi absorpsi obat
melewati kulit antara lain berat molekul, kelarutan, konsentrasi obat, suhu
dan pH, koefisien difusi serta ukuran dan bentuk molekul.
B. Saran
Penghantaran obat secara transdermal melewati kulit terdapat
beberapa hambatan, terutama adanya halangan intrinstik dari kulit. Oleh
karena itu agar halangan tersebut dapat dihilangkan sediaan yang dibuat
untuk rute transdermal perlu dimodifikasi secara kimiawi sehingga dapat
menurunkan resistensi difusi dengan menggunakan peningkat penetrasi.
Selain itu, apabila ingin megembangkan formula sediaan ini perlu juga
memperhatikan potensi respon alergi, iritasi terhadap obat atau konstituen
formulasi lain.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G. (2008). Seri farmasi industri 3: Sistem penghantaran obat pelepasan


terkendali. Bandung: Penerbit ITB.
Allen, L. V., Popovich, N. G., & Ansel, H. C. (2014). Bentuk Sediaan Farmasetis

21
dan Sistem Penghantaran Oba. Jakarta: EGC.
Barrier, S., Prausnitz, M. R., Elias, P. M., Franz, T. J., Schmuth, M., & Tsai, J.
(2012). Stratum Corneum Structure and Organization. Medical Therapy,
20652073.
Ernest, M. (1999). Dinamika Obat, Penerjemah: Mathilda B, Widianto dan Anna
Setiadi Ranti. (Edisi V). Bandung: Penerbit ITB.
Kesarwani, A., Yadav, A. K., Singh, S., Gautam, H., Singh, H. N., Sharma, A., &
Yadav, C. (2013). An Official Publication of Association of Pharmacy
Professionals T HEORETICAL ASPECTS OF T RANSDERMAL D RUG D
ELIVERY S YSTEM. Bulletin of Pharmaceutical Research, 3(2), 7889.
Kumar, D., Agarwal, G., Rana, A. C., Sharma, N., & Bhat, Z. A. (2011). A
Review: Transdermal Drug Delivery System: A Tool For Novel Drug
Delivery System, 3(3), 118125.
Nalenz, H. (2006). Dependence of skin drug permeation on microstructure and
time dependent alterations following application of more-phasic
dermatological formulations studied by the continuous phase drug
concentration concept, 121.
Shargel, L., Wu-pong, S., & Yu B.C, A. (2005). Applied Biopharmaceutics and
Pharmacokinetics (Fifth Edit). United State: The McGraw-Hill Companies,
Inc.
Syaifuddin. (2011). Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan (Edisi 4).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

22

Anda mungkin juga menyukai