Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Ibu hamil sangat peka terhadap terjadinya infeksi dari berbagai


mikroorganisme. Secara fisiologik sistem imun pada ibu hamil menurun,
kemungkinan sebagai akibat dari toleransi sistem imun ibu terhadap bayi yang
merupakan jaringan semi-alogenik, meskipun tidak memberikan pengaruh secara
klinik. Bayi intrauterin baru membentuk sistem imun pada umur kehamilan
sekitar 12 minggu, kemudian meningkat dan pada kehamilan 26 minggu hampir
sama dengan sistem imun pada ibu hamil itu sendiri. Pada masa perinatal bayi
mendapat antibodi yang dimiliki oleh ibu, tetapi setelah 2 bulan antibodi akan
menurun. Secara anatomi dan fisiologi ibu hamil juga mengalami perubahan,
misalnya pada ginjal dan saluran kencing sehingga mempermudah terjadinya
infeksi. Infeksi bisa disebabkan oleh virus, bakteri, dan parasit, sedangkan
penularan dapat terjadi intrauterina, pada waktu persalinan atau pascalahir.
Transmisi bisa secara transplasenta ataupun melalui aliran darah atau cairan
amnion.[1]
TORCH adalah istilah yang mengacu kepada infeksi yang disebabkan oleh
(Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus (CMV), Herpes simplex virus II and
Others). Infeksi TORCH ini sering menimbulkan berbagai masalah kesuburan
(fertilitas) baik pada wanita maupun pria sehingga menyebabkan sulit terjadinya
kehamilan. Infeksi TORCH yang terjadi pada ibu hamil dapt membahayakan janin
yang dikandungnya. Pada infeksi TORCH, gejala klinis yang ada sering sulit
dibedakan dari penyakit lain karena gejalanya tidak spesifik. Walaupun ada yang
memberi gejala ini tidak muncul sehingga menyulitkan dokter untuk melakukan
diagnosis. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan untuk
membantu mengetahui infeksi TORCH agar dokter dapat memberikan
penanganan atau terapi yang tepat. Untuk ibu hamil pemeriksaan tersebut
sangatlah penting, karena jika terkena infeksi TORCH dapat menyebabkan bayi
lahir prematur, menyebabkan kelainan pada janin bahkan menyebabkan
keguguran.[1,2]

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TORCH
TORCH adalah istilah yang mengacu kepada infeksi yang disebabkan oleh
(Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus (CMV), Herpes simplex and Others).
Keempat jenis penyakti infeksi ini, sama-sama berbahaya bagi janin bila infeksi
diderita oleh ibu hamil. Berikut mikroorganisme penyebab infeksi TORCH : [1]
1. Toxoplasma gondii
2. Other : Sifilis , Streptococcus group ,liseriosis (Listeria monocytogeneses),
campak, atau morbilli / measles , Varicella- zoster , Echovirus ,
mumps/gondongan, vaccine ,virus polio, Coxsackie B , Hepatitis B dan C
,HIV ,HPV ,Human Papiloma Virus B 19.
3. Rubella virus / German measles
4. Cytomegalo virus (CMV)
5. Herpes simpleks virus (HSV-1 ,HSV-2)

2.2 TOKSOPLASMOSIS
Penyakit ini merupakan penyakit protozoa sistemik yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii dan biasa menyerang binatang menyusui, burung, dan
manusia. Pola transmisinya ialah transplasenta pada wanita hamil, mempunyai
masa inkubasi 10-23 hari bila penularan melalui makanan (daging yang dimasak
kurang matang) dan 5-20 hari bila penularannya melalui kucing. Bila infeksi ini
mengenai ibu hamil trimester pertama akan menyebabkan 20% janin terinfeksi
toksoplasma atau kematian janin, sedangkan bila ibu terinfeksi pada trimester ke
tiga 65% janin akan terinfeksi. Infeksi ini dapat berlangsung selama kehamilan.[2,3]

Patogenesis
Tahap utama daur hidup parasit adalah pada kucing (hospes definitif).
Dalam sel epitel usus kecil kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur
seksual (gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan
melalui tinja. Bila ookiosta tertelan oleh hospes perantara maka pada berbagai
jaringan akan terjadi pembelahan cepat menjadi takizoit bereplikasi pada

2
seluruh sel kecuali di eritrosit bradizoit (masa infeksi laten) stadium
istirahat (kista jaringan).[3]
Pada manusia takizoit ditemukan pada infeksi akut dan dapat memasuki
tiap sel yang berinti. Takizoit pada manusia adalah parasit obligat intraseluler.
Takizoit berkembang biak dalam sel secara endodiogeni. Bila sel pennuh dengan
takzoit maka sel menjadi pecah dan takizoit memasuki sel sekitarnya atau di
fagositosis oleh makrofag. Kista jaringan dibentuk didalam sel hospes bila takizoit
yang membelah telah membentuk dinding. Kista jaringan ini bisa bertahan seumur
hidup terutama di otak, otot jantung, dan otot lurik.
Bila kista jaringan yang mengandung bradizoit atau ookista yang
mengandung sporozoit terlelan oleh hospes, parasit akan bebas dari kista
didalam eritrosit, parasit transformasi, peningkatan invasive takizoit parasit
menyebar ke jar. Limfatik, otot lurik, miokardium, retina, plasenta, dan SSP
terjadi infeksi replikasi invasi sel sekitar kematian sel dan nekrosis fokal
+ inflamasi akut.[3]

Gambar 1. Siklus hidup dan penularan virus Toxoplasmosis


Pada hospes imunokompromais atau pada janin, faktor-faktor imun yang
dbutuhkan untuk mengontrol penyebaran penyakit jumlahnya rendah. Akibatnya
takizoit menetap dan penghancuran progresif berlangsung dan terjadi kegagalan
organ.[3]

3
Penularan
Toxoplasma gondii dapat menular ke manusia melalui beberapa rute,yaitu:
Pada toksoplasmosis kongenital transmisi terjadi in utero melalui plasenta,
bila ibu mengalami infeksi primer saat hamil.
Pada infeksi akuisita infeksi dapat terjadi bila makan daging mentah atau
kurang matang.
Infeksi dapat terjadi dengan transplantasi organ dari donor yang menderita
toksoplasmosis laten.
Transfusi darah lengkap juga dapat menginfeksi
Transmisi melalui ookista juga dapat menginfeksi, seekor kucing yang
terinfeksi dapat mengeluarkan sampai dengan 10 juta butir ookista setiap hari
selama 2 minggu. Ookista menjadi matang dalam waktu 1- 5 hari dan dapat
lebih dari 1 tahun di tanah yang panas atau lembab. Ookista mati pada suhu
4555C.
Toksoplasma menginfeksi hospes melalui mukosa saluran cerna, hal ini
akan merangsang sistem imun untuk membentuk IgA spesifik. T.gondii dengan
cepat akan merangsang IgM dan IgG. Immunoglobulin ini dapat membunuh
takizoit ekstraseluler. IgG dapat terdeteksi sejak dua sampai tiga minggu setelah
infeksi, mencapai puncak pada enam sampai delapan minggu dan kemudian
menurun perlahan sampai batas tertentu dan bertahan seumur hidup. IgM dapat
terdeteksi kurang lebih satu minggu setelah infeksi akut dan menetap selama
beberapa minggu atau bulan, bahkan antibody ini dapat masih terdeteksi sampai
lebih dari satu tahun. IgA terdeteksi segera setelah IgM, dan bertahan selama 6-7
bulan.[3]

Manifestasi Klinis[1,5,6]
Gejala yang dapat timbul pada toksoplsmosis adalah fatigue, nyeri otot
dan kadang-kadang limfadenopati, tetapi seringkali infeksi terjadi subklinis.
Infeksi toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil atau pada orang

4
dengan sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya penderita AIDS, pasien
transpalasi organ yang mendapatkan obat penekan respon imun).
Jika wanita hamil terinfeksi toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi
adalah abortus spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita
toxoplasmosis bawaan. Pada toxoplasmosis bawaan, gejala dapat muncul setelah
dewasa, misalnya kelinan mata dan telinga, retardasi mental, kejang-kejang dan
ensefalitis.
Sedangkan bila janin lahir setelah ibu terinfeksi selama kehamilan, bayi
bisa lahir dalam keadaan hidrosefalus, berat bayi lahir rendah,
hepatospleenomegali, ikterus dan anemia. Gejala deficit neurologis seperti kejang-
kejang, kalsifikasi intracranial, retardasi mental dan hidrosefalus atau
mikrosefalus. Pada kedua kelompok biasanya terjadi korioretinitis.
First half of pregnancy : dapat menyebabkan malformation pada CNS,
microcephali, hydrocephalus dan perinatal mortality.
Second half of pregnancy : Ringan/asymtomatic, demam (flu like syndrome,
limfadenopati servikal ataupun aksila, namun tidak sakit.
Gejala - gejala ini beberapa minggu s/d bulan. Anemia, leukopenia, kadang
leukositosis. Dapat terjadi chorioretinitis dan kelainan pada CNS setelah
beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian.
Congenital Toxoplasmosis : Anak hidup dengan kemunduran mental yang
parah, kejang--kejang, strabismus dan kebutaan.

Pemeriksaan
Diagnosis pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27
minggu. Aktivitas diagnosis meliputi ; [5,6]
1. Kordosentesis (pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat) ataupun
amniosentesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan Ultrasonografi.
2. Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel fibroblast,
ataupun diinokulasi ke dalam ruang peritoneum dan diikuti isolasi parasit.
Pemeriksaan dengan PCR untuk mendeteksi adanya DNA Toksoplasma gondii
pada darah janin ataupun cairan ketuban. Pemeriksaan dengan teknik ELISA

5
pada darah janin guna mendeteksi antibodi IgM janin spesifik
(antitoksoplasma).

Gambar 2. Alur pemeriksaan pada infeksi Toxoplasma

Penatalaksanaan[2,6]
Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi pyrimethamine
dengan trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis akan
menghambat siklus p-amino asam benzoat dan siklus asam foist. Dosis yang
dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25-50 mg per hari selama sebulan dan
trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000-6.000 mg sehari selama sebulan. Karena
efek samping obat tadi ialah leukopenia dan trombositopenia, maka dianjurkan
untuk menambahkan asam folat dan yeast selama pengobatan. Trimetoprimn juga
tenyata efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi bila dibandingkan dengan
kombinasi antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine, ternyata trimetoprim
masih kalah efektifitasnya. Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun
kurang efektif tetapi efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat
sebelumnya. Dosis spiramycin yang dianjurkan ialah 2-4 gram sehari yang di bagi
dalam 2 atau 4 kali pemberian. Beberapa peneliti menganjurkan pengobatan

6
wanita hamil trimester pertama dengan spiramycin 2-3 gram sehari selama
seminggu atau 3 minggu kemudian disusul 2 minggu tanpa obat. Demikian
berselang seling sampai sembuh. Pengobatan juga ditujukan pada penderita
dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi yang lahir dari ibu penderita
toxoplasmosis.

Menurut Lab. Immunologi FKUI sebaiknya dikombinasi pengobatan


antimikroba/parasit dan immunoterapi dan anti viral (pada Torch) :
1. Isoprinosin (immunotherapy) 4x500 mg/hr 2hr/mgg
2. Spiramisin (antitoksoplasma/anti parasit); 3x500 mg/hr selama 10 hari
3. Acyclovir (anti viral) 3x200 mg/hr selama 10 hari
4. Obat2 diatas diulangi setiap mgg (1) & setiap bulan (2&3) sampai partus

2.3 RUBELLA
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella yang termasuk famili
Togaviridae dan genus Rubivirus, infeksi virus ini terjadi karena adanya kontak
dengan sekret orang yang terinfeksi; pada wanita hamil penularan ke janin secara
intrauterin. Masa inkubasinya rata-rata 16-18 hari. Penyakit ini agak berbeda dari
toksoplasmosis karena rubela hanya mengancam janin bila didapat saat kehamilan
pertengahan pertama, makin awal (trimester pertama) ibu hamil terinfeksi rubela
makin serius akibatnya pada bayi yaitu kematian janin intrauterin, abortus
spontan, atau malformasi kongenital pada sebagian besar organ tubuh (kelainan
bawaan) : katarak, lesi jantung, hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningo-
ensefalitis, khorioretinitis, hidrosefalus, miokarditis, dan lesi tulang. Sedangkan
infeksi setelah masa itu dapat menimbulkan gejala subklinik misalnya
khorioretinitis bertahun-tahun setelah bayi lahir.[1,2,6]

Penularan
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella, sebuah togavirus yang
menyelimuti dan memiliki genom RNA beruntai tunggal. 3,4,5 Virus ini
ditularkan melalui rute pernapasan dan bereplikasi dalam nasofaring dan kelenjar

7
getah bening. Virus ini dapat ditemukan dalam darah 5 sampai 7 hari setelah
infeksi dan menyebar ke seluruh tubuh. Virus memiliki sifat teratogenik dan
mampu menyeberangi plasenta dan menginfeksi janin di mana sel-sel berhenti
dari berkembang atau menghancurkan mereka.[6]

Manifestasi Klinis[2,6]
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada ibu :
Biasanya terjadi demam ringan, sakit kepala, rasa lelah dan perasaan tidak
karuan, sakit tenggorokan, batuk
30-50% tidak bergejala
Ruam akan timbul sekitar 16-18 hari setelah terpapar
Pada orang dewasa kadang- kadang disertai sakit pada persendian

Derajat penyakit terhadap ibu tidak berdampak terhadap resiko infeksi


janin. Infeksi yang terjadi pada trimester I memberikan dampak besar terhadap
janin. Infeksi fetal :
1. Tidak berdampak terhadap bayi dan janin dilahirkan dalam keadaan normal
2. Abortus spontan
3. Sindroma Rubella congenital
Secara spesifik, infeksi pada trimester I berdampak terjadinya sindroma
rubella kongenital sebesar 25% (50% resiko terjadi pada 4 minggu pertama),
resiko sindroma rubella kongenital turun menjadi 1% bila infeksi terjadi pada
trimester II dan III :
Dampak-dampak Sindroma Rubela Kongenital:
1. Intra uterine growth retardation simetrik, gangguan pendengaran, kelainan
jantung :PDA (Patent Ductus Arteriosus) dan hiplasia arteri pulmonalis
2. Gangguan Mata : Katarak, Retinopati, Mikroptalmia
3. Hepatosplenomegali, gangguan sistem saraf pusat, mikrosepalus,
panensepalus, kalsifikasi otak, retardasi psikomotor, hepatitis,
trombositopenik purpura.
Infeksi rubella tidak merupakan kontra indikasi pemberian ASI.

8
Gambar 3. Sindrom Rubella pada bayi

Pemeriksaan[4,5,6]
Diagnosis infeksi Rubella yang tepat perlu ditegakkan dengan bantuan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan meliputi
pemeriksaan Anti-Rubella IgG dan IgM. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dapat
digunakan untuk mendeteksi adanya kekebalan pada saat sebelum hamil. Jika
ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi. Pemeriksaan
Anti-rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis infeksi akut
pada kehamilan < 18 minggu dan risiko infeksi rubella bawaan.
Deteksi IgM mencapai puncak pada 7-10 hari setelah onset dan perlahan -
lahan menurun selama 4-8 minggu. Infeksi janin dpt dideteksi dgn memeriksa
IgM dlm darah janin setelah usia kehamilan 22 minggu.
Mereka yang non-imune harus memperoleh vaksinasi pada masa pasca
persalinan. Tindak lanjut pemeriksaan kadar rubella harus dilakukan oleh karena
20% yang memperoleh vaksinasi ternyata tidak memperlihatkan adanya respon
pembentukan antibodi dengan baik.

Penatalaksanaan[4,5,6]
Terapi antivirus
Acyclovir adalah anti virus yang digunakan secara luas dalam kehamilan

9
Acyclovir diperlukan untuk terapi infkesi primer herpes simplek atau virus
varicella zoster yang terjadi pada ibu hamil
Selama kehamilan dosis pengobatan tidak perlu disesuaikan
Obat antivirus lain yang masih belum diketahui keamanannya selama
kehamilan : Amantadine dan Ribavirin

Pencegahan aktif dan pasif


Vaksin dengan virus hidup tidak boleh digunakan selama kehamilan termasuk
polio oral, MMR (measles mumps rubella), varicella
Vaksin dengan virus mati seperti influenza, hepatitis A dan B boleh digunakan
selama kehamilan
Imunoglobulin dapat digunakan selama kehamilan

Vaksinasi :
Bayi pada usia 1 tahun
Anak-anak remaja usia 11-12 tahun
Wanita usia subur yang seronegatif
* sebelum hamil (jika mungkin)
* setelah melahirkan
Para pekerja kesehatan

Batas waktu Vaksinasi


Dewasa : bertahan > 8 thn (bila titer tinggi)
Anak-anak : 25% akan kehilangan antibodinya 5 tahu kemudian
Oleh sebab itu perlu diperiksa kembali IgG Rubella pada saat
merencanakan akan hamil (3-6 bulan sebelumnya)
Rubella ( German Measles ) disebabkan oleh infeksi single stranded RNA
togavirus yang ditularkan via pernafasan dengan kejadian tertinggi antara bulan
Maret sampai Mei, melalui vaksinasi yang intensif angka kejadian semakin
menurun. Infeksi virus ini sangat menular dan periode inkubasi berkisar antara 2
3 minggu

10
2.4 CYTOMEGALOVIRUS
Penyakit ini disebabkan oleh Human cytomegalovirus, subfamili
betaherpesvirus, famili herpesviridae. CMV merupakan penyebab infeksi
kongenital dan perinatal yang paling umum di seluruh dunia.[7]

Penularan
Tidak ada vektor yang menjadi perantara transmisi atau penularan. Transmisi dari
satu individu ke individu lain dapat terjadi melalui berbagai cara : [8]
Transmisi intrauterus terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi
(viremia) ibu menular ke janin. Kejadian transmisi seperti ini dijumpai
pada kurang lebih 0,5 1% dari kasus yang mengalami reinfeksi atau
rekuren. Viremia pada ibu hamil dapat menyebar melalui aliran darah (per
hematogen), menembus plasenta, menuju ke fetus baik pada infeksi primer
eksogen maupun pada reaktivasi, infeksi rekuren endogen, yang mungkin
akan menimbulkan risiko tinggi untuk kerusakan jaringan prenatal yang
serius. Risiko pada infeksi primer lebih tinggi daripada reaktivasi atau ibu
terinfeksi sebelum konsepsi. Infeksi transplasenta juga dapat terjadi,
karena sel terinfeksi membawa virus dengan muatan tinggi. Transmisi
tersebut dapat terjadi setiap saat sepanjang kehamilan, namun infeksi yang
terjadi sampai 16 minggu pertama, akan menimbulkan penyakit yang lebih
berat.
Transmisi perinatal terjadi karena sekresi melalui saluran genital atau air
susu ibu. Kira-kira 2% 28% wanita hamil dengan CMV seropositif,
melepaskan CMV ke sekret serviks uteri dan vagina saat melahirkan,
sehingga menyebabkan kurang lebih 50% kejadian infeksi perinatal.
Transmisi melalui air susu ibu dapat terjadi, karena 9% - 88% wanita
seropositif yang mengalami reaktivasi biasanya melepaskan CMV ke ASI.
Kurang lebih 50% - 60% bayi yang menyusu terinfeksi asimtomatik, bila
selama kehidupan fetus telah cukup memperoleh imunitas IgG spesifik
dari ibu melalui plasenta. Kondisi yang jelek mungkin dijumpai pada
neonatus yang lahir prematur atau dengan berat badan lahir rendah.

11
Transmisi postnatal dapat terjadi melalui saliva, mainan anak-anak
misalnya karena terkontaminasi dari vomitus. Transmisi juga dapat terjadi
melalui kontak langsung atau tidak langsung, kontak seksual, transfusi
darah, transplantasi organ
Penyebaran endogen di dalam diri individu dapat terjadi dari sel ke sel
melalui desmosom yaitu celah di antara 2 membran atau dinding sel yang
berdekatan. Di samping itu, apabila terdapat pelepasan virus dari sel
terinfeksi, maka virus akan beredar dalam sirkulasi (viremia), dan terjadi
penyebaran per hematogen ke sel lain yang berjauhan, atau dari satu organ
ke organ lainnya.

Manifestasi Klinis[8,9]
Mononukleos sitomegaloviru disertai dengan demam tinggi yang tidak
teratur selama 3 minggu atau lebih (orang dewasa). Infeksi CMV terdisemisasi
bisa menyebabkan koriorenitis (kebutaan), koloitis atau ensafilitis (jika pasien
juga mengalami acquired immunedeficiency syndrome). Infeksi virus CMV pada
bayi yang berusia 3 6 bulan, biasanya terinfeksi , seperti : asimtomati/disfungsi
hepatitik, hepatosplenomegali, angioma laba laba, pneumonitis,
imfadenotenopati, kerusakan otak.
Transmisi dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan dan infeksi
pada umur kehamilan kurang dari 16 minggu menyebabkan kerusakan yang
serius. Infeksi CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogen maupun
endogen. Infeksi eksogen dapat bersifat primer yaitu terjadi apabila ibu hamil
dalam pola imunologik seronegatif, dan nonprimer bila ibu hamil dalam keadaan
seropositif. Infeksi endogenous adalah hasil dari reaktivasi virus yang sebelumnya
dalam keadaan paten. Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinik
yang jauh lebih buruk pada janin dibandingkan infeksi rekurens.
Infeksi virus ini dapat ditemukan secara luas di masyarakat; sebagian besar
wanita telah terinfeksi virus ini selama masa anak-anak dan tidak mengakibatkan
gejala yang berarti. Tetapi bila seorang wanita baru terinfeksi pada masa
kehamilan maka infeksi primer ini akan menyebabkan manifestasi gejala klinik
infeksi janin bawaan sebagai berikut: hepatosplenomegali, ikterus, petekie,

12
meningoensefalitis, khorioretinitis dan optic atrophy, mikrosefali, letargia, kejang,
hepatitis dan jaundice, infiltrasi pulmonal dengan berbagai tingkatan, dan
kalsifikasi intrakranial. Jika bayi dapat bertahan hidup akan disertai retardasi
psikomotor maupun kehilangan pendengaran.

Pemeriksaan
Pemeriksaan laboratorium dapat ditegakkan baik dengan metode serologik
atau dengan virologik. Dengan metode serologik, diagnosis infeksi maternal
primer dapat ditujukkan dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi
seropositif (tampak adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai pemeriksaan hasil
serial dengan interval kira-kira 3 minggu. Dalam metode serologik infeksi primer
bisa juga ditentukan dengan Low IgG Avidity , yaitu antibodi klas IgG
menunjukan fungsional aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama 20
minggu setelah infeksi primer. Dalam hal ini lebih dari 90% kasus infeksi primer
menunjukkan IgG aviditas rendah terhadap CMV. [8]
Diagnosis prenatal dilakukan dengan mengerjakan metode PCR dan isolasi
virus pada cairan ketuban yang diperoleh setelah amniosentesis. Amniosentesis
dalam hubungan ini paling baik dikerjakan pada umur kehamilan 21-23 minggu
karena tiga hal berikut : [9]
- Mencegah hasil negatif palsu sebab diuresis janin belum sempurna sebelum
umur kehamilan 20 minggu sehigga janin belum optimal mengekskresi virus
sitomegalo melalui urin ke dalam cairan ketuban.
- Dibutuhkan waktu 6-9 minggu setelah terjadinya infeksi maternal agar virus
dapat ditemukan dalam cairan ketuban.
- Infeksi janin yang berat karena transmisi CMV pada umumnya bila infeksi
maternal terjadi pada umur kehamilan 12 minggu.

Pemeriksaan ultrasound yang merupakan bagian dari perawatan antenatal sangat


membantu dalam mengidentifikasi janin yang beresiko tinggi/ diduga terinfeksi
CMV. Klinis harus memikirkan adanya kemungkinan infeksi CMV intrauterin bila
didapatkan hal-hal berikut ini pada janin ; oligohidramnion, polihidramnion,
hidrops nonimun, asites janin, gangguan pertumbuhan janin, mikrosefali,

13
ventrikulomegali serebral (hidrosefalus), kalsifikasi intrakranial,
hepatosplenomegali, dan kalsifikasi intrahepatik.

Gambar 4. Alur pemeriksaan serologi pada infeksi Cytomegalo virus

Penatalaksanaan[9]
Obat-obat infeksi virus yaitu acyclovir, gancyclovir, dapat diberikan untuk
infeksi CMV. Pemberian imunisasi dengan plasma hiperimun dan globulin
dikemukakan telah memberi beberapa keberhasilan untuk mencegah infeksi
primer dan dapat diberikan kepada penderita yang akan menjalani 31 cangkok
organ. Namun demikian, program imunisasi terhadap infeksi CMV, belum lazim
dijalankan di negeri kita. Pada pemberian transfusi darah, resipien dengan CMV
negatif idealnya harus mendapat darah dari donor dengan CMV negatif pula.2
Deteksi laboratorik untuk infeksi CMV, idealnya dilakukan pada setiap donor
maupun resipien yang akan mendapat transfusi darah atau cangkok organ. Apabila
terdapat peningkatan kadar IgG anti- CMV pada pemeriksaan serial yang
dilakukan 2x dengan selang waktu 2-3 minggu, maka darah donor seharusnya
tidak diberikan kepada resipien mengingat dalam kondisi tersebut infeksi atau
reinfeksi masih berlangsung. Seorang calon ibu, hendaknya menunda untuk hamil

14
apabila secara laboratorik dinyatakan terinfeksi CMV primer akut. Bayi baru lahir
dari ibu yang menderita infeksi CMV, perlu dideteksi IgM anti-CMV untuk
mengetahui infeksi kongenital. Higiene dan sanitasi lingkungan perlu diperhatikan
untuk mencegah penularan atau penyebaran. Infeksi CMV tidak menimbulkan
keluhan apabila individu berada dalam kondisi kompetensi imun yang baik, oleh
karena itu pola hidup sehat dengan makan minum yang sehat dan bergizi, sangat
diperlukan agar sistem imun dapat bekerja dengan baik untuk meniadakan atau
membasmi CMV. Istirahat yang cukup juga sangat diperlukan, karena istirahat
termasuk pengobatan terbaik untuk infeksi virus pada umumnya.

2.5 HERPES SIMPLEX VIRUS


Penyakit ini disebabkan infeksi Herpes simplex virus (HSV); ada 2 tipe
HSV yaitu tipe 1 dan 2. Tipe 1 biasanya mempunyai gejala ringan dan hanya
terjadi pada bayi karena adanya kontak dengan lesi genital yang infektif;
sedangkan HSV tipe 2 merupakan herpes genitalis yang menular lewat hubungan
seksual. HSV tipe 1 dan 2 dapat dibedakan secara imunologi. Masa inkubasi
antara 2 hingga 12 hari. Infeksi herpes superfisial biasanya mudah dikenali
misalnya pada kulit dan membran mukosa juga pada mata. [10]

Penularan
Transmisi HSV kepada individu yang belum pernah terinfeksi sebelumnya
terjadi ketika virus mengalami multiplikasi di dalam tubuh host (viral shedding).
Lama waktu viral shedding pada tiap episode serangan HSV berbeda-beda. Pada
infeksi primer dimana dalam tubuh host belum terdapat antibodi terhadap HSV,
maka viral shedding cenderung lebih lama yaitu sekitar 12 hari dengan puncaknya
ketika muncul gejala prodormal (demam,lemah, penurunan nafsu makan, dan
nyeri sendi) dan pada saat separuh serangan awal infeksi primer, walaupun > 75%
penderita dengan infeksi primer tersebut tanpa gejala. Viral shedding pada episode
I non primer lebih singkat yaitu sekitar 7 hari dan karena pada tahap ini telah
terbentuk antibodi terhadap HSV maka gejala yang ditimbulkan lebih ringan dan
kadang hanya berupa demam maupun gejala sistemik singkat. Pada tahap infeksi
rekuren yang biasa terjadi dalam waktu 3 bulan setelah infeksi primer, viral

15
shedding berlangsung selama 4 hari dengan puncaknya pada saat timbul gejala
prodormal dan pada tahap awal serangan. Viral shedding pada tahap asimptomatik
berlangsung episodik dan singkat yaitu sekitar 24-48 jam dan sekitar 1-2 % wanita
hamil dengan riwayat HSV rekuren akan mengalami periode ini selama proses
persalinan.[6,10]
Seorang individu dapat terkena infeksi HSV karena adanya transmisi dari
seorang individu yang seropositif, dimana transmisi tersebut dapat berlangsung
secara horisontal dan vertikal. Perbedaan dari kedua metode transmisi tersebut
adalah sebagai berikut : [11]
1. Horisontal
Transmisi secara horisontal terjadi ketika seorang individu yang seronegatif
berkontak dengan individu yang seropositif melalui vesikel yang berisi virus
aktif (81-88%), ulkus atau lesi HSV yang telah mengering (36%) dan dari
sekresi cairan tubuh yang lain seperti salivi, semen, dan cairan genital (3,6-
25%). Adanya kontak bahan-bahan tersebut dengan kulit atau mukosa yang
luka atau pada beberapa kasus kulit atau mukosa tersebut maka virus dapat
masuk ke dalam tubuh host yang baru dan mengadakan multiplikasi pada inti
sel yang baru saja dimasukinya untuk selanjutnya menetap seumur hidup dan
sewaktu-waktu dapat menimbulkan gejala khas yaitu timbulnya vesikel kecil
berkelompok dengan dasar eritem.
2. Vertikal
Transmisi HSV secara vertikal terjadi pada neonatus baik itu pada periode
antenatal, intrapartum dan postnatal. Periode antenatal bertanggung jawab
terhadap 5 % dari kasus HSV pada neonatal. Transmisi ini terutama terjadi
pada saat ibu mengalami infeksi primer dan virus berada dalam fase viremia
(virus berada dalam darah) sehingga secara hematogen virus tersebut dalam
masuk ke dalam plasenta mengikuti sirkulasi uteroplasenter akhirnya
menginfeksi fetus. Periode infeksi primer ibu juga berpengaruh terhadap
prognosis si bayi, apabila infeksi terjadi pada trimester I biasanya akan terjadi
abortus dan pada trimester II akan terjadi kelahiran prematur. Bayi dengan
infeksi HSV antenatal mempunyai angka mortalitas 60 % dan separuh dari
yang hidup tersebut akan mengalami gangguan syaraf pusat dan mata. Infeksi

16
primer yang terjadi pada masa-masa akhir kehamilan akan memberikan
prognosis yang lebih buruk karena tubuh ibu belum sempat membentuk
antibodi (terbentuk 3-4 minggu setelah virus masuk tubuh host) untuk
selanjutnya disalurkan kepada fetus sebagai suatu antibodi neutralisasi
transplasental dan hal ini akan mengakibatkan 30-57% bayi yang dilahirkan
terinfeksi HSV dengan berbagai komplikasinya (mikrosefali, hidrosefalus,
calsifikasi intracranial, chorioretinitis dan ensefalitis).3 Sembilan puluh persen
infeksi HSV neonatal terjadi saat intrapartum yaitu ketika bayi melalui jalan
lahir dan berkontak dengan lesi maupun cairan genital ibu. Ibu dengan infeksi
primer mampu menularkan HSV pada neonatus 50 %, episode I non primer
35% , infeksi rekuren dan asimptomatik 0-4%.

Manifestasi Klinis[6,11]
Herpes simplex virus (HSV) adalah virus DNA doublestranded, memiliki
envelope dan termasuk dalam famili herpesviridae. HSV ditransmisikan melintasi
membran mukosa dan kulit non-intact yang dapat bermigrasi ke jaringan saraf di
mana pada saat ini virus dapat bertahan dalam keadaan laten. HSV-1 dominan
pada lesi orofacial, dan biasanya ditemukan di ganglia trigeminal, sedangkan
HSV-2 yang paling sering ditemukan dalam ganglia lumbosakral. Namun
demikian virus ini dapat menginfeksi kedua daerah orofacial dan saluran kelamin.
Di beberapa negara maju HSV tipe 1, baru-baru ini muncul sebagai agen
penyebab lesi pada genital. Perubahan perilaku seksual orang dewasa dapat
menjalaskan insiden yang lebih tinggi. Infeksi primer pertama terjadi ketika
seseorang yang rentan (tidak adanya antibodi HSV-1 dan HSV-2) terkena HSV.
Episode non primer pertama terjadi ketika seseorang dengan antibodi HSV tipe 1
atau 2 yang sudah ada sebelumnya terkena infeksi dari tipe yang berlawanan.
Infeksi berulang terjadi pada orang dengan antibodi terhadap HSV mengalami
infeksi dengan tipe HSV yang sama.
Pada bayi infeksi ini didapat secara perinatal akibat persalinan lama
sehingga virus ini mempunyai kesempatan naik melalui membran yang robek
untuk menginfeksi janin. Gejala yang timbul biasanya lesi kulit berupa vesikel
kemerahan yang nyeri dan berkelompok terbatas pada satu dermatom. Gejala pada

17
bayi biasanya mulai timbul pada minggu pertama kehidupan tetapi kadang-kadang
baru pada minggu ke 2-3. Manifestasi klinisnya akan didapatkan
hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis, khorioretinitis,
mikrosefali, dan miokarditis.

Pemeriksaan[10,11]
1. Tes Tzank diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright, terlihat sel
raksasa berinti banyak. Pemeriksaan ini tidak sensitif dan tidak spesifik.
2. Kultur virus. Sensitivitasnya rendah dan menurun dengan cepat saat lesi
menyembuh.
3. Deteksi DNA HSV dengan Polymerase chain reaction (PCR), lebih sensitif
dibandingkan kultur virus.
4. Tes serologik IgM dan IgG tipe spesifik. IgM baru dapat dideteksi setelah 4 -
7 hari infeksi, mencapai puncak setelah 2 4 minggu, dan menetap selama 2
3 bulan, bahkan sampai 9 bulan. Sedangkan, IgG baru dapat dideteksi setelah
2 3 minggu infeksi, mencapai puncak setelah 4 6 minggu, dan menetap
lama, bahkan dapat seumur hidup
Antibodi IgM dan IgG hanya member gambaran keadaan infeksi akut atau
kronik dari penyakit herpes genitalis. Tidak ditemukannya antibodi HSV pada
sampel serum akut dan ditemukannya IgM spesifik HSV atau peningkatan 4 kali
antibodi IgG selama fase penyembuhan menunjukkan diagnosis HSV primer.
Ditemukannya IgG antiHSV pada serum akut, IgM spesifik HSV dan
peningkatan IgG anti-HSV selama fase penyembuhan merupakan diagnostik
infeksi HSV rekuren.

Penatalaksanaan[6,10,11]
Pada tahun 2008, Canada Society of Obstetricians dan Gynaecologists
menerbitkan pedoman tentang pengelolaan HSV dalam kehamilan. Risiko infeksi
pada bayi tampaknya lebih tinggi ketika infeksi pertama terjadi selama trimester
ketiga kehamilan. Dalam hal ini mungkin tidak ada waktu yang cukup untuk

18
pengembangan IgG maternal sehingga risiko infeksi neonatal adalah 30 sampai
50%.
Jika infeksi terjadi pada trimester pertama kehamilan, hal ini tampaknya
terkait dengan peningkatan aborsi spontan dan kasus IUGR. Hanya sedikit kasus
dimana terjadi transmisi virus secara transplasenta yang dapat menyebabkan
infeksi kongenital yang parah dan dapat terjadi mikrosefali, hepatosplenomegali,
IUFD dan IUGR. Penggunaan antivirus juga diizinkan dalam trimester pertama
kehamilan jika infeksi ibu yang sangat serius. Pada saat ini ada sudah terdapat
banyak data yang cukup untuk menjelaskan keamanan penggunaan acyclovir
selama kehamilan.
Ibu hamil yang terinfeksi atau memiliki riwayat terpapar kontak harus
diisolasi terutama dari bayi dan ibu hamil lainnya. Ibu dengan infeksi herpes yang
signifikan, beri asiklovir 800 mg/oral 5kali/hari selama 7 hari. Pada komplikasi
yang lebih berat, asiklovir intravena diebrikan pada dosis 10-15 mg/kgBB setiap 8
jam selama 5-10 hari dimulai dari 24-72 jam setelah muncul ruam. Asiklovir
aman diberikan pada ibu dengan usia kehamilan di atas 20 minggu. Pasa usia
kehamilan sebelum itu, asiklovir harus diberikan dengan hati-hati.
Ketika infeksi primer diperoleh selama trimester pertama hingga kedua
kehamilan, disarankan untuk melakukan kultur virus serial pada lendir vagina
mulai dari kehamilan 32 minggu. kultur virus dengan teknik tes amplifikasi asam
nukleat (NAATs) dianggap sebagai tes pilihan pada ibu dengan manifestasi klinis
infeksi HSV. Seperti di Eropa Barat dan Amerika Serikat, tidak terdapat data
komprehensif yang divalidasi dan Disetujui tentang penggunaan uji NAATs.
Namun, test NAATs untuk deteksi HSV telah dikembangkan dan tersedia di Eropa
Timur, tetapi belum divalidasi dan diakui secara internasional.
Namun, jika dari hasil dua kultur negative dan tidak terdapat lesi aktif
herpes genital herpes aktif, maka dapat dilakukan persalinan pervaginam. Jika
serokonversi terjadi mendekati persalinan, opearasi sectio caesar tidak diperlukan
karena risiko penularan HSV ke janin rendah, dan neonatus telah dilindungi oleh
kekebaalan maternal.
Jika infeksi primer genital primer diperoleh selama trimester ketiga
kehamilan. Kebanyakan pedoman mengusulkan operasi caesar untuk terminasi

19
kehamilan karena pada saat ini belum terjadi serokonversi sehingga dapat
menginfeksi neonatus. Ketika dilakukan persalinan pervaginam pada kasus
seperti ini resiko transmisi vertikal tinggi (41%). Terapi asiklovir IV dibutuhkan
untuk ibu dan neonatus pada kasus seperti ini.
Infeksi rekurent HSV terjadi pada seorang wanita hamil dengan lesi HSV
yang lampau dengan IgG yang telah beredar di sirkulasi yang kemudian mampu
melewati plasenta dan mencapai janin. Pada kasus ini sangat jarang fetus yang
mendapatkan infeksi HSV. Jika terdapat lesi pada genital ibu pada saat
melahirkan, resiko infeksi bagi bayi akan 2-5%.
Penelitian acak menunjukkan penggunaan obat antivirus dari minggu ke-
36 kehamilan dapat mengurangi risiko penyebaran virus dalam keadaan lesi kulit
yang tidak terlihat dan penurunan risiko reaktivasi virus. Penggunaan obat
antivirus diperbolehkan sebelum minggu ke-36 dalam kasus infeksi yang berat
pada ibu, atau jika terdapat peningkatan risiko kelahiran premature.
Terapi meliputi penggunaan tablet acyclovir 400 mg 3 kali sehari atau
tablet asiklovir 200 mg 4 kali sehari dari minggu 36 sampai melahirkan, dan
kultur virus pada sekret vagina dari minggu ke 36 kehamilan dibutuhkan.
Penelitian terbaru juga menyarankan penggunaan valacyclovir dengan dosis 200
mg 2 kali sehari.
Pada keadaan dimana tidak terdapat lesi klinis herpes tetapi hasil kultur
positif, sectio caesarea dibutuhkan untuk terminasi kehamilan. Pada keadaan
semua kultur vurus negatif dan tidak adanya lesi klinis, persalinan pervaginam
diindikasikan. Akhirnya, pada keadaan timbulnya lesi klinik HSV genital pada
saat onset persalinan, jika paru-paru janin telah matang disarankan sectio caesarea
harus segera dilakukan setelah 4-6 jam setelah pecah ketuban.

20
2.6 OTHERS
1. Sifilis
Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan
oleh bakteri Treponema pallidum, sangat kronis dan bersifat sistemik. Pada
perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai
banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari satu orang ke
orang yang lain melalui hubungan genito-genital (kelamin-kelamin) maupun oro-
genital (seks oral). Infeksi ini juga dapat ditularkan oleh seorang ibu kepada
bayinya selama masa kehamilan. [2,12]

Penularan[12]
Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran
mukosa vagina dan uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau
dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir
kehamilan. Treponema pallidum masuk dengan cepat melalui membran mukosa
yang utuh dan kulit yang lecet, kemudian kedalam kelenjar getah bening, masuk
aliran darah, kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk
keruang intersisial jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka
tutup botol). Beberapa jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun
gejala klinis dan serologi belum kelihatan pada saat itu. Darah dari pasien yang
baru terkena sifilis ataupun yang masih dalam masa inkubasi bersifat infeksius.

21
Waktu berkembangbiak Treponema pallidum selama masa aktif penyakit secara
invivo 30-33 jam. Lesi primer muncul di tempat kuman pertama kali masuk,
biasa-nya bertahan selama 4-6 minggu dan kemudian sembuh secara spontan.
Pada tempat masuknya, kuman mengadakan multifikasi dan tubuh akan bereaksi
dengan timbulnya infiltrat yang terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma
yang secara klinis dapat dilihat sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak hanya
terbatas di tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler
(Treponema pallidum berada diantara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini
mengakibatkan hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen
kapiler (endarteritis obliterans). Kerusakan vaskular ini mengakibatkan aliran
darah pada daerah papula tersebut berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus dan
keadaan ini disebut chancre.

Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis berbeda-beda sesuai klasifikasinya. [6,12]
Tabel 2. Klasifikasi sifilis.
Stadium Karakteristik
Ulkus durum (biasannya soliter, dasarnya bersih,
Primer batas tegas, tidak nyeri) yang dapat sembuh sendiri
dalam 2-8 minggu.
Ruam seluruh tubuh, tidak nyeri dan tidak gatal
yang timbul 4-10 hari setelah ulkus durum muncul,
Sekunder
kondilomata lata, lesi mukokutan dan limfadenopati
menyerluruh.
Tes serologis yang reaktif tanpa disertai gejala
klinis.
Laten
Timbul setelah sifilis pada stadium primer dan
sekunder sembuh tanpa diobati.

Pemeriksaan
Gold standar untuk diagnosis sifilis adalah kultur secara invivo dengan
menginokulasikan sampel pada testis kelinci. Prosedur ini butuh biaya besar dan

22
waktu yang lama sampai beberapa bulan, sehingga kultur hanya dipakai dalam hal
penelitian saja.
Meskipun Treponema pallidum tidak dapat di kultur secara invitro, ada
banyak tes untuk mendiagnosis sifilis secara langsung dan tidak langsung. Belum
ada uji tunggal yang optimal. Metode diagnostik langsung termasuk pemeriksaan
mikroskop dan amplifikasi asam nukleat dengan polymerase chain reaction
(PCR). Diagnosis secara tidak langsung berdasarkan uji serologi untuk
mendeteksi antibodi. Uji serologi dibagi dalam dua kategori yaitu uji
nontreponemal untuk skrining dan uji treponemal untuk konfirmasi.
Pemeriksaan serologi biasanya dilakukan pada pasien sifilis laten dan
sifilis stadium tersier, karena pada keadaan tersebut lesi pada kulit dan mukosa
tidak ditemukan lagi. Pemeriksaan serologi ini berguna untuk mendeteksi antibodi
terhadap Treponema pallidum. Ada dua jenis pemeriksaan serologi pada
Treponema pallidum yaitu; uji nontreponemal dan treponemal. Uji nontreponemal
biasanya digunakan untuk skrining karena biayanya murah dan mudah dilakukan.
Uji treponemal digunakan untuk konfirmasi diagnosis. [12]

Penatalaksanaan
Wanita hamil dengan sifilis harus diobati sedini mungkin, sebaiknya
sebelum hamil atau pada triwulan I untuk mencegah penularan terhadap janin.
Terapi yang dapat diberikan penisilin G 2,4 juta unit dosis tunggal secara IM
selama 3 hari. Obat-obatan per oral dapat diberikan penisilin dan eritromisin.
Pencegahan antara lain dengan cara promosi kesehatan tentang penyakit
menular seksual, mengontrol prostitusi bekerja sama dengan lembaga sosial,
memperbanyak pelayanan diagnosis dini dengan pengobatannya, untuk
penderita yang dirawat dilakukan isolasi terutama terhadap sekresi dan ekskresi
penderita. [5,12]

23
2. HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan sebuah retrovirus yang
memiliki genus lentivirus yang menginfeksi, merusak, atau menggangu fungsi sel
sistem kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan sistem pertahanan tubuh
manusia tersebut menjadi melemah. [5]

Penularan
Secara umum, HIV dapat ditularkan melalui 3 cara yakni: [14]
a. Melalui hubungan seksual.
Merupakan jalur utama penularan HIV/AIDS yang paling umum ditemukan.
Virus dapat ditularkan dari seseorang yang sudah terkena HIV kepada mitra
seksualnya (pria ke wanita, wanita ke pria, pria ke pria) melalui hubungan
seksual tanpa pengaman (kondom).
b. Parenteral (produk darah)
Penularan dapat terjadi melalui transfusi darah atau produk darah, atau
penggunaan alat alat yang sudah dikotori darah seperti jarum suntik, jarum
tato, tindik, dan sebagainya.
c. Perinatal
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya, penularan
melalui ibu kepada anaknya. Transmisi vertikal dapat terjadi secara
transplasental, antepartum, maupun postpartum. Mekanisme transmisi
intauterin diperkirakan melalui plasenta. Hal inidimungkinkan karena adanya
limfosit yang terinfeksi masuk kedalam plasenta. Transmisi intrapartum terjadi
akibat adanya lesi pada kulit atau mukosa bayi atau tertelannya darah ibu
selama proses kelahiran. Beberapa faktor resiko infeksi antepartum adalah
ketuban pecah dini, lahir per vaginam. Transmisi postpartum dapat juga
melalui ASI yakni pada usia bayi menyusui, pola pemberian ASI, kesehatan
payudara ibu, dan adanya lesi pada mulut bayi. Seorang bayi yang baru lahir
akan membawa antibodi ibunya, begitupun kemungkinan positif dan
negatifnya bayi tertular HIV adalah tergantung dari seberapa parah tahapan
perkembangan AIDS pada diri sang ibu.

24
Tabel 3. Waktu dan risiko penularan HIV dari ibu ke anak.

Tabel 4. Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke bayi

Manifestasi Klinis[5,14]
Manifestasi klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh
host akibat intervensi HIV. Manifestasi ini dapat merupakan gejala dan tanda
infeksi virus akut, keadaan asimptomatis berkepanjangan, hingga manifestasi
AIDS berat. Manifestasi gejala dan tanda dari HIV dapat dibagi menjadi 4 tahap.5
Pertama merupakan tahap infeksi akut, pada tahap ini muncul gejala tetapi
tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah paparan HIV dapat
berupa demam, rasa letih, nyeri otot dan sendi, nyeri telan, dan pembesaran
kelenjar getah bening di leher.
Kedua merupakan tahap asimptomatik, pada tahap ini gejala dan keluhan
hilang. Tahap ini berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahun
setelah infeksi. Pada stadium ini terjadi perkembangan jumlah virus disertai
makin berkurangnya jumlah sel CD-4. Pada tahap ini aktivitas penderita masih
normal.
Ketiga merupakan tahap simptomatis pada tahap ini gejala dan keluhan
lebih spesifik dengan gradasi sedang samapi berat. Berat badan menurun tetapi
tidak sampai 10%, pada selaput mulut terjadi sariawan berulang, terjadi

25
peradangan pada sudut mulut, dapat juga ditemukan infeksi bakteri pada saluran
napas bagian atas namun penderita dapat melakukan aktivitas meskipun
terganggu. Penderita lebih banyak di tempat tidur meskipun kurang 12 jam per
hari dalam bulan terakhir.
Keempat merupakan pasien dengan jumlah sel CD4 < 200 sel/ul
merupakan pasien dikategorikan pada tahap yang lebih lanjut atau tahap AIDS.
Pada tahap ini terjadi penurunan berat badan lebih dari 10%, diare lebih dari 1
bulan, panas yang tidak diketahui sebabnya lebih dari satu bulan, kandidiasis oral,
oral hairy leukoplakia, tuberkulosis paru dan pneumonia bakteri. Penderita
berbaring di tempat tidur lebih dari 12 jam dalam sehari selama sebulan terakhir.
Hampir 90% kasus infeksi HIV pada anak disebabkan oleh transmisi
perinatal. Transmisi perinatal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen. Beberapa
penelitian melaporkan tingginya kasus terjadi akibat terpaparnya intrapartum
terhadap darah maternal seperti pada kasus episiotomi, laserasi vagina atau
persalinan dengan forsep, sekresi genital yang terinfeksi dan ASI. Frekuensi rata-
rata transmisi vertikal dari ibu ke anak dengan infeksi HIV mencapai 25 - 30%.

Pemeriksaan[14]
Langkah pertama untuk mendiagnosis HIV/AIDS adalah anamnesis secara
keseluruhan kemudian dilakukan pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat
dilakukan secara virologis (mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan serologis
(mendeteksi antibodi HIV) pada spesimen darah. Pemeriksaan diagnostik infeksi
HIV yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah pemeriksaan serologis
menggunakan tes cepat (Rapid Test HIV) atau ELISA. Pemeriksaan diagnostic
tersebut dilakukan secara serial dengan menggunakan tiga reagen HIV yang
berbeda dalam hal preparasi antigen, prinsip tes, dan jenis antigen, yang
memenuhi kriteria sensitivitas dan spesifitas.
Pasien yang dikatakan AIDS jika menunjukan hasil tes HIV positif disertai
minimal terdapat 2 gejala mayor atau terdapat 2 gejala minor dan 1 gejala mayor.
Pemeriksaan jumlah sel CD4 dapat segera di lakukan setelah pertama kali
dinyatakan positif HIV dan saat akan melahirkan menggunakan spesimen darah.

26
Tabel 5. Gejala mayor dan minor HIV/AIDS

Penatalaksanaan[4,5,14]
Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV-AIDS,
namun dengan terapi antiretroviral, jumlah virus di dalam tubuh dapat ditekan
sangat rendah, sehingga ODHA dapat tetap hidup layaknya orang sehat.

Gambar 5. Rekomendasi ART pada ibu hamil dengan HIV dan ARV profilaksis
pada bayi.

27
Gambar 6. Alur pemberian terapi antiretroviral pada ibu hamil

Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan 38 minggu


untuk meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Sampel plasma viral load
dan jumlah CD4 harus diambil pada saat persalinan. Semua ibu hamil dengan
HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesaria.
Operasi seksio sesarea pada usia kehamilan 38 minggu sebelum onset persalinan
atau mencegah ketuban pecah dini direkomendasikan untuk wanita yang telah
mendapatkan terapi HAART dengan kadar viral load yang masih > 1000 kopi/ml,
wanita yang mendapatkan monoterapi alternative dengan zidovudin.
Operasi seksio sesarea elektif dapat dilakukan dengan prosedur sebagai
berikut:
a. Pemberian zidovudin intravena diberikan sesuai indikasi, dimulai 4 jam
sebelum operasi dimulai sampai dengan pemotongan tali pusat.
b. Sedapat mungkin meminimalisir perdarahan selama operasi dan diusahakan
kulit ketuban dipecah sesaat sebelum kepala dilahirkan.
c. Antobiotika spectrum luas diberikan sebelum operasi sebagaimana umumnya.
Persalinan pervaginam yang direncanakan hanya boleh dilakukan oleh
wanita yang mengkonsumsi HAART dengan viral load <50 kopi/mL. Pada
persalinan pervaginam, amniotomi harus dihindari, tetapi tidak jika proses
kelahiran kala 2 memanjang. Jika terdapat indikasi alat bantu persalinan, forsep
dengan kavitas rendah lebih disarankan untuk janin karena insiden trauma fetal
lebih kecil.

28
BAB III
KESIMPULAN

Ibu hamil lebih rentan mengalami infeksi yang bisa mempengaruhi


kehamilan dan bayi yang dikandung. Umumnya ibu hamil tidak mengetahui
ketika ia memiliki infeksi karena gejala yang muncul bersifat asimtomatik,
padahal pengobatan yang tertunda bisa berbahaya bagi kesehatan ibu dan juga
bayi yang dikandung.
TORCH adalah istilah untuk menggambarkan gabungan dari empat jenis
penyakit infeksi yaitu Toxoplasmosis, Other, Rubella, Cytomegalovirus dan
Herpes simplex. Beberapa jenis penyakit ini sama-sama berbahaya bagi janin bila
diderita oleh ibu hamil.
Penyakit ini sangat berbahaya bagi ibu hamil karena dapat mengakibatkan
keguguran, cacat pada bayi, juga pada wanita belum hamil bisa akan sulit
mendapatkan kehamilan. Infeksi TORCH bersama dengan paparan radiasi dan
obat-obatan teratogenik dapat mengakibatkan kerusakan pada embrio. Beberapa
kecacatan janin yang bisa timbul akibat TORCH yang menyerang wanita hamil
antara lain kelainan pada saraf, mata, kelainan pada otak, paru-paru, telinga,
terganggunya fungsi motorik, hidrosefalus, dan lain sebagainya.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Haksohusodo, S. 2005. Infeksi TORCH. Yogyakarta: Medika.


2. https://jurnalpediatri.com/2013/12/18/infeksi-torch-saat-kehamilan-
penanganan-dan-pencegahan/. Diunduh 1 Maret 2017
3. Evans R. Life cycle and animal infection. In: Ho-Yen DO, Joss AWL,
editors. Human toxoplasmosis. Oxford: Oxford University Press, 1992
4. Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan. Edisi ke-1. Jakarta : WHO.
5. Cunningham F et al. 2009. Williams Obstetrics : Infeksi pada Kehamilan.
23rd edition. United States od America : Mc Graw Hill Profesional.
6. Rahayu, Safitri. 2012. Infeksi TORCH pada Kehamilan. SMF Obstetri
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi. Diunduh 1 Maret 2017

7. https://iame.com/online/congenital_cytomegalovirus/content.php. Diakses
1 Maret 2017
8. Numazaki K, Fujikawa T. Chronological changes of incidence and
prognosis of children with asymptomatic congenital cytomegalovirus
infection in Sapporo, Japan. BMC Infectious Diseases 2004; 4: 22.
http//www.biomedcentral.com/1471-2334/4/22 . Diunduh 1 Maret 2017
9. Griffiths PD, Emery VC. Cytomegalovirus. In: Richman DD, Whitley RJ,
Hayden FG eds. Clinical Virology. Washington: ASM Press; 2002:433-55
10. CDC. Sexually transmitted diseases. Treatment guidelines 2006. MMWR
2006; 16-20 (RR-11)
11. Daili SF. Herpes genitalis pada imunokompromais. Dalam:Daili SF, Makes WI Editor.
Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 89-99
12. Efrida, Elvinawaty. Imunopatogenesis Treponema pallidum dan
Pemeriksaan Serologi. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3).
http://jurnal.fk.unand.ac.id . Diunduh 1 Maret 2017
13. Gabbe SG, Nielbyl JR, Simpson JL. Maternal and Perinatal Infection.
Philadelphia: Churchill Livingstone, 2002.
14. Green-top Guideline. Management of HIV in Pregnancy. Royal College of
Obstetricians and Gynecologists, 2010:1 - 28.

30

Anda mungkin juga menyukai