Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoxin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Toksin tetanus bekerja dengan memblok
neurotransmitter inhibisi pada sistem saraf pusat (SSP) menyebabkan peningkatan
kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka (spasme) tanpa disertai gangguan
kesadaran. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui
luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan, dan
pemotongan tali pusat.1
Di negara-negara berkembang seperti contohnya Indonesia, masih sering
dijumpai tetanus. Penyakit ini dapat memperngaruhi berbagai kelompok usia, dan
angka mortalitas kasus ini tergolong tinggi yaitu 10-80% meskipun perawatan
intensif modern tersedia. Tetanus dapat ditemukan diseluruh dunia, terjadi secara
sporadis atau secara "outbreak" dalam skala yang kecil. Saat ini di negara-negara
maju sudah jarang ditemukan, sedangkan di negara agraris dimana kontak dengan
kotoran hewan masih dimungkinkan, tetanus sering ditemukan. Pada dewasa,
insiden pada laki-laki lebih sering daripada wanita yaitu 2,5:1 dan kebayakan
ditemukan pada usia produktif.1 Tingginya angka insiden akibat kurang
memadainya program imunisasi, juga berkaitan dengan kebiasaan sosial dan
kesehatan masyarakat yang tidak memadai, padahal di negara-negara maju
semakin jarang.
Untuk menurunkan angka kematian tetanus dan lamanya rawat tinggal di
rumah sakit telah dilakukan berbagai usaha seperti hiperbarik, pemakian
respirator, pemberian anti tetanus serum kuda (ATS) atau tetanus immonoglobulin
human (TIGH), diazepam dosis tinggi dan penggunaan antibiotika, namun angka
kematiannya masih tetap tinggi.1 Sehingga, tetanus masih merupakan masalah
kesehatan penting.
Tidak terdapat imunitas alami terhadap tetanus, sehingga proteksi didapat
dari imunisasi aktif.1 Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif tetanus
toksoid, higenitas persalinan yang baik, dan manajemen perawatan luka yang

1
adekuat.2 Oleh karena itu, kombinasi dari pencegahan, diagnosis, serta
penatalaksaan tetanus yang adekuat diperlukan agar mampu menurunkan angka
mortalitas pada pasien tetanus. Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai
tetanus yang diharapkan nantinya dapat bermanfaat kedepannya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoxin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Toksin tetanus bekerja dengan memblok
neurotransmitter inhibisi pada sistem saraf pusat (SSP) menyebabkan peningkatan
kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka. Penyakit ini timbul jika kuman
tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi
telinga, bekas suntikan, dan pemotongan tali pusat.1

2.2 Epidemiologi
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat
jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di
samping sanitasi lingkungan yang bersih. Akan tetapi di negara sedang
berkembang termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini
disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi
kontaminasi, perawatan luka tidak adekuat, kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.4
Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Di Amerika Serikat pada tahun
1915 dilaporkan bahwa kasus tetanus yang terbanyak pada umur 1-5 tahun, sesuai
dengan yang dilaporkan di Manado (1987) dan surabaya (1987) ternyata insiden
tertinggi pada anak di atas umur 5 tahun. Perkiraan angka kejadian umur ratarata
pertahun sangat meningkat sesuai kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada
kelompok umur 519 tahun dan 2029 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat
pada kelompok umur 3039 tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa angka kejadian lebih banyak dijumpa pada anak lakilaki;
dengan perbandingan 3:1.3

2.3 Etiologi
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium tetani; berbentuk batang
yang langsing dengan ukuran panjang 25 um dan lebar 0,30,5 um, termasuk
gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium tetani dapat dibedakan dari tipe lain

3
berdasarkan flagella antigen. Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk
lonjong dengan ujung yang bulat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat
spora ini tahan dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam
autoclaf bila dipanaskan selama 1520 menit pada suhu 121C. Bila tidak kena
cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulanbulan bahkan sampai tahunan.
Clostridium tetani Juga dapat merupakan flora usus normal dari kuda, sapi, babi,
domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi
bentuk vegetatif dalam keadaan anaerob dan kemudian berkembang biak.5
Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik.
Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17C dalam media kaldu daging dan
media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus
tidak dapat memfermentasikan glukosa. Kuman tetanus tidak invasif, tetapi
kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.5
Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton,
larut dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik,
tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga
neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan
saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan
kejangkejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari selsel darah merah.5

Gambar 2.1 Clostridium Tetani pada Pewarnaan Gram dan Struktur


Mikroskopis Clostridum Tetani

2.4 Patofisiologi
Chlostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang

4
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang atau pupuk. Cara masuk spora
ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk, luka bakar, luka lecet,
otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang
kadang luka tersebut hampir tak terlihat.6
Pandi dkk (1965) melaporkan bahwa 70% pada telinga sebagai port
dentree, sedangkan beberapa peneliti melaporkan bahwa porte d'entree melalui
telinga hanya 6,5%. Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut
menjadi hiperaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit
yang mati, bendabenda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang
kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis
maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.7
Tetanospasmin sangat mudah - mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai
saraf melalui dua cara.8
1. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujungujung
saraf perifer atau motorik melalui axis silindrik ke kornu anterior.
2. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk
seterusnya susunan saraf pusat. Aktivitas tetanospamin pada motor end
plate akan menghambat pelepasan asetilkolin, tetapi tidak menghambat
alfa dan gamma motor neuron sehingga tonus otot meningkat dan terjadi
kontraksi otot berupa spasme otot.
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi
fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan
menginhibisi terhadap batang otak. Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi
yang normal menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi
otot masetter sehingga terjadi trismus. Hal ini disebabkan karena otot masetter
adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap
afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya
kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas.
Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat,
sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi,
keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urine.
Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi

5
oleh antitoksin tetanus.9

Gambar 2. Patogenesis Tetanus

2.5 Gejala Klinis


Gejala klinis tetanus biasanya diawali dengan kekakuan atau kontraksi otot
yang terjadi 1-2 minggu setelah terinfeksi.Kekakuan otot bertambah secara
progresif dalam beberapa hari sehingga muncul spasme otot dan mencapai
maksimal pada minggu kedua. Disotonomi biasanya mulai terlihat pada akhir
minggu pertama.10 Secara umum, terdapat beberapa gejala klinis yang khas pada
tetanus, yaitu:

1. Kekakuan Otot dan Rigiditas


Kekakuan biasanya terjadi pada otot wajah, leher, faring, dan juga seluruh
otot ekstremitas dan batang tubuh.Kekakuan awalnya terjadi pada otot
maseter, menyebabkan kesulitan membuka mulut (trismus) atau lock jaw.
Kekakuan otot tersebut terjadi karena arus disinhibisi tidak terkontrol dari
saraf motorik eferen di medula dan batang otak yang menyebabkan rigiditas
muskuler dan spasme yang menyerupai kejang. Tonus otot meningkat
diselingi dengan spasme otot secara episodik. Refleks inhibisi dari kelompok
otot antagonis menjadi hilang dan kelompok otot agonis serta antagonis
berkontraksi secara simultan.5 Kekakuan otot tersebut tampak dalam

6
bentuk:10
a. Rigiditas abdomen yang sering disebut perut papan
b. Kontraksi otot wajah menyebabkan ekspresi wajah yang khas disebut
dengan rhisus sardonicus atau rhisus smile
c. Kontraksi otot rahang dan leher menyebabkan retraksi kepala. Otot-otot
rahang, wajah, dan kepala pada banyak kasus terpengaruh pertama kali
karena jaras aksonalnya lebih pendek
d. Trismus atau lock jaw, disebabkan oleh kontraksi yang kuat dari otot
maseter
e. Spasme otot menelan menyebabkan disfagia
f. Spasme berat pada otot batang tubuh (punggung) disebut opistotonus
dapat menyebabkan kesulitan bernapas akibat berkurangnya compliance
otot dinding dada
g. Otot ekstremitas terpengaruh paling terakhir, namun biasanya tidak
melibatkan otot tangan dan kaki
h. Obstruksi laring akibat aspirasi yang disebabkan oleh spasme faring dan
spasme laring dan berkurangnya compliance dinding otot dada dapat
menyebabkan gagal napas.

2. Spasme Otot
Spasme ditandai dengan kontraksi otot-otot yang bersifat tonik pada otot
yang telah mengalami kekakuan.Terjadi kontraksi yang simultan dan
berlebihan pada otot-otot agonis dan antagonisnya sehingga terjadi gerakan
seperti bangkitan tonik. Retraksi kepala akan tampak lebih jelas dan
bertambah selama spasme, opistotonus makin jelas terlihat, disertai dengan
fleksi pada lengan. Spasme dapat ditimbulkan dengan rangsang raba juga
oleh rangsang auditori, visual, atau emosional. Frekuensi dan beratnya
spasme sangat bervariasi. Biasanya spasme terjadi dalam beberapa detik,
secara tiba-tiba dan menimbulkan rasa nyeri yang hebat.10
3. Gangguan Saraf Otonom
Gangguan otonom lebih menggambarkan beratnya tetanus yang terjadi dan
bukan merupakan komplikasi. Gangguan otonom melibatkan komponen
simpatis maupun parasimpatis. Pasien dapat mengalami takikardia,
hiperhidrosis, peningkatan tekanan darah, aritmia, hipersalivasi, serta
peningkatan refleks vagal yang berakibat buruk pada sistem kardiovaskuler.

7
Disotonomi dan efek toksin pada jantung dapat menyebabkan miokarditis
yang ditandai dengan demam, ruam, eosinofilia perifer, dan peningkatan
biomarker nekrosis.10
Disotonomi biasanya muncul beberapa hari setelah spasme dan menetap
selama 1-2 minggu, ditandai dengan instabilitas pada tekanan darah
(hipertensi yang diselingi dengan hipotensi), takikardia diselingi bradikardia,
cardiac arrest atau asistol berulang akibat peningkatan tonus dan aktivitas
vagus, vasokonstriksi, dan pireksia, hipersalivasi dan peningkatan sekresi
bronkial, stasis gaster, ileus, diare, dan gagal ginjal dengan output yang
meningkat, diaphoresis, disritmia jantung dan hipermetabolisme ditandai
dengan kenaikan kadar katekolamin hingga 10 kali lipat pada pemeriksaan
plasma basal menyerupai kadar pada keadaan phaeochromocytoma.
Penyembuhan biasanya terjadi akibat pertumbuhan kembali akson terminal
dan proses kerusakan toksin.10
Tetanus dapat muncul dalam beberapa tipe:10
a. Tetanus Lokal
Tetanus ini terjadi secara lokal (misalnya terjadi pada satu tungkai bawah
saja). Keadaan ini dapat terjadi jika toksin terakumulasi secara lokal di
area tertentu dan pasien segera diberikan toksin antitetanus yang akan
mengikat toksin didalam darah sehingga penyebaran lebih luas dapat
dihindari.
b. Tetanus Sefalik
Tetanus ini terjadi pada pasien yang mengalami luka di daerah kepala atau
dengan riwayat infeksi telinga (otitis media). Otot-otot yang terlibat adalah
otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik di batang otak dan segmen
servikal.
c. Tetanus Generalisata
Merupakan jenis yang paling sering terjadi (80%). Gejala klinis biasanya
dimulai dengan trismus atau lock jaw diikuti dengan kekakuan pada otot
leher, kesulitan menelan, dan rigiditas otot abdomen. Gejala lain bisa
berupa keringat berlebihan, demam, peningkatan tekanan darah, takikardia
episodik. Spasme terjadi cukup sering dan berlangsung beberapa menit.

2.6 Diagnosis

8
Grading Tetanus10
Grading tetanus dilakukan menggumakan kriteria Patel Joag, yaitu:
Kriteria 1 : Rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang
belakang
Kriteria 2 : Spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
Kriteria 3 : Inkubasi antara 7 hari atau kurang
Kriteria 4 : Waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Kriteria 5 : Kenaikan suhu rektal sampai 100oF atau aksila sampai 99oF
(=37,6oC)

Dari kriteria diatas dibuat tingkatan derajat tetanus sebagai berikut:


Derajat 1 : Kasus ringan minimal 1 kriteria K1 atau K2, mortalitas 0%
Derajat 2 : Kasus sedang, minimal 2 kriteria (K1 + K2), biasanya inkubasi
lebih dari 7 hari, onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10 %
Derajat 3 : Kasus berat, adanya minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi kurang
dari 7 hari, onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%
Derajat 4 : Kasus sangat berat, minimal 4 kriteria, mortalitas 60%
Derajat 5 : Bila terdapat 5 kriteria, termasuk tetanus neonatorum dan tetanus
puerperium,mortalitas 84%

Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan bagi kuman Clostridium


tetani dari mulai mengkontaminasi luka sehingga menimbulkan gejala klinis
pertama, berkisar antara 7-14 hari (1-2 hari sampai beberapa bulan). Periode onset
adalah waktu yang dibutuhkan dari mulai terjadinya gejala klinis yang pertama
hingga timbulnya spasme otot berkisar antara 1-7 hari. Pada tetanus yang
fulminant, pada masa ini memendek hingga 1-2 jam. Semakin panjang periode
onsetnya maka pasien memiliki prognosis yang lebih baik.10
Kriteria beratnya tetanus dapat pula ditentukan dengan klasifikasi Abletts:10
Grade I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas umum, tidak
ada gangguan pernapasan, tidak ada spasme, tidak
ada/sedikit ada disfagia
Grade II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas terlihat jelas, spasme ringan
sampai sedang namun singkat, gangguan respirasi

9
ringan dengan takipnea.
Grade III (berat) : Trismus berat, spastisitas menyeluruh, refleks spasme
dan seringkali spasme spontan yang memanjang,
gangguan napas dengan sesak dan terengah - engah
(apnoeic spells), disfagia berat, bradikardia,
peningkatan aktivitas saraf otonom sedang.
Grade IV (sangat berat) : Seperti grade III ditambah gangguan autonomik hebat
yang sering menyebabkan apa yang disebut sebagai
badai autonom.

2.7 Diagnosis Banding


Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai
tetanus. Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses
alveolar. Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis
dapat menentukan adanya abses alveolar. Meningitis purulenta dapat dieksklusi
dengan pemeriksaan cairan serebrospinal. Ensefalitis terkadang disertai gejala
trismus dan spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya berkabut. Rabies harus
dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak ada
trismus. Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan
melibatkan otot-otot pernapasan. Pada anak-anak <2 tahun, tetani hipokalsemia
harus dipertimbangkan. Berbagai kelainan yang merupakan diagnosis banding
tetanus dirangkum dalam tabel 5.11

Tabel 2.1 Diagnosis Banding Tetanus11

Penyakit Gambaran diferensial


INFEKSI
Meningoensefalitis Demam, trismus ridak ada, penurunan
kesadaran, cairan serebrospinal abnormal.
Rabies
Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya
Lesi orofaring spasme orofaring.
Bersifat lokal, rigiditas atau spasme seluruh
Peritonitis
tubuh tidak ada.
KELAINAN METABOLIK
Trismus dan spasme seluruh tubuh tidak ada.

10
Tetani
Keracunan striknin Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal,
Reaksi fenotiazin
hipokalsemia.
PENYAKIT SISTEM SARAF
Relaksasi komplit diantara spasme.
PUSAT Distonia, menunjukkan respon dengan
Status epileptikus
difenhidramin.
Perdarahan atau tumor
(SOL) Penurunan kesadaran.
KELAINAN PSIKIATRIK Trismus tidak ada, penurunan kesadaran.
Histeria
KELAINAN Trismus inkonstan, relaksasi komplit antara
MUSKULOSKELETAL spasme.
Trauma
Hanya lokal.

2.8 Penatalaksanaan
Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan
napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai
berat risiko spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga perlu dilakukan
intubasi profilaksis. Rapid sequence intubation dengan midazolam dan
suksinilkolin dianggap aman dan efektif untuk mendapatkan patensi jalan napas.
Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris yang berlebihan. Beberapa
rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus memiliki ruangan yang
khusus.11
Pasien ditempatkan di ruang perawatan khusus yang sunyi dan gelap untuk
meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat memicu spasme paroksismal.
Pasien harus diistirahatkan dengan tenang untuk membatasi stimulus periferal dan
diposisikan secara hati-hati untuk mencegah pneumonia aspirasi. Pemberian
cairan intravena dilakukan dan hasil pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah
penting untuk menentukan terapi.11,12
Tiga tujuan utama penatalaksanaan, yaitu: (1) menetralisir toksin dalam
sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan (3) memberikan terapi
suportif sampai tetanospasmin yang berikatan pada neuron dimetabolisme.13
Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan human
tetanus immunoglobulin (HTIG). Belum ada konsensus mengenai dosis tepat
HTIG untuk tetanus.11 Bhatia menyarankan pemberian dosis tunggal 3000-6000
IU secara intramuskular, sedangkan dosis yang disarankan dalam formularium

11
nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU.16 Waktu paruh HTIG sekitar 23 hari
sehingga tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh diberikan lewat jalur
intravena karena mengandung anti complementary aggregates of globulin yang
dapat mencetuskan reaksi alergi.11
Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang
berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000
IU antitoksin dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan
secara intravena, pemberian harus selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang
tersisa (20.000 IU) diberikan secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS
berasal dari serum kuda sehingga berpotensi besar menimbulkan reaksi
hipersensitivitas sehingga pemberiannya harus didahului oleh skin test yaitu 0,1
mL ATS diencerkan menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan
1:10 kemudian diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap
tetanospasmin yang belum memasuki sistem saraf.14,15
Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan
debridemen luka. Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB
per hari dibagi 2-4 dosis) dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G
merupakan antagonis reseptor GABA sehingga dapat bekerja secara sinergis
dengan tetanospasmin. Saat ini Metronidazole merupakan antibiotik pilihan
pertama untuk tetanus. Dosis Metronidazole adalah 500 mg setiap 6 jam diberikan
melalui jalur intravena atau per oral selama 10-14 hari.14,15
Antibiotik yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap Metronidazole
adalah Doksisiklin 100 mg setiap 12 jam selama 7-10 hari. Makrolida,
Klindamisin, Sefalosporin, dan Kloramfenikol juga efektif Pada perawatan luka
dilakukan debridemen luka dengan membuang benda asing, eksisi jaringan
nekrotik, serta irigasi luka. Larutan hidrogen peroksida (H 2O2) dapat digunakan
dalam perawatan luka. Perawatan luka dilakukan 1-2 jam setelah pemberian
HTIG atau ATS dan antibiotik. 14,15
Perawatan suportif meliputi sedasi, blokade neuromuskuler, dan manajemen
instabilitas autonomik. Sedasi secara efektif mengatasi spasme otot dan rigiditas.
Benzodiazepin seperti midazolam dan diazepam merupakan obat lini pertama
untuk mencapai sedasi. Dosis benzodiazepin yang digunakan dapat mencapai 100
mg/24jam intravena. Antikonvulsan seperti fenobarbital dan secobarbital yang
meningkatkan aktivitas GABA juga dapat memberikan efek sedasi dan digunakan

12
dengan dosis awal 1.5-2.5 mg/kgBB untuk anak atau 100-150 mg untuk dewasa
diberikan intramuskular. Dosis pemeliharaan harus dititrasi. 14,15
Apabila spasme menjadi lebih berat atau lebih sering dapat digunakan
fenobarbital 120-200 mg intravena dan ditambahkan diazepam dalam dosis
terbagi sampai 120 mg/hari diberikan intravena. Klorpromazin dosis 4-12 mg
untuk bayi atau 50-150 mg untuk dewasa diberikan setiap 4-8 jam dapat
digunakan untuk mengendalikan kejang tetani.13,16
Morfin memiliki efek sentral yang dapat meminimalisir efek tetanospasmin.
Meskipun morfin merupakan pilihan yang potensial sebagai sedatif kerja pendek
dan analgesik penggunaannya terbatas karena harga yang mahal dan berkaitan
dengan beberapa efek samping. Propofol juga telah digunakan dalam manajemen
tetanus tetapi memiliki keterbatasan karena untuk mencapai konsentrasi plasma
yang adekuat membutuhkan ventilasi mekanis.16
Obat lain yang dapat digunakan untuk mengontrol spasme adalah
magnesium sulfat dan baklofen. Magnesium bekerja sebagai antagonis kalsium
dan dalam penggunaannya harus dimonitor refleks patella, respiratory rate, serta
tanda-tanda hipokalsemia seperti tanda Chvostek dan Trousseau yang positif.
Pemberiannya didahului dengan loading dose 5 mg diberikan selama 20 menit
diikuti maintenance dose 2 gram/jam. Magnesium sulfat tidak boleh digunakan
pada pasien dengan gagal ginjal berat. Baklofen merupakan agonis GABA
fisiologis yang menstimulasi reseptor GABA post-sinaptik sehingga
mengembalikan inhibisi fisiologis motorneuron.16
Pemberiannya secara intratekal dengan dosis bervariasi antara 1000 mcg
untuk orang dewasa < 55 tahun, 500 mcg < 16 tahun, dan 800 mcg > 55 tahun;
diberikan awalnya dengan bolus intermiten pada interval 10-20 jam tergantung
respon pasien atau diberikan dengan infus kontinyu apabila dibutuhkan.
Dantrolene merupakan relaksan otot yang bekerja langsung dengan menginhibisi
pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma dan secara langsung
mempengaruhi coupling eksitasi-kontraksi.16
Dantrolene telah digunakan dalam beberapa kasus, tetapi Dantrolene belum
direkomendasikan untuk penggunaan rutin karena belum banyak penelitian
melibatkan obat ini, harga yang mahal, dan potensi efek hepatotoksik. Spasme
otot yang tidak dapat dikontrol dengan benzodiazepin harus ditangani dengan
pemberian agen blokade neuromuskuler, diantaranya atrakurium dan vekuronium.

13
Vekuronium memiliki sifat kardiostabil.11,16
Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang
disebabkan oleh instabilitas autonomik. Henti jantung tiba-tiba sering terjadi dan
diperkirakan dipicu oleh kadar katekolamin yang tinggi dan efek langsung toksin
terhadap miokardium. Aktivitas simpatetik yang memanjang dapat berakhir
dengan hipotensi dan bradikardia. Overaktivitas parasimpatetik dapat
menyebabkan henti jantung, yang telah dikaitkan dengan efek langsung perusakan
nukleus vagal oleh toksin. Atropin dosis tinggi (hingga 100 mg/jam) dianjurkan
apabila bradikardia merupakan manifestasi utama.16
Sedasi merupakan tindakan awal untuk mengendalikan instabilitas
autonomik terutama menggunakan morfin yang efektif menurunkan output
katekolamin. Blokade beta, meskipun secara teoritis berguna mengontrol episode
hipertensi dan takikardia, berhubungan dengan kolaps kardiovaskular tiba-tiba,
edema pulmoner, dan kematian. Obat lain yang telah digunakan termasuk klonidin
dan magnesium. Klonidin merupakan agonis 2-adrenergik yang menurunkan
aliran simpatis, tekanan arteri, denyut jantung, dan pelepasan katekolamin.
Klonidin dapat diberikan secara oral dan parenteral.16
Magnesium telah meningkat penggunaannya sebagai terapi multimodal
tetanus. Magnesium bekerja melalui beberapa cara diantaranya memblok
pelepasan katekolamin dari saraf dan medula adrenal dan mengurangi respon
reseptor terhadap katekolamin. Magnesium juga merupakan bloker
neuromuskular presinaptik sehingga berguna untuk mengontrol rigiditas dan
spasme. Konsentrasi kalsium plasma harus dimonitor selama pemberian
magnesium karena dapat menghambat pelepasan hormon paratiroid.16
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah pengaturan diet yang adekuat.
Kebutuhan energi pada tetanus meningkat karena spasme berulang dan
overaktivitas sistemik. Pemberian nutrisi harus dimulai sejak dini, idealnya
melalui jalur enteral untuk mempertahankan integritas gastrointestinal. Pada
penderita tetanus diberikan diet cukup kalori dan protein melalui jalur enteral
maupun parenteral. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan
menelan. Selama pasase usus baik diberikan nutrisi enteral. Apabila ada trismus
makanan dapat diberikan lewat pipa lambung maupun gastrostomi.16,17,18,19
Penderita yang sembuh dari tetanus tidak memiliki imunitas terhadap infeksi
tetanus ulangan karena jumlah tetanospasmin yang dibutuhkan untuk

14
menyebabkan tetanus tidak cukup untuk menstimulasi sistem imunitas tubuh.
Pasien yang sembuh dari tetanus harus memulai atau melengkapi imunisasi aktif
dengan tetanus toksoid selama proses penyembuhan.20

2.9 Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari
toksin seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau
komplikasi sekunder akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif
seperti ulkus dekubitus, pneumonia akibat ventilasi jangka panjang, stress ulcer,
dan fraktur serta ruptur tendon akibat spasme otot. Berbagai komplikasi akibat
tetanus dirangkum dalam tabel 6.11,20

Tabel 2.2 Komplikasi Tetanus11,20


Sistem organ Komplikasi
Jalan napas Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.
Respirasi Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi
akibat ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya
pneumonia), komplikasi trakeostomi.
Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia,
asistol, gagal jantung.
Renal Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Gastrointestinal Stasis, ileus, perdarahan.
Muskuloskeleta Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat
l spasme.
Lain-lain Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom
disfungsi multiorgan.

2.10 Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,
periode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain
yang menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai sistem skoring yang menilai
berat penyakit dapat menentukan prognosis. Sistem skoring yang dapat digunakan
antara lain skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Tingkat mortalitas mencapai
lebih dari 50% di negara-negara berkembang dengan gagal napas menjadi
penyebab utama mortalitas dan morbiditas. Mortalitas lebih tinggi pada kelompok

15
usia neonatus dan > 60 tahun.11

2.11 Pencegahan
Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah
tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif. 19
Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang
bertujuan merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat
dimulai sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT.
Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal imunisasi dasar
untuk profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien.19

Tabel 2.3 Jadwal Imunisasi Aktif terhadap Tetanus19


Bayi dan anak normal. Imunisasi DPT pada usia 2,4,6,dan 15-18 bulan.
Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan
injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.
Bayi dan anak normal DPT diberikan pada kunjungan pertama, kemudian 2 dan 4
sampai usia 7 tahun bulan setelah injeksi pertama.
Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah injeksi pertama.
yang tidak diimunisasi
Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
pada masa bayi awal. Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan
injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.
Usia 7 tahun yang Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada
belum pernah kunjungan pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama, dan
diimunisasi. 6-12 bulan setelah injeksi kedua.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Ibu hamil yang belum Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus
pernah diimunisasi. menerima 2 dosis injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih baik
pada 2 trimester terakhir).
Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah
injeksi ke-2 untuk melengkapi imunisasi.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah
diimunisasi tanpa perawatan obstetrik yang adekuat,
neonatus tersebut diberikan 250 IU human tetanus
immunoglobulin. Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga

16
harus diberikan.

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan
kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.
Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus
dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hati-
hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang
rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka.
Tindakan yang demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus. 11

Tabel 2.4. Klasifikasi Luka menurut American College of Surgeon Committee


on Trauma (1995)11

Tampilan Klinis Luka Rentan Tetanus Luka Tidak Rentan


Tetanus
Usia luka > 6 jam < 6 jam
Konfigurasi Bentuk stellate, avulsi Bentuk linier, abrasi
Kedalaman > 1 cm 1 cm
Mekanisme cidera Misil, crush injury, luka Benda tajam (pisau,
bakar, frostbite kaca)
Tanda-tanda infeksi Ada Tidak ada
Jaringan mati Ada Tidak ada
Kontaminan (tanah, feses, Ada Tidak ada
rumput, saliva, dan lain-
lain)
Jaringan Ada Tidak ada
denervasi/iskemik

Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma


adalah reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek
samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid.
Berikut adalah panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma.
Individual dengan faktor risiko status imunisasi tetanus yang inadekuat (imigran,

17
kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus diterapi
sebagai yang riwayatnya tidak diketahui. 21

Tabel 2.5 Panduan Pemberian Profilaksis Tetanus Pada Pasien Trauma21


Riwayat Imunisasi Luka Tidak Rentan
Luka Rentan Tetanus
Tetanus Tetanus
Sebelumnya
TT HTIG TT HTIG
(Dosis)
Tidak diketahui atau Ya Ya Ya Tidak
<3
3 dosis Tidak Tidak Tidak Tidak
(kecuali 5 (kecuali
tahun sejak 10 tahun
dosis terakhir) sejak dosis
terakhir)

Untuk anak 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis
profilaksis HTIG yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan intramuskular.
Apabila diberikan imunisasi tetanus (TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan,
gunakan alat injeksi yang berbeda dan tempat injeksi yang terpisah. Apabila tidak
tersedia HTIGdapat digunakan anti tetanus serum (ATS) yang berasal dari serum
kuda dengan dosis 3000-6000 IU. ATS lebih sering menimbulkan reaksi
hipersensitivitas dibandingkan TIG karena mengandung protein asing bahkan
pada pasien dengan tes kulit atau konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden
5-30%). ATS hanya diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus
melebihi reaksi yang potensial terhadap produk ini.13,21
Seseorang yang pernah menderita tetanus tidak imun terhadap serangan
ulangan, artinya penderita tersebut memiliki kemungkinan yang sama untuk
menderita tetanus seperti orang lain yang tidak pernah diimunisasi. Tidak
terbentuknya kekebalan pada penderita setelah sembuh dikarenakan toksin yang
masuk ke dalam tubuh tidak mampu merangsang pembentukan antitoksin.
Tetanospasmin merupakan toksin yang sangat poten sehingga dalam konsentrasi
yang sangat kecil dapat menimbulkan tetanus. Jumlah toksin yang masuk ke

18
dalam tubuh dan menimbulkan tetanus tidak cukup untuk merangsang imunitas
aktif penderita.18
Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang yang
tidak memiliki riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang
karakteristik sebagai respon imun sekunder pada beberapa orang yang diberikan
imunisasi tetanus toksoid untuk pertama kali. Hal ini disebut sebagai imunitas
alami. Imunitas alami dapat terjadi karena C. tetani telah diisolasi dari feses
manusia. Bakteri yang berada di dalam lumen usus merangsang terbentuknya
imunitas pada host. Imunitas alami dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus
tidak tinggi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi tetanus tidak
terlaksana dengan baik.18

BAB III
KESIMPULAN

19
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani.
Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak
eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular
junction) dan saraf otonom. Dilaporkan bahwa kasus tetanus yang terbanyak pada
umur 1-5 tahun, insiden tertinggi pada anak di atas umur 5 tahun. Perkiraan angka
kejadian umur ratarata pertahun meningkat sesuai kelompok umur, peningkatan
7 kali lipat pada kelompok umur 519 tahun dan 2029 tahun, dan peningkatan 9
kali lipat pada kelompok umur 3039 tahun dan umur lebih 60 tahun.
Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni; tetanus lokal
dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten pada daerah tempat dimana luka
terjadi, tetanus sefalik bentuk yang jarang dari tetanus, dan tetanus generalisata
yang paling banyak dikenal. Tetanus sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal oleh karena gejala timbul secara diam-diam, dan neotal tetanus biasanya
disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
pertolongan persalinan.
Profilaksis tetanus sebelum terjadi pajanan dengan pemberian vaksin
tetanus. Tetanus toxoid tersedia dalam kombinasi dengan difteri baik pada anak
(DT) maupun pada dewasa (Td). Selain itu terdapat juga dalam kombinasi dengan
difteri dan pertusis aseluler (DTaP) maupun pertusis whole cell (DTwP).
Profilaksis paska pajanan berguna untuk mencegah perkembangan dari penyakit
dan pada beberapa kasus dapat mengurangi transmisi sekunder ke orang-orang
yang berpotensi terinfeksi. Orang yang terpapar sumber dari penularan penyakit
harus dikonsultasikan ke dokter untuk diperiksa dengan tepat dan menilai apakah
perlu mendapat profilaksis. Hal-hal yang dapat dilakukan bila terjadi pajanan
yakni; pembersihan luka, manajemen apabila luka berpotensi tetanus yaitu dengan
memberikan vaksin tetanus (DT dan/atau TT) dan immunoglobulin tetanus, dan
pemberian antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO Technical Note. Current recommendations for treatment of tetanus


during humanitarian emergencies. 2010: 1-6.

20
2. Cook T., Protheroe, Handel. Tetanus: a review of the literature. British Journal
of Anaesthesia. 2001 (87): 477-87.

3. Mardjono,mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat,Jakarta :2004,49-51

4. Sudoyo,Aru W. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Penerbit Departemen


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :Jakarta.

5. (Richard F. Edlich, dkk. 2009.Management and Prevention of Tetanus. Mc


Graw Hill. USA)

6. Sudoyo,Aru W. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Penerbit Departemen


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :Jakarta.

7. Departemen Kesehatan Masyarakat, Biro Pengendalian Penyakit Menular.


Tetanus. Jurnal (Online). 2006 : Diambil
dari : http://www.mass.gov/Eeohhs2/docs/dph/disease_reporting/guide/tetanus
.pdf

8. Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,


Ed.4, EGC, Jakarta

9. CDC. Epidemiology And Prevention Of Vaccine-Preventable Disease 13th


Edition.tetanus [Internet]. 2015 Apr [cited 2016 October 10]. Available from:
www.cdc.gov/vaccines/pubs/pimkbook/downloads/tetanus.pdf

10. Raka. Sudewi, dkk. Infeksi pada Sistem Saraf. Kelompok Studi Neuro Infeksi.
2011: 135-139

11. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India. 2002;50:398-


407.

12. Dittrich KC, Keilany B. Tetanus: lest we forget. Canadian Journal of


Emergency Medicine. 2001;3(1):47-50.

13. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et
al. Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of
Medical Implants. 2003;13(3):139-54.

14. Ritarwan K. 2004. Tetanus.


(Online).http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-
kiking2.pdf, diakses 10 Oktober 2016.

15. Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: TetanusA Health
Threat After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern Med.
2011;154:329-35.

21
16. Taylor AM. Tetanus. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care &
Pain. 2006;6(3):101-4.

17. Cottle LE, Beeching NJ, Carrol ED, Parry CM. 2011. Tetanus. (Onine)
https://online.epocrates.com/u/2944220/Tetanus+infection, diakses 10 Oktober
2016.

18. Ritarwan K. 2004. Tetanus.


(Online).http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-
kiking2.pdf, diakses 11 Oktober 2016.

19. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC;
2005.

20. Ang J. 2003. Tetanus. (Online).


www.chmkids.org/upload/docs/imed/TETANUS.pdf, diakses 10 Oktober
2016.

21. Ross SE. Prophylaxis Against Tetanus in Wound Management. (Online).


http://www.facs.org/trauma/publications/tetanus.pdf, diakses 8 Oktober 2016.

22

Anda mungkin juga menyukai