Anda di halaman 1dari 11

BUDAYA MENGINANG TERHADAP PENCEGAHAN

TERJADINYA KARIES GIGI

MARIA YOSEFA SEKAR WIRATI (005)

MADE KRISTOMI YOGANANDA (014)

IRANI EDELTRUDIS MARTHA MISA (056)

GUSTI AYU PUTU DINA LAKSMI DEWI (065)

WULANDRI (069)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS


MAHASARASWATI DENPASAR
2015
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDHULUAN

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan... 3
1.4 Manfaat.... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA . 4

BAB 3 HIPOTESIS . 6

BAB 4 METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian .. 7

B. Identifikasi Variabel ...7

C. Definisi Operasional ...........................................................................................................7

D. Populasi / sample 8

E. Lokasi dan waktu penelitian ..8

F. Instrumen Penelitian ..8

G. Jalannya Penelitian 8

H. Analisis Data 9

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah Keanekaragaman floristik di kawasan timur Indonesia beserta keanekaragaman
budayanya cukup menarik, namun belum banyak yang diungkapkan termasuk di kabupaten
Tobelo (Halmahera Utara). Kebiasaan menginang sudah dilakukan oleh masyarakat
Indonesia secara luas sejak zaman dahulu, baik di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Maluku maupun
di Papua (Hamzuri dkk, 1997). Menginang atau menyirih adalah istilah yang dipakai untuk
menyebut kebiasaan mengunyah paduan daun sirih, pinang dan kapur. Asal usul dari tradisi
menyirih tidak diketahui dengan pasti sejak kapan tradisi ini dimulai, akan tetapi
diperkirakan sudah ada sejak kurang lebih 2000 tahun silam. Tradisi ini diperkirakan berasal
dari kebudayaan India. Selain dari India, sirih juga sudah lama dikenal oleh masyarakat di
Asia Tenggara, seperti di Malaysia, tanaman ini disebut sireh dan kemudian menyebar ke
Indonesia.
Bukti arkeologi tertua ditemukan pada Gua Roh di bagian utara barat Thailand, yang
diperkirakan sisa sisa tanaman ini berusia sejak 10.000 SM (Rooney F. Dawn, 1995).
Kebiasaan ini juga berfungsi sebagai salah satu cara untuk merawat gigi. Diketahui bahwa
daun sirih (Piper betle Linn), mengandung kandungan minyak atsiri yang berfungsi sebagai
zat antibakteri. Masyarakat Indonesia sudah sejak lama mengenal daun sirih sebagai bahan
untuk menginang dengan keyakinan bahwa daun sirih dapat menguatkan gigi,
menyembuhkan luka-luka kecil di mulut, menghilangkan bau mulut, menghentikan
pendarahan gusi, dan sebagai obat kumur. Daun sirih juga digunakan sebagai antimikroba
terhadap Streptococcus mutans yang merupakan bakteri yang paling sering mengakibatkan
kerusakan pada gigi (Hardiani Dyah Astuti dkk., 2007) Komponen utama minyak atsiri
terdiri dari fenol dan senyawa turunannya. Salah satu senyawa turunan itu adalah katekin
yang memiliki daya bakterisidal yang sangat kuat. Senyawa polifenol tersebut dapat
menghambat aktivitas enzim glukosiltransferase dari Streptococcus mutans ( Dhika T.S.,
2007). Fenol merupakan zat pembaku daya antiseptic obat lain sehingga daya antiseptik
dinyatakan dengan koefisien fenol. Obat ini bukan antiseptic yang kuat. Banyak obat lain
yang mempunyai daya antiseptik yang kuat. Dalam kadar 0,01-1%, fenol bersifat
bakteriostatik. Larutan 1,6% bersifat bakterisid, yang dapat megadakan koagulasi protein
(Rianto Setiabudy, 2007). Senyawa fenol memang telah dikenal dan telah lama digunakan
sebagai bahan antiseptik, disinfektan, dan bahan pengawet, Fenol bekerja dengan
mengginduksi kebocoran progresif dari struktur intraseluler bakteri, termasuk pelepasan ion
K yang merupakan langkah pertama kerusakan membran bakteri (Gerald McDonnell, 1999).
Buah pinang juga memiliki efek antibakteri. Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti
arekolin (C8H13NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine, tanin,
flavan, senyawa fenolik, asam galat, getah, lignin, minyak atsiri, serta garam. Biji buah
pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu tannin terkondensasi yang termasuk dalam
golongan flavonoid. Proantosianidin mempunyai efek antibakteri, antivirus, antikarsinogenik,
anti-inflamasi, anti-alergi, dan vasodilatasi. Alkaloida seperti arekaina dapat mengakibatkan
adiksi dan bersifat racun sehingga dapan menimbulkan sensasi tenang saat dikunyah (Abdul
R.F, 2008).
Selain itu, kapur sirih yang digunakan bersama-sama pinang dan sirih juga memiliki
kandungan kalsium yang sangat tinggi, yang mampu mencegah proses demineralisasi gigi
dan juga bersifat alkalis yang berperan untuk menjaga keseimbangan pH mulut (Sudirman,
2010). Budaya menginang dipercaya dapat mencegah karies gigi. Hal ini disebabkan karena
adanya pengaruh dari kandungan bahan-bahan menginang yang membantu mencegah karies
gigi. Karies gigi adalah penyakit kronis regresif dari struktur gigi, dimana gigi mengalami
demineralisasi. Penyebab karies gigi bermacam-macam, mulai dari pengaruh makanan yang
mengandung sukrosa, kerja bakteri flora normal mulut, efek sistem pertahanan tubuh
terhadap pembentukan karies gigi, dan juga menyangkut masalah waktu karena memerlukan
waktu yang lama dalam perkembangannya. Atas dasar penelitian-penelitan sebelumnya
tentang manfaat daun sirih (Piper betle linn) yang memiliki kandungan fenol serta efektif
digunakan sebagai bahan antiseptik, peneliti tertarik untuk membandingkan efek tradisi
menginang dan tidak menginang terhadap karies gigi masyarakat Desa Grokgak Kecamatan
seririt yang mempercayai tradisi menginang dapat mengurangi karies gigi pada masyarakat.

1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh budaya menginang untuk mencegah karies
gigi di desa Grokgak , kecamatan Seririt Singaraja
1.3 Manfaat
Memberikan informasi tambahan mengenai efek dari budaya menginang yang dapat
mempengaruhi karies gigi masyarakat di desa Grokgak , kecamatan Seririt Singaraja
sekaligus sebagai sumber informasi untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan
penelitian ini.
1.4 Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh budaya menginang masyarakat desa Grokgak , kecamatan Seririt
Singaraja terhadap pencegahan karies gigi?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kebiasaan dari menginang berfungsi sebagai salah satu cara untuk merawat gigi. Diketahui
bahwa daun sirih (Piper betle Linn), mengandung kandungan minyak atsiri yang berfungsi
sebagai zat antibakteri. Masyarakat Indonesia sudah sejak lama mengenal daun sirih sebagai
bahan untuk menginang dengan keyakinan bahwa daun sirih dapat menguatkan gigi,
menyembuhkan luka-luka kecil di mulut, menghilangkan bau mulut, menghentikan pendarahan
gusi, dan sebagai obat kumur.Daun sirih juga digunakan sebagai antimikroba terhadap
Streptococcus mutans yang merupakan bakteri yang paling sering mengakibatkan kerusakan
pada gigi (Hardiani Dyah Astuti dkk., 2007) .
Budaya menginang dipercaya dapat mencegah karies gigi. Hal ini disebabkan karena
adanya pengaruh dari kandungan bahan-bahan menginang yang membantu mencegah karies gigi.
Karies gigi adalah penyakit kronis regresif dari struktur gigi, dimana gigi mengalami
demineralisasi. Penyebab karies gigi bermacam-macam, mulai dari pengaruh makanan yang
mengandung sukrosa, kerja bakteri flora normal mulut, efek sistem pertahanan tubuh terhadap
pembentukan karies gigi, dan juga menyangkut masalah waktu karena memerlukan waktu yang
lama dalam perkembangannya.
Buah pinang juga memiliki efek antibakteri. Biji buah pinang mengandung alkaloid,
seperti arekolin (C8H13NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine, tanin,
flavan, senyawa fenolik, asam galat, getah, lignin, minyak atsiri, serta garam. Biji buah pinang
mengandung proantosianidin, yaitu suatu tannin terkondensasi yang termasuk dalam golongan
flavonoid. Proantosianidin mempunyai efek antibakteri, antivirus, antikarsinogenik, anti-
inflamasi, anti-alergi, dan vasodilatasi. Alkaloida seperti arekaina dapat mengakibatkan adiksi
dan bersifat racun sehingga dapan menimbulkan sensasi tenang saat dikunyah (Abdul R.F, 2008).

Selain itu, kapur sirih yang digunakan bersama-sama pinang dan sirih juga memiliki
kandungan kalsium yang sangat tinggi, yang mampu mencegah proses demineralisasi gigi dan
juga bersifat alkalis yang berperan untuk menjaga keseimbangan pH mulut (Sudirman, 2010).

Streptococcus mutans diduga sebagai bakteri penyebab utama karies gigi. Bakteri ini
dipercaya dapat mengganggu keseimbangan asam pada rongga mulut. Streptococcus mutans
memiliki kemampuan untuk memfermentasi sukrosa dan mensintesis glukan dengan enzim
glukosiltrasferase yang kemudian menghasilkan senyawa asam laktat. Hal ini menyebabkan
terjadinya penurunan pH mulut di bawah 5,5. Penurunan pH mulut ini akan mengakibatkan
proses demineralisasi menjadi lebih cepat daripada remineralisasi, sehinga dapat mengakibatkan
terjadinya karies gigi (Cawson R.A. and Owdel, 2008).

Efek dari bahan menginang dipercaya dapat menurunkan resiko karies gigi, yang mana
daun sirih (Piper Betel Linn) dan buah pinang (Areca catechu) sebagai bahan pokok menginang
dipercaya memiliki kandungan fenol dan flavanoid yang terbukti dapat mengontrol pertumbuhan
koloni bakteri dalam mulut sehingga sering digunakan sebagai terapi ataupun pencegahan karies
gigi pada masyarakat.
Komponen yang terurai dari daun sirih (Piper betle Linn) menurut Supartiah (1985) yaitu
eugenol (26,8%-42,5%), eugenol metal eter (8,2% - 15,85%) kariofilen (6,2% - 11,9%), kavikol
(5,1% - 8,2%) dan antifungi karvakol (4,8%) (Hardiani Dyah Astuti, dkk., 2007).
Berdasarkan efek dari bahan-bahan menginang yang telah dijelaskan di atas, dan adanya
keprcayaan bahwa budaya menginang mampu mempengaruhi aktifitas bakteri rongga mulut
yang mampu menghambat terjadinya karies gigi.

BAB III
HIPOTESIS

Kebiasaan menginang dapat menurunkan angka kejadian karies gigi. Hal ini
disebabkan karena adanya pengaruh dari kandungan bahan-bahan menginang yang
membantu mencegah karies gigi. Karies gigi adalah penyakit kronis regresif dari struktur
gigi, dimana gigi mengalami demineralisasi. Penyebab karies gigi bermacam-macam,
mulai dari pengaruh makanan yang mengandung sukrosa,

kerja bakteri flora normal mulut, efek sistem pertahanan tubuh terhadap
pembentukan karies gigi, dan juga menyangkut masalah waktu karena memerlukan
waktu yang lama dalam perkembangannya. Atas dasar penelitian-penelitan sebelumnya
buah pinang yang dikombinasi dengan manfaat daun sirih (Piper betle linn) yang
memiliki kandungan fenol serta efektif digunakan sebagai bahan antiseptik, peneliti
tertarik untuk membandingkan efek tradisi menginang dan tidak menginang terhadap
karies gigi masyarakat Desa Grokgak kecamatan seririt yang mempercayai tradisi
menginang dapat mengurangi karies gigi pada masyarakat.
Daun sirih digunakan sebagai antimikroba terhadap Streptococcus mutans yang
merupakan bakteri yang paling sering mengakibatkan kerusakan pada gigi (Hardiani
Dyah Astuti dkk., 2007) . Kapur sirih yang digunakan bersama-sama pinang dan sirih
juga memiliki kandungan kalsium yang sangat tinggi, yang mampu mencegah proses
demineralisasi gigi dan juga bersifat alkalis yang berperan untuk menjaga keseimbangan
pH mulut (Sudirman, 2010). Kebiasaan menginang dapat mempengaruhi terhambatnya
pembentukan karies .

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian Jenis Penelitian


Dalam penelitian ini digunakan desain penelitian case kontrol karena penelitian
analitik ini yang menyangkut bagaimana factor risiko dipelajari dengan
menggunakan pendekatan retrospective. Yang dapat dipergunakan untuk mencari
hubungan seberapa jauh factor risiko mempengaruhi terjadinya penyakit.

4.2 Identifikasi Variable


Penelitian ini terdiri Dari dua variable , yaitu :
1. Variable bebas :Budaya menginang.
2. Variable terikat : Karies gigi.

4.3 Definisi Opersional


Nginang adalah sebutan dari tradisi makan sirih. Istilah popular yang dipakai
untuk makan sirih adalah bersugi, bersisik, menyepah, nyusur, dan nginang
(Moejianto, Rini Damayanti: hal 2-3). Jadi budaya nginang adalah sebuah kebiasaan
memakan sirih dan bahan campurannya yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat.
Biasanya, sebelum dimakan sirih diramu terlebih dahulu dengan tembakau, kapur,
gambir, cengkih, dan buah pinang. Dengan melakukan nginang, pelaku nginang
merasa gigi mereka menjadi kuat serta mulut menjadi segar. hal ini dilakukan sebagai
bahan pengganti pasta gigi. Karena pada zaman dahulu belum diproduksi pasta gigi,
sehingga masyarakat menggunakan nginang sebagai salah satu bentuk merawat gigi
dan mulut.. Menginang memiliki banyak manfaat dalam kesehatan gigi dan mulut .
Adanya bahan campuran berupa tembakau yang mengandung warna merah membuat
gigi menjadi merah serta ludah menjadi merah . Kebiasaan ini semakin berkembang
dengan penambahan berbagai bahan yaitu tembakau, buah pinang, kapur sirih, gambir
dan disebut dengan istilah nginang. Pencegahan karies gigi dpt dilakukan dengn cara
sikat gigi dengan pasta gigi berfluoride, lakukan flossing sekali dalam sehari untuk
mengangkat plak dan sisa makanan yang tersangkut di antara celah gigi-geligi.
Hindari makanan yang terlalu manis dan lengket, juga kurangi minum minuman yang
manis sepertisoda.Lakukan kunjungan rutin ke dokter gigi tiap 6 bulan sekali.

4.4 Populsi / Sample

4.4.1 Populasi : Orang Tua yang berada di wilayah desa Grokgak , kecamatan
Seririt.

4.4.2 Sample : 32 Orang Tua yang menginang

4.5 Lokasi Penelitian


4.5.1 Di wilayah desa Grokgak , kecamatan Seririt , Singaraja
4.5.2 Waktu penelitian : 2 Januari 2015

4.6 Instrumen Penelitian


4.6.1 kuisioner
4.6.2. indeks karies (DMF-T)
4.6.3. alat oral diagnostic (OD)
4.7 Jalannya Penelitian
1) Peneliti memperkenalkan diri, menginformasikan tujuan dilakukannya
penelitian.
2) Mempersiapkan alat dan bahan serta instrument penelitian.
3) Menjelaskan kepada seluruh responden mengenai penelitian yang akan
dilakukan.
4) Menginformasikan dampak positif dan negatif dari pengaruh budaya
menginang terhadap kejadian karies gigi bagi para lansia di desa Grokgak ,
kec. Seririrt Singaraja .
5) Menunggu responden selama satu bulan untuk observasi lanjutan .
6) Setelah satu bulan observasi tentang pengaruh budaya menginang terhadap
karies gigi pada lansia.
7) Bandingkan dan laporkan .

4.8 Anlisis Data

Pada penelitian ini menggunakan Uji Komparasi dengan teknik T-tes


Independen / unpired t-tes untuk menguji apakah adanya perbedaan frekuensi
karies gigi antara lansia yang menginang dengan lansia yang tidak menginang .
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 2004, Sirih, http://www.pnm.my/sirih_pinang/sp.sirih.htm


2. Suproyo, H. 1985, Pemeriksaan mikrobiologis saku gusi dan penyakit periodontal pada
pengunyah sirih, Kongres Nasional XVI PDGI, Bali, h. 76-81.
3. Anonim, 2004, Daun sejuta khasiat, http://www.kampus.com/kampus_cetak/0312/19/
jendela/755332.htm.
4. Anonim, 2004, Daun sirih sebagai antibakteri pasta
gigi, http://www.pikiranrakyat.com /cetak/0603/01/1001.htm.
5. Budiharto, 1989, Efektivitas pengobatan sariawan dengan menggunakan daun saga dan
daun sirih. Jakarta, h. 287-9.
6. Schuurs, A. H. B., Patologi gigi geligi, Gadjahmada University Press, Yogyakarta, h. 220,
230, 269.
7. Lu, C.t., Lan, S. J., Hsieh, C. C., Yang, M. J., Ko Y. C., Tsai, C. C. Yen, Y. Y.,
1993, Prevalence and characteristics of areca nut chewers among junior high school
student in Changhua country, Taiwan.
8. Anonim, 2005,
Arecoline, http://www.omikrononline.de/cyberchem/cheminfo/arecoline.htm.
9. Mostehy, M. R. E., Al-Jassem, A. A. El Mahmed B. E., 2005, Oral submucous fibrosis
review and case report, The Saudi Dental Journal, h. 60-4

Anda mungkin juga menyukai