PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
2.1 Definisi Hemoptisis
Batuk darah atau hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat
perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar
melalui saluran napas bawah laring. Hemoptisis lebih sering merupakan tanda
atau gejala penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan
yang lebih teliti.1
Hemoptisis merupakan salah satu bentuk kegawatan paru yang paling
sering terjadi di antara bentuk-bentuk klinis lainnya. Tingkat kegawatan dari
hemoptisis ditentukan oleh 3 faktor:4
a. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah di dalam
saluran pernapasan. Terjadinya asfiksia ini tidak tergantung pada
jumlah perdarahan yang terjadi, akan tetapi ditentukan oleh reflek
batuk yang berkurang atau terjadinya efek psikis dimana pasien takut
dengan perdarahan yang terjadi.
b. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik (hypovolemic shock). Bila
perdarahan yang terjadi cukup banyak, maka hemoptisis tersebut
digolongkan ke dalam hemoptisis masif walaupun terdapat beberapa
kriteria, antara lain:
1) Kriteria Yeoh (1965) menetapkan bahwa hemoptisis masif terjadi
apabila jumlah perdarahan yang terjadi adalah sebesar 200 cc/24
jam.
2) Kriteria Sdeo (1976) menetapkan bahwa hemoptisis masif terjadi
apabila jumlah perdarahan yang terjadi lebih dari 600 cc/24 jam.
c. Adanya pneumonia aspirasi, yaitu suatu infeksi yang terjadi beberapa
jam atau beberapa hari setelah perdarahan. Keadaan ini merupakan
keadaan yang gawat, oleh karena baik bagian jalan napas maupun
bagian fungsional paru tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya
akibat terjadinya obstruksi total.
2
Penyebab terpenting dari hemoptisis adalah tumor (karsinoma
terutama karsinoma bronkogenik, poliposis bronkus, adenoma, metastasis
endobronkial dari massa tumor ekstratorakal), infeksi (terutama tuberkulosis
paru, abses paru, pneumonia, aspergilloma, bronkhiektasis (terutama pada
lobus atas), infark paru, edema paru (terutama disebabkan oleh mitral
stenosis), perdarahan paru (Sistemic Lupus Eritematosus, Goodpastures
syndrome, Idiopthic pulmonary haemosiderosis, Bechets syndrome), cedera
pada dada/trauma (kontusio pulmonal, transbronkial biopsi), kelainan
pembuluh darah (malformasi arteriovena, Hereditary haemorrhagic
teleangiectasis, bleeding diathesis).2
3
Penyebab hemoptisis secara umum dikategorikan berdasarkan penyebab
yang berasal dari parenkim paru (parenchymal diseases), saluran napas
(airway disease), dan pembuluh darah (vescular dieases).
Perdarahan mungkin berasal dari pembuluh paru-paru kecil atau besar.
Perdarahan yang berasal dari pembuluh darah kecil biasanya menyababkan
perdarahan fokal maupun difus pada alveolar, terutama yang disebabkan oleh
imunologi, vaskulitis, kardiovaskular, dan penyebab terkait coagulasi.
Penyebab perdarahan dari pembuluh besar termasuk infeksi, kardiovaskular,
kongenital, neoplastik, dan vaskulitis.6
4
Gambar 6. Penyebab hemoptisis yang berasal dari pembuluh darah besar6
Dua sistem arteri memasok darah ke paru-paru, yaitu arteri pulmonalis dan
arteri bronkial. Arteri pulmonalis menyediakan 99% darah ke paru-paru dan
terlibat dalam pertukaran udara. Arteri bronkial menyediakan nutrisi untuk airway
ekstra dan intrapulmonal (vasa vorum), tanpa terlibat dalam pertukaran udara.
5
Limpa nodus mediastinum dan saraf, pleura visceral, esofagus, vasa vasorum
aorta, dan vena pulmonalis juga disuplai oleh arteri bronkial.
Anastomosis kapiler berada didekat arteri pulmonalis dan arteri bronkial
sistemik. Ketika sirkulasi pulmonal terganggu (misalnya tromboemboli,
vaskulitis, atau vasokontriksi hipoksia), pasokan darah dari arteri bronkial akan
meningkat perlahan menyebabkan peninkatan tekanan di anastomosis tersebut,
yang menimbulkan hipertrofi pada dinding yang tipis dan menyebabkan pecah
pada alveolus dan bronkus, sehingga menimbulkan hemoptisis.
Dalam kasus hemoptisis berat yang memerlukan terapi secepatnya, sumber
perdarahan berasal dari bronkus sebanyak 90% kasus dan arteri pulmonal
sebanyak 5% kasus. Sedangkan 5% kasus hemoptisis berasal dari arteri sistemik
nonbronkial. Kasus hemoptisis dari vena pulmonal dan vena bronkial sangat
jarang ditemukan.
Sumber hemoptisis yang ditatalaksana berada di arteri bronkial. Mencari
sumber arteri penyebabnya sebelum ditatalaksana sangat membantu karena lebih
dari 30% memiliki asal abnormal yang dapat menyebabkan kegagalan pengobatan
endovaskular. Arteri bronkial umumnya berasal dari bagian descending torachic
arteri. Asal aorta didefinisikan ortotopik jika arteri timbul dari descending aorta
pada vertebra T5-T6 (atau karina). Ketika arteri bronkial berasal dari vertebra
lainnya, termasuk cabang aorta, disebut ektopik. Arteri bronkial ektopik umumnya
timbul dari arkus aorta, arteri subklavia, trunkus brachiocphalica, arteri mamaria
interna, trunkus costocervical, arteri pericardiophrenik, arteri inferior prenikus,
arteri abdominalis dan arteri koronarius. Biasanya, dua atau tiga cabang arteri
bronkial berjalan paralel dengan besar bronkus dan menghasilkan pleksus
peribronchial oleh anastomosing dengan masing-masing lainnya. Arteriol dari
pleksus ini melubangi lapisan otot dan menciptakan pleksus paralel dalam
submukosa bronkial. Dalam kondisi normal diameter arteri bronkial kurang dari
1,5 mm di asal dan kurang dari 0,5 mm lebih distal. Mereka biasanya dianggap
hipertrofik dan menjadi potensi sumber hemoptisis saat diameternya lebih besar
dari 2 mm. Hemoptisis juga mungkin timbul dari arteri sistemik nonbronchial,
yang melalui parenkim paru melalui adhesi transpleural akibat proses inflamasi
6
kronis (TBC, mikosis) atau melalui ligamen paru dan beranastomosis dengan
arteri pulmonalis sirkulasi. Arteri nonbronkial umumnya berasal dari arteri
frenikus inferior, musculofrenikus dan arteri pericardiodiafragmatica, arteri
intercostal porsterior, trunkus thyrocervical, arteri mamaria interna dan arteri
subclavia. Hemoptisis yang berasal dari arteri pulmonal masih mungkin terjadi.
Hemoptisis yang disebabkan ekstra paru bisa disebabkan oleh penyebab
ekstra paru dimana yang paling sering adalah berasal dari sistem kardiovaskuler
yaitu stenosis mitral dan hipertensi, dan yang jarang adalah kegagalan jantung,
infark paru, aneurisma aorta. Penyebab lain hemoptisis yang berasal dari ekstra
paru seperti benda asing, penyakit darah seperti hemofilia, hemosiderosis,
sindrom Goodpasture, eritematosus lupus sistemik, diatesis hemoragik dan
pengobatan dengan obat-obat antikoagulan.3
7
Gambaran klinis stenosis mitral ditentukan oleh tekanan atrium kiri, curah
jantung, dan resistensi vaskular paru. Dengan peningkatan tekanan atrium kiri,
kapasitas paru berkurang sehingga pasien menjadi lebih sesak. Awalnya, sesak
napas hanya terjadi bila denyut jantung meningkat. Bila derajat keparahan lesi
meningkat pasien menjadi ortopnea. Sebelum onset dipsnea proksimal, batuk
nokturnal mungkin merupakan satu-satunya gejala peningkatan tekanan atrium
kiri. Tekanan arteri pulmonalis meningkat paraler dengan penangkatan atrium kiri,
pada sebagian besar pasien menjadi lebih tinggi 10-12mmHg dari tekanan atrium
kiri. Pada beberapa pasien, terutama dengan pasien stenosis mitral berat, tekanan
ateri pulmonalis meningkat secara tidak porposional, yang disebut sebagai
hipertensi paru reaktif. Sehingga akhirnya terjadi keluhan berupa takikardi,
dispnea, takipnea dan otropnea, dan denyut jantung tidak teratur. Bahkan tidak
jarang terjadi gagal jantung, tromboemboli sereberal atau perifer dan batuk darah
(hemoptisis) akibat pecahnya vena bronkialis.7,8
Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis yang rumit yang ditandai
dengan adanya abnormalitas fungsi ventrikel kiri dan kelainan regulasi
neurohormonal, disertai dengan intoleransi kemampuan kerja fisis, retensi cairan
dan memendekkan umur hidup (Packer, IPD, 1996). Gagal jantung adalah
ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Suzanne C, Smeltzer,
2000).9,10
8
Terdapat sejumlah factor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal
jantung, meningkatnya laju metabolisme, hipokria, dan anemia juga dapat
menurunkan suplai oksigen ke jantung, secara sekunder akibat gagal jantung
menurunkan efisiensi keseluruhan fungsi jantung. Gagal jantung sendiri dapat
menyebabkan timbulnya batuk berdarah (hemoptisis), dimana hal tersebut
merupakan salah satu akibat dari komplikasi gagal jantung. Salah satu komplikasi
yang dapat terjadi dari gagal jantung adalah episode tromboembolik.9,10
9
menstruasi. Namun karena berada di lokasi yang tidak semestinya, dapat terjadi
proses peradangan dan perlengketan dengan jaringan sekitar. Selain itu, darah
yang tidak bisa keluar dapat membentuk kista yang berisi darah kecoklatan
(endometrioma).12
10
radang pada dinding pembuluh darah yang mengalami aterosklerosis
mengeluarkan matriks metalloproteinase. Matriks metalloproteinase akan
menghancurkan elastin dan kolagen, sehingga persediaannya menjadi berkurang.
Selain matriks metalloproteinase, faktor lain yang berperan terjadinya aneurisma
adalah plasminogen activator, serin elastase, dan katepsin.
Aneurisma akan mengakibatkan darah yang mengalir pada daerah tersebut
mengalami turbulensi. Keadaan itu menyebabkan deposit trombosit, fibrin, dan
sel-sel radang. Akibatnya, dinding aneurisma akan dilapisi trombus. Lama
kelamaan trombus berlapis tersebut akan membentuk saluran yang sama besar
dengan saluran aorta bagian proksimal dan distal.
Selain itu, interaksi dari banyak faktor lain dapat menjadi predisposisi
pembentukan aneurisma pada dinding aorta. Aliran turbulen pada daerah
bifurkasio dapat ikut meningkatkan insiden aneurisma di tempat-tempat tertentu.
Suplai darah ke pembuluh darah melalui vasa vasorum diduga dapat terganggu
pada usia lanjut, memperlemah tunika media dan menjadi faktor predisposisi
terbentuknya aneurisma.
Apapun penyebabnya, perkembangan aneurisma akan selalu progresif.
Tegangan atau tekanan pada dinding berkaitan langsung dengan radius pembuluh
darah dan tekanan intraarteri. Dengan melebar dan bertambahnya radius
pembuluh darah, tekanan dinding juga meningkat sehingga menyebabkan dilatasi
dinding pembuluh darah. Sehingga angka kejadian ruptur aneurisma juga
meningkat seiring meningkatnya ukuran aneurisma. Selain itu, sebagian besar
individu yang mengalami aneurisma juga menderita hipertensi sehingga
menambah tekanan dinding dan pembesaran aneurisma.
1.6. Diagnosis5
Anamnesis harus fokus pada penentuan asal anatomi perdarahan. Setelah
sumber perdarahan selain saluran pernapasan bagian bawah telah dikecualikan.
Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan penentuan status kardiopulmoner.
11
Gambar 2. Anamnesis pada pasien dengan hemoptisis.
12
Gambar 3. Pemeriksaan fisik pada pasien hemoptisis
13
BAB IV
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
15