Anda di halaman 1dari 97

TUGAS AKHIR

PENGARUH TINGGI MUKA AIR TERHADAP LAJU RESAPAN UNTUK


JENIS TANAH LEMPUNG BERPASIR PADA MODEL DRAINASE
RAMAH LINGKUNGAN

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam rangka penyelesaian Studi Sarjana

Teknik Lingkungan

Disusun Oleh:

SITI NUR ATHIRAH


D12109269

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN
DANKEBUDAYAAN
UNIVERSITAS FAKULTAS
HASANUDDIN TEKNIK
JURUSANTEKNIKSIPIL
PROGRAMSTUDITEKNIKLINGKUNGAN
KAMPUS TELP.(0411)587636FAX.(0411)580505MAKASSAR
TAMALANREA 90245
E-mail:sipil.unhas@yahoo.co.id

LEMBARPENGESAHAN
Tugas Hkhir ini ciiajukanuntuk memenuhisalah satu syarat untuk mendapatkangelar
SarjanaTeknik pada ProgramStudiTeknikLingkunganJurusanTeknikSipil FakultasTeknik
Universitas
HasanuddinMakassar

Judul : "Pengaruh Tinggi Muka Air Terhadap Laju Resapan Untuk Jenis Tanah Liat
Berpasir Pada Model Drainase RamahLingkungan"

DisusunOleh :

N a ma : S i ti N u r A thir ah D12109 269

Telahdiper iksa
dan disetujui
OlehDosenPembim bing
' Makassar,7 April 2015

P e m b i mb i nIg P e m b i m b i nlgl

Dr.lr u h a mma dA rsya d T h a ha,M .T.


A--<"
tYa.n^ffir,MSc
N i p 9 6 0 12 3 119 8 6 0 9 1
001 Nip. 195901161987021001

T e kn i kS i p i l

Arsyad Thaha, M.T. r ni Hamid Aly M.T .


PENGARUH TINGGI MUKA AIR TERHADAP LAJU RESAPAN UNTUK
JENIS TANAH LEMPUNG BERPASIR PADA MODEL DRAINASE RAMAH
LINGKUNGAN

M. Arsyad Thaha1), dan Achmad Zubair1), Siti Nur Athirah2)


1)
Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin Makassar 90245 Indonesia
2)
Mahasiswi Teknik Lingkungan Jurusan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin
90245 Makassar

Abstrak
Kota Makassar merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, letaknya yang berada di
wilayah pesisir membuatnya tidak terlepas dari bencana banjir. Berikut usaha mengatasi masalah
banjir yaitu dengan mengurangi genangan dengan sistem drainase efektif yang berwawasan
lingkungan, selain berfungsi menampung dan mengalirkan air juga meresapkan air ke lapisan
tanah. Untuk meresapkan air tersebut dibuat lubang pori di bagian dasar saluran drainase. Namun,
perlu dilakukan analisis pengaruh tinggi muka air terhadap laju resapan, kadar air dan koefisien
permeabilitas pada saluran drainase lingkungan ini. Dengan menggunakan model 1 berbentuk
kubus berukuran 40x40x50 dan model 2 berbentuk kubus berukuran 50x50x50 . Pada
model 2 dimasukkan tanah lempung berpasir kemudian dikompaksi hingga mencapai ketinggian
10 cm lalu pipa dengan dimensi tinggi 20 cm dan diameter 8 cm diletakkan tepat ditengah sebagai
pencetak lubang pori kemudian tanah ditambahkan dan dikompaksi hingga mencapai ketinggian
30 cm. Pasir dimasukkan ke dalam pipa lubang berpori lalu pipa diangkat kemudian model 1
diletakkan di atas tanah. Lubang model 1 harus sejajar dengan lubang pori. Model 1 diisi air
hingga ketinggian 15 cm dan dipertahankan tinggi muka airnya pada percobaan pertama,
ketinggian 20 cm percobaan kedua, dan ketinggian 25 cm percobaan ketiga. Air akan dialirkan
melalui lubang pori hingga meresap ke dalam tanah. Air yang meresap melewati tanah akan
dihitung debit infiltrasinya per 5 menit. Dengan demikian berdasarkan hasil analisis laboratorium
pada penelitian ini adalah semakin besar tinggi muka air maka semakin tinggi infiltrasinya hingga
mencapai titik konstan.

Kata kunci: banjir, eko-drainase, lubang pori, tinggi muka air, infiltrasi, analisis laboratorium

Abstract
Makassar city is the capital of South Sulawesi province located in the coastal areas makes
it not separated from the flood. An attempt to overcome the floods problem is to reduce pool with
an effective eco-drainage system, except to accommodate and drain the water as well as water
absorbtion media into the soil. To absorb the water made a pore hole in the bottom of eco-
drainage. Thus, necessary to analyze the influence of water level on the infiltration rate, water
content and permeability coefficient. By using model cube 1 measuring 40x40x50 cm3 and model
cube 2 measuring 50x50x50 cm3. In model 2 included then compacted sandy loam soil until it
reaches height 10 cm and a pipe with dimensions height 20 cm and diameter 8 cm is placed right
in the middle as a printer pore hole. Added and compacted soil until reaches height 30 cm. Sand is
inserted into the pipe and lifted later model 1 is placed on the ground. Hole model 1 should be
aligned with the pore hole. Model 1 is filled with water until height 15 cm and maintained the
water surface level at the first trial, second trials height 20 cm, and third trials height 25 cm. Water
will flow through the pore hole. Water will absorb through the soil infiltration discharge calculated
per 5 minutes. Therefore, based on the results of laboratory analysis in this study was greater in
water level, the higher the rate of infiltration until it reaches a constant point.

Keywords: floods, eco-drainage, pore hole, water level, infiltration, laboratory analysis

iii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Alhamdulillahi Rabbil Alamiin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat

Tuhan Yang Maha Esa, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya lah sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Pengaruh Tinggi Muka

Air Terhadap Laju Resapan Untuk Jenis Tanah Lempung Berpasir Pada

Model Saluran Drainase Ramah Lingkungan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Program Studi

Teknik Lingkungan Universitas Hasanuddin.

Dalam penulisan tugas akhir ini penulis telah banyak mendapatkan

bantuan dari pihak-pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Ungkapan

terima kasih penulis sampaikan secara tulus, mengingat tanpa bantuan mereka

penulis merasa kesulitan dan penyusunan tugas akhir ini tidak akan berjalan

sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, pada kesempatan ini penulis

menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Ing Ir. Wahyu Haryadi Piarah, M.S., M.E., selaku Dekan

Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

2. Bapak Dr. Ir. Muhammad Ramli, M.T. selaku wakil Dekan I Fakultas

Teknik Universtias Hasanuddin.

3. Bapak Dr. Ir. M. Arsyad Thaha, M.T., selaku Ketua Jurusan Sipil Fakultas

Teknik Universitas Hasanuddin.

iv
4. Bapak Ir. H. Ahmad Bakri Muhiddin, MSc., Ph.D, selaku Sekretaris

Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

5. Bapak Dr. Ir. Hj. Sumarni Hamid Aly, M.T., selaku Ketua Prodi Teknik

Lingkungan Jurusan Sipil Fakultas Teknik Unversitas Hasanuddin.

6. Bapak Dr. Ir. M. Arsyad Thaha, M.T., selaku Pembimbing I yang atas

keikhlasannya meluangkan waktu untuk memberikan petunjuk, saran,

tenaga dan pemikirannya sejak awal perencanaan penelitian hingga

selesainya penyusunan tugas akhir ini.

7. Bapak Ir. Achmad Zubair, MSc., selaku Pembimbing II yang atas

keikhlasannya meluangkan waktu, memberikan petunjuk, saran, tenaga

dan pemikirannya sejak awal perencanaan penelitian hingga selesainya

penyusunan tugas akhir ini.

8. Bapak dan ibu dosen beserta civitas akademik Jurusan Sipil Fakutas

Teknik Universitas Hasanuddin.

9. Staf akademik Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

10. Kedua orang tua tercinta yaitu Bapak Drs. H. Sudirman Ar dan Ibu Dra.

Hj. Ulfa Maryam Mustafa atas setiap kasih sayang, doa, pengorbanan dan

perhatiannya selama ini. Saudara-saudaraku yang selalu memberi

dukungan selama ini. Kiranya kasih Allah senantiasa memberkati kita

sekalian

11. Ibu Dr. Ir. Fenti Daud S. M.T, Ulfa Asrini Mustama, S.T, Andi Sitti

Khadijah, S.T, Ahmad Djaelani, S.T, Muh. Tasbih, S.T, Muh. Adlan,

Franita Leonard, S.T, Andi Elfina Wahyuni Rasyid,S.T, Hajrah, S.T, kak

v
Nur Effendi, S.T, dan kak Waode Sumartini, S.T, M.T, yang sudah

meluangkan waktu dan pikiran untuk membantu penyelesaian tugas akhir

ini.

12. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2009 dan Asisten Laboratorium

Mekanika Tanah Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas

Hasanuddin yang senantiasa memberikan semangat dan dorongan dalam

penyelesaian tugas akhir ini.

13. Bapak Sudirman S.T., selaku Kepala Laboratorium Mekanika Bahan yang

telah meluangkan waktu dan tenaga memberikan bimbingan dan saran

selama penelitian.

Penulis menyadari bahwa dalam tugas akhir ini masih terdapat banyak

kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun demi kesempurnaan penulisan tugas akhir ini.

Akhir kata penulis berharap semoga tugas akhir dapat berguna bagi kita

semua, khususnya dalam bidang teknik lingkungan.

Makassar, 17 Maret 2015

Penulis

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i


LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii
ABSTRAK ................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR............................................................................... iv
DAFTAR ISI.............................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... I-1


A. Latar Belakang Masalah..................................................... I-1
B. Rumusan Masalah .............................................................. I-2
C. Maksud dan Tujuan Penelitian........................................... I-3
D. Batasan Masalah................................................................. I-3
E. Sistematika Penulisan......................................................... I-4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... II-1


A. Kajian Umum ..................................................................... II-1
1. Hidrologi ...................................................................... II-1
2. Siklus Hidrologi ........................................................... II-2
B. Kajian Khusus .................................................................... II-4
1. Drainase........................................................................ II-4
a. Drainase Berwawasan Lingkungan ........................ II-5
2. Aliran Permukaan......................................................... II-6
a. Bio Pori Sumur Peresapan Mini............................. II-8
3. Infiltrasi ........................................................................ II-9
a. Faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi .................... II-11
b. Istilah Terkait dengan Infiltrasi .............................. II-14
4. Tekstur Tanah............................................................... II-16
a. Klasifikasi Tekstur Tanah ...................................... II-16
1) Kerikil dan Pasir............................................... II-17

vii
2) Lempung........................................................... II-17
3) Lanau ................................................................ II-18
b. Hubungan Tekstur Tanah dan Air .......................... II-18
5. Tekanan Air Pori di Atas Muka Air Tanah .................. II-22
6. Hukum Darcy dan Sifat-Sifat Tanah ............................ II-23
a. Konduktivitas Hidraulik ......................................... II-26
b. Nilai K .................................................................... II-28

BAB III METODE PENELITIAN .......................................................... III-1


A. Bagan Alir Penelitian ......................................................... III-1
B. Jenis Penelitian................................................................... III-2
C. Lokasi danWaktu Penelitian............................................... III-2
D. Langkah-Langkah Kegiatan Penelitian .............................. III-2
E. Pengumpulan Data ............................................................. III-3
F. Perancangan Model ............................................................ III-3
G. Bahan dan Alat Penelitian .................................................. III-12
H. Pengamatan Model ............................................................. III-14
I. Prosedur Percobaan ............................................................ III-15
J. Pengukuran......................................................................... III-16
1. Kompaksi ..................................................................... III-16
2. Berat Tanah Basah ....................................................... III-19
3. Koefisien Permeabilitas................................................ III-20

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. IV-1


A. Hasil ................................................................................... IV-1
1. Kompaksi ..................................................................... IV-1
2. Debit Tertampung ........................................................ IV-1
3. Laju Resapan Air.......................................................... IV-1
4. Kadar Air ............................................................................ IV-2
5. Koefisien Permeabilitas................................................ IV-2

viii
B. Pembahasan ........................................................................ IV-2
1. Kompaksi ..................................................................... IV-2
2. Debit Tertampung ........................................................ IV-6
3. Laju Resapan Air.......................................................... IV-7
4. Kadar Air...................................................................... IV-9
5. Koefisien Permeabilitas................................................ IV-11

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... V-1


A. Kesimpulan......................................................................... V-1
B. Saran................................................................................... V-2

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jangkauan nilai konduktivitas hidraulik K...................... II-28


Tabel 4.1 Kompaksi ........................................................................ IV-2
Tabel 4.2 Debit Tertampung ........................................................... IV-6
Tabel 4.3 Laju Resapan Air............................................................. IV-7
Tabel 4.4 Kadar Air......................................................................... IV-9
Tabel 4.5 Rekapitulasi Koefisien Permeabilitas dan Kecepatan
Darcy ............................................................................... IV-11

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Siklus hidrologi ............................................................... II-2


Gambar 2.2 Aliran Permukaan Aliran permukaan karena hujan
melebihi kapasitas infiltrasi............................................. II-7
Gambar 2.3 Aliran permukaan karena tanah sudah jenuh .................. II-8
Gambar 2.4 Proses infiltrasi dan perkolasi pada tanah berpasir
(sandy loam) dan tanah berlempung (clay loam)............ II-9
Gambar 2.5 Hubungan antara hujan, infiltrasi, dan aliran (intensitas
hujan kapasitas infiltrasi) ................................................ II-15
Gambar 2.6 Hubungan antara hujan, infiltrasi dan aliran (intensitas
hujan > kapasitas infiltrasi) ............................................. II-15
Gambar 2.7 Ukuran partikel tanah...................................................... II-16
Gambar 2.8 Segitiga tekstur tanah USDA .......................................... II-17
Gambar 2.9 Ruang pori-pori pada tanah berpasir dan berlempung .... II-19
Gambar 2.10 Kondisi lengas tanah (soil moisture) untuk berbagai jenis
tekstur tanah .................................................................... II-20
Gambar 2.11 Variasi infiltrasi menurut tekstur tanah........................... II-21
Gambar 2.12 Aliran permukaan pada tanah yang jenuh ....................... II-21
Gambar 2.13 Hubungan antara tekanan air pori, keadaan jenuh
dengan muka air tanah .................................................... II-23
Gambar 2.14 Alat percobaan hukum darcy .......................................... II-24
Gambar 2.15 Konsep makroskopik dan mikroskopik aliran air tanah.. II-25
Gambar 3.1 Bagan Alir Penelitian ...................................................... III-1
Gambar 3.2.a Model kubus satu ............................................................ III-3
Gambar 3.2.b Model kubus dua ............................................................. III-4
Gambar 3.3 Rancangan simulasi model.............................................. III-5
Gambar 3.4 Pasir................................................................................. III-7
Gambar 3.5 Lanau............................................................................... III-8
Gambar 3.6 Lempung ......................................................................... III-8

xi
Gambar 3.7 Tanah dan pasir dicampur kemudian diberi air............... III-8
Gambar 3.8 Sampel tanah liat berpasir ............................................... III-8
Gambar 3.9 Model kubus dua diletakkan di atas rangka besi............. III-9
Gambar 3.10 Pemasangan karet busa ................................................... III-9
Gambar 3.11 Pengisian sampel tanah ke dalam model kubus dua ....... III-9
Gambar 3.12 Ketebalan tanah 10 cm .................................................... III-10
Gambar 3.13 Peletakkan pipa ............................................................... III-10
Gambar 3.14 Ketebalan tanah 20 cm .................................................... III-10
Gambar 3.15 Pengisian pasir ................................................................ III-10
Gambar 3.16 Pipa diangkat................................................................... III-11
Gambar 3.17 Model kubus satu diletakkan di atas tanah...................... III-11
Gambar 3.18 Pengecekan rembesan ..................................................... III-12
Gambar 3.19 Pompa air ........................................................................ III-13
Gambar 3.20 Bak penampungan air...................................................... III-13
Gambar 3.21 Pipa.................................................................................. III-13
Gambar 3.22 Peralatan pengambilan data ............................................ III-14
Gambar 3.23 Proses pengumpulan data debit air.................................. III-16
Gambar 3.24 Proses pengumpulan data kadar air................................. III-16
Gambar 4.1 Grafik kompaksi.............................................................. IV-5
Gambar 4.2 Grafik debit tertampung tanah lempung berpasir............ IV-7
Gambar 4.3 Grafik laju resapan air dengan tinggi muka air yang
berbeda ............................................................................ IV-8
Gambar 4.4 Kadar air.......................................................................... IV-9
Gambar 4.5 Grafik hubungan koefisien permeabilitas (K) dengan

gradien hidraulik (I = ) ............................................... IV-12

Gambar 4.6 Grafik hubungan gradien hidraulik dengan tinggi muka


air berbeda dan kecepatan darcy ..................................... IV-13
Gambar 4.7 Grafik perbandingan antara Qpercobaan dan QDarcy
terhadap gradien hidraulik............................................... IV-14
Gambar 4.8 Grafik hubungan gradien hidraulik dan kecepatan darcy
berdasarkan tinggi muka air yang berbeda...................... IV-15

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kota Makassar merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, letaknya

yang berada di wilayah pesisir membuat Kota Makassar tidak terlepas dari

bencana banjir. Peristiwa ini hampir setiap tahun berulang, namun permasalahan

ini sampai saat ini belum terselesaikan, bahkan cenderung makin meningkat, baik

frekuensi, luasan, kedalaman, maupun durasinya.

Jika dirunut ke belakang, akar permasalahan banjir di perkotaan berawal

dari pertambahan penduduk yang sangat cepat di atas rata-rata pertumbuhan

nasional, akibat urbanisasi, baik migrasi musiman maupun permanen.

Pertambahan penduduk yang tidak diimbangi dengan penyediaan prasarana dan

sarana perkotaan yang memadai mengakibatkan pemanfaatan lahan perkotaan

menjadi acak-acakan (semrawut).

Salah satu contoh pemanfaatan lahan yang tidak tertib di Kota Makassar

yaitu minimnya ruang terbuka hijau (RTH) sebagai areal resapan air. Penyebab

lainnya adalah drainase dialih fungsikan warga sebagai tempat pembuangan

sampah, sehingga saluran tersumbat. Pemanfaatan lahan yang tidak tertib inilah

yang menyebabkan persoalan drainase di perkotaan menjadi sangat kompleks.

Salah satu usaha mengatasi masalah banjir yaitu dengan mengurangi

genangan dengan sistem drainase. Perlu adanya desain saluran drainase efektif,

berwawasan lingkungan, yang bukan hanya berfungsi menampung dan

I-1
mengalirkan air dari badan jalan tetapi sekaligus berfungsi sebagai media

pernyerapan air ke lapisan yang ada di bawahnya. Hal ini perlu sebagai salah satu

langkah preventif untuk mengurangi limpasan permukaan (run off) akibat debit air

yang mengalir ke dalam bangunan saluran drainase melebihi kapasitas maksimum

yang telah direncanakan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meresapkan

air tersebut adalah dengan membuat lubang pori atau lubang resapan di sepanjang

bagian dasar saluran.

Untuk menganalisis saluran drainase yang efektif untuk menangani banjir

di Kota Makassar, direncanakan mengadakan penelitian skala laboratorium untuk

mengetahui: jumlah, dimensi, dan bahan lubang pori yang efektif untuk

meresapkan air dari badan saluran ke lapisan tanah di bawahnya. Berdasarkan

latar belakang ini, penulis mengangkat Tugas Akhir dengan judul Pengaruh

Tinggi Muka Air Terhadap Laju Resapan Untuk Jenis Tanah Lempung

Berpasir Pada Model Drainase Ramah Lingkungan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang pada uraian di atas, maka permasalahan yang

dapat dirumuskan, yaitu:

1. Pengaruh tinggi muka air terhadap laju peresapan air kondisi tekanan air

konstan (constant head) pada jenis tanah lempung berpasir.

2. Pengaruh tinggi muka air terhadap kadar air kondisi tekanan air konstan

(constant head) pada jenis tanah lempung berpasir.

I-2
3. Pengaruh tinggi muka air terhadap koefisien permeabilitas air kondisi

tekanan air konstan (constant head) pada jenis tanah lempung berpasir.

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

1. Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini, yaitu untuk menganalisis jumlah air yang

diresapkan ke dalam tanah lempung berpasir pada kondisi tekanan air konstan

(constant head).

2. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk menganalisis:

a. Pengaruh tinggi muka air terhadap laju peresapan air kondisi tekanan air

konstan (constant head) pada jenis tanah lempung berpasir.

b. Pengaruh tinggi muka air terhadap kadar air kondisi tekanan air konstan

(constant head) pada jenis tanah lempung berpasir.

c. Pengaruh tinggi muka air terhadap koefisien permeabilitas air kondisi

tekanan air konstan (constant head) pada jenis tanah lempung berpasir.

D. Batasan Masalah

Batasan masalah pada penelitian ini, yaitu:

1. Studi penelitian dilakukan hanya dengan satu kondisi air, yaitu air kondisi

tekanan air konstan (constant head).

2. Pada saluran drainase dengan kondisi tekanan air konstan (constant head)

akan dianalisis jumlah laju peresapan air ke dalam tanah dengan

I-3
menggunakan suhu dalam ruangan Laboratorium Bahan Fakultas Teknik

Universitas Hasanuddin yaitu 27oc, 1 (satu) variabel jenis tanah yaitu tanah

lempung berpasir (pasir 66%, lanau 27%, dan lempung 7%), 3 (tiga) variabel

tinggi muka air yaitu 15 cm, 20 cm, dan 25 cm, dan 1 (satu) variabel dimensi

lubang pori (tinggi 20 cm dan diameter 8 cm).

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan Tugas Akhir ini, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bingkai studi atau rancangan yang akan dilakukan

meliputi latar belakang masalah yang mendasari pengangkatan tema Tugas

Akhir, rumusan permasalahan yang hendak dipecahkan oleh penulis, maksud

dan tujuan penelitian yang ingin dicapai, batasan masalah untuk mempersempit

ruang lingkup, serta sistematika penulisan laporan yang dipakai dalam tugas

akhir ini sehingga bisa dipahami secara sistematis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan teori-teori yang digunakan sebagai dasar dalam

penyusunan laporan Tugas Akhir agar dapat memberikan gambaran model dan

metode analisis yang akan digunakan dalam menganalisis masalah. Tinjauan

pustaka dilakukan pada buku-buku literatur, jurnal, internet, dan berbagai

sumber lain yang dapat mendukung penyusunan laporan Tugas Akhir.

I-4
BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan metode pelaksanaan penelitian yang berisi tentang

bagan alir metode penelitian, jenis penelitian, lokasi dan waktu penelitian,

langkah-langkah penelitian, pengumpulan data, perancangan model, bahan dan

alat penelitian, pengamatan model, prosedur percobaan, dan pengukuran analisis

data.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan hasil dari penelitian dan menganalisis

permasalahan, evaluasi, serta perhitungan terhadap masalah penelitian mengenai

saluran drainase berpori.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini terdiri dari kesimpulan hasil analisis dari pembahasan yang telah

dilakukan pada bab sebelumnya. Terdapat juga saran yang direkomendasikan

untuk penelitian selanjutnya atau untuk penerapan hasil penelitian di lapangan.

I-5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Umum

1. Hidrologi

Air adalah substansi yang paling melimpah di permukaan bumi,

merupakan komponen utama bagi semua mahluk hidup, dan merupakan kekuatan

utama yang secara konstan membentuk permukaan bumi. Air juga merupakan

faktor penentu dalam pengaturan iklim di permukaan bumi untuk kebutuhan hidup

manusia. Hidrologi pada hakikatnya mempelajari setiap fase air di bumi.

Hidrologi adalah disiplin ilmu yang sangat penting bagi manusia dan

lingkungannya.

Aplikasi ilmu hidrologi dapat dijumpai dalam hampir sebagian besar

permasalahan air di Daerah Aliran Sungai (DAS), seperti perencanaan dan

pengoperasian bangunan hidrolik (bendungan, cekdam), penyediaan air,

pengelolaan air limbah dan air buangan, irigasi dan drainasi, pembangkit tenaga

air, navigasi, masalah erosi dan sedimentasi, penanganan salinitas,

penanggulangan masalah polusi, dan pemanfaatan air untuk rekreasi. Fungsi

praktis dari hidrologi adalah untuk membantu analisis terhadap permasalahan

yang ada dan memberikan kontribusi terhadap perencanaan dan manajemen

sumber daya air (Chow, 1988 dalam Indarto, 2010).

Ilmu tentang air (hydroscience: hydrobiology, hydro-chemistry;

hydrogeology) membahas permasalahan air di bumi, distribusi dan sirkulasinya,

II-1
sifat fisika dan kimia air tersebut interaksi air dengan lingkungannya, termasuk

interaksinya dengan mahluk hidup, khususnya manusia. Dalam hal ini, hidrologi

melingkupi semua ilmu tersebut di atas. Definisi yang lebih khusus adalah ilmu

yang mempelajari siklus hidrologi atau sirkulasi air antara permukaan bumi dan

atmosfer. Pengetahuan hidrologi diterapkan untuk memanfaatkan dan

mengendalikan sumber daya air di daratan, sedangkan air di lautan merupakan

objek kajian ilmu dan teknik kelautan.

2. Siklus Hidrologi

Gambar 2.1 Siklus hidrologi (Sumber: The COMET Program).

Susunan molekul air sangat sederhana. Dua atom hidrogen dan satu atom

oksigen. H-O-Hatau ditulis dengan rumus H2O. Air juga punya sifat yang unik

yang memungkinkan berperan sebagai material yang universal. Salah satu sifat

khusus air adalah sangat mudah berubah wujud. Air dapat dijumpai di planet bumi

dalam tiga bentuk, yaitu padat, cair, dan gas. Ketiga wujud air ini berperan sangat

penting bagi siklus hidrologi. Apa sebenarnya siklus hidrologi itu? Siklus

II-2
hidrologi terjadi di dalam hidrosfer (hydrosphere). Hidrosfer adalah daerah

dimana terdapat air baik di atmosfer maupun di permukaan bumi. Siklus hidrologi

adalah pergerakan dan perubahan air di dalam hidrosfer (Gambar 2.1).

Siklus air merupakan fokus utama dari ilmu hidrologi. Laut merupakan

tempat penampungan air terbesar di bumi. Sinar matahari yang dipancarkan ke

bumi memanaskan suhu air di permukaan laut, danau, atau yang terikat pada

permukaan tanah. Kenaikan suhu memacu perubahan wujud air dari cair menjadi

gas. Molekul air dilepas menjadi gas. Ini dikenal sebagai proses evaporasi

(evaporation). Air yang terperangkap dipermukaan tanaman juga berubah wujud

menjadi gas karena pemanasan oleh sinar matahari. Proses ini dikenal sebagai

transpirasi (transpiration). Air yang menguap melalui proses evaporasi dan

transpirasi selanjutnya naik ke atmosfer membentuk uap air.

Uap air di atmosfer selanjutnya menjadi dingin dan terkondensasi

membentuk awan (clouds). Kondensasi terjadi ketika suhu udara berubah. Air

akan berubah bentuk jika suhu berfluktuasi. Sehingga, jika udara cukup dingin,

uap air terkondensasi menjadi partikel-partikel di udara membentuk awan. Awan

terbentuk selanjutnya dibawa oleh angin mengelilingi bumi, sehingga awan

terdistribusi ke seluruh penjuru dunia. Ketika awan sudah tidak mampu lagi

menampung air, awan melepas uap air yang ada di dalamnya ke dalam bentuk

presipitasi (precipitation), yang dapat berupa salju, hujan, dan hujan es.

Selanjutnya, sebagian air hujan yang jatuh ke permukaan bumi diserap

(intercepted) oleh permukaan tanaman, sisanya akan mengalir di permukaan tanah

sebagai aliran permukaan (surface run-off). Aliran permukaan selanjutnya

II-3
mengalir melalui sungai menjadi debit sungai (streamflow) atau tersimpan di

permukaan tanah dalam bentuk danau (freshwater storage). Sebagian lagi masuk

ke dalam tanah melalui proses infiltrasi (infiltration) dan sebagian lagi mengalir di

dalam lapisan tanah melalui aliran-air-tanah (sub surface flow). Pada lokasi

tertentu air yang mengalir di dalam lapisan tanah, ke luar sebagai mata-air (spring)

dan bergabung dengan aliran permukaan (surface run-off). Lebih jauh lagi, air

yang terinfiltrasi mungkin dapat mengalami perkolasi ke dalam tanah menjadi

aliran air bawah tanah (groundwater flow). Siklus hidrologi ini berlangsung secara

kontinu untuk menyediakan air bagi mahluk hidup di bumi. Tanpa proses ini tidak

mungkin ada kehidupan di bumi.

B. Kajian Khusus

1. Drainase

Drainase yang berasal dari bahasa Inggris drainage mempunyai arti

mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Dalam bidang teknik

sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis

untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan,

maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/lahan, sehingga kawasan/lahan

tidak terganggu. Drainase dapat diartikan juga sebagai usaha untuk mengontrol

kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas. Jadi, drainase menyangkut

tidak hanya air permukaan tapi juga air tanah (Suripin, 2004).

II-4
a. Drainase Berwawasan Lingkungan

Pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang begitu cepat telah

menyebabkan perubahan tata guna lahan. Banyak lahan-lahan yang semula berupa

lahan terbuka dan/atau hutan berubah menjadi areal pemukiman atau industri. Hal

ini tidak hanya terjadi di kawasan perkotaan, namun sudah merambah ke kawasan

budidaya dan kawasan lindung, yang berfungsi sebagai daerah resapan air.

Dampak dari perubahan tata guna lahan tersebut adalah meningkatnya aliran

permukaan langsung sekaligus menurunnya air yang meresap ke dalam tanah.

Akibat selanjutnya adalah distribusi air yang makin timpang antara musim

penghujan dan musim kemarau, debit banjir meningkat dan ancaman kekeringan

semakin menjadi-jadi. Baik bencana banjir maupun kekeringan telah

menimbulkan kerugian yang sangat besar, bahkan tidak hanya kerugian harta

benda (material), tetapi juga kerugian jiwa.

Di lain pihak, pertambahan penduduk serta perkembangan industri

menuntut bertambahnya kebutuhan air bersih yang sampai saat ini masih banyak

yang mengandalkan air tanah, baik air tanah dangkal maupun air tanah dalam.

Menurut Agus Maryono dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta,

pengelolaan drainase secara terpadu berwawasan lingkungan merupakan

rangkaian usaha dari sumber (hulu) sampai muara (hilir) untuk membuang atau

mengalirkan hujan kelebihan melalui saluran drainase dan atau sungai ke badan

air (pantai/laut, danau, situ, waduk dan bozem) dengan waktu seoptimal mungkin

sehingga tidak menyebabkan terjadinya masalah kesehatan dan banjir di daratan

banjir yang dilalui oleh saluran dan atau sungai tersebut (akibat kenaikan debit

II-5
puncak dan pemendekan waktu mencapai debit puncak. Berbeda dengan prinsip

lama, yaitu mengalirkan limpasan air hujan ke badan air penerima secepatnya,

drainase berwawasan lingkungan bekerja dengan berupaya memperlambat aliran

limpasan air hujan (Dinas Pekerjaan Umum, 2014).

2. Aliran Permukaan

Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah (UU

No. 7 Tahun 2004). Air permukaan yang mengalir disebut aliran permukaan atau

run-off.

Run-off berlangsung ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi

air ke dalam tanah. Setelah laju infiltrasi terpenuhi air mulai mengisi cekungan-

cekungan pada permukaan tanah, setelah cekungan-cekungan di atas tanah terisi

semua maka air dapat mengalir dengan bebas di atas permukaan tanah (Kodoatie,

2012).

Air hujan yang jatuh ke bumi akan sampai ke saluran/sungai melalui

jalurnya masing-masing, yaitu (Kodoatie, 2012):

a. Limpasan permukaan (surface run-off) cepat.

b. Aliran antara (interflow/subsurface run off) lambat.

c. Aliran air tanah (groundwater flow) lebih lambat.

Ada dua jenis aliran permukaan (surface run-off) yang terjadi selama

hujan atau pelelehan es, yaitu:

a. Aliran permukaan karena kelebihan infiltrasi (infitration excess overland

flow), terjadi jika besarnya hujan (intensitas hujan) yang jatuh atau salju yang

II-6
meleleh lebih besar dari kapasitas infiltrasi. Air yang tidak terinfiltrasi

selanjutnya menjadi aliran permukaan.

Aliran ini umumnya teramati pada kejadian hujan deras dengan durasi

pendek. Umumnya juga terjadi pada wilayah dimana tanahnya mengandung

lempung atau pada kasus permukaan tanah yang telah termodifikasi karena

pemadatan tanah (soil compaction), urbanisasi, atau kebakaran hutan. Aliran

permukaan jenis ini sering disebut sebagai aliran Horton (Hortonian flow)

(Gambar 2.2).

Sumber: Indarto, 2010.


Gambar 2.2 Aliran permukaan karena hujan melebihi kapasitas infiltrasi
(The COMET Program).

b. Aliran permukaan karena kejenuhan (saturation excess overland flow), terjadi

jika lapisan tanah menjadi jenuh dan air tidak dapat lagi terinfiltrasi.

Umumnya terjadi pada hujan kecil hingga sedang dengan durasi panjang atau

kejadian hujan atau pelelehan salju yang beruntun. Tanah mungkin sudah

jenuh oleh kejadian hujan sebelumnya, sehingga tidak lagi dapat menampung

air infiltrasi (Gambar 2.3).

II-7
Aliran jenis ini dapat terjadi dimana saja selama tanah dalam keadaan basah.

Lebih khusus lagi pada daerah beriklim humid dengan topografi datar atau

kemiringan kecil (Indarto, 2010).

Sumber: Indarto, 2010.


Gambar 2.3 Aliran permukaan karena tanah sudah jenuh (saturation excess
overland flow).

Berikut merupakan salah satu upaya untuk meresapkan aliran permukaan

ke dalam tanah dengan berbasis ramah lingkungan, yaitu:

a. Bio Pori Sumur Peresapan Mini

Biopori adalah metode praktis untuk meresapkan air genangan ke dalam

lapisan tanah. Alat gali bio pori setipe alat bor tangan untuk mengambil sampel

tanah secara manual untuk pengujian di laboratorium, dengan diameter 10 - 20 cm

dan panjang tongkat gali 1,00 sampai 2,00 meter dapat menggali tanah dengan

alat gali bio pori pada kedalaman rencana, kemudian lubang galian diisi pasir,

kerikil, atau sampah organik. Dengan jarak gali sekitar 1,00 sampai 2,00

meterakan sangat berguna untuk membantu meresapkan air ke dalam lapisan

tanah, sehingga genangan secara perlahan akan tertanggulangi (Hasmar, 2012).

Oleh sebab itu, pada penelitian ini didesain suatu sistem drainase efektif

berwawasan ramah lingkungan yang menggunakan lubang pori sebagai suatu

II-8
upaya untuk meningkatkan volume resapan air ke dalam tanah. Model drainase ini

disebut sebagai model drainase ramah lingkungan.

3. Infiltrasi

Infiltrasi (infiltration) adalah meresapnya air permukaan ke dalam tanah

(Kodoatie, 2012). Infiltrasi menyebabkan air dapat tersedia untuk pertumbuhan

tanaman dan air tanah (groundwater) terisi kembali. Istilah infiltrasi dan perkolasi

sering digunakan dan dipertukarkan, tetapi sebenarnya kedua istilah tersebut

mendefinisikan hal yang berbeda. Perkolasi (percolation) secara spesifik

digunakan untuk menyebut gerakan air antar lapisan di dalam tanah, sedang

infiltrasi digunakan untuk mendiskripsikan gerakan air dari permukaan masuk ke

dalam lapisan tanah yang teratas (Gambar 2.4) (Indarto, 2010).

Sumber: Indarto, 2010.


Gambar 2.4 Proses infiltrasi dan perkolasi pada tanah berpasir (sandy loam)
dan tanah berlempung (clay loam) (The COMET Program).

Salah satu proses yang berkaitan dengan distribusi air hujan yang jatuh ke

permukaan bumi adalah infiltrasi. Infiltrasi adalah proses masuk atau meresapnya

II-9
air dari atas permukaan tanah ke dalam bumi. Jika air hujan meresap ke dalam

tanah maka kadar lengas tanah meningkat hingga mencapai kapasitas lapang. Pada

kondisi kapasitas lapang air yang masuk menjadi perkolasi dan mengisi daerah

yang lebih rendah energi potensialnya sehingga mendorong terjadinya aliran

antara (interflow) dan aliran bawah permukaan lainnya (base flow). Air yang

berada pada lapisan air tanah jenuh dapat pula bergerak ke segala arah (ke

samping dan ke atas) dengan gaya kapiler atau dengan bantuan penyerapan oleh

tanaman melalui tudung akar.

Proses infiltrasi sangat ditentukan oleh waktu. Jumlah air yang masuk ke

dalam tanah dalam suatu periode waktu disebut laju infiltrasi. Laju infiltrasi pada

suatu tempat akan semakin kecil seiring kejenuhan tanah oleh air. Pada saat

tertentu laju infiltrasi menjadi tetap. Nilai laju inilah yang kemudian disebut laju

perkolasi (Asdak, 2002).

Kecepatan infiltrasi yang tinggi terjadi pada waktu permulaan hujan

karena tanah (soil) belum jenuh air (saturated), terutama setelah musim kemarau

yang panjang. Penutup lahan (land coverage) yang berupa vegetasi akan

menghambat aliran permukaan sehingga memungkinkan air untuk berinfiltrasi

dan juga sistem akar tanaman membuat air lebih mudah meresap ke dalam tanah.

Kecepatan infiltrasi cenderung menurun secara eksponensial (Kodoatie, 2012)

pada saat hujan meningkat, yaitu bila hujan melebihi kapasitas infiltrasinya.

Pada proses terjadinya infiltrasi menurut (Kodoatie, 2012) pada dasarnya

terdapat tiga hal yang terjadi pada air, yaitu:

II-10
1. Air yang meresap tertarik kembali ke permukaan oleh gaya kapilaritas pori

tanah kemudian mengalami penguapan,

2. Air yang meresap dihisap oleh akar tanaman dalam tanah untuk proses

pertumbuhan kemudian menguap ke atmosfir akibat evapotranspirasi,

3. Air yang meresap dalam dan cukup, mengalami gaya tarik gravitasi menuju

zone of saturation yang kemudian mengisi groudwater reservoir (aquifer).

a. Faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi

Perpindahan air dari atas ke dalam permukaan tanah baik secara vertikal

maupun horizontal disebut infiltrasi. Banyaknya air yang terinfiltrasi dalam satuan

waktu disebut laju infiltrasi. Besarnya laju infiltrasi f dinyatakan dalam mm/jam

atau mm/hari. Laju infiltrasi akan sama dengan intensitas hujan, bila laju infiltrasi

tersebut lebih kecil dari daya infiltrasinya. Jadi f fp dan f I (Soemarto, 1999).

Infiltrasi berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi

setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan tetapi setelah mencapai

limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan kecepatan

absorbsi setiap tanah. Pada tanah yang sama kapasitas infiltrasinya berbeda-beda,

tergantung dari kondisi permukaan tanah, struktur tanah, tumbuh-tumbuhan dan

lain-lain. Di samping intensitas curah hujan, infiltrasi berubah-ubah karena

dipengaruhi oleh kelembaban tanah dan udara yang terdapat dalam tanah

(Maryono, 2004).

Beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi laju infiltrasi

adalah sebagai berikut:

II-11
1) Tinggi genangan air di atas permukaan tanah dan tebal lapisan tanah yang

jenuh.

2) Kadar air atau lengas tanah.

3) Pemadatan tanah oleh curah hujan.

4) Penyumbatan pori tanah mikro oleh partikel tanah halus seperti bahan

endapan dari partikel liat.

5) Pemadatan tanah oleh manusia dan hewan akibat traffic line oleh alat olah.

6) Struktur tanah.

7) Kondisi perakaran tumbuhan baik akar aktif maupun akar mati (bahan

organik).

8) Proporsi udara yang terdapat dalam tanah.

9) Topografi atau kemiringan lahan.

10) Intensitas hujan.

11) Kekasaran permukaan tanah.

12) Kualitas air yang akan terinfiltrasi.

13) Suhu udara tanah dan udara sekitar.

Apabila semua faktor-faktor di atas dikelompokkan, maka dapat

dikategorikan menjadi dua faktor utama yaitu:

1) Faktor yang mempengaruhi air untuk tinggal di suatu tempat sehingga air

mendapat kesempatan untuk terinfiltrasi (opportunity time).

2) Faktor yang mempengaruhi proses masuknya air ke dalam tanah.

II-12
Selain dari beberapa faktor yang menentukan infiltrasi di atas terdapat pula

sifat-sifat khusus dari tanah yang menentukan infiltrasi dan membatasi kapasitas

infiltrasi (Arsyad, 1989) sebagai berikut:

1) Ukuran Pori

Laju masuknya air hujan ke dalam tanah ditentukan terutama oleh ukuran

pori dan susunan pori-pori besar. Pori yang demikian itu dinamakan pori

aerasi, oleh karena pori-pori mempunyai diameter yang cukup besar yang

memungkinkan air keluar dengan cepat sehingga tanah beraerasi baik.

2) Kemantapan Pori

Kapasitas infiltrasi hanya dapat terpelihara jika porositas semula tetap tidak

terganggu selama waktu tidak terjadi hujan.

3) Kandungan Air

Laju infiltrasi terbesar terjadi pada kandungan air yang rendah dan sedang.

4) Profil Tanah

Sifat bagian lapisan suatu profil tanah juga menentukan kecepatan masuknya

air ke dalam tanah. Ketika air hujan jatuh di atas permukaan tanah, maka

proses infiltrasi tergantung pada kondisi biofisik permukaan tanah, sebagian

atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk ke dalam tanah melalui

pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah

disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Oleh karena

itu, infiltrasi juga biasanya disebut sebagai aliran air yang masuk ke dalam

tanah sebagai akibat gaya kapiler dan gravitasi.

II-13
Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh

besarnya diameter pori-pori tanah. Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai

kapasitas lebih kecil dibandingkan dengan tanah dalam keadaan kering (Asdak,

2002).

Jumlah dan ukuran pori yang menentukan adalah jumlah pori-pori yang

berukuran besar. Makin banyak pori-pori besar maka kapasitas infiltrasi makin

besar pula. Atas dasar ukuran pori tersebut, liat kaya akan pori halus dan miskin

akan pori besar. Sebaliknya fraksi pasir banyak mengandung pori besar dan

sedikit pori halus. Dengan demikian kapasitas infiltrasi pada tanah-tanah pasir

jauh lebih besar daripada tanah liat (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

b. Istilah Terkait dengan Infiltrasi

1) Laju infiltrasi (infiltration rate) menunjukkan jumlah air yang masuk ke

dalam tanah pada waktu tertentu, dinyatakan dalam tebal air per waktu,

misalnya 10 mm/jam. Laju infiltrasi dipengaruhi secara langsung oleh tekstur

tanah (soil texture), penutupan tanah (soil cover), kadar lengas di dalam tanah

(moisture content), suhu tanah (soil temperature), jenis presipitasi

(precipitation type), dan intensitas hujan (rainfall intensity).

2) Kapasitas infiltrasi (infiltration capacity) adalah batas tertinggi laju infiltrasi.

Mencakup infiltrasi permukaan dan perkolasi dan dinyatakan dalam tebal air

(dept of water) per satuan waktu, misalnya 15 mm/jam. Jika laju presipitasi

kurang dari atau sama dengan kapasitas infiltrasi, maka tidak akan terjadi

aliran permukaan (Gambar 2.5).

II-14
Sumber: Indarto, 2010.
Gambar 2.5 Hubungan antara hujan, infiltrasi, dan aliran (intensitas hujan
kapasitas infiltrasi).

Sumber: Indarto, 2010.


Gambar 2.6 Hubungan antara hujan, infiltrasi dan aliran (intensitas hujan >
kapasitas infiltrasi).

Jika hujan yang jatuh lebih besar dari kapasitas infiltrasi, maka terjadi aliran

permukaan. Aliran permukaan = hujan (pelelehan es) kapasitas infiltrasi.

Sebagai contoh, jika hujan yang jatuh 25 mm/jam tetapi kapasitas infiltrasi

tinggaal 15 mm/jam, maka laju hujan lebih 10 mm/jam, dari kapasitas

II-15
infiltrasi. Maka 10 mm/jam yang tidak dapat terinfiltrasi menjadi run-off

(Gambar 2.6) (Indarto, 2010).

4. Tekstur Tanah

a. Klasifikasi Tekstur Tanah

Tekstur tanah diklasifikasikan menurut ukuran partikel. Lempung (clay)

mempunyai ukuran partikel dan ruang pori paling kecil, diikuti debu (silt) dan

pasir (sand) seperti terlihat pada Gambar 2.7. Tekstur tanah sangat penting untuk

mengantisipasi potensi infiltrasi, gerakan, dan penyimpanan air di dalam tanah.

Sumber: Indarto, 2010.


Gambar 2.7 Ukuran partikel tanah (The COMET Program).

Segitiga tekstur tanah USDA (USDA soil triangle) merupakan salah satu

alat untuk mengklasifikasikan tanah atas dasar komposisi teksturnya.

Sebagai contoh, jika kita mengambil sampel tanah dan kemudian

mendapatkan secara kasar komposisinya terdiri dari 40% debu, 40% pasir, dan

20% lempung, maka kita lihat pada segitiga tekstur (Gambar 2.8), sampel tanah

tersebut termasuk bertekstur lempung (loam). Dengan metode serupa, selanjutnya

II-16
dapat dibuat peta klasifikasi tekstur tanah untuk wilayah yang lebih luas (Indarto,

2010).

Sumber: Indarto, 2010.


Gambar 2.8 Segitiga tekstur tanah USDA (The COMET Program).

1) Kerikil dan Pasir


Kelompok ini terdiri atas pecahan batu-batuan dengan bentuk dan ukuran

yang beraneka ragam. Butiran kerikil biasanya terdiri atas pecahan-pecahan batu,

tetapi kadang-kadang juga terdiri atas mineral-mineral tunggal. Butiran pasir

biasanya terdiri atas mineral tunggal, biasanya kwarsa. Pada beberapa keadaan,

pasir hanya terdiri atas butiran-butiran yang seukuran, sehingga disebut pasir

seragam. Ada kalanya terdapat bahan yang besarnya terdiri atas ukuran batu-

batuan hingga pasir dan disebut tanah bergradasi baik.

2) Lempung
Lempung terdiri atas butiran yang sangat kecil dan memiliki sifat kohesi

dan plastisitas. Sifat ini tidak ditemukan pada pasir dan kerikil. Sifat kohesi berarti

butiran-butirannya saling menempel, sedangkan plastisitas adalah sifat yang

II-17
memungkinkan tanah dapat berubah bentuk tanpa mengubah volume dan tidak

menyebabkan retak atau pecah.

3) Lanau
Lanau adalah bahan yang merupakan peralihan antara lempung dan pasir.

Lanau bersifat kurang plastis dibanding lempung (lanau asli sebenarnya tidak

memiliki sifat plastis). Lanau memiliki permeabilitas yang lebih tinggi. Lanau

juga menunjukkan sifat-sifat khusus, yaitu quick behavior dan dilatansi yang tidak

butirannya saling menempel, sedangkan plastisitas adalah sifat yang

memungkinkan tanah dapat berubah bentuk tanpa mengubah volume dan tidak

menyebabkan retak atau pecah ditemukan pada lempung. Quick behavior

menunjukkan kecenderungan lanau untuk menjadi cair ketika digetarkan, dan

dilatansi merupakan kecenderungan untuk mengalami penambahan volume ketika

berubah bentuk (Wesley, 2010).

b. Hubungan Tekstur Tanah dan Air

Tekstur tanah menentukan jumlah air yang dapat diikat pada berbagai

kondisi kadar lengas tanah. Tanah berlempung mempunyai partikel mineral yang

sangat halus dan ruang pori-pori yang sangat kecil. Tanah berpasir mempunyai

ukuran partikel mineral yang besar, sehingga ukuran pori-pori tanah tersebut juga

besar. Sebaliknya, ruang pori-pori yang kecil pada tanah berlempung memberi

kontribusi yang besar pada jumlah total ruang pori untuk volume yang sama

(Gambar 2.9).

II-18
Sumber: Indarto, 2010.
Gambar 2.9 Ruang pori-pori pada tanah berpasir dan berlempung (The COMET
Program).

Oleh karena itu, tanah lempung mempunyai presentase lengas tanah yang

tinggi pada saat kapasitas lapang bila dibanding jenis tanah lainnya. Sebaliknya,

tanah berpasir memiliki partikel mineral dan ruang yang paling besar, tetapi

presentase porositas kecil sehingga presentase air pada saat kapasitas lapang dan

titik layu yang relatif lebih kecil bila dibanding jenis tanah lain. Tanah pasir lebih

cepat jenuh dibanding tanah berlempung (Gambar 2.10).

Gerakan air di dalam lapisan tanah juga dipengaruhi oleh jenis tekstur

tanah. Setelah masuk ke dalam tanah melalui infiltrasi, air akan terperkolasi ke

bawah. Ruang pori-pori yang kecil dan jumlah pori-pori yang lebih banyak pada

tanah lempung, meningkatkan total ruang pori-pori yang kosong pada tanah

lempung. Sebaliknya, pada tanah berpasir ruang pori-pori lebih besar dan

jumlahnya lebih sedikit. Oleh karena itu, pada kondisi hujan ringan atau pelelehan

II-19
salju yang lambat, tanah berlempung akan dapat menampung air lebih banyak

daripada tanah berpasir (Gambar 2.10).

Sumber: Indarto, 2010.


Gambar 2.10 Kondisi lengas tanah (soil moisture) untuk berbagai jenis tekstur
tanah (The COMET Program).

Sebaliknya, tekstur tanah berpasir memungkinkan gerakan air (drainase)

lebih cepat daripada tanah bertekstur lempung. Pada kejadian hujan yang

berturutan, tanah lempung akan tetap jenuh selama kejadian hujan, sehingga

menghasilkan aliran permukaan yang lebih banyak. Tanah lempung akan

mempunyai kadar lengas (kandungan air) yang relatif lebih tinggi untuk waktu

yang relatif lebih lama.

Pada suatu lokasi, tanah dapat terdiri dari satu atau lebih jenis tekstur

tanah. Jika pada tanah tersebut, kandungan pasir cukup banyak, maka infiltrasi

dan drainase air lebih cepat terjadi karena ruang pori-pori besar. Tanah seperti ini

mudah menyerap hujan atau lelehan salju dengan intensitas tinggi. Atau dikatakan

mempunyai laju infiltrasi yang tinggi.

Tanah dengan presentase lempung yang tinggi akan mempunyai ruang

pori-pori yang kecil sehingga infiltrasi lambat dan kurang menyerap air hujan

II-20
yang deras. Tanah geluh (silt) mempunyai ukuran partikel antara pasir dan

lempung (Gambar 2.11).

Sumber: Indarto, 2010.


Gambar 2.11 Variasi infiltrasi menurut tekstur tanah.

Tanah dengan presentase geluh yang tinggi mempunyai laju infiltrasi dan

drainase yang lebih tinggi daripada lempung, tetapi tidak setinggi pasir.

Konsekuensinya, tanah lempung akan menghasilkan aliran permukaan yang tinggi

selama hujan dengan intensitas tinggi, bila dibanding tanah pasir atau liat.

Sumber: Indarto, 2010.


Gambar 2.12 Aliran permukaan pada tanah yang jenuh (The COMET Program).

Informasi jenis tekstur tanah dapat digunakan untuk antisipasi potensi

penyimpanan air dan aliran permukaan. Akan tetapi, juga harus diingat faktor lain,

misalnya kadar lengas tanah dan intensitas hujan. Sebagai contoh, jika tanah

II-21
sudah dalam keadaan jenuh seperti Gambar 2.12, maka aliran permukaan tetap

akan terjadi apa pun jenis tekstur tanahnya (Indarto, 2010).

5. Tekanan Air Pori di atas Muka Air Tanah

Walaupun mungkin tekanan air pori di atas muka air tanah adalah nol, ini

bukanlah keadaan biasa. Pada tanah berbutir halus, rongga (pori) saling

berhubungan dan berfungsi seperti pipa yang sangat halus. Oleh karena itu, air

tertahan di dalam tanah akibat gaya kapiler atau gaya tarik pada permukaan air

(surface tension forces). Pada tanah berbutir halus, yang seluruh ukuran lempung

lebih kecil dari 0,002 mm, ukuran rongga efektif hanya sekitar 20%, yaitu 0,0004

mm. Menurut teori, ketinggian kapiler pada bahan ini sekitar 75 m. Oleh karena

gaya kapiler inilah tanah berbutir halus masih jenuh air di atas muka air tanah. Air

tidak dapat mengalir keluar dari tanah ini akibat gaya berat (gravity) saja.

Lempung biasanya hanya menjadi tidak jenuh akibat penguapan pada permukaan

tanah. Pada tanah berbutir kasar, seperti kerikil dan pasir kasar, air dapat mengalir

keluar akibat gaya berat saja.

Pengukuran di lapangan menunjukkan bahwa banyak lempung adalah

jenuh penuh sampai beberapa meter, malahan puluhan meter di atas muka air

tanah. Hanya ada kedalaman satu atau dua meter di bawah permukaan tanah,

kejenuhan tanah tersebut berkurang. Turunnya derajat kejenuhan ini terjadi bukan

karena air mengalir ke bawah, melainkan akibat penguapan pada permukaan.

Tentu pada tanah berbutir kasar keadaan akan lain, dan tanah ini dapat menjadi

tanah tidak jenuh pada sampai kedalaman puluhan meter. Tekanan air pori,

II-22
keadaan kejenuhan, dan hubungannya dengan muka air tanah, diperlihatkan pada

Gambar 2.13. Tekanan air pori terlihat adalah dalam keadaan hidrostatik atau

keseimbangan, nilainya negatif di atas muka air tanah dan positif di bawahnya.

Pada keadaan ini tidak ada rembesan.

Sumber: Wesley, 2012.


Gambar 2.13 Hubungan antara tekanan air pori, keadaan jenuh dengan muka air
tanah.

Kedalaman tanah tidak jenuh dipengaruhi oleh ukuran butiran tanah

tersebut dan keadaan iklim. Pada daerah dengan iklim basah lapisan tak jenuh

pada lempung tidak mungkin lebih dari satu atau dua meter dibawah permukaan,

sedangkan pada iklim kering kedalamannya dapat mencapai 10 meter (Wesley,

2012).

6. Hukum Darcy dan Sifat-Sifat Tanah

Henry Darcy, seorang pakar hidraulik dari Perancis, pada Tahun 1856

mempublikasikan hasil percobaannya di laboratorium tentang aliran air melalui

pasir. Hasil analisis pecobaan ini dapat dijadikan sebagai hukum empiris yang

II-23
dikenal dengan nama Hukum Darcy. Penemuan Hukum Darcy sekaligus dapat

dianggap sebagai kelahiran dari ilmu hidrologi aliran air tanah (hidrogeologi)

secara kuantitatif.

Sumber: Kodoatie,2012.
Gambar 2.14 Alat Percobaan Hukum Darcy.

Diketahui bahwa:

[L T]
Q L
q= satuannya = = = satuan debit (unit discharge)
A [L ] T

Sering pula didefinisikan sebagai debit spesifik (specific discharge)

dimana:

Q = debit aliran

A = luas potongan

L = satuan panjang

T = satuan waktu

q (flux) dapat disebut juga laju aliran dibagi luas potongan melintang dan

mempunyai dimensi sama dengan kecepatan. Oleh karena itu kadang-kadang

II-24
dikenal sebagai Kecepatan Darcy atau Darcy flux. Dari hasil percobaan Darcy

seperti ditunjukkan di Gambar 2.13 disebutkan bahwa (Kodoatie, 1996; Toth,

1990):

l l
q h h = h dan q juga =
l l l

Sehingga dapat ditulis:


q = K = K = K. i (2.1)

dimana:

K adalah konduktivitas Hidraulik (Hydraulic Conductivity) yang mempunyai

satuan L/T.

H disebut ketinggian hidraulik (hydraulic head).

dh/dl disebut gradient hidraulik (Non dimensional).

Dalam hal ini: h = h2 h1 = - (negatif) dan

l = l2 l1 = + (positif)

Sehingga dengan persamaan di atas maka hasilnya untuk nilai q akan

selalu positif. Pada kondisi aliran yang menuju ke atas q juga selalu positif.

Persamaan di atas menjelaskan nilai laju aliran (q) yang mikroskopik seperti

ditunjukkan pada Gambar 2.15 di bawah ini.

Sumber: Kodoatie,2012.
Gambar 2.15 Konsep makroskopik dan mikroskopik aliran air tanah. (Freeze &
Cherry, 1979).

II-25
Dalam Gambar 2.15 menunjukkan konsep makroskopik dan mikroskopik

dari aliran air tanah. Gambar 2.15.a merupakan konsep makroskopik aliran air

tanah yang menunjukkan bagaimana q dicari/diukur secara mudah yaitu Q/A.

Sedangkan Gambar 2.15.b merupakan konsep mikroskopik aliran air tanah.

Dalam konsep mikroskopik, aliran dari partikel air secara individual mengalir di

antara sela-sela butiran tanah atau pasir (perkolasi). Aliran dari partikel ini

merupakan keadaan nyata di dalam tanah namun tidak mungkin untuk diukur

(Freeze dan Cherry, 1979 dalam Kodoatie, 2012).

Dalam mengaplikasikan Hukum Darcy untuk analisis aliran air tanah

dilakukan suatu pendekatan dengan asumsi bahwa suatu fragmen butiran-butiran

tanah (pasir, lanau atau lempung) yang membentuk media porous digantikan

dengan suatu kontinum dimana dapat didefinisikan menjadi parameter-parameter

makroskopik seperti konduktivitas hidraulik, porositas, dan lain-lain. Perlu

dipahami juga bahwa aliran air di dalam tanah mengikuti prinsip-prinsip dasar

hidraulika yang bersifat laminar yaitu antara lain: alirannya bergerak dengan

kecepatan sangat kecil dan angka Reynolds yang kecil pula.

Selanjutnya besarnya debit adalah:


Q = K A = KiA (2.2)

a. Konduktivitas Hidraulik

Menurut para ahli tanah sudah diketahui bahwa konduktivitas hidraulik K

terkait erat dengan distribusi ukuran butiran tanah dan porositas. Nilai

konduktivitas hidraulik untuk pasir kasar dan seragam dapat dipakai rumus Hazen

(1911 dalam Kodoatie, 2012) yang tertulis:

II-26
K = cd (2.3)

Dimana:

K = Konduktivitas hidraulik dalam cm/detik

d10 = ukuran butiran efektif (mm)

c = konstanta (1/cm detik) dengan harga 40 150. Untuk berbagai jenis pasir

nilai C adalah:

40 80 pasir sangat halus sampai pasir halus gradasi buruk

80 120 pasir medium sampai pasir kasar gradasi buruk

120-150 pasir kasar gradasi baik

Persamaan utama aliran air tanah berdasarkan Hukum Darcy. Salah satu asas

utama aliran air tanah melalui media porous ialah alirannya bersifat laminar

dimana angka Reynoldsnya adalah kecil yaitu 1 sampai 10 dan unsure viskositas

berperan. Bila lebih besar dari angka 10 maka persamaan (2.1) tidak berlaku lagi.

Di dalam besaran konduktivitas, hidraulik K berbanding terbalik dengan

viskositas dinamik fluida. Semakin besar viskositasnya, fluida menjadi semakin

kental namun K menjadi lebih kecil.

Pada persamaan (2.3) berlaku untuk jenis tanah yang seragam, bilamana

tanahnya tidak seragam d harus digantikan dengan dm yaitu rata-rata butiran dari

tanah yang diselidiki. Sedangkan c merupakan koefisien yang tergantung dari

bentuk dan pengepakan (packing) dari butiran tanah.

Persamaan lainnya untuk penentuan konduktivitas hidraulik adalah

persamaan Kozeny-Carman (1937 dalam Kodoatie, 2012) yang mengandung

unsur diameter butiran dan porositas persamaannya adalah:

II-27

K= ( )
(2.4)

Dimana:

= kerapatan air (kg/m3)

= viskositas air (Pascal.detik)

n = porositas (%)

dm = rata-rata ukuran butiran (mm)

Dalam hal ini konduktivitas hidraulik K merajuk pada sifat-sifat fluida dan

batuan, atau dengan kata lain K merupakan fungsi dari sifat fluida dan tanah,

dinyatakan dalam bentuk matematis K = f (fluida dan sifat-sifat tanah). Perlu

dijelaskan bahwa pengertian K yang di dalam buku ini disebut konduktivitas

hidraulik adalah sama dengan pengertian K pada disiplin ilmu mekanika tanah

yang mengistilahkan K dengan nama koefisien permeabilitas. (Toth, 1990; Freeze

& Cherry, 1979 dalam Kodoatie, 2012).

b. Nilai K

Tabel 2.1 Jangkauan Nilai Konduktivitas Hidraulik K (Freeze & Cherry, 1979).

Sumber: Kodoatie,2012.

II-28
Satuan yang dipakai bila dengan internasional standar (Standard

International System atau SI unit) umumnya:

Untuk K = meter/detik = meter/hari atau centimeter/detik.

Tabel 2.1 merupakan tanbel untuk mengetahui nilai konduktivitas

hidraulik untuk bermacam-macam jenis tanah dan batuan (Kodoatie, 2012).

II-29
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Bagan Alir Penelitian

Bagan alir penelitian pada Tugas Akhir ini, yaitu:

Mulai

Studi Literatur

Persiapan Penelitian
Pembuatan Model
Persiapan Alat dan Bahan

Pengumpulan Data Primer


Kompaksi
Kadar Air
Debit Air Tertampung

Analisis Data dan Pembahasan

Laju Resapan Air Kadar Air Koefisien Permebilitas

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Gambar 3.1 Bagan alir penelitian.

III-1
B. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen laboratorium.

Penelitian eksperimental adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan

manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya kontrol, dengan tujuan untuk

menyelidiki ada atau tidaknya hubungan sebab akibat serta berapa besar hubungan

sebab akibat tersebut dengan cara memberi perlakuan-perlakuan tertentu pada

beberapa kelompok ekperimen.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bahan Fakultas Teknik

Universitas Hasanuddin dengan menggunakan model fisik saluran drainase dan

media tanah mengacu pada tekstur tanah di titik pengamatan jalan raya Kota

Makassar, yaitu: Jalan Ahmad Yani. Penelitian ini dilaksanakan dalam kurun

waktu kurang lebih tiga bulan.

D. Langkah-Langkah Kegiatan Penelitian

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penelitian antara lain:

1. Penelitian secara fisik.

Dilaksanakan di laboratorium untuk mengamati serta mencatat fenomena

yang ada pada model yang meliputi studi literatur, persiapan alat dan bahan,

perencanaan dan pembuatan model, simulasi, dan pengambilan data serta evaluasi

akurasi.

III-2
2. Penelitian secara hipotetik dan analitik

Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara variabel yang

saling terkait. Dalam hal ini meliputi analisis data, pembahasan, pembuatan

kesimpulan, hingga penyusunan laporan.

E. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini hanya menggunakan satu sumber

data, yaitu data primer. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan

oleh peneliti secara langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat

pengukuran atau alat pengambilan data pada subjek sebagai sumber informasi

yang dicari. Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus mengumpulkannya

secara langsung. Teknik yang dapat digunakan peneliti untuk mengumpulkan data

primer antara lain pengamatan di laboratorium.

F. Perancangan Model

Model terdiri atas dua wadah, yaitu wadah model kubus satu yang

berfungsi sebagai wadah penyimpan air dan wadah model kubus dua yang

berfungsi sebagai wadah penyimpan tanah. Wadah model satu dan dua dapat

dilihat dibawah ini pada gambar 3.2.a dan gambar 3.2.b.

III-3
Gambar 3.2.a Model kubus satu.

Gambar 3.2.b Model kubus dua.

Perencanaan model didasarkan pada beberapa spesifikasi sebagai berikut:

1. Rancangan model yang akan dibuat dapat dilihat pada Gambar 3.3.

III-4
Gambar 3.3 Rancangan simulasi model.

III-5
2. Tanah yang digunakan dalam penelitian ini akan dikompaksi terlebih dahulu

untuk mengetahui berat isi kering dan kadar air yang akan digunakan dalam

penelitian ini. Proses kompaksi sebagai berikut:

a. Lima (5) sampel tanah dipisahkan masing-masing seberat 2,5 kg, kemudian

dimasukkan ke dalam kantong plastik,

b. Sampel tanah didiamkan selama 24 jam/ 1 hari,

c. Salah satu sampel diambil kemudian disemprotkan dengan air sedikit demi

sedikit sambil diaduk-aduk dengan tangan sampai merata. Penambahan air

dilakukan sampai didapat campuran tanah bila dikepalkan dengan tanah lalu

dibuka, tidak hancur dan tidak lengket, setelah didapat campuran tanah seperti

ini, dicatat jumlah penambahan airnya,

d. Penambahan air yang diperlukan dihitung untuk membuat sampel tanah

dengan kadar air yang berbeda,

e. Sampel tanah disimpan selama 24 jam agar didapatkan kadar air yang benar-

benar merata,

f. Mould standar ditimbang dalam keadaan bersih dan kosong dengan ketelitian

1 gr, kemudian diolesi dengan oli agar benda uji tersebur tidak melekat pada

mould,

g. Collar dipasang lalu dikencangkan dan ditempatkan pada tumpuan yang

kokoh,

h. Salah satu sampel tanah diambil dari dalam kantong plastik yang telah

disiapkan kemudian diisikan kedalam mould kurang lebih sampai setengah

III-6
tinggi. Ditumbuk dengan palu pemadatan standar 5,516 sebanyak 25 kali

secara merata, tanah tersebut mengisi kurang lebih 1/3 tinggi mould,

i. Hal yang sama dilakukan untuk lapisan kedua dan ketiga sehingga lapisan

terakhir mengisi sebagian collar,

j. Collar dilepaskan dan diratakan kelebihan tanah pada mould dengan

menggunakan pisau pemotong,

k. Mould dan tanah yang berada didalamnya ditimbang dengan ketelitian 1 gram,

l. Sampel tanah dikeluarkan dari mould dengan menggunakan extruder mould

dan sampel diambil untuk diperiksa kadar airnya,

m. Hal yang sama dilakukan untuk kadar air yang lain sehingga didapat 5 (lima)

data pemadatan.

3. Tanah dan pasir dicampur dengan persentase pasir 66% (Gambar 3.4), lanau

27% (Gambar 3.5) dan 7% lempung (Gambar 3.6), kemudian tanah diberi air

sesuai dengan perhitungan persentase kadar air tanah yang telah dikompaksi

(Gambar 3.7). Sehingga berdasarkan segitiga tekstur tanah USDA akan

dihasilkan jenis tanah lempung berpasir (Gambar 3.8).

Gambar 3.4 Pasir.

III-7
Gambar 3.5 Lanau.

Gambar 3.6 Lempung.

Gambar 3.7 Tanah dan pasir dicampur kemudian diberi air.

Gambar 3.8 Sampel tanah lempung berpasir.

III-8
4. Model kubus dua diletakkan di atas rangka besi penumpu (Gambar 3.9) dan

pada dasar model kubus dua dipasangkan karet busa untuk menutup lubang

bawah tanah (Gambar 3.10).

Gambar 3.9 Model kubus dua diletakkan di atas rangka besi penumpu.

Gambar 3.10 Pemasangan karet busa.

5. Tanah lempung berpasir dimasukkan ke dalam model kubus dua (Gambar

3.11) dan dikompaksi hingga mencapai ketinggian 10 cm (Gambar 3.12) lalu

pipa diletakkan tepat ditengah sebagai pencetak lubang pori (Gambar 3.13)

setelah itu tanah dimasukkan dan dikompaksi hingga mencapai ketinggian 30

cm (Gambar 3.14).

Gambar 3.11 Pengisian sampel tanah kedalam model kubus dua.

III-9
Gambar 3.12 Ketebalan tanah 10 cm.

Gambar 3.13 Peletakkan pipa.

Gambar 3.14 Ketebalan tanah 30 cm.

6. Pasir dimasukkan ke dalam pipa lubang berpori (diameter 8 cm) dengan

ketinggian pasir 20 cm (Gambar 3.15), lalu pipa diangkat (Gambar 3.16).

Gambar 3.15 Pengisian pasir.

III-10
Gambar 3.16 Pipa diangkat.

7. Model kubus satu diletakkan di atas tanah, lubang model kubus satu harus

sejajar dengan lubang pori lalu diberi plastisin agar tidak terjadi rembesan air

(Gambar 3.17). Model satu diisi air dan dilakukan pengecekan apakah

rembesan air terjadi atau tidak (Gambar 3.18). Setelah tidak ada rembesan,

maka dapat dilakukan pemasangan pompa dan jaringan sirkulasi.

Gambar 3.17 Model kubus satu diletakkan di atas tanah.

III-11
Gambar 3.18 Pengecekan rembesan.

8. Setelah semua rangkaian proses perencanaan model selesai, maka tahap

selanjutnya adalah melakukan percobaan sesuai dengan prosedur penelitian

yang telah direncanakan.

G. Bahan dan Alat Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan beberapa alat dan bahan yang digunakan.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Pasir sebagai material dalam lubang pori.

2. Tanah lempung berpasir.

3. Plastisin sebagai bahan anti rembesan.

4. Karet busa untuk menutup lubang di bawah tanah.

5. Air.

Sedangkan alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

III-12
1. Satu buah pompa dengan spesifikasi: pompa fluidisasi yang tertera pada

badan pompa kapasitas debit maksimal 2800 L/H dengan head 2,5 meter

dipakai untuk mensuplai aliran fluidisasi dapat dilihat pada gambar 3.19.

Gambar 3.19 Pompa air.

2. Bak penampungan air dengan kapasitas maksimum 0,174 m3 dapat dilihat

pada gambar 3.20.

Gambar 3.20 Bak penampungan air.

3. Pipa diameter 8 cm dapat dilihat pada gambar 3.21.

Gambar 3.21 Pipa.

4. Stopwatch sebagai pengukur waktu.

III-13
5. Penggaris.

6. Ember untuk menadah air.

7. Gelas ukur ukuran 1000 liter, 100 liter, dan 50 liter.

8. Gunting.

9. Isolasi.

10. Cutter.

11. Soil Moisture Meter.

12. Rang yang berfungsi sebagai rangka pori, peralatan 4 sampai 12 dapat dilihat

pada gambar 3.22.

Gambar 3.22 Peralatan pengambilan data.

H. Pengamatan Model

Rangkaian pengamatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini

diklasifikasikan ke dalam dua kelompok parameter, yaitu parameter simulasi dan

parameter amatan. Parameter simulasi terdiri dari variasi tinggi muka air dan

tekstur tanah yang merupakan variabel tetap. Sedangkan parameter amatan adalah

adanya perubahan debit yang terjadi yang akan diketahui dari pengukuran.

III-14
I. Prosedur Percobaan

Secara garis besar prosedur pengumpulan data adalah sebagai berikut:

1. Langkah awal adalah kalibrasi alat soil moisture meter.

2. Menancapkan alat soil moisture meter pada tanah sebanyak tiga kali.

3. Setelah pengukuran kelembaban dan semua komponen siap, dimulai dengan

menyalakan pompa terlebih dahulu untuk mengalirkan air pada model kubus

satu sampai aliran permukaan mencapai ketinggian 15 cm.

4. Setelah mencapai ketinggian muka air yang diinginkan maka dilakukan

pengukuran debit infiltrasi air setiap lima menit hingga konstan.

5. Menancapkan alat kelembaban air pada tanah sebanyak tiga kali, kemudian

catat.

6. Ganti ketinggian muka air dari 15 cm menjadi 20 cm, ulangi langkah dua

sampai lima.

7. Ganti ketinggian muka air dari 20 cm menjadi 25 cm, ulangi langkah dua

sampai lima.

Proses pengumpulan data terdapat pada Gambar 3.23 dan Gambar 3.24

dimana Gambar 3.23 merupakan proses pengumpulan data debit air per lima (5)

menit dan Gambar 3.24 merupakan proses pengumpulan data kadar air pada

tanah.

III-15
Gambar 3.23 Proses pengumpulan data debit air.

Gambar 3.24 Proses pengumpulan data kadar air.

J. Pengukuran

1. Kompaksi

Tujuan dari pengukuran kompaksi adalah untuk mengetahui seberapa

banyak tanah yang akan dimasukkan ke dalam model kubus 2 (dua). Kompaksi

dilakukan dengan menggunakan formula sebagai berikut.

Kadar air (DAS, 1985)

= 100% (3.1)

III-16
dimana:

= Berat air (gram). = Berat tanah kering (gram).

= =

= Berat tanah basah + kontainer = Berat tanah kering + kontainer

= Berat kontainer

Berikut ini diberikan contoh salah satu perhitungan kadar air dengan

menggunakan data kompaksi, dengan menggunakan sampel tanah pertama.

Dik: = 583 = 87

= 511

= 583 511 = 72

= 511 87 = 424

= 100% = 16,98%

Berat volume basah (DAS, 1985)

= (3.2)

Dengan:

= Berat tanah basah (gram). = Volume mould (cm3)

= = Berat mould (gram)

= Berat tanah basah + mould (gram)

Berikut ini diberikan contoh salah satu perhitungan berat isi basah dengan

menggunakan data kompaksi, dengan menggunakan sampel tanah pertama.

Dik: = 3280

= 1794

III-17
= 902,75

= 3280 1794 = 1486

= ,
= 1,6461

Berat kering (DAS, 1985)

= (3.3)

Berikut ini diberikan contoh salah satu perhitungan berat kering dengan

menggunakan data kompaksi, dengan menggunakan sampel tanah pertama.

Dik: = 1486

= 16,98%

= , = 1270,29

Berat isi kering (DAS, 1985)

= (3.4)

Berikut ini diberikan contoh salah satu perhitungan berat kering dengan

menggunakan data kompaksi, dengan menggunakan sampel tanah pertama.

Dik: = 1270,29

= 902,75
,
= ,
= 1.41

III-18
2. Berat Tanah Basah

Digunakan formula (3.5), (3.6), dan (3.7) untuk mengetahui berat tanah

basah yang akan dimasukkan ke dalam model kubus dua (2), formula tersebut

sebagai berikut:

=( ) +( ) (3.5)

= (3.6)

= (3.7)

Dengan:

W : berat tanah basah (kg)

: berat isi kering (g/cm3)

: volume balok cm3

: volume tabung cm3

Berikut ini diberikan contoh salah satu perhitungan berat tanah basah yang

akan dimasukkan ke dalam model kubus dua (2) pada diameter lubang pori 2 cm

dan kedalaman lubang pori 10 cm.

Diketahui : : 1,60 (g/cm3) : 50 cm

: 50 cm : 30 cm

: 1 cm : 20 cm

=( ) +( )

= (75000 31,4) 1,60 + (75000 31,4) 1,60 21%

= 145,139

III-19
3. Koefisien Pemeabilitas

Digunakan formula (3.8) untuk mengetahui koefisien permeabilitas yang

akan dimasukkan ke dalam model kubus dua (2), formula tersebut sebagai berikut:

= = . (Kodoatie, 2012) (3.8)

Dengan:

q = kecepatan darcy (cm/det)

K = koefisien permeabilitas (cm/det)

A = luas potongan (cm2)

i = gradien hidraulik

Q = debit aliran (cm3/det)

Berikut ini diberikan contoh salah satu perhitungan koefisien permeabilitas

(K) dengan menggunakan data menggunakan sampel ketinggian pertama (15 cm).

Diketahui: Q = 4 cm3/det L = 10 cm h = 35 cm


A = 50.24 cm2 = = = 3.5

= = .

=(
)

= . .

= 2.27 x 102 cm/det

Berikut ini diberikan contoh salah satu perhitungan kecepatan darcy (q)

dengan menggunakan data menggunakan sampel ketinggian pertama (15 cm).

III-20
Diketahui: K = 2.27 x 10 cm/det I = 3.5

q=KI

q = 2.27 x 102 3.5

= 7.96 x 10 cm/det

III-21
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Adapun hasil dari penelitian yang telah dilakukan hasilnya dipaparkan

sebagai berikut:

1. Kompaksi

Hasil pengujian kompaksi disajikan dalam bentuk tabel yang terdiri dari

tabel berat isi basah (wet density), kadar air (water content), dan berat isi kering

(dry density) yang dapat dilihat pada Tabel 4.1.

2. Debit Tertampung

Pengukuran debit air dilakukan per lima menit dengan menggunakan stop

watch. Air ditampung dalam ember kemudian dimasukkan dalam gelas ukur

untuk dihitung debitnya. Hasilnya disajikan dalam bentuk Tabel 4.2.

3. Laju Resapan Air

Pengukuran laju resapan air dilakukan dengan menggunakan tiga variasi

tinggi muka air yaitu 15 cm, 20 cm, dan 25 cm. Pencatatan dilakukan dengan

mengukur laju resapan air yang keluar pada model dengan menggunakan

stopwatch untuk pengambilan air per lima menit. Data hasil pengukuran laju

resapan air terdapat pada Tabel 4.3.

IV-1
4. Kadar Air

Saat melakukan percobaan pengukuran kadar air dilakukan menggunakan

soil moisture meter pada tiga titik tanah. Nilai kadar air yang diperoleh ada dua

yaitu kadar air sebelum pengukuran dan sesudah pengukuran. Hasilnya disajikan

pada Tabel 4.4.

5. Koefisien Permeabilitas

Berdasarkan prinsip kerja alat pada penelitian ini menggunakan tinggi

energi tetap. Untuk menghitung nilai koefisien permeabilitasnya diperlukan data

debit air tertampung, lamanya waktu air ditampung, luas penampang tanah,

ketebalan tanah, dan tinggi air (head). Perhitungan permeabilitas pada tanah ini

menggunakan formula 3.8. Hasil rekapitulasi data koefisien permeabilitas (K) dan

kecepatan Darcy (q) disajikan pada Tabel 4.5.

B. Pembahasan

1. Kompaksi

Tabel 4.1 Kompaksi.


Berat tanah gram 2500 2500 2500 2500 2500
Penambahan air ml 60 80 100 120 140
Berat Isi Basah (Wet density)
No. Mould - 1 2 3 4 5
Berat Mould gram 1794 1794 1794 1794 1794
Berat tanah basah + Mould gram 3280 3596 3475.5 3472 3439
Berat tanah basah, Wwet gram 1486 1802 1681.5 1678 1645
Volume Mould cm3 902.75 902.75 902.75 902.75 902.75
Berat Volume Basah
gr/cm3 1.6461 1.9961 1.8626 1.8588 1.8222
wet=Wwet/Vmould

IV-2
Lanjutan Tabel 4.1 Kompaksi.
Kadar Air (Water Content)
No. Container - 1 2 3 4 5
Berat tanah basah + Container gram 583 599 623.5 611 590
Berat tanah kering + Container gram 511 517 530 510 493
Berat air gram 72 82 93.5 101 97
Berat container gram 87 119 99 99 88
Berat tanah kering gram 424 398 431 431 405
Kadar air % 16.98 20.60 21.69 21.69 23.95
Berat Isi Kering ( Dry Density)
Berat tanah basah, Wwet gram 1486 1802 1681.5 1678 1645
Kadar air % 16.98 20.60 21.69 24.51 23.95
Berat kering gram 1270.29 1494.16 1381.75 1347.63 1327.14
Volume Mould cm3 902.75 902.75 902.75 902.75 902.75
Berat isi kering gr/cm3 1.41 1.66 1.53 1.49 1.47
Sumber: Data Primer Diolah.

Pada Tabel 4.1 dapat dilihat lima sampel tanah memiliki berat masing-

masing 2500 gram dengan penambahan air yang berbeda-beda dengan selisih 20

ml.

Berat mould yang digunakan adalah 1794 gram. Mould yang berisi tanah

yang terkompaksi kemudian ditimbang menghasilkan berat yang berbeda-beda

yaitu untuk sampel 1 (satu) berat tanah basah dan mould adalah 3280 gram,

sampel 2 (dua) berat tanah basah dan mould adalah 3596 gram, sampel 3 (tiga)

berat tanah basah dan mould adalah 3475.5 gram, sampel 4 (empat) dan mould

adalah 3472 gram, dan sampel 5 (lima) berat tanah basah dan mould adalah 3439

gram. Untuk mengetahui berat tanah basah dilakukan perhitungan yaitu selisih

berat mould dan tanah basah dikurangi berat mould, sedangkan untuk mengetahui

berat volume basah dilakukan perbandingan antara berat tanah basah dan volume

mould yaitu, 902,75 .

IV-3
Untuk mengukur kadar air, tanah yang berada di dalam mould dikeluarkan

sebagian kemudian ditimbang berat tanah basah dan kontainer. Pada sampel 1

(satu) berat tanah basah dan kontainer 583 gram, sampel 2 (dua) berat tanah basah

dan kontainer 599 gram, sampel 3 (tiga) berat tanah basah dan kontainer 623.5

gram, sampel 4 (empat) berat tanah basah dan kontainer 611 gram, dan pada

sampel 5 (lima) berat tanah basah dan kontainer 590 gram. Setelah ditimbang

tanah tersebut dioven selama sehari kemudian ditimbang kembali dengan

kontainernya.

Pada sampel 1 (satu) berat tanah kering dan kontainer 511 gram, sampel 2

(dua) berat tanah kering dan kontainer 517 gram, sampel 3 (tiga) berat tanah

kering dan kontainer 530 gram, sampel 4 (empat) berat tanah kering dan kontainer

510 gram, dan sampel 5 (lima) berat tanah kering dan kontainer 493 gram. Untuk

mengetahui berat air maka dilakukan perhitungan selisih antara berat tanah basah

dan kontainer dengan berat tanah kering dan kontainer. Setelah berat tanah kering

diperoleh, tanah dalam container dikeluarkan kemudian kontainernya ditimbang.

Kontainer yang digunakan untuk setiap sampel berbeda-beda, pada sampel 1

(satu) berat kontainernya 87 gram, sampel 2 (dua) berat kontainernya 119 gram,

sampel 3 (tiga) berat kontainernya 99 gram, sampel 4 (empat) berat kontainernya

98 gram, dan sampel 5 (lima) berat kontainernya 88 gram. Untuk mengetahui

berat tanah kering dilakukan perhitungan yaitu selisih antara berat tanah kering

dan container dengan berat kontainer. Kadar air diperoleh dari hasil perhitungan

dengan membandingkan berat air dengan berat tanah kering kemudian dikalikan

100%.

IV-4
Berat kering diperoleh melalui perhitungan menggunakan formula 3.3

sehingga diperoleh berat kering sampel tanah 1 (satu) 1270.29 gram, berat kering

sampel tanah 2 (dua) 1494.16 gram, berat kering sampel tanah 3 (tiga) 1381.75

gram, berat kering sampel tanah 4 (empat) 1347.63 gram, dan berat kering sampel

tanah 5 (lima) 1327.14 gram. Berat isi kering merupakan perbandingan antara

berat kering dengan volume mould. Perhitungan yang digunakan dapat dilihat

pada formula 3.4. Hasil dari perhitungan tersebut yaitu sampel 1 (satu) 1,41 gr/cm3,

sampel 2 (dua) 1,66 gr/cm3, sampel 3 (tiga) 1,53 gr/cm3, sampel 4 (empat) 1,49

gr/cm3, dan sampel 5 (lima) 1,47 gr/cm3.Grafik kompaksi dibuat untuk mendapatkan

kadar air optimum dengan menghubungkan berat tanah kering dengan kadar air

yang dapat dilihat pada Gambar 4.1.

2.20
2.10
2.00
Berat Isi Kering (gr/cm3)

1.90
1.80
1.70 dry= 1,84 y = -0.0110x2 + 0.4612x - 3.2509
1.60
dry= 1,60 gr/cm3
1.50
1.40
1.30
1.20
opt= 19 % opt= 21 %
1.10
1.00
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Kadar Air (%)

Gambar 4.1 Grafik kompaksi.

Pada Gambar 4.1 menunjukkan kadar air optimum yang diperoleh dari

hasil kompaksi adalah 21% yang merupakan puncak garis lengkung pada grafik

dan berat isinya 1,60 gr/cm3. Kadar air optimum diketahui dari penarikan garis

IV-5
vertikal pada puncak garis lengkung dan berat isi kering diketahui dari penarikan

garis horizontal pada puncak garis lengkung.

Dari data kompaksi dapat dihitung banyaknya tanah yang akan

dimasukkan ke dalam model dengan menggunakan formula 3.5 maka diperoleh

jumlah tanah basah yang dimasukkan ke dalam model adalah sebesar 145,139 kg.

2. Debit Tertampung

Tabel 4.2 Debit tertampung.

Tinggi Muka Air Debit Total


(cm) (ml/jam)

25 1530
20 1390
15 1074
Sumber: Data Primer Diolah.

Pada Tabel 4.2 debit air dihitung berdasarkan lamanya waktu lima menit

air tertampung dalam ember hingga debit air konstan dengan tiga ketinggian muka

air yang berbeda. Pada ketinggian muka air 15 cm, total debit air yang dihasilkan

yaitu 1084 ml/jam. Pada ketinggian muka air 20 cm total debit air yang dihasilkan

yaitu 1390 ml/jam dan pada ketinggian muka air 25 cm total debit air yang

dihasilkan yaitu 1530 ml/jam.Pada model dihitung debit air yang tertampung per

lima menit dengan menggunakan stopwatch. Pengambilan data dihentikan ketika

debit air yang keluar sudah konstan. Berikut hasilnya digambarkan dalam bentuk

grafik ditunjukkan pada Gambar 4.2.

IV-6
155
Debit Tertampung (ml/5 menit)
135
115
95
75
55
35
15
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Waktu (menit)

Ha = 25 cm Ha = 20 cm Ha = 15 cm

Gambar 4.2 Grafik debit tertampung tanah lempung berpasir.

Pada Gambar 4.2 ditunjukkan bahwa debit air yang tertampung pada

ketinggian muka air 15 cm paling rendah dibandingkan dengan ketinggian yang

lain dan dari waktu ke waktu nilai debit yang diperoleh semakin tinggi hingga

mencapai titik konstan.

Pada ketinggian muka air 25 cm diperoleh nilai debit air tertampung yang

paling tinggi dibandingkan dengan tinggi muka air 15 cm dan 20 cm. Nilai debit

air akan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya waktu dan akan berhenti

naik ketika mencapai titik konstan.

3. Laju Resapan Air

Tabel 4.3 Laju resapan air.


Tinggi Muka Air Total Laju Resapan Air
3
(cm) (cm /menit)
25 50.7
20 46.3
15 35.9
Sumber: Data Primer Diolah.

IV-7
Pada Tabel 4.3 nilai total laju resapan air yang dihasilkan pada ketinggian

muka air 15 cm adalah 35.9 cm3/menit. Pada ketinggian muka air 20 cm, total laju

resapan air adalah 46.3 cm3/menit dan pada ketinggian 25 cm total laju resapan air

yang dihasilkan adalah 50.7 cm3/menit.Berdasarkan data hasil penelitian

menggunakan model drainase dengan ketinggian muka air 15 cm, 20 cm dan 25

cm diperoleh laju resapan air dapat dilihat pada Gambar 4.3.

5
Laju Resapan Air (cm3/det)

4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Waktu

Ha = 25 cm Ha = 20 cm Ha = 15 cm

Gambar 4.3 Grafik laju resapan air dengan tinggi muka air berbeda.

Pada Gambar 4.3 ditunjukkan hubungan antara dari laju resapan air

dengan tinggi muka air berbeda (15 cm, 20 cm dan 25 cm) dan waktu dimana dari

gambar tersebut dapat dilihat bahwa hubungan tersebut saling berbanding lurus

dimana semakin tinggi muka air yang digunakan (15 cm, 20 cm, dan 25 cm) dan

semakin lama waktu penelitian maka akan semakin tinggi juga laju resapan air

yang dihasilkan hingga mencapai titik konstan.

IV-8
4. Kadar Air

Tabel 4.4 Kadar air.


Kadar Air
Tinggi Muka Air (%)
(cm)
W0 W1
9.5 11.1
25 10.4 11.8
10.7 12.2
11.5 12.8
20 11.8 12.9
12.2 13.3
12.8 13.8
15 12.9 13.9
13.3 14.1
Sumber: Data Primer Diolah.

Berdasarkan data hasil penelitian pada Tabel 4.4 menggunakan model

drainase dengan ketinggian muka air 15 cm, 20 cm dan 25 cm diperoleh kadar air

sebelum dan setelah pengujian dengan menggunakan soil moisture meter dapat

dilihat pada Gambar 4.4.

15
14
Kadar Air (%)

13
12
11
10
9
0 1 2 3
Wsebelum dan Wsesudah (%)
Ha1 = 25 cm Ha2 = 15 cm Ha3 = 15 cm
Ha1 = 20 cm Ha2 = 20 cm Ha3 = 20 cm
Ha1 = 25 cm Ha2 = 25 cm Ha3 = 25 cm

Gambar 4.4 Kadar air.

IV-9
Pada Gambar 4.4 ditunjukkan bahwa selisih kenaikan kadar air yang

diperoleh setelah pengujian pada ketinggian muka air 15 cm adalah 1.6%, 1.4% ,

dan 1.5% dimana kadar air yang diperoleh sebelum pengujian adalah 9.5%,

10.4%, dan 10.7% dan sesudah pengujian adalah 11.1%, 11.8%, dan 12.2%.

Pada ketinggian muka air 20 cm diperoleh kadar air sebelum dan setelah

pengujian dengan menggunakan soil moisture meter, hasil yang diperoleh

sebelum pengujian adalah 11.5%, 11.8%, dan 12.2% dan sesudah pengujian

adalah 12.8%, 12.9%, dan 13.3%. Selisih kenaikan kadar air yang diperoleh

setelah pengujian pada ketinggian muka air 20 cm adalah 1.3%, 1.1%, 1.1%

dimana hasil kadar air yang diperoleh pada ketinggian muka air ini lebih rendah

dibandingkan selisih kenaikan yang diperoleh pada ketinggian muka air 15 cm.

Data hasil kadar air sebelum dan sesudah pengujian yang diperoleh pada

model drainase dengan ketinggian muka air 25 cm diperoleh kadar air sebelum

pengujian adalah 12.8%, 12.9%, dan 13.3% dan sesudah pengujian adalah 13.8%,

13.9%, dan 14.1%. Selisih kenaikan kadar air yang diperoleh setelah pengujian

pada ketinggian muka air 20 cm adalah 1.0%, 1.0% dan 0.8% dimana hasil kadar

air yang diperoleh pada ketinggian muka air ini paling rendah jika dibandingkan

dengan selisih kenaikan yang diperoleh pada ketinggian muka air 15 cm dan 20

cm.

IV-10
5. Koefisien Permeabilitas
Tabel 4.5 Rekapitulasi koefisien permeabilitas dan kecepatan darcy.
d h L A Q K QDarcy = K x h/L x A q
h/L 2 3 3
(cm) (cm) (cm) (cm ) (cm /det) (cm/det) (cm /det) (cm/det)
-2
15 35 10 3.5 50.24 0.6 2.27 x 10 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 1.7 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 2.2 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 2.6 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
-2
15 35 10 3.5 50.24 2.9 2.27 x 10 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 3.2 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 3.3 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 3.7 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 4 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 3.7 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 4 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 4 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
-2
20 40 10 4 50.24 3 1.99 x 10 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 3.3 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 3.7 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
Sumber: Data Primer Diolah.

IV-11
Pada Tabel 4.5 nilai koefisien permeabilitas (K) dan kecepatan Darcy (q)

tanah dengan masing-masing ketinggian muka air (15 cm, 20 cm, dan 25 cm)

diperoleh dengan menggunakan data debit air yang tertampung selama lima menit

dan ketinggian air dari permukaan hingga dasar lubang pori (35 cm, 40 cm dan 45

cm), serta ketebalan tanah sebesar 10 cm yang kemudian dihitung menggunakan

formula 3.8.

Berdasarkan data hasil penelitian menggunakan model drainase untuk

jenis tanah lempung berpasir dapat dilihat pada Gambar 4.5.

0.0235
Koef. Permeabilitas (cm/det)

0.0225

0.0215

0.0205

0.0195

0.0185
3 3.5 4 4.5 5
Gradien Hidraulik (I)

Koef Permeabilitas Linear (Koef Permeabilitas)

Gambar 4.5 Grafik hubungan koefisien permeabilitas (k) dengan gradien



hidraulik (I = ).

Pada Gambar 4.5 dibandingkan ketinggian muka air yang digunakan pada

penelitian ini dengan jenis tanah yang sama yaitu tanah pasir bertanah lempung

diperoleh hubungan kedalaman lubang dan tinggi muka air dan koefisien

permeabilitas yaitu semakin besar jumlah tinggi muka air yang diberikan maka

koefisien permeabilitas yang diperoleh dari waktu ke waktu akan semakin kecil

IV-12
ini sesuai dengan hukum Darcy yaitu nilai koefisien permeabilitas berbanding

terbalik dengan nilai gradient hidraulik (I) dimana =


. Maka dengan adanya

perbedaan elevasi tinggi muka air yang digunakan akan memperkecil nilai

koefisien permeabilitas (K) yang diperoleh pada penelitian ini.

Berikut ditunjukkan grafik hubungan antara koefisien permeabilitas dan

nilai perbandingan debit aliran (QDarcy) dan gradien hidrolik (I) pada Gambar

4.6. di bawah ini.

0.023
0.0225
Koef. Permeabilitas (K)

0.022
0.0215
0.021
0.0205
0.02
0.0195
0.019
0.0185
0.95 1 1.05 1.1 1.15 1.2
Q/I

Koef Permeabilitas Linear (Koef Permeabilitas)

Gambar 4.6 Grafik hubungan perbandingan debit aliran darcy dengan gradien
hidraulik ( ) dan koefisien permeabilitas (K).

Berdasarkan Gambar 4.6 dapat disimpulkan bahwa hubungan antara

koefisien permeabilitas (K) dan perbandingan antara debit aliran Darcy (QDarcy)

terhadap gradient hidraulik (I) adalah berbanding lurus dimana semakin besar

nilai koefisien permeabilitas (K), maka akan semakin besar pula nilai

perbandingan antara debit aliran Darcy dan gradien hidraulik ( ).

IV-13
Berikut ditunjukkan grafik perbandingan antara nilai debit percobaan

(Qpercobaan) dan nilai debit aliran (QDarcy) terhadap gradien hidrolik (I) pada

Gambar 4.7 di bawah ini.

5
4.5
4
3.5
3
Q

2.5
2
1.5
1
0.5
0
3 3.5 4 4.5 5
h/L

Qpercobaan Qdarcy Linear (Qpercobaan) Linear (Qdarcy)

Gambar 4.7 Grafik perbandingan antara qpercobaan dan qdarcy terhadap


gradien hidraulik.

Berdasarkan Gambar 4.7 dapat disimpulkan bahwa perbandingan antara


Qpercobaan dan QDarcy terhadap nilai gradient hidraulik (I = ) berbanding

lurus dimana semakin besar jumlah pengaruh tinggi muka air yang diberikan

maka akan semakin besar pula nilai debit yang dihasilkan hingga mencapai titik

konstan. Adapun nilai rata-rata Qpercobaan adalah 3.7 cm3/s sedangkan nilai rata-

rata QDarcy yang diperoleh adalah 4.1 cm3/s.

Berikut ditunjukkan grafik hubungan antara variabel kecepatan Darcy (q)


dan gradien hidraulik (I = ) pada Gambar 4.8.

IV-14
0.087
Kecepatan Darcy (q)

0.085

0.083

0.081

0.079
3 3.5 4 4.5 5
Gradien Hidraulik (I)

Kec. Darcy (q) Linear (Kec. Darcy (q))

Gambar 4.8 Grafik hubungan gradien hidraulik dan kecepatan darcy


berdasarkan tinggi muka air yang berbeda.


Pada Gambar 4.8 ditunjukkan hubungan antara gradien hidraulik (I = )

dan kecepatan Darcy (q) dimana dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada

saat nilai I = 3.5 dan I = 4, nilai kecepatan Darcy yang diperoleh adalah sama

yaitu 7.96 10 cm, hal ini disebabkan oleh pengaruh nilai QDarcy pada saat

ketinggian muka air sebesar 15 cm dan 20 cm terhadap nilai koefisien

permeabilitas dimana q = = -K.I. Sedangkan pada saat nilai I = 4.5, nilai

kecepatan Darcy (q) meningkat mencapai nilai 8.62 10 cm.

IV-15
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan variasi tinggi muka air

yang telah dilakukan di Laboratorium Mekanika Bahan Universitas Hasanuddin

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Laju resapan air pada tinggi muka air 15 cm paling kecil 0,6 cm3/s hingga

mencapai nilai konstan yaitu 4 cm3/s dan nilai totalnya yaitu 35.9 cm3/s, pada

tinggi 20 cm paling kecil 3 cm3/s hingga mencapai nilai konstan yaitu 4 cm3/s

dan nilai totalnya yaitu 46.3 cm3/s, dan pada tinggi 25 cm paling kecil 3.7

cm3/s hingga mencapai nilai konstan yaitu 4.3 cm3/s dan nilai totalnya yaitu

50.7 cm3/s.

2. Selisih nilai kadar air sebelum dan setelah pengujian di tiga titik pengukuran

pada tinggi muka air 15 cm diperoleh sebesar 1.6%, 1.4%, dan 1.5%, pada

tinggi muka air 20 cm diperoleh sebesar 1.3%, 1.1%, dan 1.1%, pada tinggi

muka air 25 cm diperoleh 1.0%, 1.0%, dan 0.8%.


3. Nilai koefisien permeabilitas pada saat I ( ) = 3.5 diperoleh sebesar 2.27 x


10-2 cm/det, pada saat I ( ) = 4 diperoleh sebesar 1.99 x 10-2 cm/det, dan


pada saat I ( ) = 4.5 diperoleh sebesar 1.92 x 10-2 cm/det. Hal ini sebanding

dengan teori Hukum Darcy yang menyatakan bahwa nilai koefisien

permeabilitas (K) berbanding terbalik dengan nilai gradient hidrolik (I) dalam

rumus =
.

V-1
B. Saran

1. Pada penelitian ini masih terdapat beberapa kekurangan seperti untuk

penerapan model drainase ini diharapkan drainase ini hanya khusus untuk

menampung air hujan tidak dicampur dengan limbah cair sehingga tidak

mencemari kualitas air tanah.

2. Pada penelitian selanjutnya diharapkan untuk menambahkan lebih banyak

variabel penelitian seperti variasi ketinggian muka air dan jumlah waktu

penelitian.

V-2
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air, Penerbit Institut Pertanian Bogor
Press, Bogor.

Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah
Mada Press, Yogyakarta.

DAS. 1985. Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknik), Penerbit


Erlangga, Jakarta.

Hasmar, Halim. 2012. Drainase Terapan, UII Press, Yogyakarta.

http://pustaka.pu.go.id/new/artikel-detail.asp?id=331. Drainase Berwawasan


Lingkungan. Diakses pada Senin, 24 feb 2014 pukul 14.37 WITA.

Indarto. 2010. Hidrologi Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi,
Bumi Aksara, Jakarta.

Kodoatie, Robert. 2012. Tata Ruang Air Tanah, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Kusanaedi. 2011. Sumur Resapan Untuk Pemukiman Perkotaan Dan Pedesaan,


Penebar Swadaya, Surabaya.

Maryono, A. 2004, Banjir Kekeringan dan Lingkungan, UGM, Yogyakarta.

Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, Penerbit Andi,


Yogyakarta.

Soemarto, C.D. 1999. Hidrologi Teknik, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Sosrodarsono, Suyono dan Takeda, Kensaku. 2003. Hidrologi untuk Pengairan,


Prandnya Paramita, Jakarta.
REKAPITULASI DATA

A. Data Awal

Diameter Lubang = 8 cm
Kadar Air Tinggi Air 25 cm Tinggi Air 20 cm Tinggi Air 15 cm Kadar Air
Waktu
No. w1 w2 w3 Volume Air Volume Air Volume Air w0
(menit)
% (mL) (mL) (mL) (%)
1 5 11.5 12.8 13.8 110 90 18 9.5
2 10 11.8 12.9 13.9 120 100 51 10.4
3 15 12.2 13.3 14.1 130 120 66 10.7
4 20 130 120 78
5 25 130 120 86
6 30 130 120 95
7 35 130 120 100
8 40 130 120 110
9 45 130 120 120
10 50 130 120 110
11 55 130 120 120
12 60 130 120 120
B. Data Debit Air

1. Debit Air (mL/5 menit)

Debit Air (ml)/ 5 menit


Tinggi Muka Air Volume Total
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
25 cm 110 120 130 130 130 130 130 130 130 130 130 130 1530
20cm 90 100 120 120 120 120 120 120 120 120 120 120 1390
15 cm 18 51 66 78 86 95 100 110 120 110 120 120 1074

155
Debit Tertampung (ml/5 menit)

135
115
95
75
55
35
15
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Waktu (menit)

Ha = 25 cm Ha = 20 cm Ha = 15 cm
2. Laju Resapan Air (cm3/s)

Laju Resapan Air (cm3/s)


Tinggi Muka Air Volume Total
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
25 cm 3.7 4 4.3 4.3 4.3 4.3 4.3 4.3 4.3 4.3 4.3 4.3 50.7
20cm 3 3.3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 46.3
15 cm 0.6 1.7 2.2 2.6 2.9 3.2 3.3 3.7 4 3.7 4 4 35.9

5
Laju Resapan Air (cm3/det) 4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Waktu

Ha = 25 cm Ha = 20 cm Ha = 15 cm
C. Data Kadar Air

Tinggi Muka Air Kadar Air


W0 W1 W2 W3
(cm)
(%)
15 9.5 11.5 12.8 13.8
20 10.4 11.8 12.9 13.9
25 10.7 12.2 13.3 14.1

15
14
Kadar Air (%)

13
12
11
10
9
0 1 2 3
Wsebelum dan Wsesudah (%)
Ha1 = 25 cm Ha2 = 15 cm Ha3 = 15 cm
Ha1 = 20 cm Ha2 = 20 cm Ha3 = 20 cm
Ha1 = 25 cm Ha2 = 25 cm Ha3 = 25 cm
Ha = 15 cm
12
Ha = 20 cm
11.8 13.4
11.6 13.1

Kadar Air (%)


Kadar Air (%)

11.4 12.8
11.2 titik 2 12.5 titik 2
11 titik 1 12.2 titik 1
10.8 11.9
titik 3 titik 3
10.6 11.6
10.4
11.3
10.2
11
10
0 1 2 3
0 1 2 3
Wsebelum dan Wsesudah Wsebelum dan Wsesudah

Ha = 25 cm
14.2
14
13.8
Kadar Air (%)

13.6 titik 2
13.4
titik 1
13.2
titik 3
13
12.8
12.6
0 1 2 3
Wsebelum dan Wsesudah
D. Data Koef. Permeabilitas & QDarcy

d h L A Q K QDarcy = K x h/L x A q
h/L
(cm) (cm) (cm) (cm2) (cm3/det) (cm/det) (cm3/det) (cm/det)
15 35 10 3.5 50.24 0.6 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 1.7 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 2.2 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 2.6 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 2.9 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 3.2 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 3.3 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
-2
15 35 10 3.5 50.24 3.7 2.27 x 10 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 4 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 3.7 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 4 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
15 35 10 3.5 50.24 4 2.27 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 3 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 3.3 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
LANJUTAN
d h L A Q K QDarcy = K x h/L x A q
h/L 2 3 3
(cm) (cm) (cm) (cm ) (cm /det) (cm/det) (cm /det) (cm/det)
-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
20 40 10 4 50.24 4 1.99 x 10-2 4 7.96 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 3.7 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10-2 4.3 8.62 x 10-2
-2
25 45 10 4.5 50.24 4.3 1.92 x 10 4.3 8.62 x 10-2
Perbandingan Nilai K dan I Perbandingan Nilai K dan Q/I
0.0235 0.023

Koef. Permeabilitas (K)


Koef. Permeabilitas (cm/det) 0.0225
0.0225 0.022
0.0215
0.0215 0.021
0.0205
0.0205 0.02
0.0195
0.0195
0.019
0.0185 0.0185
3 3.5 4 4.5 5 0.95 1 1.05 1.1 1.15 1.2
Gradien Hidraulik (I) Q/I

Koef Permeabilitas Linear (Koef Permeabilitas) Koef Permeabilitas Linear (Koef Permeabilitas)

Perb. Nilai QDarcy dan Qpercobaan Kecepatan Darcy (q)


5
4.5 0.087
4

Kecepatan Darcy (q)


3.5 0.085
3
Q

2.5
0.083
2
1.5
1 0.081
0.5
0
0.079
3 3.5 4 4.5 5
3 3.5 4 4.5 5
h/L
Gradien Hidraulik (I)
Qpercobaan Qdarcy
Linear (Qpercobaan) Linear (Qdarcy) Kec. Darcy (q) Linear (Kec. Darcy (q))
GAMBAR MODEL ALIRAN AIR DALAM TANAH

Anda mungkin juga menyukai